INFEKSI OPORTUNISTIK
Infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem
kekebalan yang normal (sehat), tetapi dapat mengenai orang dengan sistem kekebalan yang rendah.
Infeksi biasanya merupakan reaktivasi dari infeksi yang sudah ada dalam tubuh ODHA atau infeksi baru
yang didapat dari orang lain atau alam sekitar.
Infeksi oportunistik pada ODHA merupakan tanda menurunnya sistem kekebalan atau imun.
Kebanyakan IO yang mengancam jiwa terjadi pada stadium klinis 4 atau ketika jumlah CD4 < 200
sel/mm3 dan merupakan penyebab kematian terbesar pada ODHA.
Risiko terjadinya infeksi oportunistik berkaitan dengan jumlah CD4 adalah sbb:
Jumlah CD4 > 500 sel/mm3
Pada umumnya, ODHA dengan jumlah CD4 > 500 sel/mm3 tidak berisiko mendapat IO. Namun
pada ODHA dengan jumlah CD4 sekitar 500, dan disertai dengan jumlah CD4 yang berfluktuasi
setiap hari dapat menyebabkannya rentan terhadap infeksi ringan, seperti ISPA berulang.
Jumlah CD4 200 – 500 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa kandidiasis oral, tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, sinusitis,
diare akut
Jumlah CD4 100 – 200 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa pneumonia pneumocystis (PCP), diare kronis, kandidiasis esofagus,
leukoensefalopati multifokal progresif, limfoma, sarkoma Kaposi
Jumlah CD4 50 – 100 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa toksoplasmoisis, kriptosporidiosis, meningitis kriptokokus
Jumlah CD4 < 50 sel/mm3
IO yang terjadi dapat berupa infeksi cytomegalovirus (CMV) dan mikobakterium avium kompleks
(MAC)
Pada orang dengan kekebalan tubuh yang turun, IO sering mengalami kekambuhan setelah
pengobatan, apabila tidak dimulai pengobatan ARV.
Penyebab IO:
a. Bakteri/mikobakterium:
Salmonella
Tuberkulosis
MAC
b. Jamur:
Candida albicans
Pneumocystis jiroveci
Aspergillus
Kriptokokus
Histoplasma
c. Protozoa:
Toksoplasma
Kriptosporidia
d. Virus:
Herpes simpleks
Herpes zoster
Human papilloma virus (HPV)
Hepatitis
Cytomegalovirus
Manifestasi Klinis
a) Fenomena sensoris sepanjang 1 atau lebih dermatom, berlangsung 1-10 hari (rata-rata 48
jam)
b) Fenomena tersebut biasanya ditandai sebagai nyeri, atau gatal atau parestesia
c) Nyeri dapat berupa sakit kepala, iritis, pleuritis, neuritis brachial,nyeri kardiak, appendisitis
atau penyakit intra-abdominal.
d) Gejala lain: malaise, mialgia, sakit kepala, fotofobi, dan yang jarang adalah demam
Nyeri persisten dan berulang selama 30 hari atau lebih setelah infeksi akut atau setelah semua
lesi menjadi krusta (9-45% kasus)
Nyeri terbatas pada daerah dermatom yang terkena
Diagnosis
Diagnosis herpes zoster umumnya cukup berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Direct fluorescent antibody (DFA) testing dari cairan vesikel atau lesi kornea
Polymerase chain reaction (PCR) testing dari cairan vesikel, lesi kornea atau darah
Tzanck smear dari cairan vesikel (sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah daripada DFA
atau PCR)
Pengobatan
Terapi medikamentosa::
Pengobatan steroid masih kontroversial. Dapat diberikan dengan dosis 40-60 mg prednison tab
terutama untuk orang tua setiap pagi sedini mungkin selama 1 minggu, dan diikuti oleh tappering off
1-2 minggu untuk mencegah neralgia postherpetika
Terapi antiviral dapat menurunkan lamanya waktu pembentukan vesikel baru, mempercepat
terjadinya crusta secara lengkap, mengurangi jumlah hari perasaan tidak enak, dan mencegah atau
mengurangi beratnya neuralgia posherpetika.
Terapi antiviral harus diberikan <72 jam setelah timbulnya erupsi vesikel:
Asiklovir
Valasiklovir
Dosis asiklovir pada dewasa untuk infeksi primer (varisela) dan herpes zoster rekuran, terlokalisir:
Asiklovir IV 30mg/kgBB, terapi diberikan minimal 7 hari atau sampai seluruh lesi kering dan menjadi
krusta
NSAID
Neuroactive agent (mis, Tricyclic Antidepresant)
Obat antikonvulsi (mis, gabapentin, pregabalin)
Analgetika narkotik dan nonnarkotik, baik sistemik (mis, opioid) dan topikal
2. Infeksi Kandida
Kandidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur genus Candida. Candida albicans 60%,
non albicans 40% (C. krusei, C. glabrata, C. tropicalis, C. parapsilosis, dan C. dubliniensis)
Manifestasi Klinis
a) Kandidiasis mukokutaneus kronis, Dijumpai pada muka, kulit kepala, tangan dan kuku.
b) Kandidiasis orofaringeal.
Gejalanya berupa:
Pseudomembran: merupakan bentuk tersering, ditandai oleh bercak putih pada mukosa
mulut/lidah dan mudah diangkat
Hiperplastik – hampir sama dengan jenis pseudomembran, hanya bercak putihnya sulit diangkat
karena melekat dengan jaringan di bawahnya
Eritematus –bercak kemerahan pada palatum durum maupun molle
Keilitis angularis – reaksi inflamasi yang ditandai oleh fissura pada sudut mulut
Kandidiasis esofagus
Keluhan berupa:
c) Kandidiasis genitourinarius
Kandidiasis vulvovaginal
Balanitis Candida – bercak putih pada penis dan gatal
Sistitis Candida
Pielonefritis ascending – Nyeri punggung, kramp abdomen, mual,muntah, demamd an hematuri
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang:
Spesimen dapat diperiksa di bawah mikroskop dengan pengecatan KOH, Gram atau biru
metilen
Endoskopi dapat dilakukan pada kasus kandidiasis esofagus
Pengobatan
Kandidiasis kutaneus – menggunakan obat anti jamur topikal (mis, clotrimazole, econazole,
ciclopirox, miconazole, ketoconazole, nystatin)
Kandiasis mukokutaneus kronis – golongan azole per oral
Kandidiasis orofaringeal – menggunakan baik anti jamur topikal maupun azole per oral
Kandidiasis esofagus –memerlukan terapi sistemik dengan fluconazol selama 14-21 hari
Suspensi nistatin, teteskan di mulut sebanyak 2-4 ml, kemudian tahan atau dikumur kumur
selama 2 menit sebelum ditelan. Diberikan 4 kali sehari selama selama 7 hari. Jika setelah 7
hari tidak terdapat perbaikan, ganti dengan flukonazol oral. Karena kemasan nistatin isinya
hanya 10 cc maka suspensi sistatin tidak efektif.
Flukanozol dimulai dengan dosis 200mg sekali sehari dan dilanjutkan dengan dosis 2 kali
100mg per hari selama 7-14 hari. Sediaan yang ada di Indonesia 1 tab = 150 mg.
Itraconazol 1 x 200mg/hari per oral selama 7-14 hari
Pneumocystis jiroveci dapat dijumpai pada paru orang normal dan tidak menyebabkan penyakit.
Kebanyakan anak2 telah terpajan terhadap organisme ini pada usia 3-4 tahun.
Angka mortalitas PCP pada ODHA berkisar antara 20%-40%, tergantung kepada beratnya penyakit.
Manifestasi Klinis
Gejala PCP tidak spesifik, perjalanan penyakitnya subakut.
Trias PCP sbb:
Sesak napas progresif (95%)
Demam (>80%)
Batuk non-produktif (95%)
Pemeriksaan fisik
Tachypnea
Fever
Tachycardia
Pemeriksaan fisik paru pada awalnya tidak akan dijumpai kelainan, selanjutnya dapat terjadi
krepitasi atau ronki yang ringan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dahak (biasanya melalui induksi) dan bilasan bronkoalveolar dengan
menggunakan pewarnaan methenamin silver
LDH meningkat pada 90% pasien
Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan gangguan difusi
Pulse oximeter menunjukkan penurunan saturasi oksigen
Pemeriksaan gas darah menunjukkan hipoksemi
Foto toraks pada awalnya tampak normal, selanjutnya dapat dijumpai infiltrat bilateral difus,
pneumatocele dengan pneumotoraks sebagai komplikasinya
Diagnosis
Derajat penyakit ditentukan berdasarkan perbedaan tekanan alveolar-arterial: ringan (< 35 mm Hg),
sedang (35-45 mm Hg), atau berat (>45 mm Hg). Penyakit yang berat juga ditandai oleh tekanan
parsial O2 di arteri (PaO2) < 70 mm Hg
Pengobatan
Pilihan utama adalah kotrimoksasol (TMP-SMX), dengan dosis (TMP 15-20mg + SMZ 75-
100mg/kgBB/ hari) dibagi dalam 3-4 dosis atau 3 X 4 tab kotri dewasa selama 21 hari
Pilihan alternatif adalah Klindamisin 600-900 mg IV setiap 6 sampai 8 jam atau 300-450 mg PO
4 kali sehari + primakuin 15-30 mg oral sekali sehari selama 21 hari bila ODHA alergi terhadap
sulfa.
Pada sesak nafas yang parah (PaO2 < 70 mg Hg atau Sa O2 < 93%) dianjurkan tambahan
pemberian prednison 2x40 mg PO selama 5 hari, selanjutnya 1x40 mg/hari selama 5 hari,
kemudian 20 mg/hari selama 11 hari. Jika ingin mengganti dengan metilprednisolon diberika
75% dari dosis prednison.
Pengobatan PCP jangan ditunda, dan pengobatan PCP dapat dimulai berdasarkan gejala klinis. Dan
pada umumnya respon pengobatan memerlukan waktu yang lama, tetapi dalam 8 hari pertama sudah
dapat terlihat hasilnya.
4. Toksoplasmosis serebri
Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi dengan protozoa Toxoplasma gondii. Pejamunya terdapat
pada kucing dimana berlangsung sikulus seksual.
Selama infeksi primer, kucing dapat mengekskresi jutaan oocyst setiap hari selama 1-3 minggu. Oocyst
masih infeksius lebih dari 1 tahun pada lingkungan lembab dan hangat.
Infeksi T gondii pada manusia terjadi ketika menangani tanah yang terkontaminasi, melalui konsumsi
makanan atau air terkontaminasi, dan pada bayi dapat dihantarkan melalui plasenta ibu hamil yang
terinfeksi. Dan kebanyakan toksoplasmosis pada ODHA terjadi sebagai akibat infeksi terkhir dan
reaktivasi (jika jumlah CD4 < 100 sel/μL. Infeksi T. Gondii pada ODHA dapat terjadi pada berbagai organ
terutama susunan saraf pusat dan mata.
Manifestasi klinis
Toksoplasmosis serebri
Gejala yang tersering adalah sakit kepala, defisit neurologi fokal, kejang. Yang lainnya adalah:
Perjalanan infeksi T gondii pada ODHA dapat bersifat progresif dan cepat, serta fatal.
Toksoplasmosis serebri biasanya dikenal melalui pemeriksaan CT scan sebagai lesi multipel
penyangatan (ring-enhancing); tetapi dapat juga dijumpai lesi soliter, dan pemeriksaan CT scan atau
MRI yang normalpun tidak dapat menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis serebri
Toksoplasmosis pada ODHA sering kambuh jika pengobatan dihentikan. Kelainan pada CT scan
membaik setelah 2-3 minggu pengobatan pada 90% pasien. Resolusi lengkap memerlukan 6 minggu
sampai 6 bulan. Lesi yang lebih kecil biasanya sembuh dalam waktu 3-5 minggu, tetapi lesi dengan
bentuk massa cenderung sembuh perlahan dan meninggalkan lesi residu yang kecil.
Toksoplasmosis okular
Gejalanya berupa:
Gangguan penglihatan – Bisa mendadak atau perlahan tergantung kepada tempat infeksi
Pandangan kabur
Skotoma
Nyeri okular
Fotofobi
Floater
Mata merah
Metamorphopsia (gangguan penglihatan dimana garis lurus terlihat sebagai gelombang atau
sebagiannya hilang)
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan lesi necrotizing,yang bersifat multifokal atau bilateral, juga
dapat dijumpai inflamasi korpus vitreum, sedangkan lesi saraf optik hanya terdapat pada 10% kasus.
Pada retinochoroiditis (focal necrotizing retinitis) akan dijumpai cotton patch yang menonjol berwarna
putih kekuningan dengan batas tidak tegas.
Tergantung kepada lokasi dan beratnya toksoplasmosis retinokoroid, infeksi dapat berakibat jaringan
parut permanen pada retina dan penurunan visus. Episode kambuh sering terjadi yang mengakibatkan
jaringan parut multipel di reina dan kebutaan.
Toksoplasmosis okular.
Pemeriksaan penunjang
Follow-up
Kunjungan follow-up dijadwalkan setiap 2 minggu sampai kondisi pasien stabil, selanjutnya setiap
bulan selama pengobatan.Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap minggu dalam bulan
pertama, dan selanjutnya setiap 2 minggu. Faal hati dan ginjal diperiksa setiap bulan.
Pencegahan
Hindari makan daging mentah, susu yang tidak dipasteurisasi, dan telur yang tidak dimasak
Cuci tangan setelah menyentuh daging mentah
Gunakan sarung tangan waktu berkebun dan setelah itu cucilah tangan
Buah2an dan sayuran harus dicuci
Hindari kontak dengan kotoran kucing
Pengobatan
Saat ini pengobatan toksoplasmosis hanya untuk bentuk tachyzoite, dan tidak untuk bentuk kista
(bradyzoite). Pirimetamin merupakan obat paling efektif. Leucovorin (mis, folinic acid) harus diberikan
untuk mencegah penekanan sumsum tulang. Obat lain juga dapat ditambahkan (mis, sulfadiazine,
clindamycin).
Efektifitas azithromycin, clarithromycin, dan kotrimoksazol tidak jelas; karena itu hanya digunakan
sebagai obat pilihan dengan kombinasi pyrimethamine.
Pirimetamin (loading dosis200mg per oral, selanjutnya jika BB < 50kg: 2 x 25mg per hari per
oral dan jika BB > 50kg: 3 x 25mg per hari) plus asam folinat (leucovorin) 10-20mg per hari
untuk mencegah efek samping anemi akibat pirimetamin DITAMBAH
Klindamisin (4 x 600 mg per oral)
ATAU
Setelah pengobatan fase akut berhasil, dianjurkan untuk memberikan terapi rumatan berupa
pirimetamin + klindamisin + asam folinat selama CD4 <200 sel/mm3 dengan dosis setengah dari dosis
fase akut. Pencegahan sekunder juga dapat menggunakan kotrimoksazol dengan dosis yang sama
dengan pengobatan pencegahan primer
Pertimbangkan steroid pada pasien dengan gambaran radiologi di garis tengah, perburukan klinis
setelah 48 jam, atau peningkatan tekanan intrakranial.
5. Meningitis Kriptokokus
Penyebabnya adalah jamur Cryptococcus neoformans, terdapat dalam bentuk kolonisasi di saluran
napas, dan dapat mengakibatkan meningitis atau penyakit disseminata, yang mengancam jiwa
Manifestasi Klinis
Demam (84%)
Batuk (63%)
Sesak napas (50%)
Sakit kepala (41%)
Penurunan berat badan (47%)
Nyeri dada pleritik
Batuk darah
Ronki atau pleural rub
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Meningitis kriptokokosis
Diagnosis
Biakan urin dan sputum, walaupun tidak terbukti secara klinis kelainan pada paru dan ginjal
Pemeriksaan CT scan atau MRI dapat dilakukan sebelum pungsi lumbal. Jika tampak massa,
jangan lakukan pungsi lumbal, karena dapat menyebabkan herniasi. Pada CT scan atau
menunjukkan atrofi difus atau edema serebri dengan daerah contrast-enhanced yang fokal,
homogen.
Pemeriksan foto toraks pada kelainan paru: pneumonitis tersebar, granuloma berukuran 2-7
cm, atau gambaran milier
Pengobatan
2) Skrining
Skrining infeksi kriptokokus menjadi penting dilakukan setelah diketahui adanya antigen
kriptokokus asimtomatik yang dapat menyebabkan terjadinya meningitis kriptokokus setelah
pemberian ARV. Berdasarkan temuan ini, dan perhitungan cost effectiveness antara mengobati
meningitis kriptokokus atau melakukan skrining antigen kriptokokus pada semua ODHA dengan
CD4 < 100 sel/mm3, WHO menganjurkan melakukan skrining tersebut. Hal ini dipermudah dengan
dikembangkannya metoda skrining antigen yang cepat dengan menggunakan bahan pemeriksaan
darah atau urin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di tempat pelayanan primer HIV tanpa
menggunakan peralatan yang canggih atau prosedur yang rumit.
Tatalaksana tekanan cairan serebrospinal sangat penting demi kelangsungan hidup pasien. Tekanan
pembuka (opening pressure)yang > 250 mm H2O harus dikurangi dan dipertahankan sekitar 200 mm
H2O. Hal ini dapat dilakukan dengan drainase cairan spinal. Jika gagal mengendalikan tekanan cairan
serebrospinal ini akan berakibat kebutaan, defisit neurologis permanen, atau kematian. Penggunaan
manitol tidak terbukti untuk menurunkan tekanan cairan serebrospinal, demikian juga penggunaan
acetazolamide atau steroid.
6. Infeksi Cytomegavirus
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA double-stranded dan termasuk famili Herpesviridae.
Infeksi CMV biasanya asimtomatis atau gejala flu yang ringan, selanjutnya menjadi laten seumur hidup
dan bisa mengalami reaktivasi. Penyakit CMV yang simtomatis dapat mengenai hamir setiap organ
tubuh, mengakibatkan demam yang tidak diketahui sebabnya, pneumonia, hepatitis, ensefalitis,
mielitis, kolitis, uveitis, retinitis, dan neuropati. Pada ODHA, CMV sering menyebabkan retinitis dan
gangguan saluran cerna.
Manifestasi Klinis
Retinitis Cytomegalovirus
Retinitis CMV pada ODHA pada umumnya terjadi jika jumlah CD4 < 50 cells/µL. Gejalanya berupa
penurunan visus yang dapat mengalami progresi menjadi kebutaan, bisa unilateral maupun bilateral.
Selain itu, terapat juga gejala floater,pandangan kabur, fotofobi, nyeri pada mata.Pada beberapa
pasien bisa dijumpai edema makula, vitreoretinopathy, perdarahan vitreal, dan ablasio retina.
Diagnosis
CMV dapat dideteksi melalui biakan (fibroblast manusia), serologi (IgM meningkat dan titer IgG
meningkat 4kali), pemeriksaan antigen, polymerase chain reaction (PCR) kualitatif maupun
kuantitatif, dan sitopatologi.
Pengobatan
Pengobatan dengan antiviral diberikan pada ODHA yang menderita infeksi pada mata atau penyakit
yang mengancam jiwa akibat CMV. Obat antiviral pilihan utama adalah valganciclovir dan ganciclovir
sistemik. Obat pilihan lain adalah cidofovir. Namun sangat disayangkan bahwa ganciclovir hanya
memperlambat progresi penyakit. Ganciclovir implant juga digunakan untuk retinitis CMV, yaitu
menempatkan ganciclovir di vitreus diikuti oleh terapi ganciclovir sistemik. Ganciclovir oral dapat
digunakan untuk profilaksis retinitis CMV dan jangan digunakan untuk pengobatan.
Efek samping ganciclovir adalah demam, ruam kulit, diare, dan efek hematologi (mis, netropeni,
anemi, trombositopeni).
Terapi pilihan
o Lesi dengan ancaman kebutaan: Gansiklovir 2 mg intravitreal sebanyak 1-4 dosis
dalam periode 7-10 hari ditambah salah satu dari terapi sistemik. Pilihannya adalah
valgansiklovir 2 x 900 mg per oral saat makan selama 14-21 hari, selanjutnya
900mg/hari.
o Lesi perifer: valgansiklovir 2 x 900 mg per oral saat makan selama 14-21 hari,
selanjutnya 900mg/hari.
Terapi alternatif:
o Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 14-21 hari, kemudian valgansiklovir 4 x 900 mg
PO
o Valgansiklovir 2 x 900 mg per oral selama 21 hari, selanjutnya 900mg/hari
Infeksi gastrointestinal
Pneumonitis CMV
Mycobacterium avium complex (MAC) terdiri dari 2 spesies, yaitu: M avium and M intracellulare; dan
2 spesies ini sulit dibedakan.. MAC juga sering disebut Mikobakterium atipikal. Lebih dari 95% infeksi
MAC pada ODHA disebabkan oleh M avium.
Secara primer, MAC merupakan patogen di paru yang dapat menginfeksi ODHA. Namun, MAC dapat
menyebabkan osteomielitis; tenosinovitis; sinovitis; dan penyakit diseminata yang mengenai kelenjar
getah bening, SSP, hati, limpa dan sumsum tulang. Penyakit diseminata ini pada umumnya terjadi jika
jumlah CD4 < 50 sel/µL
Sistem perpipaan air panas (di rumah tangga dan rumah sakit)
Kamar mandi
Debu rumah
Tanah
Burung
Hewan di pertanian
Komponen rokok (mis, tembakau, filter, kertas pembungkus rokok)
Manifestasi klinis
Infeksi MAC di paru pada ODHA memberikan gejala batuk, produksi sputum, berat badan turun,
demam, lesu, dan keringat malam. Onset gejala terjadi insidious (ber-minggu2 sampai ber-bulan2).
Pasien dengan AIDS lanjut (umumnya jumlah CD4 < 50 sells/µL) dapat berkembang menjadi MAC
diseminata, yang ditandai oleh gejala utama demam yang tidak diketahui sebabnya. Gejala dan tanda
lain adalah:
Berkeringat
Berat badan turun
Lemah
Diare
Sesak napas
Nyeri perut kuadran kanan atas
Pemeriksaan fisik pada MAC di paru dapat dijumpai takipnea, suara napas bronkial, pekak pada
perkusi, dan pada auskultasi bisa dijumpai krepitasi, ronki
Pemeriksaan fisik pada MAC diseminata bisa dijumpai wasting, kulit pucat, infection in patients with
AIDS can cause generalized wasting, skin pallor, hepatosplenomegali yang lunak, dan limfadenopati.
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang:
Pada dari MAC diseminata sering dijumpai anemi dan kadang2 pansitopeni.
Pemeriksan dahak basil tahan asam (BTA) dan biakan (pada MAC di paru); dan biakan darah
dan urin (pada MAC diseminata).
Biakan feses dapat dilakukan jika timbul diare.
Peningkatan faal hati (pada MAC diseminata).
Pemeriksaan foto toraks (pada MAC di paru) meliputi opasitas ground-glass, nodul
sentrilobular, fibro-kavitas, terutama di lapangan atas paru.
Pemeriksaan CT scan abdomen (pada MAC diseminata) dapat dijumpai limfadenopati
retroperitoneal atau periaortik dan hepatosplenomegali.
Pengobatan
Pada umumnya infeksi MAC diobati dengan 2 atau 3 antimikroba selama paling sedikit 12 bulan. Obat
lini pertama adalah makrolid (klaritromisin atau azitromisin), etambutol, (dan rifabutin).
Terapi pilihan:
Moksifloksasin 1 x 400 mg
Anjuran: penghentian terapi kronik dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi tanpa gejala dan tanda
MAC, disertai peningkatan CD4 > 100 sel/ L menetap selama 6 bulan dengan pemberian ARV
Demam akan hilang dalam waktu 2-4 minggu pengobatan. Jika masih ada demam, ulangi biakan darah
dan uji kerentanan antimikroba. Jika hasilnya sensitif dengan makrolid tetapi terapi tidak memberikan
respon, pertimbangkan untuk menambah obat lain seperti streptomisin atau amikasin.
Pemberian terapi antiretroviral dapat diberikan setelah infeksi MAC diobati selama 2 minggu, yaitu
untuk mengurangi terjadinya sindrom pulih imun (IRIS)
Pencegahan IO pada ODHA penting untuk mengoptimalkan hasil tatalaksana HIV. Semua infeksi terkait
HIV dan keganasan meningkat frekuensinya dan morbiditasnya jika jumlah CD4 < 200 sel/μL.
Untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu, seseorang dapat minum obat, dan ini disebut
sebagai pengobatan pencegahan atau profilaksis.
Terkontaminasi kotoran kucing, saliva dari binatang di peternakan, binatang peliharaan lain.
Gigitan atau cakaran binatang
Orang2 dengan infeksi kulit
Daging, telur dan kerang mentah; buah2an dan sayuran yang tidak dicuci
Produk susu yang tidak dipasteurisasi
Minum air sungai atau danau
Kontak fecal-oral manusia
Pencegahan dan pengobatan penyalah gunaan obat, alkohol, dan rokok harus merupakan bagian
dari setiap program tatalaksana penyakit HIV.
Sebelum memulai pengobatan pencegahan IO, harus mempertimbangkan banyaknya tablet yang
harus diminum, risiko toksisitas obat, dan manfaat pengobatan tersebut.
Berikut ini adalah hubungan antara jumlah CD4 dengan pengobatan pencegahan yang dapat diberikan
terhadap IO tertentu:
Kotrimoksazol adalah kombinasi dosis tetap dari sulfamethoxazole and trimethoprim, dan merupakan
obat anti mikroba berspektrum luas dengan sasaran organisme aerob Gram positif dan negatif, jamur
dan protozoa
Kotrimoksazol mempunyai antivitas anti mikroba terhadap Pneumokokus, Salmonella non tifoid,
Isospora, Cyclospora, Nocardia, Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii dan PCP.
Sekali pengobatan pencegahan mulai diberikan, harus diikuti oleh konseling yang diberikan petugas
terlatih. Pada setiap kunjungan, konselor/petugas farmasi harus menjelaskan maksud pemberian obat
tersebut. Hal ini terutama disampaikan pada awal pengobatan.
Jika kondisi pasien membaik dan jumlah CD4 meningkat diatas CD4 > 200 sel/μL setelah 6 bulan ART
atau bila tidak tersedia CD4 maka PPK diteruskan selama dua tahun.
Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm 3,
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol tidak berbarengan dengan ARV untuk
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol.
Dapat dicoba 2 minggu setelah reaksi toksisitas teratasi, dan 1 hari sebelum melakukan
desensitisasi berikan antihistamin dan dilanjutkan sampai desensitisasi selesai.
Jika selama berlangsungnya proses desensitisasi timbul efek samping, proses desensitisasi
dihentikan; jika reaksi yang timbul kecil (derajat 1 atau 2) bisa diulang.
Langkah Dosis
Hari 6 2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 mg SMX + 160 TMP)
Terapi rumatan (profilaksis) sekunder adalah pengobatan yang diberikan unruk mencegah
kambuhdari orang yang sebelumnya sudah diobati Ionya dan sedang dalam pengobatan ARV.
Untuk PCP, profilaksis sekundernya adalah kotrimoksazol 1 x 960mg sampai jumlah CD4 > 200 sel/μL
dan sudah ARV minimal 6 bulan.
ODHA memiliki respons kekebalan tubuh yang suboptimal terhadap vaksin. ODHA dengan CD4 rendah
maka respons vaksin yang didapat juga akan semakin rendah. Bila didapatkan CD4 < 200 sel/mm3
ODHA tidak boleh mendapatkan vaksin hidup. Vaksin hidup baru aman diberikan bila CD4 sudah
meningkat stabil di atas 200 sel/mm3 setelah pemberian ARV. Vaksin mati dapat digunakan pada CD4
berapa pun, namun bila diberikan pada CD4 rendah sebaiknya vaksin diberikan lagi saat CD4
meningkat di atas 200 sel/mm3. Tabel berikut menunjukkan vaksin yang direkomendasikan pada
ODHA dewasa. Khusus untuk ODHA koinfeksi HBV, direkomendasikan juga untuk mendapatkan vaksin
HAV. Demikian juga ODHA koinfeksi HCV, direkomendasikan untuk mendapatkan vaksin HBV dan HAV.
Pneumokokal konjugat
Sedangkan vaksin lainnya digunakan sesuai dengan rekomendasi satgas imunisasi dewasa, kecuali
untuk vaksin polio oral, varisela, yellow fever dan MMR yang hanya dapat diberikan setelah CD4
meningkat di atas 200 sel/mm3. Demikian juga dengan vaksin zoster yang juga dapat diberikan
setelah CD4 meningkat.
Jadwal Imunisasi Dewasa menurut rekomendasi satgas imunisasi PAPDI 2014
KOINFEKSI VHC-HIV
Infeksi virus hepatitis C (VHC = HCV) telah menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap kesintasan
pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang telah mendapatkan terapi
antiretroviral (ARV). Pasien dengan koinfeksi VHC-HIV umumnya mengalami progresi fibrosis yang
lebih cepat serta risiko dekompensasi hati yang lebih besar.
Adanya kesamaan moda transmisi antara VHC dan HIV menyebabkan tingginya prevalensi koinfeksi
VHC dan HIV. Transmisi VHC yang paling efisien adalah melalui darah, dengan kemampuan
penyebaran tersebut 10 kali lebih efektif dibandingkan transmisi HIV. Hal ini menyebabkan tingginya
angka koinfeksi VHC-HIV pada penasun (90%). Dengan demikian, diperlukan permintaan rutin tes HIV
pada semua pasien dengan infeksi hepatitis C kronik dan sebaliknya, termasuk penilaian risiko
pajanan.
Setelah didiagnosis HIV maka dilakukan pemeriksaan rutin HCV dan sebaliknya. Terapi berbasis DAA
pada pasien koinfeksi VHC-HIV sama dengan pasien monoinfeksi VHC, diberikan tanpa memandang
CD4. Diperlukan penilaian kemungkinan interaksi obat pada pasien koinfeksi VHC-HIV yang akan
diberikan terapi VHC dan HIV.
Studi oleh Yuni hastuti et al. pada klinik Pokdisus HIV-AIDS Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian koinfeksi yang tinggi. Pada studi terhadap 3.613 pasien yang baru
terdeteksi HIV, ditemukan anti-HCV positif pada 67,9% pasien sedangkan koinfeksi VHC-HIV dan virus
hepatitis B (VHB) ditemukan pada 5,9% kasus.
Pada era pengobatan menggunakan DAA, efikasi dan efek samping pengobatan koinfeksi HIV/VHC
serupa dengan pasien VHC monoinfeksi pada umumnya. Akan tetapi, interaksi obat perlu diperhatikan
antara DAA dengan obat antiretroviral. Pada pasien koinfeksi HIV/VHC terutama yang memiliki sirosis,
manfaat pemberian ARV lebih tinggi dibandingkan resiko terjadinya hepatitis imbas obat. Oleh karena
itu, ARV pada pasien koinfeksi HIV/VHC diberikan tanpa memandang kadar sel limfosit T CD4. Dalam
satu studi disebutkan penggunaan ARV pada jumlah CD4 diatas 500 sel/mm3 menunjukkan aktivitas
nekroinflamasi yang lebih perlahan pada jaringan hati.
Regimen terapi yang digunakan dalam pengobatan koinfeksi VHC-HIV umumnya sama dengan pasien
pada monoinfeksi VHC, yaitu dengan terapi berbasis DAA sesuai genotipe. Terapi menggunakan
regimen DAA dapat dilakukan tanpa memandang CD4 dan genotype nya. Pada penggunaan daclatasvir
bersamaan dengan ARV berbasis dolutegravir (TLD) maka tidak perlu penyesuaian dosis, namun pada
ARV berbasis efavirenz (EFV), diperlukan peningkatan dosis daclatasvir dari 60 mg menjadi 90 mg.
Pasien dengan koinfeksi VHC-HIV dengan TB perlu menyelesaikan terapi TB terlebih dahulu sebelum
memulai terapi VHC dengan regimen DAA. Diperlukan monitor fungsi hati ketat terkait
hepatotoksisitas pada penggunaan OAT. Penasun yang aktif, maupun terapi substitusi opioid, tidak
dilihat sebagai kontraindikasi absolut untuk memulai terapi DAA, namun terdapat risiko ketidak
patuhan terapi.
Pasien hepatitis C kronik non-sirosis yang berhasil mencapai SVR maka perlu dilakukan pemeriksaan
RNA VHC 12 minggu pasca terapi dengan DAA. Jika didapatkan nilai RNA VHC negatif maka dinyatakan
bebas infeksi VHC dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA VHC lagi. Pasien hepatitis C kronik
dengan sirosis yang berhasil mencapai SVR 12 tetap dalam monitor dan evaluasi surveilans karsinoma
hepatoselular dengan AFP dan ultrasonografi abdominal setiap 6 bulan.
Koinfeksi VHB - HIV
Target terapi ko-infeksi HIV-VHB adalah menekan se-efisien dan se-persisten mungkin replikasi HIV
dan VHB dan menghentikan progresifitas infeksi HIV dan VHB, maupun kematian yang terkait dengan
penyakit hati dan infeksi oportunistiknya. Oleh karena itu, pengobatan HIV diberikan tanpa melihat
CD4 lagi dan karena obat ARV seperti TDF dan 3TC juga dapat mengobati hepatitis B, maka pengobatan
HIV diindikasikan pada semua pasien ko-infeksi HIV-VHB.
Pasien ko-infeksi HIV-VHB berapapun CD4 nya sudah merupakan indikasi terapi antiHIV. Khusus untuk.
Pada pasien HIV positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama pengobatan VHB adalah
tenofovir dan lamivudin.
Risiko hepatitis flare akibat imunorekonstitusi setelah pengobatan anti-HIV harus dipertimbangkan,
terutama pada pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Pada kondisi ini, khususnya pada pasien dengan
DNA VHB tinggi sebelum terapi, disarankan untuk mereduksi level DNA VHB sebelum dimulai
pengobatan anti-HIV untuk mencegah efek imunorekonstitusi.
DAFTAR PUSTAKA