Anda di halaman 1dari 31

BAB III

KAJIAN PUSTAKA

3.1. Pengertian Batubara


Menurut Sukadarrumidi 1995 batubara merupakan bahan bakar hidrokarbon padat
yang terbentuk dari proses penggambutan dan pembatubaraan di dalam suatu cekungan
(daerah rawa) dalam jangka waktu geologis yang meliputi aktivitas bio geokimia terhadap
akumulasi flora di alam yang mengandung selulosa dan lignin. Proses pembatubaraan juga
dibantu oleh faktor tekanan (berhubungan dengan kedalaman), dan suhu (berhubungan dengan
pengurangan kadar air dalam batubara).
Sedangkan Muchijidin 2006 mengatakan bahwa istilah batubara merupakan hasil
terjemahan dari coal. Disebut batubara mungkin karena dapat terbakar seperti halnya arang
kayu (charcoal). Menurut Muchijidin banyak sekali definisi mengenai batubara yang telah
dikemukakan dalam referensi, salah satunya berbunyi bahwa batubara adalah suatu batuan
sedimen organik berasal dari penguraian sisa berbagai tumbuhan yang merupakan campuran
yang heterogen antara senyawa organik dan zat anorganik yang menyatu di bawah strata yang
menghimpitnya.
Batubara dapat didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari dekomposisi
tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun. Dekomposisi tanaman ini terjadi karena
proses biologi dengan mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah menjadi
karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam kandungan bahan tersebut
disebabkan oleh adanya tekanan, pemanasan yang kemudian membentuk lapisan tebal
sebagai akibat pengaruh panas bumi dalam jangka waktu berjuta-juta tahun, sehingga lapisan
tersebut akhirnya memadat dan mengeras (Mutasim, 2010). Adapun bentuk dari batubara itu
sendiri dapat dilihat pada gambar 3.1.
Menurut Irwandy 2014, batubara dikenal juga sebagai “emas” hitam. Masyarakat
mengenalnya sebagai batu hitam yang bisa terbakar. Hal itu tidak salah karena tampilan
dilapangan menunjukkan perbedaan kontras antara batubara dan batuan sekitarnya (Gambar
3.1). Batubara didefinisikan oleh beberapa ahli dan memiliki banyak pengertian di berbagai
buku atau referensi. Di komunitas industri, definisi ini lebih spesifik lagi, yaitu batuan yang pada
tingkat kualitas tertentu memiliki nilai ekonomi.
Elliot 1981 yang merupakan geokimia batubara, berpendapat bahwa batubara
merupakan batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah heterogen yang mengandung
unsur-unsur karbon, hydrogen, serta oksigen sebagai komponen unsur utama dan belerang
serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik pembentuk ash
(debu), tersebar sebagai partikel zat mineral yang terpisah di seluruh senyawa batubara.
Secara ringkas, batubara bisa didefinisikan sebagai batuan karbonat berbentuk padat, rapuh,
berwarna cokelat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat perubahan tumbuhan
secara kimia dan fisik.

Gambar 3.1
Batubara
3.2. Pembentukan Batubara
3.2.1. Tempat terbentuknya batubara
Menurut Sukandarrumidi 1995 batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek
dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh
fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari
tumbuh-tumbuhan perlu diketahui di mana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan
mempengaruhinya. Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal 2 macam teori:
a. Teori insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk batubara merupakan tumbuh-
tumbuhan yang tumbuh di tempat batubara tersebut terbentuk. Setelah tumbuh-tumbuhan
tersebut tumbang atau rubuh, tumbuh- tumbuhan tersebut tidak mengalami proses
transportasi dan segera tertimbun oleh lapisan sedimen, untuk selanjutnya mengalami
proses pembatubaraan (coalification).
Jenis endapan batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai ciri-ciri
penyebaran yang luas dan merata, serta kualitasnya lebih baik karena kadar abunya
relatif kecil. Contoh dari batubara yang terbentuk dengan metode ini adalah batubara
yang ada di Muara Enim (Sumatera Selatan).
b. Teori drift
Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk batubara berasal dari
tempat yang berbeda dengan tempat pembentukan batubara. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati mengalami proses transportasi oleh media air dan
terakumulasi di suatu tempat dan selanjutnya tertutup oleh sedimen-sedimen dan
mengalami coalification.
Hasil proses ini akan terbentuk endapan batubara dengan ciri-ciri
penyebarannya tidak begitu luas dan tidak merata, serta kualitasnya kurang begitu baik
karena lebih banyak mengandung material pengotor yang ikut terangkut selama proses
pengangkutan ketempat pembentukan. Contoh dari batubara yang terbentuk dengan
metode ini adalah batubara yang ada di delta Mahakam purba (Kalimantan Timur).
(Sukandarrumidi, 1995)

3.2.2. Proses pembentukan batubara


Terdapat dua proses utama yang berperan dalam proses pembentukan batubara, yaitu
proses penggambutan atau peatification dan pembatubaraan atau coalification. Gambut sendiri
merupakan tahap awal dalam pembentukan batubara.

Gambar 3.2
Proses Pembentukan Batubara

a. Penggambutan (peatification)
Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari timbunan hancuran
atau bagian tumbuhan dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, memiliki
kandungan air lebih dari 75% (berat) dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi
kering (Anggayana, 2000). Pembentukan gambut merupakan tahap awal pembentukan
batubara. Dalam tahap ini proses yang paling penting adalah proses pembentukan humic
substance (humification). Pembentukan humic substance (humification) ini dikontrol oleh
beberapa faktor, yaitu kenaikan temperatur, suplai oksigen, fasies dan lingkungan alkali.
Proses penggambutan in merupakan proses awal dalam pembentukan batubara, yang
meliputi proses perubahan kimia (biochemical coalification) dan mikrobial. Dalam proses
penggambutan akan bergantung pada laktor Keberadaan air pad lingkungan pengendapan. dan
mikroorganisme (bakteri). Setelah proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses
perubahan geokimia (geochemical coalification), yang dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri
lagi.
b. Pembatubaraan (coalification)
Proses pembatubaraan meliputi perkembangan dari gambut (peat), menjadi batubara
lignit (brown coal), sub bituminous, bituminous, dan anthracite. Proses ini dikontrol oleh
beberapa hal yaitu waktu, tekanan dan temperatur. Pada sat proses perubahan gambut menjadi
lignite, proses yang terjadi adalah kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Terjadinya
proses kenaikan temperatur yang dikuti penurunan porositas ini diakibatkan oleh adanya
pembebanan material-materjal sedimen di atasnya. Akibat tertekan sedimen di atasnya maka
lapisan tersebut akan mengalami kompaksi dan terbentuklah lignite.
Apabila pada lapisan lignite terjadi peningkatan temperatur dan tekanán yang cukup
lama dalam waktu geologi maka lignite ini akan menjadi batubara sub bituminous dan
bituminous. Dalam proses perkembangannya, proses pembatubaraan ini akan mengalami
peningkatan karbon (C) karena unsur-unsur lainnya seperti H, O dan N akan terlepas sebagai
Ha. Oz, dan N. Kemudian apabila batubara bituminous mengalami peningkatan temperatur
yang cukup lama, maka unsur H dalam batubara akan, telepas dengan cepat. Peningkatan
temperatur ini biasanya diakibatkan oleh adanya gradien geothermal dan tekanan overbuden
pada lapisan sedimennya. Akibat unsur H yang terlepas pada batubara, maka lapisan batubara
ini akan mengandung unsur H yang lebih sedikit dan terbentuklah tip antrachite.
(Elvira, 2017)
3.2.3. Klasifikasi batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang telah mati dengan komposisi utama dari
sellulosa. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh faktor fisika dan
kimia yang terjadi secara alami mengubah sellulosa menjadi lignit, subbituminous, bituminous
dan antrasite.
a. Klasifikasi batubara secara umum
Adapun klasifikasi batubara secara umum adalah sebagai berikut:
1) Peat (gambut)
Peat (gambut) merupakan jenis batubara yang paling rendah mutunya, bersifat lunak,
dapat dilihat dari warna dan struktur, mudah pecah pada saat pemanasan.

Gambar 3.3
Peat

2) Lignite
Lignite merupakan batubara di atas brown coal, namun kualitasnya masih tergolong
rendah. Jenis batubara ini berwarna coklat mengkilat, stuktur kayu masih tampak, kandungan air
dan oksigen relatif tinggi dengan kandungan kalor relatif rendah.

Gambar 3.4
Lignite
3) Sub-bituminous
Sub-bituminous sering disebut juga black lignite adalah jenis batubara transisi antara
lignite dan bituminous, dengan kualitas rendah.

Gambar 3.5
Sub-bituminous

4) Bituminous
Bituminous yaitu batubara yang termasuk kategori kualitas baik, memiliki sifat keras dari
sub-bituminous kandungan oksigen rendah, sedangkan kandungan karbon dan kalor relatif
tinggi.

Gambar 3.6
Bituminous
5) Anthrasite
Anthrasite yaitu jenis batubara dengan kandungan karbon cukup tinggi, zat mudah
menguap (volatile matter) dan kandungan oksigennya relatif rendah, pada saat pembakaran
tidak atau kurang menghasilkan asap.

Gambar 3.7
Antrasite

(Aladin, 2011)

b. Klasifikasi batubara berdasarkan atas nilai kalor


Adapun klasifikasi batubara berdasarkan atas nilai kalor adalah sebagai berikut:
1) Batubara tingkat tinggi (high rank), meliputi meta anthracite, anthracite, semi anthracite.
2) Batubara tingkat menengah (medium rank), meliputi low volatile, bituminous coal, high
volatile coal.
3) Batubara tingkat rendah (low rank), meliputi sub bituminous coal, lignite.
Apabila diperhatikan lebih lanjut penggolongan tersebut lebih ditekankan pada nilai
kalor yang dihasilkan, selain tetap memperhatikan kandungan unsur C dan jumlah volatile
matter yang terdapat di dalamnya. Seperti pada penggolongan yang pertama, apabila batubara
dipakai dalam industri, akan dipilih batubara tingkat tinggi, karena akan menghasilkan panas
yang cukup tinggi.
(Sukadarrumidi, 2005)
c. Klasifikasi batubara menurut ASTM
klasifikasi saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang dibuat oleh ASTM (American
Society for Testing and Materials), parameter dasar yang digunakan dalam klasifikasi ASTM
(ASTM, 1981 dalam Wood dkk, 1983):
1) Batubara berperingkat tinggi (fixed carbon > 69%), parameter yang digunakan adalah jumlah
karbon tertambat (fixed carbon) dan zat volatile matter.
2) Batubara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), parameter yang digunakan adalah nilai
kalori (calorific value).
3) Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).
d. Klasifikasi batubara menurut ISO (International Standarization Organization)
ISO juga mengeluarkan klasifikasi batubara berdasarkan peringkat, tetapi penentuan
peringkatnya menggunakan reflektan vitrinite (Rv) yang merupakan hasil analisi petrofrafi
batubara. ISO sendiri membagi kelas atau peringkat batubara menjadi tiga yaitu peringkat
rendah, menengah dan tinggi. Batubara dengan peringkat rendah yaitu lignite – sub
bituminous dengan Rv kurang dari sama dengan 5%. Kemudian untuk batubara peringkat
menengah yaitu batubara bituminous dengan Rv antara 0,5 sampai 2,0. Sedangkan untuk
batubara dengan peringkat tinggi yaitu kelompok batubara antrasite yang mempunya Rv antara
2.0 sampai dengan 6.0. Peringkat batubara ini tersebut dapat dilihat pada tabel 3.2.
Tabel 3.1
Klasifikasi Batubara Menurut ASTM
KARBON PADAT, ZAT TERBANG, NILAI KALORI
% d.m.m.f % d.m.mf BTU/LB, m.mf

KELAS GRUP SAMA SAMA SAMA


< > <
ATAU > ATAU < ATAU >

Meta Ant. 98 2

Anthracite 92 98 2 8
Anthracite
Semi Ant. 86 92 8 14

Low Vol. Bit 78 86 14 22

Med Vol. Bit 96 78 22 31

High Vol A Bit 69 31 14,000

Bituminous High Vol B Bit 13,000 14,000

High Vol C Bit 10,500 13,000

Sub Bit A 10,500 11,500

Sub Sub Bit B 9,500 10,500

Bituminous Sub Bit C 8,500 9,500

Lignite A 6,300 8,500

Lignite Lignite B 6,300

Sumber: (ASTM, 2009 dalam Gusti, 2016)


Tabel 3.2
Klasifikasi Batubara Menurut ISO
DESKRIPSI
RANK Bed Moisture, %,
Rv, %
ash free basis
Low Rank C
<0.4 35 – 75
(Lignite B)
Low Rank B
LOW RANK <0.4
(Lignite B) <35
Low Rank A
0.4 - 0.5
(Sub Bituminous)
Medium Rank D
0.5 - 0.6
(Bituminous D)
Medium Rank C
0.6 – 1.0
(Bituminous C)
MEDIUM RANK
Medium Rank B
1.0 – 1.4
(Bituminous B)
Medium Rank A
1.4 – 2.0
(Bituminous A)
High Rank C
2.0 – 3.0
(Anthracite C)
High Rank B
HIGH RANK 3.0 – 4.0
(Anthracite B)
High Rank A
4.0 – 6.0
(Anthracite A)
Sumber: (ISO, 2005 dalam Gusti, 2016)

3.2.4. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batubara


Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lam, di samping
dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu, terutama ditinjau dari segi fisika,
kimia ataupun biologis. Dikenal serangkaian faktor yang akan berpengaruh dan menentukan
terbentuknya batubara. Faktor-faktor tersebut antara lain (Hutton and Jones, 1995 dalam
Sukandarrumidi, 1995) yaitu posisi geoteknik, keadaan topografi daerah, iklim daerah, proses
penurunan cekungan sedimentasi, umur geologi, jenis tumbuh-tumbuhan, proses dekomposisi,
sejarah setelah pengendapan, struktur geologi cekungan dan metamorfosa organik. Secara
rinci hal-hal di atas tersebut diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Posisi geoteknik
Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan sedimentasi
yang keberadaannya dipengaruhi ole gaya-gaya tektonik lempeng. Adanya gaya-gaya tektonik
ini akan mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan
dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadì penaikan dasar cekungan. Proses
tektonik dapat pula dikuti oleh perlipatan, perlapisan batuan ataupun patahan. Apabila proses
yang disebut terakhir ini terjadì, satu cekungan sedimentasi akan dapat terbagi menjadi dua
atau lebih sub cekungan sedimentasi. Dengan luasan yang relatif kecil. Kejadian ini juga akan
berpengaruh pada penyebaran batubara yang terbentuk. Mákin dekat cekungan Sedimentasi
batubara terbentuk atau terakumulasi terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas
batubara yang dihasilkan akan semakin baik.
b. Keadaan topografi daerah
Daerah tempat tumbuhan berkembang baik, merupakan daerah yang relatif tersedia
air. Oleh karenanya tempat tersebut mempunyai topografi yang relatif lebih rendah
dibandingkan daerah yang mengelilinginya. Makin luas daerah dengan topografi relatif rendah,
makin banyak tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak terdapat bahan pembentuk
batubara. Apabila keadaan topografi daerah ini dipengaruhi oleh gaya tektonik, baik yang
mengakibatkan penaikan ataupan penurunan topografi, maka akan berpengaruh pula terhadap
luas tanaman yang merupakan bahan utama sebagai bahan pembentuk batubara. Hal iin
merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan penyebaran batubara berbentuk seperti
lensa.
c. Iklim daerah
Iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Di daerah berklim tropis dengan
curah hujan silih berganti sepanjang tahun, di samping tersedianya sinar matahari sepanjang
waktu, merupakan tempat yang cukup baik untuk pertumbuhan tamaman. Di daerah beriklim
tropis hampir semua tanaman dapat hidup dan berkembang baik. Oleh karenanya di daerah
yang mempunyai iklim tropis pada masa lampau, sangat dimungkinkan didapatkan endapan
batubara dalam jumlah banyak, sebaliknya daerah yang beriklim sub tropis. mempunyai
penyebaran endapan barubara relatif terbatas. Kebanyakan luas tanaman yang keberadaannya
sangat ditentukan oleh iklim akan menentukan penyebaran dan ketebalan batubara yang
nantinya akan terbentuk.
d. Umur geologi
Jaman Karbon (kurang lebih berumur 350 juta tahun yang lalu), diyakini merupakan
awal munculnya tumbuhan-tumbuhan di dunia untuk pertama kali. Sejalan dengan proses
tektonik yang terjadi di dunia selama sejarah geologi berlangsung, luas daratan tempat
tanaman hidup dan berkembang biak, telah mengalami proses coalification cukup lama,
sehingga mutu batubara yang dihasilkan sangat baik. Jenis batubara ini pada umumnya
terdapat di daerah benua séperti Australia, Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Di Indonesia, batubara didapatkan pada cekungan sedimentasi yang berumur tersier
(kurang lebih berumur 70 juta tahun yang lalu). Dalam hitungan waktu geologi, 70 tahun yang
lalu masih dianggap terlalu muda apabila dibandingkan dengan jaman karbon. Batubara yang
terdapat di cekungan sedimentasi di pulau Sumatera dan Kalimantan belum mengalami proses
coalification sempuna. Hal ini akan berakibat pada mutu batabara yang didapatkan di kedua
pulau tersebut belum mempunyai kualitas baik, masih tergolong pada jenis bitumina, belum
sampai pada jenis antrasite (yang dianggap rank batubara tertinggi). Dari uraian tersebut,
disimpulkan bahwa makin tua lapisan batuan sedimen yang mengandung batubara, makin
tinggi rank batubara yang akan diperoleh
e. Proses penurunan cekungan sedimentasi
Cekungan sedimentasi yang ada di alam bersifat dinamis, artinya dasar cekungannya
akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan. Apabila proses penurunan dasar
cekungan sedimentasi lebih sering terjadi, akan terbentuk penambahan luas permukaan tempat
tanaman mampu hidup dan berkembang. Selain itu penurunan dasar cekungan akan
mengakibatkan terbentuknya batubara yang cukup tebal, Makin sering dasar cekungan
sedimentasi mengalami proses penurunan, batubara yang terbentuk akan makin tebal.
Di Indonesia batubara yang, mempunyai nilai ekonomi (artinya menguntungkan
apabila ditambang) terdapat pada cekungan sedimentasi yang berumur tersier, dengan luasan
ratusan hingga ribuan hektar, terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan. Kenyataan tersebut,
memberikan pola pikir pada kita bahwa sedimentasi di kedua pulau tersebut, proses penurunan
dasar cekungan lebih sering terjadi, sehingga suatu hal yang wajar apabila ketebalan endapan
barubara di kedua pulau tersebut dapat mencapai ratusan meter.
f. Jenis tumbuh-tumbuhan
Present is the key to the past merupakan salah satu konsep geologi yang mampu
menjelaskan kaitan antara mutu batubara dengan tumbuhan semula yang merupakan bahan
utama pembentuk batubara. Arang kayu yang diproses dari kayu yang keras misalnya kayu dari
tumbuhan lamtoro akan mempunyai mutu yang relatif lebih baik dibandingkan apabila arang
kayu tersebut diproses dari kayu yang relatif lunak misalnya kayu dari tumbuhan Gliricidae.
Bertitik tolak pada analogi batubara yang terbentuk dari tanaman keras dan berumur tua akan
lebih haik dibandingkan dengan batubara yang terbentuk dari tanaman berbentuk semak dan
hanya berumur semusim.
Didapatkannya batubara di Indonesia khususnya di palau Sumatera dan Kalimantan
(kebanyakan dari jenis bitumina) dalam jumlah yang cukup besar, memberikan gambaran pada
kita bahwa selama jaman tersier di kedua pulau tersebut merupakan daerah hutan tanaman
dengan jenis tumbuhan yang bervariasi, tetapi didominasi oleh tanaman keras. Peat, dikenal
pula sebagai gambut yang didapatkan di Kalimantan dan Sumatera terbentuk dari tanaman
semak dan rumput. dikenal merupakan jenis batubara rank rendah. Dari uraian tersebut di atas,
disimpulkan makin tinggi tingkatan tumbuhan (dalam sisteratika taksonomi) dan makin tua umur
tumbuhan tersebut, apabila mengalami proses coalification akan menghasilkan batubara
dengan kualitas baik.
g. Proses dekomposisi
Proses dekomposisi pada tumbuhan merupakan bagian dari transformasi biokimia
pada bahan organik, merupakan titik awal rantai panjang proses alterasi. Selama proses
pembentukan gambut (yang merupakan tahap awal dalam proses pembentukan batubara), sisa
tumbuhan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimia. Setelah tumbuhan mati
proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi sebagai
akibar kinerja dari mikrobiologi dalam bentuk bakteri anaerobic. Jens bakteri ini bekerja dalam
suasana tanpa oksigen, menghancurkan bagian lunak dari tumbuhan seperti cellulosa,
protoplasma dan karbohidrat. Proses tersebut membuat kayu berubah menjadi lignit, bitumina.

Selama proses biokimia berlangsung, dalam keadaan kekurangan oksigen (kondisi


reduksi), berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon (C) akan hilang dalam
bentuk karbon dioksida (CO2), karbon mono oksida (CO) dan metana (CH 4). Akibat pelepasan
unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon (C) akan bertambah dibandingkan
dengan unsur lainnya. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Apabila tumbuhan yang telah mati tertutup
oleh air dan sedimen berbutir halus dengan cepat, maka akan terhindar dari proses
pembusukan, dan terjadilah proses desintegrasi atau pengurajan oleh mikrobia anaerobic. Di
lain pihak apabila tumbuhan yang telah mati terlalu lama di udara terbuka, kecepatan
pembentukan gambut akan berkurang, hanya bagian tumbuhan yang keras saja tertinggal
sehingga menyulitkan penguraian lebih lanjut oleh bakteri.
h. Sejarah setelah pengendapan
Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan barubara salah satu faktor di antaranya
ditentukan oleh posisi cekungan sedimentasi tersebut terhadap posisi geoteknik. Makin dekat
posisi cekungan sedimentasi terhadap posisi geoteknik yang selalu dinamis, akan
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak batubara berada. Selama waktu
itu pula proses geokimia dan metamorfisme organik akan ikut berperan dalam mengubah
gambut menjadi batubara.
Apabila dinamika geoteknik memungkinkan terbentuk perlipatan pada lapisan batuan
yang mengandung batubara dan terjadi pensesaran, proses ini akan mempercepat
terbentuknya batubara dengan rank yang lebih tinggi. Proses ini akan dipercepat apabila dalam
cekungan atau berdekatan dengan cekungan tempat batubara tersebut berada terjadi proses
intrusi magmatis. Panas yang ditimbulkan selama terjadi proses perlipatan, pensesaran
ataupun prosès intrusi magmatis, akan mempercepat terjadinya proses coalification atau sering
disebut sebagai proses permuliaan batubara. Hasil akhir dari proses ini mengakibatkan
terbentuk batubara dengan kadar C cukup tinggi dengan kandungan H2O yang relatif rendah.
i. Struktur geologi cekungan
Batubara terbentuk pada cekungan sedimentasi yang sangat luas, hingga mencapai
ratusan hingga ribuan hektar. Dalam sejarah bumi, batuan sedimen yang merupakan bagian
kulit bumi, akan mengalami deformasi akibar gaya tektonik. Cekungan akan mengalami
deformasi lebih hebat apabila cekungan tersebut berada dalam satu sistem geantiklin atau
geosinklin. Akibat gaya tektonik yang terjadi pada waktu-waktu tertentu, batubara bersama
dengan batuan sedimen yang merupakan perlapisan di antaranya akan terlipat dan
tersesarkan.
Proses perlipatan dan pensesaran tersebut akan menghasilkan panas. Panas yang
dihasilkan akan berpengaruh pada proses metamorfosis batubara. dan batubara akan menjadi
lebih keras dan lapisannya terpatah-patah. Makin banyak perlipatan dan pensesaran terjadi di
dalam cekungan sedimentasi yang mengandung batubara secara teoritis akan meningkatkan
mutu batubara. Oleh sebab itu, pencarian batubura bermutu baik, diarahkan pada daerah
geosinklin atau geantiklin, karena di kedua daerah tersebut diyakini kegiatan tektonik berjalan
cukup intensif.
j. Metamorfosa organik
Tingkat kedua dalam proses pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Apabila telah terjadi proses penimbunan, proses degradasi
biokimia tidak berperan lagi, tetapi mulai digantikan dan didominasi ole proses dinamokimia.
Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu.
Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan senyawa kimia lainnya antara
lain CO, CO2, CH4 serta gas lainnya. Di lain pihak terjadi pertambahan prosentase karbon (C),
belerang (S) dan kandungan abu. Peningkatan mutu batubara sangat ditentukan oleh faktor
tekanan dan waktu. Tekanan dapat diakibatkan oleh lapisan sedimen penutup yang tebal, atau
karena tektonik. Waktu ditunjukkan bilamana bahan utama pembentuk batubara mulai
bergradasi. Makin lama selang wäktu semenjak saat mulai bergradasi hinggà berubah menjadi
batubara, makin baik mutu batubara yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan
bertambähnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa organik. Proses ini akan
mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan kimia, fisika dan tampak pula
pada sifat optiknya.
Dari uraian tersebut di atas, nyata bahwa paling tidak terdapat sepuluh parameter yang
berpengaruh dalam pembentukan batubara. Untuk menentukan faktor mana yang paling
berpengaruh hanya mungkin dapat diinterpretasikan berdasarkan atas data atau gejala maupun
kenampakan yang dijumpai di lapangan tempat batubara tersebut ditambang. Perlu disadari
bahwa kita tidak mungkin menentukan satu-satunya parameter yang berpengaruh pada proses
terjadinya batubara, dan harus disadari pula bahwa di antara masing-masing parameter
tersebut saling berinteraksi satu sama lain.
(Sukandarrumidi, 2005)

3.3. Kualitas Batubara


Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan
hidrogen dan oksigen akan berkurang. Batubara bermutu rendah, seperti lignit dan sub-
bituminous, memiliki tingkat kelembaban yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga
energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan
kompak, serta semakin semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan
berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga
semakin besar.
Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan pengotor
(impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu bercampur dengan mineral penyusun
batuan yang selalu terdapat bersamaan selama proses sedimentasi, baik sebagai mineral
anorganik ataupun sebagai bahan organik. Di samping itu, selama berlangsung proses
coalification terbentuk unsur S yang tidak dapat dihindarkan. Keberadaan pengotor dalam
batubara hasil penam bangan diperparah lagi, dengan adanya kenyataan bahwa tidak mungkin
mengambil batubara yang bebas dari mineral. Hal tersebut disebabkan antara lain,
penambangan batubara dalam jumlah besar selalu mempergunakan alat-alat berat antara lain
bulldozer, backhoe, tracktor, truck, belt conveyor, ponton, yang selalu bergelimang dengan
tanah. Dikenal dua jenis impurities yaitu:
1. Inherent Impurities
Merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara. Batubara yang sudah
dicuci (washing) dan dikecilkan ukuran butimnya/diremuk (crushing) sehingga dihasilkan ukuran
tertentu. ketika dibakar habis masih memberikan sisa abu. Pengotor bawaan ini terjadi
bersama-sama pada waktu proses pembentukan batubara. (ketika masih berupa gelly).
Pengotor tersebut dapat berupa gipsum (CaSO,2H,O), anhidrit (CaSO), pirit (FeS2), silika
(SiO2), dapat juga berbentuk tulang-tulang binatang (diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil
analisis abu) selain mineral lainnya. Pengotor bawaan ini tidak mungkin dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat dikurangi dengan melakukan pembersihan. Proses ini dikenal sebagai
teknologi batubara bersih.
2. External Impurities
Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses penambangan
antara lain terbawanya tanah yang berasal dari bersih. melakukan pembersihan. Proses ini
dikenal sebagai teknologi batubara lapisan penutup (overburden). Kejadian ini sangat umum
dan tidak dapat dihindari. khususnya pada penambangan batubara dengan ditentukan oleh
beberapa faktor, antara lain tempat terdapatnya bahan baku pembangkit energi yang
dimanfaatkan dalam industri, cekungan batubara, umur, banyaknya pengotor atau kontaminasi.
Sebagai metode tambang terbuka (open pit), peralatan yang akan dipergunakan dan
pemeliharaan alat.
3.3.1. Parameter kualitas batubara
Dalam menentukan mutu atau kualitas perlu diperhatikan beberapa parameter kualitas
batubara yaitu sebagai berikut:
a. Heating Value (HV) (Calorific Value atau Nilai Kalor)
Dinyatakan dalam kkal/kg, banyaknya jumlah kalori yang dihasilkan oleh batubara tiap
satuan berat (dalam kilogram). Dikenal nilai kalori net (net calorific value atau low heating
calorific value), yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana semua air (H2O) dihitung dalam
keadaan gas, dan nilai kalor gross (gross calorific value atau high heating value), yaitu nilai
kalor hasil pembakaran dimana semua air (H2O) dihitung dalam wujud cair. Semakin tinggi nilai
HV, makin lambat jalannya batubara yang diumpankan sebgai bahan bakar setiap jamnya,
sehingga kecepatan umpan batubara (coal feeder) perlu disesuaikan. Hal ini perlu diperhatikan
agar panas yang ditimbulkan tidak melebihi panas yang diperlukan dalam proses industri.
Akibat selanjutnya akan memperpanjang masa pakai burner, wind box, pulverizer (alat
penghancur atau pembubuk), dan peralatan lainnya.
b. Moisture Content (kandungan lengas)
Jumlah lengas dalam batubara kan mempengaruhi penggunaan udara primer.
Batubara dengan kandungan lengas tinggi, akan memerlukan lebih banyak udara primer untuk
mengeringkan batubara tersebut agar suhu batubara pada saat keluar dari gilingan (mill) tetap,
sehingga hasil produksi industri dapat dijamin kualitasnya. Lengas batubara ditentukan oleh
jumlah kandungan air yang terdapat dalam batubara. Kandungan air dalam batubara dapat
berbentuk kandungan air internal (air senyawa atau unsur), yaitu air yang terikat secara
kimiawi.
Jenis air ini sulit dilepaskan atau dihilangkan tetapi dapat dikurangi, dengan cara
memperkecil ukuran butir batubara. Jenis air yang kedua adalah air external (air mekanikan),
yaitu air yang menempel pada permukaan butir batubara (Wahyudiono, 2003 dalam
Sukandarrumidi, 2005). Makin halus butir batubara, makin luas jumlah permukaan butir secara
keseluruhan, sehingga makin banyak pula air yang menempel. Satu hal yang menguntungkan
bahwa batubara mempunyai sifat hidrophobic, artinya apabila batubara telah dikeringkan, maka
batubara tersebut sulit menyerap air, sehingga tidak akan menambah jumlah air internal.
Selama proses penimbunan di stock pile akan timbul panas yang mampu menguapkan air
mekanikan yang menempel pada permukaan butir.
c. Ash Content (kandungan abu)
Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik (berasal dari tumbuh-
tumbuhan) dan senyawa anorganik, yang merupakan hasil rombakan batuan yang ada di
sekitarnya, bercampur selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan
(coalification). Apabila batubara dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi senyawa
oksida yang berukuran butir halus dalam bentuk abu. Abu hasil pembakaran batubara ini, yang
dikenal sebagai ash content (kandunga abu). Abu ini merupakan kumpulan dari bahan-bahan
pembentuk batubara yang tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau yang
dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini antara lain senyawa SiO 2, Al2O3.
TiO2, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO, K2O, Na2O, P2O, SO3, dan oksida unsur lain. Di samping itu
terdapat pula abu dari bahan organik yang terbakar (combustible materials).
Imputrities yang terdapat dalam batubara berperan sangat penting pada kandungan
abu batubara. Semaakin tinggi kandungan abu dan tergantung pada komposisinya, akan
mempengaruhi tingkat pengotoran udara apabila abu sampai terlepas ke atmosfer,
menyebabkan pula terjadi keausan dn korosi pada peralatan yang dilaluinya. Kadar abu
batubara di Indonesia berkisar 5% sampai dengan 20%.
Berat Residu ( gr)
Ash = x 100% .......................................................(3.1)
Berat Sampel(gr )

d. Sulfur Content (kandungan belerang)


Belerang yang terdapat dalam batubara dibedakan menjadi 2 yaitu dalam bentuk
senyawa anorganik dan senyawa organik. Belerang dalam bentuk senyawa anorganik dapat
dijumpai dalam bentuk mineral pirit (FeS2 bentuk kristal kubus), markasit (FeS2 bentuk kristal
orthorombik), atau dalam bentuk sulfat. Mineral pirit dan markasit sangat umum terbentuk pada
kondisi sedimentasi rawa (reduktif). Belerang organik terbentuk selama terjadinya proses
coalification. Keberadaan sulfur dalam batubara akan berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi
dingin (sisi luar) yang terjadi pada elemen pemanas udara (terutama apabila suhu kerja lebih
rendah dari letak embun sulfur), juga berpengaruh terhadap efektivitas peralatan penangkapan
abu (electrostatic precipitator). Adanya kandungan sulfur, baik dalam bentuk sneyawa
anorganik maupun organik di atmosfer dipicu oleh keberadaan air hujan, mengakibatkan
terbentuk air asam (dalam dunia pertambangan batubara dikenal sebagai air asam tambang,
dengan Ph <7.
e. Volatile Matter (bahan mudah menguap)
Kandungan volatile matter, berkaitan dengan proses pembatubaraan. Akibat adanya
overburden pressure, kandungan air dalam batubara akan berkurang, sebaliknya semakin
mengecilnya kandungan air, calorific value akan meningkat. Pada saat bersamaan batubara
akan mengalami proses devolatisation. Semua sisa oksigen, hidrogen, sulfur, nitrgoen
berkurang sehingga kandungan volatile matter mengecil. Kandungan volatile matter,
mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas nyala api. Kesempurnaan
pembakaran ditentukan oleh nilai fixed carbon. Semakin tinggi nilai fuel ratio, maka karbon
yang tidak terbakar semakin banyak.
Adapun hubungan antara fuel ratio, fixed carbon dan volatile matter adalah sebagai
berikut:
Fuel Ratio = Fixed Carbon
Volatille Matter ………………..………………… (3.2)

f. Fixed Carbon
Difenisikan sebagai material yang tersisa, setelah berkurangnya moisture, volatile
matter dan ash. Hubungan ketinganya ditunjukkan sebagai berikut:

Fixed Carbon (%) = 100% - Moisture Content – Ash Content …...………..(3.3)


Apabila nilai moisture content dan ash content disamakan dengan nilai volatile matter,
persamaan tersebut di atas menjadi:

Fixed Carbon (%) = 100 – Volatile Matter (%) …......................…………... (3.4)

Dari rumusan tersebut tampak bahwa makin berkurang kandungan air berarti moisture
content makin kecil, nilai fixed carbon makin tinggi.
g. Hardgrove Grindability Index (HGI)
Suatu bilangan yang menunjukkan mudah atau sukarnya batubara digiling atau
digerus menjadi bahan bakar serbuk. Di dalam praktek sebelum batubara dipergunakan
sebagai bahan bakar, ukuran butirnya dibuat seragam, dengan rentang halus sampai kasar.
Butir paling halus dengan ukuran <3 mm, sedang ukuran paling kasar sampai 50 mm. Butir
paling halus perlu dibatasi dengan sifat dustness (ukuran terkecil agar tidak diterbangkan oleh
angin, dengan harapan tidak mengotori lingkungan, sedangkan dustness dan tingkat
kemudahan untuk diterbangkan angin dipengaruhi pula oleh kandungan lengas (moisture
content). Makin kecil nilai HGI, maka makin keras keadaan batuannya. HGI diperoleh dengan
menggunakan rumus:
HGI = 13.6 + 6.93 W ...……..………………………………………………….(3.5)

Dimana W adalah berat dalam gram dari batubara halus berukuran 200 mesh.
(Sukandarrumidi, 2005)

3.4. Analisis Batubara


Menurut Irwandy 2014 kegiatan analisis batubara dilakukan melalui proses
pengambilan contoh dan pengujian. Kegiatan pengambilan contoh merupakan tahap pertama
yang harus dikerjakan sebelum pengujian bisa dilakukan. Pengambilan contoh adalah
pengambilan bagian kecil dari sekumpulan material batubara yang dianggap bisa mewakili
sifat-sifat keseluruhan material itu. Kondisi representatif menjadi kunci utama kegiatan
pengambilan contoh, baik pada batubara yang tampak homogen maupun heterogen.
Pengambilan contoh dilakukan sejak eksplorasi hingga saat penjualan batubara. Pengambilan
contoh pada eksplorasi dilakukan pada contoh inti bor atau melalui singkapan yang ada, seperti
menggunkan channel sampling, trencing, dan test pit.

Menurut Sukandarrumidi 2005, banyak cara dilakukan untuk mengetahui kualitas atau
mutu batubara berkaitan dengan pemanfaatannya. Pada prinsipnya dikenal 2 jenis pengujian
atau analisis yaitu sebagai berikut:
1. Analisis proksimat (proximate analysis)
Analisis proksimat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kandungan
relatif zat terbang (volatile matter), kandungan udara (kandungan air), komponen anorganik
berupa abu sebagai hasil pembakaran, serta karbon tertambat (fixed carbon). Analisis
proksimat ini digunakan untuk mengetahui tingkat kemanfaatan batubara dalam industri
pengguna batubara. Analisis proksimat ini mengacu pada standar ASTM. Adapun dari analisis
proksimat yang perlu diketahui yaitu, moisture content, ash content, volatile matter, fixed
carbon, total sulfur gross calorific value dan HGI.
2. Analisis ultimat (ultimate analysis atau elemental analysis)
Analisis proksimat umumnya dibarengi juga dengan analisis ultimat. Analisis ultimat
merupakan analisis yang dilakukan untuk nentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), oksigen (0),
nitrogen, (N), dan sulfur (5) dalam batubara. Kandungan karbon, hidrogen, dan aksigen
penting untuk menilai karakteristik pengkokasan, gasifikasi, dan likuifaksi batubara. Sedangkan
nitrogen dan sulfur merupakan faktor penting yang memiliki potensi penambangan yang
ditimbulkan dari pemanfaatan batubara. Analisis ultimat juga bisa menentukan peringkat
batubara dalam pengklasifikasiannya. Analisis ultimat yang dilakukan mengacu pada standar
American Society for Testing and Minerals (ASTMD3176-09). Analisis ini sendiri terdiri dari
carbon content, hidrogen content, oxgyen content, nitrogen content dan sulfur content.
3.4.1. Basis batubara
Setelah pengambilan contoh dilakukan dengan baik dan benar, sampel akan diuji
sesuai dengan tujuan analisis yang telah ditetapkan di awal perencanaan pengambilan contoh.
Dalam pengujian contoh dikenal istilah basis. Basis digunakan sebagai persepsi umum yang
luas sehingga antara penjual dan pembeli batubara saling memahami Indai hasil uji. Basis
dalam analisis untuk batubara terdiri dari lima macam dengan penggunaan yang bisa saling
dikonversi. Basis data dalam analisis uji parameter batubara terdiri dari DMMF, DAF, D, AD dan
AR.
a. DMMF (Dried Mineral Matter Free basis)
DMMF diartikan sebagai dasar batubara murni yang berarti batubara dalam keadaan
murni dan tidak mengandung udara, abu, serta zat mineral lain.
b. DAF (Dried Ash Free basis)
Dry Ash Free basis merupakan kondisi asumsi uji dengan batubara sama sekali tidak
mengandung air dan abu. Adanya tampilan dry ash free menunjukkan bahwa hasil analisis dan
uji terhadap sampel yang telah dilihat (air habis) serta tanpa abu.
c. D (Dried basis)
Tampilan dry basis menunjukkan bahwa hasil uji dan analisis menggunakan sampel uji
yang telah dikeringkan di udara terbuka.
d. AD (Air Dried basis)
Secara teknis pengujian dan analisis dilakukan dengan menggunakan sampel yang
telah dikeringkan di udara terbuka, dimana sampel disebar tipis pada suhu kamar agar
mencapai kesetimbangan dengan lingkungan laboratorium sebelum diuji dan dianalisis. Nilai
analisis atas dasar ini dapat mengalami beberapa fluktuasi sesuai dengan kelembaban ruangan
laboratorium yang dipengaruhi oleh musim dan faktor cuaca lainnya. Namun, dalam jangka
panjang seperti satu tahun misalnya, stabilitas nilai tertentu dapat dicapai. Selain itu, basis uji
ini sangat praktis karena perlakuan pra uji sampel hanya berupa pengeringan alami pada suhu
kamar sehingga standar ADB ini banyak digunakan di seluruh dunia.
e. AR (As Received basis)
Analisis pada basis ini juga mengikutsertakan air yang me nempel di batubara yang
diakibatkan oleh hujan, proses pen cucian batubara (coal washing), atau penyemprotan (spra
ying) ketika di stockpile dan saat loading. Yang dimaksud dengan as received bukanlah
penerimaan batubara di stock pile pembeli, tapi disesuaikan dengan kontrak pembelian. Pada
kontrak FOB (Free on Board), penilaian kualitas pada basis ARB adalah saat berpindahnya hak
kepemilikan batubara di kapal atau tongkang. Pada kondisi ini, kadang ARB juga disebut as
loaded basis.
Gambar 3.8
Basis Batubara
Hasil perhitungan dalam setiap basis dapat saling dikonversi menjadi basis tertentu
yang diinginkan (Gambar 3.9). Dalam transaksi jual-beli batubara, persyaratan kualitas yang
umumnya tercantum di kontrak pembelian adalah hasil analisis proksimat, yaitu TM, IM, Ash,
VM, FC, kalori, dan sulfur. Oleh karena itu, DMMF tidak memiliki konversi antar basis karena
tidak umum digunakan dalam nilai komersial.

Gambar 3.9
Konversi Nilai parameter Antar Basis
(Irwandy, 2014)
3.5. Sampling
Pada proses pengambilan sample pada Crushing Plant, dilakukan dua metode
pengambilan yaitu manual sampling dan mechanical sampling.
3.5.1. Manual Sampling
Manual sampling adalah metode pengambilan contoh sampel secara manual
menggunakan sekop. Metode ini dilakukan untuk mengambil batubara pada lokasi ROM stok,
stockpile, pit penambangan, serta dapat juga dilakukan untuk belt conveyor pada crushing plant
dan loading conveyor. Namun manual sampling dilakukan apabila automatic sampling
mengalami kendala atau kerusakan.
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022
Gambar 3.
Manual Sampling
a. Alat yang disiapkan
1) Plastik sampel yang bersih
2) Kertas Tulis
3) Spidol
4) Form sample
b. Prosedur kerja pengambilan sampel
1) Penentuan metode sampling dengan menggunakan standard ISO
2) Pastikan interval waktu atau jarak pengambilan sampel
3) Lakukan sampling dan lengkapi form sampling
4) Masukkan sample kedalam plastik sample, tutup plastik sample dengan menggunakan
karet gelang atau tali setelah pengambilan sampai proses sampling selesai.
5) Check seluruh sample yang terkumpul, code sample, form dan simpan di tempat yang telah
ditentukan
6) Ambil sample dan menyesuaikan sample yang ada dengan form sampling dan
mengirimkannya ke laboratory
3.5.2. Automatic Sampling
Automatic sampling adalah metode pengambilan contoh sampel secara mekanis
menggunakan mechanical sampler. Metode ini dilakukan untuk mengambil batubara pada
lokasi crushing plant dan loading conveyor.

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022


Gambar 3.
Automatic Sampling
a. Alat yang disiapkan
1) Plastik sampel yang bersih
2) Kertas Tulis
3) Spidol
4) Form sample
b. Prosedur kerja pengambilan sampel
1) Penentuan metode sampling dengan menggunakan standard ISO
2) Hidupkan automatic sampling bersamaan dengan dimulainya proses produksi dan lengkapi
form sampling
3) Kumpulkan sample ke dalam plastik sample dan segera tutup dengan menggunakan karet
gelang, tali, atau lakban pengambilan sampai proses sampling selesai.
4) Check seluruh sample yang terkumpul, code sample, form dan simpan di tempat yang telah
ditentukan
5) Ambil sample dan menyesuaikan sample yang ada dengan form sampling dan
mengirimkannya ke laboratory
3.6. Preparasi
3.6.1. Preparasi sampel batubara
Untuk mendapatkan hasil pengujian yang representatif dan benar maka perlu
dilakukan preparasi sebelum sample tersebut diuji laboratorium sesuai dengan standard yang
digunakan atau diinginkan. Adapun beberapa cara mempersiapkan sampel batubara adalah
sebagai berikut:
a. Mempersiapkan jumlah sample yang akan dipreparasi
b. Memilah sample yang akan dipreparasi
c. Melakukan registrasi dan print out label sample yang akan dipreparasi pada program Cclas
d. Menimbang sample beserta bagnya
e. Bagi dengan Rotary Sample Divider
f. Ambil 5 kg untuk sample.
g. Penggilingan sample ke 4,75mm.
h. Bagi lagi dengan RSD sejumlah 3 Kg untuk GA, 2 kg Store Sample. Sample store
dibungkus, diberi label dan disimpan diruangan store
i. Penggilingan sample ke 2,36mm.
j. masukan sample GA dalam aluminium tray sebanyak ±250 gram,catat beratnya pada
CCLas
k. keringkan sample dalam drying sheet pada temperatur 35-40˚C sampai beratnya konstan
atau selama waktu yang ditetapkan, 14-16 Jam
l. Timbang berat sample setelah pengeringan sehingga didapat berat free moisture (FM) dan
catat dalam program Cclass.
m. Bagi sample dengan manual divider
n. Giling sample ke size 250 mikron dan simpan dalam botol, di beri label.
o. Sample GA dikirim ke Laboratorium analisa
p. Selesai
3.5.2. Tahap analisis di laboratorium
Adapun beberapa pengujian sample yang akan dianalisis di laboratorium perusahaan
yaitu sebagai berikut:
a. Total Moisture (TM)
Untuk menentukan total moisture diperlukan dua komponen yaitu free moisture seperti
yang ditunjukkan pada proses persiapan sampel dan residual moisture. Proses menentukan
residual moisture sebagai berikut:
1) Siapkan sample dengan size 0,25 mm, pilih job sample yang akan di analysis dari data
entry program CClas
2) Di timbang crusible kosong dan catat beratnya sebagai A atau transfer berat crusible ke
dalam data entry CClas
3) Masukan sample kedalam crusible sebanyak ± 1,000 gram dan catat beratnya sebagai B
atau transfer berat crusible dan sample ke dalam data entry CClas. (Untuk setiap sample
proses ini dilakukan duplo) Berat sample diperoleh sebagai hasil B-A
4) Selanjutnya sample dimasukan kedalam MFS Oven dan setting suhu Oven pada 107-110
⁰C. Alirkan gas nitrogen 350 Psi. Proses analysis selama 1.5 jam.
5) Setelah 1,5 jam proses, keluarkan sample, diamkan selama ±3-6 menit dan timbang
beratnya sebagai C atau transfer hasil penimbangan ke dalam data entry CClas
B−C
Calculation : %RM = x 100
B− A
A = berat crusible kosong
B = berat Crusible + sample sebelum Pemanasan
C = berat Crusible + sample setelah Pemanasan
b. Inherent Moisture
Adapun proses-proses cara menentukan inherent moisture, yaitu sebagai berikut:
1) Siapkan sample dengan size 0,25 mm, pilih job sample yang akan di analysis dari data
entry program CClas
2) Di timbang crusible kosong dan catat beratnya sebagai A atau transfer berat crusible ke
dalam data entry CClas
3) Masukan sampel kedalam MFS Oven dengan setting suhu oven pada 105 ⁰C. Alirkan gas
nitrogen 500 Psi. Proses analisis selama 1 jam.
4) Setelah 1 jam proses, keluarkan sample, diamkan selama ±3-6 menit dan timbang beratnya
sebagai C atau transfer hasil penimbangan ke dalam data entry CClas

c. Calorific Value
Adapun proses-proses cara menentukan inherent moisture, yaitu sebagai berikut:
1) Periksa Power elektrik sudah terpasang dengan benar pada alat bomb Calory LECO AC-
350.
2) Periksa regulator gas oksigen
a. Gunakan gas Oksigen dengan purity 99.9 %
b. Periksa tekanan gas , untuk regulator 1 (yang menyatakan tekan gas dalam tabung)
minimal 750 psi ( jika kurang dari 750 psi ganti dengan tabung oksigen yang baru) ;
regulator 2 ( yang menyatakan tekanan gas yang masuk ke alat) minimal 450 psi
3) Check balance connection
4) Buka regulator gas Oksigen,hidupkan power AC, instrument dengan menekan power ON
pada LECO AC-350 yang terletak di bagian kiri belakang alat, dan Balance.
5) Lakukan pemanasan alat selama ± 10 menit, tekan tombol (5) DIAGNOSTIC dan pilih (1)
AMBIENT MONITOR, check tampilan :
a. Bucket temperature : 29.775 °C (13.00-33.00 °C )
b. Jacket temperature : 30.000 °C (13.00-33.00 °C)
c. Ignitor : 29.994 °C (29.000-30.000 V)
Note : perhatikan AMBIENT MONITOR pada IGNITOR voltagenya harus masuk dalam
range sebelum analysis di mulai.
6) Timbang sample dengan meletakan crucible di dalam timbangan dan tekan TARE,display
timbangan akan terbaca 0.0000 g, timbang sample sebanyak 1.000 gram. Transfer
beratnya dengan menekan tombol  pada balance
7) Letakan Crusible + sample pada sample holder dan pasang fusewire ,lihat dokumen
JBG.EXD.LAB.01
8) Letakan Crusible & sample holder ke dalam Combustion Chamber
9) Pasang Bomb cap & isi oksigen dengan menekan Fill Switch Bomb Charger assembly (450
psi)
10) Isi bomb bucket, dengan 2000 mL aquades dari pipet tank
11) Tempatkan bomb ke dalam Bomb Bucket dengan menggunakan Bomb handle
12) Pasang kabel BOMB FUSE LEADS ASSEMBLY
13) Tutup Bomb Bucket cover, tekan START dan pilih Menu ANALYSIS
a. TEKAN 1 : Untuk Analysis Bomb 1
b. TEKAN 2 : Untuk Analysis Bomb 2
c. TEKAN 3 : Untuk Analysis Bomb 3
d. TEKAN 4 : Untuk Analysis Bomb 4
Tunggu Proses analysis ±8 menit sampai terdengar bunyi alarm
14) Catat analysis yang tertera pada monitor LECO AC-350 atau transfer ke dalam data entry
CClas program.
d. Kandungan Ash
Adapun proses-proses cara menentukan inherent moisture, yaitu sebagai berikut:
1) Siapkan sample dengan size 0,25 mm, pilih job sample yang akan di analysis dari data
entry program CClas
2) Di timbang crusible kosong dan catat beratnya sebagai A atau transfer berat crusible ke
dalam data entry Cclas
3) Masukan sample kedalam crusible sebanyak ± 1,000 gram dan catat beratnya sebagai B
atau transfer berat crusible & sample ke dalam data entry CClas. (Untuk setiap sample
proses ini dilakukan duplo) Berat sample diperoleh sebagai hasil B-A
4) Selanjutnya sample dimasukan kedalam Furnace Nabertherm
- Hidupkan power ON pada Furnace Naberterm, panaskan furnace secara berangsur-
angsur, setelah 1 jam pertama temperature furnace 450 -500 °C,1 jam kedua temperature
furnace 700 -750 °C,
- Setting suhu furnace pada 750 °C TIMER : 120 menit (Proses analysis selama 4 jam)
5) Setelah 4 jam proses matikan furnace, keluarkan sample, diamkan selama ±5-8 menit dan
timbang beratnya sebagai C atau transfer hasil penimbangan ke dalam data entry Cclas
C−A
Calculation : % Ash = x 100
B− A
A = berat crusible kosong
B = berat Crusible + sample sebelum Pemanasan
C = berat Crusible + sample setelah Pemanasan

3.6. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Batubara


Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas pada batubara adalah sebagai
berikut:
1. Proses penumpukan batubara
Proses penumpukan batubara, dalam proses penyimpanan batubara, tidak semua
batubara yang sudah digali dan ditumpuk di stockpile langsung disalurkan ke konsumen karena
tergantung permintaan pasar pada saat itu. Tidak banyak konsumen ataupun pasar meminta
batubara kualitas rendah sehingga batubara dengan kualitas rendah biasanya tertumpuk lama
di stockpile. Akibatnya batubara yang tertumpuk lama di stockpile kualitasnya semakin
menurun. Semakin lama batubara ditumpuk di stockpile maka semakin banyak juga pengotor
yang terkandung dalam batubara tersebut. Hal ini biasanya disebabkan karena faktor cuaca.
Batubara yang ditumpuk di stockpile tidak boleh lebih dari 1 bulan apalagi untuk batubara
dengan peringkat yang rendah (Carpenter, 1999).
2. Proses Penambangan
Saat proses penambangan sering terdapat kontaminasi didalam lapisan batubara yang
diproduksi, dan kontaminansi yang sering terjadi pada saat penambangan adalah lapisan
overburden yang ikut terambil, posisi bench yang tidak stabil dan berpotensi longsor sehingga
lapisan overburden tercampur dengan lapisan batubara hal ini juga akan menjadi pengotor yang
susah untuk dipisahkan dan menyebabkan menurunnya kualitas batubara, batuan yang ikut
tertambang. Kemudian clay band merupakan nama lain dari sisipan pada lapisan batubara dan
pengotor bagi batubara yang susah untuk dipisahkan, clay band atau parting ini mirip dengan
batubara yang merupakan batuan yang terbentuk dari silikaan, disebut juga silisified coal yang
keras dan dapat menurunkan nilai kalor pada batubara.
3. Kondisi Front Kerja
Kondisi front kerja juga dapat berdampak besar terhadap perbedaan kualitas batubara
yang ada pada lokasi penambangan dan stockpile. Hal ini sangat sulit untuk dihindari apalagi
karna adanya faktor cuaca yang bisa berdampak terhadap lokasi front kerja. Secara aktual
dilapangan ketika terjadi hujan maka front kerja akan banyak lumpur, dimana lumpur tersebut
akan ikut terangkut bersama batubara. Hal tersebut dapat menyebabkan meningkatnya ash dan
surface moisture sehingga secara otomatis akan berdampak pada total moisture.
4. Proses Pemuatan (loading)
Pada saat proses muatan batubara (loading) kedalam alat angkut juga dapat
berdampak terhadap perbedaan kualitas batubara. Hal ini terjadi apabila material lain seperti
batulempung ikut terangkut bersama-sama dengan batubara kedalam alat angkut. Ini akan
menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas batubara pada meningkatnya nilai ash. Kondisi
seperti ini seringkali dijumpai dilapangan. Perlu kontrol yang baik dari pengawas dilapangan
agar selalu memperhatikan hal ini supaya dapat menghindari terjadinya kontaminasi pada
batubara yang akan di angkut, supaya perbedaan kualitas batubara di lokasi penambangan dan
di stockpile tidak signifikan.
5. Ukuran batubara yang tidak seragam
Semakin kecil ukuran partikel batubara, maka semakin besar luas permukaannya. Hal
ini menyebabkan akan semakin tinggi surface moisturenya. Dimana pada nilai inherent
moisture tetap, tetapi nilai total moisture akan naik yang disebabkan oleh naiknya surface
moisture pada batubara tersebut.
6. Proses Pengolahan Batubara Pada Stock ROM
Pada saat proses pengolahan batubara (coal processing) di stock ROM bisa
berdampak juga terhadap perbedaan kualitas batubara. Ketika alat pengumpan dalam hal ini
bulldozer terlalu dalam menekan blade saat mendorong batubara kedalam hopper, sehingga
mengenai base atau dasar dari stock ROM juga dapat berdampak terhadap perbedaan kualitas
batubara. Hal ini terjadi akan menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas batubara pada
meningkatnya nilai ash.
(Toding dkk, 2019)

Anda mungkin juga menyukai