Anda di halaman 1dari 28

MODUL INTI-3

EDUKASI KEPATUHAN PENGOBATAN ARV

I. DESKRIPSI SINGKAT
Program pengendalian HIV AIDS mengalami perkembangan juga dalam pengobatan ARV,
dengan penyederhanaan pada indikasi pemberian ARV. Strategi SUFA juga gencar dilakukan
pada tahun-tahun terakhir ini. Namun penyederhanaan indikasi pemberian ART akan menjadi
sia-sia apabila tidak disertai dengan kepatuhan pasien dalam minum obat ARV. Setiap pasien
yang mendapatkan ARV harus diberikan edukasi secara tepat dan benar tentang kepatuhan
minum obat, sehingga akan mendukung pencapaian 90% ODHA yang tahu status HIV nya
mendapatkan ARV dan 90% ODHA yang mendapat ARV, virusnya tersupresi.

Peranan tenaga kesehatan di layanan HIV sangat penting dalam melakukan edukasi kepatuhan
minum obat ARV kepada setiap pasien HIV AIDS yang mendapatkan pengobatan ARV. Petugas
harus memiliki pengetahuan yang benar tentang ARV, serta memiliki keterampilan dalam
melakukan edukasi kepatuhan pengobatan.

Modul ini akan membahas tentang: Pengenalan ARV, Kepatuhan pada pengobatan ARV, Faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan ARV dan Tahapan dan kegiatan edukasi
kepatuhan minum obat .

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi peserta mampu melakukan edukasi kepatuhan pengobatan ARV

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi peserta mampu:
1. Menjelaskan tentang obat dan pengobatan ARV
2. Menjelaskan pentingnya kepatuhan pada pengobatan ARV
3. Menjelaskan faktor-faktor yang menghambat kepatuhan pengobatan ARV
4. Melakukan tahapan dan kegiatan edukasi kepatuhan minum obat .

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN


1. Pengenalan ARV
2. Kepatuhan pada pengobatan ARV
3. Faktor-faktor yang menghambat kepatuhan pengobatan ARV
4. Tahapan dan kegiatan edukasi kepatuhan minum obat .

1
IV. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN. Waktu 8 Jpl=360 menit
Langkah 1. Pengkondisian (5-10 menit)
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila ini merupakan pertemuan
pertama di kelas ini, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan
nama lengkap, instansi tempat bekerja/pengalaman bekerja terkait dengan materi yang
akan disampaikan.
2. Menyampaikan keterkaitan materi ini dengan modul/materi sebelumnya
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan dibahas,
sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang, lakukan penegasan dan jangan hanya
membacakan saja.

Langkah 2. Pembahasan pokok bahasan 1 ( 110 menit)


1. Fasilitator melakukan curah pendapat, bagaimanakah pemahaman peserta tentang ARV?
Apakah sudah memahami tentang indikasi pemberian ARV? Apakah mempunyai
pengalaman melakukan inisiasi ARV di fasyankes masing-masing, atau menjadi satelit?
Tuliskan poin-poin penting penyampaian peserta pada kertas flipchart
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Pengenalan ARV, meliputi: prinsip
pemberian, indikasi memulai pemberian, Paduan terapi ARV lini pertama pada orang
dewasa, pemantauan setelah pemberian ARV, pemantauan efek samping dan substitusi
ARV, pemantauan viral load dan pemantauan CD4, menggunakan bahan tayang. Lakukan
secara interaktif dengan melibatkan peserta. Kaitkan dengan poin-poin penyampaian
peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya jawab. Beri juga kesempatan untuk menjawab pertanyaan
peserta lain terlebih dahulu sebelum fasilitator menjawabnya.
4. Fasilitator memandu peserta untuk mengerjakan penugasan 1. Permainan padanan kartu,
untuk lebih meningkatkan pemahaman peserta tentang ARV. Jelaskan tugas peserta sesuai
dengan petunjuk penugasan yang ada pada fasilitator.
5. Setelah selesai, fasilitator memandu diskusi, untuk lebih memperjelas.
6. Menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 1.

Langkah 3. Pembahasan pokok bahasan 2 (60 menit)


1. Fasilitator melakukan curah pendapat, bagaimanakah pemahaman peserta tentang kepa
tuhan pada pengobatan ARV? Mengapa penting kepatuhan? Tuliskan poin-poin penting
penyampaian peserta pada kertas flipchart
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Kepatuhan pada pengobatan ARV, meng
gunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta. Kaitkan
dengan poin-poin penyampaian peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi kesempat
an peserta untuk tanya jawab. Beri juga kesempatan untuk menjawab pertanyaan peserta
lain terlebih dahulu sebelum fasilitator menjawabnya.
4. Fasilitator memandu peserta untuk mengerjakan penugasan 2. Diskusi kelompok pentingnya
kepatuhan pada pengobatan ARV. Jelaskan tugas peserta sesuai dengan petunjuk
penugasan yang ada pada fasilitator.
5. Setelah selesai, fasilitator memandu presentasi dan pembahasan

2
6. Menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 2.

Langkah 4. Pembahasan Pokok bahasan 3 ( 60 menit)


1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang Faktor yang
menghambat kepatuhan pengobatan ARV. Lakukan curah pendapat, apa
pegetahuan/pemahaman peserta atau adakah yang memiliki pengalaman? Tuliskan poin-
poin penting penyampaian peserta pada kertas flipchart
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Faktor yang menghambat kepatuhan
pengobatan ARV menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan
peserta. Kaitkan dengan poin-poin penyampaian peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi kesempatan
peserta untuk tanya jawab. Beri juga kesempatan untuk menjawab pertanyaan peserta lain
terlebih dahulu sebelum fasilitator menjawabnya.
4. Fasilitator menyampaikan bahwa peserta akan mengerjakan penugasan 3. Diskusi kelompok
Hambatan pada kepatuhan pengobatan ARV. Sampaikan penjelasan sesuai dengan petunjuk
penugasan yang ada pada fasilitator.
5. Selama peserta mengerjakan latihan, fasilitator melakukan pengamatan, dan memberikan
bantuan yang diperlukan.
6. Setelah selesai mengerjakan penugasan, fasilitator memandu presentasi . Mintalah pendapat
dan masukan dari peserta lainnya, agar bisa saling melengkapi.
7. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 3.

Langkah 5. Pembahasan pokok bahasan 4 (120 menit).


1. Fasilitator menggali pendapat/pemahaman dan atau pengalaman peserta terkait dengan
edukasi kepatuhan minum obat. Mintalah peserta berbagi pengalaman. Bagaimana mereka
melakukan edukasi pasien untuk kepatuhan minum obat? Kendala apa saja yang dihadapi?
Tuliskan poin-poin penyampaian peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan materi Edukasi kepatuhan minum obat, menggunakan bahan
tayang, secara interaktif, dan kaitkan dengan poin-poin penyampaian peserta, agar merasa
dihargai pendapatnya. Pada proses ini fasilitator juga mengklarifikasi persepsi atau
pemahaman yang masih belum tepat, agar tidak terulang lagi.
3. Selama presentasi atau setelah selesai presentasi, fasilitator memberi kesempatan kepada
peserta untuk tanya jawab.
4. Sampaikan bahwa selanjutnya peserta akan melakukan bermain peran tentang edukasi
kepatuhan minum obat, sesuai dengan petunjuk dan skenario bermain peran yang ada pada
fasilitator. Kepada pengamat diminta untuk menggunakan daftar tilik/cek lis pelaksanaan
edukasi kepatuhan minum obat yang ada pada modul. Peran pasien, petugas dan pengamat
dapat bergantian.
5. Setelah selesai bermain peran fasilitator meminta penyampaian hasil pengamatan. Kemudian
minta juga pemeran peserta dan pasien untuk menyampaikan perasaannya. Pada akhir sesi
fasilitator menyampaikan ulasan mengenai bermain peran.
6. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat pokok bahasan 4.

3
Langkah 6. Rangkuman dan Penutup (10 menit)
1. Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam sesi ini.
2. Sampaikan bahwa dengan mempelajari materi ini, diharapkan memberikan bekal pengalaman
belajar kepada peserta dalam memahami pentingnya notifikasi pasangan, keterampilan untuk
menentukan bentuk notifikasi pasangan yang sesuai/tepat, serta mengedukasi pasien untk
melakukan notifikasi pasangan. Peserta diharapkan dapat menerapkannya di fasyankes/
tempat tugas masing-masing.
3. Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salam

4
V. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1. PENGENALAN ARV

Pemerintah menetapkan rejimen yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 4
aspek yaitu:
1. Efektivitas
2. Efek samping / toksisitas
3. Interaksi obat
4. Adherens

Prinsip dalam pemberian ARV adalah

 Penggunaan rejimen Highly active antiretroviral therapy (HAART) yang artinya harus
menggunakan 3 jenis obat dan ketiga jenis obat tersebut terserap dan berada dalam dosis
terapeutik dalam darah. Prinsip ini sangat direkomendasikan untuk diterapkan pada semua
pasien untuk menjamin efektivitas menggunakan obat yang disediakan oleh pemerintah.
Istilah HAART sering dipendekkan menjadi ART (antiretroviral therapy).

 Membantu pasien dalam menciptakan dan memperbaiki sistem agar akses ARV menjadi
lebih dekat dan mudah sehingga kepatuhan minum obat dapat dijaga

Indikasi memulai ARV pada orang dewasa

Tanpa terapi ARV, sebagian besar ODHA akan menuju imunodefisiensi secara progresif yang ditandai
dengan menurunnya jumlah CD4, kemudian berlanjut hingga kondisi AIDS dan dapat berakhir kematian.
Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan HIV serta menurunkan transmisi HIV. Tujuan ini dapat dicapai melalui pemberian terapi ARV
yang efektif sehingga kadar viral load tidak terdeteksi. Lamanya supresi virus HIV dapat meningkatkan
fungsi imun dan kualitas hidup secara keseluruhan, menurunkan risiko komplikasi AIDS dan non-AIDS
dan memperpanjang kesintasan. Tujuan kedua dari pemberian terapi ARV adalah untuk mengurangi
risiko penularan HIV.

Inisiasi ARV dini terbukti berguna untuk pencegahan, bermanfaat secara klinis, meningkatkan harapan
hidup, dan menurunkan insidens infeksi terkait HIV dalam populasi. Pemulihan jumlah CD4
berhubungan langsung dengan jumlah CD4 saat memulai ARV. Sebagian besar individu yang memulai
terapi pada saat jumlah CD4 <350 sel/mm3 tidak pernah mencapai jumlah CD4 >500 sel/mm3 setelah
pengobatan ARV selama 6 tahun. Orang dengan HIV AIDS yang memulai terapi ARV pada nilai CD4 <350
sel/mm3 mempunyai harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan orang yang memulai pada
nilai CD4 yang lebih tinggi.3

5
Rekomendasi

Terapi ARV harus diberikan kepada semua ODHA tanpa melihat stadium klinis dan nilai CD4
(sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang)

Terapi ARV harus dimulai pada semua ODHA yang hamil dan menyusui, tanpa memandang
stadium klinis WHO dan nilai CD4 dan dilanjutkan seumur hidup (sangat direkomendasikan,
kualitas bukti sedang)

Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8 minggu pertama pengobatan TB (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti tinggi )
ODHA dengan TB yang dalam keadaan imunosupresi berat (CD4 <50 sel/mm3) harus
mendapat terapi ARV dalam 2 minggu pertama pengobatan TB (ungraded)

Paduan Terapi Antiretroviral Lini Pertama pada Orang Dewasa


Paduan ARV lini pertama harus terdiri dari dua nucleoside reverse-transcriptase inhibitors (NRTI)
ditambah non-nucleoside reverse-trancriptase inhibitor (NNRTI) atau protease inhibitor (PI). Pilihan
paduan ARV lini pertama berikut ini berlaku pada pasien yang belum pernah mendapatkan ARV
sebelumnya (naif ARV). Sedangkan bagi pasien lama yang sedang dalam pengobatan ARV, tetap
menggunakan panduan yang sebelumnya.

WHO mendorong penggunaan terapi ARV yang mempunyai sedikit efek samping, lebih nyaman, dan
paduan yang lebih sederhana. Terapi ARV pilihan juga harus dapat digunakan bersama obat yang
digunakan untuk berbagai koinfeksi dan komorbiditas yang umumnya ditemukan pada ODHA.

Berdasarkan telaah sistematik, kombinasi dosis tetap sekali sehari TDF+3TC(atau FTC)+EFV lebih jarang
menimbulkan efek samping berat, menunjukkan respons terapi dan virologis yang lebih baik
dibandingkan dengan NNRTI sekali atau dua kali sehari atau paduan yang mengandung protease
inhibitor (PI). EFV juga merupakan pilihan ARV jika digunakan bersamaan dengan rifampisin pada
koinfeksi TB, dan dapat digunakan pada ibu hamil atau perempuan usia subur. Metaanalisis dan
beberapa laporan studi sesudahnya yang membandingkan penggunaan EFV dengan obat ARV lain pada
trimester pertama kehamilan menunjukkan EFV tidak meningkatkan risiko kelainan kongenital seperti
neural tube defect pada bayi. Demikian juga dengan penggunaan TDF. Kombinasi dosis tetap yang
tersedia di Indonesia adalah TDF+3TC+EFV, sehingga kombinasi ini yang menjadi pilihan utama paduan
ARV lini pertama di Indonesia.

Kombinasi TDF+3TC atau TDF+FTC juga merupakan pilihan utama kombinasi NRTI pada koinfeksi HIV-
HBV karena juga mempunyai efek antivirus HBV.

Pilihan lain pada paduan lini pertama adalah AZT+3TC+EFV, AZT+3TC+NVP, atau TDF+3TC(atau
FTC)+NVP.

6
ARV Lini Pertama untuk dewasa
Paduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
Paduan alternatif AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV400
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV400
Catatan : Saat ini sediaan EFV 400 mg belum tersedia

Pemantauan Setelah Pemberian ARV


Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi
pasien selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, konselor. Evaluasi
tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu pasien dan
keluarganya selama menjalani pengobatan.

Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV. Perbaikan klinis dan
imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan
terjadinya sindrom pulih imun (IRIS/Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) atau toksisitas
obat. Pemantauan awal dan pemantauan selanjutnya harus selalu dilakukan untuk memastikan
keberhasilan terapi ARV, mendeteksi masalah terkait adherens, dan menentukan kapan terapi ARV
harus diganti (switch) ke lini selanjutnya.

Adherens pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien dalam menjalani pengobatan,
sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk terapi ARV, adherens yang tinggi sangat
diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan memperbaiki kondisi klinis dan imunologis;
menurunkan risiko timbulnya resistensi ARV; dan menurunkan risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu
dilakukan adalah dukungan adherens, bukan selalu penggantian ke obat ARV alternatif.

Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi adherens
terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas,
depresi atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV
meliputi efek samping, banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu
diperhatikan pada populasi tertentu seperti perempuan hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-
anak, serta populasi kunci (LSL, PS, dan Penasun).

7
Fase penatalaksanaan HIV Rekomendasi Yang diperlukan
Selama menggunakan ARV Jumlah sel CD4 (tiap 6 bulan) serum kreatinin dan eGFR
Viral load (pada bulan ke 6 tiap 6 bulan pada
dan ke 12 setelah memulai penggunaan TDF
ARV dan berikutnya setiap 12 Hb pada penggunaan AZT
bulan)
Gagal terapi Viral load HbsAg (bila sebelum switch
Jumlah sel CD4 belum pernah di tes, atau jika
hasil baseline sebelumnya
negatif dan belum pernah
divaksin setelah itu)

Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV1


Pendekatan gejala dilakukan untuk mengarahkan pemeriksaan laboratorium yang akan dilakukan untuk
pemantauan toksisitas dan keamanan ARV. Beberapa pemeriksaan laboratorium disarankan untuk
dilakukan pada orang-orang dengan risiko tinggi terhadap obat tertentu, seperti terlihat pada tabel.
Pemantauan efek samping ARV dengan pendekatan gejala perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan
keluaran pengobatan yang optimal, terutama pemeriksaan kreatinin pada pemakaian TDF.

Efek samping ARV lini pertama dan pilihan obat substitusinya

ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi lini 1


TDF Disfungsi tubulus renalis Sudah ada penyakit ginjal Dewasa= AZT
Sindrom Fanconi sebelumnya Anak = AZT atau ABC
Usia lanjut
IMT < 18,5 atau BB < 50 kg Jangan memberikan TDF
pada dewasa pada pasien dengan eGFR
DM tak terkontrol <50 ml/menit, hipertensi
Hipertensi tak terkontrol tidak terkontrol, diabetes
Penggunaan bersama obat yang tidak terkontrol, atau
nefrotoksik lain atau boosted adanya gagal ginjal
PI
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan .
mineral tulang fraktur patologis
Faktor risiko osteoporosis atau
bone-loss lainnya
Defisiensi vitamin D
Asidosis laktat atau Penggunaan nukleosida
hepatomegali dengan analog yang lama
steatosis Obesitas
Penyakit hati
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena Gunakan alternatif obat
(hepatic flares) toksisitas lainnya pada hepatitis lainnya seperti
koinfeksi hepatitis B entecavir

8
AZT Anemia atau neutropenia Anemia atau neutropenia Dewasa: TDF, atau
berata sebelum mulai terapi pertimbangkan penggunaan
Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 AZT dosis rendahb
(dewasa) Anak: ABC atau TDF (usia > 3
tahun)
Intoleransi saluran cerna Dewasa: TDF
beratc Anak: ABC atau TDF (usia > 3
tahun)
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB > 75 kg Dewasa: TDF
hepatomegali dengan (dewasa) Anak: ABC atau TDF (usia > 3
steatosis Penggunaan nukleosida tahun)
Miopati, lipoatrofi atau analog yang lama
lipodistrofi
EFV Toksisitas CNS persisten Sudah ada gangguan mental Pertimbangkan penggunaan
(seperti mimpi buruk, atau depresi sebelumnya EFV dosis rendah (400
depresi, kebingungan, Penggunaan siang hari mg/hari) atau
halusinasi, psikosis) subsitusi dengan NVP.
Kejang Riwayat kejang Jika pasien tidak dapat
mentoleransi NVP dan EFV,
gunakan RPV. Jika tidak
dapat juga, gunakan LPV/rd
atau pada anak dapat
digunakan NRTI ketigae
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver Subsitusi dengan NVP.
sebelumnya Jika pasien tidak dapat
Koinfeksi HBV dan HCV mentoleransi NVP dan EFV,
Penggunaan bersama obat gunakan RPV. Jika tidak
hepatotoksik lain dapat juga, gunakan LPV/rd
Hipersensitivitas obatf Faktor risiko tidak diketahui atau pada anak dapat
Ginekomastia pada pria digunakan NRTI ketigae
NVP Hepatotoksisitasg Sudah ada penyakit liver Substitusi dengan EFV
sebelumnya Jika pasien tidak dapat
Koinfeksi HBV dan HCV mentoleransi NVP dan EFV,
Penggunaan bersama obat gunakan RPV. Jika tidak
hepatotoksik lain dapat juga, gunakan LPV/rd
Hitung CD4 baseline tinggi, atau pada anak dapat
CD4 >250 sel/mm3pada digunakan NRTI ketigae
perempuan
CD4 >400 sel/mm3pada pria
Hipersensitivitas obatf Faktor risiko tidak diketahui

a
Anemia berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat jika hitung neutrofil <
500/mm3. Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b
Dosis rendah AZT adalah 250 mg dua kali sehari untuk orang dewasa.88
c
Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter dan berat yang dapat menghalangi minum obat
ARV (mual dan muntah persisten).

9
d
Introduksi PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila
sudah terjadi kegagalan terapi.
e
Penggunaan triple NRTI mungkin kurang poten dibanding paduan lain
f
Lesi kulit yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip
serum sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh, edema fasial,
konjungtivitis. Sindrom Stevens-Johnson dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan NVP atau EFV,
2 obat lainnya diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan paduan ARV berikutnya.
g
Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV
yang belum mencapai usia remaja.

Pemantauan respons terapi dan penentuan kegagalan terapi ARV


Pemantauan viral load

Pemeriksaan viral load dapat digunakan untuk mendeteksi lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan
dibandingkan dengan pemantauan menggunakan kriteria imunologis dan klinis. Selain itu, pemeriksaan
viral load juga dapat digunakan sebagai informasi dalam memutuskan penggantian paduan dari lini
pertama menjadi lini kedua dan seterusnya sehingga keluaran klinis dapat lebih baik.91 Suatu studi
mendapatkan sebanyak 70% pasien yang mendapatkan ARV lini pertama dengan viral load yang tinggi
akan mengalami penurunan viral load setelah mendapat intervensi adherens.92 Viral load juga
digunakan untuk menduga risiko transmisi kepada orang lain, terutama pada ODHA hamil dan pada
tingkat populasi.93, 94

Pemeriksaan viral load dilakukan dengan 2 strategi, yang pertama pemeriksaan VL rutin dan
pemeriksaan VL terbatas. Pada strategi pemeriksaan VL rutin, pemeriksaan dilakukan pada 6 bulan
setelah memulai pengobatan, kemudian 12 bulan setelah pengobatan, dan selanjutnya setiap 12
bulan.95 Pada kondisi pemeriksaan viral load terbatas, maka strategi yang digunakan adalah
pemeriksaan viral load dilakukan ketika terdapat kecurigaan kegagalan pengobatan ARV berdasarkan
kriteria klinis dan imunologis atau dilakukan satu kali setahun. Penggunaan strategi pemeriksaan viral Commented [NK1]: Tambahkan bila mngkin sekali
load jika terdapat kecurigaan kegagalan secara klinis dan imunologis lebih murah dibandingkan dengan setahun
pemeriksaan viral load rutin, namun berpotensi terjadi keterlambatan perubahan lini, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatkan progresivitas penyakit, transmisi HIV, dan resistensi ARV.2

Gambar 1. Strategi pemeriksaan VL

Penggunaan VL

VL rutin VL terbatas
pemeriksaan CD4 untuk Pemeriksaan VL dilakukan
menghentikan jika terjadi kegagalan
kotrimoksazol klinis dan imunologis

10
Pemantauan CD4

Pemeriksaan jumlah CD4 merupakan indikator fungsi imunitas karena menggambarkan progresivitas
penyakit dan harapan hidup pada ODHA. (11,12 WHO) 
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menilai
respons imunologis terhadap ARV dan menentukan indikasi pemberian dan penghentian profilaksis
infeksi oportunistik.13 Pada ODHA yang jumlah virus pada beberapa kali pemeriksaan sudah tidak
terdeteksi dan jumlah CD4 sudah meningkat di atas 200 sel/mm3, pemeriksaan CD4 rutin tidak
diperlukan lagi dan dapat menghemat biaya pemeriksaan.96, 97

Pada kondisi jumlah virus sudah tidak terdeteksi namun jumlah CD4 menurun juga tidak membuat
klinisi harus mengganti paduan pengobatan.98 Telaah sistematik terhadap beberapa studi di berbagai
negara menunjukkan bahwa penurunan CD4 kurang dari 200 sel/mm3 pada anak dan dewasa yang
jumlah virus sudah tidak terdeteksi jarang terjadi. Jika terjadi penurunan jumlah CD4 umumnya hanya
sementara dan disebabkan oleh faktor lain seperti penggunaan obat imunosupresan.99 Selain itu,
risiko pneumonia Pneumocystis jirovecii sangat rendah pada ODHA yang virus sudah tidak terdeteksi
dengan terapi ARV walau jumlah CD4 antara 100 dan 200 sel/mm3.100

Dengan berbagai alasan di atas, pada kondisi pemeriksaan viral load dapat dilakukan rutin, pemeriksaan
CD4 direkomendasikan untuk dilakukan pada saat didiagnosis HIV, 6 bulan setelah pengobatan, sampai
menghentikan kotrimoksazol. (rekomendasi sesudai kondisi, kualitas bukti kurang)

Sampai disini peserta dapat mengerjakan penugasan 1.


Permainan padanan kartu, sesuai dengan petunjuk
penugasan yang ada pada fasilitator

11
POKOK BAHASAN 2. KEPATUHAN MINUM OBAT DALAM PEMBERIAN ARV

ARV adalah obat yang digunakan untuk menekan jumlah virus dalam darah ( viral load )sampai tingkat
tidak dapat dideteksi (undetectable) oleh mesih pemeriksaan viral load yang ada di Indonesia. Batasan
undetectable yang menjadi tujuan pengobatan dengan ARV adalah < 50 copies/ml.

Untuk mencapai tujuan tersebut, mutlak diperlukan obat yang poten, rejimen yang terbaik, dosis obat
yang adekuat dan cara minum obat yang benar. ARV merupakan satu-satunya obat yang dapat menekan
perkembangan virus dalam tubuh manusia, akan tetapi ARV sendiri banyak mempunyai tantangan agar
odha patuh untuk minum ARV seumur hidup.

Tantangan yang dihadapi dalam pemberian ARV adalah

1. Mudah terjadi resistensi dan pilihan yang tidak banyak untuk jenis obat yang tersedia untuk lini
pertama dan kedua
2. Pendanaan
3. Efek samping yang sering menyebabkan pasien tidak mau melanjutkan minum obat
4. Interaksi obat
5. Mitos dalam pengobatan HIV seperti penggunaan jamu, buah merah,dll
6. Geografi Indonesia yang beragam merupakan tantangan untuk supply dan logistik
7. Tidak adanya motivasi dari pasien untuk minum obat seumur hidup, hal ini bisa karena aspek
social, adanya pengaruh obat psikotropika maupun adanay gangguan jiwa maupun karena ARV
itu sendiri ( rejimen yang rumit, efek samping, aspek biaya, dll)
8. Sistem pelayanan kesehatan

Adanya tantangan dan tingginya tuntutan untuk adherence ( > 95%), maka odha harus dipersiapkan
sebelum ARV diresepkan dan diberikan. Cara mempersiapkan pasien agar bisa membantu tenaga
kesehatan untuk patuh minum obat, adalah melalui konseling adherence.

Agar seseorang dapat memberikan konseling adherence, konselor mutlak perlu mengetahui hambatan
yang akan menyebabkan seseorang tidak mau minum obat atau menghentikan pengobatan. Dengan
mengetahui hambatan tersebut, konselor dapat mempersiapkan pasien dengan solusi untuk mengatasi
setiap hambatan yang mungkin akan terjadi.

Sampai disini peserta dapat menger


jakan penugasan 2. Diskusi kelompok
tentang Pentingnya kepatuhan mi-
num obat ARV, sesuai dengan
petunjuk penugasan yang ada pada
fasilitator

12
POKOK BAHASAN 3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT KEPATUHAN PENGOBATAN ARV

Hambatan dalam adherence ARV terbagi menjadi 4 yaitu

1. Hambatan yang berasal dari sistem kesehatan nakes bekerja


2. Hambatan yang berasal dari pasien baik kondisi fisik, mental, lingkungan sekitar dan aspek sosial
lainnya
3. Hambatan yang berasal dari ARV termasuk diantaranya rejimen, interaksi obat, efek samping
obat
4. Hambatan yang berasal dari gejala sisa yang disebabkan oleh penyakit oportunistik

Hambatan yang berasal dari sistem kesehatan tempat konselor bekerja


Alasan yang sering diajukan oleh pasien sehubungan dengan sistem kesehatan dan pelayanan kesehatan
adalah sbb

1. Tempat pelayanan terlalu jauh


2. Obat sering habis
3. Pasien merasa di ping-pong dari satu dokter ke spesialis lain
4. Biaya tinggi untuk penebusan obat
5. Petugas kesehatan sering marah, tidak sabar dan tidak memberikan informasi yang dimengerti
oleh pasien

Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan ini adalah


1. Membentuk satelit baik dengan puskesmas maupun sarana berobat yang dimiliki pada suatu
daerah, keputusan puskesmas mana yang akan dijadikan satelit adalah berdasarkan data
pasien berasal
2. Membuat pencatatan dan pelaporan untuk kepentingan permintaan obat dan perencanaan
3. Manajemen suplai dan logistik yang adekuat
4. Membuat sistem pelayanan satu atap, misalnya menggabungkan pelayanan untuk TB, HIV dan
STI menjadi satu atap
5. Mempunyai pokja untuk CST, dimana pokja ini bertugas sebagai koordinator dan pembuat
rencana kerja sehubungan dengan pelayanan HIV
6. Membuat survei kepuasan pelanggan, survey ini tidak ditujukan untuk odha saja akan tetapi
untuk pasien secara keseluruhan, masukan mengenai perilaku petugas terhadap pasien
menjadi masukan untuk manajeme rumah sakit dan pokja untuk membuat rencana perbaikan
pelayanan

Hambatan yang berasal dari pasien


Salah satu unsur non medis yang dapat menghambat adherence adalah unsur pasien itu sendiri.
Penyebab tersering yang berasal dari pasien sendiri yang menghambat adherence adalah sebagai
berikut
1. Pasien tidak mengerti mengenai status penyakit, prognosa dan rencana pengobatan
2. Kekuatirkan dapat menularkan penyakit kepada keluarga
3. Kekuatiran pasien akan penolakan dari pihak keluarga dan atau masyarakat sekitar pasien
tinggal
4. Pasien menderita gangguan jiwa seperti depresi, cemas, insomnia
5. Ketakutan pasien untuk jaminan kerahasiaan

13
6. Riwayat penyakit yang pernah diderita pasien sehubungan dengan HIV atau sedang dalam
pengaruh Napza
7. Kekuatiran pasien akan biaya yang harus ditanggung.

Hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah pasien dapat dilihat pada “Tahapan edukasi
kepatuhan minum obat”

Hambatan yang berasal dari ARV -


Hambatan yang berasal dari ARV meliputi
1. Rejimen yang digunakan
2. Dosis dan cara pemberian obat
3. Efek samping
4. Interaksi obat
5. Logistik Obat

Pemerintah, dalam upaya mengatasi hambatan yang berasal dari ARV telah melakukan beberapa upaya
terobosan yaitu
 Penyederhanaan indikasi medis pemberian ARV
 Penyediaan ARV dalam formula FDC dan yang mempunyai efek samping minimal
 Melakukan desentralisasi ARV hingga tingkat propinsi/kabupaten
 Bekerja sama dengan Kimia Farma dan gudang farmasi propinsi propinsi/kabupaten dalam
penyediaan gudang penyimpanan ARV

Nakes perlu mengetahui efek samping dasar yang mungkin akan timbul pada pasein, tujuan dari
mengetahui efek samping ini adalah untuk mencegah terjadinya hal yang membahayakan jiwa. Untuk
mengurangi dampak efek samping, konselor perlu menjelaskan kepada pasien kemungkinan yang timbul
tanpa membuat mereka menjadi takut untuk minum ARV!
Selain efek samping yang berat, konselor perlu juga memberikan informasi mengenai efek samping
ringan seperti mual, muntah, diare. Efek samping ini lebih sering menyebabkan pasien menghentikan
pengobatan daripada efek samping yang berat.

Hambatan yang berasal dari infeksi oportunistik


Infeksi oportunistik yang dapat menghambat adherence adalah
1. Progresif Multifokal enselopati, suatu penyakit yang disebabkan oleh JC virus pada jaringan otak
yang menyebabkan pasien kehilangan kemampuan kognitif, dimensia, defisit neurologi, afasia,
ataxia dan akhirnya koma
2. Gejala sisa yang timbul akibat infeksi toxoplasma, kriptokokus, tuberkulosis pada otak maupun
jaringan selaput otak.
3. Pasien sedang dalam fase akut penyakit infeksi. Pada kondisi ini dokter tidak memberikan ARV
bersamaan dengan pengobatan infeksi oportunistik untuk menghindari timbulnya gejala
sindrom pemulihan kekebalan ( IRIS)
Kondisi diatas dapat diketahui dari catatan medis (medical record) yang dibuat oleh dokter. Hal yang
dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melibatkan pihak keluarga untuk membantu
minum obat. Penting untuk melakukan evaluasi mengenai kondisi keluarga maupun lingkungan dimana
odha tinggal penting untuk dilakukan agar dapat mencari petugas minum obat. Jika memang pasien
dalam kondisi terminal atau tidak mempunyai keluarga atau pendukung untuk membantu mengingat

14
minum obat maka rencana untuk memberikan ARV perlu dipertimbangkan dengan matang untuk
menghindari terjadinya putus obat dan resistensi.

Sampai disini peserta dapat


mengerjakan penugasan 3. Diskusi
kelompok Hambatan kepatuhan
pengobatan ARV, sesuai dengan
petunjuk penugasan yang ada pada
fasilitator

15
Penerapan keterampilan dan teknik ‘Motivational Interviewing’ (MI)

Wawancara yang memotivasi atau Motivational interviewing atau biasa disingkat MI, adalah gaya
konseling yang bersifat direktif (mengarahkan) dan berpusat pada klien, untuk memperoleh perubahan
perilaku dengan cara membantu klien dan mengatasi sikap mendua.

Yang dimaksud dengan direktif (mengarahkan), adalah percakapan yang dipandu, agar terarah, dengan
sebuah tujuan utama dalam pikiran, yang menghindari fokus yang terlalu dini pada perubahan. Petugas
kesehatan atau konselor, jangan ingin segera mendapatkan persetujuan klien untuk menerima
perubahan, tanpa melalui proses kearah terjadinya perubahan tersebut.

Yang dimaksud dengan sikap mendua/ambivalensi, adalah kondisi dimana seseorang memiliki perasaan
yang bercampur aduk atau gagasan yang saling bertentangan mengenai sesuatu atau seseorang. Dalam
wawancara untuk memotivasi (Motivational interviewing/MI) sikap mendua adalah normal, dan
merupakan bagian yang diperlukan dalam proses perubahan. Sebenarnya, sikap mendua
menggambarkan kemajuan dari kondisi sebelumnya (yang dalam model transteori disebut “pra-
kontemplasi”) di mana orang tersebut merasa tidak perlu berubah.

Penerapan MI menggunakan 4 skill (keterampilan) dan 4 teknik

Telah disebutkan bahwa MI adalah gaya konseling yang bersifat direktif. Penerapan MI menggunakan 4
skill (keterampilan) dan 4 teknik, untuk mencapai perubahan perilaku yang benar-benar merupakan
keinginan klien, atau datang dari diri klien tersebut. Ke 4 skill dan teknik yang dimaksud meliputi:

4 Skill (keterampilan)

• Seni bertanya dan probing


• Seni mendengar reflektif
• Seni afirmasi
• Seni memberi informasi

4 Teknik:

• Menghindari jebakan “Saya pakar”


• Menangani sikap mendua
• Menahan reaksi meluruskan
• Menangani perlawanan

Karena itu, MI disebut juga sebagai Motivasi 8 (Motiv 8)

Seni Mendengar Reflektif

Refleksi adalah ungkapan atau pernyataan. Mendengar reflektif, bukan hanya mendengar, akan tetapi
kita perlu mendengarkan, mengamati, dan menginterpretasikan isyarat verbal maupun nonverbal.

16
Sebagai pendengar, kita harus benar-benar mencoba untuk mengerti melalui pernyataan-penyataan
yang bersifat reflektif. Seni mendengar reflektif juga dapat untuk membantu memperoleh informasi.

Tingkatan refleksi, pada dasarnya ada dua, yaitu:


 Refleksi sederhana: pernyataan yang sifatnya mengulas atau mengatakan kembali
 Refleksi kompleks, berupa:
 Paraphrase
 Refleksi perasaan
 Refleksi dua sisi
 Merangkum
Beberapa contoh refleksi:

• Merefleksikan perasaan

“Aku gak tahu harus berbuat apa untuk pengobatan HIVku- Aku baru saja kehilangan pekerjaanku”

“Kedengarannya kamu sangat kuatir gimana membayar pengobatan kamu tanpa adanya
penghasilan”

Ingat, bahwa saat merefleksikan emosi, anda bisa “melebihkan” atau “mengurangkan”. Apabila anda
merefleksikan emosi berlebih, klien mungkin akan menyangkal atau meminimalisir pernyataan anda,
dan terkadang ini bisa anda gunakan sebagai strategi. Apabila mengurangi emosi dalam refleksi,
anda mendorong klien untuk menjelaskan lebih lanjut. Saat mencari informasi sering yang terbaik
adalah mengurangi daripada melebihkan.

• Refleksi dua sisi

“Aku tahu aku akan merasa lebih baik jika berolahraga, tapi aku selalu merasa kecapaian sehabis
kerja! Tempat olahraga juga harus bayar, dan mungkin abis itu seringnya makan fastfood. Selain itu-
itu adalah waktu aku nongkrong dan bersenang-senang dengan temanku”.

“Disatu pihak, olahraga memakan waktu dan biaya, tapi dilain sisi jika kamu berolahraga kamu bisa
punya lebih banyak energy dan merasa lebih baik”.

• Beberapa ungkapan untuk menyampaikan refleksi:


• Jika kamu merasa…..
• Yang aku dengar adalah bahwa kamu…..
• Kamu sedang berpikir bahwa…..
• Kamu…..
• Kedengarannya…..
• Pernyataan reflektif, diungkapkan dengan empati, tidak dengan:
• Memerintahkan, mengarahkan atau memperingatkan
• Memberi saran atau member pendapat tanpa diminta

17
• Menyampaikan perintah moral atau berkhotbah. Tidak menggunakan kata-kata: “seharusnya”
atau “harus”, kata-kata “benar” atau “salah”

Pernyataan yang memerintahkan, mengarahkan atau memperingati, menyiratkan bahwa konselor


ada dalam posisi berkuasa. Kata-kata tersebut bisa diartikan atau dikatakan dengan gaya otoriter
seperti “Bila anda tidak mendengarkan saya, anda akan menyesal”.

• Manfaat dari Mendengarkan Secara Reflektif

o Manfaat bagi petugas kesehatan/Konselor: dengan mendengarkan secara reflektif, maka


konselor:
• Menunjukkan empati (menghargai dan menerima perasaan klien)
• Menyampaikan kesediaan untuk tidak menghakimi
• Mengklarifikasi segala salah pengertian tentang apa yang telah dikatakan klien
• Dalam keadaan apapun kecil kemungkinan menimbulkan masalah

o Manfaat bagi klien: dengan dilakukannya mendengarkan secara reflektif, maka klien:
• Merasa dimengerti
• Terdorong untuk memberi informasi tambahan
• Dapat menguraikan pikiran dan perasaannya
• Menjadi lebih sadar akan pikiran/perasaannya.

Seni Afirmasi
Makna dasar dari seni afirmasi adalah:
 Mendukung/memberi semangat
 Menonjolkan hal positif
 Mengenali dan mengakui nilai yang melekat pada klien anda sebagai manusia

Manfaat afirmasi

Dengan menggunakan seni afirmasi, maka akan meningkatkan keterbukaan informasi sensitif,
mengurangi sifat defensif, serta membantu melibatkan klien.

Cara Melakukan Afirmasi

Beberapa cara dalam melakukan afirmasi:


• Katakan sesuatu yang positif dari klien anda, mengenai maksud atau tindakannya, misalnya:
“Anda berusaha keras minggu ini”
“Maksudnya baik walaupun hasilnya tidak seperti yang anda inginkan”.
“Terimakasih telah datang hari ini, bahkan anda datang lebih awal”.

• Nyatakan kembali tindakan atau situasi klien dengan cara yang positif, misalnya:

18
“Anda sedih bahwa anda tidak bertahan pada rencana semula dan hanya berolahraga dua kali,
tapi lihat perbedaannya kini dibandingkan dua bulan yang lalu-anda tidak berolahraga sama
sekali”.

• Beri komentar mengenai sifat atau keterampilan klien yang positif, misalnya:
“Setelah mendengar semua cerita dari anda, saya tidak yakin saya bisa menanganinya sebaik
anda. Anda sungguh seorang pejuang”.

Seni Memberi Informasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi informasi kepada klien, adalah bahwa informasi
diberikan kepada klien, apabila anda berpikir klien mendapat informasi yang keliru, atau klien
kekurangan informasi, atau anda memiliki gagasan yang mungkin bermanfaat bagi klien, atau klien
sedang mencari informasi.

Tidak semua informasi penting bagi klien. Simpan informasi yang penting menurut anda, sebaiknya anda
fokus pada klien. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah “timing” atau waktu yang tepat
untuk memberi informasi.

Dalam seni memberi informasi, dikenal Model Ask-Tell-Ask (Tanya-Beritahu-Tanya), yaitu:

• Tanya:- Apa yang sudah diketahui klien?


-Minta ijin sebelum memberi informasi
• Beritahu: Berikan informasi tambahan sesuai kebutuhan
• Tanya:- Lihat reaksi klien dengan informasi tambahan tersebut
-Tanya apakah sudah jelas

Telah dikemukakan bahwa tujuan MI adalah untuk memperoleh perubahan perilaku klien. Karena
itu penting untuk dipahami tentang ungkapan yang menunjukkan perubahan/Change talk.

Apa Ungkapan Perubahan?

Ungkapan perubahan adalah pernyataan yang memotivasi diri klien dan perkataan apapun yang
mendukung perubahan dari diri klien. Hal tersebut sehubungan dengan: Apabila orang itu sendiri
yang berbicara tentang perubahan, dia akan lebih mungkin berubah dibandingkan apabila orang lain
(misal petugas, teman, saudara dll) yang mengatakannya. Salah satu kunci memotivasi klien adalah
dengan mengenali ungkapan perubahan yang dikatakan oleh klien, lalu meneguhkannya (afirmasi).

Tingkatan Change Talk (Ungkapan Perubahan)

Pada dasarnya ada dua, yaitu:

• Ungkapan persiapan
• Ungkapan pergerakan

19
Ungkapan persiapan, meliputi:
• Keinginan, diungkapkan dalam bentuk: “Saya ingin berubah…”
• Kemampuan, diungkapkan dalam bentuk: “Saya bisa berubah…”
• Alasan, diungkapkan dalam bentuk: “Penting untuk berubah…”
• Kebutuhan, diungkapkan dalam bentuk: “Saya perlu berubah…”

Ungkapan pergerakan:
• Komitmen, diungkapkan dalam bentuk: “Saya akan membuat perubahan…”
• Aktivasi, diungkapkan dalam bentuk: “Saya siap dan mau berubah…”
• Melangkah, diungkapkan dalam bentuk: “Saya telah mengambil tindakan untuk berubah...”

Kita harus cermat dalam mengenali ungkapan-ungkapan tersebut.


Bagaimana Memulai Pembicaraan tentang Perubahan?
Ada beberapa cara untuk memulai pembicaraan tentang perubahan.
Cara 1. Yang paling sederhana dan langsung adalah dengan meminta untuk mulai.
Bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan:
• Pertanyaan tentang keinginan (gunakan kata-kata: mau, bermimpi, suka)
• Pertanyaan tentang kemampuan (gunakan kata-kata: bisa atau mampu)
• Pertanyaan tentang alasan (Tanya alasan khusus, mengapa)
• Pertanyaan tentang kebutuhan

Hindari pertanyaan yang salah, seperti:

• “Kenapa kamu belum berubah?”.


• “Apa yang mencegah kamu melakukannya?”.
• “Bagaimana anda bisa…..?”.
• “Kenapa anda tidak bisa ?”.

Cara 2. Pengukur derajat kepentingan dan kepercayaan diri


Menggunakan pengukur dalam skala 0 sampai 10, dimana 0 berarti tidak penting sama sekali dan 10
berarti hal terpenting bagi saya saat ini.

Ungkapan pertanyaan:
Seberapa penting bagi anda,untuk…..?
Dan mengapa anda berada di (angka…) dan bukan di (angka yang lebih rendah)?
Apa yang diperlukan agar anda naik dari (angka…) ke angka…(angka yang lebih tinggi).

Cara lain.

20
• Mencari hal-hal ekstrim:
- Apa yang paling dikhawatirkan?
- Apa konsekuensi paling ekstrim/terbaik saat tidak membuat perubahan atau saat tidak
membuat perubahan?

• Melihat ke belakang dan ke depan


- Apa yang terjadi masa sebelumnya saat semuanya berjalan baik
- Apa yang akan terjadi 5 tahun ke depan?
• Menjelajahi tujuan dan nilai hidup paling penting

Empat Teknik MI
1. Menghindari Perangkap
• Perangkap/Jebakan Saya Pakar
Sehubungan dengan MI, perlu dipahami tentang peran seorang pakar dan kolaborator.
Peran seorang Pakar:
- Mengatakan apa yang pasien/klien harus lakukan, atau tidak boleh lakukan
- Memberi pasien/klien informasi
- Mengandalkan otoritas dan kekuasaan
- dan lain-lain

Peran seorang Kolaborator:


- Meminta pasien/klien bercerita tentang pengalaman, pertanyaan, dan kekuatiran mereka
- Berkomunikasi dengan pasien/klien pada tingkat yang sama
- Mendorong kemitraan yang setara dengan pasien/klien
- dan lain-lain

Peran pakar dalam perubahan perilaku


Kemungkinan manfaat dari peran seorang pakar:
- Pasien/klien menerima informasi
- Menghemat waktu berharga, yang dapat dipakai untuk klien lain
- dan lain-lain

Kemungkinan kekurangan dari peran seorang pakar:


- Masalah pasien/klien sering tidak terpecahkan karena pasien/klien tidak diminta bercerita

- Pasien/klien tidak menerima edukasi dengan cara yang dapat mereka mengerti

Menangani Sikap Mendua

Sikap mendua/ambivalens adalah sesuatu yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan
sangat mungkin dimiliki oleh klien.

21
Orang sering memiliki perasaan yang bertentangan saat
dihadapkan dengan perilaku baru terkait kesehatannya,
seperti ”Sebagian diri mau, sebagian diri tidak mau”. Besar
kemungkinan terjadi konflik dengan pendidik
sebaya/konselor, dan konflik seperti ini dapat diiringi emosi
yang kuat. Apabila konflik yang terjadi rumit dan/atau sangat
emosional, akan sulit untuk mempertimbangkan pemikiran
kedua belah pihak

Dalam wawancara untuk memotivasi (Motivational


interviewing /MI) sikap mendua adalah normal, dan
merupakan bagian yang diperlukan dalam proses perubahan.
Sebenarnya, sikap mendua menggambarkan kemajuan dari kondisi sebelumnya (yang dalam model
transteori disebut “pra-kontemplasi”) di mana orang tersebut merasa tidak perlu berubah.
Bayangkan ketidaknyamanan yang anda rasakan saat terjebak di antara dua orang yang jatuh cinta,
atau saat sungguh menginginkan sesuatu yang anda tahu akan anda sesali di kemudian hari.
Ketidaknyamanan dari situasi seperti itu mungkin sudah cukup untuk membuat seseorang berubah.

Coba kita simak ungkapan berikut, adakah sikap mendua didalamnya?

• “Saya tidak mau HIV, tapi seks tanpa kondom rasanya seperti makan permen tanpa membuka
bungkusannya!”
• “Saya tahu saya perlu diperiksa, tapi saya sungguh kuatir bagaimana jadinya hidup saya bila saya
ternyata positif.”
• “Menurut mereka obat-obat itu akan melindungi saya, tapi saya dengar efek sampingnya parah.”
“Sepertinya anda telah berusaha keras untuk berhenti merokok. Ini berbeda dari sebelumnya.
Bagaimana anda bisa melakukan itu?”
“Minggu lalu anda bahkan tidak yakin bisa hidup satu hari saja tanpa kokain, bagaimana anda bisa
menghindari kokain selama 1 minggu ini?”
“Berdasarkan catatan anda, anda sudah tidak menggunakan ganja tiap hari lagi. Bahkan minggu lalu
anda hanya satu kali menggunakannya. Bagaimana anda bisa melakukannya?” Lanjutkan dengan
pertanyaan, “Bagaimana perasaan anda mengenai perubahan ini?”

Dalam menangani sikap mendua, peran petugas/konselor adalah:

- Membangkitkan kesadaran klien bahwa perilaku mereka saat ini berbeda dengan apa yang
mereka inginkan terjadi.
- Membangkitkan kesadaran klien bahwa nilai hidup mereka yang paling utama dan perilaku
mereka saat ini tidak selaras Ini ditujukan untuk membangkitkan kesadaran klien akan
ambivalensi (sikap mendua) mereka.

Menahan Reaksi/Refleks untuk Meluruskan

22
Seringkali dalam wawancara, klien mengungkapkan sesuatu yang menurut kita salah, dan
kecenderungannnya akan segera memberi tahu meluruskan kesalahannya atau memberikan saran
dengan informasi atau tindakan yang benar. Jika hal tersebut, dilakukankemungkinan klien
kemudian bereaksi menutup diri, sementara kita perlu terus mengungkapkan atau menggali
informasi darinya.

Gunakan ketrampilan ‘Ask-tell-ask’, dengan ijin klien untuk memberi tahu yang benar maka
diharapkan klien dapat menerima informasi yang benar dengan baik.

Menangani Perlawanan/Bergulir Bersama Perlawanan

Menangani perlawanan artinya bergulir bersama perlawanan, bukan menentang atau menyalahkan
perlawanan, akan tetapi:

- Tidak menolak perlawanan


- Mencari alasan dibalik perlawanan
- Melibatkan klien dalam pemecahan masalah

Memberi argumen untuk berubah disaat klien memberi perlawanan, dapat memicu klien berdebat
untuk menentang.

Seperti telah dikemukakan, MI adalah gaya konseling dengan sifat serta keterampilan dan teknik
dalam penerapannya. Oleh karena itu sifat, keterampilan dan teknik MI, dapat diterapkan dalam
pelaksanaan konseling.

Masih cukup sering ditemukan di layanan, konseling yang dilakukan dengan cara yang kurang tepat,
seperti: fokus terlalu dini pada perubahan, karena keinginan petugas/konselor untuk segera
mendapat persetujuan klien untuk berubah; masih ada ungkapan-ungkapan atau pertanyaan yang
salah; masih kurang mau mendengar cerita klien, terlalu banyak memberikan informasi padahal
tidak sesuai dengan kebutuhan saat itu, terperangkap dalam jebakan saya pakar dan lain-lain.

Dengan bekal kemampuan menerapkan “skill” (keterampilan ) MI seperti: seni bertanya dan
probing, seni mendengar reflektif, seni afirmasi dan seni memberi informasi, serta teknik MI,
seperti: menghindari perangkap/jebakan saya pakar, menangani sikap mendua, menahan reaksi
meluruskan dan menangani perlawanan, diharapkan para petugas/konselor dapat melakukan
konseling secara lebih tepat, mencapai perubahan klien sesuai dengan keinginan atau
persetujuan/pilihan klien, perubahan perilaku yang benar-benar fokus pada klien.

Fasilitator memandu peserta


melakukan praktik penerapan MI.

23
POKOK BAHASAN 4. TAHAPAN EDUKASI KEPATUHAN MINUM OBAT

Edukasi kepatuhan minum obat merupakan bagian dari rangkaian pelayanan komprehensif dan
berkesinambungan untuk ODHA. Posisi nakes kepatuhan minum obat dalam hal ini adalah berada pada
tahap akhir sebelum pasien mendapatkan resep dan obat ARV. Jika kita melihat pada alur layanan
diatas, pasien bisa diasumsikan telah melewati banyak tahap yaitu

1. Evaluasi perilaku dan Edukasi oleh nakes


2. Pemberian informasi HIV, pencegahan dan Edukasi oleh nakes
3. Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh team medis
4. Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita, pengobatan dan pemberian
kotrimoksasol untuk profilaksis oleh dokter
5. Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat
6. Penjelasan singkat oleh dokter untuk semua hal yang berkaitan dengan rencana pemberian ARV
termasuk didalamnya penentuan rejimen, evaluasi interaksi obat, penjelasan efek samping dan
cara minum obat
Edukasi kepatuhan minum obat di lakukan sebagai tahap akhir sebelum pasien mendapatkan resep dan
obat ARV, dengan penekanan untuk evaluasi non medis yang akan berdampak terhadap kepatuhan
minum obat. Pada posisi ini, tenaga kesehatan tetap melakukan evaluasi singkat! dengan melakukan
assesmen untuk kondisi kejiwaan, personality dan Napza, evaluasitersebut HANYA untuk memastikan
bahwa pasien secara mental tidak sedang dalam kondisi depresi, cemas, Napza. Jika ditemukan maka
tenaga kesehatabn harus merujuk kembali kepada tim yang berkompetensi untuk menanggulangi hal ini
dan tidak diijinkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Jika pasien mempunyai keluarga dan diterima oleh keluarga, pada tahap ini nakes harus
mempersiapkan keluarga untuk membantu minum obat. Jika pasien tidak mempunyai keluarga atau
ditolak, tenaga kesehatan harus mampu melihat jejaring yang tersedia di tempat tenaga kesehatan
bekerja dan menghubungkan pasien dengan jejaring tersebut untuk membantu minum obat dalam satu
periode tertentu dan batasan yang bisa dilakukan oleh jejaring. Sangat tidak mungkin sebuah jejaring
mendampingi pasien selamanya.

Tahapan dan kegiatan yang dilakukan dalam pemberian Edukasi kepatuhan minum obat adalah

Tahap pertama

Pada pertemuan pertama tenaga kesehatan melakukan kegiatan sbb

1. Pengecekan di catatan medis untuk melihat apa saja tindakan yang telah diberikan dan melihat
rencana dokter untuk memberikan ARV
2. Melakukan pengkajian singkat dan cepat untuk kondisi mental, personaliti dan kemungkinan
pasien masih menggunakan Napza
3. Mengkaji pengertian dan persepsi pasien tentang penyakit yang diderita dan informasi yang
pernah diterima dari tim lain
4. Mengkaji persepsi keluarga tentang kondisi yang diderita oleh pasien. Jika keluarga pasien
terlihat keberatan untuk merawat, dilakukan Edukasi untuk merubah persepsi pihak keluarga
dan persiapan untuk melihat jejaring mana yang dapat diperkenalkan kepada pihak pasien dan
keluarga jika selama sesi keluarga masih keberatan untuk membantu pasien.
5. Tidak mengulangi semua rangkaian proses agar pasien tidak bosan

24
6. Meyakinkan pasien untuk aspek konfidensialitas tidak akan keluar dari system pelayanan
kesehatan.
Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, personality dilakukan dengan cara : anamnesis sederhana ,
atau menggunakan STATUS MINI MENTAL (Mini Mental State). Gangguan mental yang diderita bisa
disebabkan karena efek Napza (Narkotika,Alkohol,Psikotropika,dan Zat Aditif lainnya), karena penyakit
infeksi oportunistik dan karena beban mental yang disebabkan oleh status HIV yang disandang

Gangguan mental yang sering terjadi dan perlu dianalisis adalah

1. Anxietas, tampilan gejalanya adalah Perasaan tegang dan tak nyaman yang sulit diterangkan
karena tak dapat diidentifikasi ,mungkin berkembang jadi “Serangan Panik
2. Depresi, tampilan gejalanya adalah murung, rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak
berharga, menyalahkan diri sendiri, pesimistik, pola tidur abnormal dan sering terbangun, sulit
konsentrasi, bangun tidur pagi rasanya malas
3. Gangguan afektif
4. Gangguan kepribadian berupa dual diagnosis
5. Schizofrenia, tampilan gejalannya waham, pikiran kacau, persepsi terganggu, emosi tidak serasi,
gangguan persepsi
6. Paranoid, tampilan gejalanya adalah Mudah curiga, meragukan kesetiaan orang lain, merasakan
ada ancaman tersembunyi dari pihal lain, sangat sensitif
7. Anti sosial, tampilan gejalanya adalah Suka melanggar norma-norma sosial, suka berbohong,
impulsif, agresif, nekad, tidak bertanggung jawab, tidak menyesal
8. Obsesif kompulsif, tampilan gejalanya adalah : Selalu memikirkan hal-hal yang rumit, aturan-
aturan, memperlihatkan sifat perfeksionistik untuk menyelesaikan sesuatu
9. Gangguan personaliti yang terbagi menjadi personaliti histrionik ( datar, atensi emosional),
personaliti narsisitik ( fantasi dan ide besar bahwa diri merasa penting), Ambang ( identitas,
emosi dan relasi tidak stabil).

Hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan gangguan mental adalah bahwa

1. Gangguan mental yang terjadi harus dibedakan dengan memang disebabkan karena faktor
psikologis atau gangguan mental yang disebabkan karena penggunaan obat psikotropika atau
keduanya
2. Gangguan mental harus dibedakan dengan tanda gejala putus obat ( withdrawel syndrom )

Tujuan dari pengenalan gangguan mental ini adalah untuk dapat membuat strategi guna membantu
pasien minum obat, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan keluarga atau
orang yang dekat dengan pasien. Jika tidak memiliki keluarga, maka pasien harus dirujuk untuk
penanganan gangguan mental.

Secara umum sulit untuk membedakan gangguan mental yang timbul karena obat psikotropika dengan
faktor psikologi karena tampilan gejalanya sama.Jika pasien didapat masih aktif menggunakan Napza,
maka tenaga kesehatan merujuk kepada unit psikiatri atau dokter yang telah terlatih untuk penanganan
Napza.
Selain gangguan mental, hal yang dapat mengganggu kepatuhan minum obat ialah pengaruh Napza.

Napza bisa menyebabkan gangguan dalam kepatuhan minum obat dengan cara
1. Penggunaan dari beberapa jenis Napza jangka panjang akan menyebabkan kerusakah otak dan
gangguan mental

25
2. Efek kecanduan, pada kondisi withdrawal, pasien akan lebih mencari Narkotika daripada ARV

Narkotika juga biasa dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

 Golongan depresan/Downer : Heroin, Zat Aditif/obat-obat penenang


 Golongan stimulan/upper : Cocain, derivat Amphetamin (shabu, ekstasy)
 Golongan all Around/halusinogen : Alkohol, ganja, LSD, Kecubung, jamur

Alkohol adalah minuman yang berasal dari peragian dan mengandung ethanol, dalam jumlah tertentu
akan menyebabkan mabuk dan bila diminum dalam waktu relatif lama akan menyebabkan kerusakan
hati dan pada beberapa kondisi mengakibatkan gangguan kepribadian.

Obat psikotropika terbagi menjadi 3 golongan yaitu :

 Golongan Amphetamin : Ektasy (XTC), Inex, shabu


 Golongan Obat tidur : Pil BK, Mogadon, Dll
 Golongan Obat penenang : Lexotan, Valium, dll

Dampak Psikotropika , Halusinogen yang tersering adalah gangguan perilaku sampai dengan gangguan
kepribadian atau gangguan mental organik

Zat Aditif lain yaitu :

 Inhaler (thiner, lem dll)


 Nikotin (rokok,Lisong)
 Kafein (kopi, teh )

Beberapa hal yang harus selalu diingat oleh nakes dan pemberi layanan ARV adalah :
1. EFV meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri
2. NVP berisiko terjadinya hepatotoksisitas pada ODHA dengan ko-infeksi HCV/HBV
3. Kenaikan konsentrasi zidovudine 40% bila diberi bersama-sama dengan methadone
4. enggunaan methadone dengan rifampisin menurunkan kadar methadone 50%
5. NVP, EFV dapat mengakibatkan putus zat opiat yang hebat pada beberapa kasus karena
penurunan efek methadone

Jika dalam kajian awal didapat data bahwa pasien masih dalam kondisi psikotik, depresi, cemas,
gangguan maladaptif maupun gangguan kepribadian lainnya termasuk penggunaan napza aktif maka
pasien direncanakan untuk dirujuk kepada team yang berkompetensi yang tersedia di tempat tenaga
kesshatan bekerja.

Jika dalam kajian awal pasien tidak didapat gangguan mental dan dievaluasi dapat melanjutkan ke tahap
kedua maka pada akhir sesi, nakes membuat jadwal untuk kunjungan berikut dan memberikan
gambaran apa yang akan dilakukan pada tahap kedua.

Tahap kedua

Pada pertemuan kedua, tenaga kesehatan melakukan kegiatan

26
1. Pengkajian lebih dalam tentang persepsi pasien mengenai HIV, penularan dan cara pencegahan
untuk tidak menularkan kepada orang lain
2. Menjelaskan rencana pemberian ARV yang telah ditetapkan oleh dokter
3. Menjelaskan semua aspek yang berhubungan dengan ARV termasuk didalamnya rejimen yang
akan diberikan, dosis, cara minum obat, interaksi dengan makanan, logistik pasien jika hendak
bepergian, efek samping yang mungkin timbul dan tindakan yang harus diambil oleh
pasien/keluaga pasien jika timbul efek samping.
4. Analisa aspek sosial lain yang dapat menghambat kepatuhan minum obat dan solusinya jika
memungkinkan

Tahap ke tiga

Pada pertemuan ketiga, tenaga kesehatan meminta pasien dan keluarga pasien untuk mengulang apa
yang sudah didapat pada pertemuan pertama dan kedua. Jika sudah benar, maka tahap berikutnya
adalah memberikan kesempatan untuk bertanya tentang sehubungan dengan penyakit dan rencana
pengobatan. Informasi dasar mengenai kewaspadaan universal dapat diajarkan pada pertemuan ini
untuk mengurangi ketakutan dari keluarga pasien untuk tertular HIV.

Tenaga kesehatan pada pertemuan ketiga ini, jika pada pertemuan pertama dan kedua berhasil
menggali informasi, mendapatkan kepercayaan, pasien mau terbuka, akan bisa menentukan apakah
pasien akan direkomendasikan untuk mendapatkan ARV atau tidak.

Tahap ke empat

Pada pertemuan terakhir, tenaga kesehatan kembali menjelaskan ulang seluruh rencana pemberian
ARV, efek samping, cara minum obat dan evaluasi terakhir ( jika memang ini dianggap pertemuan
terakhir) untuk semua aspek non medis yang dapat menghambat kepatuhan minum obat dan yang
dapat di atasi oleh tenaga kesehatan dan sistem layanan yang ada di tempat tenaga kesehatan bekerja
baik layanan kesehatan maupun pelayanan sosial.

Tenaga kesehatan harus mengambil keputusan apakah pasien memenuhi syarat non medis untuk ARV.
Jika memenuhi syarat, maka tenaga kesehatan melaporkan secara verbal dan tertulis kepada dokter
agar ARV dapat diresepkan dan di berikan kepada pasien.

Jika tidak memenuhi syarat, tenaga kesehatan perlu melaporkan secara verbal dan tertulis dengan
informasi detail apa yang menyebabkan pasien tidak memenuhi syarat disertai dengan rekomondasi apa
yang seharusnya dilakukan oleh tim dan tenaga kesehatan termasuk bagian dari tim tersebut.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan


Penugasan 4. Bermain peran Edukasi
kepatuhan minum obat ARV, sesuai dengan
petunjuk dan skenario bermain peran yang
ada pada fasilitator

27
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Outcome after two years after providing antiretroviral
treatment in khayelithsa, South Africa. AIDS 2004,18: 887-895.
2. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Promoting adherence to anti retro viral therapy
The experience from a primary care setting in Khayelitsha, South Africa. AIDS 2004, 18 (suppl
3):S27-S31
3. Medecins Sans Frontieres, Western Cape Province Department of Health, City of Cape Town
Department of Health, University of Cape Town, Infectious Disease Epidemiology Unit.
Comprehensive TB/HIV service at primary health care level Khayelitsha annual activity report
2007-2008. August 2008.
4. OrrellC, Bangsberg DR, Badri M, Wood R. Adherence is not a barrier to successful antiretroviral
therapy in South Africa. AIDS 2003, 17: 1369 – 1375
5. WHO. Adherence to long – term therapies – evident for action. 2003
6. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral dan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang dewasa dan remaja
7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak diIndonesia

28

Anda mungkin juga menyukai