Anda di halaman 1dari 167

KATA PENGANTAR

Buku tentang strabismus dalam bahasa asing bisa ditemukan ditoko buku atau
perpustakaan , tetapi dalam bahasa Indonesia masih jarang kita temukan.
Mahasiswa maupun residen yang sedang pendidikan sering mengalami kesulitan dalam
memahami strabismus karena banyaknya istilah-istilah yang sulit dimengerti.
Penulis berusaha membuat buku strabismus ini sebagai panduan bagi mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan juga bagi dokter residen yang sedang dalam pendidikan I.P. mata sehingga
bisa lebih memudahkan memahaminya.
Dalam buku ini dibahas mengenai anatomi, fisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan,
pengobatan, operasi serta komplikasi operasi pada strabismus.
Istilah-istilah asing masih digunakan dalam buku ini disamping istilah dalam bahasa
Indonesia untuk menghindari salah tafsir karena ada istilah –istilah asing yang sukar
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala bagian I.P. Mata F.K. Unand/RS.M.
Jamil Padang yang memberikan dorongan kepada penulis untuk menerbitkan buku ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sejawat di bagian I.P. Mata yang telah
membantu dan memberi masukan penulis dalam menyelesaikan buku ini.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapakan saran dan kritik dari sejawat untuk perbaikan buku ini selanjutnya.

Dr. Muslim Ridwan

1
ISI BUKU:
1. KATA PENGANTAR
2. PENDAHULUAN
3. PENGLIHATAN BINOKULER DAN KESAN RUANG
4. POSISI, GERAKAN DAN DEVIASI MATA
5. ANATOMI DAN FUNGSI OTOT EKSTRA OKULER &
HUBUNGAN FASIA DENGAN ORBITA
6. PERSARAFAN YANG MENGENDALIKAN BOLA MATA.
7. KELUHAN,GEJALA SENSORIS, DAN ADAPTASI PADA
STRABISMUS
8. AKOMODASI DAN KONVERGENSI
9. ESOTROPIA
10. EKSOTROPIA
11. AV PATTERN
12. DISSOCIATED VERTICAL DEVIATION
13. PRIMARY INFERIOR OBLIQ OVERACTION
14. PRIMARY SOPERIOR OBLIQ OVERACTION
15. SUPERIOR OBLIQ PARALYTIC
16. INFERIOR OBLIQ PARALYTIC
17. DUANE RETRACTION SYNDROM
18. BROWN SYNDROME
19. STRABISMUS FIXUS
20. ADHEREN SYNDROM (JOHNSON)
21. CYCLIC STRABISMUS
22. MIKROTROPIA
23. NYSTAGMUS
24. OPERASI OCULER TORTIKOLIS DENGAN TRANSPOSISI
HORIZONTAL DARI REKTUS VERTIKAL
25. KOMPLIKASI OPERASI STRABISMUS
26. PEMAKAIAN PRISMA
27.TERAPI BOTULINUM
28. PEMERIKSAAN STRABISMUS
29. AMBLIOSKOP
30. MERENCANAKAN OPERASI PADA STRABISMUS
31. KEPUSTAKAAN
2
I. PENDAHULUAN

Pada zaman primitif kelainan ini dianggap pertanda kemarahan dari Tuhan. Istilah
strabismus baru muncul pada zaman Romawi lebih kurang 2000 tahun yang lalu, waktu itu
ada seorang ahli ilmu bumi di Alexandria Mesir yang bernama Strabo yang terkenal karena ia
membuat peta dan tulisan mengenai istana Cleopatra. Ia mempunyai kelainan mata dengan
posisi tidak lurus/ juling, sejak itu orang dengan mata juling disebut Strabo dan kemudian
berobah jadi Strabismos yang berarti membelok dan kemudian berobah lagi menjadi
Strabismus. Strabismus ini didapatkan lebih kurang 2 – 4 % pada anak-anak.
Kelainan ini akan menyebabkan gangguan pada penglihatan binokuler normal
sehingga pasien tidak bisa melihat secara stereoskopik. Ini akan menyebabkan keterbatasan
pasien dalam bidang bidang pekerjaan tertentu yang memerlukan presisi yang tinggi, seperti
pilot pesawat terbang, bidang pertanahan, mesin yang berputar cepat, olah raga dengan objek
yang berputar cepat dan lain-lain.
Disamping itu juga bisa mengakibatkan gangguan kepribadian dimana anak tersebut akan
merasa rendah diri dan menarik diri dari pergaulan karena cacat tersebut. Kedua akibat yang
merugikan ini sering tidak disadari oleh penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia kelainan ini sering diabaikan dan tidak dibawa berobat karena
menganggap kelainan ini sudah merupakan takdir dan tidak bisa diperbaiki/diobati, sehingga
strabismus ini sering juga dijumpai pada orang dewasa yang kadang-kadang dengan deviasi
yang cukup besar. Dinegara maju kelainan ini sudah jarang dijumapai pada orang dewasa
karena umumnya sudah dideteksi dan ditanggulangi pada usia anak-anak.

3
II. PENGLIHATAN BINOKULER DAN KESAN RUANG

Posisi objek yang menyenangkan untuk dilihat adalah pada posisi objek tersebut
terletak didepan dan selevel dengan mata. Pada orang dengan mata lurus dan berfiksasi pada
satu objek dengan kedua mata maka akan menerima bayangan pada kedua retina yang
bersamaan posisinya (koresponden).
Jika fungsi kedua matanya normal dan sama maka ia akan melihat kedua bayangan
tersebut sama dan menyatu baik ukuran, pencahayaan maupun warna objek tsb.
Masing-masing elemen retina yang sama yang menerima rangsangan tersebut merupakan
visual direction, dan fovea merupakan principal visual direction dengan tajam penglihatan
terbaik. Daerah retina lainnya merupakan secondary visual direction dan merupakan relative
visual direction.

Retinomotor values
Setiap objek yang terlihat oleh retina perifer ( relative visual direction”) akan
memberikan informasi keotak akan adanya suatu objek. Dengan adanya informasi ini maka
otak akan mengirimkan impuls ke otot ekstra okuler dan menggerakkan bola mata sehingga
bayangan jatuh ke fovea, gerakan yang terjadi sehingga bayangan jatuh di fovea dinamakan
motor fusion.
Keadaan yang menimbulkan motor fusion ini dinamakan retinomotor value.
Retinomotor value ini makin keperifer makin meningkat dan difovea retinomotor ini adalah
nol dan disebut juga retinomotorcenter atau retinomotor zero point

Fusi Sensoris
Adalah penyatuan bayangan dari dua bayangan yang koresponden menjadi satu
bayangan.

Retinal rivalry
Bila dua bayangan objek yang tidak sama jatuh pada daerah retina yang koresponden
maka fusi tak mungkin terjadi, dan yang timbul adalah “retinal rivalry” dimana bayangan
bergantian di supresi.

Gambar 1. Retinal Rivalry

4
Horopter
Theoretical horopter adalah titik-titik yang koresponden secara teoritis geometris,
yaitu bila titik-titik tersebut dihubungkan ke kedua pusat bola mata, maka sudut yang sama
besar terletak pada suatu lingkaran yang melalui pusat optik kedua mata dan lingkaran ini
disebut Vieth Muller circle.
Tetapi secara eksperimental semua titik-titik tersebut tidak jatuh pada lingkaran
tersebut tetapi pada suatu kurva yang disebut empirical horopter. Empirical horopter adalah
tempat (geometri) dari semua titik objek yang bayangannya jauh pada titik-titik diretina yang
koresponden pada suatu jarak tertentu.

Panum area
Adalah titik-titik yang berada diluar horopter yang masih memberikan penglihatan
binokuler tunggal. Panum area tidak hanya memberikan penglihatan binokuler tunggal tetapi
juga memberikan kesan tiga dimensi dari objek yang dilihat.

Gambar 2. Horopter

5
Stereopsis
Adalah penglihatan dengan kedua mata yang memberikan kesan ruang/kedalaman
(tiga dimensi)

Gambar 3. Stereopsis

Dasar fisiologi dari stereopsis


Stereopsis terjadi bila terdapat rangsangan secara bersamaan pada kedua retina yang
berbeda secara horizontal ( horizontally disparate retinal element ) yang masih terdapat
dalam panum area. Vertical displacement/vertical disparity tidak memberikan kesan ruang.
Luasnya daerah horizontal daerah panum disentral adalah kecil 6 – 10 menit busur dan
meningkat kearah perifir menjadi sekitar 30 – 40 menit pada 12 derajat dari fovea. Pada
random dot stereogram disparitas sebesar 2 – 3 derajat masih dapat difusikan. Fusi sensoris
dari dua bayangan yang tidak sama ini akan memberikan kesan tiga dimensi, bila bayangan
tersebut masih terdapat dalam area panum.
Kesan ini bisa dibuat secara artifisial :
 Dengan stereogram yaitu dengan membuat 2 buah eccentric circle yang dilihat oleh
masing-masing mata akan memberikan kesan kedalaman.
 Dengan membuat disparitas horizontal pada random dot stereogram juga akan
memberikan kesan kedalaman/tiga dimensi.

Makin besar disparitas retina horizontal makin besar kesan kedalaman dan makin
kecil disparitasnya makin kecil kesan kedalamannya. Disparitas terkecil yang masih
memberikan kesan ruang, besarnya tergantung dari alat yang dipakai mengukurnya.
Secara laboratoris disparitas terkecil yang bisa diukur besarnya adalah 2 – 7 detik busur dan
secara klinis 15 – 30 detik busur.

6
Pemeriksaan Stereoskopik

Stereogram
Lingkaran yang eccentric, dimana lingkaran yang sebelah dalam akan terlihat lebih
dekat dan lingkaran sebelah luar terlihat lebih jauh. Pada gambar lingkaran tengah
menjauh /bergeser ketemporal ( nasal disparity ). Terlihat lingkaran paling kecil terletak
didepan lingkaran tengah, lingkaran tengah dibelakang nasal disparity menimbulkan kesan
objek jadi jauh, temporal disparity menimbulkan kesan objek jadi dekat.

Gambar 4. Stereogram

Two pencil test (kualitatif)


Dipopulerkan oleh Lang. Caranya: pemeriksa memegang pensil secara vertikal
didepan pasien, pasien juga memegang pensil yang berada diatas pensil pemeriksa.
Kemudian pasien disuruh mempertemukan ujung kedua pensil tersebut. Dengan kedua mata
terbuka maka pasien bisa mempertemukan kedua pensil tersebut (lolos test), tetapi dengan
menutup salah satu matanya maka pasien tidak berhasil/gagal dengan test ini.

Gambar 5. Two Pencil Test

7
Titmus stereo test
Alat ini terdiri dari lalat untuk stereoskopik kasar , dan 9 lingkaran untuk ketajaman
yang lebih halus. Alat ini berupa kartu yang memisahkan mata secara optik, kartu ini
merupakan “vectograf”yang terdiri dari material polaroid dari 2 target yang dilukis/dibuat
dengan masing –masing target yang dipolarisasi 90 derajat. Yang bila dilihat oleh pasien
dengan kaca polaroid akan kelihatan lalat dalam tiga dimensi. Dengan polaroid, efek ini
dapat dibuat deretan binatang dengan ketajaman stereoskopik yang berbeda-beda
antara 40 – 800 dan stereoskopik kasar dengan ketajaman 3000 detik busur.

Gambar 6. Titmus Stereo Test

Random dot stereogram


Pada prinsipnya melihat gambar E dengan distribusi titik-titk yang dapat dilihat oleh
mata kanan dan mata kiri secara identik kecuali bagian tengahnya dibuat demikian rupa
sehingga terjadi sedikit pergeseran/perbedaan letak secara horizontal antara yang dilihat
mata kanan dan mata kiri, sehingga perbedaan ini menimbulkan disparitas retina horizontal
yang memberikan kesan 3 dimensi.

Gambar 7. Random Dot Stereogram

8
TNO test
Prinsipnya sama dengan random dot stereogram. Alat ini berupa buku yang tiap
lembarnya ada gambar yang dibentuk oleh titik-titik merah dan hijau yang tersusun demikian
rupa yang memberikan kesan tiga dimensi, bila dilihat dengan kaca mata merah-hijau .
Pada lembar permulaan terdapat gambar kupu-kupu yang merupakan objek dengan
stereoskopik kasar (2000 detik busur) yang bisa dilihat dengan satu mata ( tanpa kesan
ruang/3 dimensi), dan lembar selanjutnya terdapat gambar yang hanya dapat dilihat dengan 2
mata ( yang mempunyai ketajaman stereoskopik ).
Tiap lembar mempunyai tajam penglihatan stereoskopik dengan disparitas yang
berbeda-beda mulai dari yang halus (15 derajat busur ) sampai yang kasar ( 480 derajat
busur). Pemeriksaan dilakukan dengan memakai kaca mata merah dan hijau (hijau pada mata
kanan) pada jarak 40 cm dari mata pasien .
Test ini cukup menarik karena anak disuruh melihat gambar. Anak yang normal akan
dapat melihat gambar dengan ketajaman stereoskopik 60 detik busur atau lebih baik. Anak
dengan tajam penglihatan stereoskopik lebih jelek dari 40 detik busur akan terseleksi dan
diperiksa lebih lanjut untuk menentukan kelainannya ( kelainan refraksi, strabismus,
deprivasi atau terdapat kelainan organik). Test ini berguna untuk anak usia 2 ½ - 3 tahun.

Gambar 8. TNO Test

Lang test
Cara ini didasarkan gambar panografik dari suatu gambar dengan “ampaki ampakical
strip” yang dapat dilihat oleh masing-masing mata secara bergantian yang memberikan
“lateral displacement” dari bayangan pada retina sehingga menimbulkan kesan tiga dimensi
dan gambar ini ditempat kan pada kartu dengan random dot, dan anak disuruh melihat
gambar apa yang ampak pada lembar kartu tsb.(anak preferbal akan berusaha mengambil
objek gambar tsb.) Alat ini terdiri dari 2 kartu, kartu I dapat mengukur tajam penglihatan
stereoskopik dari 1200 s/d 550 detik busur dan kartu II dapat mengukur 600 s/d 200 detik
busur.

9
Gambar 9 . Lang Test

Frisby test
Test ini merupakan test stereoskopik secara umum yang tidak membutuhkan kaca
mata khusus (“dissociated glass”).Ini merupakan test klinik yang didasarkan kedalaman
yang sebenarnya. Test ini terdiri dari 3 kertas plastik bening (plate) dengan ketebalan yang
berbeda (6, 3 dan 1 mm), masing-masing plate terdiri dari 4 petak “random shape”. Satu
petak random mengandung satu bundaran (pola circle) yang terletak/tersembunyi disisi
lainnya/sisi berlawanan yang harus dideteksi/diketahui oleh pasien. Plate yang paling tebal
(ketebalan 6 mm) dengan disparitas yang paling besar diperiksa lebih dulu dengan
menempatkannya didepan latar belakang putih, dan pasien ditanya dimana letak bundaran
tersembunyi tersebut. (plate ini dapat diputar/dibalikkan untuk merobah posisi dari
bundaran). Jika plate I sudah dikenal dilanjutkan dengan plate II dst. nya. Disparitas dapat
ditingkatkan dengan cara mengganti plate dengan yang lebih tebal atau mengurangi jarak
test.

Gambar 10. Frisby Test

Bila test dilakukan pada jarak 40 cm maka disparitas akan berkisar antara 480 sampai
15 detik busur. Stereopsis normal adalah 50 detik busur, ini didapat bila pada pemeriksaan,
pasien mengenal plate dengan ketebalan 3 mm pada jarak 70 mm atau bisa mengenal plate
dengan ketebalan 1 mm pada jarak 40 cm. Waktu melakukan test, refleksi harus
diminimalisir dengan meletakkan plate tegak lurus dengan aksis visual pasien. Pasien tidak
boleh melakukan gerakan kepala yang berlebihan karena akan menimbulkan efek paralak.

10
Tajam penglihatan stereopskopik diperoleh dari jawaban yang benar dari hasil
pemeriksaan dari ke 3 lembaran tersebut. Alat ini dapat mendeteksi 65% anak dengan usia
dibawah 3 tahun.

Mayor amblioskop

Pada alat ini objek yang dilihat berupa gambar pada transparan yang ditempatkan
pada kedua tangan/tabung dari amblioskop, kedua tabung ini dapat diatur demikian rupa
sehingga objek dapat jatuh di kedua retina yang koresponden.

Gambar 11. Mayor Amblioskop

Objek ini bisa dilihat dengan kedua mata dan dapat memeriksa adanya:
 Persepsi Simultan
kesanggupan untuk menerima rangsangan penglihatan yang berasal dari 2 benda yang
berbeda diretina kedua mata secara serentak.
 Fusi
yaitu suatu proses penggabungan secara mental berdasarkan kemampuan otak untuk
mendapatkan suatu penglihatan tunggal yang berasal dari dua sensasi masing-masing
mata.
 Stereopsis
penglihatan dengan kedua mata yang memberikan kesan ruang/kedalaman/tiga
dimensi

11
III. POSISI DAN GERAKAN MATA

Ortoforia
Adalah kedudukan bola mata dimana kerja otot-otot mata dalam keadaan seimbang
sehingga memungkinkanterjadinya fusi tanpa usaha apapun dan penyimpangan ini tidak
berubah walaupun reflek fusi diganggu. Ortoforia ideal tak pernah ada (ajaib), pada
umumnya selalu ada foria (fisiologis).
Foria fisiologis:
 esoforia 1 – 2 prisma
 eksophoria 1 – 4 prisma
 hiperforia 0. 5 – 1 prisma

Dengan cover test : deviasi terkecil yang masih dapat diketahui 1 derajat. Deviasi
terkecil yang tampak secara inspeksi adalah 7 derajat.

Gambar 12. Cover Test

Heteroforia
Adalah penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi
dengan reflek fusi dan penyimpangan ini menjadi nyata bila reflek fusi diganggu.
Pemeriksaan dengan Cover-Uncover test (diperhatikan pergerakan mata yang ditutup) :
- Mata beregerak kedalam (setelah tutup dibuka)  Eksoforia
- Mata bergerak keluar  Esoforia
- Mata bergerak keatas  Hipoforia
- Mata bergerak kebawah  Hiperforia

12
Gambar 13. Cover – Uncover Test

Heterotropia
Adalah suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua
sumbu penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi dan penyimpangan ini tidak adapat
diatasi dengan tenaga fusi.
Pemeriksaan dengan Cover test (diperhatikan mata yang tidak ditutup) :
- Mata bergerak kedalam (setelah satu mata ditutup)  Eksotropia
- Mata bergerak keluar  Esotropia
- Mata bergerak keatas  Hipotropia
- Mata bergerak kebawah  Hipertropia

Kedudukan primer
Adalah kedudukan bola mata pada waktu melihat lurus kedepan pada jarak minimal 6
meter dengan posisi badan dan kepala tegak.

Duksi
 Abduksi  Peregerakan satu mata keluar/temporal
 Adduksi  Pergerakan satu mata kedalam/nasal
 Supraduksi/elevasi  Pergerakan satu mata keatas
 Infraduksi/depresi  Pergerakan satu mata kebawah
 Insikloduksi/intorsi  Pergerakan satu mata memutar kedalam
 Eksikloduksi/ekstorsi  Pergerakan satu mata memutar keluar

13
Gambar 14. Duksi

Versi
Adalah pergerakan kedua bola mata kearah yang sama secara bersamaan
- Dekstroversi  Pergerakan kedua mata kearah kanan
- Levoversi  Pergerakan kedua mata kearah kiri
- Supraversi  Pergerakan kedua mata keatas
- Infraversi  Pergerakan kedua mata kebawah

Gambar 15. Versi

Torsi
Adalah pergerakan bola mata dalam bidang sagital dengan sumbu antero-posterior.
- Dekstrosikloversi  Gerakan kedua mata pada sumbu sagital kekanan
- Levosikloversi  Gerakan kedua mata pada sumbu sagital kekiri

Gambar 16. Torsi

14
Vergen
Adalah pergerakan kedua mata secara bersamaan dimana sumbu penglihatan
bergerak kearah yang berlawanan.
- Konvergen  Kedua mata bergerak secara bersamaan kedalam/nasal.
- Divergen  Kedua mata bergerak secara bersamaan keluar/temporal
- Positif vertical divergen  Mata kanan bergerak keatas dan mata kiri bergerak kebawah
- Negatif vertical divergen  Mata kanan bergerak kebawah dan mata kiri bergerak keatas
- Insiklovergen  Kedua mata berputar pada sumbu anteroposterior kearah
dalam/nasal
- Eksiklovergen  Kedua mata berputar pada sumbu anteroposterior kearah
luar/temporal

Gambar 16. Vergen

Menetukan Besar Deviasi

Test Hirschbergh (Corneal Light Reflex)


Pemeriksaan dilakukan dengan menyinari (dengan senter) mata penderita pada jarak
33 cm. Diperhatikan pantulan sinar pada kornea.
- Normal/tak ada deviasi  Pantulan sinar ditengah pupil kedua mata
- Deviasi 15 derajat  Pantulan sinar dipinggir pupil mata deviasi
- dan ditengah pupil mata yang fiksasi
- Deviasi 30 derajat  Pantulan sinar pertengahan pupil dan limbus
- pada mata deviasi dan ditengah pupil mata
- yang fiksasi.
- Deviasi 45 derajat  Pantulan sinar dipinggir limbus mata yang
- deviasi dan ditengah pupil mata yang fiksasi.

15
Gambar 17.
Pada gambar 17. A : normal/ortoforia
B : Esotropia OS 15 derajat
C : Esotropia OS 30 derajat
D : Esotropia OS 45 derajat

Test Refleks Prisma Kirmsky


Prisma diletakkan pada mata yang fiksasi dengan basisnya berlawanan dengan deviasi
(base out untuk esotropia dan base in untuk eksotropia). Kekuatan prisma dinaikkan sampai
pantulan sinar pada kornea mata yang deviasi kembali ditengah pupil. Kekuatan prisma
tersebut merupakan besarnya deviasi mata.

Gambar 18. Test Refleks Prisma Kirmsky

16
Test Prisma Cover
Syaratnya fovea kedua mata masih berfungsi baik, pemeriksaan ini bisa untuk
menentukan besar foria dan tropia.Prisma diletakkan pada salah satu mata sesuai dengan
arah deviasi (base in untuk eksotropia/ eksoforia dan base out untuk esotropia/esoforia),
kemudian dilakukan penutupan mata secara bergantian. Kekuatan prisma dinaikkan sampai
tidak ada lagi pergerakan mata dengan penutupan secara bergantian tersebut. Besar kekuatan
prisma tersebut merupakan besar deviasi mata.

Gambar 19. Test Prisma Cover

Pemeriksaan dengan Amblioskop


Dengan mengatur tangan amblioskop sesuai dengan pantulan sinar dikornea (dengan
penyinaran bergantian dari amblioskop sehingga pantulan sinar tepat ditengah kornea pada
kedua mata) bisa dilihat besarnya deviasi pada skala yang ditunjuk pada amblioskop.

17
IV. ANATOMI DAN FUNGSI OTOT EKSTRA OKULER SERTA
HUBUNGAN FASCIA DENGAN ORBITA

Hubungan fascia dengan orbita

Gambar 20.

Dalam orbita
terdapat struktur

“musculofibroelastic” yang komplek disamping otot mata yang berfungsi menggantung bola
mata pada orbita dan juga disupport oleh bantalan-bantalan lemak.

Kapsula tenon (fascia bulbi)


Merupakan bagian terbesar dari sistem fasial yang merupakan rongga tempat bola
mata leluasa bergerak. Kapsula tenon membungkus bola mata yang kebelakang menyatu
dengan sarung N.Optikus dan kedepan menyatu dengan membrana intermuskuler 3 mm dari
limbus. Kapsula tenon juga memisahkan lemak orbita dalam “muscle cone” dengan sklera.
Otot-otot ekstra okuler menembus kapsula tenon pada lebih kurang 10 mm posterior dari
insersinya. Otot oblik menembus kapsula tenon di anterior.

Muscle cone
Muscle cone terletak posterior dari ekuator, dibatasi oleh otot rektus beserta
sarungnya dan membran intermuskuler dengan puncaknya pada annulus Zinni dan dasarnya
setengah bagian belakang bola mata. Dalam muscle cone terdapat otot-otot ekstra okuler,
sarung otot, n.optikus, ggl.silier, pembuluh darah silier dan membrane intermuskular.

Sarung otot
Masing-masing otot rektus dibungkus oleh sarung otot mulai dari origo sampai
insersinya.

Membrana Intermuskuler (septum)

18
Keempat otot rektus dihubungkan oleh jaringan tipis yang disebut membrana
intermuskuler. Membrana intermuskuler kedepan menyatu dengan konjungtiva pada lebih
kurang 3 mm dari limbus. Bagian posterior dari membrana intermuskuler memisahkan
jaringan lemak intra konal dan jaringan lemak ekstra konal.

Ligamen of Lockwood
Sarung otot dari otot oblik inferior berikatan dengan sarung otot rektus inferior,
penyatuan ini disebut ligament of Lockwood. Ligament ini juga berhubungan dengan kelopak
mata bawah.

Jaringan lemak (adipose tissue)


Mata pada rongga orbita juga disupport oleh jaringan lemak. Jaringan lemak diluar
muscle cone meluas kedepan sampai lebih kurang 10 mm dari limbus. Sklera dilindungi dari
jaringan lemak dalam muscle cone oleh kapsula tenon.

Check ligament
Adalah jaringan elastis yang mirip kipas yang menghubungkan kapsul otot dengan
kapsula Tenon

Otot – Otot Ekstraokuler


Terdapat 7 pasang otot ekstra okuler ( 4 otot rektus, 2 otot oblik dan 1 otot levator palpebra).

Otot Rektus Medial


Otot rektus medial berasal dari bagian medial annulus zinni dan berjalan sepanjang
dinding medial orbita dan berinsersi disklera 5.5 mm dari limbus. Panjang lebih kurang 40
mm, arkus kontak 7 mm, panjang bagian tendon 4.5 mm, luas insersi 10.3 mm, menembus
kapsula tenon pada 12 mm dari insersi. Otot ini merupakan otot ekstra okuler terbesar.
Didarahi oleh cabang a. oftalmika dan persarafan oleh divisi inferior N III. Fungsi : murni
adduksi

Gambar 20. Otot Rektus Medial

Otot rektus Inferior

19
Berasal dari bgn bawah annulus zinni (dibawah foramen optikum) dan berjalan
kebawah dan lateral sepanjang lantai orbita dan membentuk sudut 23 derajat dengan aksis
visual dan berinsersi pada sklera dibagian bawah depan bola mata lebih kurang 6.5 mm dari
limbus. Otot ini melekat dengan palpebra inferior melalui“fascial conection” dari sarung otot
dan bisa menyebabkan palpebra berobah pada operasi otot ini. Sarung otot ini juga
melekat dengan sarung otot oblik inferior melalui ligamen of Lockwood. Panjang otot lebih
kurang 40 mm, arkus kontak 6.5 mm.
Fungsi :
 Dalam posisi primer :
fungsi utama : depresi
fungsi sekunder : ekstorsi dan adduksi
 Dalam posisi adduksi 67 derajat :
fungsi utama : ekstorsi
fungsi sekunder : adduksi
 Dalam posisi abduksi abduksi 23 derajat:
fungsi : (murni) depresi

Gambar 21. Otot Rektus Inferior

Otot rektus lateral

20
Mempunyai 2 tempat asal dari annulus zinnia yang merentang dari bagian medial
fissure orbitalis superior dan juga dari bagian akhir tendon orbital superior dan inferior
kemudian berjalan bersamaan dengan dinding lateral orbita kedepan dan berinsersi pada
sklera 6.9 mm dari limbus. Panjang lebih kurang 40 mm , arkus kontak 12 mm, panjang bgn
tendon 7 mm. Luas insersi 9.2 mm dan menembus kapsula
tenon pada 15 mm dari insersi. Didarahi oleh cabang a. oftalmika, persarafan
dari N VI. Fungsi: menarik bola mata kelateral (abduksi).

Gambar 22. Otot Rektus Lateral

Otot Rektus Superior


Berasal dari bagian atas annulus zinni tepat dibawah asal m.levator palpebra. Otot ini
berjalan kedepan, atas dan lateral dan membentuk sudut 23 derajat dengan aksis visual dan
berinsersi pada sklera 7.7 mm dari limbus. Panjang otot 40 mm, arkus kontak 6.5 mm, bgn
tendon 6 mm, luas insersi 10.6 mm dan menembus kapsula Tenon pada 15 mm dari insersi.
Persarafan dari cabang superior N III. Perdarahan dari cabang a. oftalmika.
Fungsi :
 Pada posisi primer
Fungsi utama : elevasi
Fungsi sekunder : intorsi dan adduksi
 Pada posisi adduksi 67 derajat
Fungsi utama : intorsi (maksimal)
Fungsi sekunder : adduksi (minimal)
 Pada posisi abduksi 23 derajat
Fungsi : hanya elevasi

21
Gambar 23. Otot Rektus Superior

Otot Oblik superior


Berasal dari apek orbita dari periosteum yang menutupi os sphenoid tepat medial
dan atas dari foramen optikum. Ini merupakan otot yang terpanjang dan terbagi dalam 2
bagian :
 Bagian aktif panjangnya 32 mm,
 Panjang tendon 26 mm, arkus kontak 7 – 8 mm.
Dari origo otot ini berjalan kedepan dan atas sepanjang dinding medial orbita.
Setelah melewati trochlea ia berjalan kebawah belakang dan lateral dan membentuk sudut 51
derajat dengan aksis visual. Tendonnya bersinsersi pada kuadran “postero supero lateral”
dibelakang ekuator. Luas insersi 10-12 mm, disarafi N IV dan masuk ke otot pada 14 mm
dari origo. Perdaran dari cabang lateral a. oftalmika.
Fungsi :
 Dalam posisi primer
- Fungsi utama : intorsi
- Fungsi sekunder : abduksi dan depresi
 Dalam posisi adduksi 51 derajat
- Fungsi utama : depresi (maksimal)
- Fungsi sekunder : intorsi (sedikit)
 Dalam posisi abduksi 39 derajat
- Fungsi utama : intorsi
- Fungsi sekunder : abduksi

22
Gambar 24. Otot Oblik Superior

Otot Oblik inferior


Berasal anterior nasal lantai orbita (periosteum os maxilla) beberapa mm dibelakang
orbital rim dan beberapa mm lateral dari lobang duktus nasolakrimalis. Dari sini berjalan
kelateral, atas dan posterior dan membuat sudut 51 derajat dengan aksis membuat sudut 51
derajat dengan aksis visual. Ia lewat dibawah rektus inferior dan bersatu dengan perantaraan
sarung otot dalam Ligamentum of Lockwood. Ligamentum ini penting karena menopang
mata dalam orbita, bila ini terjepit pada fraktur lantai orbita akan menyebabkan gangguan
pada oblik inferior. Otot ini lewat dibawah rektus lateral dan berinsersi pada kuadran
“postero infero lateral” posterior dari ekuator.Panjang otot 37 mm, panjang tendon 1 mm,
arkus kontak 15 mm. Luas insersi 4-15 mm, saraf masuk keotot pada 15 mm dari insersi.
Disarafi oleh N III, pendarahan dari a. infra orbitalis dan cabang a.oftalmika.
Fungsi :
 Dalam posisi primer
- Fungsi utama : ekstorsi
- Fungsi sekunder : abduksi dan elevasi
 Dalam posisi adduksi 51 derajat
- Fungsi utama : elevasi (maksimal)
- Fungsi sekunder : ekstorsi (sedikit)
 Dalam posisi abduksi 39 derajat
- Fungsi utama : ekstorsi
- Fungsi sekunder : abduksi

23
Gambar 25. Otot Oblik Inferior

Sifat-sifat gerakan otot mata


Otot penggerak mata mempunyai sifat yang unik, yaitu gerakan yang cepat (twitch)
oleh otot yang berstruktur fibriler dan gerakan yang lambat felder struktur. Felder struktur
merupakan serat otot yang slow, tonic and stamina oriented dan cenderung disuperfisial
dekat kedinding orbita dan serat lebih kecil. Metabolisme aerobik, banyak mitikondria,
banyak kapiler, enzim oksidatif, innervasi dengan multiple grapelike (endgrape) ending .
Kontraksi lambat, halus dengan tingkat respon tergantung atas rangsangan berulang.
Fibriller struktur dari serat otot merupakan tipe otot skeletal yang sama dengan otot striata
dari badan. Gerakan cepat, serat otot lebih lebih besar dengan myelin dan letaknya lebih
dalam disentral dari otot. Biasanya mempunyai platelike (en plaque) nerve ending, enzim
glikolitik dan mitokondria sedikit. Serat otot berkontraksi cepat sebagai twitch respon
terhadap rangsangan tunggal dan berfungsi pada gerakan sakadik. 1 serat saraf mensarafi 3
serat otot mata (1:3) NIII: 1:2.7; NVI: 1:1.8; NIV: 1:1. 1 serat saraf mensarafi 140 serat
otot rangka (1:140)
Contraction time dari otot:
 Otot rektus medial 8 m sec.
 Gastroknemius 40 m sec
 Soleus 100 m sec

Kekhususan otot mata

24
Kekhususan otot mata antara lain :
1. Semua otot ekstra okuler mempunyai insersi yang konvek
2. Semua otot ekstra okuler mempunyai lebar insersi lebih kurang 9 – 10 mm
3. Otot hampir persis dibagi dua pada “center of rotation”
4. insersi ini semuanya lebih kurang 5 – 6 mm didepan “center of rotation” (kecuali otot
oblik)
5. Otot antagonis hampir sama besar
6. Besar otot :
- otot horizontal adalah yang terbesar
- otot vertikal lebih kurang 75% dari otot horizontal
- otot oblik lebih kurang 50% dari horizontal
7. Saraf masuk otot pada lebih kurang 1/3 dari origonya
8. Saraf oblik inferior masuk pada lateral persilangan dengan rektus inferior  bila kena
waktu operasi  gangguan pupil karena saraf simpatis melalui ini.
9. Resek rektus inferior menyebabkan fisura palpebra menyempit.
10. Reses rektus inferior menyebabkan fisura palpebra melebar.
11. Resek Rektus superior menyebabkan palpebra tertarik kedepan  fisura palpebra
menyempit, dan pada reses rektus superior akan mengakibatkan palpebra tertarik
keatas  fissure palpebra melebar. Efek reses/resek pada rektus superior terhadap
palpebra lebih kecil dari pada rektus inferior.
12. Operasi > 10 mm dari limbus  hati2 lemak ekstra konal
13. Hati-hati vena vortikosa pada operasi rektus vertikal
14. Hati-hati sklera tipis dibelakang insersi otot.
15. Bila terjadi “cocontraction” dari otot mata pada “Duane Syndrome” terjadi “backward
displacement” 1 – 2 mm.
16. Bila terjadi paralise semua otot maka akan terjadi “forward displacement”
eksoftalmus 2 – 3 mm.
17. Pada anak normal mata dapat berotasi keatas sejauh 45 – 50 derajat dan ini
membutuhkan kontraksi otot sepanjang 10 mm ( 1 mm kontraksi untuk 4.8 derajat)

V. PERSARAFAN YANG MENGENDALIKAN GERAKAN BOLA

25
MATA

Kontrol okulomotor pada supra nuklear adalah di kortek kontralateral lobus frontalis
kemudian serat saraf turun kebawah dan menyilang pada midbrain bagian kaudal dan
berakhir pada “pontin horizontal gaze complex” (“PPRF= Paramedian Pontine Reticular
Formation”, yang mengatur koordinasi gerakan gaze ipsilateral) dan terus ke:

 Nc N III yang terdapat dikedua sisi garis tengah dibawah aqueductus Sylvii dan
rostral dari midbrain pada tingkat/setinggi kolikulus superior  dari Nc N III serat
saraf N III melewati “red nucleus” dan aspek medial dari pedunkulus serebri
kemudian keluar dibagian ventral mesensefalon/midbrain, daerah ini dikenal dengan
fosa interpendunkularis dan lewat dibawah arteri serebralis posterior dan lateral dari
komunikan posterior  selanjutnya berjalan antara pinggir bebas tentorium dan
aspek lateral klinoid kemudian menembus dura didekat prosesus klinoideus
posterior masuk kesinus kavernosus  melanjutkan perjalanan kerostral didalam
bagian atas dinding lateral sinus kavernosus. dan disini terbagi menjadi dua divisi
yaitu divisi superior dan inferior dan masuk ke orbita melalui fisura orbitalis superior
terus ke :
- Cabang inferior mensarafi rektus medial,
rektus inferior, oblik inferior dan
parasimpatik ggl siliare (spinkter pupil)
- Cabang superior mensarafi rektus superior,dan levator palpebra

Gambar 26. Nervus III

26
 Nc. N IV terletak di substansia grisea mesensefalon sedikit lebih kaudal dari inti N
III. Dari inti ini serat N IV keluar dari mid brain melengkung ke dorsal dan
selanjutnya kemedial lagi untuk menyilang garis tengah di velum medulare anterior.
Ia muncul pada permukaan dorsal sisi kontra lateral. Tepat dibelakang kedua
kollikuli.  kemudian ia berjalan ke ventral melalui tepi bebas pedunkulus serebri
untuk kemudian tiba pada tempat diantara pedunkulus serebri dan lobus temporalis.
Disini ia menembus daun bebas tentorium serebeli untuk selanjutnya berjalan
kedepan melalui dinding lateral sinus kavernosus. Ia meninggalkan dinding tersebut
untuyk menuju ke rongga orbita melalui fisure orbitalis superior dan mengakhiri
perjalanan pada m.oblikus superior. (N IV merupakan satu-satunya dari nervus
kranial yang keluar dari dorsal.  selanjutnya saraf ini berjalan kelateral mengitari
tektum midbrain dan menyilang arteri serebellaris superior dan mencapai pinggir
tentorium dimana ia menembus dura dan masuk ke sinus kavernosus. N IV masuk
ke orbita melalui fisura orbitalis superior diatas annulus dan mensarafi m.oblik
superior).

Gambar 27. Nervus VI

 Nc N VI terletak bagian kaudal dari “paramedian pontin tegmentum” (PPRF)


dibawah lantai ventrikel IV, serat efferent N VI berjalan ke ventral dan keluar pada
“ponto medullari junction” dan muncul di batang otak pada batas bawah dari pons
dan menyilang arteri sebellaris inferior dan menembus dura pada klivus lebih kurang
2 cm dibawah klinoid posterior  kemudian N VI melintas diatas sinus petrosus
inferior dan masuk sinus kavernosus  dan masuk orbita melalui fissure orbitalis
superior  mensarafi m. rektus lateral.

27
VI. KELUHAN, GEJALA SENSORIS, DAN ADAPTASI PADA
STRABISMUS

Bila terjadi deviasi dari aksis visual maka akan terjadi perpindahan bayangan objek
pada retina mata yang berdeviasi.
Keadaan ini menyebabkan fusi sensoris tidak mungkin terjadi dan keadaan ini akan
mengakibatkan:
1. Bayangan objek yang berbeda akan jatuh pada dua fovea (“visual direction yang
sama”) dan bayangan tersebut berdempet ”confusion”
2. Bayangan yang sama jatuh pada daerah retina yang berbeda (pada fovea pada satu
mata dan ekstra fovea pada mata lainnya dan akan terlihat objek ganda  diplopia
3. Kedua hal ini merupakan koreksi fisiologis dari sensoris terhadap aksis visual yang
tidak sejajar, tetapi keadaan ini akan menimbulkan gangguan pada sistem visual dan
mata akan mengatasinya dengan 2 mekanisme (“adaptive sensory mechanism”)
yaitu supresi dan “anomalous correspondence”. Adaptasi sensoris ini terjadi bila
deviasi terjadi pada usia “immatur visual system” (periode sensitif) yaitu usia
sebelum 8-9 tahun (pada usia ini perkembangan fisiologis visual sistem sudah
sempurna)

RETINAL CORRESPONDENCE
Adalah element-element pada kedua retina mempunyai arah penglihatan yang sama.
Elemen-elemen retina yang koresponden adalah elemen-elemen dari kedua retina yang
memberikan penglihatan binokuler tunggal terhadap suatu objek penglihatan.
Elemen-elemen retina yang tidak koresponden akan menimbulkan penglihatan
ganda/diplopia.

ABNORMAL RETINAL CORRESPONDENCE


Adalah keadaan dimana kedua fovea tidak lagi mempunyai arah penglihatan yang
sama. Artinya kedua fovea mempunyai arah penglihatan yang berbeda, dimana fovea dari
mata yang berfiksasi mempunyai arah penglihatan yang sama dengan elemen retina perifir
pada mata yang deviasi. ARC ini merupakan defence mechanism untuk mengatasi diplopia
akibat deviasi mata.

Ada 2 tipe abnormal retinal correspondence:


Harmonius abnormal retinal correspondence (full adaptation),
Pada keadaan ini retina mata yang non fiksasi berfungsi sebagai fovea baru/pseudo
fovea (zero point). Pseudo fovea/zero point (fiksasi eksentrik) ini terjadi bila deviasi sudah
berlangsung lebih kurang 1 tahun (Moody). Disini subjective angle sama dengan nol dan
angle anomaly sama dengan deviasi.

28
Unharmonius abnormal retinal correspondence
Pada keadaan ini belum sampai terjadi full adaptation dan retina tersebut belum
menjadi zero point. Disini angle anomali lebih kecil dari deviasi.

PemeriksaanRetinal koresponden

1. “Red Glass Test” untuk ARC :


Bila pada pasien dengan aksis visual tidak sejajar/deviasi (heterotropia) diletakkan
filter merah pada mata yang fiksasi dan mata lainnya melihat kesumber sinar putih
maka akan terjadi beberapa respon yang didapatkan
 Pasien melihat 2 sinar (merah dan putih) dan jarak kedua sinar sama dengan besar
deviasi berarti terdapat deviasi dengan NRC, “cross diplopia” pada eksotropia dan
“uncross diplopia” pada esotropia. (gambar A dan B)

 Pasien hanya melihat 1 sinar (merah) maka terjadi supresi pada mata yang deviasi
(OD, gambar C). Dalamnya supresi bisa diukur dengan meningkatkan densitas dari
filter merah tsb. akan muncul kembali diplopia.
Untuk menentukan apakah pada supresi ini terjadi NRC atau ARC,
dapat diketahui dengan menimbulkan diplopia dengan prisma base up
pada mata deviasi dengan pemasangan “red glass test for supression “.
Bila sinar putih akan terlihat dibagian bawah kanan  NRC
Bila sinar putih terlihat vertikal dibawah sinar merah  ARC
(gambar D)

Gambar 28.

29
2. Test After image
Pasien melihat kealat after image dikamar gelap. Mata normal disinari dengan sinar
horizontal dan mata yang deviasi disinari dengan sinar vertikal selama 20 detik:
- NRC : after image bersilangan ditengah karena mempunyai arah visual yang
sama/normal (B).
- ARC pada Esotropia OD: kedua fovea tidak mempunyai arah visual yang sama,
“vertical after image” bergeser kekiri. (C).
- ARC pada Eksotropia OD: “vertical after image” bergeser kekanan (D)

Gambar 29.

3. Test Cupper (bifoveal)


Pasien berfiksasi dengan mata yang baik pada sentral skala Maddox melalui cermin
yang bisa diputar sehingga mata yang ambliop bisa melihat lurus kedepan. Kemudian
bintang dari visuskop diproyeksikan ke fovea mata ambliop. Letak bintang pada pada
skala Maddox merupakan besarnya “angle of anomaly”.

Gambar 29.
Gambar 30

30
4. “Bagollini striated glass test”

Lensa Bagollini adalah lensa yang mempunyai alur-alur /strip-strip sehingga sinar
yang melalui lensa ini terlihat sebagai garis. Lensa dengan strip-strip ini ditempatkan
demikian rupa sehingga strip itu pada posisi 45 derajat pada mata kiri dan 135 derajat
pada mata kanan. (A) Pemeriksaan dilakukan pada jarak 33 cm atau 6 meter. Bila
pada cover test tidak ada pergeseran dan fiksasi sentral maka pasien tersebut NRC.
(B) Pada gambar C terdapat supresi foveal OD Pada gambar D terdapat supresi foveal
dan peripheral OD

Gambar 31.

5. Amblioskop

DIPLOPIA
Diplopia terjadi bila pasien melihat dua bayangan dari satu objek.
Apabila suatu objek merangsang elemen retina yang “noncorresponding” menyebabkan
objek terlihat pada dua lokasi/tempat yang berbeda dan ini akan menimbulkan penglihatan
ganda atau diplopia.

Diplopia fisiologis
 “Crossed (heteronymous diplopia)”
 “Uncrossed (homohymous diplopia)”

31
Gambar 32.

Semua objek yang terletak diluar horopter akan terlihat double/ganda (diplopia).
Diplopia yang timbul karena objek terletak diluar horoper disebut diplopia fisiologis Objek
yang terletak lebih dekat (didepan)dari titik fiksasi akan terlihat sebagai “Crossed Diplopia”
karena titik objek akan jatuh pada “noncorresponding point” retina bagian temporal. Dan
objek yang terletak dibelakang lebih jauh (dibelakang) titik fiksasi akan terlihat sebagai
“Uncrossed Diplopia”, karena titik akan jatuh pada “noncorresponding point” bagian nasal
retina.Diplopia pada heteroforia dan heterotropiaSebagian orang dengan heteroforia masih
dapat mempertahankan fusi dengan mempertahankan aksis visual tetap paralel dengan
adanya tonus otot. Bila aksis visual tidak bisa lagi dipertahankan tetap paralel maka objek
bayangan jatuh pada titik yang “noncorresponding” maka akan menimbulkan diplopia
Pada esotropia/esoforia akan terjadi “Uncrossed Diplopia” karena bayangan objek jatuh
pada bagian nasal retina dan pada eksotropia terjadi “Crossed Diplopia”
Test untuk diplopia:

1. “Red glass test”


Pada esotropia, satu mata (kanan) diberi kaca merah dan mata lainnya tidak, kemudian
pasien disuruh melihat suatu objek. Maka pasien akan melihat objek merah disebelah
kanan (uncrossed diplopia), karena bayangan objek jatuh dibagian nasal tina. Pada
eksotropia akan terjadi “crossed diplopia” karena bayangan objek jatuh ditemporal retina.

Gambar 33.

32
2. “Maddox cross/Maddox scale”
Digunakan untuk mengukur deviasi (kwantitatif). Filter merah diletakkan pada salah satu
mata (pada mata kiri) Pengujian dilakukan pada jarak 5 m dan bisa juga pada jarak 1 m
dengan angka skala lebih kecil. Pada gambar terlihat titik merah pada skala 4 (uncross)
berarti esotropia 4 derajat.

Gambar 34.

3. “Single maddox rod”


Satu mata (kanan) diberi maddox rod dan pasien disuruh melihat sinar lampu, pasien
akan melihat lampu dan garis. (Gambar A,B)
Pada eksoforia pasien akan melihat garis sebelah kiri lampu (“crossed diplopia”)
Pada esoforia pasien akan melihat garis sebelah kanan lampu (uncrossed diplopia).
Pada hipoforia garis sebelah atas lampu Pada Hiperforia garis dibawah lampu.

Gambar 35.

33
4. “Maddox double rod” (untuk test siklodeviasi)Gambar: Untuk mengukur besar
deviasi pada siklodeviasi Batang Maddox (merah dan putih) dipasang pada kedua
Mata (merah dikanan) dengan sudut 90 derajat, dan prisma Dengan power 6 prisma
diletakkan pada salah satu mata dengan posisi base down untuk memisahkan garis
merah dan putih. Kalau ada paralise otot oblik (SO kanan) maka garis merah terlihat
miring. Kemudian batang Maddox diputar oleh pemeriksa sehingga kedua garis
sejajar. Angka yang didapat pada trial frame menunjukkan besarnya siklo
deviasi.

Gambar 36.

5. WFDT
WFDT terdiri dari empat titik sinar, dua sinar hijau, satu merah dan satu sinar putih.
Pasien memakai kaca mata merah dan hijau, biasanya kaca mata merah di mata
kanan. Pemeriksaan dilakukan pada jarak 1/3 meter dengan senter dan jarak 6 meter
dengan kotak yang mempunyai empat titik sinar. Pemeriksaan pada jarak:
 1/6 meter  (proyeksinya di fovea 12 derajat).
 1/3 meter (proyeksi 6 derajat).
 ½ meter (proyeksi 4 derajat)
 1 meter (proyeksi 2 derajat)
 Pemeriksaan pada jarak 6 meter dengan m emakai kotak WFDT diproyeksikan
1.25 derajat pada fovea.

Mata kanan akan melihat titik merah, mata kiri akan melihat titik hijau dan titik putih
akan dilihat oleh mata kanan maupun kiri.
Pasien dengan fusi normal akan melihat 4 titik. Pasien dengan supresi/ambliopia satu
mata akan melihat 2 titik merah atau 3 titik hijau. Pasien parese otot (diplopia) akan
melihat 5 titik dengan memakai kaca mata merah dan hijau

34
Pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan kekuatan fusi motorik.
Pada pemeriksaan dengan mengurangi sinar/mematikan lampu dikamar pemeriksaan
kita perhatikan pemeriksaan WFDT (pada kamar digelapkan), jika pada pemeriksaan
masih terdapat fusi berarti fusi motoriknya baik dan bila terjadi diplopia
menunjukkan fusi motoriknya kurang.

Gambar 37.

6. Test Bagollini
Gambar:

Gambar 38.

Pada esotropia akan terlihat V (kaki V sebelah kiri dilihat oleh mata kiri (OS) dan kaki
V sebelah kanan dilihat oleh mata kanan (OD) karena terjadi “Uncrossed diplopia”.
Sebaliknya pada eksotropia akan terlihat A dengan kaki A sebelah kiri dilihat oleh
mata kanan dan kaki A sebelah kanan dilihat oleh mata kiri karena terjadi “Crossed
diplopia”

35
AMBLIOPIA
Ambliopia merupakan kelanjutan dari supresi yang terjadi dalam masa perkembangan
fungsi penglihatan (dari lahir sampai usia antara 5 – 6 tahun). Istilah ambliopia berasal dari
bahasa Yunani yaitu “ Amblyos “ yang berarti redup, pudar atau suram, dan “ Ops “ berarti
mata. Ambliopia (fungsional) adalah tajam penglihatan (setelah koreksi) kurang atau sama
dengan 20/30 pada satu atau kedua mata atau perbedaan dua baris antara kedua mata tanpa
adanya kelainan patologis. 10% dari amblopia fungsional merupakan kelainan organik yang
sulit dideteksi kelainan patologis maupun strukturnya.
Berdasarkan tajam penglihatan, ambliop dapat dikelompokkan sbb:
 Ambliopia ringan: bila visus antara 20/30 – 20/70
 ,, sedang : bila visus 20/80 – 20/120
 ,, berat : bila visus 20/120 – lebih jelek

Orang normal dapat mempergunakan kedua matanya secara serentak dan


memfokuskan bayangan diretina serta menyatukan kedua bayangan tersebut dipusat
penglihatan. Pada orang ambliop terdapat gangguan proses tersebut yang mengakibatkan
penglihatan jadi kabur dan pada keadaan berat dapat menimbulkan kebutaan. Insidens
kelainan ini 2 – 2. 5% dari jumlah penduduk dan 0. 5 – 3. 5% dari anak usia sekolah dan
prasekolah.

Mekanisme dasar terjadinya ambliopia adalah.


1. Adanya gangguan penglihatan binokuler
2. Kurang tegasnya bayangan yang jatuh di fovea
3. Gabungan kedua faktor diatas

Gangguan pada mekanisme tersebut dapat disebabkan antara adalah:


1. Strabismus ( Ambliopia strabismik )
Mata bayi yang baru lahir jarang yang lurus, tetapi sering berobah – obah antara orto,
eso atau eksoforia. Posisi mata ini menjadi lurus pada usia 3 – 4 bulan, karena pada
waktu ini sistem vergen mulai berfungsi. Pada strabismus yang timbul pada anak yang
berusia muda menyebabkan bayangan pada mata tersebut akan ditekan ( supresi), dan
yang berfungsi hanya mata yang lurus saja. Supresi yang berlangsung lama akan
menimbulkan ambliopia.

36
Gambar 39.

Supresi yang terjadi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencegah timbulnya


“diplopia” (objek yang sama terihat pada dua lokasi ruang) dan “confusion” (dua bayangan
dari objek yang berbeda jatuh diretina (fovea) kedua mata tidak bisa disatukan oleh otak.
Penurunan tajam penglihatan umumnya makin berat bila deviasinya makin besar.
Sebagian ahli mengatakan penurunan tersebut tidak selalu berhubungan dengan besarnya
deviasi. Ambliopia strabismik lebih sering ditemui pada esotropia dibandingkan
eksotropia. Pollard mendapatkan pada 100 pasien ambliopia 53% dengan esotropia, 9%
eksotropia dan 38% dengan mata lurus.Helveston mendapatkan ambliopia lebih banyak pada
esotropia (80%) dibandingkan eksotropia(17%). Ini kemungkinan disebabkan pada esotropia
deviasinya konstant sedangkan eksotropia sering intermitten. Strabismus yang timbul
sesudah usia 4 tahun visus biasanya lebih baik dari 20/50 Bila timbul pada usia kurang dari
2 tahun tajam penglihatan 20/100 – 20/200 (Moody)

Gambar 40.

37
2. Kelainan refraksi (ambliopia refraktif)
a. Anisometropia ( kelainan refraksi yang berbeda antara kedua mata ).
Disini ambliopia terjadi karena bayangan yang berbeda pada kedua mata ( aniseikonia )
tidak bisa disatukan (fusi) oleh otak, sehingga satu bayangan (yang lebih kabur)
disupresi. Perbedaan kelainan refraksi yang dapat menimbulkan ambliopia tersebut
adalah Sferis1 1.25 D , astigmat 1.50 D Tanlamai dan Goss mendapatkan:
 50% ambliopia pada “hypermetropic anisometropes” 2D dan 100% ambliop pada
“anisometropic hypermetropes” 3. 5D Ia juga mendapatkan 50% ambliopia pada
“myopic anisometropes” 5D dan 100% pada “myopic anisometropes” 6. 5D.

Gambar 41.

b. Iso ametropik (kelainan refraksi sama pada kedua mata)


Ambliopia isoametropia relatif jarang, biasanya terjadi pada hipermetropia, tetapi bisa
juga terjadi pada myopia dan astigmat. Kelainan ini biasanya disebabkan kelainan
refraksi yang tinggi dan simetris pada kedua mata. Pada keadaan ini terjadi bayangan
yang kabur pada kedua fovea dan mengakibatkan ambliop pada kedua mata. Ambliop
pada iso ametropik tidak seberat pada anisometropia karena supresinya lebih ringan dan
hasil pengobatan biasanya lebih baik.

3.Deprivasi ( adanya hambatan dari sinar yang masuk kedalam mata )


Keadaan ini bisa disebabkan oleh blefaroptosis kongenital, kekeruhan kornea, katarak
kongenital. Pada ambliopia deprivasi ada 3 faktor yang mempengaruhi beratnya penurunan
tajam penglihatan yaitu:
- Usia timbulnya hambatan sinar masuk kedalam mata.
Makin dini timbulnya hambatan makin berat ambliopianya.
- bila timbul pada usia diatas 30 bulan  visus baik

38
- bila timbul usia dibawah 30 bulan  visus jelek
Deprivasi yang timbul pada usia dibawah satu tahun, baik terjadi satu atau kedua mata
akan menimbulkan ambliopia yang berat.
Pada kasus ini pengobatan harus segera dilakukan pada pasien ini, kalau terlambat
akan terjadi ambliopia yang permanen.
- Lamanya hambatan berlangsung
Makin lama serangan berlangsung makin berat ambliopianya
- Beratnya hambatan, apakah hambatan total atau sebagian.
Hambatan total lebih berat dari sebagian.

Gambar 42.

Visus pada ambliop deprivasi yang terjadi pada satu mata biasanya lebih berat , karena
adanya faktor bayangan kabur pada fovea dan faktor gangguan penglihatan binokuler.

Gambaran klinik / diagnosa


1. Tajam penglihatan
Tajam penglihatan pada mata ambliop yaitu bila visus 20/30/lebih jelek atau bila
terdapat perbedaan tajam penglihatan berkurang 2 baris snellen.
2. “ Crowding phenomen”
Pasien dengan ambliopia akan lebih jelas melihat huruf yang “single” dari pada baris
( dengan baris visus 6/30 tapi dengan “single “ bisa 6/6
3. “ Neutral density filters”
Pemasangan “ neutral density filter” pada mata dengan kelainan organik akan
menurunkan tajam penglihatan sedangkan pada mata ambliop tidak menurunkan tajam
penglihatan, kadang kadang penglihatan bertambah baik.

39
4. Pola fiksasi
Fiksasi biasanya diluar foveola, bisa “eccentric fixation” (“fully adapted”) dan bisa
“eccentrc viewing”( “not fully adapted”)

Karena kelainan ini timbulnya pada usia prasekolah maka agar penanggulangan lebih
berhasil sangat diperlukan deteksi dini secara masal.
Beberapa cara deteksi secara masal untuk anak usia dibawah 7 tahun .
1. “TNO stereoscopic test” ( random dot stereograms)
Alat ini dapat memeriksa anak usia 2 1/2 – 3 tahun.
Anak yang normal akan dapat melihat gambar dengan ketajaman stereoskopik 60
detik busur atau lebih baik. Anak dengan tajam penglihatan stereoskopik lebih jelek
dari 40 detik busur akan terseleksi dan diperiksa lebih lanjut untuk menentukan
kelainannya, apakah ada kelainan refraksi, strabismus, deprivasi atau terdapat
kelainan organik.

2. “Photo screening”
Cara ini mendeteksi adanya faktor penyebab ambliopia, strabismus,anisometropia,
kekeruhan mediadan kelainan refraksi .
Pemeriksaan dilakukan dengan mendudukkan anak pada pangkuan ibunya pada jarak
1 meter dari kamera. Kemudian diambil fotonya. Hasil foto dianalisa secara
komputerisasi.
Cara ini cepat, mudah, “portable” dan tidak infasif.

1. Mata normal (kiri atas)


“gray retinal reflex” uniform dan simetris, “corneal light reflex asimetris”
2. Hiperopia (kanan atas)
Terdapat kresen pada bagian bawah atau bagian kanan
3. Anisometropia (tengah kiri)
Adanya kresen yang tidak sama bentuknya antara mata kanan dan mata kiri.
4. Miopia (tengah kanan)
Terdapat kresen pada bagian atas atau bagian kiri.
5. Kekeruhan media (kiri bawah)
Adanya “dark spot” pada “gray raflex”
6. Astigmat (kanan bawah)
Besar kresen yang tidak sama antara mata kanan dan kiri
7. Strabismus ( bawah sekali)
Terdapat perbedaan terang dari “gray reflex” dan “corneal light reflex” asimetris.

40
Gambar 43.

Pengobatan
Tujuan pengobatan pada ambliopia adalah mengusahakan fungsi penglihatan mata
yang ambliop baik kembali pada usia sedini mungkin.
1. Koreksi kelainan refraksi
Pada ambliop ringan yang disebabkan anisometropia dan meridional ambliopia bisa
sembuh dalam
beberapa bulan tanpa oklusi.
Pickwell, melaporkan penyembuhan 7 dari 14 pasien ambliopia anisometropik pada anak
usia 8 tahun dengan pemberian kaca mata (full koreksi).
2.Oklusi ( menutup mata )
Cara ini merupakan yang terbaik dan mudah.
Mata yang baik ditutup untuk memaksa mata yang ambliop berfungsi kembali.
Penutupan dapat dilakukan dengan :
- elastoplast
- “ opaque contact lens “
- “ classic black patch occluder “
- kaca mata yang sebelahnya ditutup
Penutupan yang terlalu lama pada usia dini dapat menimbulkan dapat menimbulkan
ambliopia pada mata yang baik/normal sebelumnya ( “ reverse ambliopia “/ ”occlusion
amblyopia”)

41
Untuk mencegah reverse/occlusion amblyopia dilakukan “alternate occlusion” sbb:
(Von Noorden) Anak usia 1 tahun: tutup mata yang sehat 3 hari diikuti penutupan mata yang
ambliop 1 hari ( 3:1).
Anak usia 2 tahun tutup mata sehat 4 hari mata ambliop 1 hari (4:1) Untuk anak usia 3 – 4
tahun penutupan mata ambliop lebih lama. Bila oklusi 3:1 atau 4:1 gagal memperbaiki visus
maka penutupan mata ambliop diperpanjang dan dikontrol ulang dengan interval paling lama
4 minggu. Pengobatan dilakukan sampai visus mata ambliop sama dengan mata lainnya atau
pengobatan gagal setelah oklusi selama 3 bulan tak ada perbaikan.Ambliopia cenderung
kambuh kembali sebelum anak berusia 8 – 10 tahun, untuk mencegahnya dilakukan dengan
penalisasi.
Park & Friendly mengobati 117 pasien dengan cara ini dan mendapatkan hasil 86%
pasien tajam penglihatan menjadi baik. Elmer, Fahmy dan Nyholen mengobati 17 pasien
dengan menggunakan lensa plus tinggi sebagai oklusi dan mendapatkan tajam penglihatan
menjadi baik pada 16 pasien.

3. Pleoptik
Cara ini berfungsi untuk merangsang fovea dengan sinar khusus.melalui amblioskop.
Pengobatan dengan cara ini mulanya dianggap lebih baik, tetapi belakangan ternyata
kurang berhasil dibandingkan dengan oklusi.

4. Penalisasi
Dengan cara ini prinsipnya salah satu mata dikaburkan dan mata lainnya diusahakan
melihat dengan jelas untuk melihat dekat, dan dengan cara yang sama dapat juga
dilakukan waktu melihat jauh.
a. Pemberian atropin tetes
Mata yang baik diberi atropin tetes sehingga kabur melihat dekat dan memaksa mata
ambliop untuk fiksasi dekat.
Knapp & Capobianco memberikan atropin pada mata yang baik dan pilokarpin pada
mata ambliop. Cara ini berguna pada pasien dengan ambliopia ringan.
b. Pemberian kaca mata
Prinsipnya dengan pemberian kaca mata, mata ambliop dijadikan terang untuk melihat
dekat dan mata lainnya untuk melihat jauh.
Bila penglihatan jadi baik dan visus seimbang maka diberi dua kaca mata dengan lensa
+3 untuk masing-masing kiri dan kanan dan dipakai bergantian untuk mencegah
kambuhnya ambliopia.

5. Kombinasi atropin dan kaca mata

6. CAM vision stimulator


Ini merupakan suatu alat baru yang berfungsi merangsang mata anak yang ambliop dengan
cara khusus.

42
Prinsip caranya adalah anak disuruh mengikuti/mengulang gambar yang ada pada suatu
transparan yang dibawahnya terdapat cakram beruji hitam putih yang berputar dengan
sumber cahaya dibawahnya. Cakram tersebut dapat ditukar dengan cakram lainnya yang
ukuran jerujinya berbeda/ ukuran yang lebih kecil/halus bila ada perbaikan. Selama
pengobatan mata yang baik ditutup. (jadi merupakan gabungan dengan oklusi).

7. Pemberian obat levodopa/carbidopa (L-dopa)


Levodopa merupakan prekursor dopamine yang berfungsi sebagai neurotransmitter yang
terdapat pada otak dan retina, dan carbidopa adalah “periferal dekarbxylase inhibitor” yang
mencegah penghancuran levodopa diperifir sehingga memungkinkan lebih banyak
levodopa melewati blood-brain barrier.
Leguire R.E dengan pemberian L-dopa terjadi perbaikan tajam penglihatan sementara,
dengan pemberian L-dopa dan oklusi akan mempermudah/mempercepat perbaikan tajam
penglihatan.
Dosis Levodopa/Carbidova antara 100 mg/25 mg dan 400 mg/ 100 mg. Maksimum
“serum level” setelah 30 menit – 1 jam, dan menurun jadi 50% setelah 2 – 4 jam.
] 1 jam setelah pemberian obat, visus membaik dari 20/159  20/83, dan perbaikan visus
ini menurun 5 jam setelah pemberian obat.

43
VII. AKOMODASI DAN KONVERGENSI

Tenaga akomodasi yg biasa digunakan adalah 2/3 dari seluruh kemampuan, sedang
1/3 lagi sebagai tenaga cadangan.

AC/A RATIO
Setiap terjadi akomodasi akan menimbulkan konvergensi Jika deviasi jauh dan
deviasi dekat sama atau lebih kecil dari 10 prisma maka AC  normal Jika deviasi dekat
lebih besar dari deviasi jauh sama kecil atau lebih besar dari 10 prisma maka  AC/A
abnormal tinggi.
Cara mengukur AC/A ratio:
1. Metode Heteroforia.
AC/A = PD + n - o PD = jarak pupil
D n = deviasi dekat

0 = deviasi jauh
D = jarak fiksasi dekat dengan dioptri
Eso  diberi tanda (+)
Exo  diberi tanda (-)

2. Metode Gradien . (lebih baik dari cara heteroforia)


AC/A = 1 - 0
D
0 = deviasi asli
l = deviasi dengan lensa
D = kekuatan lensa
3. “Fixation disparity” (oleh Ogle), disini AC/A langsung didapat
4. Metode Haploskopik.

AC/A: - normal 3 – 5 prisma


- > 5  eksessif
- < 3  insufisiensi

Helmhotz: mengataka bahwa AC/A didapat dari pengalaman, oleh karena itu dalam
derajat tertentu ada saling ketidak ketergantunga/terkaitan antara keduanya.

Hubungan AC/A ratio dan umur (beberapa pendapat)


 AC/A ratio cukup stabil sampai usia mulai presbiop
 AC/A sedikit menurun dengan bertambahnya umur (Alpen)

44
 AC/A meningkat salama 20 tahun (dari usia 30 – 50 tahun), ini disebabkan
peningkatan impuls untuk akomodasi. (Fry).
 AC/A ratio tetap tak berobah dari usia 16-52 th dan meningkat secara nyata
pada usia pre presbiop sampai permulaan presbiop.(Breinin&Chin)
Mekanismenya terdapat di sentral maupun perifir, mekanisme sentral merupakan usaha
impuls untuk akomodasi.

Pengaruh obat pada AC/A ratio:


 Pada pemberian obat miotik terjadi akomodasi dan ini akan menyebabkan impuls
dari sentral berkurang dan akibatnya AC/A berkurang, jadi disini terdapat pengaruh di
perifir. Sebaliknya sikloplegi terjadi meningkatkan AC/A ratio.
 Metanol dan barbiturat meningkatkan tonik konvergen dan mengurangi AC/A ratio.

Pengaruh ortoptik pada AC/A ratio:


 Latihan ortoptik sedikit meningkatkan AC/A sementara dan setelah 1 tahun kembali
ke nilai asli.

“Proximal convergence” adalah konvergensi yang ditimbulkan oleh kesadaran akan


objek dekat. Susunan saraf pusat yang mengatur “proximal convergence” ini diduga terletak
pada mid brain, dan terdapat juga sejumlah hubungan ke kortikal, subkortikal dan daerah
retina perifir.
Hubungan antara miosis terhadap akomodasi dan konvergen
Perobahan fiksasi dari jauh kedekat akan menimbulkan akomodasi, konvergensi dan
kontriksi pupil (miosis).
Burian&Schubel mendapatkan miosis terjadi/berhubungan dengan konvergensi dan
tidak dengan akomodasi. Batas jumlah konvergensi yang menimbulkan miosis adalah 3 – 3. 5
derajat.

“CONVERGENCE INSUFFICIENCY”
Ini merupakan penyebab terbanyak dari “ocular discomfort/musculer astenopia”.
Kelainan ini merupakan kekurang mampuan mata untuk konvergensi untuk melihat dekat,
sehingga deviasi divergen lebih besar waktu melihat dekat dari pada melihat jauh.
Keadaan ini sering berhubungan dengan kesulitan akomodasi, yang mungkin
disebabkan oleh hipermetrop tinggi (S+5/lebih) yang tidak dikoreksi, sehingga tidak ada
usaha untuk akomodasi dan juga miop tinggi yang memang tidak membutuhkan akomodasi
untuk melihat dekat.
Disamping itu juga bisa timbul pada pula permulaan presbiopia dan setelah
permulaan memakai kaca mata bifokal, karena menurunnya “accomodative convergensi”.

45
VIII. ESODEVIASI

Gambar 44.

Klassifikasi esotropia berdasar besar deviasi (J.Lang)


1. 0 - 1 derajat  “Anomali of ortho position”
- “true fixation disparity”
- “supression from anisometropia”
- “fusion disturbances”
2. 1 – 5 ,,  “Microstrabismus”
3. 5 – 12 ,,  “Small angle tropia’s”
4. 12 – 18 ,,  “Blind spot mechanism”
5. > 18 ,,  “Large angle esotropia”

ESOTROPIA:
1. ESOTROPIA AKOMODATIF:
 Esotropia akomodatif refraktif
 Esotropia akomodatof non refraktif
 Esotropia akomodatif partial
 Esotropia hipoakomodatif
2. ESOTROPIA NON AKOMODATIF
a. ESOTROPIA INFANTIL/KONGENITAL
b. ESOTROPIA DIDAPAT:
 “Basic esotropia”
 Non akomodatif konvergen ekses
 Esotropia pada myopia
 Esotropia non paralitik akut yang didapat
3. ESOTROPIA INSUFISIENSI DIVERGEN

ESOTROPIA AKOMODATIF
Kebanyakan pasien esotropia didapat terjadi akibat gangguan hubungan normal
antara akomodasi dan konvergen. Karena hubungan ini belum ada pada bayi dan baru

46
berkembang pada usia 2 tahun bersamaan dengan maturasi fovea secara anatomis dan juga
berhubungan dengan kemampuan retina melihat bayangan kabur), maka kebanyakan
esotropia ini timbul pada usia 18 – 36 bulan.
Walau demikian ditemukan esotropia akomodatif pada usia 5 bln (Baker,Park) dan
terlama usia 6 tahun (Costembader)
Anak dengan hipermetrop S+3D akan menimbulkan konvergensi 15 prisma (AC/A
normal 1-5 PD tiap akomodasi 1D), konvergensi 15 prisma masih dapat diatasi oleh tenaga
fusi divergen ( Baker&Hoyt).
Timbul (refractif dan non refractif) biasanya pada usia 2 – 3 tahun (bisa timbul pada
usia lebih muda. Terjadi/timbul biasanya gradual/pelan dan biasanya melalui stadium
intermitten

Esotropia akomodatif refraktif (Normal AC/A ratio)


Adalah esotropia yg disebabkan oleh konvergensi yang berlebihan yg timbul akibat
akomodasi untuk mengatasi hipermetrop (biasanya +2 D atau lebih)

Gambaran klinik:
Umumnya timbul pada usia 2 – 3 tahun. Pada tahun I mata masih lurus karena
kemampuan akomodasi belum sempurna. Pada usia 2-3 tahun kemampuan akomodasi
meningkat untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jelas. Anak hipermetrop +2D bisa jelas
melihat jauh tetapi perlu akomodasi 5D untuk melihat dekat.
Gambaran klinik dimulai dengan fase intermitten 1 – 3 tahun (ambliopia biasanya
blm ada) dan kemudian menjadi esotropia konstan (terdapat ambliopia). Baker& Park,
mengatakan 50% dari pasien yang mulanya terko ntrol dengan kaca mata kemudian
berkembang menjadi esotropia non akomodatif.

Etiology :
Terjadinya deviasi karena adanya hubungan antara akomodasi dan konvergansi akibat
hipermetropia.
Pada pasien dengan hipermetropia yang tidak dikoreksi akan terjadi akomodasi untuk
mendapatkan bayangan yang jelas, dan akomodasi ini akan menimbulkan konvergensi. Jika
fusional divergen tidak mencukupi maka akan terjadi esodeviasi.

Esotropia akomodatif non refraktif (High AC/A ratio)


Merupakan bentuk esotropia dengan akomodatif yang berlebihan terhadap akomodasi
yang terjadi (high AC/A)
Jika AC/A =6, maka akan terjadi esotropia 12 D untuk jauh dan 30D untuk dekat.

Gambaran klinik:
 Ditandai khas dengan esotropia lebih besar waktu melihat dekat dari melihat jauh.

47
 Pasien ini bisa dengan emetropia, hipermetropia maupun miopia.

Diagnosa :
Ditegakkan dengan adanya esodeviasi waktu melihat dekat setelah kelainan refraksinya
dikoreksi.

Esotropia akomodatif parsial


Etiologi: campuran akomodatif dan non akomodatif.

Gambaran klinik’
Masih terdapat esotropia setelah diberikan kaca mata untuk koreksi hipermetropnya
atau setelah diberikan kaca mata bifokal maupun miotik untuk melihat dekat.

Terapi :
Setelah faktor akomodatifnya dikoreksi, sisanya dilakukan operasi.Von Noorden
melakukan operasi untuk komponen non akommodatif nya saja.

“hypo accomodative esotropia”


Esotropia ini terjadi karena tenaga akomodasi yang kurang, sehingga terjadi usaha
untuk akomodasi yang berlebih untuk mengatasi kelemahan akomodasi ini, ini
mengakibatkan terjadi konvergensi yang berlebihan.
Gambaran klinik
- Kelainan refraksi kecil
- NPC menjauh (lebih besar)
- Deviasi dekat >deviasi jauh

Pengobatan esotropia akomodatif:


Goal untuk pengobatan adalah mengurangi esotropia menjadi 8 PD atau lebih kecil
(dengan deviasi ini masih bisa terjadi fusi sekurang-kurangnya peripheral fusion)
1. Segera memberikan full koreksi untuk hipermetropnya
“Residual esotropia” <15 prisma diberikan terapi prisma. “Residual esotropia” >15
prisma dilakukan operasi, “Full correction” diberikan untuk anak usia kurang dari 6 tahun,
tetapi bila diberikan pada anak usia diatas 6 tahun akan menyebabkan penurunan visus untuk
jauh dan jarang bisa ditolerir, tetapi karena dengan koreksi kurang dari total hipermetropnya
mata biasanya bisa lurus karena visusnya sudah tajam/jelas.
Meskipun memakai kaca mata dengan “full correction” dengan “fulltime”
direkomendasikan untuk pengobatan esotropia akomodatif refraktif baik yang full maupun
yang partial, ada pendapat yang mengatakan pengobatan seperti itu mengancam emetropisasi
seperti pada binatang percobaan.
Lowery et al mengemukakan terdapat hubungan antara normal “emetropization and
accommodative esotropia”. Esotropia akomodatif memperlihatkan sedikit pengurangan dari
48
hipermetrop spherisnya sampai usia 7 tahun, dimana setelah itu terjadi sedikit
pergeseran/perobahan menjadi myopic. Efek pemakaian kaca mata fulltime pada pasien ini
sulit ditentukan.
Namun sebagian ahli mata punya goal, yang paling penting untuk pengobatan anak
adalah perbaikan dan mempertahankan tajam penglihatan, kelurusan mata dan stereopsis
yang “excellent”. Pengurangan kaca mata koreksi pada hipermetrop sedang dapat
meningkatkan fusinonal divergen yang akan mempertahankan kelurusan mata ntanpa kaca
mata. Pengurangan refraksi yang cepat akan mengembalikan esotropianya yang bisa pula
menimbulkan ambliopia.
2. Untuk highAC/A rasio
Diberikan kaca mata bifocal (Rosenbaum, Bifokal diberikan bila deviasi dekat lebih =/>
10 prisma dioptri)
3. Miotika: Phospholin (0.125%, anak<6 bln 0.5%), dengan miotik terjadi miosis secara
topikal sehingga tidak terjadi konvergensi dari otot ekstra okuler.
4. Ortoptik untuk memperbesar amplitude fusi divergen
5. Operasi untuk partial esotropia

Operasi standard: yaitu deviasi diukur yaitu deviasi jauh ditambah deviasi dekat (dalam
keadaan full koreksi) dibagi 2 (rata-rata deviasi jauh dan dekat)  sering terjadi
underkoreksi (“success rate” 75%)
Augmented formula: Sudut deviasi diukur rata-rata antara deviasi dekat tanpa koreksi dan
deviasi dekat dengan koreksi (mis. deviasi dekat tanpa koreksi 50 prisma dan deviasi dekat
dengan koreksi 30 prisma, maka sudut deviasi adalah 40 prisma dioptri), denga cara ini
“success rate” 90%

Cara “Augmented formula” lainnya adalah dengan prisma adaptation


Pakai prisma koreksi kemudian follow up untuk 1 - 2 minggu. Kalau esotropia masih timbul
lagi prisma dinaikkan lagi dan follow up 1 -2 minggu lagi, kalau timbul lagi  naikkan lagi
prisma dan follow up lagi sampai deviasinya stabil, baru dilakukan operasi dengan besar
deviasi tsb. Dengan cara ini “success rate” naik menjadi 85%

Prognosa :
Baik, mata akan jadi lurus untuk beberapa tahun dan penglihatan binokuler akan
berkembang.

ESOTROPIA KONGENITAL/INFANTIL
Esotropia infantil adalah suatu esotropia manifes yang timbul sejak lahir sampai usia 6 bulan.
Fiksasi mata sampai usia 4 bulan deviasi mata belum stabil (Helveston dkk)
Esotropia kadang-kadang berobah jadi eksotropia secara spontan antara usia 6 bl – 1th
(Marshall Park)
Teori terjadinya strabismus
49
Teori Worth:
Penyebab yang essensial dari strabismus adalah defek dari ketidak kemampuan fusi yang
terjadi sejak kongenital.

Teori Chavasei:
Chavase yang keberatan dengan teori ini, dan mengemukakan “Reflex teori”: Fusi
jelas sesuatu yang didapat, yang merupakan respon motorik dari mata berdasarkan
“kondisioning reflex” akibat penggunaan mata tersebut.
Chavase percaya bahwa perkembangan baik sentral maupun perifir dipengaruhi oleh
reflek binokuler. Gangguan dari reflek ini mengakibatkan suatu deviasi relatif dari aksis
visual .
Pengaruh dari proses ini akan berakhir setelah selesainya perkembangan (“plasticity
periode”) dan terapi untuk memperbaiki penglihatan binokuler setelah masa ini tidak lagi
berguna/berhasil.

Teori Keineri:
Teori lain yang lebih kuat adalah teori Keiner, yang mengatakan bahwa faktor
penyebab dari strabismus adalah kelainan dari “optomotor reflex” , dimana “optomotor
reflex” menetapkan posisi relatif mata pada perkembangan postnatal. Ia menemukan
“monocular duction reflex” dan reflek konvergen timbul atau bagian dari “proprioceptive
reflex pathway” sedangkan “binocular reflex” untuk versi timbul atau bagian dari “vestibular
reflex pathway” . Keiner menyimpulkan dari penelitiannya bahwa semua bayi potensial
tejadi strabismus dan kemungkinan kejadian ini adalah pada usia 18 bulan pertama jika tidak
ada pengaruh dari faktor endogen dan eksogen.
Gambaran klinis yang tetap:
 Timbul pada usia sejak lahir sampai usia 6 bulan
 Sudut deviasi biasanya besar (30 prisma atau lebih)
 Sudut deviasi stabil
 Mula-mula alternating dengan “crossed fiksasi”
 Sistem saraf pusat normal
 “Asymetric optokinetic nystagmus”

Gambaran klinis yang bervariasi:


 Ambliop sering terjadi (lebih kurang 40%)
 Kelainan refraksi kebanyakan hipermetrop (bisa miop)
 Duksi/versi: “defective abduction” dan “excessive adduction”
 Hubungan dengan deviasi vertical: sering dengan overaksi oblik inferior
 A or V pattern
 Nistagmus laten

50
 Hubungan dengan kelainan mata lain: 90% esotropia kongenital dengan “dissociated
vertical deviasi”.
 Kelainan posisi kepala
 Heriditer

DD antara esotropia kongenital dan parese N VI (abduscen palsy)


1. Dengan memutar anak dengan memfiksasi kepala “up right posisition”, maka mata
anak akan abduksi kearah yang berlawanan dengan arah gerakan putaran kepala
(dilihat oleh pemeriksa ke II)
2. Dengan menutup satu mata beberapa hari  maka abduksi akan timbul pada mata
lain.

PENGOBATAN:
 Pengobatan ambliopia
 Operasi
 “Chemodenervasi” (Botulinum toxin)

Operasi pada deviasi 50 PD atau lebih kecil

RESES MR DAN RESEK


ESOTROPIA RESES MROU RESEK LROU
15 PD 3 mm 4 mm
20 ,, 3.5 ,, 5 ,,
25 ,, 4 ,, 6 ,,
30 ,, 4.5 ,, 7 ,,
35 ,, 5 ,, 8 ,,
40 ,, 5.5 ,, 9 ,,
50 ,, 6 ,, 9 ,,

(Rosenbaum A.L & Santiago A.P)


Reses bi medial:
15 PD 3 mm
20 ,, 4 ,,
25 ,, 4.5 ,,
30 ,, 5 ,,
35 ,, 5.5 ,,
40 ,, 6 ,,
45 ,, 6.5 ,,
50 ,, 7 ,,

51
Resek bi lateral
15 ,, 3.5 ,,
20 ,, 4.5 ,,
25 ,, 5.5 ,,
30 ,, 6 ,,
35 ,, 6.5 ,,
40 ,, 7.5 ,,
45 ,, 8.5 ,,
50 ,, 9 ,,

Deviasi yang lebih dari 50 PD perlu operasi pada tiga otot.


Deviasi yang lebih dari 75 PD memerlukan operasi pada keempat otot.

Operasi untuk deviasi > 50 prisma dioptri/“large angle esotropia”(Scott W.E. et al)
Melakukan operasi pada 3 atau 4 otot
Deviasi pre “Bimed recess” “lateral resect” “bilateral rescet”
Operative (mm) dr limbus (mm) (mm)
55 PD 11 4–5 -
60 ,, 11 6 -
65 ,, 11 7 -
70 ,, 11 - 5
75 ,, 11 - 6
80 ,, 11 - 7
90 – 100 ,, 11 - 8

Dengan cara ini angka keberhasilan pada deviasi rata-rata 65 PD adalah 64.5%

“Bimedial recess” (Hess & Calhoun): - 6 mm  efek koreksi 58 PD


- 7 mm  ,, ,, 72 ,,
- 8 mm  ,, ,, 90 ,,

Recess conjunctiva sampai ke insersi otot akan menambah efek recess 1 -1.5 PD
per mm recess otot

HASIL OPERASI
Von Noorden tak sependapat bahwa tujuan operasi pada esotropia kongenital hanya untuk
kosmetik, kita harus berusaha untuk menjadikan mata lurus setelah visus menjadi sama.
Operasi dikatakan berhasil bila posisi mata jadi ortoforia +/- 10 PD.

Hasil yang ideal esotropia kongenital adalah:


52
 Ortoforia/heteroforia asimptomatik untuk jauh dan dekat.
 Visus kembali normal pada kedua mata
 Fusi perifir dengan amplitudo normal
 “Gross stereopsis”

Sayangnya hasil tersebut jarang didapat, hasil yang banyak diperoleh adalah:
 Secara kosmetik baik/dengan “small residual esotropia”
 Adanya fusi perifir
 Dengan ARC
 Terdapat “small foveal supression “
 Besarnya foveal supression kurang atau sama dengan 2 derajat (pada mata deviasi)

Hasil terhadap “binocularity”:


- 0 - 6 bulan dari 20 pasien  binocularity 20 (100%)
- 7 – 12 bulan ,, 46 ,,  ,, 46 (100%)
- 13 - 24 bulan ,, 24 ,,  ,, 23 (96%)
- 25 – 79 bulan ,, 17 ,,  ,, 7 (48%)
Operasi < 2 tahun banyak memperoleh hasil stereopsis dan fusi
Operasi > 2 tahun kurang ,, ,, ,, dan ,,
Operasi usia 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan hasilnya hampir sama.

 Anak-anak yang matanya lurus setelah operasi esotropia pada usia dini sering dengan fusi
perifir dengan NRC, tapi tak pernah dengan fusi sentral
 Pasien yang hanya memperoleh perbaikan kosmetik dengan operasi tanpa fusi perifir
kemudian akan timbul lagi deviasi dengan bertambahnya umur dan biasanya timbul
eksotropia sekunder.
 “Single binokuler vision” tidak akan diperoleh bila hasil operasi deviasi tidak menjadi orto
+/-10 prisma.
 Fusi tidak diperoleh bila operasi dilakukan pada usia > 4 tahun.

Ing M.R. dalam penelitiannya pada 34 pasien esotropia kongenital dengan operasi yang
berhasil (posisi mata setelah operasi ortho +/- 10 PD).
 Hasil stereoskopik post op esotropia kongenital 40 detik busur sangat jarang
diperoleh, kebanyakan hasil stereoskopik 200 – 3000 sec arc.
 Pasien yang dioperasi usia 6 bulan semuanya memberikan hasil penglihatan
binokuler.
 Operasi pada usia 12 atau 24 bulan memberikan hasil binokuler yang tinggi dan
secara statistik hasil keduanya tidak ada perbedaan.
ESOTROPIA INSUFISIENSI DIVERGEN
53
Adalah esodeviasi lebih besar waktu melihat jauh dan lebih kecil waktu melihat dekat.
Esotropia insufisiensi divergen ditandai dengan esotropia dengan deviasi kecil waktu melihat
jauh yang disertai diplopia (esotropia ini bisa konstan atau intermitten) dan waktu melihat
dekat mata lurus dengan fungsi binokuler normal.
Klinis :
 Intermitten /konstan esotropia
 Low AC/A
 Karakteritik:
- Umumnya terdapat pada usia muda atau dewasa
- Timbul secara pelan/gradual
- Diplopia waktu melihat jauh dan normal waktu melihat dekat.
- Esodeviasi jauh (8 - 30 PD, rata2, 16 PD) > esodeviasi dekat (4-18 prisma)
- Dekat bisa ortoforia/normal heteroforia atau esodevisi sudut kecil
- Deviasi sama besar kesemua arah
- Duksi dan versi normal
- Amplitudo fusi divergen menurun untuk jauh maupun dekat.
 Tidak ditemui kelainan neurologis

Etiologi :
- Idiopatik
- Secara hipotesis diduga terdapat kerusakan pada pusat divergen yang berhubungan
dengan lesi fokal pada Pons dan Midbrain atau “cranio vertebral junction”.
- Meskipun etiologi belum diketahui, pada pasien usia tua diduga disebabkan oleh
kelainan vascular.
- Kelainan ini bisa juga disebabkan sekunder karena kelainan neurologis.

DD “Insufisiensi divergen” dan Paralise divergen


 Pada insufisiensi divergen tidak dapat kelainan neorologis, pada paralise divergen
ditemukan kelainan neurologist/riwayat trauma, tumor pontin atau tumor intra
kranial.
 Pada insufisiensi divergen didahului dengan esoforia waktu melihat jauh (mungkin
disebabkan suatu anomali posisi waktu istirahat yang kemudian jadi manifest.
 Pada paralise divergen terdapat lesi organik pada pusat divergen atau pada jalur
persarafan divergennya.

Terapi:
Relatif sederhana dan efektif.
1. Karena insufisiensi divergen merupakan kelainan yang “self-limited”, 40% sembuh
dalam beberapa bulan.
2. Dengan memakai kaca mata prisma base out dengan power sesuai deviasi jauh untuk

54
mendapatkan penglihatan tunggal untuk melihat jauh, (dengan memakai kaca ini
tidak mempengaruhi single vision untuk dekat). Kemudian power prisma diturunkan
secara bertahap secukupnya dengan tetap menjaga penglihatan binokuler yang
nyaman tanpa diplopia, sampai posisi normal kembali.
3. Pada pasien yang tidak memberikan respon dengan prisma dilakukan reseksi kedua
otot lateral. biasanya diperlukan reseksi kecil (4 mm) kedua rectus lateral.

IX. EKSODEVIASI

55
Gambar 45.

Faktor penyebab dari


kelainan ini:
 Faktor
“Innervasional imbalance” yang menyebabkan gangguan hubungan bolak balik antara
mekanisme konvergen dan divergen, dimana divergen lebih merupakan proses aktif dari
pada proses relaksasi dari konvergen.(Duane)
 Faktor orbita (Weiss 1896)
Dengan berkembangnya orbita maka orbita menjadi lebih dalam dan ini mempengaruhi
panjang insersi dari otot horizontal sehingga mempengaruhi keseimbangan antara aksi
rektus medial dan rektus lateral.
 Faktor mekanik dan anatomis/statik(Burian)
 Kombinasi factor mekanis dan inervasional
Pendapat yang banyak diterima adalah merupakan kombinasi factor mekanis dan
inervasional ini. (Duane &Bielschowsky)

EKSOTROPIA INTERMITTEN
Eksotropia intermitten biasanya timbul pada usia bayi dan anak-anak, dan bisa timbul
pada usia beberapa bulan. Pada eksotropia ini disebabkan kelainan “motor innervasional”
yang terjadi pada masa bayi, dan pada sebagian pasien membaik dengan bertambahnya umur.
Eksodeviasi pada pasien ini dikontrol secara intermitten oleh mekanisme fusi, sehingga
deviasinya terjadi secara intermitten dan orang tua bayi sering menyadari kelainan ini
setelah bayi berusia 6 bulan. Deviasi tipe ini merupakan eksotropia yang terbanyak
ditemukan secara klinis dan lebih kurang 50% dari pasien.,wanita lebih banyak dikenai dari
laki-laki Eksotropia intermitten merupakan kelanjutan dari eksoforia dan selanjutnya menjadi
eksotropia konstan.
Faktor-faktor yang membantu perobahan ini:
a. Supresi hemiretinal bilateral.
Teori ini beranggapan bahwa kemampuan untuk mensupresi temporal vision
menyebabkan terjadi divergen.
b. Teori lain mengemukakan bahwa kelainan ini disebabkan karena “innervasional
imbalance” hubungan bolak balik yang kacau antara mekanisme konvergen dan divergen.
c. Menurunnya tonik konvergen dengan bertambahnya usia, dan hilangnya kekuatan
akomodatif, serta terjadinya divergen orbita secara gradual pada perkembangan anak
menyebabkan rusaknya fusi konvergen pada pasien intermitten eksotropia.
d. Faktor perobahan mekanis dan anatomis seperti orientasi, bentuk dan besar dari orbita,
besar dan bentuk bola mata, volume dan kepadatan dari jaringan retrobulber serta fungsi

56
otot mata yang dipengaruhi oleh insersi, panjang, elastisitas, susunan anantomis dan
struktural serta kondisi dari fasia dan ligament dari orbita juga diduga merupakan faktor
penyebab bersama dengan faktor innervasional dan mekanikal.
e. Faktor keturunan juga berperan
f. Faktor lain yang juga mungkin ikut berperan adalah ibu yang merokok waktu hamil, berat
waktu lahir yang kurang dan kelainan kraniofasial.

Berbeda dengan eksoforia murni yang timbul bila fusi diganggu, pada eksotropia
intermitten deviasi bisa terjadi secara spontan menjadi manifest. Dalam fase foria mata akan
lurus dengan fusi yang baik dan stereoskopik yang normal. Pada fase tropia mula-mula
timbul diploipa dan sering terjadi adaptasi kortikal berupa supresi dan korespondensi retina
yang abnormal dan ambliopia terutama pada anak usia dibawah 10 tahun.
Deviasi terjadi karena pada fase tropia ini akibat fusi yang jelek yang timbul karena
lelah, ngelamun pada keadaan sakit/flu, dan pada orang dewasa/tua sering manifest akibat
minum alkohol atau minum obat penenang. Pada follow up selama 3 ½ tahun, penyakit ini
yang tidak diobati didapatkan menjadi progresif 75% dari 51 pasien , 9% menjadi lebih
buruk dan 16% membaik.(Von Noorden) Hill’s et al mendapatkan dari 48 pasien tidak
memperlihatkan perobahan deviasi yang signifikan dalam follow up selama 11 tahun ( 2
pasien menjadi eksotropia konstan)

Gambaran klinik
 Serangan biasanya pada usia 2 – 3 tahun;
 Penglihatan kabur, astenopia, kelelahan waktu membaca dan kadang-kadang ada
diplopia.
 Pada anak yang lebih besar dan dewasa, juga didapatkan foto phobia dan juling waktu
kena sinar matahari yang disebabkan oleh usaha menghilangkan diplopia dan
“confusion”.
 Kelurusan mata masih bisa dipertahankan oleh masih adanya fusi.
 Deviasi biasanya manifest pada waktu “visual inatension” seperti: lemah, selama sakit,
ngelamun, bangun dari tidur, anak yang sedang dimarahi.
 Pada usia anak-anak deviasi mata biasanya lebih besar waktu melihat jauh dari pada
melihat dekat/deviasi menjadi manifest bila objek penglihatan dijauhkan
 Pada orang dewasa, besar deviasi jauh dan dekat biasanya sama meskipun kontrol fusi
masih baik
 Pada beberapa pasien intermitten eksotropia berlanjut menjadi eksotropia konstan.
 Pada anak berusia < 10 tahun bisa terjadi supresi dan ARC.
 Namun pada waktu mata lurus terdapat NRC dan stereoskopik derajat tinggi atau
menurun.
 Ambliuopia jarang terjadi jika eksotropia intermitten tidak berkembang menjadi
eksotropia konstan

57
Pemeriksaan klinik
Anamnesa mengenai riwayat penyakit yang lengkap tentang:
 usia serangan mulai,
 apakah eksotropia berkembang menjadi konstan
 berapa sering ekstropia terjadi

Pemeriksaan
Pemeriksaan dengan prisma dan “alternate cover test” untuk jarak 6 meter dan 30 cm, juga
perlu dilakukan pada jarak 100feet (30m) - 200 feet( 60m).

Kategori dari pemeriksaan eksotropia sbb:


 “Good control”: Eksotropia manifes hanya setelah dilakukan “cover test” dan segera
terjadi fusi kembali tanpa mengedip atau refixasi
 “Fair control”: Eksotropia manifest setelah fusi diputus dengan cover test dan pasien
kembali fusi hanya setelah mengedip atau refiksasi
 “Poor control”: Eksotropia manifest secara spontan dan tetap manifest untuk waktu
lebih lama.

KLASIFIKASI:
1. “Basic Intermitten Exotropia”
Bila deviasi jauh dan dekat lebih kurang sama dalam batas 10 PD dioptri dan AC/A
normal.
2. “Divergence excess”
 “True divergence excess”
Eksodeviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat (> 10PD)
 “Simulated divergence excess”
Pada tipe ini mulanya deviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat, tetapi setelah
dilakukan test oklusi selama 30 – 60 menit deviasi dekat bertambah (lebih 10 PD)
dari jauh. Contoh, deviasi jauh 30 PD ekso dan deviasi dekat 10 PD. Setelah
dilakukan patch test 30 menit deviasi jauh 30 PD dan deviasi dekat menjadi 25 PD.
Ini terjadi karena fusional tonic convergence dihilangkan secara pelan dengan oklusi
monokuler sehingga deviasi jauh dan dekat menjadi sama.

3. “Convergence insufficiensi”
Pada tipe ini eksodeviasi dekat lebih besar dari deviasi jauh (lebih dari 10 PD) dan
pasien mempunyai AC/A dan amplitudo fusi yang rendah

Pengobatan

58
Non bedah (biasanya tidak efektif kecuali untuk “convergence insufficiency”)
 Koreksi kelainan refraksi, overkoreksi untuk myopia ((biasanya 2 – 4D).
Pemberian lensa minus atau kaca bifokal dapat mengontrol deviasi secara efektif dan
tidak memerlukan terapi operasi pada sebagian kecil pasien. Pada hipermetrop ringan
sampai sedang tidak rutin dikoreksi karena akan menambah deviasi , sedang hipermetrop
> 4D diberikan koreksi (dengan koreksi menjadikan bayangan jadi jelas dan ini akan
merangsang akomodasi)
 Terapi ambliopia.
“Part time occlusion” pada mata non deviasi berguna pada pasien usia muda sebagai anti
supresi terutama pada anak usia < 4 tahun.
 Ortoptik untuk “convergence insufficiensy”
Untuk deviasi < 20 PD terapi ortoptik memberikan hasil baik/sukses dibandingkan
dengan operasi. “Fusional convergence training” merupakan terapi terbaik pada pasien
dengan convergence insuffisiensi.
Pengobatan dengan ortoptik yang terdiri dari terapi anti supresi/ dan latihan fusi
konvergen dapat digunakan secara tersendiri dan dapat di kombinasi dengan “patching”,
lensa minus atau operasi.
 Prisma base out untuk “exerise” dan prisma base in untuk “relaxacing prisma”
Terapi dengan prisma base in dapat mengembangkan fusi tetapi terapi ini jarang dipakai
karena akan mengurangi amplitudo fusi konvergen.
 Chemodenervasi dengan botulinum toksin

EKSOTROPIA KONSTAN
Etiologi
 Dari eksotropia intermitten berkembang menjadi konstan, biasanya deviasinya besar.
 Eksotropia congenital
o Biasanya timbul sebelum usia 6 bulan, biasanya pada eksotropia ini sudut deviasi
besar.
o Sering berhubungan dengan kerusakan pada saraf atau kelainan kraniofasial.
o Sering disertai kelainan sistemik dan kelainan mata lainnya
o Fiksasi bifoveal dan stereopsis biasanya jelek.
 Eksotropia akibat kelainan sensoris
Penurunan tajam penglihatan pada satu mata dapat menyebabkan eksotropia sensoris
seperti: kekeruhan kornea, kekeruhan lensa, atropi atau hipoplasi n. optikus, lesi makula.
Eksotropia ini lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua atau dewasa.
 Konsekutif eksotropia, eksotropia yang terjadi setelah operasi esotropia.

Terapi operasi

59
Kebanyakan pasien dengan eksotropia akhirnya memerlukan operasi. Operasi
dilakukan pada deviasi 15 PD atau lebih.Untuk memperoleh hasil sensoris yang baik
sebaiknya operasi dilakukan pada usia sebelum 5 – 7 tahun.
Pada eksotropia intermiten reses bilateral dari rektus lateral merupakan terapi yang
terbanyak.. Pada “basic intermitten exotropia” lebih sering dilakukan terapi reses rektus
lateral dikombinasi resek rektus medial ipsilateral.

EKSOTROPIA INTERMITEN/KONSTAN
EKSOTROPIA (AAO)
Deviasi Reses LROU Resek MROU
15 PD 4 mm 3 mm
20 ,, 5 mm 4 mm
25 ,, 6 mm 5 mm
30 ,, 7 mm 6 mm
40 ,, 8 mm 6 mm

Deviasi Resesss LR dan Resek MR


15 PD 4 mm 3 mm
20 ,, 5 mm 4 mm
25 ,, 6 mm 5 mm
30 ,, 7 mm 6 mm
40 ,, 8 mm 6 mm
50 ,, 9 mm 7 mm
60 ,, 10 mm 8 mm
70 ,, 10 mm 9 mm
80 ,, 10 mm 10 mm

Untuk deviasi besar:


Terapi operasi tradisional
- 45 - 80 PD  Reses LR 6 – 8 mm dan resek MR 6 mm pada satu mata dan Reses
LR 6 – 8 mm pada mata lainnya
- 85 PD/lebih  Reses LR 8 mm dan resek MR 6 mm pada kedua mata

Terapi operatif alternatif


- 45 – 85 PD Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada mata satu mata dan Reses
LR 8 mm pada mata lainnya.
- 85 PD/lebih  Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada kedua mata.
Pada kasus overkoreksi
Deviasi 10 – 15 PD yang menetap selama 3 – 4 minggu diterapi dengan:
 Prisma base out atau alternating patching untuk mencegah ambliopia dan diplopia.

60
 Miotik atau kaca mata bifocal pada pasien dengan high AC/A ratio.
 Toksin botulinum.

Kasus under koreksi


 Ringan sampai sedang diawasi saja kalau masih bisa diatasi oleh fusi, tetapi eksotropia
sering akan manifest kembali.
 Pemberian koreksi prisma base in yang progresif dan secara pelan power prisma
dikurangi.
 Terapi botulinum toksin
 Terapi operasi dilakukan dengan resek m. rektus medial dan reses rektus lateral serta
resek rektus medial pada mata sebelahnya.

“HANG - BACK RECESSION”


“Hang back” merupakan cara yang sederhana dan aman sebagai alternative dari reses
konvensional. Cara ini kurang lebih menghindarkan terjadinya perforasi sklera dan lebih
dianjurkan pada sklera tipis/mudah terjadi perforasi dan juga pada kasus-kasus yang sulit
melakukan insersi pada sklera bagian posterior. Sering juga dilakukan pada strabismus
dengan ablasio retina untuk menghindari jahitan pada “scleral buckle”. Benang yang dipakai
adalah yang “non absorbable”.

Hasilnya dilaporkan hampir sama dengan reses konvensional.


A. Hang back pada Rektus Lateral
B. Cara mengukur besarnya reses
C. Cara hang back dengan jahitan selebar otot
D. Reses rektus superior dengan cara hang back

61
Gambar 46.

ADJUSTABLE SUTURE
Cara ini dapat dilakukan pada semua otot rektus
Indikasi:
1. Pasien dengan strabismus restriktif dengan potensial bisa trerjadi perbaikan fusi
(pada pasien dengan “thyroid ophthalmopathy”)
2. Pasien strabismus yang hasilnya sulit diprediksi (termasuk pasien yang operasinya
tidak berhasil).
3. Strabismus paralitik.
4. Strabismus dengan deviasi besar.
5. Bila dari pengalaman operator cara ini merupakan cara yang lebih berhasil

Tehnik operasi

Gambar 47.

Dengan insisi limbal otot dicari dengan muscle hook kemudian otot dijahit dekat limbus,
kemudian otot dipotong dekat insersinya.

62
Gambar 48.

Otot dijahitkan dengan menyilang pada insersinya dan dibuat ikatan/simpul penariknya
(cukup panjang yang dibunakan untuk menambah atau mengurangi reses)

Gambar 49.

Dibuat ikatan tambahan sebagai pemegang/penjerat dengan benang lainnya pada


jahitan sclera setelah diukur panjang reses yang dibutuhkan, kemudian ikatan tersebut
dikencangkan agar otot jadi terfiksasi pada ukuran tersebut.
Setelah selesai dan pasien sadar dilakukan penyesuaian (menambah/mengurangi
reses) dengan menarik atau melomba simpul tambahan dengan cara menggeser simpula
tambahan tersebut kearah otot (mengurangi reses) atau menjauhi otot (menambah reses)
dengan menggeser simpul tambahan dengan pinset, kemudian baru simpul yang pertama
diptong/dibuka dan benang (yang dari otot) disimpulkan dengan kuat.

“CONVERGENCE INSUFFICIENCY”
“Confergence insufficiency” adalah kurangnya kemampuan kedua mata untuk
konvergensi waktu melihat dekat. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Von Graefe
1862, dan Stuterheim 1931 menamakannya “astenovergence”.
“Convergence insufficiency” merupakan salah satu penyebab yang paling banyak dari
“ocular discomfort” dan sekaligus merupakan penyebab terbanyak dari astenopia muskuler.
Pasien biasanya mengeluh dengan “eye strain” seperti rasa tegang atau tidak enak/nyeri
disekitar mata, mata berair, tidak tahan membaca lama,sakit kepala, kalau membaca lama
huruf terlihat kabur dan kemudian menyatu. Bisa juga timbul diplopia waktu melihat dekat.

63
Kelainan ini sering ditemukan pada pasien eksoforia, tapi bisa juga pada ortoforia dan
esoforia. Keluhan ini biasanya timbul pada usia muda/sekolah menengah, karena pada saat
itu pasien banyak menggunakan matanya untuk melihat dekat (belajar/membaca) dalam
jangka waktu agak lama.
Sebagian ahli mata menganggap ini sebagai suatu kelainan neurosis dan
mengirimkannya ke psikiater. Tapi ini sebetulnya pendapat yang kurang tepat karena terapi
yang adekuat akan memberikan hasil yang memuaskan. Kelainan ini ditandai dengan “near
point of convergency” (NPC) yang lebih besar dari normal ( ≥11cm). Disamping itu juga
dihubungkan dengan menurunnya amplitudo akomodasi dekat ( < 20 PD ).Tetapi NPC dan
amplitudo fusi tak selalu parallel (Atzmon).

Penyebab dari kelainan ini adalah:


1. "Disuse of accommodative convergence”
Pada hipermetrop tinggi dan yang pakai kaca mata presbiop tidak ada usaha untuk
akomodasi dan juga myop tinggi yang memang tidak membutuhkan akomodasi untuk
melihat dekat.
2. Insufisiensi akomodatif
Lebih kurang separoh dari akomodatif insufisiensi juga dengan konvergen insufisiensi
(Fransis et al 1979). Tidak jelas apakah akomodatif atau kelainan konvergen sebagai
disfungsi primernya.
3. Bekerja didepan komputer dalam jangka lama menyebabkan NPC dan NPA menjadi
jauh (Gus et al 1994)
4. Faktor anatomis, seperti pada jarak pupil yang lebar hingga konvergensi lebih sulit.
5. Hiperforia atau hipertropia juga dapat menimbulkan “convergen insufficiency”
6. Bersamaan dengan strabismus divergen.
7. Kelelahan umum karena penyakit, toksik, kelainan metabolik atau endokrin
8. Psikogenik instability
9. Parese atau kelemahan dari otot rektus medial.
10. Bisa juga timbul tanpa sebab yang jelas

Gambaran klinik:
Keluhan:
 Biasanya terasa tegang didaerah mata setelah membaca dalam waktu
yang tidak lama.
 Kadang – kadang terjadi diplopia waktu melihat dekat
 Gambaran yang khas ialah pasien menutup satu mata waktu membaca untuk
menghilangkan rasa letih
 Gejala lainnya adalah sakit kepala.
 Keluhan dapat terjadi pada semua usia tapi jarang menjadi masalah klinik sampai
mencapai usia belasan tahun karena meningkatnya waktu membaca.

64
Pemeriksaan:
 NPC yang jauh (>10 mm)
 Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20
prisma untuk break (normal 30/35)
 NPA normal sesuai usia pasien

Pemeriksaan NPC:
Pemeriksaan secara objektif
Rol dengan ujung lengkung ditempatkan pada hidung (nasal bridge), objek fiksasi
ditempatkan Pada rol lebih kurang 30 – 40 cm didepan pasien pada “mid plane”. Pasien
diinstruksikan agar melihat ke objek fiksasi, kemudian objek fiksasi digerakkan pelan-pelan
kearah mata pasien sampai hilang fiksasinya dan bergerak/deviasi keluar. Jarak objek pada
saat kejadian tersebut merupakan NPC yang diukur dengan rol yang ditempatkan pada
pinggir tulang orbita dekat kantus eksternus.

Pemeriksaan secara subjektif.


Filter merah dengan densitas moderat ditempatkan pada trial frame didepan salah satu mata
(lebih baik pada mata yang dominan). Penlight ditempatkan didepan mata pasien pada jarak
40 cm dimana pasien dapat memfusikan kedua bayangan (pasien akan melihat “pinkis light”)

Gambar 50.

Kemudian penlight didekatkan secara berangsur-angsur kemata pasien pada midline.


Pasien ditanya kapan melihat sinar senter menjadi dua satu merah dan satu lagi putih
(timbulnya diplopia). Jarak tersebut dicatat, kemudian diukur jarak antara margo orbita
lateral dan permukaan hidung. Jumlah dari kedua jarak tersebut adalah merupakan “near
point of convergency”. Test ini akan mengganggu fusi , efek “voluntary convergen” sedikit
dan memberikan hasil bernilai diagnostik dan prosnogtik.
NPC : - 5 – 10 cm, normal
- < 5 cm  “eksesive” (sering pada anak)

65
- > 10 cm  insuffisiensi

Pada pasien dengan “convergence insufficiency” jarak ini 10 – 30 cm atau lebih. Dengan
melakukan kedua test ini dapat dilakukan observasi sbb:
1. Pada pasien dengan fungsi konvergen yang baik, NPC yang didapat dengan ke 2 test ini
“coinsidens” dan keduanya dalam batas normal.
2. Pasien dengan “convergen insufficiency” NPC subjektif > NPC objektif dan
perbedaan ini dapat agak besar/cukup besar.
3. Pada pasien dengan “convergen insufficiensi” yang NPC nya jauh tetapi NPC subjektif
“coinsidens” dengan NPC objektif, prognosa lebih baik.
4. Selama pengobatan NPC yang diukur secara objektif lebih cepat jadi normal dari pada
NPC objektif
5. Akhir dari keberhasilan terapi, NPC tidak hanya normal tetapi nilai yang diperoleh
dengan objektif dan subjektrif menjadi “coinsidens”.

Diagnosa ditegakkan dengan:


 NPC yang jauh (>10)
 Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20 prisma
untuk break (normal 30/35)
 NPA normal sesuai usia pasien

Pengobatan:
1. Ortoptik
Ini merupakan pengobatan yang utama pada ‘‘convergence insufficiency ’’.
Von Noorden mengemukakan bahwa pengobatan dengan cara ini paling berhasil dan
umumnya dapat menghilangkan keluhan pasien. Terapi ini kurang berhasil pada
convergence insufficiency dengan eksoforia besar atau yang disertai dengan insuffisiensi
akomodatif.
2. “Pencil push up”
3. Prisma
Prisma base in diberikan bila pengobatan dengan ortoptik tidak berhasil.
Prisma base out bisa dipakai untuk melatih atau meningkatkan tenaga fusi konvergen.
4. ”Wild field fusional stimulation “
Kertez A.E. menggunakan “wield fusional stimulation” untuk pengobatan strabismus
dengan deviasi kecil (<30Δ) dan confergence insufficiency yang tidak memberikan respon
dengan terapi ortoptik. 79% dari pasien berhasil dengan pengobatan cara ini. Amplitudo
fusi konvergen meningkat dari 18/10 sebelum latihan menjadi 50/35 sesudah latihan.
Setelah follow up selama 5 tahun amplitudo menjadi 40/35. keuntungan dengan cara ini
adalah jangka waktu pengobatan yang lebih cepat dan tidak membosankan pasien.

66
Operasi
Operasi dilakukan setelah semua terapi konservatif tidak berhasil. Caranya yaitu
dengan memperkuat kedua otot rektus medial. Umumnya keluhan astenopia hilang dalam
waktu kurang dari 3 minggu. Dengan bimedial resect memberikan koreksi sbb:
4,5 mm mengkoreksi 16Δ untuk jauh dan 40Δ untuk dekat
4 mm mengkoreksi 4,4Δ untuk jauh dan 15,8 Δ untuk dekat
3,5 mm mengkoreksi 2Δ untuk jauh dan 10Δ untuk dekat
Operasi dilakukan juga dengan “medial resection dengan adjustable suture (3)

X. “AV PATTERN”
A Pattern/Syndrome adalah kelainan mata dimana mata lebih esotropik waktu melihat
keatas dan lebih eksotropik waktu melihat kebawah, perbedaan besar deviasi tersebut adalah
10 PD atau lebih.
(Ada A Eso/A Eksotropia)

Gambar 51.

V Pattern/Syndrome adalah kelainan mata dimana mata lebih esotropik waktu melihat
kebawah dan lebih eksotropik pada waktu melihat keatas, perbedaan besar deviasi tersebut
15 PD atau lebih. (Ada V Eso/V Eksotropia)

67
Gambar 52.

Diperiksa pada posisi melihat keatas dan kebawah 30 derajat (Park), 25 derajat (AAO).

Etiologi :
Faktor otot horizontal
V Eso  M. Rektus medial overaksi  konvergensi meningkat waktu melihat kebawah.
 under aksi M.R  A Ekso
V Ekso  M. Rektus lateral overaksi divergen meningkat waktu melihat
keatas.
 Under aksi L.R  A Eso

Faktor otot vertikal


Terjadi akibat pengaruh aksi tertier dari otot rektus vertical (S.R/I.R)
Brown: underaksi dari S.R  V Pattern karena efek adduksi dari S.R
berkurang
Under aksi dari I.R  A Pattern karena efek adduksi dari I.R
berkurang

Faktor otot oblik


Ini merupakan pendapat yang banyak dianut sebagai etiologi A dan V Pattern Terjadinya A/V karena
aksi tertier dari otot obliq ini
- pada over aksi S.O maka akan terjadi depresi dan abduksi  A Pattern
- pada over aksi I.O maka akan terjadi elevasi dan abduksi  V Pattern

Faktor struktural
Pada tipe mongoloid sering terjadi A Esotropia karena hiperplasia “malar bone “ ini sering
berhubungan dengan under aksi I.O  A Esotropia dan
V Eksotropia bersamaan dengan over aksi I.O
Pada tipe antimongoloid terjadi hipoplasia dari “malar bones” terjadi V Eso
dan biasanya berhubungan dengan over aksi oblik inferior dan A Eksotropia karena under aksi I.O

Faktor anomali insersi otot (faktor mekanis)


Pada V Pattern insersi MR lebih tinggi dari normal dan LR lebih rendah dari normal.
dan pada A Pattern terdapat sebaliknya.

Faktor letak fovea, dimana pada V Pattern letak fovea lebih rendah dari normal
Dan pada A Pattern fovea terletak lebih tinggi dari normal.

68
Insidens 12. 5 – 50% dari pasien strabismus
V Eso terbanyak, kemudian diikuti A Eso, V Ekso dan A Ekso

Pengobatan :
Indikasi operasi:
 “Surgical goal” sama dengan strabismus lainnya, yaitu untuk memperbaiki kelainan motorik
dan memperbaiki penglihatan binokuler, disamping itu juga untuk memperbaiki posisi kepala.
 Perlu dipahami, tidak perlu mengusahakan hasil operasi baik pada semua posisi vetikal, karena
posisi yang sangat diperlukan adalah posisi primer dan posisi mata untuk melihat dekat.
 Setiap operasi cenderung dilakukan pada otot yang overaksi, karena penguatan pada otot yang
underaksi tidak banyak pengaruhnya.
 Pasien dengan deviasi A/V pattern 30-40 PD membutuhkan operasi pada 4 sampai 6 otot.
 Deviasi yang kecil biasanya cukup dengan operasi simetris pada 2 otot oblik atau dengan
supra/infraplacement dari otot rektus horizontal

OPERASI PADA OTOT HORIZONTAL


Ini dilakukan bila faktor oblik tidak begitu nyata dan A/V terlihat pada elevasi dan depresi.
Reses M. rectus mengurangi V eso lebih kurang 10 PD. MR dilakukan supra/infra placement
(sesuai/kearah apek dari A/V pattern) dan LR dilakukan supra/infraplacement berlawanan /menjauhi
apek dari A/V pattern) Cara lain ialah dengan reses miring dari insersi otot horizontal, yaitu pada V
Esotropia dilakukan pinggir bawah MR di reses lebih kebelakang dari pinggir atasnya untuk
meningkatkan efek deviasi horizontal pada down gaze dan pada A Esotropia reses yg lebih dilakukan
untuk pinggir atas otot MR. Pada A Eksotropia reses lebih pada pinggir bawah LR

Efek koreksi transposisi otot horizontal


Supra/infraplacement selebar setengah otot horizontal mengoreksi A&V pattern 15-20PD.
Melemahkan kedua otot oblik inferior mengoreksi V Pattern 15-25PD (antara posisi primer dan up
gaze)

A ESO
Pada supra/infraplacement MR setengah lebar otot (5-6mm) mengoreksi sampai 15PD pola A Eso
Reses MR + supra placement mengoreksi 15 PD A Pattern
Deviasi < 40 PD operasi pilihan:
- Bilateral reses medial rectus bilateral + supra placement
- Bilateral resek lateral rektus + infraplacement
- Reses MR + supraplacement dan resek LR + infraplacement

Pada V ESO (Rosenbaum)


Pada Esotropia disertai V, dilakukan recession dari otot horizontal disertai infraplacement
insersi MR. Reses MR tanpa infraplacement mengoreksi V Eso 10PD, bila dikombinasi dg
infraplacement mengoreksi 15PD. Bila disertai kelemahan SO maka dilakukan dengan kombinasi
Tucking SO (dg V Eso > 40PD) Reses MR + infra placement mengoreksi 15 PD V Pattern

69
A EKSO
Infraplacement LR (1/2 lebar otot) mengoreksi A Ekso 12-15 PD. Infraplacement LR (3/4 lebar otot
dikombinasi dengan memiringkan insersi (slanting) serat inferior mengoreksi 18-20 PD A Ekso
Reses LR + infraplacement mengoreksi 15-20 PD. Kombinasi tenotomi SO dan infra placement LR
mengoreksi A Pattern 60 PD Ekso A > 40 PD, bila dg overksi SO  tenotomi superior oblik bilateral
+ operasi horizontal secukupnya utk sisa deviasi horizontal
Ekso A < 40 prisma  - resesi bilateral LR + infra placement LR
- Reses- resek dg transposisi secukupnya.

V EKSO
V Ekso tanpa kelainan oblik:
Infraplacement MR mengoreksi 15-20 PD
Reses LR + supraplacement  mengoreksi 15-20 PD
Reses LR dan supra placement dikombinasi dg memiringkan serat inferior ke posterior memberikan
efek koreksi 10-15 PD.
Operasi ini dilakukan biasanya bila disertai dengan deviasi horizontal
Bila dg overaksi IO Reses IO+Reses LR mengoreksi V Pattern 15 – 25 PD

OPERASI PADA OTOT VERTIKAL


Operasi pada otot vertical jarang dilakukan, dan hanya terbatas pada V Ekso tanpa overaksi IO  IR
digeser kelateral 5 – 7 mm
Horizontal transposisi otot vertical, pada A Esotropia dilakukan SR ditransposisi 7 mm ke temporal
dan pada V Eso IR ditransposisi ke temporal utk menambah abduksi pada down gaze

OPERASI PADA OTOT OBLIK


Operasi pada otot obliq dilakukan bila nyata terdapat over/under action dari otot Oblik.
a. Melemahkan otot
- Miektomi/ Tenotomi/tenektomi
- Resesi
- slenting/memiringkan insersi otot
- “silicon expander“
b. Memperkuat otot
- Reseksi
- Tucking

MELEMAHKAN OTOT OBLIK


OBLIK SUPERIOR:
1. Tenotomi:

- Tenotomi SO mengoreksi 40 - 55 PD A Pattern dan menambah eso/mengurangi ekso 15 PD


- Deviasi > 40 PD  operasi pilihan :

70
Tenotomi SO bilateral + operasi otot horizontal untuk sisa eso nya
“Bilateral weakening” SO  mengurangi ekso pada deviasi horizontal 20 PD dan
30 – 40 PD pada downgaze dan tak ada efek pada up gaze.
- Pada A Eksotropia operasi pada otot S.O lebih efektif.
- Pada A Eso operasi harus dikombinasi dengan otot horizontal. Efek operasi ini akan
mengurangi esotropia pada down gaze sebanyak 25-35 PD
Efek tenotomi pada nasal dari pinggir lateral SR lebih besar dari tenotomi temporal batas tsb.
(tenotomi ditemporalnya memberikan efak rata2 30 PD dan dinasalnya 25- 45 PD).
- Tenotomi temporal batas RS memberikan efek mengurangi deviasi horizontal 8 PD
2. Tucking
Tucking SO mengoreksi V Pattern 15 – 25 PD
Tenotomi bilateral SO mengoreksi A Pattern 35 – 45 PD
3. Resesi
Resesi SO, dengan ini lebih bisa mengontrol besar deviasi dengan besarnya reses.
Reses 4 mm dari insersi  tidak ada efek
Reses selanjutnya memberikan efek koreksi 2 PD tiap mm reses.
Reses 12 mm  memberikan efek koreksi masing-masing satu otot:
(12mm – 4 mm) x 2 PD = 16 PD,
Reses kedua otot 12 mm maka efek koreksi 2 x 16 PD = 32 PD.

Komplikasi:
 “Residual SO overaction”
 “SO palsy”

OBLIK INFERIOR
Tenotomi
Pada V Esotropia dilakukan pelemahan I.O (sering dilakukan) dengan miektomi dari otot dekat
insersinya.
Operasi pelemahan kedua otot I.O akan meningkatkan esotropia/mengurangi eksotropia sebanyak
15-25 PD pada upward gaze.
Melemahkan kedua m.oblikus inferior mengoreksi V Pattern 15-25 PD.
Pelemahan bilateral IO  mengoreksi deviasi vertikal sampai 15 PD, hampir tanpa ada efek pada
deviasi horizontal.
Tenotomi/tenektomi kedua otot oblik superior  mengoreksi A Pattern 40-45PD dan
mengoreksi ekso (menjadi eso) 15-20PD.
Reses/tenotomi IO mengoreksi V Pattern 15PD dan mengurangi ekso 15PD pada V Ekso dengan
pelemahan kedua otot oblik

XI.“DI SSOCIATED
VERTICAL
DEVIATION” (DVD)

71
Gambar 53.

Stevens (1895) yang pertama kali memperkenalkan DVD, kemudian selanjutnya


Bielschowsky (1940), Verhoef (1941), Brown (1966) dan Halveston (1980) memberikan
deskripsi/uraian yang lebih lengkap dari kelainan ini.
DVD adalah kondisi mata dengan terjadinya elevasi yang nyata disertai dengan
abduksi dan ekstorsi dan sering berhubungan dengan esotropia kongenital atau keadaan lain
yang menyebabkan terganggunya penglihatan binokuler pada usia dini (Egbert E et al).
Gerakan mata keatas ini terjadi, bila pasien dalam keadaan letih atau ngelamun, atau bila fusi
diganggu dengan menutup satu mata. bila tutup mata dibuka maka mata yang elevasi akan
bergerak kebawah secara pelan dan berhenti pada posisi primer. Pemulihan bisa terjadi
spontan atau dengan menutup mata sebelahnya.
Besarnya deviasi pada mata yang ditutup bervariasi dan cenderung meningkat dengan
penutupan yang lama.
Crone menamakan “alternating hyperphoria”. 23% dari pasien ditemukan adanya
“head tilt” yang umumnya kearah mata yang fiksasi, head tilt ipsilateral/kontralateral bisa
ditemui pada DVD.
Umumnya pada pasien DVD terjadi peningkatan ukuran DVD dengan memiringkan
kepala kearah kontra lateral, tetapi sebagian terjadi sebaliknya.(Taylor&Hoyt)
Penyakit ini biasanya bilateral tetapi bisa unilateral.
Kebanyakan pasien DVD bersamaan dengan strabismus tipe lainnya, 59% bersamaan
dengan esotropia kongenital, bisa juga bersamaan dg eksotropia ( 8%)
Kelainan ini biasanya timbul pada usia 2 – 5 tahun,lebih kurang 1/3 pasien disertai dengan
“abnormal head posture”.
Insidens 60 -80% dari pasien esotropia kongenital.
Helveston mendapatkan 11.1% dari 1000 pasien strabismus atau nistagmus.
Wright K.W: mendapatkan DVD 14% dari pasien esotropia dan 8.7% dari pasien eksotropia
dan 7.2% dari pasien hipertropia.

Etiologi
Etiologi yang pasti dari kelainan ini tidak diketahui. bberapa teori tentang ini diantaranya
adalah:
 Hiperfungsi dari m,rektus superior (White 1933)
 “alternating paretic dari depressor”.(Scobee 1974)
 Impuls aberan dari pusat batang otak yang mengatur divergen vertical (Bielschowsky
1938)
 “deficient optomotor impuls” dari retina inferonasal (Crone 1954)
 Hipofungsi dari oblik superior sebagai penyebab DVD.(Helveston 1969)DVD
disebabkan oleh kelainan supra nuklear, dan ia menyimpulkan bahwa DVD akibat
ketidak seimbangan neurologis yang diduga akibat kelainan pada “vertical vergence
center/centers”. (Helveston 1991)
72
Mekanisme dari kelainan ini:
1. Elastisitas yang berlebihan dari otot elevator atau depresor
2. Factor paretik terutama bilateral parese dari otot depresor
3. Ketidak seimbangan antara jumlah inervasi dari masing-masing organ vestibuler
4. Perjalanan jalur visual yang abnormal yang mirip pada pasien albino
5. Bielschowsky mengemukakan bahwa DVD disebabkan oleh perangsangan bergantian
dan intermiten dari kedua pusat subkortikal yang mengendalikan gerakan vertical
divergen mata.
6. Spielman menduga bahwa DVD disebabkan oleh ketidak seimbangan dari stimulasi
binokular.

Gambaran klinik:
 Keluhan, hampir tak pernah menyebabkan keluhan, biasanya teman/orang tuanya
melihat matanya yang kelihatan aneh bila ia kelelahan atau ngelamun.
 Yang khas adalah mata yang ditutup bergerak keatas secara spontan yang disertai
dengan ekstorsi dan abduksi, dan bila mata yang deviasi tsb. kembali ke horizontal
tidak disertai oleh gerakan kompensasi dengan arah yang berlawanan dari mata
sebelahnya seperti pada tropia vertikal, jadi DVD tidak mengikuti “Hering’s low”.
 50% dari DVD dengan “Bielschosky phenomen”, yaitu mata yang elevasi akan
menurun bila sinar pada mata sebelahnya dikurangi, dan sebaliknya bila illuminasi
pada mata tsb. dinaikkan maka mata DVD akan bergerak lagi vertikal ( Wood et al).
 Bila mata “in attension” ditutup maka mata yang non fiksasi tersebut bergerak pelan
keatas, ekstorsi dan abduksi, kemudian akan terjadi “recovery” dengan gerakan
refiksasi dg intorsi dan adduksi (Wright).
Diferensial diagnosa dengan overaksi dari otot oblik inferior:
DVD mesti dibedakan dengan IOOA (“inferior obliq over action”),
1. - Pada DVD mata yang ditutup terjadi elevasi pada posisi primer, pada posisi
abduksi maupun adduksi.
- Sebaliknya pada IOOA masing-masing mata terjadi elevasi terutama pada adduksi
dan tidak pernah pada abduksi, jika tidak bersamaan dengan kontraktur ipsilateral
rektus superior.
2. - Pada DVD ditemukan juga pada pasien tanpa overaksi oblik inferior , disamping
itu dapat juga pada pasien dengan underaksi oblik inferior dan overaksi oblik
superior.
3. - Adanya hipotropia merupakan petunjuk untuk IOOA; 40% pasien DVD
bersamaan dengan over aksi oblik inferior.
4. - IOOA sering menyebabkan V pattern
- Tidak ada A atau V pattern pada DVD;
5. Efek torsi sering terjadi pada DVD dan pada IOOA tidak terjadi.

73
6. Bila pasien dengan IOOA berfiksasi dengan mata yang dikenai pada “field action”
dari otot tsb.(elevasi dan adduksi) maka maka rektus superior kontra lateral akan
under aksi. Sebaliknya pada pasien DVD yang diperiksa dengan cara yang sama
underaksi dari yoke muscle kontra lateral tidak terjadi.
7. Pasien dengan overaksi oblik inferior kecepatan fiksasi mata setelah mata sebelahnya
ditutup lebih cepat (200 s/d 400 derajat/detik) sedangkan pada DVD lambat (10 s/d
200 derajat/detik)
8. Karakteristik dari tonus intorsi dari mata waktu kembali ke posisi primer dari mata
DVD waktu kembali dari posisi disosiasi ke posisi primer tidak terjadi pada IOOA.
9. Pada hiper/hipotropia, mata akan bergerak keatas bila mata kiri fiksasi dan mata kiri
akan bergerak kebawah bila mata kanan fiksasi, pada DVD kedua mata akan bergerak
keatas bila salah saytu mata ditutup.
10. Posisi kepala pada DVD berbeda/berlawanan dg IOOA dimana pada IOOA “head tilt”
terjadi kearah/kepihak mata yang overaksi, sedangkan pada DVD kearah berlawanan
dari mata yang DVD untuk mengurangi besar DVDnya (Santiago A)
Diagnosa DVD akan lebih sulit jika bersamaan dengan kelainan siklo vertical.

Terapi
Pada pasien tanpa keluhan/diplopia umumnya pengobatan cenderung bersikap pasif.
1. Koreksi kelainan refraksi, karena penglihatan yang kabur akan memunculkan/eksaserbasi
DVD, sebaliknya dengan mengaburkan “fellow eye” bisa mengurangi DVD(Guyton
1988, )
2. Terapi operasi ditujukan terutama untuk alasan kosmetik:
Prosedur yang dipakai bervariasi dari masing-masing ahli antaranya adalah:
1. “Unconvensional large recess” (7 – 10 mm) , dari rektus superior
2. Reses rektus superior dikombinasi dengan resek rektus inferior
“Recurren” jarang terjadi bila dilakukan “unconvensional large recession” kedua
rektus superior dengan resek rektus inferior 4 – 5 mm.
Angka keberhasilan dengan cara ini mencapai 92%
Pada DVD tanpa overaksi oblik inferior, reses rektus superior merupakan operasi
pilihan. (Taylor&Hoyt)
3. Resek kedua inferior rektus
Von Noorden melakukan reses kedua superior rektus 7 – 9 mm . Cara ini berhasil
mengobati secara kosmetik pada 72% pasien dengan waktu follow up 3 tahun.
Biasanya kalau kelainan satu mata dioperasi juga pada satu mata (ada yang
melakukan operasi pada kedua mata walau kelainan pada satu mata)
4. “Retroequatorial myopexi (posterior fixation)” dari kedua rektus superior
dikombinasi/tanapa kombinasi dengan recess otot tsb.
Dilakukan reses 4 – 5 mm rektus superior dikombinasi dengan “retroequatorial
myopexy”
12 – 15 mm dibelakang insersi.
74
5. ”Anterior displacement” dari insersi oblik inferior (sampai level insersi rektus
inferior, dipinggir/batas temporal dari insersi rektus inferior tsb.( Egber JE)
6. Wood’s: melakukan Faden suture dengan / tanpa reses rektus superior, “large recess”
kedua rektus superior 7 – 9 mm walaupun kelainannya unilateral. (Wright KW)
Operasi pada oblik superior : reseksi tendon oblik superior dikombinasi dengan reses
oblik inferior , atau tucking oblik superior (Kushner).
7. Snir et al, melakukan operasi resek dan “anterior transposition” dari oblik inferior 1
mm dari pinggir/batas temporal rektus inferior disertai dengan “anterior
transposition” saja pada mata sebelahnya.
Besar resek adalah 3 mm untuk hipertropia 0-10 prisma, 5 mm untuk deviasi 11-20
prisma, hasil: 67% hsl baik/ residual DVD 2 -4 prisma dalam kontrol 14-20 bulan,
alasan dilakukan resek oblik inferior karena IO akan berobah fungsinya dari elevator
menjadi depresor karena ligament Lockwood menjadi titik fungsional baru dari IO,
sehingga kontraksi dari IO distal dari tempat melekat dg inferior rektus melalui Lig.
Lockwood akan menyebabkan efek depresor.

XII.“PRIMARY INFERIOR OBLIQ OVERACTION“ “UPSHOOT IN


ADDUCTION (STRABISMUS SURSOADDUCTORIUS)”

Overaksi IO primer umumnya timbul pada usia 1 – 6 tahun, sering berhubungan


dengan esotropia kongenital. Tapi bisa juga bersamaan dengan eksotropia ataupun tanpa
strabismus.
Pada pasien dengan IOOA primer, “head tilt test” negatif.

Etiologi
Penyebab pasti kelainan ini tidak diketahui, pada tipe ini over aksi ini mungkin
berupa mekanikal, innervasional atau keduanya.
Duane mengemukakan bahwa upshoot dalam adduksi ini normal karena aksi IO lebih
besar dari aksi SO dalam keadaan adduksi.
Guibor, mengemukakan bahwa IOOA disebabkan sinkinesis antara impuls pada IO
dan MR dari saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan paresis yang amat ringan dari SO.
30% dari kelainan ini merupakan bagian dari “congenital esotropia syndrome”.

Gejala klinik
75
1. Terdapat upshoot yang nyata pada mata yang adduksi pada waktu gerakan versi.
2. Terdapat V Pattern (terjadi abduksi waktu up gaze)
3. Pada pemeriksaan funduskopi terlihat adanya eksikloduksi.
4. Kelainan ini kebanyakan bilateral, tetapi dapat juga terjadi unilateral. Pada yang
bilateral terjadi hipertropia mata kiri waktu dekstroversi dan sebaliknya waktu
levoversi terjadi hipertropia mata kanan.
Bielshowsky test negatif, sedangkan pada overaksi sekunder akibat paralisis otot SO
ipsilateral maka Bielskowsky head tilt akan positif .

DD
Gejala klinik Overaksi IO primer Overaksi IO sekunder
IOOA ada ada
V Pattern ada ada
Head tilt test Negatif Positif
Torsi subjektif Tidak ada Ada (kecuali pada parese
sekunder SO kongenital)
Ekstorsi objektif ada ada
(pemeriksaan fundus)
Underaksi SO ipsilateral Tidak ada/minimal ada

DD IOOA DVD
Elevasi Terjadi waktu adduksi Elevasi terjadi juga waktu abduksi
(terjadi pada mata yg ditutup)
V Pattern Ada V Pattern Tidak ada
Hipertropia Terlihat waktu adduksi Biasanya tidak ada
Aksi SO Biasanya under aksi Bisa over aksi
Hering’s low Mengikuti Hering’s low Tidak mengikuti
Nistagmus laten Biasanya (-) Sering (+)
Pseudo paresis kontralateral. Ada Tidak ada
Torsion efek Tidak ada Sering terjadi torsion efek
Gerakan refiksasi Cepat (200-400 derjt/sec Lambat (10 -200 drjt/sec)
“Alternate cover test” Mata sebelah turun Tidak turun
Miring kepala Kearah mata yg fiksasi Kearah mata yg DVD (ditutup)
Bielschowsky phenomen Negatif Biasanya positif

Kadang-kadang DVD bersamaan dengan IOOA, kalau ini terjadi maka akan sulit untuk
membedakannya.

Seleksi pasien untuk operasi


76
Dalam melakukan operasi pasien dengan overaksi IO diklassifikasi atas grade 1 – 4:
Grade I: 1 mm elevasi mata yang adduksi (A)
Grade II; 2 mm ,, ,, ,, (B)
Grade III: 3 mm ,, ,, ,, (C)
Grade IV : 4 mm ,, ,, ,, (D)

Gambar 54.

Penatalaksanaan
Pengobatan dengan melemahkan IO:
 Reses, disinsersi atau miektomi.
 “Anteriorization/ anterior displacement” .

Tehnik operasi pada IOOA dilakukan sesuai dengan derajat overaksinya:


Derajat overaksi Tehnik operasi
_________________________________________________________________
+1 - Resesi (kecil)
+2 - Resesi (besar)
- Miektomi
+3 - Resesi dengan “partial anteriorization”
- Miektomi
+4 - “Full anteriorization” ( operasi bilateral )
- Eksterpasi/denervasi
- Miektomi
Reses + “anteriorization” IO merupakan cara yang efektif untuk operasi IOOA.
Dasar dari operasi ini adalah dengan “anteriorization” insersi IO akan memperbesar efek
dari reses.

I. Cara Operasi pada overaksi Oblik Inferior


Grade I: 1 mm elevasi mata yang adduksi  operasi, reses IO, 8 – 10 mm (reses 10 mm
adalah
reinsersi IO pada 2 mm temporal dan 3 mm posterior dari pinggir lateral IR)

77
Grade II; 2 mm elevasi mata yang adduksi  operasi, miektomi IO

Miektomi dilakukan dengan Memotong sepanjang 8 mm, Dipotong pada dekat insersi IO
Dan satu lagi dekat pinggir temporal IR.

Gambar 55.
Grade III: 3 mm elevasi mata yang adduksi  operasi, Eksterpasi IO + miektomi
dari IO sampai pada tempat saraf masuk otot .

IO dipotong kearah origo sampai tempat saraf masuk ke otot dan sampai di insersi.

Gambar 56.

Grade IV : 4 mm elevasi mata yang adduksi  melakukan denervasi s.d.a +


“anteropositioning” tendon IO.
Dengan “guide line” ini hasil operasi lebih bisa diperkirakan.

II. “Graded Recession – Anteriorization”


Overaksi “IO placement”
+1 4 mm posterior dan 2 mm lateral dari insersi IR

78
+2 3 – 4 mm posterior dari insersi IR
+3 1 – 2 mm posterior dari insersi IR
+4 di insersi IR

GAMBAR :

Gambar 57.

III.Exterpasi/Denervasi Inferior Oblik


Dilakukan pada keadaan overaksi yang ektrim atau operasi dengan miektomi atau
anteriorization tidak berhasil.

Komplikasi operasi IO:


 “Residual overaction/ recuren overaction”.
 “Fat adheren syndrome”, terjadi karena kerusakan kapsula Tenon
 “Anterior orbital hemorrhage”, kerusakan macula, dll.

79
XIII.“PRIMARY SUPERIOR OBLIQ OVERACTION”

Etiologi
Etiologi dari “primary SO overaction” tidak diketahui
Mungkin berhubungan dengan parese inferior oblik, atau bisa disebabkan parese rektus
Inferior kontra lateral yang menyebabkan “yoke muscle” nya oblik superior jadi overaksi.

Gambaran klinik
 “Downshoot” dari mata yang adduksi pada waktu melakukan versi
 A-Pattern (divergen waktu down gaze) .
 Hypotropia pada posisi primer (sering terjadi pada over aksi SO unilateral.)
 Bila berhubungan dengan strabismus horizontal sering bersamaan dengan eksotropia.

80
Differensial Diagnosa
 Brown Syndrom,
- Pada over aksi SO hipertropia lebih besar waktu down gaze sedang pada Brown
syndrome hipertropia lebih besar waktu up gaze (karena mata dengan Brown
syndrome terjadi restriksi)
- Pada Brown syndrome terdapat Y Pattern dan SO overaction Lambda Pattern
 Parese oblik Inferior
- Pada parese oblik inferior (jarang terjadi), head tilt test positif.

Management
Operasi dilakukan bila:
 Overaksi +2 atau lebih
 A Pattern yang nyata
 Bila bersamaan dengan strabismus horizontal dilakukan operasi bersama dengan
operasi horizontalnya.
 Unilateral SO dengan deviasi vertikal yang nyata:
Dengan deviasi kurang 8 PD dilakukan pelemahan SO dengan tenotomi, tenektomi
atau silikon ekspander
 Management over aksi SO :
A. Over aksi SO unilateral
 Opsi 1: Tenotomi SO ipsilateral dengan silikon expander (lebih disukai)
Patokan untuk silikon expander:
Over aksi SO Panjang silikon
+1 4 mm
+2 5 mm
+3 6 mm
+4 7 mm

 Opsi 2: Tenotomi SO ipsilateral saja.


Tenotomi SO memberikan koreksi terhadap deviasi
horizontal lebih kurang 15 – 20 PD dan mengoreksi
Pattern lebih kurang 40 – 45 PD.

81
Gambar 58.

B. Overaksi SO bilateral
 Opsi 1: tenotomi SO bilateral dengan silikon expander
Dilakukan pada pasien dengan fusi dan stereoskopik yang baik.
- Keuntungannya: integritas fungsi tendon tetap terpelihara
- Operasi ulangan mudah dilakukan karena kedua ujung tendon telah
terpotang
(cara ini dianggap lebih baik)

 Opsi 2: Tenotomi SO bilateral saja.


Ini harus dilakukan hati-hati pada pasien dengan fusi dan stereoskopik
yang baik, karena bisa menyebabkan parese SO bilateral yang
menimbulkan diplopia siklovertikal dan horizontal dan gangguan pada
downgaze. Tenotomi dilakukan nasal dari SR, karena tenotomi pada
bagian temporal efeknya minimal, karena tendon SO terselip antara SR
dan sklera.

C. Resesi SO, dengan ini lebih bisa mengontrol besar deviasi dengan besarnya
reses.
Ukuran reses sesuai dengan besarnya deviasi berdasarkan standard dari
Caldeira J.A.F.

Reses 4 mm dari insersi  tidak ada efek


Reses selanjutnya memberikan efek koreksi 2 PD tiap
mm reses.
Reses 12 mm  memberikan efek koreksi masing-masing satu otot: (12mm
– 4 mm) x 2 PD = 16 PD,
Reses kedua otot 12 mm maka efek koreksi 2 x 16 PD
= 32 PD.

Komplikasi:
 “Residual SO overaction”
 “SO palsy”

82
Gambar 59.

Caldeira C.A.F melakukan operasi dengan cara ini dan mendapatkan hasil,
overkoreksi 13 pasien dan underkoreksi 5 pasien.

Komplikasi:
 “Residual SO overaction”
 “SO palsy”

XIV.“SUPERIOR OBLIQ PARALYTIC“ (SOP)

Paralise SO merupakan strabismus paralitik yang terbanyak ditemukan akibat “isolated


cranial nerve palsy)

Etiologi:
Dari satu studi dengan 270 pasien paralise SO didapatkan:
 Kongenital 39.5%
 Trauma 34%
 Idiopatik 23.2%
 Neurologis 2.9%

Penyebab lain adalah iskemia yang dapat terjadi akibat hipertensi dan diabetes, dan
bisa juga disertai dengan penyebab dasar dari aneurisma intra sinus kavernsus .

83
Tetapi dari praktek neuro oftalmologi didapatkan laporan bahwa trauma dan kelainan
vaskular merupakan penyebab terbanyak terutama trauma tumpul ringan pada kepala tanpa
kehilangan kesadaran yang mengenai langsung trochlea, dan kelainan kongenital jarang
dilaporkan.
Helveston dkk, mengemukakan terdapat perbedaan antara tendon SO pada paralitik
kongenital dan paralitik yang didapat, dimana pada paralise SO kongenital tendonnya
berlebihan atau insersi posteriornya abnormal, dan tendonnya lebih kenyal dan mudah
dilakukan operasi, sedangkan pada yang didapat tendon lebih kaku sehingga tuck sepanjang
6 – 8 mm sulit dilakukan. Oleh karena itu dia menyimpulkan paralise SO kongenital lebih
disebabkan kelainan strukturan dari pada kelainan neurologist.

Gambaran klinis
 Keluhan biasanya berupa astenopia, diplopia vertikal , objek yang dilihat terlihat
miring dan bisa terdapat kelainan posisi kepala.
 Terdapat hipertropia yang biasanya meningkat bila mata yang dikenai melihat
kenasal. (karena adanya overaksi IO).
 Pemeriksaan “head tilt test” penting untuk membedakan dengan paralise rektus
inferior (IR) mata lainnya  Dengan memiringkan kepala kekanan, deviasi vertikal
oleh gerakan elevasi oleh SR kanan tidak ada halangan oleh SO kanan.
 Kepala miring kearah bahu yang berlawanan dengan sisi yang non paralise
 Terdapat "hin depression”
 Pada “cardinal gaze” akan terlihat gerakan kearah cardinal gazenya
berkurang/hilang.
 Terdapat V Pattern.
 Pada paralise bilateral , ditemukan hipertropia kanan waktu gaze kekiri dan
hipertropia kiri waktu gaze kekanan disertai dengan “positif head tilt test”, dan
disertai V pattern yang signifikan (>15 prisma).
 SOP kongenital dibedakan dengan SOP yang didapat sbb:
- Pada yang kongenital biasanya tak ada riwayat trauma, yang didapat sering
didahului trauma.
- Head tiltnya lebih besar dari yang didapat dan juga terjadi sejak kecil (“long
standing”).
- Pada SOP kongenital sering terdapat asimetri dari muka (muka yang dikenai
lebih penuh/berisi)
- Pada yang kongenital jarang ada keluhan diplopia
- Pada SOP dengan tanpa tendon SO sering disertai dengan strabismus horizontal
dan ambliopia.

Posisi mata pada foto 9 posisi, pada Parese SO kanan

84
Gambar 60.

Pada posisi primer (661,662):


Fiksasi – dengan mata baik/kiri (661): - mata yang dikenai  up ward/hipertropia
- mata parese/kanan (deviasi sekunder/662) - mata non parese  downward/hipotropia

Posisi melihat keatas dan kebawah (658,665): juga terdapat upward mata parese
Posisi kanan atas(657)  normal
Posisi kekanan(660)  normal
Posisi kanan bawah(664)  normal, sedikit overaksi IR ipsilateral
Posisi kiri atas (659): - hipertropia mata kanan (parese lebih menonjol)
Posisi kekiri (663)  Hipertropia mata parese
Posisi kiri bawah (666)  Gerakan mata parese sangat terbatas kekiri dan bawah

`Possi kepala pada parese SO


Otot parese Kepala mutar (turn) Kepala miring(tilt) Posisi dagu (Chin)
 A  R.S.O KIRI KIRI CHIN DOWN
 B  L.S.O KANAN KANAN CHIN DOWN

Gambar 61.

Penatalaksanaan:

85
 Reseksi SO
Otot SO yang di resek lebih baik pada tendon bagian proksimal Rektus superior
ditarik kemedial kemudian tendon diisolasi melalui insersinya kemudian otot ditarik
dan dipasang jahitan pada 6 – 10 mm dari insersinya kemudian pasang hemostat
beberapa mm dari jahitan, kemudian otot dipotong antara hemostat dan jahitan.
Kemudian ujung proksimal otot dijahitkan keinsersinya. Kemudian otot yang bagian
distal dipotaong lebih kurang 6 – 10 mm(tergantung kebutuhan).

Gambar 62
 SO Tuck
Incisi dibuat dari pinggir lateral insersi SR Kearah lateral parallel dengan limbus.
Kemudian otot SO diidetifikasi, kemudian tendon ditarik dengan hook kedalam
tucker Kemudian otot dijepit melalui tucker (otot yang di tuck dijahit sepanjang
yang dibutuhkan, biasanya antara 6 – 15 mm tergantung dari laksiti dari otot).
Kemudian jahitan kedua dipasang pada ujung lipatan otot untuk mengamankan tuck.

86
Gambar 63.

 Harada Ito Procedure


Managemen dari parese SO

Gambaran Klinik l Prosedur

Overaksi IO Unilateral l
 Hiperdeviasi pada posisi primer <12 PD l “Melemahkan IO (“graded anteriorization”).
 Hiperdeviasi pada posisi primer >12 PD l “Melemahkan IO ipsilateral dengan reses IR kontra
l lateral.

Bilateral asimetris (“masked bilateral) l


 Hiperdeviasi pada posisi primer < 8 PD l “Graded – Recessions” IO asimetris
dengan overaksi IO asimetri l (1mm dibelakang IR yang dikenai 4 mm dibelakang sisi
l yang tersembunyi)
 Hiperdeviasi pada posisi primer > 8 PD l “Graded – recessions” dengan anteriorisasi yang lebih
dengan overaksi IO asimetris l besar dari IO pada sisi yang hiperdeviasi.
l Ditambah
l “Harada-Ito pada sisi yang hper deviasi (jika terdapat
l head tilt yang besar), atau reses IR pada sisi yang
l berlawanan dengan hiperdeviasi)
__________________________________________________________________________________________
“Recovered Bilateral” (“pure exyclodiplopia” > 8 derajat
 Ekstorsi > 8 derajat bertambah waktu l Bilateral Harada –Ito. Bila terdapat hiperde
down gaze, l viasi kecil, dilakukan Harada Ito asimetri pada
Minimal hipertropia, < 5 PD dengan l tendon SO dari sisi yang hipertropia
V Pattern kecil, minimal overaksi IO l
dan underaksi SO l
__________________________________________________________________________________________

“Bilateral severe (no significan hypertropia)” l


 Arrow pattern (>15PD of esotropia in down l Tucking tendon SO bilateral, pada parese Yng berat
Gaze), > 15 derajat of extorsion in primary l dan bilateral Harada-Ito pada parese yang ringan)
Position increasing in downgaze. Reversing l ditambah
Hypertropia in side gaze and SO l Transposisi inferior rektus medial bilateral ½ lebar
Underaction l tendon.
Dikutip dari Wright K.W. (Atlas Strabismus surgery)

Prinisp prosedur Harada-Ito


Dasar pemikiran, secara fungsional SO dibagi atas 1/3 anterior yang berfungsi
sebagai intorsi dan 2/3 posterior berfungsi sebagai depresi dan abduksi. Cara ini terdiri dari
mengencangkan 1/4 - 1/3 nya tendon SO. Dengan ini akan menyebabkan terjadi intorsi,
sedikit depresi dan abduksi dari mata.

87
Cara ini terutama ditujukan untuk mengoreksi ekstorsi dan mengoreksi hipertropia
lebih kurang 5 PD. Bilateral Harada – Ito mengoreksi 5 – 10 PD dari V Pattern. Tehnik: SO
diisolasi melalui insisi forniks. Serat anterior diisolasi muscle hook, kemudian lebih kurang
seperempat lebar tendon (lebih kurang 4 mm) dipisahkan dan dipotong kemudian
diinsersikan keanterior dan lateral lebih kurang 8 mm posterior batas atas insersi lateral
rektus. (lateralisasi ini menyebakan efek intorsi dan mengoreksi ekstorsi).

Gambar 63.

XV.“INFERIOR OBLIQ PARALYTIC”

Etiologi:
Kelainan ini jarang ditemui dan penyebab pasti tidak diketahui:
 Kongenital.
Pada yang kongenital berhubungan dengan “large hypotropia” pada posisi primer.
 Didapat,

88
- Kerusakan pada cabang inferior NIII yang mensarafi IO (jarang terjadi), bisa akibat
trauma dan infeksi virus.
- Parese IO sekunder dari kelainan CNS labih jarang lagi, ada laporan parese IO
akibat lesi pada midbrain.

Gambaran klinik:
 Keluhan adanya diplopia
 Terbatasnya elevasi waktu adduksi (seperti Brown Syndrom)
 Over aksi SO A Pattern
 Hipotropia pada sisi yang parese/hipertropia sekunder mata kanan
 “Force duction test” negatif
 “ Positif head tilt test”.
 Kepala miring ke sisi yang berlawanan otot yang parese

Diagnosa:
 “Three step test”  Deviasi vertikal mata kanan bertambah dengan memiringkan
kepala kekiri dan gerakan mata kanan kebawah oleh IR kanan tidak ada hambatan
oleh IO kanan.
 Tidak mampu elevasi waktu adduksi (mirip Brown syndrome)
 Kepala miring menjauhi mata parese
 “Maddox rod test”, terdapat intorsi

Posisi mata pada foto 9 posisi, pada Parese IO kanan

Gambar
65.
Pada posisi primer
(676,677):
Fiksasi – dengan mata
baik /kiri (676): - mata
yang dikenai 
downward/hipotropia
- mata parese/kanan (deviasi sekunder 677) - mata non parese  upward/hipertropia
Posisi melihat keatas dan kebawah (673,680): juga terdapat downward mata parese
Posisi kanan atas(672)  normal, dengan sedikit overaksi SR ipsilateral
Posisi kekanan(675)  normal
Posisi kanan bawah(679)  normal

Posisi kiri atas (674): hipotropia mata kanan lebih menonjol/upshoot mata kiri karena
overaksi SR kontra lateral

89
Posisi kekiri (678)  Hipertropia mata kiri (non parese)
Posisi kiri bawah (681)  Gerakan mata non parese sangat terbatas kekiri dan bawah
karena kelemahan IR kontralateral (=overksi SO ipsilateral).

Possi kepala pada parese IO


Otot parese Kepala mutar(turn) Kepala miring(tilt) Posisi dagu
(Chin)
 A  R.I.O KIRI KANAN CHIN UP
 B  L.I.O KANAN KIRI CHIN UP

Gambar 66.

DD:
 Over aksi SO  disini “three step test” negatif
 Brown syndrome
 Graves desease
 Orbital blow out fracture
 Double elevator palsy

Penatalaksanaan:
Non operatif :
Dilakukan untuk mengatasi diplopia deviasi vertical pada posisi primer.
Setelah parese lebih 6 bulan dilakukan operasi.
Terapi operatif
Indikasi operasi ialah bila:
 Terdapat kelainan posisi kepala
 Terdapat deviasi vertical pada posisi primer
 Diplopia

90
Jenis operasi pada parese IO:
 Pelemahan SO ipsilateral (biasanya bersamaan dengan over aksi SO) dengan silikon
expander
 Reses SR kontra lateral
 Reseksi IR kontra lateral

Hipotropia < 8 – 10 PD pada posisi primer:


 Ipsilateral SO “silicone tendon expander” 5 – 6 mm atau
 SO tenotomi

Hipotropia > 10 PD pada posisi primer:


 “Ipsilateral SO silicon tendon expander” (6 – 7 mm) dengan reses SR kontra lateral
atau
 Tenotomi SO dengan reses SR kontra lateral

DIAGNOSA DEVIASI VERTIKAL

Hubungan parese otot dengan posisi kepala:

Otot parese Turn/mutar Tilit/miring Posisi dagu


______________________________________________________________
 R.S.R keKANAN KIRI CHIN UP
 R.I.R keKANAN KANAN CHIN DOWN
 L.S.R KIRI KANAN CHIN UP
 LI.R KIRI KIRI CHIN DOWN
 R.S.R keKANAN KIRI CHIN UP
 R.I.R keKANAN KANAN CHIN DOWN
 L.S.R KIRI KANAN CHIN UP
 LI.R KIRI KIRI CHIN DOWN
 R.S.O KIRI KIRI CHIN DOWN
 R.I.O KIRI KANAN CHIN UP
 L.S.O KANAN KANAN CHIN DOWN
 L.I.O KANAN KIRI CHIN UP
 R.I.O KIRI KANAN CHIN UP
 L.S.O KANAN KANAN CHIN DOWN
 L.I.O KANAN KIRI CHIN UP

KELUMPUHAN KEDUA OTOT ELEVATOR


(“DOUBLE ELEVATOR PALSY”)

91
Istilah
double
“elevator
palsy”
berarti
parese otot
oblik
inferior
dan rektus
superior
dengan gambaran/manifestasi ketidak mampuan untuk elevasi pada segala posisi
dari gaze.
Belakangan kelainan ini dinamakan Defisiensi Elevasi Monokulre (Monocular
Elevator Defisiency = MED”) karena otot rektus superior mempunyai tugas utama
terhadap rotasi bola mata keatas dan kegagalan ini dihasilkan hanya oleh factor
rektus superior saja tanpa melibatkan otot oblik inferior. Kegagalan gerakan up
gaze secara unilateral juga bisa disebabkan oleh restriksi pada rektus inferior.
Kelainan ini biasanya bersifat kongenital, tetapi dilaporkan adanya kasus didapat
yang disebabkan oleh lesi didaerah pretektal dari midbrain.
Insidens yang pasti tidak diketahui. Scott dan Jackson melaporkan 15 kasus selama
5 tahun dan Wright melaporkan 34 kasus selama 10 tahun.
Kelainan ini sering bersamaan dengan ptosis kiongenital, Sevel mendapatkan 25%
kelainan ini dari 100 kasus ptosis kongenial. Pratt et al mendapatkan 48% dari 71
kasus ptosis kongenital.

Gambaran klinik:
 Ketidak mampuan untuk elevasi dari mata yang parese pada semua posisi
(posisi primer, posisi abduksi maupun pada posisi adduksi).
Namun elevasi waktu posisi abduksi sering lebih berat dari dari pada elevasi
pada posisi primer, dan gangguan elevasi ini berkurang pada posisi adduksi
(berlawanan dengan Brown’s sindrom), tetapi Scott mengatakan elevasi
waktu adduksi lebih berat.
 Duksi pada posis lainnya biasanya normal.
 Hipotropia ipsilateral sampai 35 PD dijumpai pada 60 – 100% kasus.
 Pada keadaan yang jarang terjadi, mata berfiksasi dengan mata yang parese
maka akan terjadi hipertropia yang berlebihan dari mata yang sehat.
 Posisi kepala biasanya tengadah (Chin elevasion).

92
 Ptosis 50 – 60% (disertai penomena Marcus Gunn Jaw-Winking pada 1/3
dari kasus dengan ptosis ini)
 Terdapat strabismus horizontal pada 50 60% kasus.
 Ambliopia ditemukan 33 – 50%
 “Bell’s Phenomen” 73% (Scott)

Etiologi (dibagi 3 berdasar tipe dasar penyebab):


 Tipe I:
- Defisiensi elevasi sekunder dari parese otot elevator.
- “Force duction test” : tidak ada restriksi
- “Force generation” dan “saccadic velocity” paralel dengan parese rektus
superior.
- Ptosis dan hipotropia ipsilateral
- Bell’s phenomen (bila terdapat lesi supra nuclear).
- Bisa terdapat tidak adanya m.rektus superior yang ditandai tidak bisa up
gaze pada seluruh posisi horizontal (posisi abduksi, primer dan adduksi,
karena rektus superior merupakan major velevator), sedangkan pada parese
oblik inferior tidak terjadi parese elevasi pada seluruh gaze
 Tipe II:
Disebabkan restriksi dari rektus inferior, ini merupakan yang lebih sering
ditemui.
Metz mendapatkan bukti adanya restriksi ini tanpa kelemahan elevator pada
73% kasus yang bisa merupakan satu bentuk dari sindroma fibrosis umum.
Force duction test: terdapat restriksi
Sccadic velocity test : normal
Hipotropia bisa ada dan mungkin tidak ada.
Ptosis: biasanya tidak ada.
 Tipe III
Penyakit yang menyebabkan parese lama dengan kontraktur rektus inferior
ipsilateral sekunder.
Force duction test: restriksi positif
Saccadic velocity waktu up gaze: lambat.
Ptosis mungkin ada.
Fiksasi dengan mata dengan mata sehat
Chin up (kompensasi)
Terapi:
Operasi tidak dilakukan bila tidak terdapat vertical strabismus.
 Hipotropia ipsilateral dan restriksi rektus inferior yang menyebabkan
terbatasnya elevasi dilakukan reses, bila terdapat elevasi pasif 20 – 25 derajat.
Reses rektus inferior sebanyak 6, 7 atau 8 mm tergantung besar deviasinya.
 Hipotropia karena parese rektus superior (force duction tes negative)
Reses ipsilateral rektus inferior + memisahkan ½ tendon rektus medial dan
rektus lateral ke rektus superior (Hummelscheim vertical)

93
XVI.“DUANE RETRACTION SYNDROM”

Gambar 67.

Karakterisrik
 Retraksi global primer
dari orbita

94
 Defisiensi kongenital dari gerakan otot horizontal
 Penyempitan fissura palpebra
Dilaporkan oleh Stilling 1887; Turk 1896; Duane 1905. Lebih sering ditemui pada wanita
Sering unilateral (kiri dikenai 79.9%) dan pada kasus bilateral mungkin ikut dikenai N VII.
Insidens DRS, Kirkhan (Park):
 1% dari pasien strabismus
 Mata kiri 60%
 Mata kanan 22%
 Bilateral 18%
 Wanita : laki2 = 3 : 2

Gambaran klinis:
 Pengurangan atau tak ada sama sekali abduksi
 Adduksi yang terbatas dengan kelemahan konvergensi
 Retraksi bola mata waktu adduksi
 Penyempitan fissura palpebra waktu adduksi dan melebar waktu abduksi
 Upshoot mata yang dikenai waktu adduksi
 Sering ada esotropia pada posisi primer
 Kelainan ini sering berhubungan dengan kelainan mata lain spt:
- Anisometropia, nystagmus, ptosis, keratokonus
- persisten hyaloid arteri, koloboma choroid, distichiais,
- crocodail ears, displasia stroma iris, pupillary anomali,
- cataract, heterochromia, microphthalmus, optic nerve hipoplasia,
- morning glory syndrom, Marcus Gunn phenomen.
 Sering pula berhubungan dengan kelainan sistemik spt:
- Goldenhar’s syndrom, Klippel Feil syndrom
- Vertebral collum anomali, Fascial anomali, Rib anomali
- Sensory neural hearing loss, malformation of external ear,
- CNS disorder, genito urinary anomali,
- Anomali of the limbs, feet, and hands.

Upshoot dan down shoot


 Terjadinya “bridle efek” (terjadinya deviasi vertikal akibat kontraksi otot horizontal)
menyebabkan “center of rotation” sedikit tergeser kearah vertikal pada waktu
kontraksi otot horizontal, otot oblik menggantikan efek abduksi dari rectus lateral
sebagai kompensasi. (VonNoorden)
 Over aksi dari otot vertikal yang berfungsi untuk kompensasi rektus medial sebagai
adduktor (Parker)

95
 Karena adanya perlekatan pada N.Optikus yang berfungsi sebagai dataran yang
menahan waktu retraksi akan mendorong bola mata vertikal.(Wolf)

Retraksi bola mata pada DRS


 Terjadi karena fikasi bola mata pada jaringan non elastik rektus lateral. (Turk)
 Ahli lain, mendapatkan adanya jaringan fibro non elastis pada rektus lateral atau
“fibrous band” dibawah insersi otot.
 Karena terjadinya kokontraksi dari otot rektus horizontal (Breinin)

Teori penyebab:
 “Congenital aplasia” atau “fibrous degeneration” dari otot rektus
 Insersi abnormal/kekakuan dari otot rektus internus atau defisiensi ligament pada
pipi.
 Mengenai Nucleus dari saraf otak, baik struktural maupun innervasional akibat suatu
kelainan innervasional dari brain stem dimana m. rektus laterat sebagian disarafi oleh
cabang N.III.
 Disamping itu juga diduga DRS disebabkan oleh “ocular miswiring”.
Pada pemeriksaan EMG memperlihatkan aktifasi dari kedua otot horizontal (medial
dan lateral) pada waktu adduksi..
 Pendapat lain mengatakan mungkin ada nya serat saraf rektus medial aberant yang
mensarafi rektus lateral dan sebaliknya
 Rektus medial mungkin menerima aberant innervation, tetapi kelainan inervasi perifir
mungkin sekunder atau bersamaan dengan kelainan brainstem
 Kelainan innervasi rektus lateral dengan cabang N III kemungkinan yang
menyebabkan duksi
 horizontal abnormal pada ke 3 subgrup DRS.
 - Pada DRS tipe I abduksi terbatas disebabkan karena rektus lateral menerima
persarafan dari N III dan “defisien inerfasi” dari N VI. yang menyebabkab
pembatasan/tidak ada abduksi
- Limitasi adduksi dan aktifitas EMG paradoxal pada rektus lateral pada DRS tipe II
juga dapat diterangkan dengan “dual innervasion” dari otot ini.
- Pada DRS tipe III (kegagalan abduksi dan adduksi) disebabkan karena tidak ada
inervasi dari N VI dan N III mensuplai kedua otot rektus medial dan lateral.

Duane tipe I
 Tidak ada abduksi
 Normal/retriksi adduksi yang berhubungan dengan retraksi bola mata
 Penyempitan fissura palpebra dan retraksi waktu adduksi dan pelebaran fissura waktu
abduksi.

96
 EMG:tidak ada aktifitas listrik pada rektus lateral waktu abduksi dan paradoks
aktifitas listrik waktu adduksi.

Duane tipe II
 Terbatas/absen adduksi dengan eksotropia dan abduksi normal/sedikit terbatas
 Penyempitan fissura/retraksi bola mata waktu adduksi
 EMG: aktifitas listrik dengan kontraksi rektus lateral waktu abduksi dan adduksi

Duane tipe III


 Pembatasan yang hebat baik abduksi maupun adduksi
 Retraksi waktu adduksi
 Dengan ekso atau esotropia minimal atau hampir ortoforia
 Pelebaran fissura palpebra waktu abduksi
 EMG: kokontraksi otot rektus horizontal waktu abduksi da adduksi

Terapi :
 Tidak ada, jika tidak ada kelainan posisi kepala, karena tidak mengoreksi kelainan
innervasi
 Indikasi operasi pada DRS: (Kwan et al)
- Untuk mengoreksi “face turn”
- “Secunder upshoot/downshoot”
- Deviasi yang cukup besar (secara kosmetik)
Dengan reses rektus medial (minimal 2-4 mm) untuk menghilangkan “face turn”.
Patokan jumlah reses ditentukan secara klinis oleh rotasinya, makin banyak adduksi
berkurang, makin nyata kokontraksi rektus lateral waktu adduksi  makin sedikit
reses rektus medial dilakukan dan sebaliknya.
Makin terbatas abduksi, m.rektus lateral tidak menarik bola mata waktu abduksi 
makin banyak reses rektus medial dilakukan dan sebaliknya.
Reses rektus lateral pada Duane dengan Ekso dilakukan sebanyak 6-8 mm
 Pada upshoot/downshoot reses mungkin dilakukan pada satu atau kedua mata.
 Kalau ada overshoot  dilakukan “posterior fixation suture” pada rektus lateral 16
mm posterior dari insersi.
 Pada tipe III: dilakukan reses rektus lateral 8mm dan reses rektus medial 6 mm
(Faden tidak dilakukan karena ada retraksi waktu “forced duction test” (dilakukan
pada yang neurogenik) (Von Noorden)

97
XVII.SINDROMA BROWN

Gambar 68.

Kelainan dasar pada Sindroma Brown adalah ketidak mampuan m. oblik superior
untuk memanjang (meningkatkan jarak) antara trochlea dan insersi dari m. oblik superior.

98
Dalam keadaan normal pada waktu mata adduksi jarak antara trochlea dan insersi
m.oblik superior bertambah dan mata akan bisa bergerak keatas waktu adduksi, tetapi pada
keadaan tendon m.oblik superior tegang/inslastis jarak ini tidak bisa bertambah dan akan
menyebabkan restriksi elevasi pada waktu adduksi.
Insidens : 1 : 430 – 450 kasus strabismus (1 : 20.000 kelahiran)
Bilaterat 10%

Etiologi :
Dulu diduga hanya karena “tendon sheath” SO yang pendek
Belakangan ternyata juga ditemukan kelainan pada tendon, trochlea dan jaringan sekitarnya.

Sindroma Brown kongenital:


Penyebab pasti tak diketahui, jelas terdapat :
 Kelainan dari tendon SO (termasuk tendon yang pendek, elastisitas tendon yang
berkurang, penebalan dari tendon, atau adhesi fibrous dari tendon).
 Kelainan dari “tendon sheath” (sarung otot yang pendek atau kencang)
 Kelainan pada trochlea atau “Tendon-Trochlea Complex Abnormalities”
Kelainan pada tendon dan trochlea yang menyebabkan /hambatan lewatnya tendon
melalui trochlea.

Sindroma Brown yang didapat disebabkan :


 “Iatrogenic” (tuck SO, scleral buckling, glaucoma valve surgery, sinus surgery)
 Proses peradangan atau infeksi daerah trochlea (Rheumatoid, SLE, Sjogren
Syndrome,Graves ophthalmopathy,sinusitis), dapat menimbulkan Syndroma Brown
yang didapat, terutama intermitten atau “click syndrome”
 Trauma

Gambaran klinis :
Gambaran klinis yang harus ada:
1. Kekurang mampuan elevasi waktu adduksi..
2. Elevasi juga berkurang pada “midline”.
3. Elevasi sedikit atau tidak ada pada posisi abduksi.
4. Overaksi SO tidak ada atau minimal.
5. V-pattern dengan divergen waktu up gaze.
6. Terdapat restriksi pada :forced ductions test” Gambaran klinis tambahan:
7. Down shoot or hypotropia waktu adduction
8. Pelebaran fissure palpebra waktu adduksi.
9. Kelainan posisi kepala.
10. Hipotropia pada psosisi primer.

99
Derajat berat Sindroma Brown :
Ringan:
 Elevasi terbatas waktu adduksi
 Tidak terdapat hipotropia atau “downshoot” waktu adduksi Sedang:
 Terbatasnya elevasi + adanya “downshoot” waktu adduksi
 Tidak terdapat hipotropia pada posisi primer Berat:
 Terbatasnya elevasi + “downshoot “ yang nyata waktu adduksi
 Terdapat hipotropia pada posisi posisi primer

DD:
- Paralise inferior oblik
: - dibedakan dengan “force duction test “
- dan juga pada Sindroma Brown ditemukan V waktu up
gaze
- “chin elevation” lebih menonjol
- aksi dari RS kontra lateral normal
- “Graeve ophthalmopathy” : elevasi juga terbatas waktu abduksi + riwayat tiroid

- Fraktur lantai orbita : elevasi juga terbatas waktu abduksi, juga disertai
riwayat trauma.
- “Duble elevator palsy” : disini elevasi juga terbatas waktu abduksi dan bahkan bisa
lebih hebat dari waktu adduksi
- “Congenital fibrosis syndrome” : gerakan mata terbatas kesegala arah termasuk
levator
- Over aksi oblik superior : “force duction test” negatif

Terapi:
 Sembuh spontan (jarang)
 Non operatif:
Terapi penyebab dasar (sinusitis, rheumatoid dll) dan terapi imflamasi dengan
kortiko steroid.
 Operasi
Dilakukan bila terdapat:
- hipotropia pada posisi primer
- kelainan posisi kepala (chin up; face turn)
- dan elevasi yang sangat terbatas waktu adduksi (terbatas waktu abduksi juga
bisa terjadi tetapi terbatasnya elevasi waktu adduksi lebih berat).
3 pilhan operasi:

100
1. Tenotomi SO ipsilateral dengan insersi silikon ekspander (biasanya 6mm) 
terbanyak
dipakai
2. Tenotomi SO ipsilateral dan reses IO ipsilateral, sering menyebabkan
“underaction”
3. Tenotomi SO ipsilateral sering menyebabkan komplikasi paralise SO.
Cara yang lain:
- “Sheatectomy” (kurang berhasil dan sdh ditinggalkan)
- Freeing fascial restrictions (juga kurang berhasil)
- “Tendon elongation” (tendon dibelah secara Z dan masing-masing potongan
disambungkan) diperpanjang jadi 9 mm
- Reses SO, sering menyebabkan “under correction”

XVIII. STRABISMUS FIKSUS

101
Gambar 69.

Strabismus Fiksus adalah suatu kondisi yang jarang dimana satu / kedua mata
menetap pada posisi adduksi/ abduksi yang ekstrim.
Mata yang dikenai terfiksasi pada posisi ini dan tidak dapat bergerak dan padea
“forced duction test “ bola mata tidak bisa digerakkan.

Etiologi :
 Diduga kelainan kongenital karena adanya fibrosis m. rektus medial yang
menyebabkan hilangnya elastisitas dari rektus medial, dan adanya “cord like
material” yg menarik ke pole posterior.
 Yang didapat bisa terjadi :
- Akibat kontraktur m. rektus medial akibat paralisis m. rektus lateral.
- Posterior extension dari axis geometric karena myopia tinggi
Kelainan ini biasanya dengan deviasi konvergen dengan deviasi > 100 P.D
Strabismus fixus divergen tidak disertai ptosis atau fibrosis otot ekstra okuler secara umum
dan kelainan ini sangat jarang.
Biasanya terjadi “head turn” karena satu mata biasanya lebih dominan dari mata lainnya.

Terapi:
Pada bentuk konvergen:
 Dilakukan operasi dengan disinsersi komplit atau resesi kedua otot rektus medial
minimal 6 mm, dikombinasi dengan resesi konjuntiva dan kapsula tenon dan

102
dilakukan reseksi m.rektus lateral 10 mm serta dilakukan traksi sementara bola mata
pada posisi over abduksi dengan jahitan fiksasi.
 Reses (kedua rektus medial 8 mm – resek bilateral 9 mm) pada strabismus fiksus
yang didapat yang berhubungan dengan miop tinggi . (Bagheri et al)
 Tenotomi pada 2 pasien dengan hasil yang baik. (Bagollini)
 Disinsersi dan miektomi 5 mm dari masing2 m. rektus medial dikombinasi dg reseksi
8 mm rektus lateral. Akibatnya adduksi sangat terbatas dan akan kesulitan dalam
membaca. (Remon)
 Jensen’s, melakukan “Partial Jensen Procedure/super arm only” pada strabismus
fiksus karena miop tinggi.. Pasien ini dengan esotropia 50 PD dan hypotropia mata
kanan (OD miop 21.5D dan OS miop 11D). Dilakukan half Jensen prosedur dengan
setengah m.rektus lateral dan rectus superior dan diikatkan 14 mm dari limbus dan
setelah 9 bl hasilnya baik walau permulaan abduksi dan elevasi berkurang.

Yokohama et al mengatakan bahwa terdapat herniasi bola mata superotemporal pada


miop tinggi yang mengakibatkan bola mata terjadi adduksi dan depresi.
Pada strabismus fiksus kongenital, m.rektus medial terlihat seperti “fibrous band” dan pada
yang didapat m. rektus lateral secara histo patologik ditemukan amiloidasis (baik pada yang
paralise m.recrus lateral maupun pada yang miop tinggi).

103
XIX. “ADHEREN SYNDROM” (JOHNSON)

Johnson mengemukakan “adherent syndrome” suatu kelainan berupa restriksi dari


gerakan otot.
Penyebabnya biasanya:
Kongenital, ini jarang ditemukan Pada masa perkembangan otot ekstra okuler terjadi
perlengketan antara sarung otot rektus lateral dan oblik inferior disamping itu juga bisa
terjadi perlengketan antara rektus superior dan oblik superior.
- “Lateral adherent syndrome” yaitu terjadi perlengketan antara sarung otot LR dan IO
akibat perlengketan jaringan fasia yang abnormal, yang menyebabkan gangguan pada
arah gerakan LR (pseudo paralysis LR). Pada “Force duction test” terdapat restriksi.
- “Superior adherent syndrome”, disini terjadi perlengketan antara sarung otot SR dan SO
yang menyebabkan gangguan gerakan pada aksi SR( Pseudo paralysis SR). Diagnosa
juga dengan “Force duction test”
Kedua kelainan ini sering membingungkan diagnosa strabismus.

Acquiered, biasanya akibat operasi sebelumnya.


Johnson, mendapatkan pasien sesudah operasi pada LR terjadi pembentukan jaringan
sikatrik yang pasif yang mengenai IO. akan menyebabkan pseudoparalisis dari LR.
Setelah insersi LR pada sklera dipotong, tahanan terhadap abduksi pasif akan muncul waktu
forced duction test.
Hal yang sama terjadi pada perlengketan antara SR dan tendon SO akan
menyebabkan pseudo paralisis dari rektus superior.
Park menggunakan istilah adherent syndrome pada hipotropia pada posisi primer
dengan elevasi yang terbatas akibat terjadinya proliferasi dari jaringan “fibro fatty” yang
menyebabkan perlengketan ujung proximal otot pada kapsula tenon .
Ini terjadi akibat komplikasi miektomi dari IO (13%) dan disinsersi IO (26%)

Terapi:
Dengan melepaskan perlengketan antara LR dengan IO atau SR dengan SO
104
SINDROMA FIBROSIS KONGENITAL
(SFK)
Pertama kali dikemukakan oleh Baumgarten pada seorang pasien dengan mata
berfiksasi kebawah, ptosis bilateral dan “chin elevation”.
Sindroma fibrosis kongenital merupakan kelainan kongenital yang jarang ditemui.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh restriksi otot ektra okuler dan bisa pula karena
otot digantikan oleh jaringan fibrosis.
Wang S.M et al mengemukakan SFK diakibatkan oleh disfungsi dari nervus
okulomotorius, trochlearis dan abdusen dan atau otot yang disarafinya,
Kemudian Brown memperkenalkan istilah “general fibrosis syndrome”.
Kelainan ini sangat bervariasi mulai dari mengenai hanya satu otot sampai
mengenai kesemua otot ektra okuler bilateral.
Penyebab kelainan ini tidak diketahui, biasanya heriditer autosomal dominan tapi
mungkin pula bersifat autosomal resesif.

Bentuk klasik SFK ini berupa fibrosis kongenial individual dan dikenal dengan
“congenital fibrosis of extra ocular muscle” (CFEOM), yang ditandai dengan:
 Ptosis bilateral.
 Infraduksi partial/komplit (bola mata tidak bisa diangkat melewati midline)
 “restrictive ophthalmoplegi”.

CFEOM 1 (bila mengenai seluruh anggota famili)


Superior division dari nervus ocolomotor yang mensarafi rektus superior dan
levator palpebra tidak ada. Karena otot ini berfungsi mengangkat palpebra dan
bola mata, akibatnya pada bola mata akan terjadi infraduksi dan tidak bisa
mengangkat bola mata melewati midline dan palpebra terjadi ptosis, bersifat
autosomal dominant. Kelainannya pada chromosom 12
Gambaran klinik.
 Ptosis bilateral
 Ophthalmoplegi restriktif
 Partial/komplit infraduksi
 Mengenai seluruh anggota famili
Kelainan ini akbat maldevelopment dari Nc. N. Okulomotorius dan atau Nc.
N.Trokhlearis.

CFEOM 2
Eagle et al (1997) mendapatkan varian dari kelainan ini yang dikenal dengan
CFEOM 2 dengan kelainannya di chromosom 11q13, bersifat autosomal resesif.
Gambaran klinik:
 Ptosis bilateral (berat)
 Oftalmoplegia restriktif
 Rx pupil dan Rx dekat tidak ada.
 Eksotropia yang ekstrim (strabismus fiksus eksotropia),
Pada keadaan ini tidak ditemukan nc NIII/IV.

105
FEOM3
Kelainan pada chromosom 16q24, kelainan merupakan varian dari FEOM 1 dan
biasanya lebih ringan , ini bisa terjadi pada satu individu atau lebih dan tidak
ditemui gambaran klasik dan bersifat autosomal dominan.
Gambaran klinik:
 Mungkin tidak terdapat infra duksi melainkan mungkin elevasi diatas
midline.
 Bisa juga pada orang tertentu mengenai unilateral.
 Bisa juga tidak ditemukan ptosis.
Diagnosis tergantung dari hambatan gerakan otot, dan restriksi diketahui dengan
test forced duction test.
Diagnosa:
 Force duction test, terdapat restriksi yang ekstrim dari otot (karena ketegangan
otot akibat digantikan jaringan fibrous.
 CT Scan terdapat gambaran atrofi dari otot.
 Histologis, jaringan otot digantikan oleh jaringan fibrosis.

Differensial Diagnosa
 Fraktur lantai orbita, biasanya didahului oleh trauma, dengan edem kelopak
mata, sering dengan proptosis, gerakan elevasi sangat terbatas.
 “Endocrine myopathy”, disini dibedakan dengan gejala Graeve
ophthalmophathy lainnya seprti eksoftalmus, retraksi palpebra dan biasanya
ditemukan setelah dewasa.
 Sindroma Brown
Mata yang dikenai tidak bisa elevasi waktu adduksi/downshoot waktu adduksi.
San hipotropia pada posisi primer.
 “double elevator palsy” “Chronic progressive external ophthalmoplegia”

Terapi
Bertujuan untuk meluruskan dalam posisi primer dan memperbaiki posisi kepala,
dengan membebaskan restriksi otot, tetapi rotasi mata tetap tidak bisa diperbaiki dan
hasilnya juga sulit diramalkan dan tidak memuaskan.
 Reses
 Tenotomi
 Hang back
 Terapi ptosis.

TIROID OFTALMOPATI (GRAVES’ DESEASE)

106
Tiroid oftalmopati adalah kelainan berupa peradangan autoimun yang meliputi
orbita dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan:
 Edema peri orbital
 Pembesaran otot ektra okuler
 Proptosis
 Retraksi palpebra
 Neuropati optic
 Peningkatan tekanan intra okuler sekunder.
 Retriksi dari elevasi baik pada satu atau kedua mata merupakan gambaran yang
menonjol.

Nama lain:
 “Exophthalmic ophthalmoplegia”
 “Endocrine ophthalmopathy”
 “Endocrine otbitopathy”
 “Endocrine myopathy”
 “Dysthyroid eye desease”
 “Infiltrative ophthalmopathy”
 “Dysthyroid myositis”
 “Exophthalmic goiter”

Gambaran klinik dan diagnosa


 Lebih sering terjadi pada wanita dan biasanya pada usia pertengahan
 Diplopia terjadi secara pelan dan berhubungan dengan terjadinya eksoftalmus.
(beberapa pasien terjadi eksoftalmus belakangan setelah gangguan gerakan mata)
 Keterbatasan/restriksi dari elevasi merupakan kelainan yang paling sering ditemui.
Restriksi dari gerakan bola mata dan strabismus ini disebabkan terjadinya
infiltrasi peradangan dan diikuti fibrosis dari otot ektra okuler.
Otot rektus inferior merupakan otot yang paling banyak dikenai diikuti medial,
superior dan rektus lateral, ini mungkin berhubungan dengan anatomi bagian
bawah orbita, karena rektus inferior dan oblik inferior merupakan satu-satunya
otot yang mempunyai kontak langsung dan setiap proses inflamasi cenderung
terjadi fibrosis yang menyatukan kedua otot ini dengan ligament of Lockwood (J.E.
Miller dkk).
 Periorbital edem biasanya bersamaan dengan terbatasnya gerakan elevasi mata,
baru diikuti oleh hambatan pada gerakan horizontal dan vertical akibat ganggua
pada rektus medial dan superior. Rektus lateral yang paling sedikit dikenai.
Hambatan gerakan bisa unilateral atau asimetris bila mengenai kedua mata.
 Kompresi dari apek orbita karena pembesaran dari rektus medial menyebabkan
kongesti dari n.Optikus dan kematian dari akson sehingga mengakibatkan
penurunan visus, tapi akadang-kadang terjadi atrofi N.Optikus tanpa pembesaran
otot.
 Retraksi palpebra superior merupakan salah satu manisfestasi penyakit ini,
biasanya disebabkan oleh peningkatan saraf simpatis, dan juga karena pemendekan
aponeurosis levator palpebra. Usaha elevasi dari mata karena retriksi rektus
inferior menambah terjadinya retraksi palpebra.
 Diagnosa dipastikan dengan “forced duction test”.

107
Terapi
 Normalisasi dari “endocrine imbalance” dengan terapi medikamentosa, bisa terjadi
perbaikan dari restriksi otot secara spontan, tapi sering tidak memuaskan. Pasien
diamati selama 6 bulan dan bila perlu diberikan terapi prisma untuk deviasi
vertikalnya, dan kalau deviasinya besar dan tidak bisa dikoreksi dengan prisma maka
matanya ditutup.
 High dose kortikosteroid bisa memperbaiki restriksi pada beberapa pasien (Brown
dkk), Nakayama dkk melaporkan hasil yang dramatis dan regresi komplit pada pasien
dengan pembesaran otot dengan pemberian methyl prednisolon dosis tinggi intra vena
yang dibuktikan dengan CT Scan.
 Orbital radiation
 “Surgical decompression” dilakukan sebelum operasi strabismus, karena 80% pasien
setelah dekompresi memperoleh kembali penglihatan binokuler, juga untuk mencegah
keratitis eksposure, karena tiap operasi reses akan memperberat keratitis ekposure
(reses 2 otot pada mata yang sama akan menimbulkan proptosis 3 – 4 mm).
 Terapi untuk strabismus yang diakibatkan miopati dilakukan setelah deviasi stabil, dan
imflamasi sudah teratasi biasanya tunggu 4 – 6 bulan baru dilakukan operasi dengan:
- Reses rektus inferior 4 – 7 mm. (komplikasi bisa terjadi hipertropia dengan
diplopia waktu down gaze), dan pada kasus yang sudah berlangsung lama
(long standing) dilakukan juga reses konjunctiva dan kapsula tenon.
(Reses 1 mm otot akan mengoreksi deviasi vertical 3 PD)
Hipotropia < 15 PD dilakukan reses ipsilateral rektus inferior, adjustable
suture.
Hipotropia > 15 PD dilakukan reses ipsilateral rektus inferior dan
adjustable suture ditambah rektus superior kontra
lateral.
- Adjustable suture, sebagian ahli lebih menganjurkan cara ini karena cara
standard hasilnya tidak bisa diprediksi.
Hyun Kim S, et al. lebih setuju dengan cara standard karena pasien dengan
tiroid oftalmopati sering mempunyai ketegangan otot yang antagonis dan
juga sering terjadi slip dai otot pada waktu penyembuhan pada fase awal,
sehingga fiksasi post operasi dengan cara adjustable suture cenderung
terjadi overkoreksi dan juga mual, rasa tidak nyaman dan okulo kardiak
reflek lebih sering terjadi denga cara ini. Operasi dengan cara adjustable
suture hanya dilakukan untuk pasien reoperatif.
- Botulinum toxin , biasanya efektif sementara
Hasil operasi sering hanya bersifat sementara karena kemudian bisa terjadi pula pada otot
lainnya yang juga perlu dilakukan dioperasi.

108
XX. “CYCLIC STRABISMUS”

Nama lain: “Cyclic heterotropia”, “Circadian, periodic, alternate day atau clock
mechanism esotropia”. (bisa juga terjadi exo/hypertropia). Kelainan ini pertama kali
ditemukan oleh Bohm 1845, pada anak usia 3 tahun dengan esotropia berganti hari.
Kelainan ini jarang ditemukan:
1 dari 3000 – 5000 pasien strabismus
3 kasus dari 3500 strabismus (Costenbader dan Mausel)

Karakteristik:
 Ditandai dengan terjadinya periode heterotropia yang biasanya berganti hari, satu hari
matanya lurus dan satu hari lagi dengan strabismus manifest. Siklus ini bisa juga terjadi
dalam 48 , 72 atau 96 jam.
 Strabismus ini Non akommodatif dan non paretik dan terjadi biasanya pada anak usia
muda.
 Kelainan ini biasanya timbul pada usia anak2 (3-4 th) dan menjadi lebih nyata pada usia
sekolah.
 Pada waktu posisi mata lurus tidak ditemukan kelainan fungsi binokuler, dan pada waktu
terjadi deviasi (sudut deviasi bisa 4o s/d 50 PD) maka terdapat gangguan penglihatan
binokuler berupa gangguan fusi, stereoskopik dan diplopia (biasanya pada usia lebih
besar/dewasa).
 Keadaan cyclic ini biasanya berlangsung selama 4 bulan sampai beberapa tahun hingga
akhirnya deviasi menetap.

Etiologi
Yang pasti tidak diketahui.
 Diduga sebagai penyebab adalah kerusakan pada system saraf pusat
Disini terjadi disfungsi minimal dari otak yang bermanfestasi sebagai, Hiperkinesis,
Pergantian perhatian yang cepat (“short attension span”), kurangnya kemampuan
integrasi gerak.
 Bisa juga karena kerusakan intra kranial akibat trauma, demam tinggi, “cerebrovasculer
accident”, lues atau ensefalitis tumor dll.
“Locus cicardian mechanism” terletak pada hipothalamus bagian ventral(Richter)
Mekanisme kelainan ini adalah terjadinya “rivalry” antara dua hemisfer pada “incomplete
cerebral domin (Hall dan Yap).
 Disamping “cyclic strabismus” yang klasik, dikenal juga “cyclic strabismus” dengan
deviasi dan juga vertical yang biasanya terjadi pada orang dewasa.

109
Ini biasanya disebabkan oleh trauma maupun post operatif ( operasi otak, operasi katarak
bilateral. Ablasio retina, operasi strabismus).Mekanisme terjadinya “cyclic strabismus”
disini tidak diketahui
Terapi:
Terapi ditujukan pada deviasinya waktu periode “cyclic strabismus”nya muncul
Terapi bisa dengan operasi dan bisa juga dengan botulinum.

110
XXI. MIKROTROPIA

Mikrotropia merupakan strabismus dengan deviasi kecil dan secara kosmetik tidak
mengganggu. Keluhan pada umumnya tidak ada, tapi sebagian kecil pasien mengeluh
astenopia karena adanya gangguan penggunaan kedua matanya secara bersamaan.
Kelainan ini mulanya ditemukan pada pasien strabismus deviasi besar dengan operasi
yang sukses, tapi pada evaluasi ditemukan mikrostrabismus dan supresi fovea sedangkan
amplitudo fusi vergen yang baik. Kemudian ternyata strabimus ini bisa berupa kelainan
primer, dapat pula sekunder dari pengobatan strabismus non operatif, anisometropia, deviasi
vertikal dan lesi fovea.
Kelainan primer pada umumnya menetap selama hidup, tetapi 26% berobah jadi
deviasi besar dalam waktu rata-rata 17.4 tahun.
Karena gambaran klinik yang membingungkan maka banyak nama yang digunakan
untuk ini antara lain, “retinal slip”, “fixation disparity”, “fusion disparity”, “retinal flicker”,
“monofixational esophoria”, “monofixational syndrome”, “strabismus spurious”,
“microtropia”, “microstrabismus” dll.
Strabismus ini sering tak terdeteksi dengan cara pemeriksaan “cover test” karena tak
ada/sangat sedikit gerakan mata yang deviasi waktu menutup mata yang sehat.
Lang.J 1966 pertama kali menggunakan nama mikrotropia untuk kelainan dengan deviasi
kecil (<5 derajat), dengan “harmonious anomalous retinal correspondence”, “partial
stereopsis” dan ambliopia ringan.

Kriteria mikrotropia sbb (Griffin J.R. & Grissam J.D):


 Mekanisme tidak diketahui, sering sekunder dari hasil pengobatan operasi maupun
“visual training” pada esotropia kongenital.
 Timbul sejak lahir atau pada waktu melakukan pengobatan esotropia tsb.
 Sudut deviasi 1 -9 PD
 Deviasi bisa eso, ekso atau hiperdeviasi ( esodevasi lebih sering dari ekso/hiperdeviasi)
dan biasanya disertai dengan phoria
 Biasanya ARC
 Fusi perifir , stereopsis kasar dan supresi sentral
 Sering ada amblyiop (ringan)
 Biasanya tanpa keluhan

Lang J mendapatkan mikrotropia pada 200 dari 20.000 ( 1%) pasien praktek
Kebanyakan dari mikrotropia adalah berupa “microesotropia”.

111
Pada penelitian lainnya Lang mendapatkan 774 dari 26762 (2.8%), dari kasus ini didapatkan
mikrostrabismus konvergen 755 orang (97. 5%) dan mikrostrabismus divergen 19 kasus ( 2.
5%).
Anisometropia merupakan faktor penyebab yang banyak, dan timbulnya skotoma
foveal merupakan akibat dari kebingungan antara bayangan yang kabur pada mata yang
ametropia dan bayangan yang tajam pada mata yang emetropia.
Kelainan ini pada umumnya muncul sebelum usia 3 tahun, dan deviasinya jarang yang
bertambah besar.

Klasifikasi dan etiologi:


I. Rowe 1997:
1. Mikrotropia primer ( tanpa riwayat deviasi besar)
2. “Primary decompensating microtropia” ( adanya elemen akomodatif dan
hipermetropia)
3. Mikrotropia sekunder ( sekunder dari pengobatan strabismus)

II. Griffin J.R. & Grisham J.D


1. Mikrotropia primer ( tanpa adanya strabismus dengan deviasi besar)
2. Mikrotropia sekunder ( akibat latihan atau operasi untuk pengobatan strabismus
deviasi besar)
3. Mikrotropia sekunder dari aniseikonia, anisometropia, deviasi vertikal yang tidak
dikoreksi dan lesi pada fovea.

Gambaran klinik:
1. Sudut deviasi
 Deviasi kecil 1–10 prisma.
( Evan.B. Doshi S)
 Deviasi < 8 prisma
(Eustis H.S and MacPhee A)
 Deviasi < 5 derajat ( Lang J)
2. Anisometropia
Biasanya terjadi pada
hipermetropia dengan beda refraksi 1.25 D atau lebih. Rowe , mikro eksotropia sering
berhubungan dengan “mix astigmat anisometropia”, dan mikroesotropia berhubungan
dengan “spherical anisometropia”
3. Ambliopia.
Ambliop biasanya ringan dengan tajam 6/12 atau lebih kecil). Adanya ambliopia
merupakan petunjuk / gejala utama adanya mikrotropia dan ini sering berhubungan
dengan fiksasi eksentrik.
4. Fiksasi eksentrik.

112
Fiksasi sentral hilang pada mikrotropia karena timbulnya scotoma supresi pada fovea
mata yang ambliop. Besarnya derajat “eccentrity” pada umumnya sama dengan besarnya
sudut deviasi. Inilah yang menyebabkan mata tidak bergerak pada pemeriksaan cover test.
Kalau besarnya eccentricity” lebih kecil dari deviasi maka pada pemeriksaan “cover test”
akan terlihat sedikit gerakan.
5.”Abnormal retinal correspondence”
Pada pasien “fully adapted microtropia”/“harmonious anomalous retinal correspondence”,
tidak terdapat gerakan mata yang deviasi waktu pemeriksaan dengan “cover test”. Pada
yang terdapat sedikit pergerakan pada “cover test” mungkin terdapat “eccentric viewing”
(fiksasi tidak absolut eksentrik/ “not fully adapted” ).
6.“Periferal fusion”
Fusi perifir masih baik karena yang terganggu fusi sentral oleh adanya skotoma. Posisi
mata yang relatif lurus dipertahankan dengan adanya periferal fusion ini.
7.“Monofixational syndrom”
Pada mikrotropia mata hanya berfiksasi pada mata yang baik. Bila pada pemeriksaan
dengan “alternating cover test syndrom” sudut deviasinya tambah besar, berarti ada
komponen forianya dan komponen foria ini sering lebih besar dari deviasi mikrotropianya.
8.Stereopsis
Okuda et al melaporkan terdapat stereopsis derajat rendah pada mikrotropia. Pada
pemeriksaan dengan TNO test tajam penglihatan stereoskopik jarang yang lebih baik dari
2000 detik busur. Griffin mendapatkan tajam penglihatan stereoskopik 100 detik busur
dengan pemeriksaan titmus stereo test.

Pemeriksaan / Diagnosa
1. - Pemeriksaan tajam penglihatan.
Ambliopia (tajam penglihatan pada mata tersebut 20/30 atau lebih jelek) atau
perbedaan tajam penglihatan 2 baris snellen.
Disamping itu ditemukan adanya crowding phenomen, yaitu tajam penglihatan
huruf tunggal Lebih baik dari pada huruf dengan baris
- Test melihat huruf (gambar)
Baris 1 : Mata normal
Mikrotropia mata kiri  kabur beberapa huruf dikiri
(baris 2)
Mikrotropia mata kanan  kabur beberapa huruf di kiri
dikanan (baris 3)
Baris 4 : ambliopia foveal

113
Gambar 70.
2. “Cover test”.
Hasil pemeriksaan dengan cover test tergantung dari pola fiksasinya.
Kalau fiksasi belum eksentrik, maka ditemukan positif unilateral cover test antara 1 –
10 prisma , gerakan ini sedikit/halus dan kalau pemeriksa kurang teliti bisa tidak
terdeteksi.
Griffin J.R & Grisham J.D melakukan “unilateral neutralization test” (test spesifik
untuk ini). Caranya adalah dengan menutup mata yang baik bersamaan dengan
memberikan prisma yang sesuai dengan deviasinya pada mata yang deviasi.
Besarnya deviasi diketahui dengan besarnya prisma pada saat gerakan tidak ada lagi.
Bila terdapat fiksasi eksentrik (“fully adapted”) maka tidak terdapat gerakan pada
pemeriksaan “cover test” dan pada keadaan ini besar deviasinya sama dengan besar
derajat fiksasi eksentriknya.

3. “Bagollini striated lens test”


Adanya“ central suppression scotoma” mengenai daerah fovea pada mata dengan
fiksasi eksentrik. Ini akan terlihat adanya daerah garis terputus pada test Bagollini
(gap)

Gambar 71.

4. Amsler chart. (dilihat pada jarak 1 meter)


Digunakan untuk mengetahui adanya skotoma pada mata yang deviasi.

114
Gambar 72

Pemeriksaan secara monokuler akan ditemukan adanya daerah skotoma. Gambar A


dengan mikrotropia kanan terlihat daerah kabur bagian kanan ( paracentral scotoma
kanan), gambar B dengan mikrotropia kiri. Gambar C pasien “anisometropic
ambliopia” dengan scotoma sentral dan Gambar D pasien dengan lesi makula.

5. “Harmonious anomalous retinal correspondence”


Diperiksa dengan after image test, mata yang baik disinari dengan sinar slit horizontal
dan fovea dilindungi dari sinar dengan pita dan mata yang
deviasi disinari dengan sinar slit vertikal.
Untuk mendapatkan sinar slit ini dipakai kamera yang bisa membuat
sinar slit horizontal dan vertikal ( gambar) atau bisa juga dipakai alat lain yang bisa
memberikan sinar slit dengan daerah fovea terlindungi.

Gambar 73.

Gambar B, “normal retinal orrespondence” (NRC), C, “abnormal retinal


correspondence” (ARC) pada esotropia, D, ARC pada eksotropia.

6. “Eccentric fixation” ( biasanya parafoveal)

115
Diperiksa dengan memakai visuscop yaitu oftalmoskop yang ada proyeksi objek
disentralnya (bintang). Dilihat proyeksi bintang di retina, kemudian pasien disuruh
melihat bintang.
Pada “eccentric viewing” (B) mulanya bintang terlihat diluar fovea, kemudian
bergerak ke fovea dan berakhir ditempat fiksasi diluar fovea.
Pada “eccentric fixation” (C) mulanya bintang terlihat diluar fovea kemudian
bergerak kearah titik fiksasi tanpa melalui fovea.

Gmb. B “Eccentric viewing” (“not fully adapted”)


Gmb. C. “Eccentric fixation” (“fully adapted”)

Gambar 74.

7. Stereopsis
Umumnya terdapat periferal/”gross stereopsis” ( tidak melebihi 2000 detik busur)
Tajam pengliahatan stereoskopik dapat diperiksa dengan alat TNO test atau dengan
titmus stereo test.
Tajam penglihatan stereoskopiknya ditentukan berdasar sampai gambar lembar
keberapa yang masih bisa dilihatnya.

8. Test 4 prisma dioptri


Alat ini berguna untuk memperlihatkan adanya skotoma
Pada mikrotropia biasanya tidak ada gerakan karena masih dalam daerah skotoma

116
Gambar 75.

9. Dengan pemeriksaan pola fiksasi dengan visuskop(fiksasi foveolar/parafoveolar).


pola fiksasi dapat diketahui dengan melihat lokasi bintang diretina/makula
Gambar
a. fiksasifoveal
b. fiksasi parafoveal
c. fiksasi paramacular
d. fiksasi periferal.

Gambar 76

10. Bruckner test


Pemeriksaan dilakukan dengan melihat reflek fundus memakai oftalmoskop pada
jarak 75 cm. Reflek fudus pada mata yang deviasi terlihat lebih terang dari mata yang
fiksasi . Dikatakan cara ini bisa mendeteksi deviasi 3 PD

117
Gambar 77.

Pengobatan.
Pasien ini biasanya tanpa keluhan, oleh karena itu sering diagnosa terlambat dan biasanya
diketahui pada waktu pemeriksaan disekolah.
Pada orang dewasa pada umumnya tidak memerlukan pengobatan karena tak ada keluhan
dan secara kosmetik tidak ada gangguan.
Pengobatan terutama dilakukan pada nak yang berusia dibawah 5 tahun
1. Koreksi kelainan refraksi.
Sebahagian pasien dengan ambliopia anisometropik terdapat perbaikan terdapat
perbaikan dengan pemberian koreksi kaca mata dan oklusi.
Pada anak usia muda dengan ambliopia dan mikrotropia dapat menormalkan kembali
tajam penglihatan dan tajam penglihatan stereoskopik serta menghilangkan
mikrotropianya.
2. “Full-time occlution” untuk mengobati ambliopianya
Dengan mengobati ambliopianya dengan kembalinya visus menjadi normal juga
fiksasinya menjadi sentral kembali.
Cleary 1998 mengatakan sepertiga dari sampel yang ditelitinya visus menjadi normal
dan menghilangkan mikrotropianya.
Von Noorden mendapatkan 3 pasien mikrotropia usia dibawah 5 tahun dengan
anisometropia dan ambliopia ringan yang diobati dengan pemberian kaca mata dan
oklusi, visus menjadi 20/20 dan tajam penglihatan stereoskopik 40 detik busur.
Houston C.A et al dengan koreksi refraksi dan oklusi pada 30 pasien dengan usia rata-
rata 5.5 tahun ( 32 – 114 bulan ) mendapatkan 13 pasien (43%) dengan visus 6/5; 87%
dengan visus 6/9/lebih baik. 37% memperoleh tajam penglihatan stereoskopik 60 detik
busur / lebih baik; 50% kembali mendapatkan fiksasi fovea.
Hasil pengobatan tidak dipengaruhi oleh usia, tajam penglihatan awal dan derajat
normal anisometropianya.
3. Ortoptik ( jarang yang berhasil dan digunakan kalau ada ambliopia dengan “eccentric
fixation”), disini terutama ditujukan untuk mengembalikan fiksasi eksentrik ke fiksasi
sentral.
4. Prisma ( tidak banyak membantu)
Disini tujuannya memfokuskan bayangan ke sentral sehingga foveo sehingga kembali
berfungsi

118
XXII. NISTAGMUS

Definisi:
Nistagmus adalah gerakan yang tidak disadari, gerakan bolak balik yang berirama dari kedua
mata. Gerakan ini bisa horizontal, vertikal, rotary atau campuran.

KLASSIFIKASI BERDASAR KARAKTERISTIK GERAKAN MATA


Nistagmus pendular
Nistagmus tipe ini ditandai:
- Gerakan/goyangan bolak balik dari mata relative sama jumlah, kecepatan dan
amplitudonya
- Ossillasi biasanya horizontal dan gerakan ini tetap sama pada “up gaze” dan “down gaze”.
- Nistagmus pendular sering timbul berhubungan dengan nistagmus sensoris atau nistagmus
okuler yang disebabkan oleh defek dari penglihatan. Ini biasanya terjadi pada pasien
dengan kelainan visus bilateral kongenital seperti katarak congenital, lesi n.optikus dimana
fiksasi sentral tidak berkembang dengan baik.
Penyebab utama : visus dengan penglihatan sentral yang kurang pada tahun pertama
kehidupan (sebelum usia 2 tahun). Beberapa ahli mengatakan nistagmus merupakan
kompensasi dari dari skotoma sentral.

“Yerk nystagmus”
Merupakan nistagmus dimana goyangan pada satu arah lebih cepat dari arah lainnya dan arah
nistagmusnya sesuai dengan komponen cepatnya, yang menimbulkan irama sentakan yang
spesifik.

Nistagmus tipe ini ditandai:


- Gerakan/goyangan bolak baliknya tidak sama, dengan komponen lambat pada satu arah
dan diikuti komponen cepatnya kearah sebaliknya
- Pada jerk nistagmus kongenital biasanya ossillasi tetap horizontal pada semua arah gaze.
Pada kebanyakan kasus dengan “null point/null zone” ( yaitu titik dari gaze dengan

119
ossillasi mata minimal atau hilang. Pada beberapa kasus terjadi kompensasi dengan
perobahan posisi kepala untuk mempertahankan mata pada posisi yang menyenangkan
yaitu pada posisi dimana nistagmus minimal dan visus terbaik.

Penyebab dasar kalau tidak ditemukan kelainan sensoris yang menyebabkan kelainan tajam
penglihatan, biasanya penglihatan subnormal ini disebabkan/berhubungan dengan hipoplasia
dari fovea atau papil n.optikus.
Nystagmus ini bisa fisiologis (Optokinetik nystagmus, perangsangan pada labyrinth
Jerk nystagmus ada 5 bentuk:
- optokinetik nystagmus
- vestibuler ,,
- congenital
- nystagmus karena insufficiency neuromusculer
- latent nystagmus.

“Voluntary nystagmus”
Adalah nistagmus tipe pendular yang unik dimana dengan kemauan subjek bisa
ditimbulkan goyangan horizontal halus yang cepat (tidak ada arti klinik)

Nistagmus latent
Yaitu nistagmus yang terjadi hanya bila satu mata ditutup, arah dari fase cepat sesuai
dengan mata yang tidak ditutup.Bila kedua mata dibuka nistagmusnya hilang. Kadang-
kadang berhubungan dengan strabismus “sursumduction” alternating.

Spasmus nutan
Nistagmus ini ditandai dengan trias: nistagmus, “head nodding” dan kelainan posisi kepala.
Merupakan bentuk pendular nystagmus yang didapatkan pada anak dengan mata normal
dengan riwayat biasanya mata lurus. Sukar dibedakan dengan nystagmus kongenital, kadang-
kadang dapat dibedakan dengan perjalanan penyakit.

“NULL ZONE”
Adalah posisi gaze dimana nistagmusnya paling sedikit dan tajam penglihatan pasien lebih
baik. “Null zone” sering ditemui pada nistagmus kongenital terutama pada “motor
nystagmus” dan tidak khas pada nistagmus yang didapat.

KLASIFIKASI BERDASAR BIDANG GERAKAN


 Nistagmus horizontal
 Nistagmus vertikal
 Nistagmus oblik
 Nistagmus rotatori

120
KLASIFIKASI BERDASAR FREKUENSI
 Lambat < 40 menit
 Sedang 40 – 100/menit
 Cepat > 100/menit

NISTAGMUS DIBAGI 3 KATEGORI;


1. Nystagmus fisiologis
2. Nystagmus Congenital/Infantil, yang timbul sejak lahir atau segera sesudah
lahir.
3. Nystagmus yang didapat/acquired (kelainan neurologis/toxic.

NISTAGMUS FISIOLOGIS
Physiologic/ end –Point nystagmus) :
“True fisiologis nystagmus” bisa ditimbulkan secara laboratories berupa “end point
nystagmus” dan nistagmus yang diinduksi dengan “coloric testing”
Amplitudo fisiologic nistagmus kurang atau sama dengan 3 derajat
Ada 3 type dasar:
 “Fatiq nystagmus”
Timbul selama mempertahankan mata pada posisi gaze yang ekstrim
Didapatkan pada 60% orang normal bila terdapat gaze maksimal yang melebihi 30 detik.
 “Sustained end – point”
Mulai segera/dalam beberapa detik setelah mencapai suatu posisi “eccentric lateral
gaze”. Didapatkan pada 60% orang normal dengan mempertahankan horizontal gaze >
40 derajat
 “Unsustained end – point nystagmus” (merupakan nystagmus fisiologis terbanyak)
Pengalaman klinik menemukan terjadi beberapa tarikan nistagmus dalam batas normal
pada deviasi gaze 30 derajat/lebih.

1. NISTAGMUS KONGENITAL/NISTAGMUS INFANTIL DAN NISTAGMUS PADA


ANAK
Gerakan pada nistagmus kongenital adalah “involuntary”, “rhythmic”,
“pendular/jerky conjugate oscillation” dari mata yang dapat berupa laten atau manifes. Istilah
nistagmus kongenital digunakan untuk “sensory nistagmus” dan “motor nystagmus” yang
muncul dalam beberapa bulan awal kehidupan.
Istilah “congenital nystagmus” ini masih kontroversi karena anak dengan “motor
nystagmus” berkembang sejak lahir atau dalam beberapa hari setelah lahir, sedangkan
“congenital sensoris nystagmus” berkembang setelah usia dua bulan. Pada nistagmus ini
makin cepat ossillasi maka visus pasien makin jelek. Insidence 1 : 6550, dan laki-laki lebih
banyak dari wanita

121
a. “Congenital Sensory Nystagmus” (timbul setelah usia 2 bulan)
Disebabkan bayangan yang inadequat yang terbentuk pada fovea, nistagmus tipe ini
biasanya bilateral dan horizontal dan tipe pendular , ossillasi mata dengan kecepatan yang
sama pada kedua arah gerakan.
Pada keadaan visus yang kurang, impuls visual yang kurang ini diteruskan keotak dan
ini mencegah berkembangnya reflex fiksasi  Nystagmus. Bila penurunan tajam
penglihatan terjadi setelah usia 2 tahun maka nistagmus okulernya berkembang sebagian dan
bila penurunan visus terjadi setelah dewasa tidak terjadi lagi nistagmus karena mata sudah
stabil. Nistagmus sensoris ini disebabkan oleh kelainan organik dari media, makula, retina
dan n.optikus.
 Atrofi n. Optikus/ kelainan kongenital papil n. optikus (coloboma)
 Lesi macula bilateral .
 Katarak kongenital
 Astigmat tinggi/ Myop tinggi patologis
 Kekeruhan kornea
 Aniridia
 Buta warna total
 Hipoplasi fovea yang berhubungan dengan albinisme.
 “Leber’s congenital amaurosis”
Beratnya nistagmus biasanya berhubungan dengan berkurangnya tajam penglihatan.
Nistagmus pendular terjadi bila tajam penglihatan lebih kurang 20/200 (sekurang
kurangnya pada satu mata). Tajam penglihatan pada pasien dengan “searching” (roving and
drifting) nystagmus” tanpa fiksasi adalah 20/200 atau lebih jelek.

b. “ Congenital Motor Nystagmus” (timbul sejak lahir sampai usia 2 bulan)


Istilah ini digunakan bila kelainan sensoris yang menimbulkan nistagmus tidak
ditemukan. Merupakan nistagmus kongenital dengan defek primer pada mekanisme eferen.
Kemungkinan meliputi pusat atau pada perjalanan okulomotor yang mengontrol “conjugate”.
Tidak ditemukan adanya kelainan okular. Amplitudo maupun frekuensi menurun atau
nistagmus hilang dan tajam penglihatan membaik pada satu posisi dari gaze (null point atau
neural zone).
Disini terjadi perobahan posisi kepala yang berguna untuk memperbaiki tajam
penglihatan.
 Tipe ossillasi, frekuensi bervariasi dari lambat sampai cepat dan amplitudo bervariasi dari
kecil sampai besar, arah nistagmus bisa horizontal, vertikal, rotatori, sirkuler atau elips
atau kombinasi. Karakteristik gerakannya adalah pola jerk dengan adanya komponen
cepat dan lambat ataupun bisa juga penduler (pada beberapa pasien kadang-kadang pada
satu waktu ditemukan jerk dan pada waktu lainnya penduler

122
 Karena fovea biasanya tidak ada kelainan organik, tajam penglihatan cenderung lebih
baik dari nistagmus sensoris , bahkan pada beberapa pasien tajam penglihatan bisa 6/6.
Pada kedua matanya terbuka tajam penglihatan biasanya 6/6 s/d 6/24.
 Pada “null zone” nistagmusnya sedikit dan visus lebih baik. Biasanya ditemukan juga
kelainan posisi kepala.

c. Nistagmus laten/ ”true latent Nystagmus”


Terminologi ini membingungkan dengan nistagmus kongenital karena juga
ditemukan pada usia sebelum 6 bulan. Ini merupakan “congenital motor nystagmus” yang
timbul bila satu mata ditutup dan hilang bila kedua mata dibuka. Gerakan selalu berupa jerk
dengan fase cepat dan “beat”nya selalu menjauh dari mata yang ditutup.
Pada nistagmus ini sering ditemukan strabismus kongenital/infantile esotropia Pada
pasien dengan nistagmus laten ini biasanya amplitudonya kecil (micro nystagmus) pada
keadaan kedua mata terbuka, dan juga ditemukan head tilt (sebagai kompensasi
menggunakan nul zone) dan ini juga merupakan bukti adanya nistagmus. Bila nistagmusnya
tetap ada bila kedua matanya maka dinamakan nistagmus manifes laten. Beda nistagmus
manifest dan laten/manifes laten nistagmus kongenital:

Manifes Laten/manifes laten


Bifasic, umumnya pendular Jerk
“Increasing- velocity slow phase” “Decreasing- velocity slow phase”
Nistagmus tak ada perobahan dengan Meningkat dengan menutup satu salah menutup
satu mata mata.
Gerakan bebas/sama pada fiksasi mata Fase cepat kearah mata yang fiksasi
Jarang berhubungan dengan esotropia Hampir selalu berhubungan dengan
kongenital esotropia kongenital
Tajam penglihatan binokuler sama Tajam penglihatan binokuler lebih baiknya
dengan tajam penglihatan monokuler dari tajam penglihatan monokuler

d. Spasmus Nutan,
Kelainan ini ditandai adanya “Head Nodding” bersamaan dengan Nystagmus,
sindroma ini didapatkan pada “motor nystagmus” dengan adanya “trias, nistagmus, “head
nodding” dan kelainan posisi kepala, gerakan berupa pendular dijumpai biasanya pada usia
tahun pertama kehidupan dan berakhir pada usia 1 atau 2 tahun.
Kelainan ini kadang-kadang juga ditemukan pada neoplasma intra cranial.
Gambaran klinik:
 Timbul biasanya pada anak usia 6 bulan – 2 atau 3 tahun dengan nistagmus
pendular yang cepat dan halus/kecil
 Pada postur lengkapnya disertai dengan “head nodding” yang kadang –kadang disertai
dengan kelainan posisi kepala/tortikolis.
 Gerakan mata biasanya tidak sama besar dan sering asimetri antara ke dua mata,
kadang-kadang hanya satu mata yang bergerak.

123
 Bervariasi sesuai arah gaze
 Penyebabnya tak diketahui dan tidak ada kelainan patologis yang jelas dan biasanya
hilang setelah 2 tahun
 Tidak ditemukan kelainan organik yang jelas

e. “Periodic alternating nystagmus”


Adalah bentuk “congenital motor jerk” nistagmus yang secara periodik berubah arah.
Yang khas gerakan dimulai dengan suatu “jerk nystagmus” pada satu arah dan berakhir
setelah 60 s/d 90 detik dan kemudian melambat dan mengecil. Suatu periode tanpa
nystagmus selama 10-20 detik dan kemudian mulai lagi “jerk nystagmus” kearah yang
berlawanan untuk 60 s/d 90 detik dan kemudian proses berulang lagi seperti semula.

Nistagmus “Blokage Syndrome “


Adalah suatu bentuk “congenital jerk nystagmus” yang berhubungan dengan
esotropia, dimana amplitudo nistagmus akan berkurang atau hilang dengan adanya
konvergensi. Bila mata yang berfiksasi adduksi. maka m. rektus medial dari mata yang
fiksasi tersebut akan berkontraksi dan menjadi hipertonik, ini akan memblok nistagmus
sehingga menimbulkan esotropia.
Mekanisme ini tidak diketahui, tetapi hubungan antara nistagmus kongenital dan
esotropia ini dikenal dengan “nystagmus blockage syndrome”. Sering ditemukan pada
nistagmus laten dengan adanya elemen akomodatif (pupil kecil)
Gambaran utama dari sindroma:
 Kelainan muncul waktu bayi, esotropia didahului oleh “jerk nystagmus”
dan sering didapatkan ambliopia.
 Terdapat kelainan posisi kepala, dimana kepala mengarah ke mata yang adduksi /
mata yang fiksasi (contoh, kepala berputar kearah kiri jika mata kiri yang
berfiksasi).
 Mata yang berfiksasi tetap adduksi walaupun mata sebelahnya ditutup/oklusi
(ini seolah-olah pseudo paralisis m. rektus lateral) yang bisa dibuktikan dengan
pemeriksaan parese m. rektus lateral.
 Dengan adduksi mata yang fiksasi, maka nistagmus akan berkurang atau hilang,
tapi intensitas nistagmus meningkat.

“Nystagmus blockage syndrome” dapat diinduksi dengan memakai prisma base out pada
mata yang fiksasi.

III. NISTAGMUS YANG DIDAPAT


Pada nistagmus yang didapat tidak ditemukan adanya “null zone”. Mungkin ditemukan:

124
 “SEE SAW NYSTAGMUS” yaitu “pendular dissociated type” tanpa ada komponen cepat
dan kedua mata bergerak berlawanan dimana satu mata bergerak keatas dan satu mata
bergerak ke bawah dan ekstorsi, biasanya berhubungan dengan tumor para seller dan
bitemporal hemi anopsia.
 “DOWNBEAT NYSTAGMUS” yaitu nistagmus dengan fase cepat (fast fase beating)
kearah bawah. Intensitas maximal dari nistagmus terjadi bila mata berdeviasi ketemporal
dan sedikit inferior. Dengan posisi ini maka gerakan nistagmus kearah oblik dan bawah.
 “UPBEAT NYASTAGMUS” adalah nistagmus dengan fase cepat kearah atas.
Bisanya ditemukan pada lesi medulla
 “OPSOCLONUS“
Adalah suatu kelainan gerakan mata yang sangat jarang dan bukan suatu “true
nystagmus” tetapi suatu gerakan ossilasi mata yang aneh, berupa gerakan mata yang
cepat, diluar kemauan dan multivectorial. Kelainan ini bisa intermitten dan sering dengan
frequensi yang sangat cepat amplitudo yang rendah. Kelainan ini sering ditemukan pada
“acut cerebellar ataxia” pada masa anak-anak.
 “MONOCULAR NYSTAGMUS”
Terjadi pada ambliopia berat atau mata buta keduanya.
Ossilasi biasanya pendular terutama vertical, pelan dan amplitudo kecil dan frekuensi
irregular. “Monocular nystagmus” kadang-kadang sulit dideteksi biasanya jarang pada
bayi dan anak yang masih kecil’
 “DISSOCIATED NYSTAGMUS”
“Dissociated nystagmus” (“nystagmus in abducting”) ini umumnya ditemukan pada
“internuclear ophthalmoplegia”
 “NYSTAGMUS RETRACTORIUS” (“Dorsal midbrain syndrome”)
“Convergen-retraction nystagmus” merupakan bagian dari “dorsal midbrain syndrome”
yang berhubungan dengan paralisis “up ward gaze”, “defective convergen” dan “light-
near dissociation”. Bentuk nistagmus ini timbul dalam keadaan tertentu, seperti waktu
suatu usaha up gaze yang cepat dimana terjadi kokontraksi semua otot
ekstra ocular dan menarik bola mata kedalam orbita. Ini biasanya terjadi sekunder
terhadap stenosis akueduktus kongenital atau pinealoma.
 “VESTIBULER NYSTAGMUS”,
- Nistagmus perifir, yaitu bila gerakan satu arah dengan fase cepat berlawanan
dengan arah lesi
- Nistagmus sentral, terdapat gerakan satu maupun dua arah , biasanya ditemui pada
multiple sklerosis, “vascular desease”, ensefalitis, lesi sekunder yang mengenai nukleus
vestibuler (tumor cerebellopontin)

PENGOBATAN
Tujuan terapi pada nistagmus adalah
 Memperbaiki tajam penglihatan

125
 Memperbaiki secara kosmetik terhadap ossilasi okuler
 Memperbaiki kelainan posisi kepala
 Pada nistagmus yang didapat, untuk mengurangi “oscillopsia”

TERAPI NON OPERATIF


Terapi ambliopia
Dilakukan dengan penalisasi atau atropine karena dengan oklusi akan memperhebat
nistagmus. Namun ada juga yang melakukan oklusi dengan dasar bahwa bila pasien
berfiksasi dengan mata yang ambliop maka nistagmus akan tetap berkurang.

Partial field occlusion /Porthole (Sasso)


Dengan kaca mata Porthole (dengan hole 10 derajat dibagian sentral) dan oklusi bagian
perifir), dengan cara ini didapatkan perbaikan ringan tajam penglihatan dan juga dilaporkan
terdapat perbaikan dari tortikolisnya, cara ini tidak banyak dipakai.

Terapi Obat
Terapi dengan obat sistemik seperti alkohol, tranquilizer, Phenobarbital dan Baclofen
dulu dianjurkan dan bisa memperbaiki tajam penglihatan, tetapi karena banyak efek samping
dari obat ini maka tidak dipakai lagi.
Helveston dan Pogrebniak memakai botulinum A toxin (oculinum) retrobulber pada
dua pasien dengan nistagmus didapat dan oscillopsia yang berat dan tajam penglihatan yang
menurun, tajam penglihatan membaik dan nistagmus berkurang, tetapi injeksi perlu diulangi
dengan interval satu sampai 3 bulan, sebagian ahli mengatakan bahwa efek ini sifatnya
sementara.

Kaca mata dan lensa kontak


Perlu dilakukan koreksi kelainan refraksi.
Pada kebanyakan pasien dengan koreksi kelainan refraksi terdapat pengurangan yang
dramatis dari nistagmus .
Lensa kontak sangat membantu pada myop tinggi, dan lensa kontak memberi keuntungan
tersendiri karena bisa mengikuti goyangan mata sehingga aksis visual selalu sama dengan
pusat optic mata.

Lensa minus
Overkoreksi dengan lensa minus menyebabkan konvergensi dan ini akan memperbaiki tajam
penglihatan untuk jauh dan sekalian mengurangi nistagmus.

Prisma
Prisma digunakan untuk dua tujuan:
 Untuk memperbaiki tajam penglihatan.

126
Prisma base out digunakan untuk menstimulasi konvergen dan ini akan mengurangi
amplitudo nistagmus dan memperbaiki tajam penglihatan, dengan syarat penglihatan
binokuler baik/normal, karena fusi konvergen merupakan respon terhadap disparitas
retina temporal yang ditimbulkan oleh pemasangan prisma tsb.
Meskipun beberapa ahli menganjurkan cara ini , tetapi masih terdapat kontroversi dari
penggunaannya.
 Menghilangkan kelainan posisi kepala
Pemakaian prisma selanjutnya adalah untuk evaluasi atau terapi non operatif pada pasien
dengan kelainan posisi kepala.
Pada pasien dipasang prisma dengan basis berlawanan dengan arah gaze yang disenangi/
disukai. (contoh, bila bila kepala memutar kekiri berarti “null zone” di dekstroversi, maka
dipasang prisma base in pada mata kanan dan base out pada mata kiri, pada infra versi
maka prisma dipasang base up pada kedua mata,.
Godde-Jolly &Larmande menganjurkan pemakaian prisma kombinasi horizontal dan
vertikal bila null zone nya oblik.
Prisma bisa mengoreksi “head turn” bila “head turn”nya sampai 20 derajat.
Terapi jangka lama dengan prisma untuk koreksi “head turn” sering mengecewakan dan
pada kasus ini terapi operasi lebih efektif.

TERAPI OPERATIF
Terapi operasi dilakukan untuk dua alasan/tujuan:
 Untuk menghilangkan kelainan posisi kepala (kosmetik)
 Mengurangi amplitudo nistagmus atau keduanya
 Juga untuk memperbaiki tajam penglihatan

Memindahkan (shifting) null point kearah posisi primer.


Memindahkan null point harus selalu diingat bahwa mata selalu digeser kearah posisi kepala
uang tidak normal (bila posisi kepala kekiri maka mata digeser kekiri, pada “chin depression”
maka mata digeser kebawah dan bila memutar kekiri bahu maka mata digeser memutar kekiri
dari aksis visual.

Pasien dengan” chin elevation” atau” depression”


Kelainan posisi kepala tipe ini lebih jarang terjadi dari pada head turn.
Pada “chin elevation” 25 derajat atau lebih Park menganjurkan resek kedua otot rektus
superior dan reses kedua rektus inferior 4 mm dan pada “chin depression” dilakukan
sebaliknya.
Pasien dengan “chin depression” atau “elevation” yang kurang dari 25 derajat maka
dilakukan operasi hanya untuk reses otot elevator atau depresor saja tanpa resek dari otot
antagonisnya, tetapi jumlah resesnya dianjurkan 5 mm (bukan 4 mm)

127
Kelainan Posisi Kepala Horizontal
Operasi reses- resek
Bila kepala memutar kekiri atau kekanan akibat nistagmus maka null zone
digeser/dipindahkan ke posisi primer.

Kestenbaum pertamakali melakukan operasi ini (bila kepala memutar kekiri, dilakukan reses
rektus lateral kanan dan resek rektus medial kanan, dan kemudian dilakukan resek rektus
lateral kiri dan resesrektus medial kiri). Dia menganjurkan jumlah yang sama (5 mm) untuk
semua otot.
Modifikasi dari prosedur Anderson-Kestenbaum.
Kebanyakan ahli mengoperasi ke empat otot rektus secara simultan pada yang tidak ada
strabismus. Operasi umumnya adalah reses dari LR pada mata yang abduksi dikombinasi
dengan resek MR ipsilateral dan reses MR pada mata yang adduksi disertai dengan resek LR
ipsilateral.

Kestenbaum-Anderson Procedure (Clasic Maximum)


Adalah modifikasi dari Park yang paling banyak digunakan dengan “dosis Guideline ““5-6-
7-8” yang bisa mengoreksi head turn sampai sekitar 20 derajat.

Cara Kestenbaum-Anderson untuk Nistagmus dengan “face turn” ke kanan ( “eye shift to left”)
Mata kiri Mata kanan
_____________________________________ _______________________________________
“Face turn” Reses LR Resek MR Reses MR Resek LR
(derajat)
< 20 7 mm 6 mm 5 mm 8 mm
30 9 mm 8 mm 6.5 mm 10 mm
45 10 mm 8.5 mm 7 mm 11 mm
>50 11 mm 9.5 mm 8 mm 12.5 mm

Cara Kestenbaum-Anderson untuk Nistagmus dengan “face turn” kekiri (“eye shift to right”)
Mata kanan Mata kiri
_____________________________________ _______________________________________
“Face turn” Reses LR Resek MR Reses MR Resek LR
(derajat)
< 20 7 mm 6 mm 5 mm 8 mm
30 9 mm 8 mm 6.5 mm 10 mm
45 10 mm 8.5 mm 7 mm 11 mm
>50 11 mm 9.5 mm 8 mm 12.5 mm

Park melakukan reses rektus medial 5 mm dan resek ipsilateral rektus lateral 8 mm
ditambah dengan reses rektus lateral 7 mm dan resek rektus medial mata yang sama 6 mm,
(jadi masing-masing mata menerima 13 mm).

128
Pasien dengan “head turn” kekiri dan “conjugate deviation” mata kekanan maka
operasi yang dilakukan sbb:
- reses 7 mm rektus lateral kanan, 6 mm resek medial kanan dan 5 mm reses rektus
medial kiri , 8 mm resek rektus lateral kiri.

Untuk operasi pada “head turn” yang lebih besar dilakukan:


“Augmented Modification of the Kestenbaum-Anderson Procedure”,
- Scott dan Craft menganjurkan: Untuk head turn 45 derajat yaitu cara klasik plus 40%
- Nelson dkk menganjurkan :
- Head turn 30 derajat, cara klasik plus 40% dan
- Head turn 45 derajat, cara klasik plus 60%

Cara modofikasi dari Kestenbaum – Anderson


_______________________________________________________________________________
Cara operasi Kestenbaum Tambahan 40% Tambahan 60%
Reses MR 5 mm 7 mm 8 mm
Resek MR 6 mm 8. 4 mm 9. 6 mm
Reses LR 7 mm 9. 8 mm 11. 2 mm
Resek LR 8 mm 11. 2 mm 12. 8 mm
Total 13 mm 18. 2 mm 20. 8 mm
R+R (5+8) = (6+7) (7+11. 2)) = (8. 4+9. 8) (8+12. 8)=(9. 6+11. 2)

Variasi lain dari cara Kestenbaum-Anderson


Pratt-Johnson (operasi simetris)
Menyarankan operasi 10 mm pada tiap otot horizontal untuk pasien dengan fusi sensoris dan
face turn 35 derajat atau lebih.

“Posterior Fixation Suture”


Spielman menganjurkan tambahan aaaa’posterior fixation sutureaaaa’ pada otot rektus yang
di reses untuk memaksimalkan efek pada tortikolis horizontal yang lebih dari 20 derajat.
Cara ini juga berhasil baik pada “sensory congenital nystagmus”.

“Modified Anderson procedure dari Von Noorden”


Von Noorden memakai cara Anderson, tetapi melakukan hanya reses pada 2 otot, ia
menyarankan reses 12 mm pada otot rektus lateral dari mata yang abduksi dan 10 mm reses
pada otot rektus medial mata lainnya.
Cara ini memungkinkan operasi tambahan pada otot yang belum dioperasi dan juga
mengurangi ischemic segmen anterior.

Operasi pada “Vertical Anomalous Head Posture”


“Vertikal head turn” lebih jarang terjadi dari “horizontal head turn”.

129
Park menyarankan reses 4 mm kedua otot vertical dan resek 4 mm kedua otot antagonis nya
untuk kelainan “head posture” 25 derajat. Operasi dengan cara ini sering underkoreksi,
sehingga cenderung dianjurkan operasi reses 8 mm otot vertical dan resek 8 mm untuk
torticollis yang besar.

Chin up
Chin up 10 - 15 derajat  Reses kedua IR 7 mm
,, > 15 derajat  Reses kedua IR 7mm+tucking/resek SR 5mm OU
Robert dkk menganjurkan pada Chin Up kombinasi reses IR 5 mm dan resek SR 7 mm.
Dengan cara ini terdapat underkoreksi 2 dari 7 pasien. Mereka juga setuju dilakukan reses 8
mm dan resek 8 mm.

Chin Down
Chin Down 10 -15 derajat  Reses kedua SR 8 mm
,, > 15 derajat  Reses kedua SR 8mm + Tucking/resek IR 5m OU.

“Large” reses SR (8-9 mm) dikombinasi dengan reses IO dan anteriorisasi terhadap IR
tidak memperbaiki head position tetapi memperbaiki tajam penglihatan pada semua dari
tujuh pasien.

Rekomendasi (Rosenbaum):
Operasi untuk tortikolis vertical dianjurkan “large” reses dari IR:
Tortikolis 25 derajat: Reses 6 mm
Tortikolis yang lebih 25 derajat reses 8 mm.

Operasi untuk memperbaiki tajam penglihatan


 Menghilangkan kelainan posisi kepala
 Operasi pada ke empat otot horizontal untuk menempatkan ke empat otot rektus
dibelakang ekuator akan mengurangi efek rotasi dari mata.
Nistagmus akan menurun dan “foveation” akan meningkat dan ini akan memperbaiki
tajam penglihatan.(Beiti)
 Von Noorden dan Sprunger melakukan reses 8 – 12 mm pada ke empat otot rektus.
 Helveston dkk. memindahkan MR 11.5 mm dari limbus dan LR 13 mm dari temporal
limbus

Rekomendasi:
Reses LR 10 mm dari insersi dan MR reses 7.5 mm dari insersi.

Pasien dengan “head tilt”

130
Operasi pada pasien dengan “head tilt” kearah salah satu bahu tanpa adanya paralisis otot
oblik merupakan suatu tantangan.
Pada pasien-pasien ini “head tilt” tidak selalu berhubungan dengan nistagmus dan “null
zone”
 Menghilangkan kelainan posisi kepala
 Conrad & Decker melakukan operasi dengan prinsip Kestenbaum yaitu memutar mata
pada aksis sagital kearah bahu sesuai dengan “head tilt”nya. (contoh pasien dengan head
tilt kebahu kanan maka mata kanan dioperasi memutar keluar (eksotorsi) dan mata kiri
diputar kedalam (intorsi). Kemudian ditambah/dilengkapi dengan reses dan retroposisi
aspek posterior dari SO dan anteroposisi dari posterior aspek IO.
Operasi ini rumit dan dapat mengoreksi 10 - 15 derajat.
 Decker melakukan cara yang lebih mudah yaitu dengan vertical transposisi dari rectus
horizontal (contoh, ekstorsi mata kanan dengan rektus medial kanan ditransposisi
kebawah dan rektus lateral transposisi keatas.
 Von Noorden melakukan transposisi otot rektus vertical kehorizontal (contoh, pada “head
tilt” kekanan maka mata kanan di ekstorsi dan mata kiri di intorsi dengan melakukan
transposisi rektus superior kanan kenasal dan rektus inferior kanan ketemporal, serta
rektus superior kiri ketemporal dan rektus inferior kiri kenasal, transposisi ini
dilakukan selebar insersi dan dinsersikan dengan jarak sama dengan insersi awalnya
kelimbus.
Von Noorden menunda operasi pada pasien dengan kelainan posisi kepala dan nistagmus
sampai anak berusia 4 tahun.
 Bisa juga dilakukan supra dan infra placement rektus horizontal.
Untuk “Right Head Tilt” dilakukan supraplacement LR kanan dan infra placement MR
kanan dan LR kiri ditambah dengan supra placement MR kiri dengan menggeser
selebar insersi otot tsb.

“Nystagmus dampening (Blockage) syndrome”


Operasi dilakukan bila esodeviasinya menetap.
Operasi dilakukan dengan reses kedua rektus medial, dan akan lebih efektif bila ditambah
dengan posterior fixation, dari pada dilakukan recess – resect.

131
XXIII. OPERASI OKULER TORTIKOLIS DENGAN TRANSPOSISI
HORIZONTAL DARI REKTUS VERTIKAL

Umumnya kepala yang miring kerah salah satu bahu disebabkan oleh hipertropia atau
siklotropia dan bisa menjadi baik dengan cara operasi convensional dengan
memperkuat/memperlemah otot-otot siklovertical.
Namun kadang-kadang miring kepala ini terjadi tanpa kelainan otot siklovertikal, nistagmus
atau tanpa sebab yang jelas.
Pada kasus ini Von Noorden et al, melakukan operasi yang berhasil pada 4 dari 5
kasus, ia melakukan operasi memutar mata (satu/keduanya) sekitar aksis sagital dengan
transposisi horizontal dari rektus vertical dan tidak ada komplikasi.
Dasar operasi ini dilakukan ialah karena sikloduksi dapat ditimbulkan dengan
melakukan “horizontal displacing” dari otot rektus vertikal.

Cara operasi (contoh kasus: kepala miring kekanan )

Gambar 78.

132
Dilakukan horizontal transposisi dari rektus vertikal selebar otot (rektus superiorse
ditransposisi kenasal selebar otot dan rektus inferior ditransposisi kelateral selebar otot)
hingga mata terputar kearah head tilit, sehingga mata kanan menjadi eekskloduksi dan mata
kiri insikloduksi
“Nasal/temporal aspek” dari tendon diinsersikan sama jarak dari limbus dan dari
insersi semula.
Ke 5 pasien ini dengan usia < 10 tahun dengan head tilt 20 -25 derajat.
4 pasien berhasil  head tilt jadi negatif
1 pasien tidak datang kontrol

XXIV. KOMPLIKASI OPERASI STRABISMUS


Komplikasi waktu operasi
1. Perdarahan selama operasi
Terjadi akibat terpotongnya pembuluh darah konjunctiva waktu operasi, atau waktu
memotong otot diinsersinya.
2. “Lost of the muscle”, karena memotong kurang hati-hati atau karena jahitan yang lepas,
atau karena slip (tergelinir dari “muscle clamp”). Biasanya dengan memegang ujung
kapsula tenon, ujung otot bisa didapatkan dengan menariknya ke luar/kedepan. Tetapi
bila komplikasi ini tidak bisa segera ditemukan maka harus segera diekplorasi, karena
bila dilakukan lebih lama akan lebih sulit.
3. Perforasi ke choroids dan retina bisa terjadi karena kurang hati-hati waktu memasukkan
jarum.
4. Luka pada sklera waktu memotong otot di insersinya, bisa dijahit atau kouterisasi
5. Ablasio retina dan endophthalmitis

Komplikasi waktu anastesi


1. Kardiak ares (jarang), bisa timbul karena terjadi “oculo cardiac reflex” waktu menarik
otot, terutama rektus medial.

Komplikasi post operatif


1. Infeksi. (endoftalmitis, selulitis orbita, abses pada jahitan)
2. Reaksi dari jahitan, lebih sering dari infeksi
Biasanya terjadi reaksi alergi akut dalam 24 jam- 7 hari post operatif, “delayed reaction”
6 8 minggu, dengan keluhan gatal, rasa tak enak pada mata kemosis konjuntiva dan edem
palpebra.
3. Granuloma terjadi dalam 2 – 4 minggu setelah operasi (“non allergig foreign body
reactions”).

133
4. Iskemi segmen anterior karena memotong 3 – 4 otot di insersinya, yang mengakibatkan
suplai darah ke segmen anterior dari a. siliaris terputus
5. “Amputation neuroma”, yang terjadi pada tempat insersi yang lama setelah tenotomi.
6. Kista konjungtiva, terjadi bila bagian konjunctiva (dengan epitel) yang terpotong
terbenam dalam luka yang telah ditutup, ini perlu dilakukan eksisi
7. “Corneal dellen” akibat terputusnya “corneal tear film” dan dehidrasi lokal dari kornea
 diobati dengan menutup mata (bandage) 24-48 jam atau dicegah dengan menutup luka
dilimbus dengan baik dan memotong kinjunctiva yang berlebih untuk mencegah elevasi
yang berlebih di dekat limbus
8. Diplopia, terjadi karena bayangan tidak lagi jatuh pada daerah scotoma

XXV. PEMAKAIAN PRISMA PADA STRABISMUS

Gambar 79.

Prisma adalah lensa berbentuk


baji yang membiaskan sinar
secara melintang kearah
basisnya
Ekuatan 1 prisma dioptri adalah bila visual axis berobah dengan berpindah benda sejauh 1
cm pada jarak 1 meter.
1 prisma dioptri = 0.57 derajat (Von Noorden)
Conversion Prisma Diopters and Degrees (Griffin&Grisham)

Prisma dioptri Derajat Derajat Prisma dioptri


1 0 drjt, 0,34 mnt 1 1.75
2 0 ,, 0.9 ,, 2 3.49
3 1 ,, 0.43 ,, 3 5.24
4 2 ,, 0.17 ,, 4 6.99
5 2 ,, 0.51 ,, 5 8.75
6 3 ,, 0.26 ,, 6 10.51
7 4 ,, - ,, 7 12.29
8 4 ,, 0.34 ,, 8 14.05
9 5 ,, 0.9 ,, 9 15.84
10 5 ,, 0.43 ,, 10 17.63
15 8 ,, 0.32 ,, 15 26.80
20 11 ,, 0.19 ,, 20 36.40

134
Fresnel press on prisma adalah satu seri dari prisma plastic kecil yang diletakkan berdekatan
satu sama lain pada tempat dari plastic yang tipis. Prisma fresnel dengan power 25 prisma
sama kekuatannya dengan 25 prisma biasa, tetapi tebalnya hanya 1/10 tebal prisma biasa.

Prisma Fresnel diperkenalkan oleh Wood Ward 1965


Indikasi pemakaian prisma (3 kategori):
1. Medical, bila tidak ada indikasi operasi
2. Pre operatif, untuk menentukan tipe dan jumlah operasi dan prognosa hasil operasi.
3. Post operatif, pada kasus over dan underkoreksi

Power prisma:
- Prisma yang tersedia : 0.5 – 30 prisma
- Power ini dapat diterima secara kosmetik
- Yang sering dipakai adalah press on prism.

Posisi prisma:
Posisi prisma memberikan efek yang berbeda terhadap deviasi:

Prentice position
Posisi prisma yang memberikan efek koreksi lebih besar (prisma 40 dioptri dapat
memberikan efek koreksi 72 prisma dioptri dengan posisi prentice, prisma 32 dioptri
memberikan efek koreksi 40 prisma dioptri dengan posisi prentice.

Gambar 80.

Posisi minimum deviation


Posisi prisma yang memberikan efek koreksi lebih kecil dari ukuran
prismanya (kebalikan posisi prentice)

135
Gambar 81.

Posisi frontal plane


Posisi prisma yang sejajar dengan posisi kedua mata. Prisma menyebabkan pengurangan dan
distorsi pada tajam penglihatan
- Jumlah pengurangan dan distorsi pada tajam penglihatan berhubungan langsung dengan
power prisma.
- Power prisma sampai 10 prisma umumnya ditoleransi dengan baik dan penurunan tajam
penglihatan yang diakibatkannya tidak lebih dari satu baris. Kekuatan yang lebih tinggi
akan merusak tajam penglihatan yang lebih besar.
- Anak-anak lebih toleran terhadap prisma dari pada orang dewasa
- Kekuatan prisma ditentukan dengan menetukan deviasi dengan cara prisma biasa , hingga
terdapat fusi atau hingga tak ada gerakan dengan cover test.
- Jika strabismus < 4 prisma, dipakai prisma pada mata yang baik
- Jika strabismus > 4 prisma, kekuatan prisma dibagi dalam jumlah yang sama pada kedua
mata.
- Jika terdapat deviasi horizontal dan vertikal bersamaan maka prisma dirotasi sesuai
dengan gambaran yang diberkan dan axis prisma diperhitungkan untuk
mengkompensasi deviasi horizontal dan vertikal.
- Untuk deviasi yang berbeda jauh dan dekat maka prisma dapat dibuat bifokal dengan
bagian atas untuk deviasi jauh dan bagian bawah untuk deviasi dekat.

Gambar 82.

136
Kegunaan prisma pada strabismus
I. Untuk diagnostic
Prisma dapat digunakan untuk mengukur deviasi pada
- jarak 20 feet dan 13 inches
- semua posisi dari cardinal gaze
Prisma base in digunakan untuk menetralisir eksodeviasi dan prisma base out untuk
menetralisir esodeviasi
 Prisma Cover test
 Prisma Krimsky test
 Prisma alternate cover test
 Maddox double prisma test untuk cyclodeviasi.
 4 Prisma base out test unutu supresi
 Mengukur besarnya supresision scotoma
 Prisma adaptation test
Diperkenalkan oleh Jampolsky untuk membantu memprediksi hasil operasi pada
esotropia. Prisma dengan power yang sama atau sedikit lebih dari jumlah
esotropianya pada jarak jauh dipakai selama 1 bulan. Ini berguna untuk “prognostic
sign” bila pasien kembali dengan deviasi esotropic. Overconvergen pada respon
terhadap sedikit overkoreksi dengan prisma umumnya terjadi pada ARC dengan
peripheral fusion. Pada pasien seperti ini dilakukan operasi sesuai dengan besar
deviasi (sesuai besar prismanya). Pada power prisma yang ditingkatkan untuk
mengatasi respon ini terjadi lagi eksotropia. Prisma yang menimbulkan eksotropia
dengan diplopia prognosanya lebih baik dari pada yang dengan supresi.

Prisma adaptation test


Digunakan untuk pasien dengan esotropia akomodatif. Prisma adaptation terdiri dari
pemasangan press on prisma base out untuk residual esotropia sesudah dilakukan koreksi
hipermetropianya. Pasien disuruh datang lagi sesudah dua minggu, bila esotropianya
bertambah, maka prismanya dinaikkan lagi dikontrol lagi 1-2 minggu, tindakan seperti ini
dilakukan sampai deviasi menetap/stabil. Operasi dilakukan sesuai dengan ukuran “full
prisma adapted angle” dengan prisma press on tsb. Ini akan mengurangi underkoreksi post
operatif. Hasil operasi dengan cara ini berhasil lebih 10% dari pada tanpa dilakukan prisma
adaptation test. (85%:75%). Kekurangan/kerugian dengan memakai cara ini adalah waktu
yang lebih lama dan biaya yang lebih besar (prisma press on) Prisma adaptation test dipakai
juga untuk pasien dengan esotopia yang didapat.

II. Terapetik
Tujuan pemakaian prisma dalam pengobatan adalah untuk mempertahankan penglihatan
binokuler yang nyaman.
 Tropia yang didapat setalah dewasa karena menimbulkan diplopia

137
 Pada deviasi kecil (< 10) prisma dapat dikontrol dengan prisma secara permanen dan
enak. (Pada umumnya ahli mata menolak operasi pada deviasi kecil, karena sukar
mengoreksi secara tepat).
 Latihan dengan prisma digunakan pada foria untuk memperbaiki fusi konvergence.
Prisma base out memperbaiki fusi konvergen dan prisma base in untuk memperbaiki
fusi divergen..
 Pengobatan untuk foria (eksoforia dengan prisma base in dan esoforia dengan base
out) biasanya pada eksoforia diberikan sepertiga dari deviasi forianya.
Pada esoforia lebih besar dari eksoforia. Dan besarnya prisma ini dibagi dua pada
mata.
 Meningkatkan amplitudo fusi konvergen pada “convergence Insufficiency”.
Mula-objek ditentukan berapa prisma base out kemampuan konvergensi untuk
melihat
jauh dan dekat, kemudian secara pelan-pelan kekuatan prisma base out
ditingkatkan (sambil melihat objek) sampai terjadi diplopia (batas kemampuan fusi),
ini dilakukan untuk jauh dan dekat, kemudian dicatat. Misalnya untuk jauh 2 prisma
base out dan untuk dekat 10 prisma base out. Kemudian ia dilatih untuk bekerja
(melihat dekat/13 inches) dengan 10 prisma base out tsb. dan ini dilakukan berulang.
Bila telah tejadi fusi dengan mudah maka dilakukan fusi untuk jauh tanpa prisma.
Kemudian dengan cara mengurangi jarak secara pelan-pelan 6-8 inches sampai
akhirnya pada jarak 20 feet.
Setelah fusi dapat diatasi dengan mudah dengan 10 prisma base out kemudian untuk
jauh sampai kekuatan prisma 50 prisma.
 Pengobatan over dan under koreksi post operatif.
 Pengobatan preoperatif, untuk meningkatkan hasil fungsional sesudah operasi.
 Banyak ahli mengemukakan terjadi perobahan dari esotropia dan eksotropia secara
spontan dan juga koresponden menjadi normal.
 Pada nistagmus penggunaan prisma mempunyai dua tujuan:
- Pertama untuk memperbaiki tajam penglihatan, prisma base out akan merangsang
fusi konvergen, dengan konvergensi ini waktu melihat dekat kadang-kadang
nistagmusnya berkurang.
- Kedua untuk memperbaiki posisi kepala, prisma diletakkan dengan base
berlawanan dari gaze (yg lebih disukai).
 Pengobatan ARC, dengan pemberian koreksi full prisma bisa merangsang titik yang
koresponden dan bisa kembali NRC

XXVI. TERAPI BOTULINUM

138
Alan B. Scott adalah orang pertama yang menggunakan botulinum toxin A dosis kecil pada
otot extra okuler.
Botulinum toxin adalah suatu “complex protein” yang dihasilkan oleh anaerob bacterium
Clostridium botulinum yang dikenal sebagai suatu penyebab paralysis yang sering fatal
melalui makanan. Toxin ini menyebabkan paralysis dengan memblock release acetyl choline
presinaps pada neuromuscular junction.
Dalam pengobatan, botulinum neurotoxin tipe A dalam dosis kecil dapat digunakan untuk
memparesekan otot dengan injeksi langsung ke otot tersebut.
Hanya Botulinum neurotoxin tipe A yang digunakan dalam pengobatan.

Kerja botulinum toxin pada otot ada 3 step:


Protein toxic melekat pada membrane saraf presinaps
Toxin melewati membrane plasma presinaps
Toxin menghambat release dari vesicle-bound acetyl cholin

Indikasi :
Strabismus
Parese N VI
Sensory strabismus
Infantil esotropia
Disthyroid myopathy
Vertical strabismus
Blepharospasme
Hemifasial spasm
Muscle tremor dan dystonia

Kontra indikasi:
Allergi
Infeksi dan inflamasi pada tempat yang akan di injeksi
Myastenia gravis (relative)

Efek samping dan komplikasi:


Dengan dosis yang aman jarang terjadi efek samping/komplikasi
Efek samping atau komplikasi yang mungkin terjadi:
Lemah
Gejala seperti flu

Dosis pada operasi strabismus:


Dosis botulinum: 1.5 – 7.5 U ( kebanyakan 5U)
Dosis initial:
139
Untuk strabismus vertical da n strabismus horizontal < 20 PD : 1.25 – 2.5U
Untuk strabismus horizontal dengan deviasi 20 – 50 PD 2.5 - 5U
Untuk persistent VI nerve palsy ( 1 bl atau lebih) 1.25 – 2.5U pada rektus medial.

Kemudian pasien dikontrol 7 – 14 hari, bila masih terdapat sisa maka dosis selanjutnya dapat
ditingkatkan 2 x dosis pertama dan dosis maximum adalah 25U
Scot (2002) melaporkan angka keberhasilan dengan Botox A ini sebanyak 60 – 80% pada
infantile esotropia dengan dosis 2.5 U per otot pada kedua otot rektus medial secara
simultan.
Carruthers J.D.A. et al, membandingkan hasil operasi adjustable suture dengan Botox
mendapatkan hasil operasi lebih baik dari Botox (92.7% : 50.59%).

XXVII. PEMERIKSAAN STRABISMUS ANAMNESA:

Keluhan:
 Diplopia dan confusion
 Astenopia
 Posisi/gerakan mata abnormal
 Silau bila cahaya terang

Riwayat penyakit
 Apakah ada famili (ortu, nenek, paman,bibi, sdr) dg kelainan ini
 Apakah ada yang memakai kaca mata tebal
 Apakah ada mata yang malas/kurang dipakai
 Apakah mengalami operasi mata sebelumnya (ablasio, fraktur lantai orbita,
glaukoma implan, katarak, operasi sinus, orbital dekompresi, neuro surgery)
 Riwayat trauma
 Bagaimana proses kehamilan, persalinan, apakah normal atau tidak.
 Tipe/jenis deviasi
 Apakah deviasi menetap atau intermitten
 Apakah ada perbedaan deviasi jauh/dekat
 Apakah anak menutup matanya bila cahaya terang (intermitten exo)
 Bagaimana perkembangan anak (bicara, motorik), apa ada kelainan
lahir umum yang lain.
 Pada orang dewasa apakah serangan strabismus timbul mendadak
 Apakah diplopia menetap, apakah diplopia
dipengaruhi melihat dekat/jauh.
 Sistem lainnya (keluhan neurologi, kelainan sistemik lain.

140
PEMERIKSAAN
Pengamatan :
- posisi mata
- posisi kepala
- palpebra
- fissura palpebra

Pemeriksaan visus
- perkembangan visus 
- pemeriksaan/perkiraan visus bayi (pola fiksasi, OKN, VEP, Preferensial looking)
- ,, / ,, anak prasekolah (Sheridan Gadener atau HOTV, ileterate
E, Allen picture, E game, BVAT sistem/simbol)
- Pemeriksan visus anak sekolah/dewasa ( Huruf Snellen)
- Pemeriksaan refraksi (memahami perobahan refraksi sesuai umur)

PEMERIKSAAN MOTORIK
Pemeriksaan kualitatif:
- cover-uncover test untuk heteroforia
- cover test untuk tropia
- Alternate cover test (untuk foria dan tropia)
- Angle Kappa

Pemeriksaan kuantitatif:
- Hirschberg test
- Bruckner test
- Prisma Krimsky test
- Prisma cover test
- Red glass test
- Maddox rod test untuk heteroforia (horizontal/vertrikal)
- Maddox double prisma test untuk cyclodeviasi
- Maddox double-rod prisma test untuk cyclodeviasi
- Diplopia test untuk mengukur deviasi
- Unilateral/aternating strabismus

Pemeriksaan/menilai( gerakan) otot mata


- Duction
- Version
- Pemeriksaan 9 posisi
- Forced duction test
141
- Genereted muscle forced
- Membedakan abduscen palsy (cross fixation, patch test, Doll’s head phenomen,
nystagmus blokage syndrom
- Divergence dan simulated divergence excess
- Bielschowsky head tilt test
- Mengukur AV pattern
- Foto 9 posisi
- Mendifferential diagnosa limitation of elevation:
 double elevator palsy
 orbital floor fracture
 Brown superior obliq tendon sheath syndrom
 Endocrine myopathy
 Paralysis of vertical gaze
 Skew deviation

PEMERIKSAAN SENSORIS:
- Supresi (WFDT, 4 prisma base out, red glass test utk supresi, mengkur supresi
skotom, blind spot mekanism)
- Ambliopia (netral density filter, pola fiksasi, accentrc viewing/eccentric fixation,
microstrabismus)
- Retinal correspondence (Bagollini, after image, cupper test, monocular after
image, mayor amblioskop)
- Pola fiksasi
- Stereoskopik ( amblioskop; two dimensional test: TNO,Titmus, Lang test; three
dimentional test: Verhoof, Howard Dolman, AO vectograf untuk jauh).

PEMERIKSAAN PADA STRABISMUS PARALITIK


1. Duksi dan versi
Dengan pemeriksaan duksi dan versi akan terlihat otot yang mana yang paralise, dimana
otot yang paralise tidak bisa bergerak/tertinggal dari gerakan otot sinergisnya waktu
dilakukan duksi kearah otot yang paralise.
2. Mengukur deviasi primer dan deviasi sekunder
Deviasi primer adalah deviasi mata yang terjadi waktu pemeriksaan versi dengan fiksasi
pada mata yang sehat.
Deviasi sekunder adalah deviasi yang terjadi pada waktu pemeriksaan versi dengan
fiksasi pada mata yang paralise.
Deviasi sekunder lebih besar dari deviasi primer.
3. Posisi kardinal gaze
4. Foto 9 posisi

142
5. Head tilt test (Bielschowskyhead tilt test)
Dasar fisiologisnya:
Bila kepala dimiringkan maka akan terjadi kompensasi posisi mata pada axis antero
posterior (walaupun tidak lengkap/full), akibat inervasi yang berasal dari aparatus otolit.
Bila kepala dimiringkan kekanan maka akan terjadi kompensasi gerakan rotasi mata
kanan kekiri (intorsi) oleh kerja sama SR dan SO kanan, sedangkan mata kiri terjadi
ekstorsi oleh kerja sama IR dan IO.

Waktu kepala miring kanan:


Mata kanan  Kerjasama SR dan SO kanan
Mata kiri  kerjasama IR dan IO
Waktu kepala miring kiri:
Mata kanan  kerjasama IR dan IO
Mata kiri  kerjasama SR dan SO

Gambar 82.

Pada hal pada posisi primer kerja kedua otot ini berlawanan, (IO menyebabkan elevasi
dan IR menyebabkan depresi, SO menyebabkan depresi dan SR menyebabkan elevasi)
Pada elevasi, otot yang bekerja sama adalah SR dan IO dan waktu depresi oleh IR dan
SO

Gambar 83.

Pada parese SO kanan bila kepala dimiringkan kearah otot parese (kanan)  gerakan
elevasi dan adduksi dari SR tak ada hambatan sehingga mata kanan terjadi elevasi (up
ward)  positif Bielschowsky head tilt test

Three step test dari Bielschowsky:

143
1. Tentukan tipe hipertropianya apakah hipertropia kanan (RHT) atau kiri (LHT)
2. Tentukan apakah deviasi vertical bertambaha waktu dextro dan levoversi
3. Tentukan apakah deviasi vertical nbertambah waktu kepala dimiringkan kearah kanan
atau Kiri

Hipertropia kanan (RHT) Hipertropia kiri (LHT)

Gambar 84.

6. Perobahan pada posisi kepala


Perobahan posisi kepala terjadi sebagai kompensasi dari parese otot extra okuler untuk
mencegah terjadinya diplopia/kebingungan penglihatan binokuler. Perobahan posisi
kepala ini tergantung pada otot yang parese, jadi parese dari masing-masing otot extra
okuler akan mengakibatkan posisi kepala yang berbeda-beda. Posisi kepala menuju
kearah aksi otot yang underaction. Dengan melihat posisi kepala kita dapat menentukan
otot yang parese.
Posisi kepala pada parese otot:

Otot parese Turn/mutar Tilt/miring Chin up/down


 R.L.R keKANAN - -
 R.M.R keKIRI - -
 L.L.R keKIRI - -
 L.M.R keKANAN - -
 R.S.R keKANAN KIRI CHIN UP
 R.I.R keKANAN KANAN CHIN DOWN
 L.S.R KIRI KANAN CHIN UP
 LI.R KIRI KIRI CHIN DOWN
 R.S.O KIRI KIRI CHIN DOWN

144
 R.I.O KIRI KANAN CHIN UP
 L.S.O KANAN KANAN CHIN DOWN
 L.I.O KANAN KIRI CHIN UP

Posisi kepala pada AV Pattern


 A Eso dan V Ekso  CHIN ELEVATION untuk mendapatkan fusi pada posisi
downward gaze
 A Ekso dan V Eso  CHIN DEPRESSION untuk mendapatkan fusi pada posisi
upward gaze
DD posisi kepala pada parese otot ekstra ocular dan non parese otot ekstra okular:
Pada parese otot ekstra ocular dengan menutup mata otot yg parese  posisi kepala
jadi normal, sedang pada non parese otot ekstra ocular tetap. Posisi kepala pada parese
otot ekstra okuler bisa diluruskan secara pasif dan pada non parese tidak.
7. Past pointing tes
8. Electromyografi

XXVIII. AMBLIOSKOP

Alat ini terdiri dari 2 tabung yang dapat digerakkan horizontal dan vertikal, dan pada
masing-masing tabung diletakkan slide sebagai visual target transparan dengan ukuran dan
bentuk yang bervariasi yang diterangi oleh lampu untuk melihat slide tsb. Pada ujung okuler
tabung terletak lensa S +6.5D. Jarak dari slide kemata 15 cm sehingga mata tidak
memerlukan akomodasi untuk melihat slide.
Pergerakan tabung dapat dilihat pada skala yang mempunya ukuran dalam derajat dan
prisma dioiptri. Kedua tabung dapat digerakkan baik secara terpisah atau bersamaan, dan
penyinaran dapat dilakukan secara simultan maupun alternating. (gambar skema alat: arah
sinar, letak slide, cermin miring, lensa, skala dan gambar lengkap alat

145
Gambar 85.

Kegunaan :
Diagnosa kelainan penglihatan binokuler
Kegunaan untuk diagnostik meliputi:
 Mengukur besarnya angle kappa
 Mengukur besarnya sudut deviasi (objektif dan subjektif dan angle deviasi)
 Mengetahui keadaan/status penglihatan binokuler:
- Persepsi simultan
- Fusi
- Stereopsis
 Mengukur amplitudo fusi konvergen dan divergen
 Menentukan korespondensi retina normal atau abnormal (NRC&ARC) dan
supresi

Terapi
Pleoptik untuk terapi:
 Ambliop
 ARC dan fiksasi eksentrik
Ortoptik:
 Memperbaiki amplitudo fusi

Cara pemakaian:
Sebelum pemeriksaan atur jarak pupil sesuai dengan “pupil distance” pasien.

Pemeriksaan Simultan perception, fusi dan stereopsis


Persepsi simultan (slide merah)
Pasien bisa melihat objek secara bersamaan dengan kedua mata (objek yang berbeda terlihat
oleh mata kanan dan mata kiri secara bersamaan)
Fusi (slide hijau)
Pasien bisa menyatukan kedua objek ( harimau akan terlihat dengan ekor dan kupu-kupu
didepannya)
Stereopsis (slide kuning)
Pasien akan bisa membedakan mana benda yang berada didepan dan dibelakang.

Pemeriksaan” objective angle”,” subjective angle” dan “angle of deviation”


1. Kedua tangan amblioskop digerakkan oleh pemeriksa, dengan penyinaran bergantian/
alternating dari “flash light”:

146
 Sampai tidak ada lagi gerakan fiksasi dari mata pasien (= alternate cover test), ini
pada NRC
 Atau kita lihat pantulan sinar sudah di tengah pupil kedua mata (pada ARC).
Kita lihat angka deviasi pada amblioskop (derajat dan prisma dioptri), maka angka itu
menunjukkan “objective angle” (mis: 20 derajat).

2. Pasien disuruh melihat visual target (singa dan kandang), pasien


mengatur/menggerakkan tangan amblioskop/bisa juga dibantu/digerakkan oleh
pemeriksa maka akan didapat “subjective visual angle” dan beberapa hasil yang mungkin
didapat:
 Pasien melihat kedua objek (singa masuk dalam kandang) pada sudut yang sama
dengan besar “objective angle”  subjective angle = objective angle (NRC)
 Pasien melihat objek (singa masuk kandang), pada posisi amblioskop tidak sama
dengan “objective angle”  ARC
 Bila dua bayangan menyatu (singa dalam kandang) pada deviasi 10 derajat (kecil
dari objective angle)  “unharmonious ARC” “(incomplete adaptation”)
 Bila kedua bayangan menyatu (singa dalam kandang) pada angka nol berarti
“complete adaptation”  “Harmonious adaptation” ARC.
 Singa tidak bisa masuk kandang, ini terjadi pada supresi yang dalam, pemeriksaan
“subjective angle” dengan amblioskop sering sulit karena karena pasien tidak bisa
menyatukan kedua bayangan, pada keadaan kedua bayangan tidak mau disatukan
ini kedua tangan amblioskop tetap digerakkan sehingga singa dan kandang makin
mendekat dan pada satu saat bayangan singa dan kandang menyeberang (terjadi
cross dari bayangan), maka pada titik menyeberang inilah merupakan “subjektif
angle” .

XXIX. PERENCANAAN OPERASI PADA STRABISMUS

Operasi strabismus pertamakali dilakukan oleh JohnTaylor (1703-1772), tetapi operasinya


tidak dicatat/dilaporkan.
Diffenbach (1792 – 1847) yang pertama kali memperkenalkan operasi strabismus dengan
melakukan myotomi rectus medial.
Von Graef 1861, melakukan partial tenotomy sebagai ganti myotomy.
Prince (1887) melakukan recession.

Goal pada operasi strabismus adalah meluruskan mata dengan prosedur sesedikit mungkin.
.Multiple operation tidak hanya lebih mahal tetapi juga bertambah/meningkatnya resiko
operasi.

147
MERENCANAKAN OPERASI STRABISMUS
Dalam merencanakan operasi strabismus perlu jawaban 5 pertanyaan sbb:
1. Kapan waktu yang terbaik untuk dilakukan operasi:
 Fungsional  < 18 bulan
 Kosmetik  > 18 bulan
2. Apakah operasi akan dilakukan pada satu atau dua mata
Prinsip:
 Kelainan symetris  cenderung operasi symetris (2 mata)
 Kelainan dominan  operasi pada satu mata (resect-recess satu
mata)
 Deviasi < 50 prisma  2 otot
,, 50 – 70 ,,  3 otot
,, > 70 ,,  4 otot
3. Otot yang mana yang akan dioperasi:
 Horizontal deviasi  otot horizontal
 Otot yang lebih over action (+, ++, +++, ++++)
 Eso  simetris  bilateral reses
asimetris  reses-resek
4. Prosedur apa yang akan dipakai
Memilih otot yang akan dioperasi
 Lebih mengutamakan otot yang over aksi
 Kelainan simetris maka operasi kedua mata secara simetris
 Kelainan yang tidak simetris operasi pada satu mata kecuali bila deviasi > 50 prisma
Tipe operasi yang dipilih
 Reses otot yang over aksi
 Resek otot yang under aksi
 Hangback (proksimal otot dijahitkan keinsersi secara tidak langsung tetapi
digantung dengan benang), ini sering dilakukan pada deviasi besar.
 Pada otot oblik reses bisa diganti dengan tenotomi
 Faden diolakukan biasanya dilakukan pada otot yang over aksi pada satu arah tetapi
pada arah yang berlawanan normal
 Jensen biasanya dilakukan pada strabismus paralitik
 Jumlah reses/resek yang diperlukan (lihat daftar)
 Pada AV pattern dilakukan pergeseran insersi keatas/kebawah (tergantung tipe A/V)
 Operasi “adjustable suture” dilakukan untuk lebih bisa menghasilkan hasil operasi
yang lebih baik/mengurangi over atau under action.

Pada esotropia kongenital


1. Waktu terbaik dilakukan operasi

148
Pada dasarnya pasien dengan fiksasi bifoveal operasi dilakukan sesegera mungkin,
sedangkan untuk fiksasi yang tidak bifoveal waktu tidak begitu penting. Pada esotropia
kongenital: Waktu operasi sebaiknya dilakukan pada usia sebelum atau pada usia 2
tahun (kalau bisa pada usia 1 tahun)
Alasan:
 Lebih banyak kemungkinan perbaikan fungsional
 Bila dioperasi pada usia > 2 tahun akan terjadi “long standing congenital
strabismus” yang akan menimbulkan perobahan pada otot ekstra okuler, konjungtiva
dan kapsula tenon sehingga menyulitkan operasi.
 Tujuan utama dari operasi strabismus adalah untuk penglihatan binokuler tunggal.
Walaupun kemungkinan terdapat suatu defek sentral kongenital yang mencegah
perbaikan fungsi binokuler yang komplit, Von Noorden tidak menganjurkan “late
operation” bila ditemui kriteria sbb:
1. Deviasi yang cukup besar dan stabil
2. Tidak adanya faktor akomodatif
3. Terdapat pola alternating setelah pengobatan ambliopia
4. Mengidentifikasi adanya hubungan dengan deviasi vertikal
5. Operasi disamping tujuan binokuler juga untuk mencegah terjadinya kontraktur
dari rektus medial, konjungtiva dan kapsula tenon dan juga mengurangi stres
orang tua karena mata anaknya juling.
6. Sebagian ahli melakukan operasi pada usia diatas 2 tahun dengan alasan:
 Operasi pada usia bayi dihindari/tidak boleh dilakukan.(Arruga & Downey)
 Hasil operasi pada usia bayi (4-18 bulan) sering menyebabkan over dan
underkoreksi juga hasil kosmetik tidak lebih baik dari pada bila dioperasi pada
usia lebih (Fletcher&Leahey)
 Fungsi binokuler normal jarang diperoleh bila deviasi timbul sejak lahir (Low,
Berkey & Leahey)
 Penyebab terjadinya deviasi karena bawaan fusi akibat adanya defek congenital.
(Worth)
 Pemeriksaan pada bayi sulit dan tidak bisa lengkap dalam merencanakan suatu
operasi. AV Pattern tak terdeteksi dan fiksasi jauh belum bisa diperiksa
(Kapan operasisaat yang ideal dilakukan  segera sesudah diagnosa lengkap)

2. Apakah operasi pada satu atau dua mata:


Prinsip operasi adalah simetris karena visual sistem manusia secara anatomis dan
fisiologis adalah simetris pada kedua mata.
Memilih tipe operasi pada esotropia kongenital
 Pada kelainan yang simetris dilakukan operasi simetris (bilateral reses)
 Tetapi pada kelainan gerakan dan sensoris yang dominan pada satu mata maka
operasi dilakukan pada satu mata (reses resek).

149
Von Noorden lebih menyukai operasi pada satu mata karena lebih mudah mengukur
jumlah operasi dan umumnya lebih sesuai dengan perkiraan, disamping itu juga mudah
mengukur jumlah operasi pada mata ke dua berdasar operasi yang pertama.

3. Otot mata mana yang dioperasi


Pada dasarnya otot yang dioperasi adalah otot yang geraknya patologik (eksesif dan
insufisiensi), sebaiknya dibagi pada dua otot tetapi lebih diutamakan pada otot yang
eksesif dari pada otot yang insufisiensi.

4. Cara operasi:
 Reses –resek
 Reses bilateral
 Tenotomi
 Tenektomi
 Miotomi
 Miektomi
 Tucking
 Adjustable suture
 Hang back
 Fiksasi posterior(Jensen)
 Cara Hummelscheim’s
 Dan lain-lain.

5. Jumlah operasi
Walau jumlah operasi didasarkan pada besar deviasi tetapi pada mata dengan
fiksasi bifoveal hubungan antara besar deviasi dan millimeter operasi tidak
spesifik/tidak berkolerasi, dimana operasi dengan cara simetri hasilnya hampir
sama untuk/pada deviasi 10 – 45 derajat. Untuk mata yang tidak mempunyai
fiksasi bifoveal ada hubungan antara besar deviasi dan jumlah mm operasi.
(Recess conjunctiva sampai ke insersi otot akan menambah efek reses 1 -1.5
prisma per mm reses otot) .

6. Benang operasi:
Cat gut :
Keuntungannya : - Bahan dari hewan (usus binatang)
- Mudah diabsorbsi
Kerugiannya : - Kurang kuat dan kurang uniform
- Rx imflamasi
- Kemungkina ada yang jahitan lepas

150
Collagen:
Keuntungan : - Bahan dari hewan (dari fascia)
- Mudah diabsorbsi
- lebih halus/licin
- Lebih mudah diikat dan simpulnya kuat
Kerugian : - Rx imflamasi dan granuloma.
- Kemungkinan ada jahitan yang lepas
Vicryl (lebih banyak dipakai) :
Keuntungan : - Bahan sintetis (polyglactin)
- Lebih uniform dan mudah melewati jaringan
- Untuk reses dan resek otot dengan ukuran 6 – 0 dan
konjungtiva dengan 8 – 0
- Rx imflamasi jarang
- Benang bisa bertahan selama 14 s/d 21 hari (waktu yang cukup
untuk penyembuhan jaringan otot dan sklera (habis diserap
setelah 3 bulan)

Nylon atau Dacron (non absorbable):


Keuntungan : - Rx imflamasi minimal
- Lebih baik dari Silk
- Digunakan untuk Tucking tendon SO atau otot rektus; Jensen;
Faden

XXX. SINGKATAN DAN BEBERAPA NILAI NORMAL DALAM STRABISMUS


SINGKATAN-SINGKATAN PADA STRABISMUS

E=Esophoria; X=Exophoria; LH=Left hyperphoria; RH=Right hyperphoria


ET=Esotropia; XT=Exsotropia; RHT=Right hypertropia; LHT=Left hypertropia;
RHoT=Right hypotropia; LHoT=Left hypotropia
E(T)=Intermitten esotropia; X(T)=Intermitten exotropia
RH(T)=Intermitten right hypertropia; LH(T)=Intermitten left hypertropia

BEBERAPA NILAI-NILAI (NORMAL) YANG PENTING DALAM STRABISMUS


Gambar: makula dengan bagian dan ukuran-ukurannya
1 mm = 3. 35 derajat
1 prisma = 0. 57 derajat = 0.17 mm
1 derajat = 1. 67 prisma = +/- 0.3 mm
1 derajat = 60 menit busur
= 3600 detik busur

151
Area Panum = 0. 25 derajat
= 15 menit busur = 900 detik busur
Foveola : 1. 2 derajat = 1. 2/3. 35 (1/3) mm
= 0. 35 mm
Fovea : - 5 derajat = 5/3. 35 mm = 1.5 mm
- ukuran fovea = ½ tebal normal
Makula : 18. 4 derajat = 18. 4/3. 35 mm = 5. 5 mm
Jarak fovea – papil: 13. 5 derajat = +/- 4 mm
Sensasi visual yang disadari : dalam batas 5 derajat (aktifitas cone)

Gambar 86.

Tajam penglihatan Stereoskopik:


- Secara laboratoriss dapat dideteksi 2 -7detik busur
- Secara klinis yang baik 15 – 30 detik busur

Kesan penglihatan stereoskopik:


Hanya sampai jarak 2000 feet (650 meter)= 7000 x PD Menurut Von Noorden jarak tersebut
125-200 meter)

Pemeriksaan dengan TNO:


- “Periferal stereopsis” : 400 – 3000 detik busur`
- “Macular” : 60 – 200 detik busur
- “Foveal” : 60 detik busur/lebih baik

WFDT:
Proyeksi pada jarak 6 meter  1.25 derajat

152
Proyeksi ,, ,, 0. 33 meter  6 ,,

Perkembangan mata: (Hoyt)


- Mata lurus : ,, 3 – 4 minggu
- Gaze vertikal : ,, 3 – 4 ,,
- Binokularitas mulai : ,, 8 ,, (2 bl)
- Sistem vergen berfungsi : ,, 8 – 12 ,, (2 – 3 bl)
- Akomodasi ,, ,, : ,, 3 – 4 bulan
- Sel cone seperti dewasa : usia 4 bulan
- Deviasi jauh belum bisa dinilai sebelum usia 2 tahun

Tajam penglihatan:
1.0 = 20/20 = 5/5
0.7 = 20/30 = 5/7.5
0.5 = 20/40 = 5/10
0.4 = 20/50 = 5/12.5
0.3 = 20/70 = 5/17.5
0.2 = 20/100 = 5/25
0.1 = 20/200 = 5/50

Tajam penglihatan berdasar usia:


 Usia beberapa hari : Rx pupil
 ,, 5 – 6 minggu : reflek fiksasi (bisa mengikuti cahaya sampai bbrp derajat)
 ,, 3 bulan : mengikuti cahaya (“following reflex”) kesegala arah.
 ,, 4 bulan : menjangkau objek (gabungan fiksasi dan gerakan mencapai)
 ,, 6 ,, : 20/200 = 6/60
 ,, 1 tahun : 20/100 = 6/30
 ,, 2 ,, : 20/60 = 6/18
 ,, 3 ,, : 20/30 = 6/9
 ,, 4 – 5 ,, : 20/20 = 6/6;

Perkiraan tajam penglihatan berdasar pola fiksasi:


2. “Gross fixasi”/afiksasi : 5/200
3. Fiksasi tidak sentral : 20/300
4. Fiksasi sentral tapi fiksasi tak menetap : 20/100 – 20/200
5. Fiksasi sentral dan menetap tapi lebih menyukai
mata lainnya : 20/30 – 20/70
6. Alternating spontan : 20/20

Sinar matahari yang bisa dilihat : sinar dengan panjang gelombang 400 – 800 u.

153
Pembesaran bayangan pada koreksi afakia :
7. Dengan lensa S + 10 : bayangan diperbesar 25%
8. Dengan lensa kontak : ,, ,, 7%
9. Dengan IOL : ,, ,, 1.9%
Beda bayangan yang masih ditolerir untuk fusi 5 – 8%

Fusi
 Tenaga fusi meningkat sampai usia 9 bulan  9 bl – 3 th menurun dan setelah usia 3
tahun sangat berkurang.
 Operasi strabismus pada usia > 4 tahun binokularitas jelas tidak ada.

Amplitudo fusi konvergen : - 6m : 14 prisma.


- 25 cm : 38 ,,
Amplitudo fusi divergen : - 6 m : 6 prisma
- 25 cm : 16 prisma
Amplitudo fusi vertikal : - 6 m : 2. 5 prisma
- 25 m : 2. 6 prisma
AC/A ratio (normal): 3. 5 – 4 prisma.

Kemampuan gerakan otot mata:


 Adduksi : 40 derajat
 Abduksi : 42 derajat
 Elevasi : 34 derajat
 Depresi : 54 derajat

Dalam keadaan normal mata hanya bergerak 15 – 20 derajat dari posisi primer.
Deviasi terkecil yang nampak secara inspeksi lebih kurang 7 derajat

Rotasi okuler: 6-8 derajat (max 12 derajat).


Bila kepala dimiringkan terjadi kompensasi:
- intorsi 7 +/- 3.10 derajat.
- ekstorsi kontra lateral : 8 +/-2.5 derajat.

154
XXX. KEPUSTAKAAN:
1. Abadi R.V. Mekanisme underlying nystagmus. Journal of the Royal Society Medicine. 2002; 231-234.
2. Alan Scot. Botulinum treatment of strabismus following retinal surgery. Arch Ophthalmol.
1990;108
3. Atzmon et al. A Randomized Prospective Masked And Matched Comparative Study of
Orthoptic versus Convensional Reading Disabilities In 62 Children. Binocular Vision. 1993; 8:
91 – 103.
4. Bartiss M.J. Convergence Insufficiency. in E- Medicine. 2001; 1-8.
5. Bosley T.M, et al. Neurological feature of congenital fibrosis of the extraocular muscles type 2 with
mutations in PHOX2A. Oxford University Press on behalf of the Guarantors of Brain. 2006: 2363
-2374.
6. Caldeira J.A.F, Bilateral Recession of the Superior Oblique Graded According to the A Pttern: A
Prospective Study of 21 Consecutive Patients. Binocular Vision & Eye Muscle Surgery Qtrly. 1995;
10: 167 – 174.
7. Carruthers J.D.A, et al. Botulinum vs Adjustable Suture Surgery in the Treatment of Horizontal
Misalignment in Adult Patients Lacking Fusion. Arch Ophthalmol. 1990; 108: 1432 – 1435.
8. Chauduri Zia, Step by Step Clinical management Strabismus. Yaypee, New Delhi, Jaypee 2008.
9. Clinical neuro ophthology. 4th ed. Williams & Wilkins, Baltimore 1982; 33-40.
10. Clinical use of botulinum toxin. National Institutes of Health Concensus development
Conference Statement, http://text.nlm.nih.gov/nih/cdc/www/83txt.html 1990; 1 – 18.
11. Doberty E.J, et al. CFEOM3: A New Extraocular Congenital Fibrosis Syndrome that Maps to
6q24.2-q24.3. IOVS. 1999; 40: 1687 – 1694.
12. Duckman. R.H. Visual Developmen, Diagnosisi and treatment of Pediatric Patient. Lippincott,
William Wilkins. 2006.
13. Duke – Elder S.S, Ocular Motility and Strabismus ed. System of Ophthalmology. Henry
Kimpton, London 1976; VI.
14. Engman J.H, et al. Efficacy of inferior oblique anterior transposition placement grading for
dissociated vertival deviation. Ophthalmol. 2001; 108: 2045-2050.
15. Elmer J, Fahmy Y.A, Nyholm M. Extended wear soft contact lenses in treatment of strabismic
amblyopia. Acta ophthalmologica. 1981; 59 : 546 -551.
16. Engle E.C, et al. CFEOM I, the classic familial form of congenital fibrosis of the extraocular
muscles, is genetically heterogeneous but does not resuly from mutatrion in ARIX. Licensee BioMed
Central, http://www.biomedcentral.com/1471-2156/3/3: 1 – 8.
17. Eustis H.S and MacPhee A. Screening for “Absen bifixation” (Monofixation Syndrom): The
Superiority of the distance Polaroid Vegtograf test for Supression Over Near Stereotest, in 246
children. Binocular Vision. 1993; 8: 83 – 88.
18. Evans B & Doshi S. Binoculaar Vision and Orthoptics. Investigation and Management.
Butterworth,
Oxford 2001.
19. Evans B.J.W. Binocular Vision Anomalies. 5th ed. ButterworthHeinemann, London 2007.
20. Gamio.S. Surgical alternative for DVD Based on New Pathologic concept: weakening all Four
Obliq Eye Muscle, outcome and result in 9 cases. Binocular vision. 2002; 17: 15-24

155
21. Griffin & Grisham, Binocular Anomalies, diagnosis and vision teraphy. 4 th ed. Butterworth &
Heinemann, New York 2002.
22. Good WV& Hoyt C. Strabismus Management. Butterworth-Heinemann, Boston 1996.
23. Haldi B.A & Mets M.B. Non Surgical Treatment of Strabismus. Focal Points, A.A.O. 1997; 1-12.
24. Houston C.A et al. Clinical characteristics of microtropia – is microtropia a fixed phenomenon?
Br.J Ophthalmol. 1998; 82: 219 – 224.
25. Ing. M.R. Early surgical alignment for congenital esotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus.
1983; 20: 11- 18.
26. Jacobson DM. Divergence Insufficiency Revisit. Arch Ophthalmol. 2000; 118: 1237-1241.
27. Lang J. Amblyopia of Microstrabismus. Transaction of European congress in London.
1969; 160-164
28. Johnson J.A.P& Tillson. Can. J. Ophthalmol. 1983; 18:  hal dan judul?
29. Harley’s Pediatric Ophthalmology. 5th ed. Lippincott, William& Wilkins. 2005.
30. Helveston E.M. Surgical Management of Strabismus. 5th ed. Department of Ophthalmology
Section of Pediatric Ophthalmology and Strabismus Indianapolis. Indiana. 2005.

113

31. Holmes J.M, et al. Duane Syndrome Associated With Oculocutaneus Albinism. J Pediatr
Ophthalmol Strabismus. 1991; 28: 32-34.
32. Hupp S.L, et al. Computerized Tomography in the diagnosis of the Congenital Fibrosis
syndrome. J Clin Neuro-ophthmol. 1990: 10: 135 – 139.
33. Hyun Kim S, et al. Standard strabismus surgery in Thyroid Ophthakmopathy. Binocul-vis Q.
2009; 24: 86 – 92.
34. Kertesz A.E. & Kertesz J. Wield Field Fusional Stimulation in Strabismus. American J of
Optometri and Phisiology Optic. 1986; 63: 217-222.
35. Kuang Lin L, et al. KIF21A gene c.2860C>T mutation in congenital fibrosis of extraocular
muscles type 1 dan 3. Molecular Vision 2005; 11: 245-248.
36. Lang J. Microstrabismus. Ferdinand Enke Verlag Stutgard. 1973; 34 – 37.
37. Lang J. Amblyopia of Microtropia. Transaction of European Congres in London. 1969; 160 –
164.
38. Leguire L.E. et al. Long-Term Follow- Up of L-dopa Treatment in Children With Ambyopia.
J.Pediatr. Ophthalmol Strabismus. 2002; 39: 326-330.
39. Ludwig, I.H &Park M.M. Long-term study of accommodative esotropia in Trans Am
Ophthalmol Soc. 2003; 101: 155 – 160.
40. Mazow M.L. Discussion: Early Surgery for Essential Infantil Esotropia. J Pediatr Ophthalmol
Strabismus. 1990; 27: 119
41. Merriam M.W, et al. Congenital Blepharoptosis, anisometropia, and ambyopia. Am. J
Ophthalmol. 1980; 89 : 401 – 407.
42. Moralte A.B. & Rosenbaum A.L. Vertical Rectus Muscle Transposition Surgery for Duane’s
Syndrome. J. Pediatr Ophthlmol Strabismus. 1990; 27: 171-177.
43. Moses R.A, Adler’s Phisiology of the eye. 7th ed. CV Mosby, St. Louis 1981.
44. Nelson B.L. et all. Congenital Esotropia. Surv. Ophthalmol. 1987; 31: 363-383
45. Park M.M. Ocular motility and Strabismus. Harper & Row, New York 1975; 123 – 131.
46. Pavan D – Langston. Manual of Ocular diagnosis and Therapy. Little Brown and
Company, Boston 1980.
47. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. American Academic of Ophthalmology. San Fransisco
2005-2006.
48. Pillai P &Dhand U.K. Cyclic Esotropia With Central Nervous System Desease: Report of Two Cases.
J. Pediatr. Ophthalmol Strabsmus. 1987; 24: 237 – 241.
49. Pollard Z.F. Are We Missing Amblyopia ? The Answer : Preschool Screening.
J. Pediatr. Ophthalmol Strabismus 1977; 60 : 603 – 605.

156
50. Pratt-Johnson J.A & Tillson G. Management of strabismus and Amblyopia. Thieme Medical
Publishers. New York 1994.
51. Romano P.E, Ross N.L. Augmentation of Lateral Rectus Recession by Cunjunctival Recession.
Annals of Ophthology 1982; 1144-1146.
52. Romano P.&Rohot P. Measured Graduated of the Superior Obliq. J Pediatr Ophthalmol
strabismus. 1983; 20: 134 – 140.
53. Rosenbaum A.L & Santiago A.P. Clinical Strabismus Management. W.B Sounders, Philadelphia
1999.
54. Rosner. J. Pediatric Optometry. Sec. ed. Butterworths, Boston 1990.
55. Santiago A.P et al. Journal of AAPOS. 1998; 2: 5-11.
56. Scheiman M& Wick B. Clinical Management of Binocular Vision. Third ed. Wolters Kluwers/
Lippicott William&Wilkins, Philadelphia 2008.
57. Scott A.B. Botulinum Neurotoxins in the Management of Strabismus. Strabismus, USF,
Neurotoxin Institut 2002-2007.
58. Scot W.E. Office use of prisms. Simposium strabismus. New Orleans, Mosby, St. Louis 1978.
59. Scot. A.B. Botulinum treatment of strabismus following retinal surgery. Arch.Ophthalmol.
1990; 108: 509 – 510.
60. Scott W.E et al, Surgery for Large Angle Congenital Esotropia. Arch Ophthalmol. 1986;
104: 374- 377.
61. Skuta GL et al. Basic and clinical Sciense course. Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
AAO 2008.
62. Snell. R.S, (Alih Bahasa, Maulany R.F). Neuroanatomi Klinik (clinical Neuroanatomy for
Medical Studens). Sec. ed. Little Brown & Co, Washington 1997.
63. Snir M et al. Combine resection and anterior transposition of inferior obliq muscle for
asymmetric double dissociated vertical deviation. Ophthalmol. 1999; 106: 2372-2376.
64. Stein H.A. Slatt B.J. Manual Terminology. Mosby, St Louis 1982.

114

65. Stass-Issen.M, Olitsky.S. Emmetropization in Accomodative Esotropia: An Update and Review,


in Comprehensive Ophthalmology Update, LLC 2006.
66. Tommila V, Tarkanen A. Incidence of loss of vision in healthy eye in amblyopia. British J.ophth.
1981; 65: 575 – 577.
67. Verlee D.L. Pleoptic versus occlution of the sound Eye. Am. J. Ophthalmol. 1967; 63 : 244 .250,.
68. Von Noorden G.K. Factors involve in the production of ambliopia. Brit .J.Ophthalmol. 1974; 56:
158 – 164.
69. Von Noorden G.K. Binocular vision and Ocular motility. 5th ed. C.V Mosby. St Louis 1996.
70. Von Noorden G.K, et al. Horizontal Tansposition of the Vertical Rectus Muscles for treatment of
Ocular Torticollis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1993; 30: 8 – 14.
71. Von Noorden G.K. Atlas of Strabismus, 3rd ed. Mosby, St Louis 1977
72. Von Noorden GK and Helveston E.M. Strabismus A Decision Making Aproach. Mosby, St. Louis
1994.
73. Von Noorden et al. Horizontal Transposition of the Vertical Rectus Muscles for treatment of
Ocular Torticollis. J. Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1993; 30: 8 -18.
74. Wright K.W et al. Handbook of Pediatric Neuro-Ophthalmology, Springer. Los Angeles 2006.
75. Wright KW. Atlas of Strabismus Surgery. Sec. ed. Lippincott, California 2000.
76. Wright KW, et al. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Sec. ed. Mosby, St Louis. 1995.
77. Yaffe N.S, Cataract Surgery and its complications, 2th ed. CV Mosby, St Louis. 1976.
78. Khawan et, all. Abnormal Ocular Head Posture Part II (Duane Retraction Syndrom).
Annals of ophthal. 1987; 19: 393-395.
79. Obha M, et al. An Unusual Case of Congenital Convergent Strabismus Fixus.
Binocul Vis Strabismus Q. 2005; 20: 89-92.
80. Larsen P.C et al. Partial Jensen’s Procedure for the Treatment of Myopic Strabismus Fixus.
Journal of AAPOS. 2004; 8: 393 – 395.

157
PEMERIKSAAN MATA UNTUK LISENSI/SIM
American medical association
UNTUK UNLIMITED LICENSE
1. Visus dengan/tanpa kaca mata 20/40 pada satu mata dan 20/100 pada mata lainnya.
2. Lapangan penglihatan >/= 45 derajat pada seluruh meridian
3. Adanya single binoculer vision
4. Bisa mengenal warna merah, hijau dan kuning
5. Tidak buta senja
6. Kaca mata kalau ada kelainan refraksi harus dipakai

UNTUK LIMITED LICENSE


1. Visus >/= 20/65 (lebih baik dari 20/65) untuk mata yang baik.
2. Lapangan pandang >/= 60 derajat
3. Tidak diplopia
4. Gerakan baik
5. Tidak untuk transport umum
Pemeriksaan untuk SIM sebaiknya tiap 3 tahun
Pemeriksaan ulang visus sebaiknya tiap 6 bulan (tahun?)
Bila terjadi perkembangan defek visual  perlu diperiksa doktermata kembali
Perlu pembatasan khusus untuk pengemudi terhadap keadaan SIM

158
KEPUSTAKAAN YANG KURANG LENGKAP

81. Chun B.Y et al. Reduction of angle Deviation Angle During Occlusion Therapy: In
Partially Accomodative Esotropia with Moderate Ambliopia. Kor. J. Ophthalmol. 2007;
21:  hal? 1
82. Dong G.C. Rosenbaum A.L. Medical Rectus Resection with Adjustable suture for
intermitten Exotropia of The Convergence Insufficiency Tipe. J. of American Association
of Ped Ophthalmol and Strab. 2001; 1-9.  vol?2
83. Swets & zeitlinger. Strabismus . 2001; 9: 225-230  nama jurnal? 3
84. Taylor & Hoyt. Ophthalmol Strab. 2005; 1916-1918. vol? 4
85. Von Noorden. Am J Ophthalmol. 1992; 114: 311-313. judul? 5

159
XXIV. TERAPI BOTULINUM

Alan B. Scott (1979) adalah orang pertama yang menggunakan botulinum toxin A
dosis kecil pada otot ekstra okuler manusia.
Botulinum toksin adalah suatu “complex protein” yang dihasilkan oleh “anaerob
bacterium Clostridium botulinum” yang dikenal sebagai suatu penyebab paralisis yang sering
fatal melalui makanan. Toksin ini menyebabkan paralisis dengan memblok release acetyl
choline presinaps pada “neuromuscular junction”.
Dalam pengobatan, neurotoksin botulinum tipe A dalam dosis kecil dapat digunakan
untuk memparesekan otot dengan injeksi langsung ke otot tersebut.
Hanya Botulinum neurotoxin tipe A yang digunakan dalam pengobatan.
Kerja botulinum toksin pada otot ada 3 step:
Protein toksik melekat pada membrane saraf presinaps
Toksin melewati membrane plasma presinaps
Toksin menghambat release dari “vesicle-bound acetyl cholin”
Indikasi :
Strabismus
Parese N VI
Sensory strabismus
Infantil esotropia
Disthyroid myopathy
Vertical strabismus
Blepharospasme
Hemifasial spasm
Muscle tremor dan dystonia

Kontra indikasi:
160
Allergi
Infeksi dan inflamasi pada tempat yang akan di injeksi
Myastenia gravis (relative)

Efek samping dan komplikasi:


Dengan dosis yang aman jarang terjadi efek samping/komplikasi
Efek samping atau komplikasi yang mungkin terjadi:
Lemah
Gejala seperti flu

Dosis pada operasi strabismus:


Dosis botulinum: 1.5 – 7.5 U ( kebanyakan 5U)
Dosis initial:
Untuk strabismus vertical da n strabismus horizontal < 20 PD : 1.25 – 2.5U
Untuk strabismus horizontal dengan deviasi 20 – 50 PD: 2.5 - 5U
Untuk persistent VI nerve palsy ( 1 bl atau lebih) 1.25 – 2.5U pada rektus medial.
Kemudian pasien dikontrol 7 – 14 hari, bila masih terdapat sisa maka dosis selanjutnya dapat
ditingkatkan 2 x dosis pertama dan dosis maximum adalah 25U
Scot (2002) melaporkan angka keberhasilan dengan Botox A ini sebanyak 60 – 80% pada
infantile esotropia dengan dosis 2.5 U per otot pada kedua otot rektus medial secara
simultan.
Carruthers J.D.A. et al, membandingkan hasil operasi adjustable suture dengan Botox
mendapatkan hasil operasi lebih baik dari Botox (92.7% : 50.59%).

161
Kepustakaan yang perlu diklarifikasi lagi

86. Kwan et, all. Annals of ophthal. 1987; 19: 393-395. 


judul? 15
87. Von Noorden. Am J Ophthalmol. 1992; 114: 311-313. 
judul? 16
88. Obha. et al. Bin.Vis 2005; 20: 89-92.
 judul 17
89. Larsen P.C et al. journal of AAPOS. 2004; 8: 
judul, halaman? 18
90. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2003; 1: 21-24. 
judul, pengarang? 19
91. William Clark et al, ……. 
judul, jurnal,th? 13
92. Wood et al. strab.management.  Judul buku,
th penerbit ? 14
93. Swets & zeitlinger. Strabismus . 2001; 9: 225-230. 
nama jurnal? 11
94. Taylor & Hoyt. Ophthalmol Strab. 2005; 1916-1918.
 vol? 12
95. Squint Master. Com, http://www.squintmaster.com/index.htm.
 judul? 10
96. Sight saving review vol 41 No.2 1971
 judul, hal? 9
97. J.Lang. Transaction of European congress in London. 1969; 160-164
 judul? 7

162
98. Ing M.R. in Alan Scot. Botulinum treatment ? Tahun dan
halaman? 6
99. Encyclopedi of medical syndrome
 th?// 5
100. Engman J.H, et al. Efficacy of inferior oblique anterior transposition placement
grading for dissociated vertical deviation. Ophthalmol. 2001; 108: 2040-2050.
101. Dong G.C. Rosenbaum A.L. Medical Rectus Resection with Adjustable suture for
intermitten Exotropia of The Convergence Insufficiency Tipe. J. of American Association
of Ped Ophthalmol
and Strab. 2001; 1-9.
 vol? 3
102. Chun B.Y et al. Reduction of angle Deviation Angle During Occlusion Therapy: In
Partially
Accomodative Esotropia with Moderate Ambliopia. Kor. J. Ophthalmol. 2007; 21:
 hal? 2
103. Cattford&Oliverd judul, tahun,
penerbit? 1

Catatan: koreksi penulisan kepustakaan mengenai(titik, koma, titik koma, titik dua,
letak halaman dan tahun)

SOAL
163
1. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Duane Retraction syndrome?
2. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Accomodative Esotropia?
3. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Dissociated Vertical Divergence?

SOAL STRABISMUS
Seorang pasien usia 10 th dibawa orang tuanya ke poli mata dengan keluhan mata
kanan juling keluar terutama bila pasien melihat jauh. Juling mulai terlihat oleh orang
tuanya sejak pasien berusia 4 tahun. Mulanya juling terlihat kadang kadang terutama
waktu ngelamun. Akhir akhir ini juling makin nyata dan bila pasien konsentrasi
melihat matanya bisa lurus.
Bagaimana/apa saja pemeriksaan yang dilakukan, apa diagnosa dan bagaimana
penatalaksanaan pasien ini.

Data-data pasien (diarahkan untuk intermitten exotropia


Anamnesa:
1. Timbul keluhan sejak usia 4 tahun
2. Nenek pasien juga ada juling
3. Trauma lahir tidak ada/lahir normal
Pemeriksaan
1. visus OD 6/6 dan OS 6/6
2. Deviasi jauh OD exo 30 derajat dan deviasi dekat 15 derajat.
3. WFDT : melihat 3 titik hijau (supresi OD)
4. Red filter test : henya melihat sinar merah (supresi OD)
5. Oklusi test (1 jam) deviasi dekat menjadi 30 derajat
6. Amblioskop:
 SP (+)
 Fusi (–)
 Stereoskopik (-)
 Objektive angle : 60 prisma
 Subjective angle: 40 prisma
7. Visuscop :
 Mulanya proyeksi bintang di fovea kemudian bergeser keperifir
(Eccentric viewing)
SOAL STRABISMUS

1. Bagaimana diagnosa dan pengobatan AV Pattern


2. Bagaimana penatalaksanaan esotropia congenital dan bagaimana hasil
pengobatan dianggap berhasil.
3. Bagaimana gambaran klinik nystagmus blockage syndrome dan bagaimana
pengobatan nystagmus congenital pada umumnya.

164
CARA SCANNING GAMBAR
1. Buka file word yang ingin diisi gambar
2. Pilih ‘insert’ klik kiri  “picture”  keluar pilihan , pilih “from scanner or
camera”  klik kiri  keluar menu scan, pilih custom insert  klik kiri, tunggu scan
preview selesai  blok gambar yang akan di scan (gambar kalau terbalik bisa
diputar)  klik scan

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

165
Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

166
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN
UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN


UNTUK PERBAIKAN

Terima kasih

Dr. Muslim

167

Anda mungkin juga menyukai