Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BATUBARA

“KLASIFIKASI BATUBARA”

Oleh :

Btari Elizabeth Sean Sianturi (3335142417)

Klorista Ika Yulinda (3335141181)

Zakiah Nurannisa (3335140297)

2018
Proses Pembentukan Batubara

Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :

Teori In-situ : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-
situ biasanya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan
tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut, dan
sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan akhirnya
menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.

Teori Drift : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
yang bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk
sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan
batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak
pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri
dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia
(pembatubaraan).

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang


terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa
dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 -
-[10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan unsur H, N, O, dan C
dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh
bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati
1992).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan


fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach,
1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat,
sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit
Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat
kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi
antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pembetukan batubara yaitu: umur, suhu
dan tekanan.

Mutu endapan batubara juga ditentukan oleh suhu, tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik. Pembentukan batubara
dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) dikenal sebagai
zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun
yang lalu. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut/peat
(C60H6O34) yang selanjutnya berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut
pula batubara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batubara dengan jenis
maturitas organik rendah.

Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama
jutaan tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara
sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk
bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit.

Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan


perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara.

Berikut ini ditunjukkan tahapan pembatubaraan.


Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara

Disamping itu semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat
pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau mutu batubara,
maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu
rendah seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture)
yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga
rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak,
serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan
berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan
energinya juga semakin besar.

Jenis-jenis Batubara
Berdasarkan American Standard Testing Material (ASTM), batubara dapat
diklasifikan menjadi 4 kelas yaitu :

1. Antrasit adalah jenis batubara yang paling keras dengan warna hitam
mengkilap. Mengandung karbon 86% sampai 98% berat. Terbakar perlahan

2. dengan api biru pucat & menghasilkan sangat sedikit asap.


3. Bituminous mengandung karbon antara 69% & 86% berat.
4. Sub-bituminous mengandung sedikit karbon, lebih banyak air & merupakan
sumber panas yang kurang efisien.
5. Lignit, atau batubara coklat, adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung sampai 70% air berat. Menghasilkan emisi polusi yang paling
banyak daripada batubara jenis lainnya.
Gambar 2. Klasifikasi batubara berdasarkan ASTM

Komponen Penyusun Batubara

Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer


organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari
polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.

1. Lignin
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam
merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan
molekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya
dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman.
Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai susunan p-
koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer
dari satu atau beberapa jenis alcohol.
Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin
merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.
2. Karbohidrat
Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung
antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai
kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus
hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun
polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara,
karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak
mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan
membentuk batubara.
3. Protein
Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu
hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada
umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida.
Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.
4. Material Organik Lain
5. Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka
pada batangnya.
6. Tanin
Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian
batangnya.
7. Alkaloida
Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun
batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul
dalam bentuk rantai.
8. Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole.
Porphirin biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat
cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur
porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai marker yang sangat
penting untuk mendeterminasi perkembangan dari proses coalifikasi.
9. Hidrokarbon
Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen
kartenoid. Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan
sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi
material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini menandakan bahwa
struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak adanya
perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.
10. Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya
material inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral
eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang berasal dari
tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam lapisan
batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa
dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun
bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.
Parameter Kualitas Batubara

Beberapa parameter kualitas yang akan sangat mempengaruhi


pemanfaatannya terutama sebagai bahan bakar adalah :
1. Kandungan air kandungan air (moisture) dapat dibedakan atas
Kandungan air ini dapat dibedakan atas kandungan air bebas (free moisture),
kandungan air bawaan (inherent moisture) dan kandungan air total (total
moisture). Kandungan air ini akan banyak pengaruhnya pada pengangkutan,
penanganan, penggerusan maupun pada pembakarannya.
2. Kandungan Air bawaan
Kandungan air bawaan berada pada mikro pori, yang mempunyai tekanan
lebih rendah dari tekanan uap normal. Kandungan air bawaan ini penting
diketahui,karena dapat digunakan untuk mengindikasi peringkat batubara .
Batubara makin tinggi kandungan air bawannnya,peringkatnya makin rendah.
3. Kandungan abu
Selain kualitas yang akan mempengaruhi penanganannya, baik sebagai fly ash
maupun bottom ash tetapi juga komposisinya yang akan mempengaruhi
pemanfaatannya dan juga titik leleh yang dapat menimbulkan fouling pada
pipa-pipa. Dalam hal ini kandungan Na2O dalam abu akan sangat
mempengaruhi titik leleh abu. Abu ini dapat dihasilkan dari pengotor bawaan
(inherent impurities) maupun pengotor sebagai hasil penambangannya.
Komposisi abu seyogyanya diketahui dengan baik untuk kemungkinan
pemanfaatannya sebagai bahan bangunan atau keramik dan
penanggulangannya terhadap masalah lingkungan yang dapat ditimbulkannya.
4. Ash Content dan Komposisi
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar
dan daerah konveksi dalam bentuk abu terbang atau abu dasar. Sekitar 20%
dalam bentuk abu dasar dan 80% dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi
kandungan abu dan tergantung komposisinya mempengaruhi tingkat
pengotoran (fouling), keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
5. Zat terbang (Volatile Matter)
Kandungan zat terbang sangat erat kaitannya dengan kelas batubara tersebut,
makin tinggi kandungan zat terbang makin rendah kelasnya. Pada pembakaran
batubara, maka kandungan zat terbang yang tinggi akan lebih mempercepat
pembakaran karbon padatnya dan sebaliknya zat terbang yang rendah lebih
mempersukar proses pembakaran. Nisbah kandungan carbon tertambat
terhadap kandungan zat terbang disebut fuel ratio.
Fuel Ratio Berbagai Jenis Batubara :

Jenis Batubara Fuel Ratio

1. Coke 92

2. Antrasit 24

3. Semi antrasit 8.6

4. Bitumen

*) Low volatile 2.8

*) Medium volatile 1.9

*) High volatile 1.3

5. Lignit 0.9

6. Nilai Kalor (Fuel Ratio)


Harga nilai kalor merupakan penjumlahan dari harga-harga panas pembakaran
dari unsur-unsur pembentuk batubara. Harga nilai kalor yang dapat dilaporkan
adalah harga gross calorific value dan biasanya dengan besar air dried,
sedang nilai kalor yang benar-benar dimanfaatkan pada pembakaran batubara
adalah net calorific value yang dapat dihitung dengan harga panas laten dan
sensibel yang dipengaruhi oleh kandungan total dari air dan abu.
7. Hardgrove Grindability Index (HGI)
Hardgrove Grindability Index merupakan petunjuk mengenai mudah
sukarnya batubara untuk digerus. Harga Hardgrove Grindability Index
diperoleh dengan rumus : HGI = 13,6 + 6,93 W
W adalah berat dalam gram dari batubara lembut berukuran 200 mesh. Makin
tinggi harga HGI makin lunak batubara tersebut. Suatu PLTU biasanya
disiapkan untuk menggunakan kapasitas penggerusan terhadap suatu jenis
batubara dengan HGI tertentu.
8. Sifat Caking dan Coking
Kedua sifat tersebut ditunjukan oleh nilai muai bebas (free swelling index)
dan harga dilatasi, yang terutama memberikan gambaran sifat fisik pelunakan
batubara pada pemanasannya.
9. Total sulfur
Sulfur dalam batubara thermal maupun metalurgi tidak diinginkan, karena
Sulfur dapat mempengaruhi sifat-sifat pembakaran yang dapat menyebabkan
slagging maupun mempengaruhi kualitas product dari besi baja. Selain itu
dapat berpengaruh terhadap lingkungan karena emisi sulfur dapat
menyebabkan hujan asam. Oleh karena itu dalam komersial, Sulfur dijadikan
batasan garansi kualitas, bahkan dijadikan sebagai rejection limit.Namun
demikian dalam beberapa utilisasi batubara, Sulfur tidak menyebabkan
masalah bahkan sulfur membantu performance dari utilisasi tersebut. Utilisasi
tersebut misalnya pada proses pengolahan Nikel seperti di PT. INCO. Dan
juga pada proses Coal Liquefaction (Pencairan Batubara).
10. Roga Index
Roga index adalah indeks yang didapat dari salah satu tes caking yang
disebutroga test. Tes ini untuk mengukur caking power. Indeks ini
dipergunakan dalam klasifikasi batubara internasional sebagai alternatif
dari crusible swelling number. Indeks ini dapat diperbandingkan dengan
perkiraan di bawah ini.

Tabel V.2
Perbandingan Index
Crucible Swelling Number dan Roga Index

Crucible swelling number Roga index


0–½ 0–5
1–2 5 – 20
2½ -4 20 – 45
>4 > 45

11. Gray King Coke


Gray-King coke type adalah analisis untuk mengamati coking coal. Coking
adalah sifat yang berhubungan dengan perilaku batubara selama proses
carbonisation (proses pembuatan coke secara komersial) serta sifat coke yang
dihasilkannya. Tes ini dilakukan pada tingkat pemanasan yang lambat yang
lebih mirip dengan tingkat pemanasan pada coke oven.
12. Phospor
Adanya phosphorus (posfor) di dalam coking coal sangat tidak diinginkan
karena dalam peleburan baja, phosphorus akan berakumulasi dan tinggal
dalam baja yang dihasilkan. Baja yang mengandung phosphorus tinggi akan
cepat rapuh. Phosphorus juga dapat menimbulkan masalah pada pembakaran
batubara di ketel karena phosphorus dapat membentuk deposit posfat yang
keras di dalam ketel.
13. Abrasion Index
Abrasion index adalah indeks yang menunjukkan daya abrasi (kikis) batubara
terhadap bagian dari alat yang dipergunakan untuk menggerus batubara
tersebut (pulverizer) sebelum dipergunakan sebagai bahan bakar. Semakin
tinggi nilai abrasive index suatu batubara semakin tinggi pula biaya
pemeliharaan alat penggerus batubara tersebut.
Suatu batubara disebut abrasive apabila abrasive index-nya 400-600, dan
disebut tidak abrasive apabila abrasive index-nya <10. Coke mempunyai
abrasive index 2500 sedangkan sandstone mempunyai abrasive index 1200.
Batubara yang diinginkan pembeli harus mempunyai abrasive index <200.
Apabila abrasive index-nya > 200, harga batubara tersebut bisa lebih murah
atau bahkan sama sekali ditolak.
14. Chlorine
Chlorine adalah salah satu elemen batubara yang dapat menimbulkan korosi
(pengkaratan) dan masalah fouling/slagging (pengkerakkan) pada ketel uap.
Kadar chlorine lebih kecil dari 0.2% dianggap rendah, sedangkan kadar
chlorine lebih besar dari 0.5% dianggap tinggi. Adanya elemen chlorine selalu
bersama-sama dengan adanya elemen natrium.
15. Ultimate Analysis
Ultimate analysis adalah analisis yang memeriksa unsur-unsur zat organik
dalam batubara, seperti karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur dan oksigen. Unsur-
unsur selain oksigen dapat dianalisis di laboratorium, sedangkan untuk
oksigen sendiri bisa didapat dari perhitungan.
16. Trace Element

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komposisi unsur dalam batubara yang
dianggap berbahaya terhadap lingkungan. Jumlahnya kecil, misalnya merkuri, arsen,
selenium, fluorine, cadmium dsb.

Analisis Batubara

Secara umum terdapat dua metode analisa yang dilakukan terhadap batubara
pada sebuah industri yaitu :
1. Analisis pendekatan (proximate analysis), yaitu analisa yang memberikan
data tentang kandungan zat terbang, carbon tetap, abu dan embun. Untuk
melengkapi hasil pengujian, biasanya dicantumkan juga data tentang nilai
kalor dan kandungan belerang.
a. Moisture : yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Moisture
pada batubara dibedakan menjadi 3 yaitu total moisture (TM), surface
moisture (SM) dan inherent moisture (IM). SM adalah air yang
menempel pada permukaan batubara sedangkan IM merupakan air
yang terikat pada rongga (pori) dan mineral pada batubara. TM
merupakan penjumlahan dari keduanya.
TM = SM + SM
b. Fixed Carbon : merupakan jumlah karbon yang tertambat pada
batubara setelah kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan.
FC dalam batubara dapat ditentukan dari persamaan berikut, dimana
M : moisture, VM : volatile matter dan ASH : abu.
FC = 1− M −VM − ASH
c. Volatile Matter : adalah condensable dan non condensable vapor yang
dilepaskan saat batubara dipanaskan.
d. Ash : adalah residu padat anorganik yang tertinggal setelah batubara
benar-benar terbakar. Bahan utamanya adalah silika, aluminium, besi,
dan kalsium; dan kehadiran sejumlah kecil magnesium, titanium,
natrium, dan kalium.

Analisis proksimat dapat dilakukan secara manual ataupun otomatis


menggunakan alat Thermo Gravimetric Analysis (TGA) seperti yang
ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 3. Thermo Gravimetric Analysis

Prinsip kerja thermo gravimetric analysis didasarkan pada perbedaan


berat sampel batubara sebelum dan sesudah dipanaskan. Mula-mula sejumlah
sampel batubara dipanaskan di dalam electronic microbalance pada keadaan
specified atmosphere dengan laju yang telah ditentukan. Perubahan berat
sampel batubara akan dicatat secara continous. Peralatan DTG memberikan
tingkat perubahan berat sampel batubara secara terus menerus. Dari grafik
penurunan berat vs waktu, kita dapat menentukan kelembaban batubara,
volatile matter, dan ash. Fixed carbon dapat ditemukan dari persamaan
sebelumnya. Hasil analisis dari TGA disajikan dalam bentuk grafik seperti
gambar dibawah ini.
Gambar 4. Grafik hasil analisis TGA

2. Analisis ultimat (ultimate analyisis) yaitu analisa yang memberikan data


tentang komposisi bahan bakar dalam presentase untuk nitrogen, oksigen,
carbon, abu, sulfur dan hidrogen.
Analisis ultima berguna dalam menentukan jumlah udara yang dibutuhkan
untuk pembakaran serta volume dan komposisi gas. Informasi ini dibutuhkan
untuk perhitungan suhu nyala api dan desain cerobong asap.
Adapun komponen-komponen yang dilakukan analisis ultimat diantaranya
yaitu :
a. Karbon dan Hidrogen (C & H)
Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika batubara dibakar. CO2 bisa
berasal dari mineral karbonat yang ada dan H2O bisa berasal dari
mineral lempung atau IM pada air dried coal atau keduanya. Nilai
kadar karbon ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
kualitas batubara. Kadar karbon dan jumlah at terbang digunakan
sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa
nilai fuel ratio.
b. Nitrogen
Kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang signifikan,
khususnya dengan hubungan polusi udara. Jadi, batubara dengan
nitrogen yang rendah lebih diharapkan oleh insutri. Batubara tidak
boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5 – 2.0%
c. Oksigen (O)
Oksigen merupakan komponen sdari banyak campuran organik dan
anorganik pada batubara sebagaimana kandungan moisture. Ketika
batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai oksida, hidroksidas
dan mineral sulfat, seperti material organik yang teroksidasi. Perlu
diingat bahwa oksigen merupakan indikator penting kelas (rank)
batubara.
d. Sulfur (S)
Di dalam batubara, sulfur bisa berupa bagian dari material
carbonaceous atau bisa berupa bagian mineral seperti sulfat dan
sulfida. Sulfur menyebabkan korosi dan pengotoran pada pipa boiler
dan menyebabkan polusi udara ketika dikeluarkan sebagai asap
cerobong. Sulfur dapat hadir di batubara dalam 3 (tiga) bentuk :
1. Sulfur organik, hadir pada senyawa oragnik batubara
2. Pyritic sulfur, hadir sebagai mineral sulfide pada batubara,
pada dasarnya iron pyrite.
3. Mineral sulfat, biasanya hydrous iron atau kalsium sulfat,
dihasilkan dari oksidasi fraksi sulfide pada batubara.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.ptba.co.id/id/read/the-occurence-of-coal (diakses pada 2 Maret 2018)

https://dokumen.tips/documents/penyusun-batubara.html (diakses pada 2 Maret 2018)

Anda mungkin juga menyukai