Anda di halaman 1dari 15

SWABAKAR (SPONTANEOUS COMBUSTION)

A. Pengertian
Swabakar (Spontaneous Combustion) adalah pembakaran yang terjadi dengan sendirinya.
Swabakar dapat terjadi pada berbagai tempat penambangan batubara (tambang terbuka atau tambang
dalam) atau bahkan pada stockpile batubara.

B. Proses Terjadinya Swabakar


Swabakar batubara terjadi akibat proses oksidasi batubara di dalam udara. Batubara pada
kondisi terbuka di udara dapat menyerap oksigen dalam waktu lama dan perlahan-lahan akan terjadi
proses oksidasi yang menghasilkan proses panas. Apabila panas ini terakumulasi karena tidak dilepas
atau didinginkan, maka temperaturnya meningkat, yang akhirnya mencapai titik nyala (ignition point)
dan terbakar menimbulkan api.

Gambar : Proses Terjadinya Swabakar Pada Batubara

Berikut ini akan dijelaskan proses perkembangan swabakar pada tambang batubara bawah
tanah (Undergruond spontaneous combustion of coal), yaitu :
1) Peristiwa oksidasi terjadi secara perlahan-lahan pada bagian sisi atau dinding batubara (coal
wall) atau batubara sisa, di jalan tambang (roadway) yang terventilasi. Dalam kondisi ini
tidak ada tanda-tanda terjadinya perobahan temperatur yang signifikan, karena panas tersebut
dapat larut oleh aliran udara (air flow).
2) Ketika kondisi panas yang larut dalam aliran udara itu tidak besar, maka temperatur batubara
akan naik lebih panas dari udara di sekelilingnya. Gejala ini dapat terlihat dari adanya
fatamorgana tipis di atas batubara sisa tersebut.
3) Jika tidak terjadi pemancaran panas (lepasnya panas oleh aliran udara), maka temperatur
batubara akan naik mencapai antara 600C sampai 1500C, yakni pada tempratur pertama (T1).
Tingginya temperatur adalah karena adanya kombinasi panas dari hasil oksidasi (oxidation)
dengan panas hasil serapan oksigen (oxygen absorption).
4) Jika kondisi pemanasan seperti tersebut di atas berlangsung terus, maka temperatur akan naik
secara lebih cepat dan pada satu saat akan mencapai titik pengapian (ignition point) dan untuk
selanjutnya terjadilah kebakaran (combustion) pada posisi temperatur (T2), yakni antara
2000C sampai 4000C. Jarak antara T1 dan T2 dikenal sebagai temperatur pemanasan awal
(initial heating stage) yang dapat dilihat dari adanya gas-gas keluar dari lapisan batubara itu.
Jika temperatur telah melewati T2, maka sudah terjadi keterlambatan dalam mendeteksi
swabakar.
Gambar : Proses Perkembangan Swabakar Berdasarkan Peningkatan Temperatur

C. Lokasi Yang Mudah Terjadi Swabakar


Tempat-tempat yang terutama mudah terjadi swabakar antara lain:
 Lokasi runtuhan atap lorong
 Sekitar patahan lapisan batubara
 Diantara lorong bersebelahan yang terjadi retakan
 Lorong yang telah di sealing, namun kekedapannya kurang baik
 Lokasi dimana terdapat lapisan batubara rapuh sehingga mudah menjadi serbuk
 Ruang bekas penggalian batubara, dimana penutupan (sealing) kurang baik
 Sekitar atap lorong bekas penambangan yang dilakukan dengan system slicing
 Tempat yang terjadi retakan atau serbuk batubara akibat tekanan batuan

Gambar 3
Gambar : Lokasi yang mudah terjadi swabakar pada tambang batubara bawah tanah

D. Penyebab Terjadinya Swabakar Batubara


Swabakar dapat terjadi pada tambang batubara bawah tanah dikarenakan adanya faktor-faktor
yang dapat memicu terjadinya swabakar. Faktor-faktor tersebut biasanya berkaitan dengan sifat-sifat
batubara itu sendiri, kondisi lapisan batubara, metode penambangan, sistem peranginan dan kondisi
lingkungan tambang batubara bawah tanah.
1. Sifat Batubara
Batubara merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari hasil akumulasi sisa-sisa tanaman
yang terendapkan dalam waktu jutaan tahun yang lalu dan mengalami proses pembatubaraan
(coalification) di bawah pengaruh tekanan dan temperatur serta perubahan kondisi geologi.
Proses Pembatubaraan (coalification)
Pada proses pembatubaraan tersebut terjadi peningkatan rank batubara dari
gambut (peat) ke batubara mutu rendah (lignit), bituminous dan akhirnya menjadi
antrasit.
Selama proses perubahan tersebut terjadi pengurangan kandungan oksigen
dan sebaliknya terjadi pertambahan persentase kandungan karbon (lihat table 1).

Tabel 1
Persentase Serapan Oksigen dan Kadar Karbon Batubara
Tipe Batubara Peat Lignit Bituminous Antrasit
Oksigen (%) 35,3 26,5 10,6 03,0
Karbon (%) 57,0 67,0 83,0 93,0

Kemungkinan terjadinya proses oksidasi lebih besar terhadap batubara yang


rendah kualitasnya, artinya semakin tinggi mutu batubara, maka semakin kecil
peluang terjadinya swabakar, karena serapan udara pada batubara itu semakin
berkurang.

Batubara Bubuk (pulverization of coal)


Batubara bubuk adalah batubara yang hancur dalam bentuk butiran-butiran
halus, yang terjadi saat berlangsungnya proses pengambilan batubara (coal picking).
Semakin banyak butiran-butiran batubara halus, maka semakin besar kemungkinan
terjadinya proses oksidasi yang menghasilkan panas (heat generation), dan bilamana
bubuk batubara tersebut berada pada area terbuka ke udara (exposed), akan menyerap
oksigen dalam jumlah besar yang menyebabkan semakin cepatnya terjadi swabakar.
Pada tabel 2 berikut ini menunjukkan pengaruh temperatur oksidasi terhadap fraksi
besar butiran batubara.

Tabel 2
Hubungan Kecepatan Oksidasi dan Fraksi Butiran Batubara
Fraksi Ukuran Ukuran Partikel Rasio Luas
Temperatur Oksidasi
Partikel Rata-rata Permukaan
0
< 60 mesh 0,10 mm 90 C 20,0
30 – 40 mesh 0,44 mm 1150C 4,5
20 – 30 mesh 0,68 mm 0
127 C 3,0

Dari tabel tersebut memperlihatkan bahwa semakin halus ukuran butir


partikel batubara, makin rendah temperatur dimana proses oksidasi terjadi. Dengan
demikian maka batubara yang memiliki pertikel butir yang halus lebih
memungkinkan terjadinya swabakar.
Kandungan Kelembaban (moisture)
Kandungan kelembaban (moisture content) dalam batubara dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu kandungan kelembaban yang melekat
(inherent moisture content) dan kandungan kelembaban bawaan (attach moisture
content). Batubara yang mempunyai kandungan kelembaban bawaan memungkinkan
terjadinya proses oksidasi yang cepat sehingga menyebabkan swabakar.
Keberadaan kelembaban (moisture content) dalam batubara mempercepat
terbentuknya panas, karena adanya penguapan (evaporation) kelembaban itu
membantu ventilasi alam dan mempercepat terjadinya penembusan oksigen ke dalam
batubara. Kandungan kelembaban batubara antara 5% - 10% adalah keadaan yang
paling memungkinkan terjadinya swabakar.

Kandungan zat terbang (volatile matter content)


Batubara yang mempunyai kandungan zat terbang yang tinggi (high volatile
matter) sering mengalami swabakar. Kondisi ini terjadi, bila rasio kandungan karbon
dan zat terbangnya (fuel ratio) mendekati 1.

Kandungan Sulfida besi (iron sulfide)


Adanya kandungan sulfida besi dalam batubara akan menyebabkan terjadinya
swabakar. Namun demikian sulfida besi bukanlah penyebab utama terjadinya
swabakar pada batubara, tetapi karena sifat dari sulfida besi yang sangat mudah
mengalami oksidasi hingga terbentuk panas, maka adanya kandungan sulfida besi
dalam batubara dapat membantu mempercepatnya proses oksidasi.

Kandungan (phosphore content)


Kandungan posphor yang tingggi dalam batubara dapat mempermudah
terjadinya swabakar walaupun secara tidak langsung. Posphor yang terkandung dalam
batubara disebabkan adanya tekanan dan penghancuran (pulverization) melalui proses
geologis yang menimbulkan efek panas akibat deformasi dalam partikel batubara,
sehingga secara tak langsung akan mempermudah proses oksidasi dan akhirnya
terjadi swabakar.

Gambar : Sifat-sifat batubara yang dapat menimbulkan swabakar


2. Kondisi Lapisan dan Geologi Batubara
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya swabakar adalah kondisi lapisan dan geologi
batubara. Beberapa hal yang perlu ditinjau dalam kaitannya dengan kondisi lapisan dan geologi
batubara ini antara lain:
Ketebalan lapisan batubara
Swabakar sering terjadi pada lapisan batubara yang tebal dan sebaliknya pada lapisan
batubara tipis, peristiwa swabakar jarang terjadi. Pada lapisan batubara tebal sangat sulit
untuk menambang secara keseluruhan dan selalu menyisakan banyak batubara yang tertinggal
pada area runtuhan bekas penambangan (goaf) sehingga mudah mengalami oksidasi apabila
tidak dilakukan sealing secara sempurna. Selain itu lapisan batubara tebal pada bagian lantai
akan mengalami peremukan akibat tekanan sehingga batubara yang hancur tersebut
mengalami percepatan oksidasi yang mengakibatkan swabakar. Terjadinya swabakar pada
lapisan batubara tebal juga akan berpengaruh terhadap penyerapan panas yang terjadi dan
panas tersebut akan tertahan dan bergerak dalam lapisan batubara yang tebal karena adanya
sifat penghantar panas (self thermal conductivity) pada lapisan batubara tersebut.

Kedalaman lapisan batubara


Potensi terjadinya swabakar akan bertambah seiring dengan makin dalamnya posisi
lapisan batubara dari permukaan bumi. Hal tersebut disebabkan pada kedalaman lapisan
batubara akan terjadi peningkatan tekanan yang berakibat batubara mengalami peremukkan
dan porositasnya bertambah sehingga dengan mudah menyerap oksigen. Kedalaman lokasi
penambangan batubara yang jauh dari permukaan bumi akan menyebabkan bertambahnya
temperatur sehingga apabila lapisan batubara tertumpuk dan mengalami proses oksidasi maka
penambahan panas tersebut akan mempercepat terjadinya swabakar.

Kemiringan lapisan batubara


Kemiringan lapisan batubara dapat berpengaruh terhadap terjadinya kondisi runtuhan
atap (subsidence roof), dimana bila lapisan batubaranya agak curam kemungkinan terjadinya
runtuhan atap agak kecil dibandingkan pada lapisan yang landai, sehingga pada lapisan
batubara yang agak curam terdapat ruang kosong (gob area) yang akan menjadi jalur lintasan
udara untuk terjadinya proses oksidasi pada batubara sisa. Dengan demikian makin curam
kedudukan lapisan batubara, semakin besar kemungkinan terjadinya swabakar.

Lapisan pada zona tidak stabil dan patahan


Lapisan batubara pada zona tak stabil (disturbed zone) dan daerah patahan atau
rekahan (fracture) akan sangat mudah terjadi swabakar. Hal tersebut dikarenakan kondisi
lapisan batubara sangat lemah dan mudah remuk (fulverized), sehingga bila batubara tersebut
dibiarkan tertumpuk dalam waktu lama karena sulit untuk dikeluarkan, maka akan
menyebabkan proses oksidasi dan selanjutnya terjadi swabakar.
Selain itu adanya rekahan atau patahan akan memudahkan udara masuk ke rongga-
rongga batubara dan terperangkap dalam rekahan tersebut, sehingga bila dalam zona tersebut
terdapat batubara yang remuk (powdered coal), akan terjadi penyerapan oksigen dan akhirnya
akan menimbulkan swabakar.
Gambar : Lokasi patahan yang mudah terjadi swabakar

Lapisan pengotor dan batubara kualitas rendah


Lapisan pengotor batubara dan batubara kualitas rendah (coally shale) cenderung
mudah mengalami swabakar, karena pada saat proses penambangan adakalanya lapisan
pengotor dan batubara kualitas rendah yang biasanya mudah remuk dibuang begitu saja dalam
tambang sehingga lapisan pengotor dalam batubara akan mengalami proses oksidasi dan
swabakar. Potensi terjadinya swabakar pada lapisan pengotor juga semakin besar dengan
adanya sifat penghantar panas yang ditimbulkannya sehingga mempercepat terjadinya
swabakar.

3. Metode Penambangan
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya swabakar batubara adalah cara atau
metoda penambangannya. Hampir semua peristiwa swabakar terjadi pada batubara sisa
penggalian atau di daerah bekas penggalian (goaf area). Beberapa hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan metoda penambangan ini adalah batubara sisa dan kebocoran udara.

Batubara sisa (remained coal)


Pada tambang batubara bawah tanah biasanya diterapkan metode penambangan
sistem ambrukan dan room and pillar. Kedua metode ini tidak luput dari tertinggalnya
batubara sisa pada bekas penambangannya. Batubara sisa yang telah hancur menjadi serbuk
(pulverized) dan pillar-pillar yang ditinggalkan ini akan mengalami proses oksidasi
selanjutnya menimbulkan terjadinya swabakar.
Selain itu sebaik apapun cara penambangan yang dilakukan untuk mengurangi sisa-
sisa batubara, namun bila penanganan operasi pasca penambangan sangat buruk yang
mengakibatkan banyaknya batubara sisa tertinggal di area goaf sehingga menimbulkan
terjadinya swabakar.

Kebocoran udara (air leakage)


Kebocoran udara pada daerah bekas penambangan (goaf area) dapat menyebabkan
terjadinya swabakar. Perbedaan tekanan antara udara masuk dan udara keluar pada
permukaan kerja (mining face) dengan goaf area dapat menyebabkan terjadinya kebocoran
udara (air leakage). Udara yang terperangkap jika jumlahnya semakin bertambah, maka akan
terjadi oksidasi pada goaf area, yang pada akhirnya dapat menimbulkan swabakar.
Oleh sebab itu daerah yang telah habis ditambang harus ditutup (sealing) dengan rapi,
kalau perlu dilakukan grouting, yakni penginjeksian pasta semen ke dalam dinding goaf area
tersebut, terutama di sekitar pintu-pintu yang disealing.

4. Kondisi Lingkungan Tambang Batubara Bawah Tanah


Pengelolaan lingkungan tambang bawah tanah dengan baik akan dapat memperkecil
terjadinya swabakar. Pengaturan temperatur dan tekanan udara pada tambang bawah tanah
merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah atau mengurangi terjadinya swabakar.

Temperatur daerah tambang bawah tanah


Semakin tinggi temperatur, oksidasi batu bara akan semakin cepat terjadi, sehingga
apabila temperatur di tambang bawah tanah meningkat, akan mudah terkena pengaruh
tersebut. Walaupun kedalamannya dangkal, tetapi kalau tempatnya bertemperatur tinggi,
karena ventilasi yang tidak baik seperti misalnya pada bekas area penambangan, maka akan
mudah terjadi swabakar.

Tekanan udara (air pressure)


Perubahan tekanan disebabkan oleh adanya perubahan tekanan atmosfir atau
disebabkan oleh perubahan kondisi ventilasi. Naik turunnya tekanan udara mengakibatkan
terjadinya kondisi seperti pernapasan, yaitu udara segar dan udara yang mengandung gas silih
berganti keluar masuk ke dalam gob dan dinding batubara. Artinya, pada waktu tekanan udara
rendah, gas teremisi keluar dan bersama dengan naiknya tekanan udara, udara segar akan
meresap masuk. Dengan berulang-ulangnya emisi dan resapan masuk ini, oksidasi batu bara
akan dipercepat terutama pada gob area perlu diwaspadai, karena akan terjadi percepatan
oksidasi yang menyebabkan timbulnya swabakar.

Sistem Peranginan
Ventilasi berfungsi sebagai sarana pengaliran udara segar ke dalam ruangan
(terowongan) dan pengaliran udara kotor ke luar. Kesalahan dalam menerapkan sistem
ventilasi akan dapat membahayakan kondisi lingkungan tambang seperti terjadinya swabakar.
Pada umumnya, kecenderungan awal dari swabakar adalah batu bara menyerap
oksigen dari luar, sehingga oksidasi berkembang. Terutama di lokasi tekanan negatif yang
tinggi di sekitar kipas angin, akan terjadi penyuplaian oksigen sampai ke retakan yang
lumayan dalam. Pada saat itu, mudah terjadi fenomena akumulasi panas, akibat berulang-
ulangnya proses oksidasi dan akumulasi panas karena perubahan tekanan negatif.
Kemudian, perubahan ventilasi dalam jangka pendek, terutama perubahan dari udara
buang ke udara masuk, akan mengurangi kelembapan di sekeliling lorong dan di bagian
dalam retakan akibat perubahan kelembapan, yang mana menghilangkan efek pendinginan,
sehingga akan berubah menjadi keadaan yang semakin mudah teroksidasi.
Akan tetapi, apabila dilakukan ventilasi dengan jumlah udara, tahanan ventilasi dan
penampang lorong yang tepat, maka bukan percepatan oksidasi yang terjadi, justru efek
pendinginannya menjadi besar, sehingga efektif untuk mencegah swabakar.
E. Dampak Swabakar
Swabakar merupakan malapetaka dahsyat bila terjadi pada tambang bawah tanah batubara.
Keterlambatan dalam mendeteksi pencetusnya dapat menimbulkan kebakaran besar dan tak
terkendali, dapat menyebabkan cedera, kematian para pekerja yang ada dalam tambang, bahkan dapat
menyebabkan hancurnya pertambangan, karena dapat berproduksi lagi, dan harus ditutup untuk
selama-lamanya.
Swabakar dapat juga menimbulkan keracunan akut, yang berasal dari asap atau gas-gas yang
teremisi ke udara dalam tambang itu. Peristiwa keracunan terjadi jika beragam jenis gas beracun,
seperti karbon monoksida, nitrogen, sulfur, timbel dan logam berat semua memasuki jalan darah dan
mengacaukan sistem metabolisme tubuh. Gas karbon monoksida (CO) merupakan gas yang paling
berbahaya untuk membuat orang keracunan akut adalah karbon monoksida (CO), yang warnanya biru
sampai hitam pekat. Jika gas CO terhirup melalui hidung atau mulut, maka mata dan sistem
pernafasan akan meradang, sehingga menimbulkan sesak nafas dan batuk-batuk yang hebat.
Yang lebih berbahaya lagi adalah jika gas CO tersebut memasuki aliran darah. Gas ini akan
merampas dan mengikat hemoglobin (Hb), yang berupa senyawa besi yang bertugas untuk membawa
oksigen (O2). Akibatnya darah akan mengalir membawa racun CO sehingga sekujur badan berwarna
merah. Selanjutnya korban akan merasa mual, pusing, dan sesak nafas. Jika kondisi itu berlanjut,
maka jantung, paru-paru, ginjal, dan otak akan mengalami gagal berfungsi dan akibatnya adalah
kematian si korban
Disamping itu, swabakar dapat pula memicu terjadinya ledakan yang besar, jika pada saat
terjadi swabakar itu timbul awan debu batubara yang banyak.
Oleh karena itu setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan tambang batubara bawah tanah juga
harus mengetahui dan mahir dalam melakukan tindakan pencegahan atau penanganan swabakar
tersebut.

F. Tindakan Pencegahan Terhadap Swabakar


Kebakaran spontan (swabakar) dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi usaha
pertambangan batubara bawah tanah. Berbagai bentuk kerugian yang mungkin timbul diantaranya
adalah luka-luka atau matinya para pekerja tambang, keracunan gas, atau bahkan dapat menyebabkan
hancurnya tambang itu secara total dan harus ditutup untuk selama-lamanya. Disamping itu juga
kebakaran itu dapat menambah emisi gas rumah kaca ke atmosfeer bumi, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan suhu global dan hujan asam.
Untuk itu kejadian swabakar harus dicegah sedini mungkin. Seorang teknisi tambang harus
mengetahui berbagai hal yang terkait dengan masalah swabakar ini, yakni perkembangan peristiwa
swabakar, tanda-tanda swabakar, mendeteksi secara dini peristiwa swabakar, kontrol jalan utama
tambang, metoda penambangan, pemeliharaan jalan keluar tambang, dan penutupan (sealing) pada
areal bekas tambang.

1. Gejala dan Pendeteksian Secara Dini Swabakar


Gejala Terjadinya Swabakar
Memperhatikan tanda-tanda awal terjadinya swabakar adalah hal yang sangat penting
dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya swabakar. Tabel berikut ini memuat tanda-
tanda awal terjadinya swabakar tersebut secara berurutan.
Tabel 3
Tanda-tanda Swabakar

1. Terjadi kenaikan suhu pada bagian terowongan


2. Terjadi tetesan air pada permukaan dinding dan pillar batubara
3. Terjadi kabut yang memenuhi lorong
4. Terciumnya bau pembusukan dan bau manis
5. Terbentuknya gas-gas CO, CO2, CH4, C2H4
6. Makin jelasnya bau minyak yang menyengat hidung dan tenggorokan
7. Makin jelasnya bau minyak hingga berubah menjadi bau ter
8. Timbul bau asap kebakaran kayu, jika bau kayu terbakar menandakan dekat api
9. Bau asap
10. Muncul nyala api (flame)

Pendeteksian dini
Untuk dapat mengetahui secara dini adanya peristiwa swabakar dapat dilakukan
berbagai pengukuran atau pengamatan, antara lain:
 Pengukuran konsentrasi gas methan (CH4)
 Pengukuran konsentrasi gas karbon monoksida (CO)
 Pengukuran konsentrasi gas karbon dioksida (CO2)
 Pengukuran temperatur
 Pengukuran kelembaban udara (humidity)
 Pemeriksaan adanya bau-bauan yang merupakan indikator swabakar
 Melihat adanya asap putih atau nyala api.

2. Metode Penambangan
Pencegahan swabakar dapat juga dilakukan dengan melihat metoda penambangan yang
diterapkan.
1. Pilih metoda penambangan yang paling aman sesuai dengan kondisi lapisan batubara
untuk mencegah terjadinya kebocoran udara dari dan ke daerah yang sudah ditinggalkan,
agar proses oksidasi dapat dicegah sedini mungkin. Dalam hal ini system penambangan
mundur dinilai lebih aman disbanding system penambangan maju.
2. Kecepatan kerja penambangan pada mining front harus secepat mungkin
3. Menerapkan metoda penambangan panel. Pada saat penambangan telah dilakukan,
seluruh peralatan tambang harus segera dipindahkan ke jalur keluar tambang (mined out
area) dan melakukan penutupan pada daerah bekas tambang (sealing) dengan rapat.
4. Usahakan pemindahan batubara dari area penambangan tidak terdapat batubara yang
tersisa pada daerah jalan keluar tambang.
5. Untuk lapisan batubara tebal atau berlapis-lapis (multiple seams) sebaiknya dilakukan
penambangan sekaligus. Jika diperlukan penambangan dengan metode slicing (irisan),
lakukan pengirisan pada bagian atas (upper slicing) terlebih dahulu, selanjutnya lakukan
irisan pada bagian bawah lapisan (lower slicing).
Gambar : Metode penambangan dengan sistem udara ventilasi

3. Tindakan Pencegahan Udara Bocor


Melakukan penyelidikan kondisi aktual lapangan (kondisi lorong, kondisi ventilasi dan hasil
pengukuran) terhadap lokasi yang diwaspadai. Kemudian, apabila diperlukan, melakukan
tindakan pencegahan udara bocor melalui injeksi dinding batu bara, back filling, penyemprotan
torkret, baik secara individu maupun kombinasi, yaitu dengan serbuk batuan, fly ash dan semen.

4. Ventilasi
Prinsip dasar pencegahan swabakar yang dilihat dari segi ventilasi adalah mencegah
kebocoran udara ke lokasi yang tidak perlu, di mana dalam hal ini perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a. Pembentukan metode ventilasi aliran cabang independen berdasarkan zona
Pada metode ventilasi sistem diagonal, lebih mudah dilakukan pencegahan udara bocor
dan ventilasi aliran cabang independen berdasarkan zona, dari pada metode ventilasi sistem
terpusat. Metode ventilasi aliran cabang independen berdasarkan zona ini mempunyai
keuntungan sebagai berikut :
1) Dapat segera melakukan pemutusan ventilasi yang disesuaikan dengan
kemajuan permuka kerja ekstraksi.
2) Pada waktu terjadi swabakar, pengaturan ventilasi dapat dilakukan dengan
mudah, untuk tidak membiarkan udara buang dari lokasi bersangkutan mengalir
masuk ke permuka kerja lain, sehingga dapat melakukan tindakan dengan
mudah karena tidak diselubungi oleh gas berbahaya.

b. Usakan agar tidak terjadi tekanan ventilasi yang tinggi


Apabila ada penyempitan lorong atau memaksa melewatkan jumlah udara yang besar,
akan terjadi tekanan deferensial ventilasi yang tinggi, yang antara lain memacu terjadinya
kebocoran udara.
1). Tempat yang penampang lorongnya menyempit akibat tekanan batuan, segera
diperlebar atau udara ventilasi ditahan pada jumlah yang sesuai.
2). Apabila bermaksud menambah jumlah udara sebagai tindakan terhadap gas dan
temperatur, usahakan jangan berlebihan. Kalau perlu, pikirkan kemungkinan jalur
ventilasi yang lain.
3). Mengurangi frekuensi perubahan tekanan deferensial ventilasi. Bukan saja pada
waktu mengubah jumlah udara kipas angin utama atau melakukan perubahan
besar terhadap ventilasi, tetapi pada waktu melakukan perubahan kecil terhadap
ventilasi juga, tekanan deferensial ventilasi secara lokal dapat berubah, sehingga
perlu perhatian yang cukup mengenai kemana larinya udara bocor.

5. Penutupan (sealing)
Penutupan (sealing) dimaksudkan untuk menutup secara rapat daerah jalan keluar tambang
(mined out area) sehingga mencegah udara masuk atau juga untuk tujuan lainnya yaitu untuk
perlindungan terhadap jalan-jalan tambang dari peledakan atau pencegahan kebcran udara secara
permanent atau sementara.
Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan dalam rangka pemilihan lokasi penutupan
lobang bekas tambang (sealing location) adalah:
a. Pilih lokasi yang mudah untuk penempatan ventilasi local
b. Pilih lokasi yang kecil kemungkinan kejadian kebocoran udara (cirinya: atapnya baik,
tidak ada rekahan, tekanan pada atap terowongan terkecil)
c. Pilih lokasi yang ada ruang (space) untuk penempatan penutup tambahan (additional
seals)
d. Pilih lokasi yang memungkinkan dan mudah dalam lalu lintas membawa bahan-bahan
penutup dan memungkinkan pula pembuatan kisi-kisi ruang sekecil mungkin.

Pilar batu bara sisa setelah selesai penambangan, sebaiknya disekat (ditutup rapat), di mana
penyekatan dilakukan dengan mengalirkan material pengisi berupa fly ash dengan patokan 2~4
bulan setelah selesai penambangan. Kemudian lorong yang tidak diperlukan juga perlu disekat
secara terencana, di mana rongga lama dan tambang bawah tanah lama di bagian dalam
penyekatan diisi dengan lumpur dari preparasi batu bara dan lain-lain.

Gambar : Konstruksi Penyekatan Lorong Bekas Penambangan


6. Tindakan Pencegahan Pada Lorong Di Dalam Lapisan Batu Bara
Untuk lokasi yang perlu diwaspadai, dilakukan penyelidikan kondisi aktual lapangan (kondisi
lorong, kondisi ventilasi dan hasil pengkuran), dan apabila diperlukan, dilaksanakan injeksi
dinding batu bara, back filling penyangga dan penyemprotan torkret mortar (adukan semen), baik
sendiri-sendiri maupun secara kombinasi, sebagai tindakan pencegahan udara bocor, dengan
kombinasi serbuk batuan, fly ash, lumpur (sludge) dari preparasi batu bara dan semen.

Gambar : Injeksi Belakang Penyangga dan Dinding Batubara

G. Penanggulangan Bencana Swabakar Batubara


Apabila ternyata terjadi kebakaran di dalam tambang, maka sebelum menimbulkan efek yang
lebih luas, harus diambil langkah penanggulangannya secara terpadu. Oleh karena itu kepala
pengawas keselamatan kerja tambang bawah tanah senantiasa mempelajari cara penanganan,
melaksanakan pendidikan dan latihan bagi pihak yang berkepentingan, sehingga dapat dipersiapkan
sistem penanggulangan bencana yang dapat bekerja secara cepat dan tepat.
1. Pelaporan Kejadian dan Reaksi Tahap Awal
Pelaporan terhadap terjadinya sumber api kebakaran merupakan bagian yang sangat
penting guna menginformasikan kejadian kebakaran di dalam tambang. Laporan sangat
diperlukan untuk mendapatkan informasi yang jelas sehingga dapat diproses dengan tepat.
Penemu sumber api di dalam tambang harus melaporkan kejadian kepada kepala pengawas
keselamatan kerja sesegera mungkin melalui alat komunikasi yang tersedia. Melaporkan
seluruh kejadian yang diamati kepada kepala pengawas keselamatan kerja dan menunggu
perintah untuk melakukan suatu tindakan penanggulangan terhadap bencana tersebut.
Bila menemukan sumber api atau panas di dalam tambang, walaupun sebagian dalam
keadaan menyala dan lokasinya belum begitu luas maka yang paling efektif adalah
melakukan pemadaman api langsung tanpa membuang waktu. Kadang kala timbulnya api
kebakaran disertai pula oleh adanya bahaya bencana sekunder seperti ledakan gas dan debu
batubara, sehingga mengakibatkan bencana secara beruntun meliputi wilayah yang lebih luas
lagi.
Oleh karena itu, tindakan penanganan terhadap bencana tambang bawah tanah harus
dilaksanakan dengan sikap ekstra hati-hati dan mempersiapkan sistem evakuasi penyelamatan
diri melalui pembangunan sarana tempat pengungsian di dalam tambang yang dapat
menghindarkan diri dari bencana kebakaran tambang.
Beberapa tindakan yang perlu dipertimbangkan bagi pengawas keselamatan tambang
dalam rangka pengendalian terhadap bencana kebakaran tambang bawah tanah antara lain:
a) Lakukan tindakan tepat dan segera bila indikasi menunjukkan potensi yang dapat
memungkinkan terjadinya bencana kebakaran melalui tindakan pemadam api secara
langsung pada sumber nyala api untuk mencegah kebakaran yang lebih luas. Pemadaman
api pada tahap awal bila lokasi sumber nyala api bisa didekati ini dapat dilakukan secara
langsung tanpa membuang waktu bila situasi yang terjadi seperti berikut ini :
 Nyala api tahap awal, dengan taraf baru mulai mengeluarkan asap.
 Area swabakar relatif kecil dan sumber api dekat dengan lorong (jalur evakuasi
terjamin).
 Gas mudah nyalanya sedikit, sehingga tidak ada bahaya ledakan.
 Walaupun apinya membesar, tidak ada kekhawatiran menyebar ke zona lain.
 Tidak ada bahaya lepas kontrol akibat ambrukan dan lain-lain pada saat
menyingkirkan sumber api.
Namun apabila lokasi sumber nyala api tidak bisa didekati misalnya di area bekas
penambangan (gob area), sehingga sulit untuk memadamkan api secara langsung maka perlu
diambil tindakan seperti berikut ini :
 Menentukan zona peringatan dan memperhatikan tindakan terhadap bawah angin.
 Menentukan posisi serta metode pengamatan dan pengukuran untuk mengetahui
kondisi dan perubahan secara rinci.
 Menyiapkan material dan tenaga kerja dengan asumsi situasi memburuk.
 Melakukan tindakan pencegahan udara bocor (membentang papan, penyekatan,
injeksi fly ash dan cement milk)
 Mengambil tindakan pemutusan suplai udara dan pendinginan, melalui penyekatan,
injeksi air dan lain-lain.
b) Segera umumkan perintah pengosongan lokasi tambang, yakni pengungsian seluruh
pekerja tambang, kecuali petugas penyelamat atau penolong keadaan darurat.
c) Mempersiapkan jalur evakuasi ke tempat pengungsian sementara atau pembukaan pintu-
pintu jalur keluar tambang untuk penyelamatan pekerja, pengaliran air untuk penyiraman
atau tindakan penting lainnya.

2. Tindakan Pemadaman Api Kebakaran


Kebakaran yang terjadi dapat berkembang pada lokasi yang lebih luas, sehingga sesegera
mungkin dilakukan pemadaman api kebakaran untuk mencegah perambatan ke lokasi yang lebih
luas. Cara-cara untuk melakukan pemadaman api kebakaran di dalam tambang dapat dilakukan
sebagai berikut:

1. Metode pemadaman api langsung


Jika sumber api sudah menyebar luas, perlu diputuskan dengan hati-hati, sambil
mempertimbangkan kemungkinan terjadi bencana sekunder.
a. Penyingkiran sumber api
Menyingkirkan bagian penimbul panas untuk mencegah penyebaran, dan bersama itu
batu bara penimbul panas dan sekelilingnya didinginkan dengan air.
b. Penyiraman air
Merupakan cara yang paling pasti, pada waktu batu bara bertemperatur tinggi, dapat
terjadi uap air secara tidak normal, sehingga perlu melakukan komunikasi dengan orang-
orang di bawah angin (leeward).
c. Alat pemadam kebakaran
Pemadam kebakaran yang digunakan adalah alat pemadam kebakaran sistem mobile
untuk pemadaman api tahap awal, tetapi karena kemampuannya kecil, perlu disiapkan
jumlah yang memungkinkan pemakaian berturut-turut.
d. Pelingkupan dengan benda yang tidak terbakar
Ini adalah cara pemadaman api melalui pemutusan suplai udara dengan melingkupi
benda penimbul api, memakai serbuk tidak terbakar yang mudah diperoleh di sekitarnya,
seperti pasir, serbuk batuan dan fly ash.
e. Metode injeksi
Jika bagian penimbul panas berada jauh dan dalam, di tempat yang diduga merupakan
bagian penimbul panas ditancapkan pipa, kemudian dinjeksi dengan air.
f. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari segi keselamatan, dalam rangka pemadaman api.
 Dibuat sedemikian rupa, agar dapat melakukan kegiatan pemadaman api tanpa
terselubung oleh gas berbahaya.
 Gas mudah nyala dibuat menjadi sedikit, agar tidak ada bahaya pembakaran
dan ledakan.
 Menjaga jalur evakuasi jangan sampai terputus pada waktu nyala api tiba-tiba
membesar.
 Dijaga agar tidak ada bahaya ambruk dan lain-lain yang menyertai kegiatan
pemadaman api.
 Perlu diketahui, bahwa api bisa juga menyerbu ke atas angin (windward)

2. Metode pemadaman api tidak langsung


Walaupun sudah jelas dapat diperkirakan sedang terjadi pembangkitan panas atau nyala
api, tetapi jika sulit untuk memadamkan api secara langsung, misalnya karena posisi
sumber api yang tidak jelas, atau sumber panas berada di dalam gob yang sangat luas, atau
ada bahaya ledakan gas karena nyala api yang kuat, maka dalam hal ini api dipadamkan
melalui penyekatan (sealing) zona tersebut, untuk memutuskan ventilasi, sehingga suplai
oksigen terhenti.
a. Pemadaman api dengan penyekatan (sealing)
Pada waktu melakukan pemadaman api dengan penyekatan di tambang batu bara
yang banyak gas mudah nyala, perlu menjalankan tindakan berikut ini.
 Melaksanakan tindakan untuk melindungi para pekerja dari bahaya ledakan gas
di dalam.
 Waktu yang dimiliki hingga tindakan pencegahan bahaya ini selesai dilakukan,
digunakan untuk menyingkirkan gas mudah nyala dan debu batu bara, serta
melaksanakan segala upaya agar tidak terjadi ledakan, namun dengan asumsi
ada sumber api.
 Untuk melakukan pemutusan ventilasi melalui penyekatan permanen,
diperlukan waktu yang cukup lama sampai pekerjaan rampung. Oleh karena itu,
untuk maksud menghalangi suplai udara yang tidak terkontrol kepada sumber
api selama waktu itu, pertama-tama dilakukan penyekatan sementara.
Tentu saja, penyekatan sementara sebaiknya mempunyai kekedapan udara yang
tinggi. Namun, yang lebih penting lagi adalah merampungkan pekerjaan dengan cepat.
Beberapa metode penyekatan yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pemasangan papan dan plastik
Merentang film plastik untuk mencegah udara bocor, dan celah-celahnya
ditutup dengan lempung atau mortar. Karena akan diikuti oleh penyekatan
permanen, sebaiknya dipasang sedekat mungkin ke sumber api.
2) Kantong udara
Kantong udara yang disimpan di tambang bawah tanah, diset pada posisi
yang direncanakan, kemudian dikembangkan dengan udara tekan untuk menutup
seluruh lorong, hingga dapat memutus ventilasi. Pemasangannya dapat dilakukan
oleh sedikit orang, tingkat terkena bahaya juga rendah, kekedapan udaranya juga
tinggi tergantung dari cara pencegahan kebocoran udara, dan ketahanan terhadap
tekanan juga lumayan, sehingga akhir-akhir ini digunakan secara luas dengan hasil
yang baik.
b. Pemadaman api dengan pembanjiran
Merupakan cara yang paling pasti untuk mengendalikan api yaitu apabila seluruh sumber api
pada saat kebakaran tambang bawah tanah dan swabakar dibanjiri air. Pada waktu api tidak bisa
dipadamkan dengan berbagai cara lain, pembanjiran dilakukan sebagai cara darurat.
Apabila sumber api berada di lokasi terendah pada zona tersebut, jumlah air yang diperlukan
juga sedikit, waktu yang diperlukan juga singkat dan kerugian yang ditimbulkan juga sedikit,
namun kebanyakan sumber api meliputi daerah yang luas. Sehingga kerusakan lokasi
pembanjiran menjadi besar, di mana pemulihannya sangat sulit dan memerlukan biaya yang amat
besar, bahkan dalam keadaan yang paling parah adakalanya tambang terpaksa ditutup.
Oleh karena itu, apabila menemukan sumber nyala api, yang penting adalah mencurahkan
segala kemampuan pada penanganan dini, yaitu berusaha melakukan pemadaman api langsung
dan pemadaman api dengan penyekatan.

Anda mungkin juga menyukai