Tatalaksana HIV
Skrining, Diagnosis dan Pengobatan
I. Pengantar
Untuk mencapai salah satu tujuan program pengendalian dan pencegahan HIV AIDS pada tahun
2030, yaitu meniadakan kasus infeksi baru dan target pada tahun 2027, 90% ODHA sudah
mengetahui status HIVnya, maka upaya yang dilakukan diantarany adalah dengan memperluas
dan meningkatkan tes HIV di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian perlu upaya
peningkatan kemampuan tenaga kesehatan di fasyankes dalam melakukan penemuan kasus dan
diagnosis HIV.
TUJUAN KHUSUS
1. Memberikan layanan tes HIV
2. Memberikan layanan Terapi Antiretroviral (ARV)
V. Uraian Materi
SKRINING HIV
Dalam membangun Konsep tes HIV, terlebih dahulu harus dipahami tentang karakteristik penyakit
HIV, yaitu suatu penyakit infeksi dengan ciri-ciri:
Karakteristik penyakit HIV tersebut perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam membangun
bentuk layanan tes HIV yang meliputi beberapa aspek yaitu:
Dalam tingkat layanan baik di fasyankes primer maupun lanjutan, kegiatan pengendalian berupa:
penemuan kasus; pemberian ARV maupun penanganan infeksi oportunistik. Layanan tes HIV di
fasyankes dibangun terintegrasi sesuai dengan tatanan layanan kesehatan.
1. Terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada tanpa menciptakan sistem yang
baru, sebagai contoh pasien HIV tetap mengantri dan mendaftar, catatan medis pasien HIV
diletakkan di unit rekam medis, tidak perlu laboratorium dan unit farmasi yang khusus untuk
program HIV.
2. Terintegrasi untuk tujuan penemuan kasus, dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan di semua
poli rawat jalan, seperti poli DOTS, klinik hepatitis, klinik kebidanan dan kandungan, klinik Paru
dan rawat inap.
3. Terintegrasi dalam pengobatan dan pencatatan, dilakukan dalam poliklinik terpadu dengan
penyakit lainnya seperti poli TBC-HIV-IMS. Integrasi dalam pengobatan diperlukan karena
memerlukan tindak lanjut untuk mencegah pasien hilang dan adanya pencatatan, pelaporan
4. Layanan tes HIV wajib dilakukan bersama dengan layanan IMS, dimana semua pasien HIV, ibu
hamil, populasi kunci apapun status HIVnya wajib dilakukan pemeriksaan IMS.
Pendekatan dan penemuan kasus HIV yang harus dijalankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas
layanan kesehatan, selama ini dikenal dengan TIPK (Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). TIPK
menjadi prioritas layanan tes HIV, namun tetap memungkinkan dilaksanakannya KTS sesuai
dengan kebutuhan pasien/klien. Selanjutnya, agar tidak terjadi kerancuan akan digunakan satu
istilah yaitu layanan tes HIV, untuk memperbaharui istilah “konseling dan tes HIV”. Setiap tenaga
kesehatan wajib meminta pasien melakukan tes HIV sebagai prosedur rutin pada populasi: pasien
TBC, Ibu Hamil, populasi Kunci, pasien IMS, dan pasangan ODHA.
Sebagai tambahan dalam pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM), maka setiap orang dengan
risiko terinfeksi HIV mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada orang dengan risiko terinfeksi HIV sesuai standar meliputi:
Pasien yang berada di rawat jalan atau rawat inap dengan kriteria sebagai berikut, diberikan
informasi tentang tes HIV dan lakukan tes HIV:
1. Ibu hamil, yaitu setiap perempuan yang sedang hamil.
2. Pasien TBC, yaitu pasien yang terbukti terinfeksi TBC dan sedang mendapat pelayanan
terkait TBC
3. Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), yaitu pasien yang terbukti terinfeksi IMS selain HIV
dan sedang mendapat pelayanan terkait IMS
4. Penjaja seks, yaitu seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan orang lain
sebagai sumber penghidupan utama maupun tambahan, dengan imbalan tertentu berupa
uang, barang atau jasa
5. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), yaitu lelaki yang pernah berhubungan
seks dengan lelaki lainnya, sekali, sesekali atau secara teratur apapun orientasi seksnya
(heteroseksual, homoseksual atau biseksual
6. Transgender/Waria, yaitu orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang
berbeda dengan jenis kelamin atau seksnya yang ditunjuk saat lahir, kadang disebut juga
transeksual.
7. Pengguna napza suntik (penasun), yaitu orang yang terbukti memiliki riwayat
menggunakan narkotika dan atau zat adiktif suntik lainnya.
8. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), yaitu orang yang dalam pembinaan
pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dan telah mendapatkan vonis tetap
Sebagai tambahan beberapa keadaan yang juga perlu dilakukan pemeriksaan HIV adalah:
Bagi pasien yang memberikan persetujuan secara lisan, berikan rujukan ke laboratorium untuk
pemeriksaan darah atau lakukan langsung pemeriksaan skrining dengan 1 reagen dengan
sensitivitas tertinggi (≥ 99%). Petugas yang meminta tes atau melakukan tes, memberikan
penjelasan makna hasil tes baik pada hasil positif maupun negatif.
Bagi pasien yang menolak tes HIV, mintakan tanda tangan yang menyatakan mereka menolak
pemeriksaan.
Penemuan kasus
Berdasarkan cara penularan HIV dan dampak HIV terhadap kesehatan pasien, maka penemuan
kasus wajib dilakukan terhadap:
1. Semua penyakit atau kondisi yang didapat melalui hubungan seksual, yaitu IMS, hepatitis,
kehamilan
2. Semua penyakit atau kondisi yang didapat dari darah, yaitu tranfusi darah, pengguna
narkotik suntik
3. Infeksi oportunistik yang timbul sesuai dengan stadium HIV seperti TBC paru
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok yang perlu dicari adalah kelompok ibu hamil, pasien
TBC, pasien hepatitis, pasien IMS, populasi kunci dan pasangan orang dengan HIV (mohon dilihat
bagan alur layanan test kotak kelompok pasien). Fasilitas layanan yang perlu melakukan
penemuan kasus adalah poli Kebidanan, poli TBC, poli umum/penyakit dalam (penemuan penyakit
Infeksi oportunistik), poli IMS, poli anak, poli tumbuh kembang, poli saraf beserta bangsal dari
masing masing bagian serta lembaga pemasyarakatan.
Secara aktif, penemuan kasus membutuhkan dua aspek yaitu supply dan demand. Suplai kasus
dilakukan dengan upaya marketing dan promosi kesehatan untuk secara berkala menampilkan
tempat layanan tes dan manfaat penemuan kasus dini dan obat ARV. Kerja sama dengan pihak
lain seperti LSM, kader posyandu juga merupakan upaya promosi kesehatan dan strategi
marketing untuk menjaring kasus baru. Penemuan kasus mengikuti konsep LKB, yaitu konsep
wilayah kabupaten/kota, jadi yang harus ditemukan adalah kelompok-kelompok sasaran yang ada
di wilayah kabupaten/kota, bukan hanya yang datang ke fasyankes pemerintah.
Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada ibu hamil:
• Semua ibu hamil yang datang di poli KIA untuk ANC, dilakukan tes HIV. Tes HIV bersamaan
dengan tes Sifilis dan Hepatitis B (Triple Elimination).
• Mewajibkan fasilitas layanan kesehatan swasta melakukan tes HIV setidaknya untuk triase,
termasuk memberikan laporan ke Puskesmas wilayah setempat kecuali yang sudah memiliki
SIHA (Sistim Informasi HIV AIDS) dan Dinas Kesehatan akan bertanggung jawab untuk
mengatur sistim pelaporan
• Kerjasama dengan dokter maupun bidan praktik swasta di wilayah fasyankes, dengan cara
sebagai berikut:
1) Swasta melakukan tes R1, kemudian dirujuk ke fasyankes
2) Swasta melakukan rujukan spesimen untuk tes HIV ke fasyankes
3) Swasta melakukan rujukan pasien untuk tes HIV ke fasyankes
• Tes HIV pada semua pasangan ibu hamil HIV reaktif
• Skrining HIV dan IMS di klinik keluarga berencana dan membuat laporan
Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada pasien IMS
• Setiap pasien dengan keluhan dan gejala IMS di tes HIV
• Semua pasien yang diperiksa IVA diperiksa IMS
• Setiap yang datang untuk KB IUD di tes IMS.
• Bekerjasama dengan dokter praktik swasta,
• Pasien dengan kelainan kulit seperti: PPE, dermatitis seboroik, dll, di tes IMS
Setiap ditemukan pasien IMS, di tes HIV
Klasifikasi Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV ada dua tujuan yaitu 1) Tes untuk tujuan
skrining, yaitu mendeteksi orang yang diduga terinfeksi sebanyak mungkin dan 2) Tes untuk
memberikan konfirmasi bahwa orang yang diduga memang mempunyai antibodi spesifik
terhadap bagian virus HIV. Hasil yang pertama disebut mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk
mencegah negatif palsu dan yang kedua mempunyai spesifisitas yang tinggi untuk mencegah
positif palsu. Penggunaan semua klasifikasi diatas untuk kepentingan diagnosis dengan
menggunakan 3 rapid tes untuk antibodi HIV dapat menghasilkan hasil laboratorium yang kuat
dan terpercaya. Perlu adanya metode kendali mutu eksternal untuk menjaga kualitas
laboratorium.
DIAGNOSIS HIV
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C, sebagai berikut:
a. Consent
Consent disini mempunyai makna bahwa sebelum dilakukan tes HIV, pasien perlu mengerti alasan
dilakukan tes HIV. Petugas kesehatan wajib memberikan informasi guna menjelaskan alasan
mengapa pasien akan di lakukan tes. Kebijakan pemerintah dapat dijadikan landasan untuk
melakukan tes HIV.
Sama seperti penyakit lainnya, tahap ini berlangsung singkat, tanpa dilakukan konseling yang
panjang oleh konselor dan dapat dilakukan oleh semua petugas kesehatan. Pada tahap ini tidak
diperlukan penggalian evaluasi risiko dan konseling individu (4,5).
Persetujuan cukup diberikan secara lisan, dalam hal pasien menolak, diperlukan tanda tangan
dari pasien.
Tatanan hukum di Indonesia menegaskan batasan usia anak adalah 18 tahun, pemberian
informasi dan persetujuan untuk pasien < 18 tahun perlu melibatkan anggota keluarga atau wali
dari pasien. Wali adalah ayah kandung/ibu kandung/saudara kandung yang telah dewasa.
Untuk anak <18 tahun perlu ada wali yang utamanya keluarga, namun, jika tidak, baiknya ada
skrining awal dimana klinisi/tenaga kesehatan bisa mengkaji apakah anak ini sudah mampu
memutuskan sendiri. Diperlukan tanda tangan dan saksi (2 orang saksi, dari fasyankes dan atau
pendamping/LSM/ petugas Panti/Lapas.)
b. Confidentiality
Sama seperti penyakit lainnya, petugas kesehatan tidak diijinkan untuk membuka informasi
tentang pasien kepada orang yang tidak berkepentingan. Infeksi HIV bukan merupakan penyakit
yang berdiri sendiri dan dampak dari terinfeksi HIV adalah timbulnya infeksi oportunistik yang
akan menyerang organ tubuh lain sehingga memerlukan kerja sama dari bidang keahlian lain di
sarana kesehatan. Pasien perlu diberitahu sejak awal bahwa semua informasi terkait penyakit
akan di ketahui oleh petugas kesehatan yang berkepentingan untuk kepentingan perawatan dan
pengobatan.
Pembukaan status HIV kepada pasangan berpegang pada prinsip informasi kesehatan bersifat
rahasia, dan dapat dibuka kepada:
1. Yang bersangkutan
2. Tenaga kesehatan yang menangani
3. Keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap
4. Pasangan seksual
5. Pihak lain sesuai ketentuan perundang- undangan
Petugas kesehatan, pada waktu merencanakan untuk membuka status HIV pada pasangan perlu
melakukan evaluasi untuk kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dan membahas penyelesaian
ini dengan tim (6,7).
Pembukaan status HIV pasien pada pasangan seksual yang tetap, harus dilakukan oleh:
Pasien, setelah dilakukan edukasi oleh petugas.
Pasien yang dibantu oleh petugas
Tenaga kesehatan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pasien
Pembukaan status kepada pasangan, merupakan komunikasi dokter dengan pasien, dan dapat
memerlukan waktu lama. Tenaga kesehatan harus selalu menganjurkan pasien dengan HIV untuk
membawa pasangan.
c. Counselling
Pelaksanaan konseling atau edukasi kepada pasien pada tes HIV tidak menekankan dan tidak
memerlukan individual risk assessment dan konseling (4,5), tapi lebih ditekankan pada pemberian
informasi alasan dilakukan tes. Pemberian informasi, selain dilakukan oleh petugas kesehatan,
juga dapat menggunakan media yang lain seperti media sosial, brosur, pamflet, film dan lain lain.
Konseling pasca test disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter pasien. Pada pasien dengan tes
HIV positif, lebih ditekankan pada
Alur layanan tes HIV di fasyankes, digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Jelaskan makna hasil tes, jelaskan secara garis besar, apa langkah yang
akan dilakukan di layanan ARV beserta semua paket perawatan
Catatan:
*Tes anti HIV tetap dapat dilakukan pada individu lain yang membutuhkan
Periode Jendela
Periode jendela merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah tertular namun hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil negatif . Periode jendela dijumpai pada pemeriksaan laboratorium yang
mendeteksi antibodi terhadap HIV maupun antigen HIV (10).
Antibodi spesifik terhadap HIV mulai terbentuk beberapa hari setelah terjadinya penularan (10), akan
tetapi waktu pasti terbentuknya antibodi tergantung dari karakteristik virus, genetik dan karakteristik
pejamu (host) dan teknologi yang digunakan. Pada teknologi awal rapid tes diagnostik, antibodi terdeteksi
pada sekitar 6 – 12 minggu. Rapid test generasi ke empat mampu mendeteksi IgG, IgM dan antigen P24,
sehingga periode jendela menjadi dua minggu. Pada tes HIV generasi ke-3, tes ulang untuk periode jendela
dilakukan pada 4-6 minggu. Tes ulang untuk inkonklusif dilakukan 2 minggu kemudian.(referensi: HIV
testing, WHO, 2015)
Kementerian kesehatan saat ini menggunakan teknologi rapid tes generasi ketiga.
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologi
dan virologi.
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun metode pemeriksaan
serologis yang sering digunakan adalah :
Rapid test
EIA (Enzyme immuno assay))
Secara umum metode pemeriksaan rapid tes dan EIA adalah sama yaitu mendeteksi antibodi saja
(generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat), Western blot sudah tidak
digunakan lagi di Indonesia.
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV . Saat ini pemeriksaan DNA
HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah
yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis, dapat menggunakan
pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana
pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot[DBS]).
1. Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil reaktif
2. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi
Negatif palsu pada kasus terminal pada fase terminal (end stage), bukan merupakan periode jendela akan
tetapi kondisi negatif palsu (false negative) karena jumlah antibodi terlalu sedikit untuk dapat ditangkap
oleh rapid test atau EIA. Pada keadaan ini konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan virologis
atau pasien diobati sesuai dengan infeksi oportunistik yg ditemui.
Pemilihan jenis pemeriksaan laboratorium tergantung pada kondisi pasien, tipe rumah sakit dan kapasitas
dan fasilitas yang tersedia serta menggunakan laboratorium yang telah divalidasi baik oleh pemerintah.
Spesimen yang dapat digunakan untuk pemeriksaan HIV tes adalah Serum, plasma, darah segar baik dari
kapiler maupun dari vena. Tidak ada perbedaan hasil antara penggunaan serum, plasma maupun darah
segar (Nitika Pant Pai et all). Asalkan sesuai dengan prosedur.
Alur diagnosis HIV pada anak usia ≥ 18 bulan, remaja dan Dewasa
Sedangkan untuk bayi di bawah 18 bulan, Infeksi HIV dapat ditransmisikan pada bayi selama masa
kehamilan (in utero), saat persalinan (intra partum), dan melalui pemberian ASI (postpartum) (mother-to-
child transmission). Bayi yang menjalani program PPIA, perlu dilakukan penentuan statusnya (terinfeksi
atau tidak) dengan melakukan pemeriksaan laboratorium uji virologi pada usia 6 minggu, serta dilakukan
konfirmasi serologis pada usia 18 bulan
Alur Diagnosis HIV pada Bayi <18 Bulan dengan Uji Virologi
Tindak Lanjut Pasca Tes
Semua kegiatan tes baik untuk skrining/triase maupun untuk diagnosis wajib memberikan akses
perawatan dan dukungan. Hal ini merupakan penjelasan untuk konsep 5 C, dimana C terakhir adalah
menghubungkan penderita ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.
Pada layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, petugas melakukan serial kegiatan yang merupakan
satu kesatuan paket layanan yaitu:
Setelah mendapatkan hasil yang negatif, maka petugas layanan kesehatan harus mampu mendorong
pasien untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, dan perlunya penjelasan terkait kewaspadaan diri.
Beberapa yang dapat dilakukan petugas kesehatan antara lain:
3. Pemberian Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan obat yang diberikan untuk tujuan pencegahan beberapa penyakit
infeksi oportunistik yaitu Pnemonitis jirovecii (PCP), Toxoplasmosis, Salmonelosis, isospora beli
dan malaria bagi penderita yang tinggal di daerah endemis malaria.
4. Notifikasi pasangan
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan cakupan testing, memberikan akses pengobatan jika
pasangan sudah tertular.
Pengulangan tes HIV dengan pemeriksaan antibodi perlu mempertimbangkan beberapa aspek seperti
status epidemi, kelompok pasien yang di tes HIV,cakupan tes,pengobatan ARV dan teknologi tes yang
digunakan. Pemerintah Indonesia untuk pemeriksaan dengan rapid tes sudah menggunakan teknologi
dari generasi ke 3 baik untuk tes pertama, kedua maupun ketiga sehingga kesalahan dan periode jendela
bisa dikurangi.
Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes inkonklusif dilakukan 14 hari (2 minggu) setelah tes
pertama, Jika hasil tes tetap inkonklusif pada tes kedua maka hasil tes dianggap negatif, kecuali pada
pasien yang menunjukkan gejala dan tanda-tanda AIDS perlu dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan
lanjutan, yaitu: pemeriksaan HIV DNA, RNA atau NAT (1).
Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes negatif tidak perlu dilakukan (18,19,20) kecuali pada
populasi kunci, pasien dengan IMS atau keluhan IMS, ibu hamil di Tanah Papua. Anjuran tes HIV untuk
populasi kunci diberikan setidaknya sekali dalam setahun. Tantangan untuk hal ini adalah menempatkan
apakah pasien dalam risiko tinggi untuk terpajan HIV. Pada pasien diluar kelompok diatas, mengingat
prevalensi HIV di Indonesia adalah rendah, pengulangan tes tidak direkomendasikan untuk dilakukan.
Pengulangan tes pada periode jendela untuk pasien diluar populasi kunci tidak diperlukan (1)
Pokok Bahasan 2. Terapi ARV
I. Tatalaksaana saat kunjungan pertama di layanan ARV
Pemberian obat ARV merupakan salah satu paket layanan yang wajib diberikan untuk semua
orang yang sudah terdiagnosis HIV.
Terapi antiretroviral (ARV) telah dibuktikan memberikan manfaat bagi individu (penurunan
kesakitan dan kematian) dan bagi kesehatan masyarakat (penurunan risiko penularan). Saat ini
terapi ARV diindikasikan kepada semua pasien yang terinfeksi HIV tanpa memandang stadium
klinis atau jumlah sel CD4. Memulai terapi ARV dini terbukti memberikan manfaat lebih baik
dibandingkan dengan menundanya, terutama pada kelompok pasien dengan HIV lanjut dan ibu
hamil. ARV dini terbukti memperkecil jumlah virus pada organ-organ penampung (reservoir)
sehingga lebih sedikit virus yang dihasilkan saat reaktivasi.
Kepatuhan minum obat merupakan kunci agar tujuan pemberian ARV dapat tercapai. Petugas
kesehatan perlu melakukan kajian terus menerus untuk melakukan prediksi pasien tidak patuh
minum obat termasuk birokrasi kesehatan yang seringkali merupakan penyebab tersering pasien
tidak patuh selain factor sosial ekonomi yang ada pada pasien.
Saat ini obat ARV telah tersedia di semua provinsi di Indonesia dan jumlah layanan kesehatan
yang dapat memberikan terapi ARV terus ditingkatkan untuk mengurangi kendala jarak pada
pasien. Obat ARV yang disediakan di layanan ARV diberikan secara gratis untuk mengurangi
kendala biaya pada pasien.
Layanan kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi dan menatalaksana hambatan dari sisi
klinis dan psikis pasien untuk mengurangi ketidakpatuhan tersebut. Kondisi klinis dan gangguan
organ akibat penyakit, efek samping obat, dan sindrom pulih imun (immune reconstruction
inflamatory syndrome/IRIS) merupakan hambatan dalam kepatuhan terhadap terapi ARV. Untuk
mengurangi ketidaknyamanan pasien setelah mendapatkan ARV, harus dilakukan kajian sebelum
memulai terapi ARV.
Penjelasan lebih terinci terkait status HIV agar pasien mengerti arti status HIV
Melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari ada tidaknya infeksi oportunistik dan memberikan
pengobatan untuk infeksi oportunistik jika ditemukan infeksi oportunistik
Menetapkan stadium klinis HIV
Melakukan skrining TB dan memberikan INH 300 mg untukprofilaksis selama 6 bulan jika hasil
skrining tidak menunjukkan adanya TB dan tidak ada kontraindikasi pemberian INH
Melakukan skrining untuk hepatitis B dan C
Memberikan kotrimoksasol untuk tujuan profilaksis terhadap beberapa infeksi oportunistik
Mempertahankan berat badan dan edukasi terkait gizi
Melakukan notifikasi pasangan
Memberikan ARV dan menjelaskan rencana monitoring dan pemantauan efek samping
Pengkajian klinis difokuskan pada tanda dan gejala terkait infeksi HIV pada berbagai sistem organ:
Profilaksis Kotrimoksazol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian integral dari pelayanan HIV, termasuk terapi
ARV. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa
rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa,
wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat
untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Penggunaan profilaksis
kotrimoksasol pada ODHA dengan TB paru BTA positif di Abijan memperlihatkan penurunan anka
kejadian infeksi oportunistik dan rawat inap serta penurunan angka kematian sebesar 50%.
ODHA dengan TB 960mg sekali • Inisiasi pada semua TB • Sesuai dengan kriteria
sehari aktif berapapun jumlah penghentian pada
CD4 dewasa dan anak
a
Kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia
atau pansitopenia berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat,
penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.
b
Stabil secara klinis adalah ODHA dengan ART paling sedikit 1 tahun tanpa adanya penyakit pada stadium
klinis 3 atau 4 dan jumlah CD4 > 200 sel/mm3.
c Pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 yang digunakan
adalah <350 sel/mm3.
Profilaksis Isoniazid
Indonesia termasuk negara dengan beban tinggi Tuberkulosis (TB), dengan insidensi 187/100.000
penduduk dan prevalensi 281/100.000 penduduk pada tahun 2011. Koinfeksi TBC sering terjadi pada
Orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan berdasarkan estimasi WHO lebih dari 25% kematian pada ODHA
disebabkan oleh TBC. ODHA lebih berisiko sekitar 30 kali untuk mengalami TBC dibandingkan dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV. Sebagai respons terdapatnya epidemi ganda HIV dan TB, World Health
Organization (WHO) merekomendasikan 12 aktivitas kolaborasi TB/HIV yang salah satu diantaranya
adalah profilaksis dengan Isoniazid (PP INH).
Dalam rangka mencegah meningkatnya prevalensi TB pada ODHA, sesuai ISTC semua ODHA yang setelah
dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB aktif, dan ODHA yang memiliki kontak erat dengan pasien
TB harus diobati sebagai infeksi TB laten dengan INH 300 mg/hari selama 6 bulan. Isoniazid dosis 300 mg
untuk PP INH diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180 dosis). Vitamin B6 diberikan dengan dosis 25
mg perhari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari sekali untuk mengurangi efek samping INH.
Pemantauan pengobatan PP INH ini dilakukan selama dan setelah pemberian PP INH dengan tujuan untuk
memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek samping secara dini. Pemantauan dilakukan setiap
kunjungan selama 6 bulan pengobatan. Efek proteksi dari pemberian PP INH bertahan sampai dengan 3
tahun, sehingga pemberian PP INH ulang dapat dilakukan setelah 3 tahun.
Gambar 1. Alur Tata Laksana Pemberian PP INH pada ODHA
Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (meningitis TB atau TB milier) sehingga
diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Kriteria pemberiannya
terdapat dalam tabel 31 sebagai berikut:
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika
terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap
sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke paduan terapi TB anak dimulai
dari awal
Jika PP INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka PP INH dapat
dihentikan. Imunisasi BCG, tidak diberikan pada anak terinfeksi HIV
Notifikasi Pasangan
Penelusuran kontak (contact tracing) merupakan suatu metoda yang mempunyai peran penting dalam
penemuan kasus dan pengendalian penyakit infeksi. Tuberkulosis dan Infeksi menular seksual merupakan
salah satu contoh penyakit dan program kesehatan yang menerapkan penelusuran kontak untuk
penemuan kasus dan upaya pemberian obat sedini mungkin dalam upaya memutuskan rantai penularan.
Partner notifikasi merupakan istilah yang digunakan dalam program HIV yang mempunyai tujuan yang
sama yaitu mendorong pasien untuk memberitahu status HIV mereka dan bisa mengajak pasangan untuk
dilakukan testing dan mendapatkan pengobatan jika hasil tes HIV menunjukkan hasil positif.
Kemajuan dalam pengobatan HIV, riset terhadap pencegahan dengan menggunakan ARV menjadikan
notifikasi pasangan menjadi suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Notifikasi pasangan sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh pasien.
Pendekatan Notifikasi pasangan diberikan dengan pendekatan pasif atau dibantu oleh tenaga kesehatan.
Layanan notifikasi pasangan yang dibantu tenaga kesehatan meningkatkan cakupan tes HIV pada
pasangan pasangan HIV positif dan sebagan besar pasangan ini didiagnosis HIV positif.
Pendekatan pasif, adalah pada pendekatan ini pasien HIV positif didorong oleh tenaga kesehatan untuk
membuka status pada pasangan seks atau teman-teman menyuntik dan mendorong pasangan/teman-
teman tersebut melakukan tes HIV, mengingat risiko terinfeksi HIV.
Pendekatan dengan bantuan tenaga kesehatan, adalah ketika pasien menyetujui untuk dibantu oleh
tenaga kesehatan membuka status atau secara anonymous memberitahu pasangan seks atau teman
mereka berbagi suntikan. Kemudian tenaga kesehatan akan menawarkan tes HIV kepada pasangan atau
teman berbagi suntikan. Pendekatan ini dilakukan menggunakan:
1. Rujukan dengan kontrak. Pasien dengan HIV positif menandatangani kontrak dengan tenaga
kesehatan dan setuju untuk membuka status kepada pasangan oleh mereka sendiri dan merujuk
pasangan untuk tes HIV dalam waktu 1 bulan. Jika pasangan dari pasien tidak mengakses layanan
HIV atau tidak menghubungi tenaga kesehatan dalam jangka waktu tersebut maka tenaga kesehatan
akan menghubungi pasangan dan menawarkan tes HIV
2. Rujukan tenaga kesehatan. Dengan persetujuan pasien HIV positif tenaga kesehatan terlatih secara
konfidensial menghubungi pasangan secara langsung dan menawarkan tes HIV
3. Rujukan ganda (Dual referral). Tenaga kesehatan terlatih menemani dan memberikan dukungan pada
pasien HIV positif ketika mereka membuka statusnya. Tenaga kesehatan juga menawarkan tes HIV
kepada pasangan.
Penemuan kasus berkaitan dengan notifikasi pasangan akan dibahas secara lebih rinci
Pemberian ARV
Terapi ARV dikembangkan untuk menghambat pada berbagai tahap siklus hidup HIV. ARV dikelompokkan
berdasarkan kerjanya dalam menghambat siklus hidup HIV menjadi:
1. Entry Inhibitor
a. Enfuviritide
b. Ibalizumab
c. Maraviroc
2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
a. Abacavir
b. Emtricitabine
c. Lamivudine
d. Tenovofir
e. Zidovudin
3. Non-nucloside Rerverse Transcriptase Inhibitor
a. Efavirenz
b. Etravirine
c. Rilpivirine
d. Doravirine
4. Integrase Inhibitor
a. Bictegravir
b. Dolutegravir
c. Elvitegravir
d. Raltegravir
5. Protease Inhibitor
a. Atazanavir
b. Darunavir
c. Lopinavir
6. Pharmacologic Booster
a. Cobicistat
b. Ritonavir
Hingga saat ini regimen ARV tidak bersifat kuratif karena adanya virus HIV di dalam organ-organ
penampung (reservoir) seperti di sistem saraf pusat dan gonad dimana ARV tidak dapat menembus
dengan baik. Tujuan dari pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus dalam darah hingga ke
jumlah paling rendah untuk jangka waktu selama mungkin. Penekanan virus yang maksimal akan
membuat virus sulit untuk menjadi resisten. Penekanan virus yang tidak maksimal akan memunculkan
populasi virus mutan yang resisten/kebal.
Kombinasi ARV adalah terapi standar infeksi HIV. Monoterapi dan kombinasi regimen ARV yang kurang
potensi penekanan virusnya akan menyebabkan timbulnya virus yang resisten dalam hitungan waktu
mingguan hingga bulanan.
ARV Dewasa
Indikasi memulai pengobatan ARV adalah semua penderita yang terkonfirmasi positif HIV TANPA
melihat stadium klinis dan nilai CD4
Lini Pertama
Saat ini rejimen lin pertama mengandung TDF+3TC+EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap merupakan
pilihan untuk memulai terapi ARV.
Efavirenz
Saat ini yang ada di Indonesia adalah efavirenz 600mg dengan efek samping sakit kepala, ruam kulit, dan
gangguan fungsi hati yang minimal tergantung dari dosisnya. Untuk mengurangi efek samping tersebut
akan hadir efavirenz 400mg yang terbukti memberikan supresi virus yang sama namun dengan efek
samping yang lebih sedikit. Namun penggunaan efavirenz 400mg harus diganti menjadi efavirenz 600mg
saat terdapat infeksi tuberkulosis yang menggunakan rifampicin.
Nevirapine.
Dosis terapeutik nevirapine adalah 2x200mg per hari. Untuk menghindari efek samping hepatotoksisitas,
nevirapine diberikan dengan cara lead in dose 1x200mg selama 14 hari, selanjutnya dinaikkan menjadi
2x200mg jika tidak ada efek samping. Nevirapine berinteraksi dengan Rifampicin (kadar nevirapine
menurun), sehingga harus diganti dengan efavirenz 600mg jika terjadi koinfeksi tuberkulosis.
Nevirapine sering menimbulkan ruam kulit, bahkan pada pasien dengan nilai CD4 > 500/mm3 sering
ditemui Sindroma Stevens Johnson (SSJ), sehingga tidak digunakan untuk pengobatan profilaksis pasca
pajanan.
Karena alasan tersebut penggunaan nevirapine akan dihilangkan secara bertahap.
Rilpivirine.
Rilpivirine dihadirkan sebagai subtitusi bagi pasien yang tidak bisa mendapat efavirenz dan nevirapin.
Rilpivirine tidak digunakan sebagai inisiasi terapi ARV karena obat ini efektif pada pasien dengan kondisi
CD4 >200/mm3 atau viral load <100.000/mm3.
Rilpivirine, di Indonesiat digunakan sebagai subtitusi setelah penggunaan nevirapine atau efavirenz
selama 1 minggu, dengan alasan sebagai berikut:
- Pada pasien stadium klinis 1 dan 2, jumlah viral load rata-rata <50.000/mm3 dan jumlah tersebut
semakin berkurang dengan pemakaian ARV selama 1 minggu
- Efek samping akut dari penggunaan efavirenz dan nevirapin terjadi pada minggu pertama
penggunaan.
Pemerintah merencanakan untuk menggunakan Dolutegravir sebagai lini pertama. Rejimen yang
mengandung Dolutegravir digunakan HANYA pada pasien baru saja. Pasien lama yang menggunakan
rejimen mengandung Efavirenz dan stabil serta tidak ada keluhan efek samping TIDAK perlu diganti
dengan Dolutegravir
Alternatif yang dapat digunakan jika rejimen diatas tidak dapat digunakan adalah:
Dolutegravir.
Dolutegravir (DTG) memiliki profil resistensi baik, potensi supresi virus yang kuat, dosis sekali sehari yang
sederhana, dan harga yang relatif lebih murah. Dengan penggunaan DTG supresi virus dapat tercapai pada
minggu kedua pengobatan. Namun profil keamanan pada ibu hamil dan pasien dengan terapi TBC masih
belum tersedia.
Prinsip tatalaksana infeksi HIV adalah terlebih dahulu mengobati infeksi oportunistik dan selanjutnya
baru diberikan pengobatan ARV dan pengobatan pencegahan (profilaksis).
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapatkan ARV
sebelumnya (naive ARV).
Paduan ART lini pertama pada anak usia 3 tahun ke atas dan dewasa mengandung 2 NRTI
(Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor)+ 1 NNRTI (Non-nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor)
Tabel 3. ART lini pertama untuk dewasa dan remaja (10 – 19 tahun)
Terapi ARV lini pertama untuk dewasa dan remaja (10 – 19 tahun)
Paduan Pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc
Saat ini terdapat paduan ARV baru terdiri atas TDF+3TC/FTC+DTG (dolutegravir) yang berdasarkan
penelitian memiliki efek samping lebih sedikit dan lebih cepat di dalam menurunkan viral load. Namun,
program nasional belum menggunakan paduan ini dan sedang mempertimbangkan penggunaannya di
masa mendatang.
Tabel 4. ART lini pertama pada anak 3 – 10 tahun
* Jika anak telah berusia 3 tahun, maka LPV/r dapat diganti dengan EFV atau NVP
Tes laboratorium yang direkomendasikan untuk melihat efektivitas pengobatan ARV adalah
pemeriksaan jumlah Viral Load (VL) setelah 6 bulan, 12 bulan dan selanjutnya setiap tahun.
Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama mempunyai efek samping minimal (jarang
terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan kepatuhan
pengobatan.
Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa hari hingga minggu pertama atau kedua
setelah inisiasi hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi
toksisitas ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor
merupakan efek samping tersering yang menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat. Pemberian
informasi yang sederhana dan konseling terkait efek samping perlu dilakukan dengan benar dan
sederhana agar pasien tidak takut terhadap efek samping.
Subtitusi
Subtitusi adalah mengganti salah satu obat ARV lini pertama. Penggantian obat ini dilakukan dengan
alasan:
• Timbul efek samping berat.
• Terdapat interaksi obat seperti interaksi dengan rifampisin yg menurunkan kadar obat ARV.
• Kekosongan stok obat
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk melihat efek samping atau toksisitas obat ARV adalah:
Tabel 7. Derajat efek samping dan toksisitas ARV (kilinis dan laboratoris)
Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8 – 9,4 g/dl 7 – 7,9 g/dl 6,5 – 6,9 g/dl < 6,5 g/dl
KIMIA KLINIK
Bilirubin Total > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 x BAN
Glukosa (puasa) 110 – 125 mg/dl 126 – 250 mg/dl 251 – 500 mg/dl > 500 mg/dl
Hiperglikemi 116 – 160 mg/dl 161 – 250 mg/dl 251 – 500 mg/dl > 500 mg/dl
(sewaktu)
Kolesterol 200 – 239 mg/dl 240 – 300 mg/dl > 300 mg/dl -
Trigliserida - 400 -750 mg/dl 751 – 1200 mg/dl > 1200 mg/dl
Kreatinin > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 3 x BAN > 3 – 6 x BAN > 6 x BAN
Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
SGOT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN
SGPT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN
GGT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN
Fosfatase alkali 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN
Amilase > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2 x BAN > 2 – 5 x BAN > 5 x BAN
Lipase > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2 x BAN > 2 – 5 x BAN > 5 x BAN
GASTROINTESTINAL
RESPIRASI
Sesak napas Sesak napas Sesak napas pada Sesak napas Sesak napas
ketika latihan aktivitas normal waktu istirahat memerlukan
terapi oksigen
URINALISIS
LAIN-LAIN
Demam (oral, > 37,7 – 38,5oC 38,6 – 39,5oC 39,6 – 40,5oC > 40,5oC terus-
12 jam) menerus selama
> 12 jam
Sakit kepala Ringan, tidak Sedang ATAU Berat ATAU Sakit kepala
memerlukan memerlukan respon terhadap membandel
obat analgetika non- analgetika
narkotik narkotik
Ruam kulit Eritema, gatal Makulopapular Vesikulasi ATAU SALAH SATU dari:
difus ATAU deskwamasi
deskwamasi basah ATAU Mengenai
kering ulserasi membran
mukosa, suspek
Steven Johnson
(TEN), eritema
multiforme,
dermatitis
exfoilativa
Berikut dalam tabel 12 adalah toksisitas ARV lini pertama yang mungkin terjadi, faktor risiko, dan
pilihan substitusinya.
Tabel 8. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi pada dewasa dan anak usia 5 (lima)
tahun ke atas
Jenis
Tipe toksisitas Faktor Risiko Substitusi
ARV
Disfungsi tubulus ginjal - Sudah ada penyakit ginjal AZT atau ABC
sebelumnya
Sindrom Fanconi
- Usia lanjut
- IMT < 18,5 atau BB <50kg
- DM tak terkontrol
- Hipertensi tak terkontrol
- Penggunaan Bersama
dengan obat nefrotoksik
lain atau boosted PI
TDF Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan
mineral tulang fraktur patologis
Asidosis laktat atau - Penggunaan NRTI yang
hepatomegali dengan lama
steatosis - Obesitas
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena Gunakan alternatif
(hepatic flares) toksisitas lainnya pada obat hepatitis
koinfeksi hepatitis B lainya, seperti
entecavir
ABC Reaksi hipersensitivitas Gen HLA-B*5701 TDF atau AZT
AZT Anemia atau - Anemia atau neutropenia Dewasa: TDF
neutropenia berata, sebelum mulai terapi
miopati, lipoatrofi atau - Jumlah CD4 < 200 sel/mm3 Anak: ABC atau TDF
lipodistrofi (dewasa) jika berumur > 3
tahun
Intolerasi saluran cerna
beratb
Asidosis laktat atau - IMT > 25 atau BB >75kg
hepatomegali dengan (dewasa)
steatosis - Penggunaan NRTI yang
lama
EFV Toksisitas susunan saraf - Sudah ada gangguan NVP atau RPV (jika
pusat (seperti mimpi mental atau depresi berusia > 12 tahun)
buruk, depresi, bingung, sebelumnya
halusinasi, psikosis)c JIka ODHA tidak
- Penggunaan siang hari dapat mentolerir
Hepatotoksisitas - Sudah ada penyakit hati NNRTI lain, gunakan
sebelumnya LPV/rd atau 3 NRTIe
- Koinfeksi hepatitis B atau C
- Penggunaan Bersama obat
hepatotoksik lain
Kejang Riwayat kejang
Hipersensitivitas obatf Faktor risiko tidak diketahui
Ginekomasti pada lelaki
NVP Hepatotoksisitasg,h - Sudah ada penyakit hati NVP atau RPV (jika
sebelumnya berusia > 12 tahun)
- Koinfeksi hepatitis B atau C
JIka ODHA tidak
- Penggunaan Bersama obat dapat mentolerir
hepatotoksik lain NNRTI lain, gunakan
- Jumlah CD4 > 250 LPV/rd atau 3 NRTIe
sel/mm3 pada perempuan
- Jumlah CD4 > 400
sel/mm3 pada laki-laki
Hipersensitivitas obath Faktor risiko tidak diketahui
a
Anemi berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) atau < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat jika jumlah neutrofil <
500/mm3. Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b
Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter (berulang) dan berat yang dapat menghalangi minum
obat ARV (mual dan muntah persisten).
c
Toksisitas SSP ini bersifat self-limiting. Karena EFV menyebabkan pusing, dianjurkan untuk diminum pada
malam hari.
d
Penggunaan PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila sudah
terjadi kegagalan terapi.
e
Penggunaan 3 NRTI hanya dapat digunakan semnetara (paling lama 3 bulan) karena pada penggunaan
jangka panjang, paduan ini dapat menyebabkan gagal pengobatan
f
Ruam kecil sampai sedang dan toksisitas hati dapat diatasi dengan pemantauan, terapi simtomatik dan
perawatan suportif. Ruam yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau
reaksi mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh,
edema fasial, konjungtivitis seperti Sindrom Stevens-Johnson. Pada ruam yang berat, apalagi jika disertai
peningkatan SGOT >5 kali batas ambang normal (BAN), dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan
NVP atau EFV. Kedua obat NRTI lainnya diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan paduan ARV
berikutnya mengingat waktu paruh yang lebih pendek disbanding NVP atau EFV.
g
Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV yang
belum mencapai usia remaja.
h
Menaikkan secara bertahap dosis NVP atau yang disebut eskalasi dosis dapat menurunkan risiko toksisitas
Resiko terjadi sindom pulih imun berkisar antara 17 – 32% tergantung dari antigen penyebab. Sindrom
pulih imun mempunyai korelasi dengan nilai CD4, semakin rendah nilai CD4 semakin besar untuk
timbulnya IRIS. IRIS merupakan tanda keberhasilan pemberian ARV. IRIS timbul sebagai reaksi dari system
imun yang pulih karena menurunnya jumlah virus yang significan. Sistem imun yang pulih mengenali
antigen baik dari antigen yang mati atau hidup.
Tampilan klinis dari sindrom pulih imun adalah reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang timbul mengikuti
kuman penyebab, sebagai contoh jika kuman penyebab timbulnya IRIS adalah TB maka gejala yang timbul
adalah reaksi inflamsi pada organ dengan gejala perburukan dari TB.
Diagnosa IRIS menggunakan kriteria yaitu adanya reaksi inflamasi dan sudah mendapatkan ARV. Diagnosa
IRIS perlu disertai dengan kuman penyebab yang dicurigai contoh IRIS TB, IRIS PCP
Pengobatan IRIS adalah dengan penggunaan steroid metil prednisolone 0,5mg/kgBB/hari ditambah
dengan pengobatan kuman penyebab JIKA sebelum timbul IRIS kuman penyebab tidak diobati. Jika kuman
penyebab sudah diobati hanya diberikan steroid.
ARV dilanjutkan kecuali reaksi yang timbul mengancam jikwa maka ARV dihentikan sementara.
Kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam menjalani pengobatan,
sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk terapi ARV, kepatuhan yang tinggi sangat
diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan memperbaiki kondisi klinis dan imunologis; menurunkan
risiko timbulnya resistansi ARV; dan menurunkan risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan
adalah dukungan kepatuhan, tidak selalu penggantian ke obat ARV alternatif.
Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi kepatuhan
terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas,
depresi atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV
meliputi efek samping, banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu
diperhatikan pada populasi tertentu seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak,
serta populasi kunci (LSL, PS, dan Penasun).
Tatalaksana jika timbul Sindrom Pulih Imun adalah jangan menghentikan pengobatan ARV, dan
pengobatan infesi oportunisik yang ada atau baru timbul. Jika perlu dapat ditambah steroid jangka
pendek.
Pada pasien yang sudah stabil, ARV dapat diberikan untuk persediaan selama maksimal 3 bulan. Dengan
catatan, setelah 3 bulan pasien harus datang ke layanan (tidak boleh diwakilkan). Stabil dengan ART,
dengan kriteria: menerima ART paling sedikit 12 bulan; tidak ada efek samping obat yang memerlukan
monitoring teratur; pada saat ini tidak terjadi penyakit dan pengertian yang baik terhadap kepatuhan
pengobatan seumur hidup dan bukti keberhasilan pengobatan, yang ditunjukkan dengan pemeriksaan
viral load hasilnya tidak terdeteksi. Jika tidak tersedia pemeriksaan viral load, dapat dipergunakan jika ada
peningkatan jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 pada 2 kali berturut-berturut (jarak 6 bulan).
Faktor program
o Biaya yang diperlukan untuk retribusi fasyankes, transportasi
o Kebijakan program memberikan obat standar yang terdiri dari 3 macam obat, ada kalanya masih
ada yang memberikan 1 atau 2 macam ARV
o Kegagalan pengobatan seringkali terlambat diketahui berhubung tidak ada akses terhadap
pemeriksaan viral load yang dibutuhkan untuk switch ke paduan ARV lini kedua.
o Stok obat yang disediakan program seringkali terlambat datangnya, sehingga pemberi layanan di
fasyankes kadang-kadang hanya memberi 2 macam obat.
Faktor pasien
o Kepatuhan minum obatnya rendah
o Tidak mendapat informasi yang sesuai
o Toksisitas obat yang terjadi dapat menurunkan kepatuhan minum obat
o Absorpsi obat yang rendah atau terganggu
o Kemiskinan
o Stigmatisasi
o Sharing obat ARV dengan teman/pasangannya.
o Penyakit lainnya seperti TB, Malaria, Hepatitis, penyakit mental, ketergantungan opiate
o Super infeksi dengan strain lain (jarang)
Faktor virus
o Adanya HIV subtipe baru yang resistan terhadap obat ARV lini pertama
o Mutasi yang terjadi akan meningkatkan resistansi dan berhubungan dengan kapasitas replikasi
virus
Tabel 9. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV
GAGAL VIROLOGIS
Viral Load > 1000 kopi/mL berdasarkan pemeriksaan 2 kali berurutan dengan interval 3
bulan, dengan dukungan adherence yg baik setelah pemeriksaan ke-1, setelah paling
sedikit iniasisi ART 6 bulan
GAGAL IMUNOLOGIS
Dewasa dan Remaja
Jumlah CD4 < 250 sel/mm3 setelah gagal klinis atau CD4 persisten < 100 sel/mm3
Anak-anak
< 5 tahun
CD4 persisten < 200 sel/mm3
> 5 tahun
CD4persisten < 100 sel/mm3
GAGAL KLINIS
Dewasa dan Remaja
Munculnya IO baru atau berulang yg mengindikasikan defisiensi imun berat setelah 6
bulan pengobatan yg efektif
Anak-anak
Munculnya IO baru atau berulang yg mengindikasikan defisiensi imun berat atau lanjut
setelah 6 bulan pengobatan yg efektif
Alur pemeriksaan HIV RNA (Viral Load) untuk evaluasi terapi ARV
Obat ARV lini kedua diberikan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan terapi lini pertama.
Usia Anak Lini Pertama yang Lini Kedua Pilihan Lini Kedua
Gagal Alternatif
NVP)
Rejimen ARV untuk profilaksis pasca pajanan (PEP) dan pra pajanan (PrEP)
Profilaksis pasca pajanan yang didukung oleh pemerintah adalah pajanan karena kecelakaan kerja di
layanan kesehatan dan kasus pemerkosaan. Tes HIV wajib dilakukan sebelum diberikan profilaksis pasca
pajanan. ARV untuk PEP diberikan scepatnya, idealnya adalah 4 jam setelah pajanan dan maksimum 72
jam setelah pajanan. PEP diberikan selama 28 hari dan TIDAK boleh menggunakan Nevirapine. Selama
pemberian PEP pasien disarankan untuk menggunakan kondom jika ingin berhubungan sex untuk
menghilangkan periode jendela pada waktu pemeriksaan ulang tes HIV
TDF+3TC+LPV/r
Jika tersedia rejimen yang menggunakan Dolutegravir maka di berikan TDF+ 3TC+ DTG
Rejimen alternative jika tidak tersedia lopinavir/r atau dolutegravir adalah TDF+3TC+EFV
Pengulangan tes HIV dilakukan setelah selesai pemberian PEP. Jika negative tes HIV tidak perlu diulang
lagi.
Evaluasi yang dilakukan adalah pemantauan efek samping obat dan kepatuhan berobat.
PrEP diberikan sebelum seseorang terpajan HIV. Tantangan pemberian PrEP adalah memastikan bahwa
pasien TIDAK terinfeksi HIV. Perlu menghitung periode jendela yang benar untuk pemeriksaan ini guna
menyingkirkan kemungkinan pasien sudah terkena HIV.
PrEP diakui keberadaannya di Indonesia tetapi tidak disubsidi oleh pemerintah dan berbayar.
PrEP diberikan sebagai satu kesatuan layanan yang komprehensif dan utuh, artinya pasien perlu
dilakukan skrining IMS dan merekomendasikan bentuk pencegahan lain seperti kondom untuk
menghindari penularan IMS.
PrEP diberikan selama pasien masih melakukan tindakan beresiko. Kepatuhan berobat mutlak dievaluasi
secara regular untuk memastikan keberhasilannya.
Rejimen ARV yang diberikan untuk PrEP adalah TDF+3TC/FTC.
Pemantauan dilakukan untuk kepatuhan minum obat dan efek samping obat.
Stop
Penghentian pengobatan dilakukan dengan alasan toksisitas/efek samping yang berat, hamil, gagal
pengobatan, adherens yang buruk, masuk rumah sakit, stok obat habis, kekurangan biaya, dan
keputusan penderita. Obat golongan NNRTI memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga jika ingin
menghentikan ART yang berisi 2NRTI+NNRTI, maka NNRTI dihentikan lebih dahulu, dan setelah 1 minggu
kemudian 2 NRTI dapat dihentikan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Outcome after two years after providing antiretroviral
treatment in khayelithsa, South Africa. AIDS 2004,18: 887-895.
2. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Promoting adherence to anti retro viral therapy The
experience from a primary care setting in Khayelitsha, South Africa. AIDS 2004, 18 (suppl 3):
S27-S31
3. Medecins Sans Frontieres, Western Cape Province Department of Health, City of Cape Town
Department of Health, University of Cape Town, Infectious Disease Epidemiology Unit.
Comprehensive TB/HIV service at primary health care level Khayelitsha annual activity report
2007-2008. August 2008.
4. OrrellC, Bangsberg DR, Badri M, Wood R. Adherence is not a barrier to successful antiretroviral
therapy in South Africa. AIDS 2003, 17: 1369 – 1375
5. WHO. Adherence to long – term therapies – evident for action. 2003
6. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral dan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
dewasa dan remaja
7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 87 tahun 2014 tentang pedoman
pengobatan antiretroviral
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia HK.01.07/MENKES/90/2019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan Tatalaksana HIV