Anda di halaman 1dari 25

Materi Inti-3

INFEKSI OPORTUNISTIK

Infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem
kekebalan yang normal (sehat), tetapi dapat mengenai orang dengan sistem kekebalan yang rendah.

Infeksi biasanya merupakan reaktivasi dari infeksi yang sudah ada dalam tubuh ODHA atau infeksi baru
yang didapat dari orang lain atau alam sekitar.

Infeksi oportunistik pada ODHA merupakan tanda menurunnya sistem kekebalan atau imun.
Kebanyakan IO yang mengancam jiwa terjadi pada stadium klinis 4 atau ketika jumlah CD4 < 200
sel/mm3 dan merupakan penyebab kematian terbesar pada ODHA.

Risiko terjadinya infeksi oportunistik berkaitan dengan jumlah CD4 adalah sbb:
 Jumlah CD4 > 500 sel/mm3
Pada umumnya, ODHA dengan jumlah CD4 > 500 sel/mm3 tidak berisiko mendapat IO. Namun
pada ODHA dengan jumlah CD4 sekitar 500, dan disertai dengan jumlah CD4 yang berfluktuasi
setiap hari dapat menyebabkannya rentan terhadap infeksi ringan, seperti ISPA berulang.
 Jumlah CD4 200 – 500 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa kandidiasis oral, tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, sinusitis,
diare akut
 Jumlah CD4 100 – 200 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa pneumonia pneumocystis (PCP), diare kronis, kandidiasis esofagus,
leukoensefalopati multifokal progresif, limfoma, sarkoma Kaposi
 Jumlah CD4 50 – 100 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa toksoplasmoisis, kriptosporidiosis, meningitis kriptokokus
 Jumlah CD4 < 50 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa infeksi cytomegalovirus (CMV) dan mikobakterium avium kompleks
(MAC)

Pada orang dengan kekebalan tubuh yang turun, IO sering mengalami kekambuhan setelah
pengobatan, apabila tidak dimulai pengobatan ARV.

Penyebab IO:
a. Bakteri/mikobakterium:
 Salmonella
 Tuberkulosis
 MAC
b. Jamur:
 Candida albicans
 Pneumocystis jiroveci
 Aspergillus
 Kriptokokus
 Histoplasma
c. Protozoa:
 Toksoplasma
 Kriptosporidia
d. Virus:
 Herpes simpleks
 Herpes zoster
 Human papilloma virus (HPV)
 Hepatitis
 Cytomegalovirus

CONTHOH INFEKSI OPPORTUNISTIK

1. Infeksi Herpes zoster


Infeksi Herpes zoster pada orang dewasa dapat terjadi akibat reaktivasi virus varicella-zoster (VZV)
yang tinggal dormant di dalam ganglia dorsal, yang terjadi beberapa dekade setelah pajanan awal
virus varisela (cacar air). Meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri, namun ruam dermatom yang
disertai rasa nyeri dan dapat mengakitkan neuralgia posherpetika terutama pada orang tua
walaupun bukan HIV positif. Organ yang dapat terkena oleh infeksi VZV adalah a.l. sistem susunan
saraf pusat, sistem oftalmik dan sistem auditorius.

Manifestasi Klinis

Manifestas klinis herpes zoster dapat dibagi dalam 3 tahap:

 Tahap pra erupsi (neralgia praherpetika)


 Tahap erupsi akut
 Tahap kronis (neralgia posherpetika)

Tahap praerupsi ditandai oleh:

a) Fenomena sensoris sepanjang 1 atau lebih dermatom, berlangsung 1-10 hari (rata-rata 48
jam)
b) Fenomena tersebut biasanya ditandai sebagai nyeri, atau gatal atau parestesia
c) Nyeri dapat berupa sakit kepala, iritis, pleuritis, neuritis brachial,nyeri kardiak, appendisitis
atau penyakit intra-abdominal.
d) Gejala lain: malaise, mialgia, sakit kepala, fotofobi, dan yang jarang adalah demam

Tahap erupsi akut ditandai oleh:

 Eritema tersebar,kadang2 diikuti oleh indurasi di daerah dermatom yg terkena


 Limfadenopati regional
 Vesikel herpetiforme berkelompok pada dasar eritema
 Lesi kulit terletak unilateral sepanjang dermatom
 Vesikel pada awalnya jernih, yang pada akhirnya menjadi keruh, pecah, berbetuk krusta.
 Hampir semua pasien dewasa mengeluh nyeri bahkan kadang2 berat
 Gejala akan membaik setelah 10-15 hari
 Penyembuhan lesi memerlukan waktu sampai 1 bulan

Tahap kronis (neuralgia postherpetika) ditandai oleh:

 Nyeri persisten dan berulang selama 30 hari atau lebih setelah infeksi akut atau setelah semua
lesi menjadi krusta (9-45% kasus)
 Nyeri terbatas pada daerah dermatom yang terkena

Diagnosis

Diagnosis herpes zoster umumnya cukup berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan penunjan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:

 Direct fluorescent antibody (DFA) testing dari cairan vesikel atau lesi kornea
 Polymerase chain reaction (PCR) testing dari cairan vesikel, lesi kornea atau darah
 Tzanck smear dari cairan vesikel (sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah daripada DFA
atau PCR)

Pengobatan

Terapi konservatif meliputi:

a) Nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID)


b) Bila basah, kompres dengan lar NaCl 0,9% selama 30-60 menit 4-6 kali sehari, bila erosi
diberikan salep sodium fusidat dan bila kering diberi bedak calamin atau salisil 2%

Terapi medikamentosa::

 Analgetik narkotik dan nonnarkotik (baik topikal maupun sistemik)


 Neuroactive agent (mis, tricyclic antidepressants [TCAs])
 Obat antikonvulsi

Pengobatan steroid masih kontroversial. Dapat diberikan dengan dosis 40-60 mg prednison tab
terutama untuk orang tua setiap pagi sedini mungkin selama 1 minggu, dan diikuti oleh tappering off
1-2 minggu untuk mencegah neralgia postherpetika
Terapi antiviral dapat menurunkan lamanya waktu pembentukan vesikel baru, mempercepat
terjadinya crusta secara lengkap, mengurangi jumlah hari perasaan tidak enak, dan mencegah atau
mengurangi beratnya neuralgia posherpetika.

Terapi antiviral harus diberikan <72 jam setelah timbulnya erupsi vesikel:

 Asiklovir
 Valasiklovir

Dosis asiklovir pada dewasa untuk infeksi primer (varisela) dan herpes zoster rekuran, terlokalisir:

 Asiklovir PO 5 x 800 mg/hari


 Valasiklovir 3 x 1000 mg/hari
 Asiklovir IV 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

Dosis untuk herpes zoster rekuren, diseminata:

Asiklovir IV 30mg/kgBB, terapi diberikan minimal 7 hari atau sampai seluruh lesi kering dan menjadi
krusta

Pengobatan neralgia postherpetika

 NSAID
 Neuroactive agent (mis, Tricyclic Antidepresant)
 Obat antikonvulsi (mis, gabapentin, pregabalin)
 Analgetika narkotik dan nonnarkotik, baik sistemik (mis, opioid) dan topikal

2. Infeksi Kandida

Kandidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur genus Candida. Candida albicans 60%,
non albicans 40% (C. krusei, C. glabrata, C. tropicalis, C. parapsilosis, dan C. dubliniensis)

Manifestasi Klinis

a) Kandidiasis mukokutaneus kronis, Dijumpai pada muka, kulit kepala, tangan dan kuku.
b) Kandidiasis orofaringeal.

Gejalanya berupa:

 Radang dan nyeri pada mukosa mulut


 Rasa terbakar pada mulut dan lidah
 Bercak putih yang tebal pada mukosa mulut

Terdapat 4 bentuk kandidiasis orofaringeal:

 Pseudomembran: merupakan bentuk tersering, ditandai oleh bercak putih pada mukosa
mulut/lidah dan mudah diangkat
 Hiperplastik – hampir sama dengan jenis pseudomembran, hanya bercak putihnya sulit diangkat
karena melekat dengan jaringan di bawahnya
 Eritematus –bercak kemerahan pada palatum durum maupun molle
 Keilitis angularis – reaksi inflamasi yang ditandai oleh fissura pada sudut mulut

Kandidiasis esofagus

Keluhan berupa:

 Disfagi (sulit menelan)


 Odinofagi (nyeri menelan)
 Nyeri retrosternal
 Nyeri epigastrik
 Mual dan muntah

c) Kandidiasis genitourinarius

 Kandidiasis vulvovaginal
 Balanitis Candida – bercak putih pada penis dan gatal
 Sistitis Candida
 Pielonefritis ascending – Nyeri punggung, kramp abdomen, mual,muntah, demamd an hematuri

Diagnosis

Pemeriksaan penunjang:

 Spesimen dapat diperiksa di bawah mikroskop dengan pengecatan KOH, Gram atau biru
metilen
 Endoskopi dapat dilakukan pada kasus kandidiasis esofagus

Pengobatan

 Kandidiasis kutaneus – menggunakan obat anti jamur topikal (mis, clotrimazole, econazole,
ciclopirox, miconazole, ketoconazole, nystatin)
 Kandiasis mukokutaneus kronis – golongan azole per oral
 Kandidiasis orofaringeal – menggunakan baik anti jamur topikal maupun azole per oral
 Kandidiasis esofagus –memerlukan terapi sistemik dengan fluconazol selama 14-21 hari

Untuk kandidiasis oral:

 Suspensi nistatin, teteskan di mulut sebanyak 2-4 ml, kemudian tahan atau dikumur kumur
selama 2 menit sebelum ditelan. Diberikan 4 kali sehari selama selama 7 hari. Jika setelah 7
hari tidak terdapat perbaikan, ganti dengan flukonazol oral. Karena kemasan nistatin isinya
hanya 10 cc maka suspensi sistatin tidak efektif.
 Flukanozol dimulai dengan dosis 200mg sekali sehari dan dilanjutkan dengan dosis 2 kali
100mg per hari selama 7-14 hari. Sediaan yang ada di Indonesia 1 tab = 150 mg.
 Itraconazol 1 x 200mg/hari per oral selama 7-14 hari

Untuk kandidiasis esofagus:

 Flukanozol 1 x 200mg/hari per oral atau iv selama 14-21 hari


 Itraconazole 1 x 200mg/hari per oral selama 14-21 hari
 Micafungin 50-100 mg IV
Pada kandidiasis orofarings,kurang lebih 3%-5% pasien dengan infeksi HIV lanjut (jumlah CD4 <
50/µL) dapat mengalami refrakter terhadap pengobatan. Dalam hal ini, selain dengan memulai
ART, dosis flukonazol dapat dinaikkan(sampai 800 mg/hari) atau itraconazol (sampai 600
mg/hari).Selain itu, micafungin 50-100 mg/hari IV

3. Pneumonia pneumocystis (PCP)

Pneumocystis jiroveci dapat dijumpai pada paru orang normal dan tidak menyebabkan penyakit.
Kebanyakan anak2 telah terpajan terhadap organisme ini pada usia 3-4 tahun.

Pneumonia Pneumocystis jiroveci (PCP), dulu dikenal sebagai pneumonia Pneumocystis


carinii,merupakan IO yang sering terdapat pada ODHA, dan P jiroveci adalah salah satu organisme
(jamur) yang dapat mengancam jiwa pada ODHA. Pneumonia ini mengenai jaringan interstitial paru.

Angka mortalitas PCP pada ODHA berkisar antara 20%-40%, tergantung kepada beratnya penyakit.

Manifestasi Klinis
Gejala PCP tidak spesifik, perjalanan penyakitnya subakut.
Trias PCP sbb:
 Sesak napas progresif (95%)
 Demam (>80%)
 Batuk non-produktif (95%)

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik juga tidak spesifik:

 Tachypnea
 Fever
 Tachycardia
 Pemeriksaan fisik paru pada awalnya tidak akan dijumpai kelainan, selanjutnya dapat terjadi
krepitasi atau ronki yang ringan.

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan dahak (biasanya melalui induksi) dan bilasan bronkoalveolar dengan
menggunakan pewarnaan methenamin silver
 LDH meningkat pada 90% pasien
 Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan gangguan difusi
 Pulse oximeter menunjukkan penurunan saturasi oksigen
 Pemeriksaan gas darah menunjukkan hipoksemi
 Foto toraks pada awalnya tampak normal, selanjutnya dapat dijumpai infiltrat bilateral difus,
pneumatocele dengan pneumotoraks sebagai komplikasinya
Diagnosis

Derajat penyakit ditentukan berdasarkan perbedaan tekanan alveolar-arterial: ringan (< 35 mm Hg),
sedang (35-45 mm Hg), atau berat (>45 mm Hg). Penyakit yang berat juga ditandai oleh tekanan
parsial O2 di arteri (PaO2) < 70 mm Hg

Pengobatan

 Pilihan utama adalah kotrimoksasol (TMP-SMX), dengan dosis (TMP 15-20mg + SMZ 75-
100mg/kgBB/ hari) dibagi dalam 3-4 dosis atau 3 X 4 tab kotri dewasa selama 21 hari
 Pilihan alternatif adalah Klindamisin 600-900 mg IV setiap 6 sampai 8 jam atau 300-450 mg PO
4 kali sehari + primakuin 15-30 mg oral sekali sehari selama 21 hari bila ODHA alergi terhadap
sulfa.
 Pada sesak nafas yang parah (PaO2 < 70 mg Hg atau Sa O2 < 93%) dianjurkan tambahan
pemberian prednison 2x40 mg PO selama 5 hari, selanjutnya 1x40 mg/hari selama 5 hari,
kemudian 20 mg/hari selama 11 hari. Jika ingin mengganti dengan metilprednisolon diberika
75% dari dosis prednison.

Pengobatan PCP jangan ditunda, dan pengobatan PCP dapat dimulai berdasarkan gejala klinis. Dan
pada umumnya respon pengobatan memerlukan waktu yang lama, tetapi dalam 8 hari pertama sudah
dapat terlihat hasilnya.

4. Toksoplasmosis serebri

Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi dengan protozoa Toxoplasma gondii. Pejamunya terdapat
pada kucing dimana berlangsung sikulus seksual.

Selama infeksi primer, kucing dapat mengekskresi jutaan oocyst setiap hari selama 1-3 minggu. Oocyst
masih infeksius lebih dari 1 tahun pada lingkungan lembab dan hangat.
Infeksi T gondii pada manusia terjadi ketika menangani tanah yang terkontaminasi, melalui konsumsi
makanan atau air terkontaminasi, dan pada bayi dapat dihantarkan melalui plasenta ibu hamil yang
terinfeksi. Dan kebanyakan toksoplasmosis pada ODHA terjadi sebagai akibat infeksi terkhir dan
reaktivasi (jika jumlah CD4 < 100 sel/μL. Infeksi T. Gondii pada ODHA dapat terjadi pada berbagai organ
terutama susunan saraf pusat dan mata.

Manifestasi klinis

Toksoplasmosis serebri

Gejala yang tersering adalah sakit kepala, defisit neurologi fokal, kejang. Yang lainnya adalah:

 Gangguan status mental


 Kelemahan
 Gangguan saraf kranial
 Kelainan sensoris
 Meningismus
 Gangguan pergerakan
 Manifestasi neuropsikiatrik
 Limfadenopati kenyal dan tidak nyeri, terutama servikal

Perjalanan infeksi T gondii pada ODHA dapat bersifat progresif dan cepat, serta fatal.

Toksoplasmosis serebri biasanya dikenal melalui pemeriksaan CT scan sebagai lesi multipel
penyangatan (ring-enhancing); tetapi dapat juga dijumpai lesi soliter, dan pemeriksaan CT scan atau
MRI yang normalpun tidak dapat menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis serebri

Toksoplasmosis pada ODHA sering kambuh jika pengobatan dihentikan. Kelainan pada CT scan
membaik setelah 2-3 minggu pengobatan pada 90% pasien. Resolusi lengkap memerlukan 6 minggu
sampai 6 bulan. Lesi yang lebih kecil biasanya sembuh dalam waktu 3-5 minggu, tetapi lesi dengan
bentuk massa cenderung sembuh perlahan dan meninggalkan lesi residu yang kecil.

Toksoplasmosis okular

Gejalanya berupa:

 Gangguan penglihatan – Bisa mendadak atau perlahan tergantung kepada tempat infeksi
 Pandangan kabur
 Skotoma
 Nyeri okular
 Fotofobi
 Floater
 Mata merah
 Metamorphopsia (gangguan penglihatan dimana garis lurus terlihat sebagai gelombang atau
sebagiannya hilang)

Pemeriksaan funduskopi menunjukkan lesi necrotizing,yang bersifat multifokal atau bilateral, juga
dapat dijumpai inflamasi korpus vitreum, sedangkan lesi saraf optik hanya terdapat pada 10% kasus.
Pada retinochoroiditis (focal necrotizing retinitis) akan dijumpai cotton patch yang menonjol berwarna
putih kekuningan dengan batas tidak tegas.
Tergantung kepada lokasi dan beratnya toksoplasmosis retinokoroid, infeksi dapat berakibat jaringan
parut permanen pada retina dan penurunan visus. Episode kambuh sering terjadi yang mengakibatkan
jaringan parut multipel di reina dan kebutaan.

Toksoplasmosis okular.

Retinitis makula akut

Pemeriksaan penunjang

 Darah lengkap: dapat timbul limfositosis


 Deteksi lagsung dari darah, cairan tubuh atau jaringan terkena, melalui inokulasi tikus, namun
memerlukan waktu yang lama.
 Pemeriksaan PCR
 Pemeriksaan imunoglobulin IgM, avidity IgG. Titer anti Toxoplasma IgG meningkat 4 kali
setelah 6-8 minggu, kemudian menurun sampai 2 tahun. Anti Toxoplasma IgM muncul pada
minggu pertama dan kemudian akan menurun setelah beberapa bulan.
 Pemeriksaa pungsi lumbal untuk mendeteksi kenaikan tekanan intra kranial, dan pemeriksaan
cairan serebrospinal (pleositosis, protein meningkat, tachyzoite pada infeksi akut atau
bradyzoite pada infeksi kronis/laten)
 Pemeriksaan CT Scan: CT pada ODHA menunjukkan lesi multiple ring-enhancing pada 70-80%
kasus.
 Pemeriksaan MRI: MRI menunjukkan lesi tunggal maupun multipel yang sering tidak jelas
pada CT scan, yaitu adanya edema di sekitar lesi

Interpretasi hasil IgG dan IgM anti Toxoplasmosis

IgG IgM Interpretasi


Negatif Negatif Tidak ada bukti serologi terinfeksi Toksoplasma.
Kemungkinan infeksi akut awal atau reaksi IgM positif palsu. Ambil lagi spesimen
2
Negatif Samar baru untuk pemeriksaan IgG dan IgM. Jika spesimen kedua hasilnya sama, pasien
mungkin tidak terinfeksi Toksoplasma.
Kemungkinan infeksi akut atau IgM positif palsu. Ambil lagi spesimen baru untuk
Negatif Positif pemeriksaan IgG dan IgM. Jika spesimen kedua hasilnya sama, reaksi IgM
kemungkinan positif palsu.
Indeterminate: ambil lagi spesimen baru untuk pemeriksaan IgG dengan assay yang
Samar2 Negatif
berbeda.
Samar2 Samar2 Indeterminate: ambil lagi spesimen baru untuk pemeriksaan IgG dan IgM.
Kemungkinan infeksi akut dengan Toksoplasma. Ambil lagi spesimen baru untuk
2
Samar Positif pemeriksaan IgG dan IgM, jika hasilnya sama atau hasil IgG positif, kirim spesimen
ke laboratorium rujukan.
Positif Negatif Terinfeksi dengan Toksoplasma selama > 6 bulan.
Terinfeksi dengan Toksoplasma kemungkinan selama > 1 tahun atau IgM positif
Positif Samar2 palsu. Ambil spesimen baru untuk pemeriksaan IgM. Jika hasilnya sama, kedua
spesimen dikirim ke laboratorium rujukan.
Kemungkinan infeksi baru dalam waktu 12 bulan, atau IgM positif palsu. Kirim
Positif Positif
spesimen ke laboratorium rujukan.

Follow-up

Kunjungan follow-up dijadwalkan setiap 2 minggu sampai kondisi pasien stabil, selanjutnya setiap
bulan selama pengobatan.Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap minggu dalam bulan
pertama, dan selanjutnya setiap 2 minggu. Faal hati dan ginjal diperiksa setiap bulan.

Pencegahan

 Hindari makan daging mentah, susu yang tidak dipasteurisasi, dan telur yang tidak dimasak
 Cuci tangan setelah menyentuh daging mentah
 Gunakan sarung tangan waktu berkebun dan setelah itu cucilah tangan
 Buah2an dan sayuran harus dicuci
 Hindari kontak dengan kotoran kucing
Pengobatan

Saat ini pengobatan toksoplasmosis hanya untuk bentuk tachyzoite, dan tidak untuk bentuk kista
(bradyzoite). Pirimetamin merupakan obat paling efektif. Leucovorin (mis, folinic acid) harus diberikan
untuk mencegah penekanan sumsum tulang. Obat lain juga dapat ditambahkan (mis, sulfadiazine,
clindamycin).

Efektifitas azithromycin, clarithromycin, dan kotrimoksazol tidak jelas; karena itu hanya digunakan
sebagai obat pilihan dengan kombinasi pyrimethamine.

Paduan pengobatan diberikan selama 6 minggu:

 Pirimetamin (loading dosis200mg per oral, selanjutnya jika BB < 50kg: 2 x 25mg per hari per
oral dan jika BB > 50kg: 3 x 25mg per hari) plus asam folinat (leucovorin) 10-20mg per hari
untuk mencegah efek samping anemi akibat pirimetamin DITAMBAH
 Klindamisin (4 x 600 mg per oral)

ATAU

 Trimethoprim (10 mg/kg/hari) sulfamethoxazole (50 mg/kg/hari) atau 2 X 4 tab dewasa


selama 6 minggu

Setelah pengobatan fase akut berhasil, dianjurkan untuk memberikan terapi rumatan berupa
pirimetamin + klindamisin + asam folinat selama CD4 <200 sel/mm3 dengan dosis setengah dari dosis
fase akut. Pencegahan sekunder juga dapat menggunakan kotrimoksazol dengan dosis yang sama
dengan pengobatan pencegahan primer

Pertimbangkan steroid pada pasien dengan gambaran radiologi di garis tengah, perburukan klinis
setelah 48 jam, atau peningkatan tekanan intrakranial.

5. Meningitis Kriptokokus

Penyebabnya adalah jamur Cryptococcus neoformans, terdapat dalam bentuk kolonisasi di saluran
napas, dan dapat mengakibatkan meningitis atau penyakit disseminata, yang mengancam jiwa

Manifestasi Klinis

Kriptokokosis paru gejalanya berupa:

 Demam (84%)
 Batuk (63%)
 Sesak napas (50%)
 Sakit kepala (41%)
 Penurunan berat badan (47%)
 Nyeri dada pleritik
 Batuk darah
 Ronki atau pleural rub
 Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Meningitis kriptokokosis

Pada ODHA, manifestasinya subakut atau kronis, dan gejalanya berupa:


 Sakit kepala
 Bingung (Confusion)
 Lesu (lethargy)
 Kewaspadan menurun (ketumpulan mental)
 Coma
 Temperatur normal atau sedikit naik
 Mual dan muntah (dengan peningkatan tekanan intrakranial)
 Demam dan kuduk kaku
 Pandangan kabur, fotofobi,d an diplopi
 Gangguan pendengaran, kejang, ataksia, afasia, dan pergerakan choreoathetoid

Manifestasi kulit (pada 10-15% kasus) berupa:

 Papel, pustel, nodul, ulkus


 Papel umbilikasi

Diagnosis

 Lesi kulit: Biopsi dengan pengecatan untuk jamur dan biakan


 Darah: Biakan jamur, serologi kriptokokus, dan antigen kriptokokus
 Cairan serebrospinal: pengecatan dengan tinta India, biakan jamur, dan antigen kriptokokus
Kadar glukosa menurun, protein biasanya meningkat.
Pemeriksaan dengan tinta India

 Biakan urin dan sputum, walaupun tidak terbukti secara klinis kelainan pada paru dan ginjal
 Pemeriksaan CT scan atau MRI dapat dilakukan sebelum pungsi lumbal. Jika tampak massa,
jangan lakukan pungsi lumbal, karena dapat menyebabkan herniasi. Pada CT scan atau
menunjukkan atrofi difus atau edema serebri dengan daerah contrast-enhanced yang fokal,
homogen.

Pemeriksaan MRI: kluster hiperintensitas nukleus caudatus kiri

 Pemeriksan foto toraks pada kelainan paru: pneumonitis tersebar, granuloma berukuran 2-7
cm, atau gambaran milier

Pengobatan

Pengobatan meningitis kriptokokus fase akut:


Minggu 1- 2
 Amfoterisin-B 0.7-1 mg/kg per hari dalam infus dekstrosa 5 % dan diberikan selama 4-6 jam.
(jangan dilarutkan dengan NaCl).
 Dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO.
Minggu 3-10
 Flukonazol 800 mg per hari PO.
Efek samping Amfoterisin-B yang utama adalah gangguan fungsi ginjal, namun masalah ini dapat
dihindari dengan mencegah dehidrasi dan pemantuan fungsi ginjal secara ketat. Setelah terapi fase
akut selesai, dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan flukonazol 200 mg per hari. Terapi rumatan
terus diberikan hingga jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3.
1) Pencegahan

Pencegahan meningitis kriptokokus mencakup perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan,


mencegah kontak dengan burung/kotoran burung, dan penemuan kasus HIV yang lebih dini.
Pungsi lumbal pada meningitis kriptokokus berguna dalam diagnosis maupun terapi. Pada
pengukuran tekanan intraspinal pada pungsi lumbal, bila didapatkan tekanan > 250 mm H2O dan
disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial, harus dilakukan drainase cairan otak.

2) Skrining

Skrining infeksi kriptokokus menjadi penting dilakukan setelah diketahui adanya antigen
kriptokokus asimtomatik yang dapat menyebabkan terjadinya meningitis kriptokokus setelah
pemberian ARV. Berdasarkan temuan ini, dan perhitungan cost effectiveness antara mengobati
meningitis kriptokokus atau melakukan skrining antigen kriptokokus pada semua ODHA dengan
CD4 < 100 sel/mm3, WHO menganjurkan melakukan skrining tersebut. Hal ini dipermudah dengan
dikembangkannya metoda skrining antigen yang cepat dengan menggunakan bahan pemeriksaan
darah atau urin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di tempat pelayanan primer HIV tanpa
menggunakan peralatan yang canggih atau prosedur yang rumit.

Tatalaksana tekanan cairan serebrospinal sangat penting demi kelangsungan hidup pasien. Tekanan
pembuka (opening pressure)yang > 250 mm H2O harus dikurangi dan dipertahankan sekitar 200 mm
H2O. Hal ini dapat dilakukan dengan drainase cairan spinal. Jika gagal mengendalikan tekanan cairan
serebrospinal ini akan berakibat kebutaan, defisit neurologis permanen, atau kematian. Penggunaan
manitol tidak terbukti untuk menurunkan tekanan cairan serebrospinal, demikian juga penggunaan
acetazolamide atau steroid.
6. Infeksi Cytomegavirus

Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA double-stranded dan termasuk famili Herpesviridae.
Infeksi CMV biasanya asimtomatis atau gejala flu yang ringan, selanjutnya menjadi laten seumur hidup
dan bisa mengalami reaktivasi. Penyakit CMV yang simtomatis dapat mengenai hamir setiap organ
tubuh, mengakibatkan demam yang tidak diketahui sebabnya, pneumonia, hepatitis, ensefalitis,
mielitis, kolitis, uveitis, retinitis, dan neuropati. Pada ODHA, CMV sering menyebabkan retinitis dan
gangguan saluran cerna.

Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda klinis sangat sedikit:

 Infeksi primer CMV terdapat demam yang tidak diketahui sebabnya


 Jika ada gejala, akan timbul 9-60 hari setelah infeksi primer.
 Dapat terjadi faringitis.
 Pemeriksaan paru bisa dijumpai krepitasi halus.
 Kelenjar getah bening dan limpa dapat membesar.

Retinitis Cytomegalovirus
Retinitis CMV pada ODHA pada umumnya terjadi jika jumlah CD4 < 50 cells/µL. Gejalanya berupa
penurunan visus yang dapat mengalami progresi menjadi kebutaan, bisa unilateral maupun bilateral.
Selain itu, terapat juga gejala floater,pandangan kabur, fotofobi, nyeri pada mata.Pada beberapa
pasien bisa dijumpai edema makula, vitreoretinopathy, perdarahan vitreal, dan ablasio retina.

Diagnosis

CMV dapat dideteksi melalui biakan (fibroblast manusia), serologi (IgM meningkat dan titer IgG
meningkat 4kali), pemeriksaan antigen, polymerase chain reaction (PCR) kualitatif maupun
kuantitatif, dan sitopatologi.

Pengobatan

Pengobatan dengan antiviral diberikan pada ODHA yang menderita infeksi pada mata atau penyakit
yang mengancam jiwa akibat CMV. Obat antiviral pilihan utama adalah valganciclovir dan ganciclovir
sistemik. Obat pilihan lain adalah cidofovir. Namun sangat disayangkan bahwa ganciclovir hanya
memperlambat progresi penyakit. Ganciclovir implant juga digunakan untuk retinitis CMV, yaitu
menempatkan ganciclovir di vitreus diikuti oleh terapi ganciclovir sistemik. Ganciclovir oral dapat
digunakan untuk profilaksis retinitis CMV dan jangan digunakan untuk pengobatan.

Efek samping ganciclovir adalah demam, ruam kulit, diare, dan efek hematologi (mis, netropeni,
anemi, trombositopeni).

Terapi retinitis CMV

 Terapi pilihan
o Lesi dengan ancaman kebutaan: Gansiklovir 2 mg intravitreal sebanyak 1-4 dosis
dalam periode 7-10 hari ditambah salah satu dari terapi sistemik. Pilihannya adalah
valgansiklovir 2 x 900 mg per oral saat makan selama 14-21 hari, selanjutnya
900mg/hari.
o Lesi perifer: valgansiklovir 2 x 900 mg per oral saat makan selama 14-21 hari,
selanjutnya 900mg/hari.
 Terapi alternatif:
o Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 14-21 hari, kemudian valgansiklovir 4 x 900 mg
PO
o Valgansiklovir 2 x 900 mg per oral selama 21 hari, selanjutnya 900mg/hari

Infeksi gastrointestinal

 Valgansiklovir 2 x 900 mg per oral saat makan selama 3-4 minggu.


 Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 3-4 minggu

Infeksi sistem saraf

 Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 3-6 minggu selanjutnya rumatan dengan gansiklovir IV


atau valgansiklovir PO

Pneumonitis CMV

 Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 3-6 minggu selanjutnya rumatan dengan gansiklovir IV


atau valgansiklovir PO
7. Mikobakterium avium kompleks.

Mycobacterium avium complex (MAC) terdiri dari 2 spesies, yaitu: M avium and M intracellulare; dan
2 spesies ini sulit dibedakan.. MAC juga sering disebut Mikobakterium atipikal. Lebih dari 95% infeksi
MAC pada ODHA disebabkan oleh M avium.

Secara primer, MAC merupakan patogen di paru yang dapat menginfeksi ODHA. Namun, MAC dapat
menyebabkan osteomielitis; tenosinovitis; sinovitis; dan penyakit diseminata yang mengenai kelenjar
getah bening, SSP, hati, limpa dan sumsum tulang. Penyakit diseminata ini pada umumnya terjadi jika
jumlah CD4 < 50 sel/µL

Lingkungan sumber MACadalah:

 Sistem perpipaan air panas (di rumah tangga dan rumah sakit)
 Kamar mandi
 Debu rumah
 Tanah
 Burung
 Hewan di pertanian
 Komponen rokok (mis, tembakau, filter, kertas pembungkus rokok)

Manifestasi klinis

Infeksi MAC di paru pada ODHA memberikan gejala batuk, produksi sputum, berat badan turun,
demam, lesu, dan keringat malam. Onset gejala terjadi insidious (ber-minggu2 sampai ber-bulan2).

Pasien dengan AIDS lanjut (umumnya jumlah CD4 < 50 sells/µL) dapat berkembang menjadi MAC
diseminata, yang ditandai oleh gejala utama demam yang tidak diketahui sebabnya. Gejala dan tanda
lain adalah:

 Berkeringat
 Berat badan turun
 Lemah
 Diare
 Sesak napas
 Nyeri perut kuadran kanan atas

Pemeriksaan fisik pada MAC di paru dapat dijumpai takipnea, suara napas bronkial, pekak pada
perkusi, dan pada auskultasi bisa dijumpai krepitasi, ronki

Pemeriksaan fisik pada MAC diseminata bisa dijumpai wasting, kulit pucat, infection in patients with
AIDS can cause generalized wasting, skin pallor, hepatosplenomegali yang lunak, dan limfadenopati.

Diagnosis

Pemeriksaan penunjang:

 Pada dari MAC diseminata sering dijumpai anemi dan kadang2 pansitopeni.
 Pemeriksan dahak basil tahan asam (BTA) dan biakan (pada MAC di paru); dan biakan darah
dan urin (pada MAC diseminata).
 Biakan feses dapat dilakukan jika timbul diare.
 Peningkatan faal hati (pada MAC diseminata).
 Pemeriksaan foto toraks (pada MAC di paru) meliputi opasitas ground-glass, nodul
sentrilobular, fibro-kavitas, terutama di lapangan atas paru.
 Pemeriksaan CT scan abdomen (pada MAC diseminata) dapat dijumpai limfadenopati
retroperitoneal atau periaortik dan hepatosplenomegali.

Pengobatan

Pada umumnya infeksi MAC diobati dengan 2 atau 3 antimikroba selama paling sedikit 12 bulan. Obat
lini pertama adalah makrolid (klaritromisin atau azitromisin), etambutol, (dan rifabutin).

Terapi pilihan:

 Klaritromisin 2 x 500 mg + etambutol 15 mg/kgBB, atau


 Azitromisin 1 x 600 mg + etambutol 15 mg/kg

Obat tambahan untuk kuman resistan makrolid:

 Moksifloksasin 1 x 400 mg

Anjuran: penghentian terapi kronik dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi tanpa gejala dan tanda
MAC, disertai peningkatan CD4 > 100 sel/ L menetap selama 6 bulan dengan pemberian ARV

Demam akan hilang dalam waktu 2-4 minggu pengobatan. Jika masih ada demam, ulangi biakan darah
dan uji kerentanan antimikroba. Jika hasilnya sensitif dengan makrolid tetapi terapi tidak memberikan
respon, pertimbangkan untuk menambah obat lain seperti streptomisin atau amikasin.

Pemberian terapi antiretroviral dapat diberikan setelah infeksi MAC diobati selama 2 minggu, yaitu
untuk mengurangi terjadinya sindrom pulih imun (IRIS)

PROFILAKSIS INFEKSI OPPORTUNISTIK

Pencegahan IO pada ODHA penting untuk mengoptimalkan hasil tatalaksana HIV. Semua infeksi terkait
HIV dan keganasan meningkat frekuensinya dan morbiditasnya jika jumlah CD4 < 200 sel/μL.

Untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu, seseorang dapat minum obat, dan ini disebut
sebagai pengobatan pencegahan atau profilaksis.

Pajanan yang harus dihindari

Hal-hal yang harus dihindari ialah:

 Terkontaminasi kotoran kucing, saliva dari binatang di peternakan, binatang peliharaan lain.
 Gigitan atau cakaran binatang
 Orang2 dengan infeksi kulit
 Daging, telur dan kerang mentah; buah2an dan sayuran yang tidak dicuci
 Produk susu yang tidak dipasteurisasi
 Minum air sungai atau danau
 Kontak fecal-oral manusia

Pencegahan dan pengobatan penyalah gunaan obat, alkohol, dan rokok harus merupakan bagian
dari setiap program tatalaksana penyakit HIV.

Memulai Pengobatan Pencegahan

Sebelum memulai pengobatan pencegahan IO, harus mempertimbangkan banyaknya tablet yang
harus diminum, risiko toksisitas obat, dan manfaat pengobatan tersebut.

Berikut ini adalah hubungan antara jumlah CD4 dengan pengobatan pencegahan yang dapat diberikan
terhadap IO tertentu:

 Kurang dari 200 sel/μL – Profilaksis PCP


 Kurang dari 100 sel/μL – Profilaksis Toksoplasmosis

Kotrimoksazol adalah kombinasi dosis tetap dari sulfamethoxazole and trimethoprim, dan merupakan
obat anti mikroba berspektrum luas dengan sasaran organisme aerob Gram positif dan negatif, jamur
dan protozoa

Kotrimoksazol mempunyai antivitas anti mikroba terhadap Pneumokokus, Salmonella non tifoid,
Isospora, Cyclospora, Nocardia, Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii dan PCP.

Efek samping profilaksis

 Trimethoprim-sulfamethoxazole (kotrimoksasol) – Rash, anemia and neutropenia


 Azithromycin - Gastrointestinal distress (pain and diarrhea)
 Pyrimethamine - Leukopenia

Pemantauan kepatuhan pasien

Sekali pengobatan pencegahan mulai diberikan, harus diikuti oleh konseling yang diberikan petugas
terlatih. Pada setiap kunjungan, konselor/petugas farmasi harus menjelaskan maksud pemberian obat
tersebut. Hal ini terutama disampaikan pada awal pengobatan.

Jika kondisi pasien membaik dan jumlah CD4 meningkat diatas CD4 > 200 sel/μL setelah 6 bulan ART
atau bila tidak tersedia CD4 maka PPK diteruskan selama dua tahun.

Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm 3,
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol tidak berbarengan dengan ARV untuk
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol.

Tabel berikut menunjukkan beratnya efek samping/toksisitas kotrimoksazol


Dearajat Deskripsi klinis Rekomendasi
Toksisitas

1 Eritema Lanjutkan PPK dengan observasi hati2.


Berikan obat simtomatis, misalnya anti
histamin

2 Ruam makulopapular difus, Lanjutkan PPK dengan observasi hati2.


deskwamasi kering Berikan obat simtomatis, misalnya anti
histamin

3 Vesikel, ulserasi mukosa Hentikan PPK sampai efek samping sembuh


(biasanya 2 minggu) kemudian lanjutkan
atau desensitisasi

4 Dermatitis eksfoliativa, Hentikan PPK secara permanen


sindrom Stevens-Johnson
atau eritema multiforme,
deskwamasi basah
Desensitisasi kotrimoksazol

Dapat dicoba 2 minggu setelah reaksi toksisitas teratasi, dan 1 hari sebelum melakukan
desensitisasi berikan antihistamin dan dilanjutkan sampai desensitisasi selesai.

Jika selama berlangsungnya proses desensitisasi timbul efek samping, proses desensitisasi
dihentikan; jika reaksi yang timbul kecil (derajat 1 atau 2) bisa diulang.

Langkah Dosis

Hari 1 80 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml sirup)

Hari 2 160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml sirup)

Hari 3 240 mg SMX + 48 mg TMP (6 ml sirup)

Hari 4 320 mg SMX + 64 mg TMP (8 ml sirup)

Hari 5 1 tablet dewasa SMX - TMP (400 mg SMX + 80 mg TMP)

Hari 6 2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 mg SMX + 160 TMP)

Terapi rumatan (profilaksis) sekunder

Terapi rumatan (profilaksis) sekunder adalah pengobatan yang diberikan unruk mencegah
kambuhdari orang yang sebelumnya sudah diobati Ionya dan sedang dalam pengobatan ARV.

Untuk PCP, profilaksis sekundernya adalah kotrimoksazol 1 x 960mg sampai jumlah CD4 > 200 sel/μL
dan sudah ARV minimal 6 bulan.

IMUNISASI PADA ODHA DEWASA

ODHA memiliki respons kekebalan tubuh yang suboptimal terhadap vaksin. ODHA dengan CD4 rendah
maka respons vaksin yang didapat juga akan semakin rendah. Bila didapatkan CD4 < 200 sel/mm3
ODHA tidak boleh mendapatkan vaksin hidup. Vaksin hidup baru aman diberikan bila CD4 sudah
meningkat stabil di atas 200 sel/mm3 setelah pemberian ARV. Vaksin mati dapat digunakan pada CD4
berapa pun, namun bila diberikan pada CD4 rendah sebaiknya vaksin diberikan lagi saat CD4
meningkat di atas 200 sel/mm3. Tabel berikut menunjukkan vaksin yang direkomendasikan pada
ODHA dewasa. Khusus untuk ODHA koinfeksi HBV, direkomendasikan juga untuk mendapatkan vaksin
HAV. Demikian juga ODHA koinfeksi HCV, direkomendasikan untuk mendapatkan vaksin HBV dan HAV.

Imunisasi yang direkomendasikan pada ODHA dewasa

Imunisasi Dosis Awal Booster

Hepatitis B 3-4 dosis Jika anti-HBs <10

HPV 3 dosis Tidak ada

Influenza 1 dosis Tiap tahun


Pneumokokal 1 dosis 5-10 tahun
polisakarida

Pneumokokal konjugat

Tetanus-difteri 1-5 dosis 10 tahun

Sedangkan vaksin lainnya digunakan sesuai dengan rekomendasi satgas imunisasi dewasa, kecuali
untuk vaksin polio oral, varisela, yellow fever dan MMR yang hanya dapat diberikan setelah CD4
meningkat di atas 200 sel/mm3. Demikian juga dengan vaksin zoster yang juga dapat diberikan
setelah CD4 meningkat.
Jadwal Imunisasi Dewasa menurut rekomendasi satgas imunisasi PAPDI 2014

KOINFEKSI VHC-HIV
Infeksi virus hepatitis C (VHC = HCV) telah menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap kesintasan
pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang telah mendapatkan terapi
antiretroviral (ARV). Pasien dengan koinfeksi VHC-HIV umumnya mengalami progresi fibrosis yang
lebih cepat serta risiko dekompensasi hati yang lebih besar.
Adanya kesamaan moda transmisi antara VHC dan HIV menyebabkan tingginya prevalensi koinfeksi
VHC dan HIV. Transmisi VHC yang paling efisien adalah melalui darah, dengan kemampuan
penyebaran tersebut 10 kali lebih efektif dibandingkan transmisi HIV. Hal ini menyebabkan tingginya
angka koinfeksi VHC-HIV pada penasun (90%). Dengan demikian, diperlukan permintaan rutin tes HIV
pada semua pasien dengan infeksi hepatitis C kronik dan sebaliknya, termasuk penilaian risiko
pajanan.
Setelah didiagnosis HIV maka dilakukan pemeriksaan rutin HCV dan sebaliknya. Terapi berbasis DAA
pada pasien koinfeksi VHC-HIV sama dengan pasien monoinfeksi VHC, diberikan tanpa memandang
CD4. Diperlukan penilaian kemungkinan interaksi obat pada pasien koinfeksi VHC-HIV yang akan
diberikan terapi VHC dan HIV.
Studi oleh Yuni hastuti et al. pada klinik Pokdisus HIV-AIDS Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian koinfeksi yang tinggi. Pada studi terhadap 3.613 pasien yang baru
terdeteksi HIV, ditemukan anti-HCV positif pada 67,9% pasien sedangkan koinfeksi VHC-HIV dan virus
hepatitis B (VHB) ditemukan pada 5,9% kasus.
Pada era pengobatan menggunakan DAA, efikasi dan efek samping pengobatan koinfeksi HIV/VHC
serupa dengan pasien VHC monoinfeksi pada umumnya. Akan tetapi, interaksi obat perlu diperhatikan
antara DAA dengan obat antiretroviral. Pada pasien koinfeksi HIV/VHC terutama yang memiliki sirosis,
manfaat pemberian ARV lebih tinggi dibandingkan resiko terjadinya hepatitis imbas obat. Oleh karena
itu, ARV pada pasien koinfeksi HIV/VHC diberikan tanpa memandang kadar sel limfosit T CD4. Dalam
satu studi disebutkan penggunaan ARV pada jumlah CD4 diatas 500 sel/mm3 menunjukkan aktivitas
nekroinflamasi yang lebih perlahan pada jaringan hati.
Regimen terapi yang digunakan dalam pengobatan koinfeksi VHC-HIV umumnya sama dengan pasien
pada monoinfeksi VHC, yaitu dengan terapi berbasis DAA sesuai genotipe. Terapi menggunakan
regimen DAA dapat dilakukan tanpa memandang CD4 dan genotype nya. Pada penggunaan daclatasvir
bersamaan dengan ARV berbasis dolutegravir (TLD) maka tidak perlu penyesuaian dosis, namun pada
ARV berbasis efavirenz (EFV), diperlukan peningkatan dosis daclatasvir dari 60 mg menjadi 90 mg.
Pasien dengan koinfeksi VHC-HIV dengan TB perlu menyelesaikan terapi TB terlebih dahulu sebelum
memulai terapi VHC dengan regimen DAA. Diperlukan monitor fungsi hati ketat terkait
hepatotoksisitas pada penggunaan OAT. Penasun yang aktif, maupun terapi substitusi opioid, tidak
dilihat sebagai kontraindikasi absolut untuk memulai terapi DAA, namun terdapat risiko ketidak
patuhan terapi.
Pasien hepatitis C kronik non-sirosis yang berhasil mencapai SVR maka perlu dilakukan pemeriksaan
RNA VHC 12 minggu pasca terapi dengan DAA. Jika didapatkan nilai RNA VHC negatif maka dinyatakan
bebas infeksi VHC dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA VHC lagi. Pasien hepatitis C kronik
dengan sirosis yang berhasil mencapai SVR 12 tetap dalam monitor dan evaluasi surveilans karsinoma
hepatoselular dengan AFP dan ultrasonografi abdominal setiap 6 bulan.
Koinfeksi VHB - HIV
Target terapi ko-infeksi HIV-VHB adalah menekan se-efisien dan se-persisten mungkin replikasi HIV
dan VHB dan menghentikan progresifitas infeksi HIV dan VHB, maupun kematian yang terkait dengan
penyakit hati dan infeksi oportunistiknya. Oleh karena itu, pengobatan HIV diberikan tanpa melihat
CD4 lagi dan karena obat ARV seperti TDF dan 3TC juga dapat mengobati hepatitis B, maka pengobatan
HIV diindikasikan pada semua pasien ko-infeksi HIV-VHB.
Pasien ko-infeksi HIV-VHB berapapun CD4 nya sudah merupakan indikasi terapi antiHIV. Khusus untuk.
Pada pasien HIV positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama pengobatan VHB adalah
tenofovir dan lamivudin.
Risiko hepatitis flare akibat imunorekonstitusi setelah pengobatan anti-HIV harus dipertimbangkan,
terutama pada pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Pada kondisi ini, khususnya pada pasien dengan
DNA VHB tinggi sebelum terapi, disarankan untuk mereduksi level DNA VHB sebelum dimulai
pengobatan anti-HIV untuk mencegah efek imunorekonstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

1. AIDS.Gov. Opportunistic Infections. URL: https://www.aids.gov/hiv-aids-basics/staying-healthy-


with-hiv-aids/potential-related-health-problems/opportunistic-infections/
2. AIDS Info. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected
Adults and Adolescents. Recommendations from the Centers for Disease Control and Prevention,
the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases
Society of America. URL: https://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/Adult_OI.pdf
3. Akhter K, Bronze MS. Cytomegalovirus. Updated Aug 12, 2015. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview
4. Bennett NJ, Chandrasekar PH. Pneumocystus jiroveci Pneumonia. Updated Oct 19, 2016. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/225976-overview
5. CDC Atlanta USA. DPDx – Laboratory Identification of Parasitic Disease of Public Health Concern.
Toxoplasmosis. URL: https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
6. Haburchak DR, Bartlett J. Updated Mar 3, 2016. Preventing Opportunistic Infections in Patients
With HIV. URL: http://emedicine.medscape.com/article/1529727-overview
7. Hökelek M, Bronze MS. Toxoplasmosis, Updated: Oct 24, 2016. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/229969-overview#showall
8. Janniger CK, Elston DM. Herpes zoster. Updaed June 15, 2016. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview
9. Kementerian Kesehatan RI 2014. Peraturan Kementerian Kesehatan RI Nomor No. 87 tahun 2014
Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral.
10. King JW, Chandrasekar PH. Cryptococcosis. Updated Feb 29, 2016. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/215354-overview#a5
11. Koirala J, Bronze MS. Mycobacterium Avium-Intracellulare. Updated Oct 19, 2016. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/222664-overview#showall
12. Lynen, Lut. Clinical HIV/AIDS Care. Guidelines for Resource-poor Setting. Medecins Sans Frontiers.
Brussel, 2nd edition, 2006.
13. Nelson, M, Dockrell, DH, and Edwards, S. British HIV Association and British Infection Association
guidelines for the treatment of opportunistic infection in HIV-seropositif individuals 2011. HIV
Medicine (2011), 12 (Suppl. 2), 1–5
14. Salvaggio MR, Bronze MS et al. Herpes Simplex. Update Sep 18, 2015. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview#showall.
15. WHO. Guidelines on co-trimoxazole prophylaxis for HIV-related infections among children,
adolescents and adults : recommendations for a public health approach.2006
16. WHO. Guidelines On Post-Exposure Prophylaxis For HIV And The Use Of Co-Trimoxazole
Prophylaxis For HIV-Related Infections Among Adults, Adolescents And Children:
Recommendations For A Public Health Approach, 2014.
17. WHO. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV
infection: recommendations for a public health approach – 2nd ed. 2016.
18. PNPK Tatalaksana HIV, 2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
19. PNPK Tatalaksana VHC, 2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
20. PNPK Tatalaksana VHB, 2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai