Abrasi Mtigasi PDF
Abrasi Mtigasi PDF
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas wilayah perairan laut lebih dari 75%
(sekitar 5.8 juta kilometer persegi) dengan 17.500 pulau dan garis pantai sekitar 81.000 km.
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Daerah pantai
merupakan daerah yang spesifik, karena berada di antara dua pengaruh yaitu pengaruh daratan
dan pengaruh lautan (Yuwono N, 1993). Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat
dinamis dengan berbagai ekosistem hidup yang saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lain.
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah
tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan lautan.
Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada
imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan
angin. Perubahan pantai terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen
pantai melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut sebagai akibat
dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi, geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut,
gelombang, arus laut dan salinitas (Sutikno, 1993).
Pantai yang dimiliki oleh Indonesia merupakan berkah dari Tuhan yang Maha Esa.
Berkah ini tentu saja harus kita jaga dan rawat dengan sepenuh hati, guna keberlangsungan hidup
kita, memanfaatkan pantai haruslah dengan cara yang bijaksana dan memperhatikan asas-asas
kelestariannya. Kerusakan ekosistem pantai tentu akan merugikan manusia karena ekosistem
pantai adalah tempat untuk manusia tinggal dan tempat untuk manusia mencari penghidupan,
Manusia membuat tambak-tambak ikan dan udang, tambak-tambak garam, budidaya rumput
laut, mencari ikan di laut, berkebun kelapa, dan sebagainya guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sayangnya sekarang ini sudah banyak ekosistem pantai yang rusak karena abrasi.
Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir, yang dapat
mengancam garis pantai sehingga mundur kebelakang, merusak tambak maupun lokasi
persawahan yang berada di pinggir pantai, dan juga mengancam bangunan bangunan yang
berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan yang difungsikan sebagai penunjang wisata
maupun rumah rumah penduduk. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai
dari posisi asalnya (Triatmodjo, 1999).
Abrasi diakibatkan oleh dua factor yaitu factor alam dan factor manusia, dan yang paling
berpengaruh terhadap kerusakan pantai adalah factor manusia. Penyebab terjadinya abrasi di
pantai sebagian besar (diperkirakan lebih dari 90%) diakibatkan oleh adanya campur tangan
manusia (A.Hakam,dkk, 2013). Abrasi dapat mengakibatkan perubahan garis pantai Indonesia.
Perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk dinamisasi kawasan pantai yang
terjadi secara terus menerus. Perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan pantai berupa
pengikisan badan pantai (abrasi) dan penambahan badan pantai (sedimentasi atau akresi). Proses
abrasi disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
akibat faktor alam seperti perubahan cuaca atau iklim dan akibat aktivitas manusia yang
mengakibatkan hilangnya perlindungan alami pantai serta berubahnya pola aliran dan transport
disepanjang pantai.
Kondisi kawasan pantai di berbagai lokasi di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang
diakibatkan oleh adanya kejadian abrasi atau erosi. Abrasi adalah Sekitar 100 lokasi di 17
Propinsi dengan panjang pantai kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang
mengkhawatikan. Jumlah catatan kejadian bencana abrasi di Indonesia mulai dari 1815 sampai
dengan 2013 adalah sebanyak 192 kali. (Diposaptono, 2011). Keadaan ini sudah sangat
mengkhawatirkan, jika tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi kelangsungan makhluk hidup, mengingat betapa pentingnya keberadaan
ekosistem pantai tersebut.
Berdasarkan latang belakang masalah tersebut penulis akan membuat makalah tentang
Mitigasi Abrasi Pantai di Indonesia di tambah dengan beberapa contoh penanganan nyata yang
pernah dilakukan oleh beberapa pihak terkait di wilayah pantai Indonesia guna meminimalisir
dampak abrasi.
B. Pengertian Abrasi dan Penyebabnya
Menurut undang-undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, disebutkan
bahwa: bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Abrasi dapat merusak fasilitas sarana dan prasarana di pesisir seperti jalan
raya, tiang listrik, dermaga bakan rumah penduduk. abrasi yang terjadi dalam wilayah yang luas
sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar maka abrasi tergolong sebagai bencana.
abrasi yang terjadi pada wilayah yang tidak terlalu luas dapat dikategorikan tanda-tanda bencana
(Ramadhan, 2013).
Keterangan :
Gambar 1. Jalan yang rusak akibat
abrasi
Gambar 2. Rusaknya rumah
penduduk akibat Abrasi
Abrasi merupakan permasalahan yang sering muncul di daerah pesisir yang diakibatkan
oleh aktivitas gelombang. Abrasi atau pengikisan pada pantai antara lain disebabkan karena
berkurangnya atau hilangnya struktur penahan gelombang alami, seperti bukit pasir (sand dunes),
terumbu karang dan vegetasi pantai. Gelombang laut yang memiliki energi besar, yang
seharusnya pecah atau direfleksikan kembali ke laut oleh penahan gelombang alami,
menggempur bibir pantai, lalu membawa material pantai ke laut lepas. Akibatnya adalah garis
pantai dari tahun ke tahun akan berkurang dan pada akhirnya akan mengancam prasarana di
pesisir. Apabila abrasi seperti ini tidak ditangani secara efektif, kedepan akan merusak prasarana
yang ada seperti jalan dan pemukiman yang dapat membahyakan masyarakat di sepanjang
pantai.
Gambar 1 Gambar 2
Menurut Hang Tuah (2003) Abrasi pantai adalah kerusakan garis pantai akibat dari
terlepasnya material pantai, seperti pasir atau lempung yang terus menerus di hantam oleh
gelombang laut atau dikarenakan oleh terjadinya perubahan keseimbangan angkutan sedimen di
perairan pantai. Hal in terjadi karena Daerah pantai merupakan daerah yang spesifik, karena
berada di antara dua pengaruh yaitu pengaruh daratan dan pengaruh lautan. Sesuai dengan
posisinya daerah pantai merupakan daerah yang sangat strategis (Yuwono N, 1993).
2. Hard solution
a. Groyne (groin)
Pembuatan bangunan groin sangat mempengaruhi daerah erosi pantai,hal ini terjadi karena dalam
pembuatan groin hanya berfungsi sebagai mengatasi longshore transport atau perpindahan sedimen
sejajar pantai. Panjang groin akan efektif menahan sedimen apabila bangunan tersebut menutup lebar
surfzone. Namun keadaan tersebut dapat mengakibatkan suplai sedimen ke daerah hilir terhenti
sehingga dapat mengakibatkan erosi
Gambar 6. Groin
di daerah hilir. Sehingga panjang groin dibuat 40% sampai dengan 60% dari lebar surfzone dan jarak
antar groin adalah 1-3 panjang groin.
b. Breakwater
Breakwater adalah pemecah gelombang yang ditempatkan secara terpisah-pisah pada jarak tertentu dari
garis pantai dengan posisi sejajar pantai. Struktur pemecah gelombang ini dimaksudkan untuk
melindungi pantai dari hantaman gelombang yang datang dari arah lepas pantai.
c. Seawall
Seawall merupakan bangunan yang digunakan untuk melindungi struktur pantai dari bahaya erosi/abrasi
dan gelombang kecil. Seawall dibangun pada sepanjang garis pantai yang diprediksikan mengalami
abrasi. Seawall dimaksudkan untuk melindungi pantai dan daerah dibelakangnya dari serangan
gelombang yang dapat mengakibatkan abrasi dan limpasan gelombang.
Gambar 8. Seawall
Jika gelombang besar terjadi dan menerjang wilayah pemukiman, tindakan yang harus
dilakukan (Ramadhan, 2013) :
1. Jika terjadi di pantai tanpa pemukiman dapat antisipasi dengan membuat tanggul sederhana
dengan karung berisi pasir dan ditempatkan di sepanjang pantai yang diterjang ombak.
2. Jika terjadi dipantai yang berpenduduk atau berdekatan dengan aktifitas warga, pastikan
mengevakuasi terlebih dahulu warga disekitar , kemudian memberi penanda tempat yang mudah
longsor akibat abrasi memperkuat tepian pantai dengan tanggul alami dari karung berisi pasir
atau material padat lainnya.
3.
Jika pantai telah mengalami kerusakan, akan dibuat talud/tanggul atau pemecah ombak (jety),
Permasalahan, tantangan dan peluang Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam
penanganan bencana abrasi diantaranya adalah (A. Hakam, dkk, 2013) :
a. Belum tersedianya peta resiko bencana dalam skala kecil yang diperlukan untuk penanganan
masalah abrasi. Meskipun peta abrasi telah dibuat dalam skala nasional, namun sayangnya masih
belum tersedia peta dalam skala kecil (1:500).
b. Kinerja penanggulangan bencana yang belum optimal dan belum terpadu.
c. Orientasi kelembagaan kebencanaan sebelum ini banyak berorientasi pada penanganan
kedaruratan, belum pada aspek pencegahan serta pengurangan risiko bencana. Tampaknya
pemahaman dan kesadaran bahwa risiko bencana dapat dikurangi melalui intervensiintervensi
pembangunan masih minim. Undang undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana memang telah merubah paradigma penanggulangan bencana dari responsive (terpusat
pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (pengurangan risiko dan kesiapsiagaan), tetapi
dalam pelaksanaannya masih belum terlihat pada program-program pengurangan risiko bencana.
d. Rendahnya ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Bencana alam yang terjadi dapat
menghancurkan hasil-hasil pembangunan selama bertahun-tahun oleh kelompok masyarakat. Hal
ini tentunya merupakan sebuah pukulan berat bagi masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Oleh karenanya isu ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana merupakan hal penting
untuk diperhatikan dalam kajian ini.
e. Penerapan teknologi di bidang mitigasi bencana belum optimal. Kurangnya pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana abrasi memerlukan adanya
kolaborasi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi untuk mengembangkan
penelitianpenelitian, ilmu dan teknologi kebencanaan.
Hal – hal yang menjadi tantangan dalam upaya penanggulangan bencana abrasi dan
gelombang ekstrim ini adalah diantaranya (A. Hakam, dkk, 2013) :
a. Sosialisi perubahan pola penanggulangan bencana. Perubahan paradigma penanggulangan
bencana dari responsif ke preventif yang terkandung dalam Undang-undang No. 24 tahun 2007
perlu dijelmakan menjadi kebijakan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tetap (protap)
kebencanaan sampai ke tingkat pemerintahan yang paling rendah. Perlunya perpaduan
pengurangan risiko bencana ke dalam program-program pembangunan demi terbangun
mekanisme penanggulangan bencana yang terpadu, efektif, efisien dan handal.
b. Perlunya penanganan yang mengacu pada tata ruang dan wilayah agar dampak abrasi tidak
semakin meluas. Kawasan pesisir memerlukan pola perencanaan tata ruang pesisir yang
dipengaruhi oleh pembagian zona-zona perlindungan yang sangat ketat. Hal ini disebabkan
karakter pesisir yang sangat dinamis tetapi rentan terhadap perubahan yang terjadi. Kondisi
dinamis inilah yang menyebabkan perlunya dicari model pendekatan yang sesuai untuk penataan
ruang wilayah pesisir.
c. Perlunya pengembangan kapasitas dalam penanggulangan bencana yang melibatkan masyarakat
sebagai subjek. Masyarakat bukan hanya diposisi sebagai objek melainkan juga sebagai pelaku
yang harus berperan aktif untuk melindungi diri sendiri jika terjadi bencana.
d. Besarnya kebutuhan pengembangan kapasitas dalam penanggulangan bencana. Jumlah
penduduk yang besar tinggal di daerah rawan bahaya, akan melibatkan banyak komunitas yang
perlu menerima gladi, simulasi dan pelatihan kebencanaan. Banyak tim siaga bencana komunitas
yang perlu dibentuk dan diberi sumber daya yang memadai. Selain itu, di pihak pemerintah
sendiri masih banyak daerah yang perlu ditingkatkan dalam hal kelembagaan penanggulangan
bencana dan kelengkapannya, masih banyak aparat pemerintah yang perlu diberi pendidikan dan
pelatihan kebencanaan agar dapat melaksanakan pembangunan yang berperspektif pengurangan
risiko dan menyelenggarakan tanggap serta pemulihan bencana dengan baik.
e. Perlunya sinkronisasi regulasi dan kewenangan penanganan bencana pada saat pra, selama, dan
pasca bencana.
f. Perlu peningkatan komitmen pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam porsi APBD untuk
penanggulangan bencana yang saat ini masih tergolong kecil. Disamping itu baru sedikit daerah
yang menjadikan bencana sebagai prioritas pembangunan, baik pra, saat, maupun pasca bencana
(NAR 2013).
g. Perlunya meninjau parameter penentuan bahaya dan resiko bencana abrasi. Besaran beberapa
parameter (misal, kecepatan arus, gelombnag ekstrim) masih perlu diteliti dengan melibatkan
peran akademisi.
h. Tantangan terberat dalam penanggulangan bencana abrasi adalah menjadikan penanggulangan
bencana sebagai investasi dimasa depan. Dimana bila saat ini tidak dilakukan penanggulangan,
maka kerugian yang diderita akan timbul dimasa yang akan datang.
Beberapa poin yang menjadi peluang dalam upaya penanggulangan bencana abrasi dan
gelombang ekstrim ini adalah (A. Hakam, dkk. 2013) :
a. Keputusan Pemerintah untuk mendorong agenda pengurangan risiko bencana gelombang
ekstrim dan abrasi adalah dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam undang-undang tersebut menetapkan sasaran
pembangunan yang lebih berkelanjutan melalui pencapaian keseimbangan antara: Pembangunan
ekonomi , pemanfaatan wilayah pesisir, perlindungan dan pelestarian wilayah pesisir,
minimalisasi kerugian kehidupan manusia dan harta benda dan akses publik di zona pesisir.
Selain itu Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan reklamasi hutan,
juga mendukung penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan melalui tahapan perencanaan dan
pelaksanaan. (Kementrian Kehutanan, 2012).
b. Semakin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota yang membentuk BPBD. Pembentukan badan-
badan penanggulangan bencana independen di berbagai tingkat pemerintahan ini akan lebih
menjamin tertanganinya isu penanggulangan bencana dan isu terkait lainnya dengan baik.
c. Tumbuhnya Perhatian Dunia pada isu pengurangan risiko bencana, terutama terkait dengan
kecenderungan perubahan iklim global yang dampaknya kian memburuk. Komitmen antar
negara, sebagai contoh dalam koridor negara Asia Tenggara (ASEAN) dengan membentuk AHA
Center dan latihan bersama penanggulangan bencana yang dikenal dengan ARDEX sebagai
implementasi AADMER (ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency
Response).
Dalam pelaksanaannya, penanganan masalah abrasi pantai dan gelombang ekstrim dapat
melibatkan berbagai kepentingan, nilai serta pemahaman pola penanganannya.
E. Abrasi yang Pernah Terjadi di Wilayah Pesisir Indonesia
1. Semarang
Abrasi pernah dilaporkan dalam Studi Perencanaan Tata Ruang Pesisir Kota Semarang
(DKP Prov. Jateng, 2011) yang menyatakan bahwa di Pantai Kota Semarang pada tahun 2008
telah mengalami abrasi seluas 4.200 m2 yang meliputi wilayah di sungai Plumbon, Pesisir
Kelurahan Randugarut, Kawasan Marina dan Tanjung Emas, Kawasan TPI Tambak Lorok dan
Kawasan Terminal Tambak Boyo.
Berdasarkan penelitian (A. Hakim,dkk, 2012) penyebab abrasi di pantai Kota Semarang
adalah sebagai berikut :
a. Terjadinya abrasi di lokasi penelitian dipengaruhi oleh morfologi pantai lokasi penelitian,
kecepatan dan arah angin, serta intervensi manusia yang berupa pembangunan bangunan
bangunan yang menjorok ke laut.
b. Proyeksi luasan abrasi dilokasi penelitian pada tahun 2015 diperkiran seluas 116.307 m2 dan
meningkat pada tahun 2020 seluas 174.593 m2.
c. Penambahan bangunan pelindung pantai berupa Groin dan Seawall mampu mengurangi laju
abrasi dan akresi, sedangkan bangunan pantai yang paling efektif untuk mengurangi laju abrasi
di lokasi penelitiaan adalah Seawall.
2. Pontianak
Hutan mangrove di Kalimantan Barat mencapai areal seluas 40.000 hektar yang berlokasi
di sepanjang pantai muara Sanguiduri, pantai Singkawang, Pemangkat, delta Sungai Kapuas
bagian selatan, muara Sungai Ambawang, daerang Pulau Padang Tikar dan Pulau Maya, daerah
muara Sungai Kualam serta pantai Katapang (Abdul Syukur, 1984).
Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini adalah pertambahan jumlah penduduk yang
sangat pesat terutama di daerah pantai sepanjang jalan Pontianak-Singkawang-Sambas. Hal ini
menyebabkan banyak hutan mangrove yang rusak ditebang oleh penduduk untuk memenui kayu
bakar dan bahan bangunan. Rusaknya mangrove ini diperkirakan salah satu penyebab erosi
pantai makin cepat. Salah satu alternative untuk mengurangi terjadinya erosi tersebut adalah
reboisasi mangrove, sekalipun merupakan upaya jangka panjang. (Soeroyo, 1992)
3. Bali
Salah satu contoh kerusakan pantai di Indonesia adalah kerusakan pantai yang terjadi di
Tanah Lot Bali. Menurut Bali Beach Concervation Project (2005), Bali memiliki panjang pantai
± 430 km, sekitar 18 % nya merupakan pantai karang dengan pasir putih. Sekitar 16 % atau 70
km dari panjang pantai yang ada telah mengalami erosi/abrasi akibat faktor alam maupun akibat
ulah manusia. Beberapa daerah pantai Bali yang telah mengalami kerusakan antara lain Pantai
Kuta, Sanur, dan Tanah Lot. Abrasi pantai yang terjadi di Tanah Lot telah mencapai 1,5 cm
sampai 2 cm per tahunnya. Apabila abrasi yang tejadi tidak segera ditangani maka dapat
mengakibatkan rusaknya Pure yang berada di Tanah Lot tersebut. (Surenddro, 2012)
Mengingat Tanah Lot Bali merupakan daerah wisata, maka dalam penanganannya tidak boleh
menganggu keindahan panorama pantai, sehingga untuk mengatasi abrasi pantai yang terjadi di Tanah
Lot dilakukan dengan mebangun pemecah gelombang bawah air (PGBA). (Surendro, 2012)
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai
berikut (Surenddro, 2012) :
1) Pemecah gelombang bawah air sangat cocok untuk keperluan penanggulangan abrasi yang diakibatkan
oleh gelombang, terutama untuk kawasan wisata pantai.
2) Karena konstruksinya tidak terlihat, maka pemecah gelombang bawah air tidak akan mengurangi
keindahan panorama pantai.
3) Pemecah gelombang bawah air dapat menghancurkan energi gelombang berkisar antara 32 s.d 60 %.
4.
Gambar 11. Abrasi pantai di Tangkisung
Abrasi kian mengancam wilayah pesisir. Keganasan alam mendesak kehidupan nelayan
Garis pantai di pesisir Tabunio terkikis hingga lebih dari 50 meter dalam lima tahun terakhir.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memperkirakan kerusakan pantai akibat abrasi telah
mencapai ratusan kilometer. Panjang garis pantai wilayah ini mencapai 1.330 kilometer (Media
Indonesia, 2011).
Kondisi itu mengharuskan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota,
harus merogoh anggaran sangat dalam. Dana dibutuhkan untuk membangun jalan layang,
beronjong, dan menanam kembali pohon penahan abrasi. Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Kalimantan Selatan Arsyadi mengatakan abrasi terparah terjadi di sepanjang pesisir Kabupaten
Tanah Laut dan Tanah Bumbu.
Untuk merehabilitasi dibutuhkan pembangunan jalan layang. Dananya diperkirakan
mencapai Rp170 miliar. Pembangunan beronjong atau dam penahan gelombang juga terus
dilakukan. Hanya saja, progresnya kalah cepat ketimbang perluasan dampak abrasi. Menanam
bakau pun menjadi program lain. Untuk yang satu ini, pemerintah mendapat dukungan dari
masyarakat. Salah satunya datang dari Komunitas Jurnalis Pena Hijau Indonesia Kalimantan
Selatan mereka menanam 1.000 pohon penahan abrasi jenis ketapang laut. Penanaman dilakukan
di Desa Kuala Tambangan, dengan melibatkan warga setempat.
Selain melakukan reboisasi hutan mangrove Pemerintah Kabupaten Tanah Laut juga
memprogramkan pencetakan areal persawahan di wilayah pesisir dan kampung- kampung
nelayan. Pesisir akan dikembangkan menjadi sentra pertanian tanaman padi baru di Tanah Laut.
Pemerintah akan membangun jaringan irigasi dan mendanai pencetakan sawah baru. Saat ini
pencetakan sawah di wilayah pesisir mulai dilaksanakan di Desa Batakan, dengan luas 300
hektare. Potensi di ka wasan itu mencapai 5.000 hektare. Di Tanah Laut, jumlah nelayan
mencapai 20 ribu jiwa. Pekerjaan tambahan ini digagas sebagai solusi bagi nelayan keluar dari
perangkap kemiskinan.
5. Bengkulu
Kondisi Kabupaten Bengkulu Tengah menunjukkan bahwa tingkat kerusakan pantainya
cukup tinggi dan perlu mendapatkan penanganan dengan segera. Ha ini disebabkan pesisir pantai
Bengkulu Tengah merupakan jalan Lintas Darat yang merupakan jalur perlewatan antar provinsi
di Sumatera. Selain itu beberapa tempat yang mengalami proses abrasi dan erosi merupakan
lokasi wisata daerah yang meruakan sumber pendapatan bagi Kabupaten Bengkulu Tengah, juga
dapat meningkatkan perekonomian penduduk lokal.
Kerusakan pantai Bengkulu Tengah diakibatkan oleh factor alami dan faktot
antropogenik. Factor alami berupa gelombang arus besar di sepanjang panntai sehingga dapat
merusak ekosistem dan bangunan di sepanjang panntai. Factor antropogenik oleh kegiatan
masyarakat yang tidak mematuhi aturan daeraah dan kaidah yang berlaku.
Konsep penanganan kerusakan pantai Bengkulu Tengah ini dapat dilakukan secara teknik
dan non teknik. Secara teknik penanganan kerusakan pantai dilakukan dengan perlindungan
buatan berupa bangunan pantai, seperti revement, breakwater, groin, maupun jety. Sedangkan
penanganan kerusakan pantai secaara non teknis dilakukan dengan memperbaiki system
kebijakan dan peraturan daerah. (Fadillah,dkk,2013)
F. Penutup
Masalah yang terjadi di daerah pesisir sangat kompleks dan saling berkaitan sehingga
pengelolaan resiko bencana ini tidak dapat dilakukan secara parsial tapi harus secara
komprehensif. Masalah yang sering menjadi perhatian pada kawasan pesisir adalah masalah
abrasi. Dampak negatif abrasi yang dapat terlihat adalah terkikisnya pantai sehingga merurak
infrastruktur jalan, rumah penduduk, tambak, dan lain-lain. Abrasi sangat merugikan resiko yang
paling nyata adalah semakin berkurangnya luas daratan atau pulau yang terkena abrasi. Setiap
tahun garis pantai semakin mundur karena adanya abrasi.
Pengelolaan bencana di daerah pesisir harus dilakukan secara komprehensif sehingga
dapat memberi manfaat dalam jangka panjang. Pembangunan daerah pesisir harus melibatkan
seluruh pihak yang terkait sehingga rencana pembangunan daerah pesisir dapat
diimplementasikan secara optimal. Pengurangan resiko abrasi akan membuat daerah pesisir yang
tangguh dan pada akhirnya akan berujung pada keberlanjutan kehidupa daerah pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hakam & B. Istijono, dkk. 2013. Penanganan Abrasi Pantai di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan
Mataram. Mataram : Pusat Studi Bencana Universitas Andalas
A.Hakim & Suharyanto & Wahyu Krisna Hidajat. 2012. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan Bangunan Pantai di
Pesisir kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang.
Semarang : Universitas Diponegoro
Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kab. Demak. 2006. Detail Engineering Penanganan Abrasi dan Rob.
Diposaptono, S. 2011. Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Direktorat
Kelautan dan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil.Jakarta
Evans. Stewart M dan Sahala Hutabarat. 1985. Pengantar Oceanografi. Jakarta : Universitas Indonesia
Fadilah, Supirin, Dwi P Sasongko. 2013. Identifikasi Kerusakan Pantai Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu.
Magister Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Indonesia
Hang Tuah, S. 2003. Hidraulika Pantai (coastal engineering). Diktat Kuliah. Institut Tekhnologi Bandung.
Soeroyo. 1992. Reboisasi mangrove merupakan salah satu cara penghambat erosi pantai di kal-bar. Pontianak : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI Jakarta
Suhendro, Bambang. 2012. Perlindungan Abrasi Pantai Akbiat Gelombang di Tanah lot Bali. Fakultas Teknik Universitas
Tidar Magelang
Sutikno, 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi di Indonesia. Yogyakarta: Diklat PU Wil III. Dirjen Pengairan DPU.
Yuwono, N. 1993. Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume II. Yogyakarta : PAU Ilmu Teknik UGM