PENDAHULUAN
Dalam survey yang dilakukan World Energy Council dalam Survey of Energy
Resources-2010 dinyatakan bahwa konsumsi batubara di Indonesia mengalami
pertumbuhan dari 13,2 juta ton pada tahun 1997 menjadi 45,3 juta ton pada tahun 2007.
Pertumbuhan tersebut diikuti oleh pertumbuhan perusahaan batubara di Indonesia yang
pada tahun 2003 sudah mencapai angka 251 perusahaan. Akan tetapi kualitas batubara
di Indonesia sering berupa batubara peringkat rendah seperti lignit (brown coal) yang
memiliki kadar air tinggi, kalori rendah, serta sifat swabakar tinggi. Dengan banyaknya
industri pertambangan batubara serta melihat cadangan brown coal tersebut perlu
dilakukan suatu penelitian serta pengembangan suatu teknologi untuk dapat
meningkatkan kualitas batubara sehingga cadangan bown coal di indonesia dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Kualitas batubara yang termasuk kedalam batubara
kualitas rendah setelah melalui suatu tahap peningkatan (Upgrading) diharapkan akan
dapat memiliki kualitas lebih baik seperti rendahnya kadar air, rendahnya kadar abu,
rendahnya zat terbang, meningkatkan fixed carbon, serta meningkatnya nilai kalor dari
batubara tersebut.
Kemajuan teknologi dan kebutuhan akan bahan baku energi yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun membuat sektor industri energi di Indonesia
membutuhkan suatu respon cepat untuk dapat memanfaatkan cadangan brown coal di
Indonesia. Dewasa ini suatu teknologi dengan metode upgrading yang sedang
dikembangkan adalah teknologi coal drying dan coating menggunakan finacoal dan
enzol yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari batubara tersebut yang diamati
melalui suatu pengujian proksimat serta perhitungan peningkatan nilai kalor dari
batubara tersebut.
1. Mendapatkan kondisi optimal dari total moisture dan suhu coal drying contoh
batubara untuk kegiatan upgrading dengan metode tersebut.
3. Mengetahui pengaruh finacoal dan enzol pada conto batubara untuk proses
coating.
TINJAUAN PUSTAKA
Batubara adalah sisa tumbuhan dari jaman preasejarah yang berubah bentuk
yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Penimbunan lanau dan sedimen
lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik)
mengbur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam.
Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan
yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut
mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut
menjadi gambut dan melalui coalifikasi akan berubah menjadi batubara. Pembentukan
batubara dimulai sejak Carboniferous period (Periode Pembentukan karbon atau
batubara).
Mutu dan kualitas dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan
tekanan serta lama waktu pembentukan yang disebut sebagai “maturitas organik”.
Proses awalnya gambut berubah menjadi Lignite (batubara muda) atau brown coal
(batubara coklat) ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah
dibandingkan dengan batubara jenis lainnya. Batubara muda agak lembut dan warnanya
bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapatkan pengaruh suhu dan
tekanan yang terus menerus selma jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan
yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda
menjadi batubara sub-bitumen. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga
batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk bitumen atau
antrasit. Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi
terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
2.2. Coalifikasi
Teori ini beranggapan bahwa batubara yang terbentuk dari transformasi peat
terjadi karena pohon-pohon yang tumbang karena berbagai faktor. Proses perbatubaraan
terjadi ditempat (in-situ) dimana pohon-pohon tumbang. Teori ini didukung oleh
berbagai hal seperti kadar mineral yang terkandung dalam batubara cukup rendah,
susunan serta kondisi tumbuhan dan tanah. Batubara yang terbentuk biasanya memiliki
kualitas yang cukup baik, namun seringkali dijumpai pada kedalaman tertentu. Dalam
dunia industri pertambangan batubara dikenal dengan tambang bawah tanah.
Teori ini beranggapan bahwa batubara yang terbentuk dari transformasi peat
terjadi karena pohon-pohon yang tumbang karena berbagai faktor. Proses perbatu
baraan terjadi ditempat lain yang kadang-kadang jauh dari tempat dimana lokasi pohon
tersebut tumbang. Proses perbatuan baraan terjadi selama pohon tumbang tersebut
mengikutin aliran sungai sampai menuju ke delta. Menurut teori ini batubara yang
terbentuk biasanya memiliki peringkat rendah (lignit). Batubara yang terbentuk
biasanya pada permukaan dalam lapisan yang tidak begitu dalam. Teori ini didukung
oleh berbagai kenyataan seperti adanya fosil ikan dalam lapisan batubara, adanya
lapisan peat dan lignit di delta yang baru terbentuk dan dijum0ainya fosil pepohonan
dalam keadaan terbalik (inverted position).
Air yang terkandung dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Tumbuh-
tumbuhan yang membentuk batubara dapat mengandung kadar air dalam jumlah yang
tinggi yang terikat secara fisis dan kimia. Air yang terikat ini dapat hadir pada berbagai
tahapan coalifikasi, tetapi secara keseluruhan hasil proses coaliikasi akan mengeliminasi
sejumlah besar air dalam batubara khususnya pada tahap akhir coalifikasi. Akibatnya
kadar air dapat bervariasi sesuai dengan perbedaan peringkat batubara dari lignit sampai
antrasit. Air dalam kebanyakan tambang akan bersikulasi melalui cebakan batubara.
Setelah penambangan, batubara dicuci dengan air sebagai persiapan untuk dipasarkan.
Batubara dapat terkena air hujan selama penyimpanan.
Semua ini merupakan sumber kadar air dalam batubara. Total moisture dalam
batubara adalah determinasi kadar air (dalam segala bentuk kecuali air yang beasal dari
kristalisasi mineral matter yang dapat tertinggal dalam matriks batubara. Kadar air
dalam batubara dapat bervariasi dari 2% hingga 15% berat untuk jenus bituminus dan
45% berat untuk jenis lignit. Total moisture dapat dibedakan menjadi free moisture (air
bebas) yaitu air yang terdapat pada permukaan partikel batubara dan dapat dihilangkan
dengan pemanasan pada suhu 105oC dan inherent moisture yaitu air yang terdapat
dalam matriks pori batubara.
Karbon tetap adalah bahan yang tersisa setelah penentuan air volatil metter dan
kadar abu. Nilai fixed carbon adalah salah satu dari nilai – nilai yang digunakan dalam
menentukan efisiensi peralatan pembakaran batubara. Ini adalah ukuran dari bahan
padat yang mudah terbakar.
2.4.3. Kadar Abu (Ash)
Abu (ash) adalah residu yang tersisa setelah pembakaran batubara pada kondisi
tertentu dan terdiri dari terutama dari oksida dan sulfat yang terbentuk sebagai hasil dari
perubahan kimia yang terjadi dalam mineral. Perubahan yang terjadi meliputi: (1)
Hilangnya air dari mineral silikat. (2) Hilangnya karbon dioksida dari mineral karbonat.
(3) Oksida pirit besi menjadi besi oksida. (4) Fiksasi oksida belerang dengan basa
seperti kalsium dan magnesium. Material yang terdapat dalam abu terdiri dari mineral
yang terdiri dari kalsium, magnesium, karbonat, pirit, marcasite, tanah lihat, serpih,
pasir, dan gipsum. Bahan mineral bawaan yang merupakan unsu senyawa anorganik
yang dikombinasikan dengan komponen organik batubara yang berasal dari tanaman
material dari mana batubara terbentuk.
Penggunaan batubara dengan kadar abu berasal dari akali oksida sering
mengakibatkan terjadinya masalah slagging dan fouling. Sebagai oksida, sebagian
elemen abu memiliki titik leleh tinggi, yang cencerung membentuk senyawa kompleks
(sering disebut campuran eutetik) dengan elemen yang memiliki titik leleh yang relatif
rendah. Disisi lain kadar abu dengan kandungan kalsium tinggi dan kadar besi yang
rendah cenderung membentk lelehan terak terumata jika kandungan natrium dari terak
lebih dari 4% berat.
Proses coal drying ini memanfaatkan pemanasan dengan suhu yang berada di
atas titik uap air sehingga seperti 100oC, 150oC, dan 200oC dengan maksud
menghilankan kandungan free moisture dan inherent moisture yang terdapat pada pori
-pori batubara yang di panaskan. Karena proses ini dilakukan pada suhu sekitar 150 oC
untuk menjaga agar air yang telah keluar tidak kembali masuk, maka perlu ditambahkan
zat aditif sebagai penutup permukaan batubara, seperti kanji, tetes tebu (Molase), slope
pekat (fuse oil), dan minyak residu. Dengan keasaman sifat kimia tersebut, minyak
residu yang masuk ke dalam pori – pori batubara akan kering, kemudian bersatu dengan
batubara. Lapisan ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang cukup lama
sehingga batubara dapat disimpan di tempat yang terbuka untuk jangka waktu yang
cukup lama sehingga batubara dapat disimpan di tempat yang terbuka untuk jangka
waktu yang cukup lama.
Metode coating ini sendiri pada prinsipnya menjaga kualitas batubara seperti
nilai kalori yang tinggi dan kandungan inherent moisture batubara setelah proses
upgrading tetap terjaga. Hasil analisis dari proses upgrading batubara didapatkan
persentase kadar air dan nilai kalor campuran yang paling optimal.
Setelah proses coal drying biasanya tidak terdapat moisture yang terlambat
dalam contoh batubara dalam beberapa saat. Karena tekanan uap air lebih kecil dari
udara atau athmosfer maka secara sendirinya uap air akan kembali mengisi ruang
kosong pada pori-pori conto batubara tersebut. Maka lapisan batubara tersebut perlu di
lapisi dengan pori-pori dari batubara tersebut perlu di isi agar moisture yang telah
menjadi uap tidak kembali mengisi pori-pori conto batubara tersebut.
METOLOGY PERCOBAAN
Secara umum dari metode coal dying ini ialah dengan memanfaatkan titik uap
air sehingga free moisture dan inherent moisture yang tertambat pada batubaraperingkat
rendah dapat menguap atau mengalami evaporasi. Dengan pemanasan pada batubara
dengan variasi suhu 100oC, 150oC dan 200oC dalam kurun waktu 1 jam untuk tiap
varian suhu diharapkan kandungan kadar air lembabnya dapat berkurang. Kemudian
setelah proses pemanasan yang masing-masing conto dibagi sama rata masing-masing
sekitar 250 gram untuk coating dengan larutan finacoal ditambah dengan enzol dan 250
gram conto batubara yang hanya melalui proses coal drying. Penambahan finacoal dan
enzol coating ini agar free moisture pada conto tidak mengendap kembali dan
menggantikan inherent moisture yang telah menguap serta melapisi permukaan conto
yang menjadikan conto memiliki kadar abu yang lebih rendah dan volatile matter yang
lebih rendah dibanding conto yang di buat hanya untuk coal drying (tanpa coating)
sebagai pembangding untuk mengetahui hasil kandungan air lembabnya.