Anda di halaman 1dari 31

`GROMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS

(GNAPS)

Oleh :
Tiffany Adelina
No BP 1110312063

Preseptor:
Dr. Mayetti, Sp.A(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai


pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS
dapat terjadi pada semua usia, tetapi peak age indence pada usia 6 – 7 tahun.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1,34 : 1. Angka kejadian
GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai
daripada bentuk simtomatik.1

GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut pada anak di negara


berkembang, sedangkan di negara maju terjadi dalam prevalensi yang rendah. Di
negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik,
pengobatan dini penyakit infeksi. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak
ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9% &
66,9%.1,2

1.2 Batasan Masalah

Case report session (CRS) ini akan membahas definisi, etiologi, patogenesis,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalakasana,
komplikasi, prognosis pada Gromerulonefritis akut pasca streptokokus dan kasus
GNAPS yang ditemukan.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan CRS ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter
muda mengenaiGromerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS).

1.4 Metode Penulisan

1
Metode penulisan referat ini merupakan studi keperpustakaan yang merujuk
ke beberapa literatur dan analisis kasus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus

Glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) adalah suatu bentuk


peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci
(GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema,
hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.1

2.2 Epidemiologi

GNAPS terutama menyerang anak usia sekolah yang lebih muda, antara 6-7
tahun, dan jarang menyerang anak usia <3 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami GNAPS daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.3
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik
atau sporadik. Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun
1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan,
terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan
terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).2

2.3 Etiologi

Organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A


β-hemolytic streptococci (GABHS). Penyebaran penyakit ini dapat melalui

2
infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara
sporadik atau epidemiologik.4 Meskipun demikian tidak semua GABHS
menyebabkan penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut
karena hanya serotipe tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang
dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M). Serotipe
GABHS yang berhubungan dengan GNAPS dapat terlihat di tabel 2.1.1,5

Tabel 2.1 Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS

Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya seperti yang
terlihat pada gambar 2.1. Streptokokus merupakan golongan bakteri yang
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokokus pada manusia disebabkan
oleh Streptococcus β hemolitikus grup A. Bakteri ini hidup pada manusia di
tenggorokan dan juga kulit.4

Gambar 2.1 Streptococcus β hemolitikus grup A

3
Streptococcus β hemolitikus grup A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu 4,5:
1. Streptolisin O
Sterptolisin O merupakan suatu protein yang aktif menghemolisis dalam
keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila
ada oksigen. Streptolisin O bergabung dengan antistreptolisin O, suatu antibodi
yang timbul pada manusia setelah terinfeksi streptokokus yang menghasilkan
streptolisin O. Antibodi ini menghambat hemolisis oleh streptolisin O.
Fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibodi. Titer serum
antistreptolisin O (ASTO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan
menunjukkan adanya infeksi streptokokus yang baru saja terjadi atau adanya
kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.
2. Streptolisin S
Streptolisin S adalah zat penyebab timbulnya zona hemolitik disekitar
koloni streptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah.
Streptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non
spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan tidak bergantung pada
pengalaman masa lalu dengan streptokokus.

2.4 Patogenesis

Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik diduga


berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan HLADR.
Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus
menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun pejamu pada stimulus
antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini
terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi yang akan menarik
neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas neutrofil merupakan faktor responsif untuk
merusak glomerulus.1,6

Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan

4
mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek
imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal. Pada kasus ringan,
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal. Biasanya
terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada
kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus
disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen
kapiler. Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus
digunakan untuk menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini.6

Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai mulai dari yang
halus sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding
kapiler. Endapan imunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G
dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop
imunofluoresen. Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat elektron atau
humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi
Ag-Ab kompleks.6,7

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit


imunologik adalah 1,6:

- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik

- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah

- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah

- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus

- Titer antistreptolisin O (ASTO) meninggi dalam darah

Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan


pada GNAPS yaitu1,7 :

1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr)

NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan


plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil
biopsi ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini
dapat meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak

5
membran basalis glomerulus seperti yang terlihat pada gambar 2.2.

2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB).

SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama-sama


dengan IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial
yang dikenal sebagai HUMPS.

Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui 1,6:

1. Soluble Antigen-Antibody Complex

Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan


antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.

2. Insitu Formation

Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen


nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu
formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS
yang terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan
prognosis buruk.

3. Imunitas Selular

Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya


infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal.
Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi
ICAM – I dan LFA – I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin
dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus.

6
Gambar 2.2 Patogenesis GNAPS

2.5 Patofisiologi1,6

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan


filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,
termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.

Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air


didukung oleh keadaan berikut ini:

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses


radang di glomerulus.

2. Overexpression dari epithelial sodium channel.

7
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,


sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi
pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena
hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema
yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.

2.6 Manifestasi Klinis

Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal
diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu
mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata- rata 10 atau 21 hari setelah
infeksi tenggorok atau kulit.3 Gejala-gejala yang dapat muncul pada GNAPS
adalah :

1. Periode laten

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara
infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3
minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului
oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi.
Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung
kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain,
seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.1

2. Edema

Edema merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali


timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering
terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika
terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan
genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.

8
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan
tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol
waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegiatan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi
edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui
setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting
sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang
dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.1,7

3. Hematuria

Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,


sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Urin
tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu.

Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya


menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria
mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh.
Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan
proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk
dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis
kronik.7

4. Hipertensi

Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.


Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai
hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak
perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan
darah akan normal kembali. Hipertensi berat dapat menyebabkan ensefalopati
hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-kejang.1

9
5. Oliguria

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi
ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala
sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang
bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria
bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus
yang berat dengan prognosis yang jelek.1

6. Gejala Kardiovaskular :

Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi


yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga
terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik
bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis.
Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis,
tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.7

Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat


bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya
terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas,
sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus.
Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini
menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang
teliti dan pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar
antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul
dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali,
edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena
pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan
Lateral Dekubitus Kanan (LDK).1,7

7. Gejala-gejala lain

10
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi
dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan
akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.1

2.7 Diagnosis1,3

Anamnesis

 Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) 1-2 sebelumnya atau


infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya.

 Hematuria nyata (gross hematuria)

 Sembab di kedua kelopak mata dan tungkai

 Kadang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat ensefalopati


hipertensi

 Oliguria atau anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung

Pemeriksaan Fisik

 Edema di kedua kelopak mata dan tungkai

 Ada lesi bekas infeksi kulit

 Ada hipertensi

 Jika terjadi ensefalopati dapat mengalami penurunan kesadaran dan


kejang

 Gejala hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru

Pemeriksaan Penunjang

 Urinalisis : proteinuria, hematuria, dan ada silinder eritrosit

 Kreatinin dan ureum darah umumnya meningkat

 ASTO meningkat pada 78-80% kasus. Infeksi streptokokus pada GNA


menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular
streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur,
seperti antistreptolisin O (ASTO), antihialuronidase (AHase) dan

11
antideoksiribonuklease (ADNase-B). Titer ASTO merupakan reaksi
serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini
meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD
Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya
infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari
ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya
pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga
6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak
meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau
pemeriksaan dini titer ASTO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat
setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan
yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus
sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus
menyebabkan titer ASTO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas
meningkat setelah infeksi melalui kulit.

 Komplemen C3 menurun pada minggu pertama. Komplemen serum


hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam
proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka
komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya
karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92%
kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai
menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan
penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya
gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini
masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat
dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis
lupus.

 LED meningkat. LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun
setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat
digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat
kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah

12
menghilang.

 Jika gagal ginjal akut terjadi dapat ditemukan hiperkalemia, asidosis


metabollik, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia

 Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß


hemolitikus grup A.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin


(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi atau kontak dengan
penderita GNAPS.3

2.8 Diagnosa Banding

Diagnosa banding untuk GNAPS adalah penyakit-penyakit glomerulonefritis


akut lainnya yang dapat muncul pada anak, baik yang terjadi setelah infeksi
maupun yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti yang terlihat pada
tabel 2.2.8

Penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS
antara lain1,8 :

1. Penyakit ginjal

a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut

Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat


berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya
1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang
jelas meninggi. Waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu
diagnosis.

Tabel 2.2 Glomerulonefritis akut pada anak.

13
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria

Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis


herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan
benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema
atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan
timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun
kalau ada berlangsung sangat singkat.

c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)

RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASTO, AHase,ADNase B meninggi
pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang
menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS
umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya
meninggal karena gagal ginjal.

2. Penyakit-penyakit sistemik

Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura


Henoch-Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga
penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti
hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan
tenggorok negatif dan titer ASTO normal.

Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan

14
pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel
LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada
Subacute Bacterial Endocarditis (SBE) tidak terdapat edema, hipertensi atau
oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang
kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut
umumnya bersifat fokal.

3. Penyakit-penyakit infeksi

GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya. Manifestasi klinis pada masing-masing diagnosis banding secara umum
dapat terlihat pada tabel 2.3.8,9

Tabel 2.3 Perbandingan GNAPS dengan glomerulonefritis akut lainnya.

2.9 Tatalaksana1,3

1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit.

15
Dulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan
proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif,
penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada
komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan
pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari
teman-temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.

2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian
garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus
diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu
jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan
cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena
telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten
yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
dapat diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin,
dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan
cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi
edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik,
misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.

16
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang
atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2
mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau
hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi
klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau
diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (IV). Kedua obat tersebut dapat
digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi
asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia
diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.

5. Pemantauan

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut


yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua
gejala-gejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai
menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam
waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan
bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria
98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%. Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan.
Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya
proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan,
sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.

Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau

17
proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah
dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan
atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai
kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.

2.10 Komplikasi1,9

Komplikasi yang sering dijumpai adalah :

1. Ensefalopati hipertensi (EH).

EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6


tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi
dengan memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau
sublingual pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum
turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah
harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%,
seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau
hingga normal.

2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)

Pengobatan konservatif :

a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan


memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari

b. Mengatur elektrolit :

- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.

- Bila terjadi hipokalemia diberikan :

• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari

• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari

• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari

18
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb

3. Edema paru

Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga


sering disangka sebagai bronkopneumoni.

4. Posterior leukoencephalopathy syndrome

Posterior leukoencephalopathy syndrome merupakan komplikasi yang


jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati hipertensi, karena
menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang, halusinasi
visual, tetapi tekanan darah masih normal.

2.11 Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Berbagai
faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain umur
saat serangan, derajat berat penyakit, pola serangan sporadik atau epidemik,
tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Pada anak
85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75%
GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik
atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam
proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis
kronik. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan
prognosis yang baik.1,3

Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase
akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau
ensefalopati hipertensi. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Sekitar
0,5-2% kasus GNAPS menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif
dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka
kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.3,9

19
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : RF

No. MR : 95 26 60

Usia : 5 tahun

Tanggal lahir : 05 Juli 2011

3.2 Anamnesis

Pasien usia 5 tahun datang ke IGD RS Dr. M. Djamil Padang tanggal 02


Agustus 2016 dengan :

Keluhan Utama

• Sembab pada mata sejak 1 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

• Batuk 2 minggu yang lalu, tidak berdahak, disertai pilek, tidak ada sesak
nafas.

• Sembab pada mata sejak 1 hari yang lalu, disadari orang tua ketika
bangun tidur pagi hari. Sembab juga tampak pada kedua kaki.

20
• Buang air kecil kemerahan seperti air cucian daging ada sejak 3 jam yang
lalu, jumlah banyak.

• Riwayat demam-demam lama disangkal orang tua.

• Sakit kepala tidak ada, pandangan kabur tidak ada.

• Mual dan muntah tidak ada.

• Anak masih mau makan dan minum.

• Buang air kecil keruh tidak ada, nyeri saat buang air kecil tidak ada.

• Buang air besar warna dan konsistensi biasa.

• Anak sebelumnya telah dibawa berobat ke RST, telah dilakukan


pemeriksaan tekanan darah 160/100 mmHg, laboratorium urin protein
+++, leukosit 7-8/LPB, eritrosit 10-12/LPB. Kemudian anak dirujuk
dengan keterangan GNAPS DD/ SN dan hipertensi stage II.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Anak sebelumnya mendapat keropeng di kulit tungkai kanan dan tidak


mendapat pengobatan.

Riwayat Keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

• Anak keempat dari empat bersaudara, lahir spontan ditolong bidan, cukup
bulan, berat lahir 3700 gram, panjang lahir 50 cm, langsung menangis.

Riwayat Imunisasi, Tumbuh Kembang dan Sanitasi Lingkungan

21
• Imunisasi dasar tidak lengkap, hanya mendapat vaksin BCG dan DPT saat
berusia 2 bulan.

• Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.

• Higiene dan sanitasi lingkungan kurang baik.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Sadar

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Nadi : 92 x/menit

Suhu : 37 °C

Pernafasan : 26 x/menit

Tinggi badan : 101 cm

Berat badan : 17 kg

Keadaan gizi : BB/U : 91,8 %

TB/U : 93,0 %

BB/TB : 90,6 %

Kesan : gizi baik

Sianosis : Tidak ada

Edema : Ada

Anemis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

Kulit : teraba hangat, tidak tampat pucat, makula


hiperpigmentasi di maleolus medialis dextra

22
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : bulat, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,


udem palpebra minimal, pupil isokor Ø 2mm/2mm,
reflek cahaya +/+

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Tenggorokan : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak


hiperemis

Gigi dan Mulut : mukosa bibir dan mulut basah

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Dada Paru :I : normochest, retraksi (-)

Pa : fremitus ki=ka

Pe : sonor

A :bunyi nafas vesikuler, ronchi -/-,


wheezing -/-

Jantung :I : iktus kordis tidak terlihat

Pa : iktus kordis teraba pada 1 jari medial


LMCS RIC V

Pe : batas jantung atas RIC II, kanan LSD,


kiri 1 jari medial LMCS RIC V

A : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen

I : distensi (-)

Pal : supel, hepar dan lien tidak teraba, shifting dullness

23
(-)

Per : timpani

Aus : bising usus (+) normal

Punggung : tidak ditemukan kelainan

Genitalia : status pubertas A1P1G1, edem skrotum (-)

Anus : colok dubur tidak dilakukan

Anggota Gerak : akral hangat, CRT < 2 detik, oedem pretibial +/+
minimal, refleks fisiologis +/+ normal, refleks
patologis -/-

3.4 Hasil Laboratorium Dan Pemeriksaan Penunjang Lain

Laboratorium Rutin

Darah Hb : 8,7 g/dL

Leukosit : 6.700 /mm3

Trombosit : 239.000 /mm3

Hitung jenis : 0/1/1/53/45/0

Urin Protein : +++

Leukosit : 8-10/LPB

Eritrosit : 15-20/LPB

Laboratorium Khusus

Total protein : 6,3 gr/dl

Albumin : 3,0 gr/dl

Globulin : 3,3 gr/dl

24
Kesan : hipoalbuminemia, sikap belum perlu koreksi

Na : 137 mmol/L

K : 4,7 mmol/L

Ca : 7,9 mg/dl

Ureum : 6,2 gr/dl

Creatinin : 0,8 gr/dl

Kesan : hipokalsemia, sikap belum perlu koreksi

3.5 Diagnosis Kerja


Suspek GNAPS
Hipertensi Stage II

3.6 Diagnosa Banding

Sindrom nefrotik

3.7 Tatalaksana

• MB nefritis 1400 kkal, protein 17 gram/hari, garam 1 gram/hari

• Furosemide 1 x 17 mg po

• Captopril 3 x 1,5 mg po

• Rencana swab tenggorok

• Pemeriksaan ASTO, CRP, LED

3.8 Follow up

25
Tanggal Subjektif Objektif Assement Planning

03/08/16 S/ Anak tampak sembab O/ Sakit sedang, sadar, Susp MB nefritis 1400
pada kedua mata dan HR : 87 x/menit, RR: GNAPS kkal, protein 17
Rabu kaki. Anak tidak ada 24 x/menit, TD: gram/hari, garam
demam, tidak ada 140/90 mmHg, T : 1 gram/hari,
kejang, tidak ada 37°C. furosemide 1x17
mengeluh nyeri kepala, mg (p.o),
Mata : edem palpebra
tidak ada muntah. BAK Captopril 3x1,5
+/+
ada warna kuning, mg (p.o)
jumlah banyak. BAB Thoraks : cor dan
belum ada. pulmo tidak
ditemukan kelainan Rencana ASTO,
CRP, LED
Abdomen : supel,
bising usus (+) normal Rencana Swab
tenggorok
Ekstremitas : akral
hangat, CRT < 2 detik,
edem pretibial +/+

04/08/16 S/ Anak masih sembab, O/ Sakit sedang, sadar, Susp Terapi lanjut
namun tidak bertambah. HR : 98 x/menit, RR: GNAPS
Kamis
Anak tidak ada demam, 23 x/menit, TD:
tidak ada kejang, tidak 130/100 mmHg, T :
ada sesak nafas, tidak 37,2°C.
ada nyeri kepala, tidak
Mata : edem palpebra
ada muntah. BAK ada
+/+, konjungtiva tidak
warna jernih.
pucat, sklera tidak
ikhterik

Thoraks : cor dan


pulmo tidak
ditemukan kelainan

Abdomen : supel,
bising usus (+) normal

Genitalia : edema
scrotalis -/-

Ekstremitas : akral

26
hangat, CRT < 2 detik,
edem pretibial +/+

05/08/16 S/ Anak sembab, tampak O/ Sakit sedang, sadar, GNAPS Terapi lanjut
berkurang. Anak tidak HR : 88 x/menit, RR:
Jumat
ada demam, tidak ada 22 x/menit, TD:
kejang, tidak ada sesak 130/90 mmHg, T :
nafas, tidak ada nyeri 36,8°C.
kepala, tidak ada
Mata : edem palpebra
muntah. BAK ada warna
+/+, konjungtiva tidak
jernih.
pucat, sklera tidak
ikhterik

Thoraks : cor dan


pulmo tidak
ditemukan kelainan

Abdomen : supel,
bising usus (+) normal

Genitalia : edema
scrotalis -/-

Ekstremitas : akral
hangat, CRT < 2 detik,
edem pretibial +/+

ASTO : positif

06/08/16 Pasien pulang

Sabtu

BAB IV

27
DISKUSI

Telah dirawat anak laki-laki usia 5 tahun di RSUP Dr M Djamil Padang


tanggal 2 Agustus 2016 dengan diagnosa kerja suspek glomerulonefritis akut
pasca streptokokus. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan anak memiliki
riwayat batuk 2 minggu yang lalu, kemudian 1 hari sebelum masuk rumah sakit
mata anak tampak sembab yang disadari saat bangun pagi, kaki anak juga tampak
sembab dan buang air kecil anak tampak kemerahan sejak 3 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sebelumnya anak juga mendapat keropeng di kulit tungkai kanan
dan tidak mendapat pengobatan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/90 mmHg, pada kulit
tampak makula hiperpigmentasi maleolus medialis dextra, terlihat edema
palpebra minimal di mata, dan edema pretibial minimal di ekstremitas bawah kiri
dan kanan. Pada urinalisis ditemukan protein +3, leukosit 8-10/LPB, eritrosit
15-20/LPB dengan kesan proteinuria, leukosituria dan hematuria. Pada
pemeriksaan darah ditemukan Hb 8,7 gr/dl, leukosit 6700/mm3, hitung jenis
0/1/1/53/45/0, trombosit 239.000/mm3, total protein 6,3 gr/dl, albumin 3,0 gr/dl,
globulin 3,3 gr/dl, Na 137 mmol/l, K 4,7 mmol/l, Ca 7,9 mg/dl, ureum 62 gr/dl
dan creatinin 0,8 mg/dl dengan kesan hipoalbumin, hipocalsemia dan ureum
meningkat. Berdasarkan data tersebut diagnosis terarah ke GNAPS, namun masih
perlu pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan ASTO, komplemen C3,
LED dan swab tenggorok untuk memastikan adanya infeksi streptokokus beta
hemolotikus grup A.

Anak mengalami hipertensi dan peningkatan ureum sehingga perlu


pemantauan pada konsumsi garam dan protein, sehingga anak diberikan diet
nefritik. Untuk mengontrol hipertensi diberikan obat antihipertensi captopril.
Obat diuretik seperti furosemide diberikan untuk mengurangi edema yang terjadi
pada anak. Pemeriksaan ASTO positif pada hari rawatan ke-3, ASTO meningkat
pada 78-80% kasus GNAPS. Warna BAK difollow setiap hari, warna urin normal
pada hari rawatan ke-2. Pasien dipulangkan dengan pernbaikan klinis setelah
rawatan selama 4 hari.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Rauf S, Albar H, Aras J, 2012. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca


Streptokokus. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, eds. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2002. h. 345-53.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, eds, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam:
Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric
nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55.
5. Khandke KM, Fairwell T, Manjula BN. Difference in the structural features
of streptococcal M proteins from nephritogenic and rheumatogenic serotype.
JExpMed1987;166:151-62.
6. Simckes AM, Spitzer A. Poststreptococcal acute glomerulonephritis. Pediatr
Rev. 1995;16(7):278-9.
7. Davis ID, Avner ED. Glomerulonephritis associated with infections. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. edisi ke- 18. Philadelphia: Elsevier; 2007. h. 2173-5.
8. Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute
glomerulonephritis and the nephrotic syndrome. Arch Intern Med.
2001;161(1):25-34.
9. Vinen CS, Oliveira DBG. Acute glomerulonephritis. Postgrad Med J
2003;79:206–213.

29

Anda mungkin juga menyukai