Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional di arahkan untuk
mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan upaya
pengelolaan berbagai sumber daya pemerintah maupun masyarakat sehingga dapat disediakan
pelayanan kesehatan yang berkesinambungan, efektif, efisien, bermutu dan terjangkau. Hal ini perlu
didukung komitmen dan semangat yang tinggi dengan prioritas terhadap upaya kesehatan dengan
pendekatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).
Sebagai profesi Fisioterapi Indonesia memiliki acuan baik dari sisi pertangung jawaban akademik
maupun pertangggung jawaban praktik. Acuan itu adalah Standar Praktik Fisioterapi yang berisi
standar kompetensi dan kode Etik profesi, Standar dan Pedoman Pelayanan serta Sumpah Profesi.
Dengan Acuan ini maka Fisioterapi sebagai profesi dapat diukur dengan jelas .
Buku PPK FT ini adalah bagian tak terpisahkan dari lahirnya Permenkes no 65 thaun 2015 tentang
Pedoman Pelayanan Fisioterapi di sarana Kesehatan . Dengan Adanya buku PPK FT ini maka
pelayanan Fisioterapi diseluruh Fasilitas Kesehatan di Indonesia akan terstandar .
Dengan Demikian maka mutu dan keselamatan Pasien akan terjaga . Dengan menggunakan
PPK maka setiap pelayanan Fisioterapi erdasar pada praktk terbaik dan parktik berdsar bukti.
Implementasi PPK FT dalam pelayanan juga merupakan bukti bahwa pelayanan Fisioterapi
di Indonesia sesuai dengan pendekatan Komite Akreditasi Rumah sakit yang berprinsip pada
pelayanan yang berfokus pada pasien.

B. TUJUAN
1. Umum
Tersedianya pedoman bagi tenaga fisioterapi dalam mengembangkan pelayanan yang efektif dan
efisien sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat pengguna jasa pelayanan fisioterapi di RSUD DR.
DJASAMEN SARAGIH, sehingga terselenggara pelayanan fisioterapi yang optimal dalam mendukung
pencapaian upaya pelayanan kesehatan prima.
2. Khusus
a. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan.
1) Sebagai acuan dalam penyusunan rencana pengembangan pelayanan fisioterapi di unit
Fisoterapi RSUD DJASAMEN SARAGIH.
2) Sebagai acuan dalam melaksanakan bimbingan teknis (clinical supervision) pelayanan fisioterapi.
3) Sebagai acuan dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi pelayanan fisioterapi.
b. Bagi tenaga fisioterapi.
1) Sebagai acuan dalam menyusun rencana pengembangan berbagai jenis dan jenjang pelayanan
fisioterapi di RS MASMITRA
2) Sebagai acuan dalam melaksanakan konsep asuhan fisioterapi di RS MASMITRA
3) Sebagai acuan dalam evaluasi pelaksanaan pengembangan dan konsep asuhan Fisioterapi.

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Fisioterapis merupakan tenaga profesional yang bertanggung jawab terhadap kapasitas fisik
(kondisi fisik) dan kemampuan fungsional, yang dibagi kedalam beberapa kelompok pelayanan:
1. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Neurologi
2. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Ortopedik Muskuloskeletal
3. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Pediatri
4. Panduan Praktik Fisiterapi dalam Fisioterapi Olahraga
5. Panduan Praktif Fiisoterapi dalam Fisioterapi Kardio Respirasi Vaskuler

D. Batasan Operasional
Sesuai falsafah dan tujuan yang terdapat dalam standar pelayanan fisioterapi, dimana fisioterapi
memiliki batasan operasional dalam memberikan pelayanan yang di tujukan kepada individu dan
atau kelompok dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh
sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,
peralatan (fisik, elektroterapi dan mekanis), pelatihan fungsi, dan komunikasi edukatif.

E. Landasan Hukum
Pedoman pelayanan fisioterapi di RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH ini di susun berdasarkan :
1. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3. UU No. 23 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
4. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
6. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai
Daerah Otonom
7. Peraturan pemerintah No. 43 tahun 1988 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang cacat.
8. Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1994 tentang jabatan Fungsional 4 Negeri Sipil (Lembaran
Negara tahun 94 No. 22 tambahan Lembaran Negara No.3547).
9. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
10. Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
11. Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1575/MENKES/SK/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departeman Kesehatan.
13. Peraturan Menteri Kesehatan RI Np. 104/ MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik
14. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159B/MENKES/PER/II/1988 tentang Rumah Sakit.
15. Kepmenkes RI No.1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota.
16. Kepmenkes RI No. 131/MENKES/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Fisioterapis terdiri dari fisioterapis lulusan pendidikan fisioterapi jenjang Diploma III,
Diploma IV, Strata-1/Profesi, Strata-2/Specialisasi, dan Strata-3.

B. Distribusi Ketenagaan
Ketenagaan pelayanan fisioterapi terdiri dari fisioterapis dan tenaga penunjang pelayanan
fisioterapi.

C. Pengaturan Jam Kerja


Sesuai arahan dari Direktur RS MASMITRA, maka pelayanan fisioterapi buka di hari kerja mulai
pukul 08.00 wib dan tutup pada pukul 21.00 wib.
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang Fisioterapi

Wastsafel wastafel

Pintu masuk
Ruang tunggu
Fisioterapi Ruang konsultasi Ruang Ruang Ruang Ruang
& administrasi I II III IV

B. Standar Fasilitas
Adanya fasilitas dan peralatan pelayanan fisioterapi yang sesuai standar peralatan dalam
pelayanan fisioterapi
1. Loket pendaftaran dan pendataan
2. Fasilitas ruangan meliputi ruang tunggu pasien dan pengantar pasien, ruang pelayanan,
keuangan, personalia dan ruang administrasi yang aksesibel.
3. Ruang fisioterapi pasif
Ruang untuk memberikan pelayanan berupa suatu intervensi radiasi/gelombang Elektro
magnetik, terapi panas,inhalasi dan traksi, maupun latihan manipulasi yang diberikan
kepada pasien yang bersifat individu
4. Peralatan pelayanan fisioterapi baik jenis, jumlah maupun kualitas yang memenuhi
penyelenggaraan pelayanan fisioterapi.
6. Peralatan teknis pelayanan fisioterapi yang digunakan pada pasien/klien ditera setiap
kurun waktu tertentu untuk menjamin efektifitas dan keamanan.
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Kebutuhan Masyarakat akan pelayanan fisioterapi perlu disediakan dengan jaminan kualitas yang
optimal, perlindungan keamanan bagi masyarakat pengguna, penyelenggara dan praktisi pelayanan,
serta penyelenggaraan yang efektif dan efisien. Pelayanan fisioterapi harus tersedia secara
berkesinambungan, dapat diterima secara wajar, mudah dicapai, mudah dijangkau, dan mampu
menghadapi tantangan serta peluang globalisasi. Pelayanan fisioterapi dikembangkan dengan
pertimbangan sebagai berikut :

A. Masukan
1. Perangkat Hukum Profesi Fisioterapi
a. Sesuai UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan, Keputusan Menteri PAN No. KEP/04/M.PAN/1/2004
tentang Jabatan Fungsional Fisioterapi dan Angka Kreditnya, Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 1363/MENKES/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Ijin Praktik
Fisioterapi, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 376/Menkes/SK/III/2007 tentang
Standar Profesi Fisioterapi, maka penyelenggaraan pelayanan fisioterapi diatur sebagai
berikut :
1) Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselanggarakan
upaya pelayanan fisioterapi dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan.
2) Sebagai tenaga kesehatan, fisioterapis :
a). Bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangannya.
b). Berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
c). Dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien.
3) Fisioterapis yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam melaksanakan
profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Ada tidaknya kesalahan atau kelalaian
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
4) Perlindungan hukum diberikan kepada :
a) Fisipterapis yang melakukan upaya kesehatan setelah memiliki izin dari Menteri
Kesehatan.
b) Fisioterapis yang dalam melakukan tugasnya melaksanakan kewajiban mematuhi
standar profesi.
c) Fisioterapis yang dalam melakukan tugasnya melaksanakan kewajiban :
(1) Menghormati hak pasien;
(2) Menjaga kerahasiaan, identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
(3) Memberikan informasi berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dilakukan;
(4) Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
(5) Membuat dan memelihara rekam medis
(6) Melaksanakan tugas sesuai profesinya.
5) Fisioterapi yang dengan sengaja :
a) Melakukan upaya kesehatan tanpa izin
b) Melakukan upaya kesehatan tanpa adaptasi
c) Melakuakan upaya kesehatan tidak sesuai standar profesi
d) Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur huruf 4) c) butir (1) sampai
dengan (6). Diancam pidana paling banyak Rp. 10.000.000,-
2. Standar Praktik Fisioterapi :
Standar Praktik Fisioterapi Indonesia mengacu kepada hasil kongres ke 16 World Confederation
for Physical Therapy (WCPT, 2007) memuat secara garis besar sebagai berikut:
a. Administrasi dan manajemen
b. Komunikasi
c. Tanggungjawab terhadap komunitas
d. Dokumentasi
e. Perilaku etis
f. Infomed Consent
g. Hukum
h. Manajemen pasien/klien
i. Pengembangan personal dan professional
j. Menjaga mutu
k. Tenaga penunjang
3. Ketenagaan
Ketenagaan pelayanan fisioterapi terdiri dari fisioterapis dan tenaga penunjang pelayanan
fisioterapi.
a. Fisioterapis
Fisioterapis terdiri dari fisioterapis lulusan pendidikan fisioterapi jenjang Diploma III, Diploma IV,
Strata-1/Profesi, Strata-2/Spesialisasi, dan Strata-3.
b. Tenaga penunjang pelayanan fisioterapi adalah tenaga administrasi dan tenaga multifungsi (care
giver).
4. Pasien dan klien
Pasien/klien adalah individu dan atau populasi yang membutuhkan untuk mengembang
kan, memelihara dan memulihkan kemampuan gerak dan fungsi fisik sepanjang rentang
kehidupan. Adanya fenomena transisi epidemologi, transisi demografi, emerging dan re-emerging
deseases, kecelakaan lalulintas dan kerja, perilaku hidup menunjukkan peningkatan kebutuhan
pelayanan fisioterapi.
5. Sarana, Prasarana dan Alat Fisioterapi
Kebutuhan akan sarana, prasarana dan alat dikembangkan menurut jenis dan kelas sarana
kesehatan serta kekhususan pelayanan fisioterapi dengan memperhatikan jenis, jumlah,
kualitas, keamanan dan keakuratan. Peralatan fisioterapi sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 363/Menkes/PER/IV/1998 harus dikalibarasi. Untuk menjamin kualitas,
keamanan dan keakuratan peralatan fisioterapi dilakukan pemeliharaan , perbaikan dan
kalibrasi secara berkala. Sarana, prasarana dan alat fisioterapi sesua i jenis , kelas dan
kekhususan pelayanan diatur tersendiri.

B. Proses Fisioterapi
Fisioterapis melakukan asuhan fisioterapi dengan pendekatan penyelesaian masalah dan
atau pemenuhan kebutuhan , menggunakan metode ilmiah, berpegang teguh pada sumpah
dan kode etik profesi fisioterapi, mengacu pada standar profesi serta standar pelayanan,
sesuai dengan kewenangannya dalam siklus kegiatan proses fisioterapi.

1. Rujukan Fisioterapi:
Sesuai SK Menkes No. 1363/MENKES/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan ijin Praktek Fisioterapis,
pasien/klien bisa mendapatkan pelayanan fisioterapi dengan rujukan dari tenaga medis dan atau
tanpa rujukan. Pelayanan fisioterapi tidak memerlukan rujukan hanya boleh dilaksanakan terhadap
pelayanan yang bersifat promotif fan preventif, pelayanan untuk pemeliharaan kebugaran,
memperbaiki postur, memelihara sikap tubuh dan melatih irama pernapasan normal serta
pelayanan dengan keadaan aktualisasi rendah bertujuan untuk pemeliharaan.
2. Asesmen Fisioterapi
Asesmen Fisioterapi yaitu pemeriksaan pada perorangan atau kelompok untuk merumuskan
keadaan nyata atau yang berpotensi untuk terjadi kelemahan keterbatasan fungsi, ketidakmampuan
atau kondisi kesehatan lain dengan cara pengambilan perjalanan penyakit, atau history taking,
sceening, tes khusus, pengukuran dan evaluasi dari hasil pemeriksaan melalui analisis dan sintesis
dalam sebuah proses pertimbangan klinik dalam standar asesmen dikembangkan teknis pengukuran
yang dilakukan untuk proses pengumpulan data.

3. Diagnosa dan Prognosa Fisioterapi


Diagnosa adalah suatu label yang menggambarkan keadaan multi dimensi pasien atau klien yang di
hasilkan dari pemeriksaan dan pertimbangan klinis, yang dapat menunjukkan adanya disfungsi gerak
mencakup gangguan/kelemahan (impairmen) limitasi fungsi (functional limitation), ketidakmampuan
(disabilities) sindroma (sundromes), mulai dari sistem sel dan biasanya pada level sistem gerak dan
fungsi Prognosa ialah prediksi perkembangan keadaan diagnostik pasien atau klien dimasa
mendatang setelah mendapatkan intervensi fisioterapi.

4. Perencanaan dan Persetujuan Tindakan Fisioterapi


Perencanaan dimulai dengan pertimbangan kebutuhan intervensi dan biasanya menuntun kepada
pengembangan intervensi, termasuk hasil sesuai dengan tujuan yang terukur yang disetujui pasien
atau klien, keluarga atau petugas kesehatan lainya dan menjadi pemikiran perencanaan alternatif
untuk dirujuk kepada pihak lain bila dipandang kasusnya tidak tepat untuk fisioterapi.

5. Intervensi Fisioterapi
Impelementasi dan modifikasi perencanaan untuk mencapai tujuan yang disepakati dan dapat
termasuk penanganan secara manual, peningkatan gerakan, peralatan fisis, peralatan
elektroterapeutis dan peralatan mekanis, pelatihan fungsional, penentuan bantuan dan peralatan
bantu, intruksi dan konseling, dokumentasi, koordinasi dan komunikasi.

6. Evaluasi Fisioterapi
Keharusan untuk evaluasi atau re-asesmen untuk menetapkan keadaan diagnostic baru pasien atau
klien setelah menjalani periode intervensi dan untuk menetapkan kriteria penghentian tindakan.
7. Rekam Fisioterapi
Bahwa setiap pemberian dan atau tindakan pelayanan fisioterapi harus disertai dengan alat bukti
yang disebut rekam fisioterapi dengan sanksi pelanggaran yang menyertainya sesuai Kepmenkes No.
1363/MENKES/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan izin Praktik Fisioterapi dan Permenkes RI No.
269/MENKES/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Rekam fisioterapi dimulai sejak pasien/klien
diterima disarana pelayanan fisioterapi, hingga berakhirnya masa pelayanan. Setiap pemberian
pelayanan tersebut diatas wajib di sertakan bukti pemberian pelayanan yang tertuang dalam
berbagai jenis formulir. Pengisian rekam fisioterapi dilakukan oleh fisioterapis yang melaksanakan
pelayanan terhadap pasien/klien. Sebagai acuan disusun formulir-formulir rekam fisioterapi, antara
lain:
a. Rujukan masuk dan keluar.
b. Persetujuan/penolakan intervensi fisioterapi.
c. Catatan proses dan perkembangan.
d. Hasil pemeriksaan dan pengukuran kasus.
e. Catatan hasil asesmen ulang serta asesmen akhir pada penyelesaian pelayanan.
f. Rekomendasi tindak lanjut pelayanan untuk pasien/klien.
g. Ringkasan riwayat keluar (discharge summary).
8. Terminasi Pelayanan Fisioterapi
Terminasi (penghentian pelayanan fisioterapi) dilakukan bila :
a. Berakhirnya proses pelayanan fisioterapi yang telah diberikan selama periode tunggal
pelayanan fisioterapi atau tujuan yang diharapkan telah tercapai.
b. Terjadi diskontinuasi, yaitu penghentian karena:
1) Fisioterapis menentukan bahwa tidak ada manfaat positip terhadap pasien/klien oleh
tindakan pelayanan tersebut.
2) Pasien/klien tidak mau melanjutkan program pelayanan fisioterapi karena menyangkut
permasalahan komplikasi medik atau psikososial.
4) Pasien/klien keberatan atas pelayanan fisioterapi yang disebabkan oleh permasalahan
dana/pembiayaan.
9. Koordinasi, Komunikasi, Pendidikan dan Instruksi Fisioterapi
a. Koordinasi adalah kerjasama semua bagian yang terkait dengan pasien/klien.
b. Komunikasi termasuk administrasi merupakan pertukaran informasi baik dengan pasien/klien
maupun sesama pemberi pelayanan untuk menjamin pemberian pelayanan yang tepat, aman,
komprehensif, efisien dan efektif mulai dari kedatangan sampai selesai.
c. Pendidikan pasien/klien adalah proses pemberian informasi, pendidikan atau pelatihan kepada
pasien/klien/keluarga.
d. Instruksi berkaitan dengan kondisi, rencana, hasil yang diharapkan dan factor resiko.
Fisioterapis bertanggung jawab atas instruksi-instruksi yang diberikan kepada pasien/klien dan
atau keluarganya.
10. Administrasi Biaya Pelayanan Fisioterapi
Pemerintah bertugas menyelenggarakan dan menggerakkan peran serta masyarakat, dalam
Upaya kesehatan dengan merata dan terjangkau , serta memperhatikan fungsi social bagi
Masyarakat yang kurang mampu. Dengan semangat tersebut diatur pembiayaan pelayanan
fisioterapi sebagai berikut :
a. Proses pembiayaan (Billing Process)
1) Fee for service
2) Asuransi
3) Jaminan Kesehatan Masyarakat
b. Sumber biaya :
1) Biaya sendiri
2) Swasta
3) Pemerintah
4) Pemerintah Daerah
c. Pemanfaatan jasa pelayanan fisioterapi diatur sesuai ketentuan yang berlaku dengan
memasukkan jasa pelayanan profesional fisioterapi sebagai komponen jasa pelayanan
dengan bobot sesuai kepatutan.

C. Keluaran Pelayanan Fisioterapi


Keluaran pelayanan fisioterapi diindikasikan dengan :
1. Secara umum diukur dari hasil survey kepuasan pasien/klien sedikitnya setahun dua kali
2. Secara khusus diukur dalam prosentase terhadap pasien/klien yang memperoleh menfaat sebagai
berikut :
a. Mencapai tujuan yang diharapkan
b. Mengalami statusquo (flat)
c. Mengalami kemunduran kondisi
d. Tidak teridentifikasi
D. Dampak
Pelayanan fisioterapi memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja pelayanan kesehatan
secara keseluruhan baik bagi pasien/klien, institusi maupun tenaga fisioterapi.
1. Terhadap pasien/klien.
a. Lama (Length of stay) pasien rawat inap
b. Menurunkan biaya kesehatan
c. Meningkatkan kemandirian
d. Lama pasien/klien istirahat kerja
e. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
f. Meningkatkan produktifitas kerja
g. Meningkatkan prestasi olahraga
h. Menurunkan angka kesakitan masyarakat
i. Meningkatkan usia harapan hidup
j. Meningkatkan Human Development Index
2. Terhadap Institusi pelayanan:
a. Meningkatkan jumlah pasien/klien (turn over)
b. Meningkatkan pendapatan
c. Mengembangkan organisasi dan meningkatkan citra institusi.
3. Terhadap fisioterapis :
a. Meningkatkan keterampilan, ilmu dan teknologi dan etika.
b. Meningkatkan kesejahteraan fisioterapis.
c. Meningktakan nilai-nilai pengabdian profesional fisioterapi.
BAB V
LOGISTIK

Untuk mendukung berjalannya pelayanan fisioterapi dengan baik dan lancar maka dibutuhkan
peralatan/perlengkapan sebagai penunjang kegiatan fisioterapi, antara lain:

1) Alat Tulis Kantor


 Pulpen Tipe-X Anak hekter
 Buku Tulis Gunting kecil Slasiban
 Spidol Cutter Lem Kertas
 Penggaris Klip Paper
 Komputer
 Printer
 Document Holder, dll

2) Perlengkapan Fisioterapi
 Infomed consent
 Lembar konsul
 Lembar Assesment pasien

3) Perlengkapan Rumah tangga


 Ember Sapu ijuk Keset kaki
 Kasur Kain pel Tempat sampah
 Spray Sarung bantal Serokan sampah
 Handuk Kecil Bantal Brus kamar mandi
 Handuk Besar, Sabun antiseptik
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Standar keselamatan pasien terdiri dari:


1) Hak Pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil
pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden

2) Mendidik Pasien dan Keluarga


Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan fisioterapi

3) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan eveluasi dan program


peningkatan keselamatan pasien.
Fisioterapi harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien

4) Mendidik staf tentang keselamatan pasien


Fisioterapi menyelenggarkan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf sreta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien

5) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien


BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Standar Pelayanan Keselamatan Kerja di Ruang Fisioterapi:


1. Pembinaan dan pengawasan kesehatan dan keselamatan sarana, prasarana dan peralatan
Kesehatan
2. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap SDM fisioterapi
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
4. Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitasi
5. Pelatihan dan promosi/penyuluhan keselamatan kerja untuk SDM fisioterapi
6. Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Program evaluasi dan pengendalian mutu mencakup pelaksanaan asuhan fisioterapi dan
kepuasan pelanggan. Data hasil evaluasi dapat merupakan umpan balik dalam upaya penigkatan
mutu.
1) Adanya program evaluasi dan peningkatan mutu tertulis tentang pelaksanaan asuhan fisioterapi
a. Perencanaan evaluasi tentang pelaksanaan asuhan fisioterapi
b. Mekanisme evaluasi dilaksanakan secara teratur dan terukur
c. Hasil evaluasi dimanfaatkan sebagai umpan balik peningkatan standar asuhan
2) Adanya program evaluasi dan peningkatan mutu tertulis tentang kepuasan pelanggan
a. Perencanaan evaluasi tentang kepuasan pelanggan
b. Mekanisme evaluasi dilaksanakan secara teratur dan terukur
c. Hasil evaluasi dimanfaatkan sebagai umpan balik peningkatan citra pelayanan fisioterapi
BAB IX
PANDUAN PRAKTEK FISIOTERAPI
DALAM PENGELOMPOKAN PELAYANAN FISIOTERAPI

I. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Neurologi


Bell Palsy
A. Bell Palsy
 ICF: s7b7
 ICD-10: G51.0
B. Masalah Kesehatan
 Definisi
Menurut Mumenthales (2006) Bell palsy merupakan suatu kelainan pada n.
fascialis yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan pada otot di suatu wajah.
Suatu keadaan ketidak simetrisan wajah dikarenakan penurunan fungsi n.
facialis yang mengakibatkan ketidak seimbangan kekuatan pada kedua.
 Epidemiologi
Angka kejadian penderita bell palsy, menurut studi kasus yang dilakukan para
peneliti,20 per 100.000 penduduk pertahun. Bell palsy mempengaruhi sekitar 40.000
orang di Amerika Serikat setiap tahunnya. Menurut studi kasus yang dilakukan Grewal D.S,
2016 menyatakan bahwa sekitar 1,5% terjadi bell palsy pada usia antar 15 dan 60 yang
terjadi pada wanita maupun pria.
C. Hasil Anamnesis
Pasien laki-laki berusia 41 tahun merasakan kelemahan pada sisi wajah sebelah kiri
yang disertai dengan adanya rasa nyeri pada bagian belakang telinga.Saat ini pasien
mengalami kesulitan dalam menutup mata kiri dan merasa wajahnya mencong ke arah
kanan.Hal tersebut dirasakan sudah 2 hari yang lalu.
D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Fisik
 Vital Sign
o Blood Preasue : Normal
o Heart Rate : Normal
o Respiratory Rate : Normal
 Inspeksi
o Tampak kelemahan pada wajah
o Wajah tidak simetris
o Ekspresi wajah tidak sama
 Palpasi
O Nyeri tekan pada bagian belakang telinga
O Suhu normal
 Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
O Aktif dan Pasif : adanya kelemahan
O Tes isometric melawan tahanan : adanya kelemahan
 Pemeriksaan Penunjang : -
 Penegakan Diagnosis :
o Activity Limitation : - Sulit mengelurkan air mata sisi kiri
- Sulit memejamkan mata sisi kiri
o Body Structure & Function : - Kelemahan otot satu sisi wajah
- Penurunan fungsi n. fascialis
o Participation Restriction : - Mengganggu aktivitas berkomunikasi
o Diagnosis Fisioterapi : Belum bisa memejamkan mata dan mengeluarkan air mata
sisi kiri karena adanya kelemahan otot dan penurunan fungsi n. fascialis pada satu
sisi wajah kiri sehingga mengganggu aktivitas berkomunikasi.
E. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan : Memperbaiki fungsi nervus fascialis
 Prinsip Terapi : - Penguatan otot fascial
 Peningkatan fungsi n. fascialis
 Edukasi : Mengajarkan caramenutup mata dan mengontrol air liur yang keluar dari mulut.
 Kriteria Rujukan : Dokter spesialis
F. Prognosis
Perjalanan alamiah Bell‘s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera
sarafsubstansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80 - 90% pasien dengan Bell‘s
palsy sembuhtotal dalam 6 bulan, bahkanpada 50 - 60% kasus membaik dalam 3
minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat
rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post - aurikular, gangguan pengecapan, refleks
stapedius, wanita hamil dengan Bell‘s palsy. Selain menggunakan pemeriksaan
neurofisiologi untuk menentukan prognosis,House - Brackmann Facial Nerve
Grading System dapat digunakan untuk mengukurkeparahan dari suatu serangan dan
menentukan prognosis pasien Bell‘s palsy (Handoko Lowis, 2012).
G. Sarana dan Prasarana
Sarana : Bed, Faradic
 Prasarana : Ruangan Terapi
H. Referensi
Dickson, Gretchen (2014). Primary Care ENT.An Issue of Primary Care: Clinics in Office
Practice https://en.wikipedia.org/wiki/Bell%27s_palsy
Grewal D. S (2014). Atlas of Surgery the Facial Nerve: An Otolaryn gologist’s
Perspective
Tiemstra, JD; Khatkhate., N (2007).―Bell‘s palsy: diagnosis and management‖.
American family physician.
Stroke Ischemic Hemipharase
A. Stroke Ischemic Hemipharase
 ICF : b7s7
ICD – 10 : 169.0
B. Masalah Kesehatan
 Definisi
Menurut kriteria WHO (1995), stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan
fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal
maupun global, berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian,
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Menurut sjahrir (2003) Stroke iskemik
adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya
aliran darah ke otak sehingga terjadi penyumbatan dan mengganggu kebutuhan darah
serta oksigen di jaringan otak.
Hemplegi adalah tipe dari stroke yang mengenai salah satu bagian sisi tubuh.
 Epidemiologi
Menurut studi kasus yang dilakukan Becker (2010) Insidens terjadinya stroke di Amerika
Serikat lebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun
pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta pertahun pada tahun 2050. Secara
internasional insidens global dari stroke tidak diketahui.
C. Hasil Anamnesis
Pasien laki - laki berumur 50 tahun sewaktu bangun tidur pagi hari mengeluh
kelemahan anggota gerak sebelah kiri sehingga pasien terjatuh dari tempat tidurnya.
Sebelumnya pasien merasakan kesemutan pada tangan dan kaki kirinya. pasien telah
diopname selama 2 hari.
D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Fisik
 Vital Sign
O Blood Preasue : 162/92 mmHg
O Heart Rate : 64 kali/menit
O Rspiratory Rate : 20 kali/menit
 Koginitif
o Komunikasi : Cukup baik
o Atensi : Cukup baik
o Motivasi : Kurang
o Emosi : Cukup baik
o Problem solving : Kurang
 Inspeksi : Dada protraksi, badan simetris
 Palpasi
Edema (-), atrofi otot (-)
kelemahan pada sebelah kiri (hipotonus)
 Pemeriksaan Penunjang : CT-Scan
 Penegakan Diagnosis :
 Activity Limitation : - Sulit berjalan, Sulit makan dengan mandiri, Sulit untuk berdiri
lama
 Body Structure & Function : - Kelemahan pada anggota gerak sebelah sisi kiri,
Hipotonus
 Participation Restriction : - Sulit bekerja, sulit berolahraga
 Diagnosis Fisioterapi : Belum bisa melakukan aktivitasnya secara mandiri karena
adanya kelemahan dan penurunan tonus otot pada anggota gerak sebelah sisi kiri
sehingga terjadi hipomobile yang akan mempengaruhi dalam bekerja dan
berolahraga.
E. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan : Meningkatkan tonus otot
 Prinsip Terapi : Penguatan otot ektremitas bagian sisi kiri
 Edukasi : Mengajarkan cara ambulasi, rolling, transfer
 Kriteria Rujukan : Dokter spesialis saraf
F. Prognosis
Masalah emosional yang mengikuti stroke dapat disebabkan oleh kerusakan langsung
ke pusat emosi di otak dari kesulitan beradaptasi dengan keterbatasan baru.Kesulitan
emosional paska stroke seperti kecemasan dalam serangan. Kesulitan lain mungkin
termasuk penurunan kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi melalui ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan suara.
Gangguan dalam menggenggam, hubungan dengan orang lain dan kesejahteraan
emosional dapat menyebabkan konsekuensi sosial setelah stroke karena
kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
G. Sarana dan Prasarana
 Sarana : Bed, Infrared, cone, hand ball
 Prasarana : Ruangan Terapi, Toilet
H. Referensi
WHO.ICF-Introduction, the International Classification of Functioning Disabiity and
Healthhttp://www.who.int/classification/icf/introns/icf
-Eng-Intro-pdf2002. Micielle.G (2002). Guideline Compliance Improve Stroke Outcome

Stroke Hemoragic Hemiplegi


A. Stroke Hemoragic Hemiplegi
 ICF : B7S7
 ICD-10 : 161.0
B. Masalah Kesehatan
Definisi
Menurut kriteria WHO (1995), stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan
fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal
maupun global, berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian,
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Stroke hemoragik disebabkan oleh
perdarahan ke dalam jaringan otak
(disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau kedalam ruang
subaraknoid yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid). Ini adalah jenis stroke yang paling
mematikan, tetapi relatif hanya menyusun sebagian kecil dari stroke total: 10-15% untuk
perdarahan intraserebrum dan 5% untuk perdarahan subaraknoid.
Hemplegi adalah tipe dari stroke yang mengenai salah satu bagian sisi tubuh.
 Epidemiolog
iPada tahun 2011 Stroke adalah penyebab kedua paling sering kematian diseluruh
dunia dengan angka kematian 6,2 juta dari 11% jumlah total yang ada. Sekitar 17 juta
orang yang mengalami stroke tahun 2010 dan 33 juta orang sebelumnya pernah
mengalami strokedan saat ini masih hidup. Antar tahun 1990 dan 2010, jumlah kejadian
stroke menurun sebesar 10% di negara maju sedangkan meningkat 10% di Negara
berkembang. Secara keseluruhan, 2/3 kasus stroke terjadi pada usia mulai gari 65 tahun.
C. Hasil Anamnesis
Seorang laki-laki, umur 65 tahun dengan kelemahan anggota gerak kanan, dengan riwayat 4
jam sebelum masuk RS terjatuh di sawah dan dalam keadaan tidak sadar. Setelah itu
3 jam kemudian sadarkan diri mengalami muntah secara tiba-tiba dan mengalami
kelemahan anggota gerak kanan,bicara pelo dan mulut perot.
D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Fisik
 Vital Sign
o Blood Preasue : 165/90 mmHg
o Heart Rate : 64 kali/menit
o Rspiratory Rate : 20 kali/menit
 Koginitif
o Komunikasi : Cukup baik
o Atensi : Cukup baik
o Motivasi : Kurang
o Emosi : Kurang
o Problem solving: Kurang
 Inspeksi : Postur dalam berbagai posisi
 Palpasi : Edema (-), atrofi otot (-), kelemahan pada sebelah kanan (hipertonus)
 Pemeriksaan Fungsi Gerak
O Aktif dan Pasif
O Tes Isometrik Melawan Tahanan
 Pemeriksaan Penunjang : CT-Scan
 Penegakan Diagnosis
 Activity Limitation : -Sulit berjalan -Sulit untuk berdiri
 Body Structure & Function : -Kelemahan pada anggota gerak sisi
kanan, Hipertonus, Kontraktur
 Participation Restriction : Sulit bekerjan, Sulit berolahraga
 Diagnosis Fisioterapi : Belum bisa melakukan berdiri dan berjalan karena adanya
peningkatan tonus otot pada anggota gerak sebelah sisi kanan sehingga terjadi
hipomobile yang akan mempengaruhi dalam bekerja dan berolahraga.
E. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan : Mengembalikan aktivitas fungsional
 Prinsip Terapi : -Muscle release, Penurunan tonus otot
 Edukasi : Mengajarkan cara ambulasi, rolling, transfer
Kriteria Rujukan : Dokter spesialis saraf
F. PrognosisMasalah emosional yang mengikuti stroke dapat disebabkan oleh kerusakan
langsung ke pusat emosi di otak dari kesulitan beradaptasi dengan keterbatasan
baru.Kesulitan emosional paska stroke seperti kecemasan dalam serangan. Kesulitan
lain mungkin termasuk penurunan kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi melalui
ekspresi wajah, bahasa tubuh dan suara. Gangguan dalam menggenggam, hubungan
dengan orang lain dan kesejahteraan emosional dapat menyebabkan konsekuensi
sosial setelah stroke karena kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
G. Sarana dan Prasarana
Sarana : Bed, Infrared, cone, hand ball
 Prasarana : Ruangan Terapi, Toilet
H. Referensi
Feigin VL, Forouzanfar MH, et al (2014). "Global and regional burden of stroke Sotirios AT(2000).
DifferentialDiagnosisinNeurologyandNeurosurgery.New York Thieme Stuttgart.
II. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Ortopedik Muskuloskeletal
Frozen Shoulder
A. Judul Kasus : Frozen Shoulder
Kode ICD : M75.0
Kode ICF : b7102, d5100, d5101, d5400, d5401

B. Masalahan Kesehatan
 Pengertian
Frozen Shoulder atau biasa dikenal dengan capsulitis adhesive adalah suatu kondisi yang
enyebabkan keterbatasan gerak pada sendi bahu disertai dengan nyeri dan kekakuan yang
sering terjadi tanpa dikenali penyebabnya (Cluett, 2010).
Frozen shoulder dikenal juga dengan istilah capsulitis adhesivadimanakondisi bahu menjadi
sakit dan kaku. Biasaya keluhan ini disebabkan karena cedera yang relatif kecil pada bahu
tetapi penyebab yang sering berkembang belum jelas.
Frozen shoulder juga sering dikaitkan dengan masalah kesehatan lainnya seperti diabetes
millitus(Teyhen, 2013 ).
 Fisiologi
Frozen shoulder (capsulitis adhesive) merupakan syndrome karena terdapat perubahan patologi
yakni pada kapsul artikularis glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi bagian anterior
superior mengalami synovitis yaitu perdangan dan meningkatkan cairan synovial yang
merupakan cairan bening yang dilepaskan oleh membrane synovial dan bertindak sebagai
pelumnas untuk sendi dan tendon. Karena terdapat peningkatan cairan menyebabkan cairan
tersebut menyebar keseluruh bagian sendi sehingga terjadi pelengketan jaringan, kemudian
terjadi kontraktur ligament coracohumeral, diikuti dengan penebalan pada ligament superior
glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior mengalami penebalan
padaligament inferior glenohumeral dan pelengketan pada ressesus axilaris. Kapsul sendi
bagian posterior terjadi keterbatasan mobilitas (kontraktur), sehingga menyebabkan
sebuah kasus pola kapsuler yaitu gerak fleksi lebih terbatas daripada ekstensi.
 Epidemiologi
Secara epidemiologi onset frozen shoulderterjadi sekitar usia 40-65 tahun. Dari 2-5% populasi
sekitar 60% dari kasus frozen shoulder lebih banyak mengenai perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Frozen shoulderjuga terjadi pada 10-20% dari penderita diabetus mellitus yang
merupakan salah satu faktor resiko frozen shoulder(Miharjanto, et al., 2010)
C. Hasil Anamnesis
Klien Tn. F datang dengan keluhan nyeri bahu-lengan atas dan kaku bahu, keluhan tangan tidak
bisa kebelakang atau menyisisr atau kegiatan tangan lainnya karena nyeri dan kaku, nyeri
jenis pegal pada bahu dan lengan atas disertai kaku gerak kesegala arah, nyeri meningkat
bila gerak bahu mencapai lingkup gerak tertentu dan berkurang bila diposisikan pada posisi
istirahat. Nyeri bahu kurang lebih sudah 1 bulan. Usia 53 tahun, tidak jelas sebabnya.

D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Posisi sendi glenohumeral pada MLPP Bahu tampak tinggi sebelah kanan/
asimetris
- Tes Cepat : Abduksi elevasi bahu terjadi gerak ’reverse humerosccapular rhythm’Gerak
terbatas dengan firm end feel
- Tes Gerak Pasif :
-Gerak glenohumeralis rotasi eksternal, abduksi, maupun rotasi internal terbatas firm
end feel, dalam pola keterbatasan capsular pattern.
-Pada ROM penuh nyeri sampai lateral lengan atas
-Tes Gerak Isometrik : Tidak bermakna kecuali bila ada strain atau tendinitis otot ‘cuff‘
-Test Khusus :
O Joint Play Movement : traksi pada ahir ROM nyeri, terbatas firm end feel
O Palpasi : spasme otot-tot bahu sebelah kanan
O Contract relax stretched test terbatas dan nyeri sedikit berkurang pasca kontraksi

E. Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan data lain untuk menegakkan diagnosisnya, seperti laboratoerium bila
dicurigai ada diabetus melitus, ‘X ray‘ bila dicurigai ada bursitis clcarea atau dislokasi, atau
infiltrasi neoplasma.

F. Penegakan Diagnosis
 Activity Limitation : -Menyisisir -Memakai baju –Mandi –Mengemudi -Menjemur pakaian
 Body Function and structure impairment : -Muscle imbalance,-Nyeri, -Hypomobility
 Participation Restriction : -Keterbatasan dalam pekerjaan, -Keterbatasan dalam olahraga
(bulutangkis), -Keterbatasan dalam rekreasi (bersepeda)
 Diagnosis Fisioterapi : Nyeri bahu hingga lengan atas dan hypomobility non capsular
pattern akibat idiopathic frozen shoulder

G. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan : menghilangkan nyeri dan mengembalikan gerak fungsional
 Prinsip Terapi : menambah dan memperbaiki ROM, mengurangi spasme otot
 Konseling – Edukasi : pasien disarankan untuk melakukan latihan cotman pendular di
rumah.
 Kriteria Rujukan : dokter orthopedic/Fisioterapi

H. Prognosis
Pasien dapat sembuh jika ditangani dengan cepat. Akan tetapi dalam kurun waktu 2 tahun
frozen shoulder dapat sembuh dengan sendiri tapi dikawatirkan akan terjadinya
perubah struktur diregio bahu.

I. Sarana dan Prasarana


 Sarana
-Bed
-Ultrasound
-Dumbell
-Ultrasound
-SWD
 Prasarana
-Ruang fisioterapi
J. Referensi
-Cluett, J., 2007; Frozen Shoulder; Diakses tanggal 7/10/2012, dari
thopedics.about.com/cs/frozenshoulder/a/frozenshoulder.htm
-Brauer, Sandra. 2013. Frozen Shoulder. Australia: The University of Queensland,
Australia
-Miharjanto H. Kuntono HP. Setiawan D. 2010. Perbedaan Pengaruh AntaraLatihan
Konvensional Ditambah Latihan Plyometrics dan Latihan Konvensional Terhadap Pengaruh
Nyeri, dan Disabilitas Penderita FrozenShoulder. 3. 2 : November 2010: 2.
-Davies, Clair, The Frozen Shoulder WorkBook, (Oakland : New Harbinger Publication, Inc,
2006)
De Quervain Syndrome
A. Judul Kasus : De Quervain Syndrome
Kode ICD : M65.4
Kode ICF :

B. Masalahn Kesehatan
 Pengertian
De Quervain syndrome merupakan penyakit dengan nyeri pada daerah prosesus
stiloideus akibat inflamasi kronik pembungkus tendon otot abductor polisis longus dan
ekstensor polisis brevis setinggi radius distal dan jepitan pada kedua tendon tersebut
(Wright, 2004).Mekanisme terjadinya De Quervain Syndrome adalah karena adanya kelelahan
trauma kecil yang berulang-ulang secara perlahan dan makin lama semakin menjadi berat.
De Quervain Syndrome ini dapat menimbulkan degenerasi dini pada jaringan yang tertekan.
Dimana terjadi rasa sakit yang timbul dari otot yang overuse.
 Epidemiologi
De quervain syndrome umumnya terjadi pada wanita karena rata-rata wanita mempunyai
proccesus styloideus yang lebih besar dari pada laki-laki dan paling sering terjadi pada
wanita yang berusia antara 30 tahun sampai 50 tahun yang diakibatkan pembebanan ibu jari
tangan untuk bekerja.

C. Hasil Anamnesis
Tn. H usia 63 tahun datang dengan mengeluhkan nyeri pada sisi lateral pergelangan
tangan kiri saat fleksi adduksi ibu jari tangan atau ulnar deviasi yang sudah berlangsung sejak 2
hari yang lalu.

D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : bengkak pada sisi lateral pergelanan tangan
 Tes cepat : fleksi ekstensi tangan dan jari tangan nyeri saat fleksi
 Tes gerak aktif : Adduksi ibu jari tangan nyeri, Ulnar deviasi nyeri
 Tes gerak pasif : tes streach ibu jari nyeri
 Tes gerak isimetrik : tes gerak isimetrik melawan tahana n ibu jari tangan kerah abduksi nyeri
 Tes Khusus : Finkelstein‘s Test : nyeri, oposisi reposisi ibu jari
 Palpasi : oedem pada sisi lateral pergelangan tangan
 Pemeriksaan Penunjang : ---
E. Penegakan Diagnosis
 Activity Limitation : - Mengetik-Mencuci-Texting-Menulis-Menggenggam-Mengendarai motor-
Memotong
 Body Function and structure impairment : -Inflamasi-Adhesion-Penebaan tendon-Muscle
weakness-Nyeri -Fleksibilitas menurun
 Participation Restriction :-Keterbatasan dalam pekerjaan-Keterbatasan dalam olahraga -
Keterbatasan dalam rekreasi
 Diagnosa Fisioterapi
Nyeri gerak pada tendon otot m abd pol longus dan ext poli brevis akibat tenovaginitis m
abd pol longus dan ext poli brevis
F. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan : Mengembalikan gerak fungsional tangan sehingga pasien dapat melakukan
aktivitas seperti biasanya.
 Prinsip Terapi : Menurunkan nyeri, menghancurkan adhesion,
meningkatkan mobilitas gerak.
Konseling – Edukasi : Gerak aktif pada jari-jari dan ibu jari, dan pasien dianjurkan untuk
mengurangiaktifitas pada ibu jari seperti tidak tidak mengepel, tidak mencuci dan
tidak melakukan aktivitas yang dapat memperberat keadaan ibu jari pasien menjadi
bertambah parah.
 Kriteria Rujukan : Dari Dokter Orthopedi

G. Prognosis
Prognosis dari De Quervain Syndromepada dasarnya tergantung pada lokasi dan tingkat
keparahan tenosynovitis, gejala dapat bertahan selama beberapa hari atau beberapa
minggu. Jika berlebihan atau terus bertambah, rasa sakit dapat memperburuk dan
bertahan selama beberapa bulan.

H. Sarana dan Prasarana


 Sarana : elastic bandaging, Ultrasound, MWD, Tapping
 Prasarana : Ruang terapi (fisioterapi)
III. Panduan Praktik Fisioterapi dalam Fisioterapi Pediatri

Genu Valgus

A. Genu Valgus
ICD : M21.06
ICF: s7b7

B. Masalah Kesehatan
Definisi Genu Valgus
Genu berasal dari Bahasa Latin yang berarti “lutut” dan valgus yang berarti mengarah keluar.
Genu valgus (knock-lutut) adalah kelainan kaki bagian bawah umum yang biasanya terjadi pada
balita, prasekolah dan usia awal sekolah. Dalam genu valgus, ekstremitas bawah berbalik ke
dalam, menyebabkan munculnya lutut menjadi menyentuh sementara pergelangan kaki tetap
terpisah. Seringkali orang tua mungkin telah memperhatikan lutut membungkuk (genu varum)
ketika anak mulai berjalan, tetapi pada usia 3 tahun, anak telah berkembang dan lutut sudah
mulai membentuk normal. Genu valgus yang paling parah pada usia 2-3 tahun tapi kemudian
biasanya sembuh sendiri pada usia 7-8.
Epidemiologi Genu Valgus
Genu valgus ringan dapat dilihat pada anak-anak dari usia 2 sampai 5 tahun di mana anak-anak
memiliki sudut genu valgus hingga 20 derajat. Genu valgus jarang memburuk setelah usia 7-8
tahun & seharusnya tidak lebih buruk daripada 12 derajat, jarak intermalleolar harus <8 cm.
Kondisi ini bisa progresif atau memburuk dengan usia, terutama jika penyebabnya adalah
penyakit, seperti riketsia.

C. Anamnesis
Sejak lahir, sang anak memiliki kelainan bentuk kaki. Awalnya orang tua pasien mengira seiring
berjalannya usia, kaki anak akan berkembang dan mengarah ke normal. Akan tetapi setelah 3
tahun, kaki anak tidak mengalami perbaikan dan justru semakin memburuk. Akhirnya orang tua
pasien membawa anaknya ke dokter dan dilakukan pemeriksaan MRI dan CT-Scan, lalu hasil
diagnosa dari dokter adalah sang anak memiliki genu valgus yang idiopatik Dokter
menyarankan agar anakdiberikan brace agar pola kaki tidak semakin memburuk dan
menyarankan agar anak dibawa ke Fisioterapi.
D. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Anamnesis
a)Posisi kaki yang abnormal yaitu menjauhi garis tengah tubuh
b)Pola jalan yang abnormal
c)Jarak antar malleolus 10 cm
2)Pemeriksaan penunjang
a)Setelah dilakukan MRI dan CT-Scan, terlihat bentuk kaki yang abnormal dan
membentuk huruf X

E. Penegakan Diagnosa
1) Activity limitation : Kesulitan berjalan
2) Body structure and function : Deformitas tibiofemoral
3) Participation restricti : oS Tidak bisa bermain bersama teman-temannya
4)Diagnosa : Kesulitan berjalan akibat adanya deformitas tibiofemoral sehingga pasien tidak bisa
bermain bersama teman-temannya.
F. Rencana Penatalaksanaan
1)Tujuan : Mengembalikan pola berjalan normal.
2) Prinsip terapi
a)Butterfly stretch yaitu dengan duduk menyila dan lutut di stretch
b)Pasien posisi pronasi dengan bola padat berbentuk lonjong diletakkan di paha, lalu
pasien melakukan roll up and down dengan dibantu oleh fisioterapis.
3)Edukasi
a) Menyarankan kepada keluarga pasien menggunakan brace pada pasien untuk mengurangi
derajat kemiringan pada knee.
b) Kriteria Rujukan: Dari Dokter

G. Prognosis
Prognosa terkoreksi apabila ditangani secepat mungkin.

H. Sarana dan Prasarana


1) Prasarana : Ruang Fisioterapi
2) Sarana : Matras ,Bantal padat berbentuk lonjong,Meja ,Kursi
IV. Panduan Praktik Fisiterapi dalam Fisioterapi Olahraga

Sprain Ankle
a. Sprain Ankle
- Icf : b7150, b7601
- Icd : S93.4
b. Masalah Kesehatan
- Definisi
Sprain ankle juga dikenal sebagai cidera ankle atau cidera ligament ankle,pada umumnya
sprain ankle ini terjdi karena robeknya sebagian dari ligament(torn partial ligament) atau
keseluruhan dari ligament (torn ligament) danHampir 85% sprain ankle terjadi pada struktur
jaringan bagian lateral ankleyaitu ligamen lateral complex. (H. Habib Nasution, 2006)
- Epidemiologi
3.140.132 kasus sprain ankle berisiko terjadi pada populasi 146.1379.599 orang per tahun.
untuk tingkat kejadian 2,15 per 1000 orang pertahun diAmerika Serikat. (Waterman BR,
2010)
c. Hasil Anamnesis
Pendrita dapat menceritakan proses cideranya yatu terjatuh dengan posisipergelangan kaki
terputar ke dalam atau keluar. Setelah cedera, penderitamengeluh sakit berlebihan pada
aspek anterolateral pada sendi pergelangan kaki.Perabaan di atas sakit tersebut hanya di
bawah malleolus lateral. Denganpenyebaran terjadi di tempat bengkak yang berlebihan
daerah pergelangan kakisisi lateral dan anterior, persamaan tes ditunjukkan adaya
ketidakseimbangan,MRI diindikasikan tidak patah tulang.
d. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Lumbale lordosis atau flat back
 Tes cepat : Otawa Ankle rule
 Gerak squat and bouncing terasa nyeri pada saat bouncing
 Tes gerak aktif : Nyeri ke arah inversi
 Tes gerak pasif :
 Nyeri pada sisi kontra lateral dari arah gerakan
 Keterbatasan gerak searah nyeri
 Tes gerak isometric : Gerak isometric negative atau kadang nyeri
 Tes khusus : drawer sign positif Palpasi pada derah nyeri
e. Penegakkan diagnosa
 Activity limitation
- Adanya gangguan berlari, loncat, kemampuan berjalan, keseimbangan,kontrol gerak
 Body structure and body function : nyeri, oedema
 Participation restriction : Tidak dapat melakukan olahraga dengan maksimal
 Diagnosa berdasarkan ICF : Adanya gangguan stability ankle, adanya ketidakmampuan
melakukan kordinasi gerakan ankle.
f. Rencana Penatalaksanaan
 Tujuan
- Mencegah malaligment
- Meningkatkan movement coordination
- Meningkatkan stabilisasi ankle
- Meningkatkan kemampuan ankle
 Prinsip Terapi
- Istirahat
- Aktivasi otot otot stabilisasi
- Meningkatkan kemampuan fungsional
 Konseling-Edukasi
- Latihan keseimbangan
- Latihan aktifitas fungsional
 Kriteria Rujukan
- Dokter
- Fisioterapis
g. Prognosis
Pada umumnya sprain ankle dapat sembuh tanpa komplikasi dan pasien dapat kembali
beraktivitas sebagaimana biasanya.
h. Sarana dan prasarana
Wobble board, elastic bandage, taping, tera band
i. Referensi
Sumber :
Nasution, Habib. Rika melianita. 2006. Pengaruh Penambahan Terapi Ultra Sonik
pada Intervensi Mwd Terhadap Penurunan Nyeri Akibat Sprain Ankle. avalaible
at : ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Fisio/article/download/589/552
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20926721
Tennis Elbow
a. Tennis Elbow tipe 2
- Icf : b2801, b7300, d92010
- Icd : 726.32
b. Masalah Kesehatan
- Definisi
Tennis elbow timbul karena adanya injuri pada tenno periosteal yang menimbulkan inflamasi
akibat trauma atau pekerjaan atau aktivitas atau kegiatan yang melibatkan tangan dan
pergelangan tangan secara berlebihan. Umumnya pekerjaan atau olahraga yang
menyebabkan injuri pada ekstensor karpi radialis brevis, tennis elbow ditandai nyeri siku
yang terjadi ketika ekstensi pergelangan tangan dengan posisi pronasi atau supinasi.
- Epidemiologi
Tennis elbow terjadi 2.4 dari 1000 orang pada tahun 2012 (Sanders TL Jr,2015)
c. Hasil Anamnesis
Klien dengan keluhan nyeri pada siku sisi lateral , nyeri meningkat saat mengangkat beban
pada posisi dorsal fleksi, nyeri akan bertambah setelah beraktivitas terutama dengan
gerakan menggenggam yang kuat.
d. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Tidak tampak kelainan
 Tes cepat :
 Gerak ekstensi nyeri
 Tes gerak aktif :
 Tes gerak pasif :
 Nyeri dan ROM terbatas dengan firm end feel, sering terasacrepitasi ke arah dorsal fleksi
 Tes gerak isometric: Gerak isometric nyeri kea rah dorsal fleksi
 Tes khusus :
 Palpasi nyeri sekitar epicondilus lateralis
 Mills Manipulation nyeri
e. Penegakkan diagnosa
 Activity limitation : Adanya gangguan menggenggam dan mengangkat barang
 Body structure and body function
 inflamasi
 thigtness
 Participation restriction : Tidak dapat bermain tennis/ bulu tangkis dengan teman-temannya
 Diagnosa berdasarkan ICF :
Penurunan kekuatan otot, nyeri pada saat mengangkat barang, menggapai benda,
keterbatasan dalam olahraga seperti melempar, badminton, tenis.
 Rencana Penatalaksanaan
*Tujuan:
Menghilangkan/ mengurangi nyeri dan kaku, pencapaian normal ROM, elastisitas otot,
adaptasi anatom terutama pada stabilisasi .
*Prinsip terapi:
Eliminasi nyeri, Meningkatkan kemampuan aktivasi stabilisasi, otot Meningkatkan
kemampuan functional
*Konseling-edukasi :
menjelaskan pencegahan dan kontra indikasi ,menjelaskan dan merencanakan program
dengan pasien
*Kriteria rujukan : Fisioterapi
 Prognosis
Tenis elbow yang tidak ditangani akan berlangsung hingga 6 bulan sampai 2 tahun dan
rentan terhadap kekambuhan.
 Sarana dan prasarana : Tennis elbow brace,
 Referensi :
Miller, John. 2015. Tennis Elbow. Available at :
http://physioworks.com.au/injuries-conditions-1/tennis-elbow
V. Panduan Praktif Fiisoterapi dalam Fisioterapi Kardio Respirasi Vaskuler

Bronchopneumonia:
Diagnosa medis
ICD 9: 485
ICD-10 : J18.0

A. ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.

B. Masalah Kesehatan
1. Definisi : Menurut Price Sylvia A,bronchopneumonia adalah peradangan yang terjadi pada
ujung akhirbronkiolus yang tersumbat oleh eksudat mukosa purulen untuk
membentukbercak konsolidasi pada lobus-lobus yang berada di dekatnya, disebut
jugapneumonia lobularis.
2.Epidemiologi : Menurut WHO, 95% pneumonia pada anak-anak di dunia terdapat dinegara-
negara berkembang. Infeksi saluran napas bawah menjadi kedua teratas penyebab
kematian pada anak-anak di bawah 5 tahun (sekitar 2,1 juta [19,6%]).

C. Hasil Anamnesis
Seorang pasien pria berusia 20 tahun datang dengan keluhan demam tinggi, batuk, gelisah, rewel,
dan sesak napas sejak dua minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang menjalar
keleher, bahu, dan perut.

D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Fisik :
-tanda vital(denyut nadi, frekuensi nafas, suhu, dan tekanan darah)
-Pemeriksaan gerakan dasar (aktif, pasif, isometrik)
-Inspeksi : apakah ada perubahan pada raut wajah, bentuk dada atau sangkar thoraks,
melihat adanya oedema.
-Palpasi : menyentuh dan meraba, apakah ada piting oedema, suhu tubuh, nyeri
tekan pada daerah dada atau thoraks.
-Perkusi : mengetuk pada bagian dada atau thoraks dan abdomen. Melihat apakah
ada nyeri tekan dan kembung.
-Auskultasi : mendengar dengan stetoscop pada bagian dada dan punggung. Untuk
mengetahui adanya cairan pada paru-paru, suara nafas, detak jantung
-Endurance test : Bertujuan untuk mengetahui kebugaran tubuh. Dengan cara
menggunakan treatmill atau jalan 6 menit.
-Pemeriksaan nyeri dada dengan VAS
2.Pemeriksaan Penunjang
-Radiografi
-Ultrasonografi
-CT Scan Dada
-Pemeriksaan Lab

E. Penegakkan Diagnosa
Struktur & Fungsi Tubuh : -Abnormal breathing pattern , -Penurunan ekspansi sangkar th
oraks, -Disfungsi otot, -otot pernapasan , -Penurunan kapasitas paru, -Nyeri dada
Keterbatasan Aktivitas: Berjalan jauh,Melakukanpekerjaan rumah
Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
Diagnosis Fisioterapi : Penurunan kemampuan fungsional akibat gangguannapas
F. Rencana Penatalaksanaan
1. Tujuan : Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan
mempertahankan kekuatan serta dayatahan jantung paru.
2. Prinsip Terapi : -Meningkatkan ventilasi. -Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
-Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasii.
--Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
-Koreksi pola, pola nafas yang tidak efisien dan abnormal, Meningkatkan relaksasi.
- Meningkatkan toleransi aktifitas, Menjaga mobilitas anggota gerak atas
(pencegahanketerbatasan gerak)3.Kriteria Rujukan: 6 kali intervensi <75%

G. Prognosis
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon
terapi. Dan apabila tidak dapat ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi
yang lebih berat pada jalan nafas.

H. Sarana dan Prasarana


1.Sarana : Bed, Sphygmomanometer, Nebulizer
2. Prasarana : Ruangan Terapi

I. Referensi
1.Price Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6vol 2.Jaka
rta : Penerbit buku kedokteran EGC.
2.
Mansjoer, A, (edt). Pneumonia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 2.Media
Aesculapius FKUI. 2000. Jakarta. 465-468.
BAB X
PENUTUP

Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat dicapai melalui


peningkatan kualitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan fisioterapi dengan
standarisasi dan akreditasi pelayanan fisioterapi di sarana kesehatan.
Pedoman pelayanan fisioterapi ini dapat menjadi acuan dalam perencanaan,
penyelenggaraan, pengembangan, pembinaan dan pengawasan bagi semua pihak terkait
termasuk organisasi profesi di berbagai tingkatan administrasi untuk mencapai pelayanan
fisioterapi yang tepat, aman, akurat, komprehensif, terpadu, merata dan terjangkau.

Pedoman pelayanan fisioterapi ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan


masyarakat dan kemajuan IPTEK

Anda mungkin juga menyukai