Anda di halaman 1dari 53

MODUL 13

TATALAKSANA HIV AIDS dan IMS

I. DESKRIPSI SINGKAT
Tujuan kebijakan pengendalian IMS adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat Infeksi menular Seksual dan Infeksi saluran Reproduksi, yang bisa dicegah dan
diobati. Prinsip umum pengendalian IMS adalah: memutuskan mata rantai penularan;
mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Untuk tujuan tersebut diantaranya
dengan: obat yang dikonsumsi pasien harus tepat, pasangan seksual harus diobati dan
pasien harus menyelesaikan pengobatan.

Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996


mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di
negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan
penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek
samping serta resistansi terhadap obat, namun secara
dramatis terapi ARV terbukti menurunkan angka kematian
dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan
meningkatkan harapan masyarakat.Sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima
sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang
menakutkan.

Oleh karena itu, penting bagi petugas medis dan paramedis di fasyankes untuk memiliki
keterampilan dalam melakukan pengobatan kepada pasien IMS dan HIV termasuk infeksi
yang menyertai dan Sindrom Pulih Obat (IRIS). Pembahasan modul ini meliputi: Tatalaksana
IMS; Tatalaksana Pengobatan ARV; Tatalaksana interaksi dan efek samping obat;
Tatalaksana Infeksi Oportunistik (IO) dan Komorbid.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti materi, peserta mampu melakukan pengobatan pasien HIV dan IMS,
sesuai dengan hasil diagnosis pasien

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mengikuti materi, peserta mampu:


1. Melakukan tatalaksana IMS
2. Melakukan tatalaksana pengobatan ARV
3. Melakukan tatalaksana interaksi dan efek samping obat
4. Melakukan tatalaksana IO dan komorbid

1
III. POKOK BAHASAN
1. Tatalaksana IMS
2. Tatalaksana pengobatan ARV
3. Tatalaksana interaksi dan efek samping obat
4. Tatalaksana IO dan Komorbid

VI. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN (Waktu di kelas: 12 jpl = 540 menit)

Langkah 1. Pengkondisian (waktu 5 menit)


1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila ini merupakan
pertemuan pertama di kelas ini, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja/pengalaman bekerja terkait
dengan materi yang akan disampaikan.
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan dibahas,
sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2. Pembahasan Pokok bahasan 1 (waktu: 4 jpl = 180 menit)

1. Fasilitator melakukan curah pendapat, apa saja pengetahuan dan pengalaman mereka
tentang pengobatan IMS? Mintalah peserta saling berbagi pengalaman. Tuliskan poin-
poin penting penyampaian peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Pengobatan IMS, menggunakan
bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta. Jangan lupa
mengingatkan dan menunjukkan kepada peserta tentang Bagan alur IMS Mintalah
contoh-contoh pengalaman peserta.Kaitkan dengan poin-poin penyampaian peserta
agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi, fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya-jawab.
4. Sampaikan bahwa peserta akan melakukan Latihan Pengobatan IMS (Latihan Kasus).
Jelaskan penugasan peserta dalam Latihan ini, sesuai dengan petunjuk penugasan
pada modul. Pastikan semua peserta berpartisipasi.
5. Setelah selesai mengerjakan latihan, fasilitator memandu presentasi. Mintalah peserta
dari kelompok lain untuk menanggapi. Pada akhir presentasi fasilitator menyampaikan
ulasan, serta penegasan tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
6. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 1.

Langkah 3. Pembahasan Pokok bahasan 2 (waktu: 3 jpl = 135 menit)

1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang pengobatan


ARV termasuk monitoring pengobatan termasuk sindrom pulih imun (SPI). Melakukan
curah pendapat, apa saja pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pengobatan

2
ARV? Mintalah peserta saling berbagi pengalaman. Tuliskan poin-poin penting
penyampaian peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Pengobatan ARV dan Monitoring
Pengobatan ARV, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan
melibatkan peserta. Mintalah contoh-contoh pengalaman peserta. Kaitkan dengan
point-point penyampaian peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya-jawab.
4. Sampaikan bahwa peserta akan melakukan Latihan Pengobatan ARV termasuk
Monitoring Pengobatan ARV (Latihan Kasus). Jelaskan penugasan peserta dalam
Latihan ini, sesuai dengan petunjuk penugasan pada modul. Pastikan semua peserta
berpartisipasi.
5. Setelah selesai mengerjakan latihan, fasilitator memandu presentasi. Mintalah peserta
dari kelompok lain untuk menanggapi. Pada akhir presentasi fasilitator menyampaikan
ulasan, serta penegasan tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
6. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 2

Langkah 4. Pembahasan pokok bahasan 3 (waktu: 120 menit)


1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang tatalaksana
interaksi dan efek samping obat. Fasilitator melakukan curah pendapat, apa saja
pengetahuan dan pengalaman mereka tentang interaksi dan efek samping obat?
Mintalah peserta saling berbagi pengalaman. Tuliskan point-point penting penyampaian
peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang interaksi dan efek samping obat,
menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta.
Mintalah contoh-contoh pengalaman peserta. Kaitkan dengan point-point penyampaian
peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya-jawab.
4. Sampaikan bahwa peserta akan melakukan Latihan Penatalaksanaan interaksi dan efek
samping obat (Latihan Kasus). Jelaskan penugasan peserta dalam Latihan ini, sesuai
dengan petunjuk penugasan pada modul. Pastikan semua peserta berpartisipasi.
5. Setelah selesai mengerjakan latihan, fasilitator memandu presentasi. Mintalah peserta
dari kelompok lain untuk menanggapi. Pada akhir presentasi fasilitator menyampaikan
ulasan, serta penegasan tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
6. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 3.

Langkah 5. Pembahasan pokok bahasan 4 (waktu: 2 jpl = 90 menit)


1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang tatalaksana IO
dan Komorbid. Fasilitator melakukan curah pendapat, apa saja pengetahuan dan
pengalaman mereka penatalaksanaan IO? Mintalah peserta saling berbagi pengalaman.
Tuliskan poin-poin penting penyampaian peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Tatalaksana IO dan Komorbid,
menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta.

3
Mintalah contoh-contoh pengalaman peserta. Kaitkan dengan point-point penyampaian
peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya-jawab.
4. Sampaikan bahwa peserta akan melakukan Latihan Tatalaksana IO dan Komorbid
(Latihan Kasus). Jelaskan penugasan peserta dalam Latihan ini, sesuai dengan petunjuk
penugasan pada modul. Pastikan semua peserta berpartisipasi.
5. Setelah selesai mengerjakan latihan, fasilitator memandu presentasi. Mintalah peserta
dari kelompok lain untuk menanggapi. Pada akhir presentasi fasilitator menyampaikan
ulasan, serta penegasan tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
6. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 4.

Langkah 6. Rangkuman dan Penutup (waktu 10 menit)

Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam sesi ini.
Sampaikan lagi penegasan tentang hal-hal yang harus diperhatikan ketika
menghadapipasien di tempat pelayanan.
Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salam.

4
V. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1. TATALAKSANA INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

Pengobatan IMS meliputi pengobatan terhadap 9 jenis IMS, berdasarkan pendekatan sindrom,
yaitu:
1. Duh tubuh uretra
2. Duh tubuh vagina
3. Ulkus genitalia
4. Penyakit radang panggul
5. Pembengkakan skrotum
6. Bubo inguinal
7. Konjungtivitis neonatorum
8. Vegetasi genital
9. Duh tubuh anus

Pada setiap kunjungan, dianjurkan penggunaan kondom secara konsisten dan dicatat dalam
rekam medis, dengan menanyakan frekuensi hubungan seksnya.

A. Pengobatan Duh Tubuh Uretra

1. Pengobatan Duh Tubuh Uretra dengan Pendekatan Sindrom


Kuman patogen penyebab utama duh tubuh uretra adalah Neisseria
gonorrhoeae(N.gonorrhoeae) dan Chlamydia trachomatis (C.trachomatis).Oleh karena itu,
pasien laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau nyeri pada saat kencing, yang
datang ke pusat pelayanan kesehatan yang tidak memilki fasilitas laboratorium,setelah
diperiksa denganpendekatan sindrom tanpa sarana laboratorium (gunakan Bagan 1. Duh
tubuh uretra pada laki-laki dengan pendekatan sindrom), diberikan pengobatan duh tubuh
uretra secara sindrom yaitu pengobatan dilakukan serentak terhadap kedua jenis kuman
penyebab tersebut.

PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH URETRA


Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi
DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis
Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali bila gejala tetap ada sesudah 7 hari.

5
Tabel 1.Pengobatan duh tubuh uretra

PENGOBATAN URETRITIS GONOKOKUS PENGOBATAN URETRITIS NON-


GONOKOKUS

Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g,dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU

Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, per Doksisiklin* 2x100 mg, per oral, 7 hari
oral

PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari

ATAU

Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal


ATAU

Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis


tunggal

*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun

IM = intra muskular

Saat ini, siprofloksasin dan ofloksasin sudah menunjukkan angka resistansi yang tinggi di
beberapa kota, sehingga tidak dianjurkan lagi

2. Pengobatan Duh Tubuh Uretra dengan Pemeriksaan Mikroskop

Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana laboratorium yang
memadai, maka kedua jenis kuman penyebab utama duh tubuh uretra tersebut dapat
dibedakan. Dengan menggunakan bagan alur Bagan 1a. Duh tubuh uretra laki-laki dengan
mikroskop, pengobatan secara lebih spesifik dapat dilakukan. Etiologi uretritis non-
gonokokus terutama disebabkan oleh C. trachomatis, sehingga dalam pengobatannya
ditujukan untuk klamidiosis.
*biru metilen untuk mewarnai sediaan apus duh tubuh uretra.

6
3. Duh Tubuh Uretra Persisten
Gejala uretritis yang menetap (setelah pengobatan satu periode selesai) atau rekuren
(setelah dinyatakan sembuh, dan muncul lagi dalam waktu 1 minggu tanpa hubungan
seksual), kemungkinan disebabkan oleh resistansi obat, atau sebagai akibat kekurang-
patuhan minum obat, atau reinfeksi. Pada beberapa kasus hal ini kemungkinan akibat
infeksi oleh Trichomonas vaginalis (Tv). Sebagai protozoa diperkirakan bahwa Tv memakan
kuman gonokok tersebut (fagositosis), sehingga kuman gonokok tersebut terhindar dari
pengaruh pengobatan. Setelah Tv mati maka kuman gonokok tersebut kembali melepaskan
diri dan berkembang biak.

Ada temuan baru yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu bisa dijumpai prevalensi Tv
yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra. Bilamana gejala duh tubuh
tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah pemberian pengobatan secara benar
terhadap gonore maupun klamidiosis pada kasus indeks dan pasangan seksualnya, maka
pasien tersebut harus diobati untuk infeksi Tv. Hal ini hanya dilakukan bila ditunjang oleh
data epidemiologis setempat. Bilamana simtom tersebut masih ada sesudah pengobatan
Tv, maka pasien tersebut harus dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis
pada pria di Indonesia sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada
setelah pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas
laboratorium yang lengkap.

7
Tabel 2.Pengobatan duh tubuh uretra persisten

PENGOBATAN URETRITIS NON-


PENGOBATAN URETRITIS GONOKOKUS
GONOKOKUs

Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g,dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, per oral Doksisiklin* 2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal ATAU Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari

Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal ATAU

Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal

PENGOBATAN TRIKOMONIASIS

Dianjurkan: Metronidazol 2 g, dosis tunggal

Pilihan lain: Metronidazol 2x500 mg / hari, per oral, selama 7 hari

*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun


IM = intramuscular

B. Pengobatan Duh Tubuh Vagina

Keluhan duh tubuh vagina abnormal biasanya disebabkan oleh radang vagina, tetapi dapat pula
akibat radang serviks yang mukopurulen. Trikomoniasis, kandidiasis dan vaginosis bakterial
merupakan keadaan yang paling sering menimbulkan infeksi vagina sedangkan N.gonorrhoeae
dan C.trachomatis sering menyebabkan radang serviks. Deteksi infeksi serviks berdasarkan
gejala klinis sulit dilakukan, karena sebagian besar wanita dengan gonore atau klamidiosis tidak
merasakan keluhan atau gejala (asimtomatis).

PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA INFEKSI SERVIKS

Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi


DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis

8
Gejala duh tubuh vagina abnormal merupakan petunjuk kuat untuk infeksi vagina, namun
merupakan petanda lemah untuk infeksi serviks.Jadi semua wanita yang menunjukkan
tanda-tanda duh tubuh vagina agar diobati juga untuk trikomoniasis dan vaginosis bakterial.

Di antara wanita dengan gejala duh tubuh vagina, perlu dicari mereka yang cenderung lebih
mudah terinfeksi oleh N.gonorrhoeae dan atau C.trachomatis.Pada kelompok tersebut, akan
lebih bermanfaat bila dilakukan pengkajian status risiko, terutama bila faktor risiko tersebut
telah disesuaikan dengan pola epidemiologis setempat. Pemeriksaan secara mikroskopik
hanya sedikit membantu diagnosis infeksi serviks, karena hasil pemeriksaan yang negatif
sering menunjukkan hasil yang negatif palsu.Untuk keadaan ini perlu dilakukan kultur/
biakan kuman.

Pengetahuan tentang prevalensi gonore dan atau klamidiosis pada wanita dengan duh
tubuh vagina sangat penting dalam menetapkan pengobatan infeksi serviks. Makin tinggi
prevalensi gonore dan atau klamidiosis, maka akan lebih meyakinkan kita untuk
memberikan pengobatan terhadap infeksi serviks. Wanita dengan faktor risiko lebih
cenderung menunjukkan infeksi serviks dibandingkan dengan mereka yang tidak
berisiko.Wanita dengan duh tubuh vagina disertai faktor risiko perlu dipertimbangkan untuk
diobati sebagai servisitis yang disebabkan oleh gonore dan klamidiosis.

Bila sumber daya memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan skrining dengan
tes laboratorium terhadap para wanita dengan duh tubuh vagina.Skrining tersebut dapat
dilakukan terhadap semua wanita dengan duh tubuh vagina atau secara terbatas hanya
terhadap mereka dengan duh tubuh vagina dan faktor risiko positif.

Di beberapa negara, bagan alur penatalaksanaan sindrom telah digunakan sebagai perangkat
skrining untuk deteksiinfeksi serviks pada wanita tanpa keluhan genital samasekali (misalnya pada
pelaksanaan program keluarga berencana). Walaupun hal ini dapat membantu dalam mendeteksi
wanita dengan infeksi serviks, tetapi kemungkinan dapat terjadi diagnosis yang berlebihan.

PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA VAGINITIS

Pengobatan untuk trikomoniasis


DITAMBAH
Pengobatan untuk vaginosis bacterial
BILA ADA INDIKASI
Pengobatan untuk kandidiasis vaginalis

9
Tabel 3. Pengobatan duh tubuh vagina karena servisitis

PENGOBATAN SERVISITISIS PENGOBATAN SERVISITIS NON-GONOKOKUS


GONOKOKUS

Sefiksim 400 mg, dosis tungga, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Levoflokasasin*500 mg, dosis tunggal, Doksisiklin*2x100 mg, per oral, 7 hari
per oral
PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol*3,5 g, per oral, dosis
tunggal ATAU Seftriakson 250 mg,
injeksi IM, dosis tunggal

*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
IM = intra muskular

Tabel 4. Pengobatan duh tubuh vagina karena vaginitis

TRIKOMONIASIS VAGINOSIS BAKTERIALIS KANDIDIASIS VAGINALIS

Metronidazol** 2 g per Metronidazol** 2 g per oralMikonazol atau klotrimazol 200 mg


oral dosis tunggal dosis tunggal intravagina, setiap hari, selama 3 hari
ATAU
Klotrimazol 500 mg intravagina dosis
tunggal ATAU
Flukonazol* 150 mg, per oral dosis
tunggal, ATAU
Itrakonazol* 200 mg, per oral dosis
tunggal
PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Metronidazol**2x500 Metronidazol** 2x500 mg, Nistatin, 100.000 IU, intravagina,


mg/hari, per oral, selama selama 7 hari setiap hari selama 7 hari
7 hari
Klindamisin 2x300 mg/hari
per oral, selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alkohol

10
C. Pengobatan Ulkus Genitalis

Angka prevalensi relatif kuman penyebab ulkus genitalis bervariasi, dan sangat dipengaruhi
lokasi geogafis. Setiap saat angka ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Secara klinis,
diagnosis banding ulkus genitalis tidak selalu tepat, terutama bila ditemukan beberapa
penyebab secara bersamaan. Manifestasi klinis dan bentuk ulkus genital sering berubah akibat
infeksi HIV.

Sesudah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan ulkus genital, pengobatan selanjutnya


disesuaikan dengan penyebab dan pola sensitivitas antibiotik setempat, misalnya, di daerah
dengan prevalensi sifilis maupun chancroid yang cukup menonjol, maka pasien dengan ulkus
genitalis harus segera diobati terhadap kedua kuman penyebab tersebut. Hal ini dilakukan
untuk menjaga kemungkinan pasien yang tidak kembali untuk tindak lanjut.

Sedangkan untuk daerah yang sering ditemukan granuloma inguinale atau limfogranuloma
venereum (LGV), pengobatan terhadap kedua mikroorganisme tersebut juga perlu diperhatikan.
Di beberapa negara, herpes genitalis sangat sering ditemukan sebagai penyebab ulkus
genitalis. Sedang untuk daerah yang sering ditemukan infeksi HIV, maka peningkatan proporsi
kasus ulkus genitalis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks sering terjadi ulkus pada
pasien yang disebabkan oleh virus herpes yang bersamaan dengan HIV, gejalanya tidak khas
dan menetap lebih lama.

Pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang untuk menegakkan diagnosis sangat jarang


dapat membantu pada kunjungan pertama pasien, dan biasanya hal ini terjadi sebagai akibat
infeksi campuran. Dapat ditambahkan pula, bahwa di daerah dengan angka prevalensi sifilis
tinggi, tes serologis yang reaktif mungkin akan lebih mencerminkan keadaan infeksi
sebelumnya dan dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan pasien saat
itu. Sedangkan tes serologis negatif, belum tentu menyingkirkan kemungkinan ulkus akibat
sifilis stadium primer, mengingat reaktivitas tes serologi sifilis baru muncul 2-3 minggu setelah
timbul ulkus.

Saat ini sering dijumpai ulkus genitalis bersamaan dengan infeksi HIV, yang menyebabkan
manifestasi klinis berbagai ulkus tersebut menjadi tidak spesifik. Ulkus karena sifilis stadium 1
maupun herpes genitalis menjadi tidak khas; chancroid menunjukkan ulkus yang lebih luas,
berkembang secara agresif, disertai gejala sistemik demam dan menggigil; lesi herpes genitalis
mungkin berbentuk ulkus multipel yang persisten dan lebih memerlukan perhatian medis,
berbeda dengan vesikel yang umumnya dapat sembuh sendiri (self-limiting) pada seorang yang
immunokompeten.

Infeksi HIV yang bersamaan juga dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan pada sifilis fase
awal, chancroid, dan herpes simpleks. Pada pasien yang demikian perludipertimbangkan
pengobatan dengan waktu yang lebih lama, namun masih diperlukan penelitian lanjut.

11
Tabel 5. Rincian pengobatan ulkus genitalis

Sifilis stadium Chancroid Herpes genitalis Herpes genitalis Limfogranuloma


1&2 episode pertama rekurens
venereum

Obat yang Benzatin- Siprofloksasin* Asiklovir 2x500 Asiklovir 5x200 Doksisiklin *, 2x100
dianjurkan benzilpenisilin2,4 2x500 mg/hari per mg/hari, per oral, mg/hari,per oral mg/hari, per oral,
juta IU, dosis oral, selama 3 hari selama 7 hari selama 5 hari selama 14 hari,
tunggal, injeksi ATAU ATAU ATAU ATAU
intramuskular Eritromisin base, Asiklovir 3x400 Asiklovir 3x400 Eritromisin base
4x500 mg/hari, per mg/hari, selama 5 mg/hari selama 5 4x500 mg/hari, per
oral, selama 7 hari hari hari oral, selama 14 hari
ATAU ATAU ATAU
Azitromisin 1g, per Valasiklovir, 2x500 Valasiklovir
oral, dosis tunggal mg/hari, per oral, 2x500 mg/hari,
selama 5 hari per oral, selama 5
ATAU hari

Obat pilihan Penisilin-prokain Seftriakson 250


lain injeksi IM mg, injeksi
600.000 U/hari intramuscular,
selama 10 hari dosis tunggal
Alergi penisilin Doksisiklin*
dan tidak 2x100 mg/hari
hamil per oral, selama
30 hari ATAU
Eritromisin 4x500
mg/ hari selama
30 hari
Catatan: Asiklovir tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak <12 tahun

1. Pengobatan Ulkus Genitalis dengan Pendekatan Sindrom


Pasien dengan keluhan luka/ulkus pada genitalia, perlu dilakukan pemeriksaan sesuai
bagan alur Bagan 2.Ulkus Genitalis dengan Pendekatan Sindrom, selanjutnya diberi
pengobatan sesuai pendekatan sindrom.

2. Pengobatan Ulkus Genitalis Khusus Untuk Tenaga Medis

Pengobatan bagi pasien dengan keluhan luka/lecet pada genitalia yang diperiksa sesuai
Bagan Alur Bagan 2A. Ulkus Genitalis Khusus Untuk Tenaga Medis, dan diberi pengobatan
yang sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan.

12
3. Penanganan Pasien Hamil dengan Riwayat Alergi Penisilin

Untuk pengobatan sifilis dalam kehamilan, tidak ada alternatif lain selain penisilin yang
terbukti manjur. Ibu hamil dengan riwayat alergi penisilin, harus menjalani desensitisasi agar
tetap dapat diobati dengan penisilin.Penisilin juga dianjurkan pada pasien sifilis dengan
infeksi HIV.
Untuk menentukan seseorang alergi terhadap penisilin dilakukan melalui uji kulit terhadap
benzil-benzatin penisilin. Cara melakukan tes kulit:
a. Campur bubuk benzil-benzatin penisilin 2,4 juta Unit dengan akuades steril sesuai
petunjuk sehingga membentuk suspensi
b. Ambil 0,1 cc suspensi menggunakan tabung injeksi 1cc (tipe tuberkulin), tambahkan
akuades atau akuabides agar terjadi larutan 1 cc
c. Suntikkan secara intradermal sebanyak 0,02 cc dengan jarum suntik ukuran 26 atau 27
pada permukaan volar lengan bawah
d. Tepi bentol kemerahan akibat injeksi ditandai dengan bolpen
e. Amati selama 15 - 20 menit
f. Bila diameter bentol kemerahan meluas lebih dari 3 mm dibandingkan lesi awal, tes kulit
dinyatakan positif

Bila hasil uji kulit positif, berarti pasien alergi terhadap penisilin, dapat dilakukan
desensitisasi pada ibu hamil tersebut (lihat tabel 6).

Desensitisasi dapat dilakukan secara oral maupun intravena. Meskipun ke dua cara ini
belum pernah dibandingkan, desensitisasi secara oral dianggap lebih aman dan mudah
dilakukan.

Desensitisasi harus dilakukan di rumah sakit karena dapat terjadi reaksi alergi yang serius,
sehingga selalu tersedia adrenalin dan sarana resusitasi. Desensitisasi dilakukan dalam
waktu singkat, berdasarkan peningkatan dosis secara cepat, setiap 15 menit. Diawali
dengan dosis yang diencerkan dan diakhiri dengan pengenceran yang sama dengan yang
akan digunakan untuk pengobatan. Biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 4 – 12 jam
setelah pemberian dosis pertama. Setelah desensitisasi, pasien harus tetap diberikan
penisilin selama masa pengobatan.Riwayat nekrolisis epidermis akibat obat (misalnya
sindrom Steven-Johnson dan variannya) merupakan kontraindikasi absolut untuk
desensitisasi.Bila timbul reaksi yang tidak mengancam jiwa, dapat diberikan antihistamin
oral, misalnya setirizin 10 mg.

13
Tabel 6. Contoh cara melakukan desensitisasi

Tahap Waktu Dosis

1 0 menit 100 U per oral (penisilin V)


2 15 menit 200 U per oral
3 30 menit 400 U per oral
4 45 menit 800 U per oral
5 1 jam 1.600 U per oral
6 1 jam 15 menit 3.200 U per oral
7 1 jam 30 menit 6.400 U per oral
8 1 jam 45 menit 12.800 U per oral
9 2 jam 25.000 U per oral
10 2 jam 15 menit 50.000 U per oral
11 2 jam 30 menit 100.000 U per oral
12 2 jam 45 menit 200.000 U per oral
13 3 jam 400.000 U per oral
14 3 jam 15 menit 200.000 U subkutan (penisilin G)
15 3 jam 30 menit 400.000 U subkutan
16 3 jam 45 menit 800.000 U subkutan
17 4 jam 1.000.000 U intra muscular

D. Pengobatan Nyeri Perut Bagian Bawah

Semua wanita aktif seksual dengan keluhan nyeri perut bagian bawah perlu dievaluasi terhadap
kemungkinan salfingitis dan atau endometritis atau penyakit radang panggul (PRP). Sebagai
tambahan, pemeriksaan abdominal dan bimanual rutin agar dilakukan terhadap semua wanita
dengan dugaan IMS karena biasanya wanita dengan PRP atau endometritis pada awalnya tidak
akan mengeluh nyeri perut bagian bawah. Wanita dengan endometritis akan mengeluh duh
tubuh vagina dan atau perdarahan vagina, dan atau nyeri pada uterus pada saat pemeriksaan
dalam. Gejala yang mengarah kepada PRP antara lain berupa nyeri perut, nyeri pada saat
bersanggama (dispareunia), duh tubuh vagina, menometroragia, disuria, nyeri yang
berhubungan dengan menstruasi, demam, dan kadang-kadang disertai dengan mual dan
muntah.

PRP sulit untuk didiagnosis, sebab manifestasi klinisnya dapat bermacam-


macam.Kemungkinan PRP sangat besar bila ditemukan salah satu atau beberapa simtom

14
tersebut di atas disertai dengan nyeri pada adneksa, infeksi traktus genitalia bagian bawah, dan
nyeri goyang serviks. Pembesaran salah satu atau kedua tuba falopii, terdapat massa nyeri di
dalam panggul yang disertai nyeri spontan atau nyeri lepas pada perut bagian bawah dapat
pula ditemukan. Suhu tubuh pasien dapat meningkat, namun pada beberapa kasus dapat tetap
normal.Umumnya, para klinisi sering keliru dalam menegakkan diagnosis, sehingga terjadi
diagnosis dan pengobatan yang berlebihan.

Rawat inap pasien dengan PRP perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh pada
keadaan:
a. Diagnosis tidak dapat dipastikan,
b. Indikasi bedah darurat misalnya radang usus buntu (apendisitis), atau kehamilan ektopik
terganggu,
c. Dugaan abses pada rongga panggul,
d. Terdapat kemungkinan penyakit akan semakin parah bila dilakukan rawat jalan,
e. Pasien sedang hamil,
f. Pasien tidak mau atau tidak menaati rejimen pengobatan bila dilakukan rawat 
jalan, atau
g. Kegagalan pengobatan saat rawat jalan.

Para ahli menganjurkan agar semua pasien dengan PRP harus dirawat inap untuk
mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Kuman penyebab PRP meliputi N.gonorrhoeae,
C.trachomatis, danbakteri anaerob (Bacteroides spesies, dan kokus Gram positif).Kuman
berbentuk batang Gram negatif dan Mycoplasma hominis dapat juga menjadi penyebab
PRP.Secara klinis penyebab tersebut sulit dibedakan, dan pemeriksaan mikroskopik juga sulit
dilakukan, oleh karena itu cara pengobatan yang diberikan harus efektif dan memiliki
spektrumyang luas terhadapsemua kuman penyebab tersebut. Rejimen yang dianjurkan di
bawah ini didasarkan pada prinsip tersebut.

PENGOBATAN SINDROM NYERI PERUT BAGIAN BAWAH

Pengobatan untuk gonore dengan komplikasi


DITAMBAH

Pengobatan untuk klamidiosis


DITAMBAH

Pengobatan untuk bakteri anaerob

15
Tabel 7. Pengobatan pasien PRP rawat jalan
PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
KARENA GONORE DENGAN KOMPLIKASI KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 1x400 mg/hari, per oral, selama 5 hari Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Levofloksasin* 1x500 mg/hari, per oral, selama Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
5 hari
PILIHAN PENGOBATAN LAIN
Kanamisin 1x2 g/hari, injeksi IM, selama 3 hari Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol** 1x3,5 g/hari, per oral, selama 5
hari ATAU
Seftriakson 1x250 mg/hari, injeksi IM, selama 3
hari

PENGOBATAN BAKTERI ANAEROB

Metronidazol *** 2x500 mg/hari, per oral, selama 14 hari

*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
***Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alcohol
IM = intramuskular

Anjuran tambahan: bila pasien merupakan akseptor alat kontrasepsi dalam rahim / intrauterine
device (AKDR/IUD) agar dilakukan pengangkatan alat kontrasepsi tersebut, segera sesudah
pengobatan dengan antimikroba dimulai. Bila AKDR sudah diangkat, perlu diberikan konseling
mengenai cara kontrasepsi selanjutnya.

Tindak lanjut pasien PRP rawat jalan perlu dilakukan sesudah 72 jam, dan lakukan rawat inap
bila belum menunjukkan perbaikan.

16
Tabel 8. Pengobatan pasien PRP rawat inap

PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
KARENA GONORE DENGAN KOMPLIKASI KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 1x400 mg/hari, per oral, selama 5 Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
hari,ATAU ATAU
Levofloksasin* 1x500 mg/hari, per oral, selama 5 Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
hari
PILIHAN PENGOBATAN LAIN
Kanamisin 1x2 g/hari, injeksi IM, selama 3 hari Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol** 1x3,5 g/hari, per oral, selama 5 hari
ATAU
Seftriakson 1x250 mg/hari, injeksi IM, selama 3 hari
PENGOBATAN BAKTERI ANAEROB

Pilihan 1.
Metronidazol *** 2x500 mg/hari, per oral, selama 14 hari ATAU
Kloramfenikol 4x500 mg/hari, per oral atau intravena
Pilihan 2.
(tanpa pengobatan untuk gonore & klamidiosis di atas)
Klindamisin 900 mg injeksi IM, setiap 8 jam, ATAU
Gentamisin 1,5 mg/kgBB, injeksi intravena, setiap 8 jam

*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
***Pasien dalam pengobatan metronidazol dianjurkan untuk menghindari minum alcohol
IM = intramuskular

Cara pengobatan di atas dilakukan sampai sekurang-kurangnya 2 hari sesudah pasien


menunjukkan perbaikan, kemudian dilanjutkan dengan salah satu obat di bawah ini:Doksisiklin*
2x100 g/hari, per oral, selama 14 hari ATAU Tetrasiklin* 4x500 mg/hari, per oral selama 14 hari

E. Pengobatan Untuk Pembengkakan Skrotum

Radang saluran epididimis biasanya menimbulkan rasa nyeri pada testis yang bersifat akut,
unilateral, dan sering terasa nyeri pada palpasi epididimis dan vas deferens. Tampak pula
edema dan kemerahan pada kulit di atasnya. Pada laki-laki berumur kurang dari 35 tahun,
pembengkakan skrotum lebih sering disebabkan oleh organisme menular seksual dibandingkan
dengan laki-laki berusia lebih dari 35 tahun. Bila terjadi radang epididimis disertai duh tubuh
uretra, maka hampir dapat dipastikan bahwa penyebabnya adalah IMS, yang umumnya berupa
gonore dan atau klamidiosis. Testis yang terletak berdekatan sering juga menunjukkan radang
(orkitis), bila terjadi bersamaan disebut sebagai epididimo-orkitis.

17
Pada laki-laki yang lebih tua tanpa indikasi penularan lewat hubungan seksual, sering
ditemukan penyebab infeksi umum lainnya, misalnya Escherichia coli, Klebsiella spesies, atau
Pseudomonas aeruginosa. Orkitis tuberkulosis, umumnya disertai epididimitis, selalu
merupakan lesi sekunder dari lesi di tempat lainnya, khususnya yang berasal dari paru atau
tulang. Pada Brucellosis, yangdisebabkan oleh Brucella melitensis atau Brucella abortus,
secara klinis lebih sering berbentuk orkitis daripada epididimitis. Pada masa pra-pubertas
pembengkakan skrotum sering disebabkan oleh infeksi basil coliform, pseudomonas atau virus
penyebab parotitis. Epididimo-orkitis oleh parotitis umumnya terjadi dalam waktu satu minggu
sesudah terjadinya pembesaran kelenjar parotis.

Penting untuk diingat bahwa pembengkakan skrotum dapat disebabkan oleh keadaan bukan
oleh infeksi virus/ kuman, misalnya akibat rudapaksa, torsi/terputarnya testis atau tumor. Torsi
testis perlu dipertimbangkan bila nyeri skrotum terjadi secara mendadak, karena memerlukan
tindakan bedah darurat, sehingga perlu segera dirujuk.

Bilamana radang epididimis yang berkaitan dengan IMS tidak mendapatkan pengobatan yang
efektif, maka akan menyebabkan infertilitas (kemandulan).
Pembengkakan skrotum perlu diobati dengan obat untuk gonore dengan komplikasi bersama
dengan obat untuk klamidosis.

Tabel 9. Pengobatan pembengkakan skrotum

PENGOBATAN PEMBENGKAKAN SKROTUM PENGOBATAN PEMBENGKAKAN SKROTUM


KARENA GONOKOKUS KARENA KLAMIDIOSIS

Sefiksim 400 mg, per oral selama 5 hari Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU

Levoflokasasin*500 mg, per oral selama 5 hari Doksisiklin*2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Kanamisin 2 g, injeksi IM selama 3 hari ATAU Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari ATAU
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, selama 3 hari
ATAU Tetrasiklin 4x500 mg /hari, per oral, selama
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal 14 hari
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun
IM = intra muskular

F. Pengobatan Bubo Inguinalis


Bubo ingunalis dan femoralis adalah pembesaran kelenjar getah bening setempat di daerah
pangkal paha disertai rasa sangat nyeri, dan fluktuasi kelenjar.Keadaan ini sering disebabkan
oleh limfogranuloma venereum dan chancroid.Meskipun chancroid erat hubungannya dengan
ulkus genital, namun dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Penyakit infeksi
non-seksual baik infeksi lokal maupun sistemik (misalnya infeksi pada tungkai bawah) juga
dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening di daerah inguinal.

18
Tabel 10. Pengobatan bubo inguinal ditujukan pada chancroid dan limfogranuloma venereum
(LGV)

PENGOBATAN CHANCROID PENGOBATAN LGV

Siprofloksasin* 2x500 mg/hari per oral, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 14 hari
selama 3 hari ATAU
ATAU

Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari Eritromisin 4x500 mg, per oral, selama 14
ATAU hari

Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral

PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis Tetrasiklin 4x500 mg /hari, per oral, selama
tunggal 14 hari

*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

IM = intra muscular

Pasien dengan keluhan lipat paha nyeri dan bengkak, diperiksa sesuai bagan alur Bagan 3.
Bubo inguinalis, kemudian setelah diagnosis ditegakkan diberikan pengobatan yang sesuai.

G. Pengobatan Konjungtivitis Neonatorum

Konjungtivitis pada neonatus (oftalmia neonatorum) dapat berakhir dengan kebutaan bila
disebabkan oleh N. gonorrhoeae.Infeksi menular seksual patogen terpenting yang
menyebabkan oftalmia neonatorum adalah N. gonorrhoeae dan C. trachomatis.Di negara-
negara berkembang, penyebab konjungtivitis neonatorum ini adalah N. gonorrhoeae yang
diperkirakan berjumlah 20- 75 % dan C.trachomatis 15 - 35 %.Penyebab lainnya adalah
Staphyllococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophillus spesies dan Pseudomonas
spesies.Bayi yang baru lahir umumnya dibawa berobat karena menunjukkan gejala kemerahan
pada mata, pembengkakan kelopak mata atau mata lengket, atau disebabkan keluarnya duh
tubuh dari mata.Manifestasi klinis dan mungkin komplikasi akibat infeksi gonokokus dan
klamidiosis umumnya memberikan gambaran yang mirip, sehingga sukar
dibedakan.Pengobatan harus mencakup kedua mikroorganisme penyebab tersebut, untuk
gonore diberikan dengan dosis tunggal dan untukklamidiosis diberikan dosis terbagi.

Manifestasi klinis dan mungkin komplikasi akibat infeksi gonokokus dan klamidiosis umumnya
memberikan gambaran yang mirip, sehingga sukar dibedakan.Pengobatan harus mencakup

19
kedua mikroorganisme penyebab tersebut, untuk gonore diberikan dengan dosis tunggal dan
untuk klamidiosis diberikan dosis terbagi.

PENGOBATAN SINDROM KONJUNGTIVITIS NEONATORUM

Pengobatan BAYI

 Terlebih dulu diberikan pengobatan untuk gonore


Bila 3 hari tidak ada perbaikan DIIKUTI
 Pengobatan untuk klamidiosis

Pengobatan IBU

 Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi


DITAMBAH
 Pengobatan klamidiosis

Tabel 11. Pengobatan Bayi dengan konjungtivitis neonatorum

PENGOBATAN KONJUNGTIVITIS GONORE PENGOBATAN KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA


Seftriakson 50-100 mg/kgBB, injeksi Sirop eritromisin basa, 50 mg/kgBB/hari per
intramuskular, dosis tunggal ATAU oral, 4 kali sehari, selama 14 hari ATAU
Kanamisin 25mg/kgBB (maksimal 75 mg) injeksi Trimetropim-sulfametoksasol 40—200 mg, per
intramuskular, dosis tunggal ATAU oral, 2 kali sehari, selama 14 hari

20
Tabel 12. Pengobatan ibu dengan bayi yang menderita konjungtivitis neonatorum

PENGOBATAN SERVISITIS GONORE PENGOBATAN SERVISITIS NON-GONORE


Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, per oral Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
Pilihan pengobatan lain
Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal ATAU Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
IM = intramuskular

H. Pengobatan Tonjolan (Vegetasi) Pada Genitalia

Human papillomavirus (HPV) biasanya menular secara seksual. Kutil pada genitalia biasanya
tidak nyeri, dan tidak menimbulkan komplikasi yang serius, kecuali bila menyebabkan obstruksi.
Pengangkatan lesi bukan berarti penyembuhan infeksi, dan tidak ada cara pengobatan yang
memuaskan.

Pada umumnya podofilin (atau podofilotoksin) atau trichloracetic acid (TCA) digunakan untuk
pengobatan kutil pada genitalia eksterna dan daerah perianal. Krioterapi dengan nitrogen cair,
carbondioxida padat, atau cryoprobe merupakan pilihan banyak dokter bila sarana tersebut
tersedia. Krioterapi adalah cara yang tidak toksik, tidak memerlukan tindakan anastesi dan
bilamana dilakukan secara benar, tidak akan menimbulkan jaringan parut.

Tabel 13. Beberapa cara pengobatan kutil kelamin

PENGOBATAN DENGAN BAHAN KIMIA PENGOBATAN DENGAN BAHAN FISIK

Tinktura podofilin 10-25%, lindungi bagian yang Dapat dipilih salah satu cara di bawah ini:
sehat dengan vaseline album, kemudian dicuci
h. Krioterapi dengan nitrogen cair
setelah 4 jam, ATAU i. Krioterapi dengan CO2 padat
Larutan trichloroacetic acid (TCA) 80-90%j. Bedah listrik/elektrokauterisasi
ATAU k. Pembedahan (bedah skalpel)
Podofilotoksin 0,5%

21
Pasangan seks pasien juga perlu diperiksa terhadap kemungkinan menderita kutil
kelamin.Pasien dengan kutil anogenitalis perlu disadarkan bahwa dirinya dapat menularkan
penyakitnya kepada pasangan seksnya.Penggunaan kondom dianjurkan untuk membantu
mengurangi penularan selanjutnya.

Salah satu cara pencegahan infeksi HPV yang telah tersedia saat ini berupa vaksinasi dengan
vaksin HPV kuadrivalen (untuk mencegah infeksi HPV tipe 6,11 penyebab kutil kelamin, serta
tipe 16 dan 18 penyebab keganasan daerah anus dan genitalia).Vaksin ini besar manfaatnya
jika diberikan kepada seseorang yang belum pernah berhubungan seks.Dapat diberikan pada
perempuan dan laki-laki mulai umur 9 tahun sampai dengan 26 tahun. Vaksin diberikan dalam 3
dosis; dosis kedua diberikan dengan interval waktu 2 bulan setelah penyuntikan pertama, dosis
ketiga diberikan 6 bulan setelah penyuntikan pertama. Berhubung harganya masih dianggap
mahal, vaksinasi HPV belum menjadi program nasional, namun sudah tersedia di sarana
kesehatan swasta.

I. Pengobatan Proktitis Akibat IMS

Proktitis, inflamasi daerah rektum, dapat disebabkan oleh infeksi dan bukan infeksi. Patogen
penyebab proktitis umumnya ditularkan melalui hubungan seks melalui anus tanpa pelindung
kepada pasangan seks yang bersifat reseptif. Di antara berbagai mikroorganisme penyebab
IMS, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum dan Herpes simplex
virus (HSV) sering menimbulkan proktitis.

Keluhan yang ditimbulkan oleh proktitis akibat IMS dapat menyerupai keadaan lain sehingga
menyulitkan diagnosis. Pasien paling sering mengeluh mengenai rasa ingin buang air besar
yang timbul terus menerus atau berulang kali. Keluhan lain meliputi nyeri daerah anorektum
atau rasa tidak nyaman, duh tubuh anus purulen, mukoid, atau disertai darah, tenesmus,
perdarahan dari anus, dan konstipasi. Kadang-kadang dapat disertai demam.

Pasien dengan proktitis akut disertai riwayat hubungan seksual melalui anus, dapat diobati
secara empiris sebagai gonore dan klamidiosis. Proktitis oleh HSV masih efektif dengan
asiklovir, valasiklovir, dan bila sering rekurens dapat diberi dosis supresi. Pengobatan untuk
sifilis sama dengan untuk sifilis di tempat lain. Pasangan seks pasien dianjurkan untuk diperiksa
dan diobati juga.

22
Tabel 14. Pengobatan proktitis akibat IMS

N. gonorrhoeae C. trachomatis T. pallidum Herpes simpleks virus

Sefiksim 400 mg, dosis Azitromisin 1 g, dosis Benzatin- Asiklovir 5x200


tunggal, per oral ATAU tunggal, per oral ATAU benzilpenisillin 2,4 juta mg/hari per oral,
IU, dosis tunggal, selama 7 hari
injeksi intramuscular ATAU
ATAU
Seftriakson 250 mg, Doksisiklin* 2x100 Penisilin-prokain Asiklovir
injeksi IM, dosis mg/hari, per oral, 7 injeksi IM 600.000 3x400mg/hari selama
tunggal hari U/hari selama 10 hari 7 hari ATAU
Valasiklovir 2x500
mg/hari, per oral,
selama 7 hari

Catatan tentang Sifilis:


 Untuk diagnosis, ada dua stadium, yaitu:
o Stadium dini (early), yaitu sifilis dengan gejala:
- Sifilis stadium 1: dengan ulkus durum, tidak nyeri
- Sifilis stadium 2: dengan gejala-gejala klinis
o Stadium laten (latency), yaitu sifilis tanpa gejala klinis, berdasarkan tes serologi:
- Early latency : kurang dari 1 tahun
- Late latency : lebih dari 1 tahun
Tetapi sulit membedakan, karena itu cukup laten saja, karena
pengobatannya sama dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin.
 Untuk pengobatan:
o Stadium dini (stadium 1 dan 2) dengan 2,4 juta Unit Benzatin Penisilin
o Stadium laten dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin/

Sampai disini peserta dapat melakukan Latihan Kasus. Pengobatan


IMS sesuai dengan petunjuk Latihan Kasus yang ada pada fasilitator

23
POKOK BAHASAN 2. TATALAKSANA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL (ARV)

Setiap petugas kesehatan yang bertugas melaksanakan pengobatan ARV, harus memahami
prinsip yang tertuang dalam Permenkes no 87 tahun 2014, tentang Pengobatan ARV:
Pasal 1

Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV danAIDS untuk mengurangi
risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup
penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.

Pasal 2

Pengobatan antiretroviral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikankepada:

a. Penderita HIV dewasa dan anak usia 5 (lima) tahun ke atas yang telah menunjukkan stadium
klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;
b. Ibu hamil dengan HIV;
c. Bayi lahir dari ibu dengan HIV;
d. Penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 (lima) tahun;
e. Penderita HIV dengan tuberkulosis;
f. Penderita HIV dengan hepatitis B;
g. Penderita HIV pada populasi kunci;
h. Penderita HIV yang pasangannya negatif; dan/atau
i. Penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi HIVmeluas.

Pasal 3

1) Pengobatan antiretroviral diberikan setelah mendapatkan konseling, memiliki orang terdekat


sebagai pengingat atauPemantau Meminum Obat (PMO) dan patuh meminum obat seumur
hidup.
2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan.

Pasal 4

Pengobatan antiretroviral dapat diberikan secara komprehensif dengan pengobatan infeksi


oportunistik dan komorbiditas serta pengobatan penunjang lain yang diperlukan.

24
Pasal 5

1) Pengobatan antiretroviral dimulai di rumah sakit yang sekurang-kurangnya kelas C dan


dapat dilanjutkan di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memiliki
kemampuan pengobatan antiretroviral.
2) Pada daerah dengan tingkat epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, pengobatan antiretro-
viral dapat di mulai di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memiliki
kemampuan pengobatan antiretroviral.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pengobatan anti-
retroviral yang diberikan kepada bayi dan anak usia kurang dari 5 (lima) tahun.

Terapi ARV juga menurunkan stigmatisasi, karena apabila orang mengetahui tersedianya peng-
obatan HIV, maka:
 Meningkatkan jumlah orang yang meminta KTS
 Meningkatkan kepedulian masyarakat
 Meningkatkan motivasi petugas kesehatan “mereka dapat melakukan sesuatu untuk
pasien HIV”

Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV, di antaranya:

1. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko terinfeksi HIV dan
situasi kesehatannya.
2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk mematuhi pengobatan ARV
dan pemantauannya.
3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta informasi
mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.
4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan ke klinik,
kemampuan membeli atau menyediakan tambahan makanan untuk anak yang sakit dan
kemampuan membayar bila ada penyakit yang lain.

25
·
·
·
· Positive(Prevention
·

· ·

· ·

· ·
·

·
·

·
·
·

Bagan 1. Alur tatalaksana HIV di fasyankes

26
Tabel 15. Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan inisiasi terapi ARV

Fase manajemen
Rekomendasi Utama Rekomendasi lain (bila ada)
HIV
a b
Setelah diagnosis Jumlah CD4 , Skrining HBsAg
c
HIV TB Anti-HCV
d
Antigen kriptokokus jika jumlah CD4 ≤ 100 sel/mm
Skrining infeksi menular seksual
Pemeriksaan penyakit non komunikabel kronik dan
e
komorbid
Follow-up sebelum a
Jumlah sel CD4 Follow-up sebelum ARV
ARV
a, f
Inisiasi ARV Jumlah sel CD4 Serum kreatinin dan/atau eGFR, dipstik urin untuk
g
penggunaan TDF
h
Hemoglobin
i
SGPT untuk penggunaan NVP

a Jika tidak tersedia CD4, gunakan stadium klinis


b Jika memungkinkan, tes HbsAg harus dilakukan untuk mengidentifikasi orang dengan HIV dan koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi
ARV dengan TDF
c Direkomendasikan pada ODHA yang mempunyai riwayat perilaku terpapar hepatitis C, atau pada populasi dengan prevalensi tinggi hepatitis C.
Populasi risiko tinggi yang dimaksud adalah penasun, LSL, anak dengan ibu yang terinfeksi hepatitis C, pasangan dari orang yang terinfeksi hepatitis C,
pengguna narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat transfusi berulang, seperti ODHA talasemia dan yang menjalani
hemodialisis
d Dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas pemeriksaan antigen kriptokokus (LFA) mengingat prevalensi antigenemia pada ODHA asimtomatik di
beberapa tempat di Indonesia mencapai 6.8-7.2%.
e Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait penatalaksanaan HIV seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes
f Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4 awal tetap diperlukan untuk menilai respons terapi.
g Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit ginjal, usia lanjut, IMT rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat
nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan untuk mendeteksi glikosuria pada ODHA non diabetes.
h Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait AZT (CD4 rendah atau Indeks Massa Tubuh rendah)
i Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif, wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati
awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk memonitor toksisitas NVP.

Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART

ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu dimonitor perjalanan
klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak. Evaluasi
klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan dan
munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.Pada anak, juga dilakukan
pemantauan tumbuh kembang dan pemberian layanan rutin lainnya, seperti
imunisasi.Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis
pada setiap kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk
pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK) dan/atau ARV.Evaluasi klinis dan jumlah CD4
perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai ART.

27
Konsep Umum ART: 4S (Start, Substitute, Stop dan Switch)

1. Start
Start: Memulai terapi ARV pada Odha yang baru dan belum pernah menerima sebelumnya.
Restart: Memulai kembali setelah berhenti sementara.

Hal-hal yang harus dilakukan sebelum memulai terapi adalah:


 Yakinkan bahwa status klien adalah HIV positif
 Melakukan evaluasi klinis:
- Tentukan stadium klinis menurut WHO
- Diagnosis dan pengobatan IO
- Profilaksis IO dan adherence terhadap pengobatan IO
- Pertimbangkan apakah perlu ARV
 Membahas atau komunikasikan dengan Odha mengenai kemungkinan adherence
terhadap ARV
 Pasien mendapatkan edukasi dan konseling, agar memahami tentang:
- Tujuan terapi ARV
- ARV tidak menyembuhkan infeksi HIV
- Selama pengobatan ARV, virus masih dapat ditularkan. Untuk itu diperlukan seks yang
tidak berisiko dan suntikan yg aman.
- Pengobatan ARV dilakukan seumur hidup.

Tabel 16. Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak

Populasi Rekomendasi

Dewasa dan Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4
3
anak > 5 ≤ 350 sel/mm
tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis dan berapapun jumlah CD4:
 Koinfeksi TB
a

 Koinfeksi Hepatitis B
 Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan),
untuk mengurangi risiko penularan
 LSL, PS, Waria, atau Penasun
b

 Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas


Anak < 5 c
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis dan berapapun jumlah CD4
tahun
Catatan:
a
Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8 minggu sejak
mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3,
ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai terapi TB. Untuk ODHA dengan meningitis
kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.
b
Dengan memperhatikan kepatuhan
c
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka harus segera
mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan

28
pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.

Terapi ARV, dikenal dengan HAART atau: Highly Active Anti Retroviral Therapy
Selalu gunakan minimal kombinasi tiga obat antiretroviral

Tabel 17. Jenis Obat ARV yang tersedia di Indonesia

NRTI NNRTI PI
Zidovudine (AZT) Nevirapine (NVP) Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
Stavudine (d4T) Efavirenz (EFV)
Lamivudine (3TC) Rilpivirine (RPV)
Emtricitabine (FTC)
Abacavir (ABC)
NtRTI
Tenofovir (TDF)

Cara kerja obat ARV menurut kelasnya:

 Kelas Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)/NtRTI:


Obat kelas NRTI/NtRTI berkompetisi dengan HIV untuk menduduki nukleosida pada enzim
reverse transcriptase yang ada pada virus, sehingga enzim ini tidak dapat bekerja untuk
mengubah HIV RNA menjadi HIV DNA
 Kelas Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Obat kelas NNRTI secara langsung menghambat kerja enzim reverse transcriptase sehingga
HIV RNA tidak dapat diubah menjadi HIV DNA
 Kelas Protease Inhibitor (PI)
Obat kelas PI menghambat enzim protease sehingga protein berukuran besar tidak bisa
dipecah menjadi yang berukuran kecil yang diperlukan untuk membentuk partikel baru virus.

Paduan ARV Lini Pertama


Pilihan paduan ARV lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapat
kan ARV sebelumnya (naive ARV).

1. Paduan ARV lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa

Paduan ARV Lini Pertama terdiri dari: 2 NRTI + 1 NNRTI

29
Tabel 18. Paduan ARV lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu
hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB

Paduan ARV lini pertama untuk dewasa

a c
Paduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT

b
Paduan alternatif AZT + 3TC + EFV (atau NVP)
a
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

a Jangan memulai TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c Kombinasi dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

Paduan ARV lini pertama mungkin lebih mudah dimengerti jika dibuat dalam bentuk gambar seperti di
bawah ini.

Tabel 19. Paduan ARV lini pertama pada anak <5 tahun

Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI

Zidovudin (AZT)a Nevirapin (NVP)


Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)b Efavirenz (EFV)d
Emtricitabine (FTC)
Tenofovir (TDF)c Rilpivirine (RPV)

a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10
gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang
anak yang sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
d EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah
pilihan pada anak dengan TB.

Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT. KDT yang ada untuk anak saat
iniadalah: d4T+3TC+NVP dan AZT+3TC+NVP.

30
2. Substitute/Substitusi

Saat ini paduan ARV yang dianjurkan (Kombinasi Dosis Tetap/KDT) dalam lini pertama
mempunyai efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari),
sehingga akan meningkatkan kepatuhan pengobatan.
Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi
hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 20. Kebanyakan reaksi toksisitas
ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat
menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus
mengkonseling ODHA dan mendukung terapi.
Prinsip penanganan efek samping akibat ARV adalah sebagai berikut:
 Tentukan beratnya toksisitas
 Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena (satu
atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
 Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika timbul
ikterus)
 Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
1) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi
suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi
(contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
2) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV
secara keseluruhan
3) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan
pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk
mengganti 1 jenis obat ARV
4) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
 Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan
sedang
 Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam
jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian
resistansi.

Tabel 20. Waktu terjadinya toksisitas ARV

Waktu Toksisitas

Dalam beberapa minggu  Gejala gastrointestinal adalah mual, muntah dan diare. Efek
pertama samping ini bersifat self-limiting dan hanya membutuhkan terapi
simtomatik
 Ruam dan toksisitas hati umumnya terjadi akibat obat NNRTI,
namun dapat juga oleh obat NRTI seperti ABC dan PI

31
Waktu Toksisitas

Dari 4 minggu dan  Supresi sumsum tulang yang diinduksi obat, seperti anemia dan
sesudahnya neutropenia dapat terjadi pada penggunaan AZT
 Penyebab anemia lainnya harus dievaluasi dan diobati
 Anemia ringan asimtomatik dapat terjadi

6-18 bulan  Disfungsi mitokondria, terutama terjadi oleh obat NRTI, termasuk
asidosis laktat, toksisitas hati, pankreatitis, neuropati perifer,
lipoatrofi dan miopati
 Lipodistrofi sering dikaitkan dengan penggunaan d4T dan dapat
menyebabkan kerusakan bentuk tubuh permanen
 Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat terjadi kapan saja,
terutama dikaitkan dengan penggunaan d4T. Asidosis laktat yang
berat dapat mengancam jiwa
 Kelainan metabolik umumnya terjadi oleh PI, termasuk
hiperlipidemia, akumulasi lemak, resistansi insulin, diabetes dan
osteopenia
Setelah 1 tahun  Disfungsi tubular renal dikaitkan dengan TDF

Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV karena toksisitas atau
intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama, contoh: AZT atau TDF untuk
menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF dapat menggantikan AZT karena anemia, atau
NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan.
Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan segera hingga
secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan paduan terapi ARV yang
lain, yaitu mengganti salah satu/sebagian komponen ART dengan obat dari lini pertama

Alasan substitusi adalah terjadinya salah satu hal berikut selama dalam pengobatan ARV:

 Toksisitas/efek samping
 Hamil
 Risiko hamil
 TB baru
 Ada obat baru
 Stok obat habis

Toksisitas obat
Toksisitas terjadi karena ketidak mampuan untuk menahan efek samping, sehingga terjadi
disfungsi organ yang cukup berat
Gejala dan atau tanda toksisitas dapat dipantau secara klinis, berdasarkan:
- keluhan,
- pemeriksaan fisik pasien, atau
- hasil laboratorium

32
Bila obat atau rejimen yang menyebabkan toksisitas dapat diidentifikasi dengan jelas ganti
dengan obat yang tidak memiliki efek samping serupa, misalnya: AZT dengan TDF (untuk
anemia), atau EFV diganti NVP
Apabila kombinasi ARV terbatas, tidak dianjurkan mengganti obat terlalu dini

Tabel 21. Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi pada dewasa dan
anak usia 5 (lima) tahun ke atas

Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi


TDF Disfungsi tubulus renalis Sudah ada penyakit AZT atau d4T
Sindrom Fanconi ginjal sebelumnya
Usia lanjut
IMT < 18,5 atau BB <
50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama
obat nefrotoksik lain
atau boosted PI
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia
mineral tulang dan fraktur patologis
Faktor risiko
osteoporosis atau bone-
loss lainnya
Asidosis laktat atau Penggunaan NRTI yang
hepatomegali dengan lama
steatosis Obesitas
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan Gunakan alternatif obat
(hepatic flares) karena toksisitas hepatitis lainnya seperti
lainnya pada koinfeksi entecavir
hepatitis B
AZT Anemia atau anemia atau Dewasa: TDF
a
neutropenia berat , neutropenia sebelum Anak: d4T atau ABC
miopati, lipoatrofi atau mulai terapi
lipodistrofi Jumlah CD4 ≤ 200
3
sel/mm (dewasa)
Intoleransi saluran Dewasa: TDF
b
cerna berat Anak: d4T atau ABC
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB > 75 Dewasa: TDF
hepatomegali dengan kg (dewasa) Anak: ABC, atau LPV/r
c
steatosis Penggunaan NRTI yang jika ABC tak tersedia
lama
d
d4T Neuropati perifer, Usia tua Dewasa: AZT atau TDF
lipoatrofi atau lipodistrofi Jumlah CD4 ≤ 200 Anak: AZT atau ABC,
3
sel/mm (dewasa) pada asidosis laktat
penggunaan bersama gunakan ABC
INH atau ddI
Asidosis laktat atau IMT > 25 (atau BB > 75
hepatomegali dengan kg) (dewasa)
steatosis, pankreatitis Penggunaan nukleosida
akut analog yang lama
EFV Toksisitas susunan Sudah ada gangguan NVP

33
Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi
saraf pusat persisten mental atau depresi Jika ODHA tidak dapat
(seperti mimpi buruk, sebelumnya mentoleransi NNRTI
c
depresi, kebingungan, Penggunaan siang hari lain, gunakan LPV/r
e
halusinasi, psikosis) atau pada anak dapat
f
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati juga digunakan 3 NRTI
c
sebelumnya jikaLPV/r tidak tersedia
Koinfeksi HBV dan HCV
penggunaan bersama
obat hepatotoksik lain
Kejang Riwayat kejang
Hipersensitivitas Faktor risiko tidak
g
obat Ginekomastia diketahui
pada pria
h, i
NVP Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit EFV
liver sebelumnya Jika ODHA tidak dapat
Koinfeksi HBV dan HCV mentoleransi NNRTI
c
penggunaan bersama lain, gunakan LPV/r
obat hepatotoksik lain atau pada anak dapat
3 f
CD4 >250 sel/mm pada digunakan 3 NRTI
wanita
3
CD4 >400 sel/mm pada
pria
g, i
Hipersensitivitas obat Faktor risiko tidak
diketahui

34
Catatan:
a Anemi berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat jika hitung neutrofil < 500/mm3. Singkirkan kemungkinan
malaria pada daerah endemis.
b Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter (berulang) dan berat yang dapat menghalangi minum obat ARV (mual dan muntah
persisten).
c Penggunaan PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila sudah terjadi kegagalan terapi.
d AZT dan d4T mempunyai pola resistansi yang hampir serupa, berbeda dengan TDF. Pada substitusi setelah pemakaian lama d4T ke TDF, harus
diperhatikan bagaimana supresi virus dan riwayat kepatuhan ODHA.
e Toksisitas SSP ini bersifat self-limiting. Karena EFV menyebabkan pusing, dianjurkan untuk diminum saat malam hari.
f Penggunaan triple NRTI mungkin kurang poten dibanding paduan lain
g Ruam kecil sampai sedang dan toksisitas hati dapat diatasi dengan pemantauan, terapi simtomatik dan perawatan suportif. Ruam yang berat
didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti
demam, lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis seperti Sindrom Stevens-Johnson. Pada ruam yang berat, apalagi jika disertai
peningkatan SGOT >5 kali BAN, dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan NVP atau EFV. Kedua obat NRTI lainnya diteruskan hingga 1-2
minggu ketika ditetapkan paduan ARV berikutnya mengingat waktu paruh yang lebih pendek disbanding NVP atau EFV.
h Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV yang belum mencapai usia remaja.
i Menaikkan secara bertahap dosis NVP atau yang disebut eskalasi dosis dapat menurunkan risiko toksisitas

3. Stop
Stop adalah menghentikan pengobatan ARV untuk sementara waktu baik atas perintah dokter
atau kemauan sendiri. Kalau stop lebih dari 3 bulan berarti pasien sudah dikatakan gagal follow-
up dari ART.
Alasan stop:
 Toksisitas/Efek samping
 Gagal Pengobatan
 Adherence buruk
 Stok obat habis
 Kekurangan Biaya
 Keputusan pasien

Strategi menghentikan ARV


Jika ingin menghentikan ART yang berisi NNRTI (mis: AZT+3TC+NVP, maka NVP dihentikan
lebih dahulu, dan 1 minggu kemudian baru 2 NRTI dihentikan, karena NVP/EFV (NNRTI)
mempunyai waktu paruh yang panjang.

4. Switch
Switch adalah mengganti semua rejimen ART (beralih ke lini kedua) akibat kegagalan terapi.
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan
klinis, seperti dalam tabel 14. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak dapat
dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria
klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini.
ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam
keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat,
penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan
seperti dalam Error! Reference source not found..Keputusan untuk mengganti paduan ARV ke lini kedua
dilakukan di rumah sakit rujukan ARV.

35
Switch

Bagan 2. Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV

36
Tabel 22. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV

Kegagalan Definisi Keterangan


Gagal Klinis Dewasa dan remaja: Kondisi klinis harus dibedakan
Munculnya IO baru atau dengan IRIS yang muncul setelah
berulang (stadium klinis WHO 4) terapi ART.
Anak: Untuk dewasa, bebersps stadium
Munculnya IO baru atau klinis WHO3 (TB paru atau infeksi
berulang (stadium klinis WHO 3 bakteri berat lainnya) atau
atau 4, kecuali TB) munculnya eritema popular
pruritikkembali dapat
mengindikasikan gagal terapi
Gagal Dewasa dan Anak≥ 5 tahun Tanpa adanya infeksi lain yang
Imunologis CD4turun ke nilai awal atau lebih menyebabkan penurunan jumlah
rendah lagi, atau CD4.
CD4 persisten dibawah 100 Kriteria klinis dan imunologis
sel/mm³ setelah satu tahun memiliki sensitivitas rendah untuk
pengobatan atau CD4 turun >50 mengidentifikasi gagal virologi
% dari jumlah CD4 tertinggi terlebih pada kasus yang memulai
Anak usia < 5 tahun ARV dan mengalami gagal terapi
CD4 persisten dibawah 200 pada jumlah CD4 yang tinggi
sel/mm³ atau < 10 % Namun saat ini belum ada
alternative yang valid untuk
mendefinisikan gagal imunologi selai
kriteria ini
Gagal Pada ODHA yang kepatuhannya Batasan untuk mendefinisikan
Virologis baik, viral load diatas 1000 kegagalan virologi dan penggantian
kopi/ml, berdasarkan pemeriksa paduan ARV belum dapat ditentukan
an HIV RNA dengan jarak 3-6
bulan

Paduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa

Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan
terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV. Jika
kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi
terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRTI +
boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan
juga anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin, dan
bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama sekali belum dipakai
sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke NNRTI
atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan. Selengkapnya
Pilihan paduan ARV beserta efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat dalam tabel 14, 15
sebagai berikut:

37
Tabel 23. Paduan ARV Lini Kedua pada remaja dan dewasa

Paduan ARV yang


Populasi terget digunakan pada lini Paduan lini kedua pilihan
pertama

Dewasa dan remaja Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
(≥ 10 tahun)
Berbasis TDF AZT + 3TC + LPV/r

HIV dan koinfeksi TB Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
dosis gandaa

Berbasis TDF AZT + 3TC + LPV/r dosis


gandaa

HIV dan HBV Berbasis TDF AZT + TDF + 3TC (atau FTC)
koinfeksi + LPV/r

Catatan:
Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Paduan OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE,
selanjutnya diteruskan dengan 4HE dengan evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang
perlu tetap menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x
sehari atau 2 x 2 tablet.

Tabel 24. Paduan ARV Lini Kedua pada anak

Lini pertama Lini kedua

AZT (atau d4T) + 3TC + NVP (atau ABC (atau TDFa) + 3TC (atau FTC) + LPV/r
EFV)

TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP (atau AZT + 3TC + LPV/r


EFV)

ABC + 3TC + NVP (atau EFV)

38
Pemantauan Pengobatan ARV

Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping/toksisitas yang mungkin terjadi serta kemungkinan terjadinya
Sindrom Pulih Imun (SPI).Evaluasi ODHA selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama
antara dokter, perawat, dan konselor.Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun
juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani pengobatan.

Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV

Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum
inisiasi ART dan berguna untuk memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas
obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali
dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat
dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan
pengobatan. Tes laboratorium yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 25..

Tabel 25. Rekomendasi tes laboratorium setelah pemberian terapi ARV

Fase
Yang diperlukan (bila ada
penatalaksanaan Rekomendasi
atau atas indikasi)
HIV
a
Selama Jumlah sel CD4 (tiap 6 bulan) serum kreatinin tiap 6 bulan
menggunakan ARV pada penggunaan TDF

Hb pada penggunaan AZT


(dalam 3 bulan pertama perlu
pemeriksaan intensif)

Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap


6 bulan

HIV RNA (6 bulan setelah


inisiasi ARV, tiap 12 bulan
a
setelahnya )

Gagal terapi Jumlah sel CD4 HBsAg (bila sebelum switch


b
belum pernah di tes, atau jika
HIV RNA hasil baseline sebelumnya
negatif)

a Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi pemantauan CD4 dan HIV RNA
dapat dikurangi
b Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi

39
CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.Jika digunakan bersamaan
dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena jumlah
CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis.Pemantauan CD4 dapat digunakan
untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat.Jumlah CD4 dapat berfluktuasi menurut
individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 kali hasil pemeriksaan CD4 di
bawah ambang batas sebelum ARV dimulai.

Kenaikan jumlah CD4 dalam tahun pertama sekitar 100 – 200 sel/mm3, dan pada tahun kedua
dan seterusnya adalah 50 – 100 sel/mm3 per tahunnya.

Sedangkan untuk pemantauan jumlah viral load, normalnya terdapat penurunan jumlah viral
load sebesar 1,5 – 2,0 log dalam bulan pertama, dan pada 24 minggu diharapkan viral load
tidak terdeteksi pada sekitar 80 – 90% kasus.

Sindrom Pulih Imun (SPI)

Sindrom Pulih Imun (SPI) dikenal sebagai komplikasi potensial yg dapat terjadi setelah
pemberian ART.Frekuensi IRIS tidak diketahui dgn pasti, diperkirakan 10% – 25% dari Odha yg
menerima ART. Pada 23% – 25% Odha dgn HAART terjadi > 1 sindrom inflamasi yg sesuai
dgn SPI.

Sindrom Pulih Imun (SPI) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respon inflamasi
berlebihan pada saat pemulihan respon imun setelah pemberian ART. Manifestasinya dapat
berbentuk penyakit infeksi maupun non-infeksi.

Sindrom Pulih Imun dapat muncul dalam 2 bentuk: paradoksikal dan unmasking.Bentuk
paradoksikal muncul ketika suatu IO yang terdiagnosis sebelum pemberian ARV berespon baik
terhadap pengobatannya, tetapi kemudian memburuk sebagai akibat langsung pemulihan
imunitas setelah dimulainya ARV. Bentuk unmasking ketika IO yang ada sebelum ARV tetap
tidak terdiagnosis (laten) dan pemulihan respon imun setelah dimulainya ART memicu
manifestasi IO tersebut.

Kriteria diagnosis SPI menurut International Network Study of HIV-associated IRIS


(INSHI)adalah:
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log copy/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dgn inisiasi terapi
ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
(Expected clinical course of a previously recognized and successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi

40
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV

Tata laksana IRIS


Setelah ditentukan diagnosis IRIS, maka tatalaksana IRIS secara umum:
• Berikan atau lanjutkan terapi anti-mikroba spesifik untuk SPI yang terjadi.
• Berikan steroid sistemik jika respons inflamasi berat
• Terapi ARV tetap dilanjutkan.

Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari ibu HIV dapat tertular HIV, dengan perincian risiko
5-10% selama masa kehamilan, 10-20% pada saat persalinan, dan 5-20% pada saat menyusui.
Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Bahkan,
kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak terdeteksi (undetected) dalam terapi antiretroviral
sebelum kehamilan.
Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan
agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Upaya ini
terdiri dari:
a. Pemberian ARV pada ibu hamil;
b. Persalinan yang aman
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi;
d. Pemberian nutrisi yang aman pada bayi.

a. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV

Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang jumlah CD4, karena
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup
(pedoman WHO 2013, option B+). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil
pengobatan, bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang dewasa lainnya. Efavirenz
(EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester pertama, belakangan tidak terbukti
menunjukkan efek teratogenik dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli
2012 WHO mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan.
Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti.
ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga seterusnya.
b. Persalinan yang aman
Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun seksio
sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi, namun
perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per vaginam dapat dipilih jika ibu sudah
mendapat pengobatan ARV dengan teratur selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load
kurang dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio

41
sesarea tersebut dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan
alat pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi

Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu formula,
diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu. Selengkapnya ada dalam tabel
20 sebagai berikut:

Tabel 26. Dosis Zidovudin pada bayi baru lahir

Kondisi Bayi Dosis Zidovudin

Bayi cukup bulan Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan
dosis disederhanakan:
 Berat lahir 2000-2499 g = 10 mg 2x sehari
 Berat lahir ≥ 2500 g = 15 mg 2x sehari
bayi dengan berat < 2000 g harus mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2 mg/kg sekali sehari
Bayi prematur < 30 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 4 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu

Bayi prematur 30-35 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu, lalu 4 mg/kg
BB/12 jam selama 2 minggu

d. Pilihan nutrisi bagi bayi

Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang aman bagi bayinya sebelum
melahirkan. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed
feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau
tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan
safe/aman) dapat dipenuhi.
Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan
pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara
teratur dan benar.

Pemeliharaan bayi lahir dari ibu HIV

Pada prinsipnya pemeliharaan bayi lahir dari ibu HIV sama dengan bayi lahir dari ibu demikian
juga dengan pemberian imunisasi.

42
Jadwal imuninasi dalam tabel berikut adalah yang direkomendasi oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI).

Tabel 27. Jadwal Imunisasi Bayi Lahir dari Ibu HIV

Imunisasi pada ODHA Dewasa

ODHA memiliki respons kekebalan tubuh yang suboptimal terhadap vaksin. ODHA dengan CD4
rendah maka respons vaksin yang didapat juga akan semakin rendah. Bila didapatkan CD4 <
200 sel/mm3 ODHA tidak boleh mendapatkan vaksin hidup. Vaksin hidup baru aman diberikan
bila CD4 sudah meningkat stabil di atas 200 sel/mm3 setelah pemberian ARV. Vaksin mati
dapat digunakan pada CD4 berapa pun, namun bila diberikan pada CD4 rendah sebaiknya
vaksin diberikan lagi saat CD4 meningkat di atas 200 sel/mm3. Tabel 36 berikut menunjukkan
vaksin yang direkomendasikan pada ODHA dewasa. Khusus untuk ODHA koinfeksi HBV,
direkomendasikan juga untuk mendapatkan vaksin HAV. Demikian juga ODHA koinfeksi HCV,
direkomendasikan untuk mendapatkan vaksin HBV.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan Latihan


Pengobatan ARV kepada pasien sesuai petunjuk
Latihan yang ada pada fasilitator

43
POKOK BAHASAN 3. TATALAKSANA INTERAKSI DAN EFEK SAMPING OBAT

Pasien dengan HIV atau AIDS sering mengalami keadaan atau infeksi lain yang memerlukan
terapi dengan obat-obatan atau zat lain bersamaan dengan obat ARV-nya. Hal yang sering
terjadi dan terlupakan adalah bahwa ada kemungkinan terjadinya interaksi antar obat atau zat
yang digunakan yang bisa memberikan efek berupa perubahan kadar masing-masing obat atau
zat dalam darah.

Secara definisi, Interaksi obat adalah perubahan (dalam kadar atau lamanya) aksi satu obat
oleh karena adanya zat lain (termasuk obat, makanan dan alkohol) sebelum atau bersamaan
dengan obat tersebut.

Interaksi obat dapat memberikan dampak baik berupa kegagalan pengobatan karena dosis
terapeutik yang suboptimal dan atau sebaliknya dapat terjadi efek yang menguntungkan.
Lopinavir/ritonavir merupakan contoh interaksi obat yang menguntungkan dimana ritonavir
digunakan untuk memperbaiki profil dari lopinavir.

1. Efek Samping Obat


Biasanya efek samping timbul dalam beberapa minggu pertama tetapi dapat timbul kapan saja
setelah memulai ARV , dengan gejala ringan atau berat. Beberapa toksisitas bersifat sementa
ra dan menghilang jika terapi diteruskan, toksisitas lainnya bisa mengancam jiwa dan obat ha-
rus dihentikan

Terjadinya efek samping dapat mempengaruhi adherence terhadap ART poten, yang bisa ber-
akibat pada penurunan kualitas hidup pasien serta mempengaruhi keseluruhan efikasi dari
pengobatan

Toksisitas ARV adalah spesifik untuk kelasnya (terjadi pada semua obat dalam satu kelas) dan
spesifik untuk masing-masing obat, seperti berikut:

Tabel 28. Kelas Toksisitas ARV

Kelas ARV Toksisitas


NRTI Toksisitas Mitokondria (Lipodistrofi, Asidosis laktat)
NtRTI Disfungsi tubulus ginjal proksimal
NNRTI Reaksi hipersensitifitas dan Hepatotoksisitas
PI Gangguan Metabolik

44
Reaksi hipersensitifitas

Sebagian besar menyebabkan ruam ringan (umumnya berupa lesi makulo papular) sampai
sedang (pada 1-6 minggu pertama terapi). Dapat juga disertai kelainan sistemik seperti demam,
mialgia, atralgia, dan peningkatan enzim hati, hingga reaksi yang berat dan mengancam jiwa
[mis Stevens-Johnson Syndrome atau Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)]. Pada kasus ruam
yang ringan (derajat 1 dan 2) tanpa kelainan sistemik, obat dapat dilanjutkan.

Hepatotoksisitas
Lebih jarang pada anak dibanding dewasa
– Terjadi pada 10% pasien dengan NVP (atau lebih, jika disertai ko-infeksi Hepatitis B
atau C)
– Paling sering pada 12 minggu pertama terapi
– Biasanya menyebabkan peningkatan tes fungsi hati, hepatomegali
– Sering ringan-sedang tetapi bisa berat (potensial fatal)
– Hentikan NVP untuk toksisitas derajat 3 atau lebih tinggi (transaminases >200)
– Jangan memulai lagi NVP

Faktor risiko terjadinya Hepatitis:


– Ko-infeksi Hepatitis B atau C,
– Alkohol
– Peningkatan enzim hati sebelum memulai terapi ARV
– Penggunaan obat hepatotoksik lain

Tatalaksana:
– Hentikan NVP jika toksisitas derajat 3 atau lebih (transaminase >200)
– Lain-lain: mengatasi gejala lain yang dapat terjadi, seperti: mual, nyeri kepala, mialgia

Anemia
Obat ARV yang menyebabkan sering menyebabkan anemia adalah AZT,yang dapat timbul
setelah terapi 4-12 minggu.
Tatalaksana anemiaakibat AZT adalah menghentikan AZT dan mensubstitusi dengan TDF
(pada dewasa atau d4T atau ABC pada anak-anak), dan jika timbul anemi simtomatik maka
diperlukan transfusi darah. Jangan berikan AZT jika Hb awal terapi ARV < 10 g/dL.

Nefrotoksitas
Gangguan ginjal akibat TDF berupa toksisitas tubular dengan/atau tanpa penurunan fungsi
ginjal (Laju Filtrasi Glomerulus/LFG/eGFR). Sebagian besar ditandai dengan sindrom Fanconi
yang ditandai dengan asidosis tubuus renalis, glukosuria pada pasien dengan kadar gula
normal, hipofosfatemia, hipourisemia dan proteinemia tubular.
Apabila timbul sindrom GGA atau sindrom Fanconi maka TDF harus dihentikan dan diganti
dengan obat ARV lain.

45
Efek samping SSP
Dapat terjadi pada penggunaan Efavirenz.
Gejala yang ditimbulkan dapat berupa sedasi, mabuk, pusing, bingung, depersonalisasi, mimpi
yang abnormal. Dan biasanya membaik dalam 2-4 minggu
Dianjurkan untuk minum obat sebelum waktu tidur untuk mengurangi dampak dari gejala ini
Jika terjadi gejala berat (misal pikiran bunuh diri atau gejala psikotik): hentikan EFV

Interaksi Obat
Berbagai obat tersedia untuk mengobati HIV, serta mencegah atau mengobati IO, sehingga
kemungkinan interaksi antar obat menjadi meningkat . Interaksi obat dapat terjadi dalam berba
gai bentuk, terjadi segera atau dalam beberapa minggu. Beberapa obat tidak boleh diberikan
bersamaan, sementara obat lain dapat dikombinasikan hanya dengan pengawasan ketat untuk
memonitor masalah emergensi.

Interaksi Rifampisin dan ARV


Rifampisin dapat:
• Menurunkan kadar EFV dalam darah sampai 26%, dan tetap merupakan ARV pilihan
pertama pada ko-infeksi TB-HIV.
• Menurunkan kadar NVP dalam darah sampai 37%, dan masih dapat digunakan sebagai
pilihan kedua pada koinfeksi TB-HIV jika EFV tidak dapat digunakan.
• Menurunkan kadar LPV sampai 75%, dan RTV sampai 35% (tidak boleh digunakan
bersama)

Interaksi Metadon dan ARV


Obat ARV dapat menurunkan kadar metadon dalam darah, sehingga dosis perlu peningkatan
dosis metadon untuk menghindari sindrom putus obat:
 EFV menurunkan AUC metadon sebesar 57%
 NVP menurunkan AUC metadon sebesar 51%
 LPV menurunkan AUC metadon sebesar 36%

Mengingat daftar interaksi obat selalu mengalami perubahan/pemutakhiran, sebaiknya kita


menggunakan situs internet, yang beberapa antaranya dapat diakses, yaitu:
1. http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
2. http://www.hiv-druginteractions.org/
3. https://www.drugs.com/drug_interactions.html
4. http://www.webmd.com/interaction-checker/

46
Tabel 29. Obat Yang Sebaiknya Tidak Digunakan Dengan ARV
Obat Antiretroviral
Kategori Obat
EFV NVP LPV/r
Obat Jantung - - Amiodaron
Penurun Kolesterol - - Rovastatin
b
Simvastatin
Antimikroba - - Rifampisin
Obat Saluran Cerna Cisaprid - Cisaprid
Neuroleptik Pimozid - Pimozid
Psikotropik Triazolam - Triazolam
a a
Midazolam Midazolam
Derivat Ergot Dihidroergotamin - Dihidroergotamin
Ergonovin Ergonovin
Ergotamin Ergotamin
Metilergonovin Metilergonovin
ARV lain NNRTI lainnya ATV +/- RTV
NNRTI lainnya
Herbal Herbal Herbal Herbal
Obat Lain - Ketokonazol Alfuzosin
Salmeterol
Sildenafil

a Penggunaan midazolam oral merupakan kontraindikasi. Midazolam parenteral dapat digunakan dosis tunggal dan dapat diberikan dengan
monitoring pada prosedur sedasi. Alternatif yang dianjurkan adalah temazepam, lorazepam, oxazepam
b Alternatif yang dianjurkan fluvastatin, pitavastatin, and pravastatin (kecualin pravastatin dengan DRV/r) memiliki interaksi obat minimal. Gunakan
atorvastatin and rosuvastatin dengan hati-hati; mulai dengan dosis terendah dan titrasi sesuai toleransi dan efikasi

Sampai disini peserta dapat mengerjakan


Latihan Penatalaksanaan Efek samping dan
Interaksi Obat, sesuai dengan petunjuk yang
ada pada fasilitator

47
POKOK BAHASAN 4. TATALAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIS (IO) DAN KOMORBID

Infeksi Oportunistik adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit
pada orang dgn sistem kekebalan yang normal (sehat), tetapi dapat mengenai orang dengan
sistem kekebalan yang tertekan.

Selain membahas tatalaksana IO yang sering terjadi, juga akan dibahas mengenai pengobatan
pencegahan IO, yaitu Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) dan Pengobatan
Pencegahan Isoniazid (PP INH).

Penyebab IO adalah:
 Bakteri/Mycobacterium
• Salmonella
• Mycobacterium Avium Complex
• Tuberkulosis
 Jamur
• Candida albicans
• Pneumocystis jiroveci
• Aspegillus
• Cryptococcus
• Histoplasma
 Protozoa
 Toksoplasma
 Cryptospodia
 Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex
 Herpes zoster
 Hepatitis
 Human Papilloma Virus
 Keganasan
 Sarkoma Kaposi
 Limfoma

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV. Berbagai
penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada

48
beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan
pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis
dan infeksi bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian
kotrimoksasol. Pada tabel 30 berikut dapat dilihat rekomendasi pemakaian kotrimoksazol untuk
berbagai kelompok usia.

Tabel 30. Rekomendasi Pemakaian Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

Kriteria Kriteria
Usia Dosis Monitoring
inisiasi pemberhentiana

Dosis
Semua bayi, Sampai risiko transmisi
Bayi trimetoprim 4-6 Dilihat klinis
dimulai usia 6 HIV berakhir atau
terpajan mg/kgBB sekali dengan interval
minggu setelah infeksi HIV sudah
HIV sehari (sesuai tiap 3 bulan
lahir disingkirkan
IDAI)
Sampai usia 5 tahun
Bayi HIV b
Semua bayi tanpa melihat % CD4
<1 tahun c
atau gejala klinis
Stadium klinis Dosis
WHO 2,3 dan 4 trimetoprim 5 Dilihat klinis
tanpa melihat % mg/kg BB sekali dengan interval
Anak HIV CD4 atau sehari Bila CD4 mencapai > tiap 3 bulan
1-5 tahun Stadium klinis 25%
WHO berapapun
dan CD4 <25%
b
Atau semuanya
Stadium klinis Jika CD4 ≥ 200
3
WHO berapapun sel/mm setelah 6
d
dan CD4 <200 Anak: bulan ARV
3d
sel/mm trimetoprim 5 Jika tidak tersedia
Atau stadium pemeriksaan CD4, Dilihat klinis
> 5 tahun- mg/kgBB sekali
klinis WHO 2, 3 PPK diberhentikan dengan interval
dewasa sehari
atau 4
b
setelah 2 tahun ART tiap 3 bulan
Dewasa: 960
Tuberkulosis mg sekali sehari Sampai pengobatan TB
aktif, berapapun selesai apabila CD4 >
3d
nilai CD4 200 sel/mm

Catatan:
a kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau
HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.
b pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada pelayanan dengan prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat
penyakit-penyakit infeksi, atau pelayanan dengan infrastruktur terbatas.
c jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau toksoplasmosis
d pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3.

Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3;
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna

49
untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan efek samping yang tumpang
tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai
efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

Tatalaksana Ko-infeksi TB
Prinsip tata laksana pengobatan TB pada ODHA sama seperti pasien TB umumnya. Obat TB
pada ODHA sama efektifnya dengan pasien TB.
Yang membedakannya adalah bahwa untuk Odha yang menderita TB, untuk fase lanjutan
pemberian Obat Anti TB diberikan setiap hari.

Pemberian Pengobatan Pencegahan INH (PP INH)

Dalam rangka mencegah meningkatnya prevalensi TB pada ODHA, semua ODHA yang setelah
dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB aktif, dan ODHA yang memiliki kontak erat
dengan pasien TB harus diobati sebagai infeksi TB laten dengan INH 300 mg/hari selama 6
bulan. Isoniazid dosis 300 mg untuk PP INH diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180
dosis). Vitamin B6 diberikan dengan dosis 25 mg perhari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari
sekali untuk mengurangi efek samping INH. Tindakan ini kita sebut sebagai profilaksis primer.
Dan ODHA yang baru menyelesaikan pengobatan TBnya dan dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap juga diberikan PP INH, dan ini disebut sebagai profilaksis sekunder..
Pemantauan pengobatan PP INH ini dilakukan selama dan setelah pemberian PP INH dengan
tujuan untuk memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek samping secara dini.
Pemantauan dilakukan setiap kunjungan selama 6 bulan pengobatan. Efek proteksi dari
pemberian PP INH bertahan sampai dengan 3 tahun, sehingga pemberian PP INH ulang dapat
dilakukan setelah 3 tahun.

Kontraindikasi PP INH adalah sebagai berikut:


1. TB aktif
2. Klinis yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi hati
3. Neuropati perifer berat
4. Riwayat alergi INH
5. Riwayat resistan INH

50
Bagan 3. Alur Tata Laksana Pemberian PP INH pada ODHA

51
Tatalaksana Kandidiasis Oral dan Esofageal

Terapi:
a. Kandidiasis orofaring
 Pilihan (7-14 hari):
 Fluconazole 100 mg PO 1x/hari
 Itraconazole oral solution 200 mg PO 1x/hari
 Clotrimazole troches 10 mg PO 5x/hari
 Nystatin suspensi 4-6 mL 4x/hari atau 1-2 flavored pastilles 4-5x/hari
 Jika refrakter dgn fluconazole:
 Itraconazole oral solution ≥200 mg PO 1x/hari
 Amphotericin B 0,.3 mg/kg IV 1x/hari
b. Kandidiasis esofagus:
 Diperlukan terapi sistemik
 Pilihan (14-21 hari):
 Fluconazole 100 mg (sampai 400 mg) PO atau IV 1x/hari
 Itraconazole oral solution 200 mg PO 1x/hari*
 Voriconazole 200 mg PO 2x/hari*
 Caspofungin 50 mg IV 1x/hari

Koinfeksi Hepatitis B dan C


Koinfeksi HBV pada ODHA berapapun jumlah CD4-nya mempunyai indikasi untuk memulai
pengobatan ARV. Pilihan pengobatan ODHA dengan koinfeksi HBV adalah pemberian paduan
ARV yang terdiri dari dua obat yang aktif terhadap HIV dan HBV, tanpa memandang jumlah
HBV DNA. Pilihannya adalah kombinasi Tenofovir dengan salah satu dari Lamivudin atau
Emtricitabin, dengan tujuan menghindari resistansi.
Terapi HCV dapat diberikan pada Odha dengan terapi ARV yang sudah stabil. Kondisi stabil
didefinisikan sebagai teratasinya infeksi oportunistik, peningkatan jumlah CD4, dan teraturnya
penggunaan ARV. Pada ODHA yang sudah stabil dalam ARV, namun CD4 belum mencapai
350 sel/mm3, terapi HCV dapat dimulai jika CD4 sudah di atas 200 sel/mm3.

Tatalaksana Diare Kronik


 Terapi diare kronik adalah rehidrasi, simtomatik dan terapi sesuai dengan etiologi.
 Diare kronik tanpa perdarahan dapat diberikan terapi empiris kotrimoksasol atau
metronidazol.
 Diare kronik disertai perdarahan dapat diberikan siprofloksasin sebagai terapi empiris
shigella, tetapi harus hati-hati pada pasien dengan kemungkinan tuberkulosis. Dapat
diberikan juga metronidozol jika dicurigai kolitis amuba.
 Jika pengobatan di atas tidak memberikan respon, rujuk ke rumah sakit rujukan ARV.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan Latihan Penatalaksanaan IO,


sesuai dengan petunjuk Latihan yang ada pada fasilitator

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI, 2015, Buku saku Program Pengendalian HIV dan IMS di Fa-
silitas Kesehatan tingkat pertama
2. Kementerian Kesehatan RI, 2014, Permenkes Nomor 87, thn 2014 tentang Pedoman
Pengobatan ARV
3. Kementerian Kesehatan RI, 2014, Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak
4. Kementerian Kesehatan RI, 2014, Permenkes RI Nomor 87, tahun 2014 tentang Pedoman
Pengobatan ARV
5. Kementerian Kesehatan RI, 2013, Permenkes Nomor 21, tahun 2013, Penanggulangan HIV-
AIDS
6. Kementerian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual

53

Anda mungkin juga menyukai