Anda di halaman 1dari 16

MEKANIKA KUANTUM DALAM TIGA DIMENSI

Sebelumnya telah dibahas mengenai penerapan Persamaan Schrödinger dalam


meninjau sistem kuantum satu dimensi untuk memperoleh fungsi gelombang serta
energi dari sistem. Persamaan Schrödinger bergantung waktu, seperti yang telah
dipelajari sebelumnya adalah

Ψ
ℏ = Ψ (1)

dengan operator Hamiltonian berbentuk

̂
= + (2)
2


=− ∇ + (3)
2

Maka persamaan (1) menjadi

Ψ ℏ
ℏ =− ∇ Ψ+ Ψ (4)
2

Jika potensial tidak bergantung waktu maka persamaan Schrödinger dapat


dipisahkan menjadi dua persamaan, yaitu persamaan yang hanya bergantung
ruang dan persamaan yang hanya bergantung waktu. Persamaan Schrödinger yang
hanya bergantung ruang (Persamaan Schrödinger tak bergantung waktu) adalah


− ∇ + = (5)
2

Solusi persamaan Schrödinger bergantung waktu merupakan hasil perkalian dari


solusi yang hanya bergantung ruang dengan solusi yang hanya bergantung waktu.
Sementara itu, solusi umum dari persamaan Schrödinger bergantung waktu
merupakan kombinasi linear dari semua solusi yang mungkin, yaitu

Ψ( , ) = ( ) !"#/ℏ
1. Persamaan Schrödinger dalam Koordinat Bola

Pada koordinat bola, ∇ diberikan

1 1 1
∇ = &% '+ &( ) * ' + (6)
% % % % ( )* * * % () * +

Maka persamaan Schrödinger bergantung waktu dalam koordinat bola adalah

Ψ ℏ 1 1 1
ℏ =− - &% '+ &( ) * ' + .Ψ + Ψ (7)
2 % % % % ( )* * * % () * +

Pada umumnya, potensial hanya merupakan fungsi dari jarak terhadap titik asal,
(%) sehingga kita dapat menggunakan metode separasi variabel untuk
memecahkan persamaan (7). Persamaan Schrödinger tak bergantung waktunya

ℏ 1 1 1
− - &% '+ &( ) * ' + . + = (8)
2 % % % % ( )* * * % () * +

Persamaan (8) kembali dipecahkan dengan menggunakan separasi variabel.


Pertama, kita pisahkan fungsi gelombang (%, *, +) menjadi fungsi yang
bergantung jarak, 1(%) dan fungsi yang bergantung sudut, 2(*, +).

(%, *, +) ≡ 1(%)2(*, +) (9)

Persamaan (8) menjadi

ℏ 1 1 1
− - &% '+ &( ) * ' + . 12
2 % % % % ( )* * * % () * +

+ 12 = 12 (10)

ℏ 1 1 1
− - &% ' 12 + &( ) * ' 12 + 12.
2 % % % % ( )* * * % () * +

+( − )12 = 0 (11)

ℏ 2 6 6 1 1
− - &% '1 + &( ) * ' 2 + 2.
2 % 6% 6% % ( )* * * % () * +

+( − )12 = 0 (12)
78 9 :
Persamaan (12) dikalikan dengan − ℏ9 ;<
, menghasilkan

1 6 6 1 1 2 %
&% '1 + &( ) * ' 2 + 2− ( − )=0
1 6% 6% 2( )* * * 2( ) * + ℏ

1 6 61 2 % 1 1 2 1 2
&% '− ( − )+ - &( ) * ' + .=0 (13)
1 6% 6% ℏ 2 ( )* * * () * +

Persamaan (13) telah terpisah menjadi dua suku. Persamaan ini hanya dapat
dipenuhi jika masing-masing suku bernilai konstan. Kita ambil konstanta tersebut
=(= + 1). Pemilihan konstanta ini berkaitan dengan bentuk solusi dari persamaan-
persamaan yang dihasilkan. Persamaan (13) kemudian menjadi

1 6 61 2 %
&% '− ( − ) = =(= + 1) (14)
1 6% 6% ℏ

1 1 2 1 2
- &( ) * ' + . = −=(= + 1) (15)
2 ( )* * * () * +

Persamaan (14) disebut dengan persamaan radial sedangkan persamaan (15)


disebut dengan persamaan angular.

Persamaan Angular

Persamaan angular dapat dinyatakan menjadi

1 2 1 2
&( ) * ' + + =(= + 1)2 = 0 (16)
( )* * * () * +

dengan menggunakan separasi variabel

2(*, +) ≡ Θ(*)Φ(+) (17)

maka persamaan (16) menjadi

Φ 6 6Θ Θ 6 Φ
&( ) * ' + + =(= + 1)ΘΦ = 0 (18)
( ) * 6* 6* ( ) * 6+

@! 9 A
BC
Mengalikan persamaan (18) dengan maka didapatkan
sin * 6 6Θ 16 Φ
D &( ) * ' + =(= + 1) sin *H + =0 (19)
Θ 6* 6* Φ 6+

Sama seperti pada persamaan (13), persamaan (19) juga hanya dapat dipenuhi jika
nilai masing-masing suku adalah suatu konstanta, diambil sehingga menjadi

sin * 6 6Θ
&( ) * ' + =(= + 1) sin * = (20)
Θ 6* 6*

dan

16 Φ
=− (21)
Φ 6+

Persamaan (21) adalah persamaan diferensial orde dua dengan akar-akar


berlainan. Solusinya diberikan oleh

Φ(+) = I !7J
+K !7J
(22)

dengan mengijinkan dapat bernilai negatif maupun positif maka solusi hanya
diambil bagian pangkat positifnya. Selain itu, konstanta K kita biarkan diserap
oleh fungsi Θ(*). Dengan demikian, persamaan (22) menjadi

Φ(+) = !7J
(23)

N
M
y

x
Gambar 1. Koordinat Bola

Perhatikan Gambar 1. Jika sudut + ditambahkan 2L maka akan kembali ke titik


semula, sehingga berlaku

Φ(+ + 2L) = Φ(+) (24)


Dari persamaan (23) diperoleh

Φ(+ + 2L) = !7(JO P)


(25)

sehingga persamaan (24) menjadi


!7(JO P)
= !7J

!7J P!7
= !7J

P!7
=1

maka dapat dipenuhi dengan

= 0, ±1, ±2, …. (26)

disebut dengan bilangan kuantum magnetik.

Kemudian untuk mencari solusi persamaan (20), kita nyatakan dalam bentuk lain

sin * 6 6Θ
&( ) * ' + =(= + 1) sin * = (20)
Θ 6* 6*

6 6Θ
sin * &( ) * ' + T=(= + 1) sin * − UΘ=0 (27)
6* 6*

Persamaan (27) merupakan Persamaan Diferensial Legendre Terasosiasi, dan


solusinya diberikan oleh

Θ(*) = IVW7 (cos *) (28)

dengan VW7 (cos *) adalah Fungsi Legendre Terasosiasi, yang didefinisikan oleh

6
|7|
VW7 (Z) ≡ (1 − Z ) |7|/
& ' VW (Z) (29)
6Z

dan VW (Z) merupakan polinomial Legendre ke l, dan didefinisikan oleh Formula


Rodrigues, yaitu

1 6 W
VW (Z) ≡ W & ' (Z − 1)W (30)
2 =! 6Z
Dari persamaan (30) tampak bahwa = haruslah bilangan bulat positif sedangkan
dari persamaan (29) tampak bahwa jika | | > = maka VW7 = 0. Dengan demikian,
didapatkan

= = 0, 1, 2, 3, ….

= 0, ±1, … , ±=

dengan = disebut sebagai bilangan kuantum orbital

Solusi dari persamaan anguler diperoleh

2(*, +) ≡ Θ(*)Φ(+)

2W,7 (*, +) = I !7J 7 (cos


VW *)

Solusi ternormalisasi persamaan angularnya disebut juga dengan harmonik bola


(spherical harmonics), yaitu

(2= + 1) (= − | |)!
2W,7 (*, +) = ^ _ !7J 7 (cos
VW *)
4L (= + | |)!

dengan ^ = (−1)7 untuk ≥ 0, 6d) ^ = 1 untuk < 0. Solusi ini bersifat


ortogonal. Berikut ini diberikan tabel beberapa harmonik bola

1 :/ 15 :/
fgg =& ' f =&
O:
' ( ) θ O!J
4L 32L
f:g = hjPk
i :/
cos * 7 :/
fi = &
g
' (5 m( θ − 3 cos *)
16L
3 :/
f:±: = ∓ & ' sin * ±!J 21 :/
8L fi±: = & ' sin * (5 m( θ−1) ±!J
: 64L
5 105 :/
f =&
g
' (3 m( * − 1) fi = &
O
' ( ) θ cos * O !J
16L 32L
15 :/ 35 :/
f ±: = ∓ & ' sin * cos * ±!J
fi = ∓ &
±i
' ( )i θ ±i!J
8L 64L
Persamaan Radial

Selanjutnya kita memecahkan persamaan radial, yaitu persamaan (14).

1 6 61 2 %
&% '− ( − ) = =(= + 1) (14)
1 6% 6% ℏ

6 61 2 %
&% '− ( − )1 = =(= + 1)1 (31)
6% 6% ℏ

p(8)
Dengan mendefinisikan n(%) ≡ %1(%) → 1(%) =
8
maka

61 6 n
= h k
6% 6% %

61 6n 1
= D% − nH (32)
6% 6% %

Mengalikan persamaan (32) dengan % didapatkan

61 6n
% =% −n (33)
6% 6%

lalu mendiferensialkan persamaan (33) terhadap % maka

6 61 6 6n
&% '= D% − nH
6% 6% 6% 6%

6 61 6n 6 n 6n
&% '= +% −
6% 6% 6% 6% 6%

6 61 6 n
&% '=% (34)
6% 6% 6%

Persamaan (34) disubstitusikan ke persamaan (31) sehingga

6 n 2 %
% − ( − )1 = =(= + 1)1
6% ℏ

6 n 2 %
% − ( − )n = =(= + 1)1 (35)
6% ℏ
ℏ9
Persamaan (35) dikalikan dengan −
78
, maka

ℏ 6 n ℏ
− + ( − )n = − =(= + 1)1
2 6% 2 %

ℏ 6 n ℏ =(= + 1)
− + n+ n= n
2 6% 2 %

ℏ 6 n ℏ =(= + 1)
− +- + .n = n (36)
2 6% 2 %

Persamaan (36) ini bentuknya mirip dengan persamaan Schrödinger tak


bergantung waktu, hanya saja ada penambahan suku pada potensialnya.
Persamaan ini tidak dapat diselesaikan lebih lanjut sebelum nilai diketahui.

2. Atom Hidrogen

Sekarang kita tinjau sistem kuantum real yang menerapkan persamaan


Schrödinger tiga dimensi dalam koordinat bola, yaitu Atom Hidrogen ( :: ). Atom
:
Hidrogen : merupakan atom yang paling sederhana, terdiri dari satu proton
bermuatan + yang terletak pada inti atom dan satu elektron bermuatan − yang
berputar mengelilingi inti. Massa inti jauh lebih besar daripada massa elektron,
yaitu sekitar 1.836 kali massa elektron. Oleh karena itu, tinjauan mengenai Atom
Hidrogen dilakukan dengan menganggap inti diam pada pusat koordinat
sementara elektron berputar mengelilinginya karena Gaya Coulomb.

Solusi dari persamaan angular untuk Atom Hidrogen sama dengan solusi
persamaan angular yang diperoleh sebelumnya. Hal ini karena potensial Atom
Hidrogen hanya bergantung pada jarak. Oleh karena itu, kita hanya tinggal
memecahkan persamaan radial saja. Energi Potensial ( ) Atom Hidrogen
diberikan oleh

%
1
(%) = − +
4Lqg %

Atom Hidrogen
Persamaan radial untuk Atom Hidrogen menjadi

ℏ 6 n 1 ℏ =(= + 1)
− + -− + .n = n (37)
2 6% 4Lqg % 2 %

ℏ 6 n 1 ℏ =(= + 1)
− + -− + .n = n (38)
2 6% 4Lqg % 2 %

Kita definisikan suatu konstanta r yang bernilai real positif untuk keadaan terikat
( < 0)

−2
r ≡

Maka persamaan (38) menjadi

1 6 n 1 1 =(= + 1)
+- − .n = n (38)
r 6% 2Lqg ℏ r r% r %

1 6 n 1 =(= + 1)
= -1 − + .n (39)
r 6% 2Lqg ℏ r r% (r%)

Lalu didefinisikan lagi suatu besaran s dan sg , dengan

7t 9
s ≡ r% dan sg ≡ Puv ℏ9 w

maka 6s = r6% dan 6s = r 6% , sehingga persamaan (39) menjadi

6 n sg =(= + 1)
= -1 − + .n (40)
6s s s

Solusi dari persamaan ini diperoleh dengan mencari solusi-solusi pada daerah
ekstrim, yaitu pada s → ∞ dan pada s → 0 jika s → ∞ maka suku dalam tanda
kurung siku mendekati satu

6 n
=n (41)
6s

Persamaan (41) adalah persamaan diferensial orde dua, solusinya


n(s) = I y
+K y
(42)

Oleh karena pada saat s → ∞ suku K y


menjadi tak berhingga maka K haruslah
nol. Jadi, solusi untuk s besar adalah

n(s)~I y
(43)

W(WO:)
Jika s → 0 maka suku
y9
menjadi dominan, persamaan (40) mendekati

6 n =(= + 1)
= n (44)
6s s

Solusi persamaan (44) adalah

n(s) = {sWO: + |s W
(45)

Namun suku |s W
menjadi tak berhingga jika s → 0 sehingga solusi yang
memenuhi adalah

n(s)~{sWO: (46)

Dengan diperolehnya solusi-solusi pada daerah ekstrim, maka solusi umum dari
persamaan (40) dimisalkan merupakan hasil perkalian dari solusi-solusi pada
daerah ekstrim dan suatu fungsi yang bergantung pada s, yaitu }(s)
n(s) = sWO: y
}(s) (47)

Melalui hasil ini, persamaan radial sebelumnya, yaitu persamaan (40) kita
nyatakan dalam fungsi }(s). Untuk itu, diferensialkan n(s) terhadap s maka
diperoleh hasil

6n 6(sWO: y
) 6}
= } + (sWO: y)
6s 6s 6s

6n 6}
= T(l + 1)sW y
− sWO: yU
} + (sWO: y)
6s 6s

6n 6}
= sW y
D(= + 1 − s)} + s H (48)
6s 6s
Mendiferensialkan sekali lagi n(s) terhadap s

6 n 6(sW y ) 6} 6 6}
= D(= + 1 − s)} + s H + sW y
D(= + 1 − s)} + s H
6s 6s 6s 6s 6s

6 n 6} 6} 6} 6 }
= T=sW : y
− sW yU
D(= + 1 − s)} + s H + sW y
•−} + D(= + 1 − s) H+ +s €
6s 6s 6s 6s 6s

6 n 6} 6} 6} 6} 6 }
= sW y
•=s :
D(= + 1 − s)} + s H − (= + 1 − s)} − s − } + (= + 1 − s) + +s €
6s 6s 6s 6s 6s 6s

6 n =(= + 1) 6} 6} 6} 6} 6 }
= sW y
• } − =} + = − (= + 1 − s)} − s − } + (= + 1 − s) + +s €
6s s 6s 6s 6s 6s 6s

6 n = (= + 1) 6} 6 }
= sW y
•-−2= − 2 + s + . } + 2(= + 1 − s) +s € (49)
6s s 6s 6s

Persamaan (47) dan persamaan (49) lalu disubstitusikan ke persamaan (40)

6 n sg =(= + 1)
= -1 − + .n (40)
6s s s

= (= + 1) 6} 6 } sg =(= + 1) WO:
sW y
•-−2= − 2 + s + . } + 2(= + 1 − s) +s € = -1 − + .s y
}
s 6s 6s s s

= (= + 1) 6} 6 } sg =(= + 1) W
sW y
•-−2= − 2 + s + . } + 2(= + 1 − s) +s € = -1 − + .s y
s}
s 6s 6s s s

= (= + 1) 6} 6 } sg =(= + 1)
-−2= − 2 + s + . } + 2(= + 1 − s) +s = -1 − + . s }(s)
s 6s 6s s s

= (= + 1) =(= + 1) 6} 6 n
-−2= − 2 + s + . } − -s − sg + . } + 2(= + 1 − s) +s =0
s s 6s 6s

6 } 6}
s + 2(= + 1 − s) + Tsg − 2(= + 2)U} = 0 (50)
6s 6s

Persamaan ini adalah persamaan radial dalam fungsi }(s). Solusi dari persamaan
ini diasumsikan dapat dinyatakan dalam bentuk deret pangkat yaitu

}(s) = d• s• (51)
•ƒg
Tugas selanjutnya adalah menentukan koefisien dari deret ini, yaitu dg , d: , d ,
dst. Untuk mendapat koefisien-koefisien tersebut, pertama kita menentukan
turunan pertama }(s) terhadap s kemudian menentukan turunan keduanya.

6}
= „d• s• :
(52)
6s
•ƒg

6}
= („ + 1)d•O: s•
6s
•ƒ :

6}
= („ + 1)d•O: s•
6s
•ƒg

6 }
= „(„ + 1)d• +1s• :
(53)
6s
•ƒg

Mensubstitusikan persamaan (51), persamaan (52), dan persamaan (53) ke


persamaan (50) maka diperoleh
‚ ‚ ‚

„(„ + 1)d…O: s + 2(= + 1)



(„ + 1)d…O: s − 2

„d… s•
•ƒg •ƒg •ƒg

+ Tsg − 2(= + 1)U d… s • = 0 (54)


•ƒg

Dari persamaan (54), penjumlahan koefisien-koefisien deret pangkat, diperoleh

„(„ + 1)d•O: + 2(= + 1)(„ + 1)d•O: − 2„d• + Tsg − 2(= + 1)Ud• = 0 (55)

(„ + 1)(„ + 2= + 2)d•O: = (2(„ + = + 1) − sg )d• (56)

(•OWO:) yv
d•O: = † (•O:)(•O WO )
‡ d• (57)

Persamaan rekursi inilah yang di gunakan untuk menentukan koefisien-koefisien


dari deret pangkat }(s). Misalkan dg = I, dan untuk j besar (j besar bersesuaian
dengan ρ besar) maka suku dengan pangkat besar mendominasi deret), jadi dari
persamaan (57) didapatkan
2„ 2
d•O: ≅ d• = d (58)
„(„ + 1) „+1 •

dan

2•
d• ≅ I (59)
„!

dengan hasil pada persamaan (59) maka persamaan (51) menjadi


‚ Š
}(s) = A s• = I y
(60)
•ƒg •!

dan dengan hasil ini maka persamaan (47) menjadi


n(s) = {g sWO: y
(61)
Perhatikan dengan seksama hasil ini! Hasil ini menjadi tak berhingga untuk s
besar maka satu-satunya jalan adalah dengan menganggap koefisien d• memiliki
nilai maksimum, yaitu d•‹Œ• dan koefisien yang lebih tinggi darinya bernilai nol

d•‹Œ• O: = 0 (62)

dari persamaan (57) didapatkan

2(„7Ž• + = + 1) − sg = 0 (63)

definisikan bilangan baru

) ≡ „7Ž• + = + 1 (64)

sehingga didapatkan

sg = 2) (65)

Dengan diperolehnya hubungan ini maka kita dapat menentukan tingkat-tingkat


energi yang dimiliki oleh elektron dalam Atom Hidrogen. Dari definisi r dan sg
sebelumnya

−2
r ≡

sg ≡
2Lqg ℏ r

maka didapatkan
j
= − (66)
8L qg ℏ sg

dengan mensubstitusikan persamaan (65) ke persamaan (66) maka persamaan


energi menjadi

1
= −• ‘ ’ “ = (67)
:
2ℏ 4Lqg ) )

dengan =− ‘ ’ (68)
:
2ℏ 4Lqg

) disebut dengan bilangan kuantum utama. Ini adalah Formula Bohr yang
terkenal itu

Kemudian dari definisi r dan sg dan persamaan (65) juga diperoleh

1 1
r=‘ ’ = (69)
4Lqg ћ ) d)

dengan

4Lqg ћ
d≡ = 0,529 × 10 :g
(70)

d disebut sebagai jari-jari Bohr.

Selanjutnya solusi untuk 1(%) belum kita dapatkan, untuk itu dari persamaan (69)
dan definisi s ≡ r% sebelumnya, maka diperoleh hubungan
%
s≡
d)
maka diperoleh
1 WO:
1 W (%) = s y
}(s)
%

Fungsi gelombang untuk hidrogen diberi label oleh tiga bilangan kuantum (n, l,
dan m)
™ W7 (%, *, +) = 1 W (%)2W7 (*, +)

dengan
1 W (%) =
:
8
sWO: y
}(s)

dan }(s) adalah polinomial dengan pangkat jmax = n – l – 1 dalam s , yang


koefisien ditentukan (hingga faktor normalisasi keseluruhan) dengan rumus
rekursi

Akhirnya Fungsi gelombang ternormalisasi Atom Hidrogen adalah

2 i () − = − 1)! 8 2% W 2% 7
™ _
= & ' Ž & ' š W :&
WO:
' 2 (*, +)
W7
)d 2)T() + 1)!Ui )d )d W

dengan

š WO:
W : adalah Polinomial Laguerre Terasosiasi

dan untuk sembarang ), nilai = yang mungkin didapatkan

= = 0,1,2, … , ) − 1

3. Spektrum Hidrogen

Jika atom hidrogen berada pada keadaan stasioner, maka atom tersebut akan
berada disana selamanya. Namun, jika ada gangguan, misalnya oleh tumbukan
dengan atom lain atau mengalami penyinaran, maka atom hidrogen dapat
mengalami transisi dari satu keadaan stasioner ke keadaan stasioner yang lain.
Pada kenyataannya, gangguan tersebut selalu hadir sehingga transisi (kadang
disebut dengan lompatan kuantum) terjadi terus-menerus. Hasilnya, atom
hidrogen mengeluarkan cahaya yang energinya sesuai dengan perbedaan energi
antara awal dan akhir
1 1
= − =− ‘ ’ ‘ − ’
› ! œ
2ℏ 4Lqg )! )œ

Sementara itu, menurut postulat Planck, energi foton sebanding dengan


frekuensinya
› = ℎ}
dan hubungan panjang gelombang ž dengan frekuensi } diberikan ž = /},
sehingga
2
: : :
= 1& 9 − 9 ' dengan 1 ≡ h4Lℇ k = 1,097 × 107
2
−1
Ÿ ¡ 4L ћ3 0

R dikenal sebagai konstanta Rydberg, dan Persamaan terakhir ini adalah rumus
Rydberg untuk spektrum atom hidrogen yang ditemukan secara empiris pada abad
19. Keunggulan terbesar dari teori atom Bohr adalah kemampuannya dalam
menjelaskan hasil ini dan menghitung R. Spektrum radiasi hidrogen hasil
transisinya menghasilkan deret-deret spektrum, yaitu deret Lyman, deret Balmer,
deret Paschen, deret Bracket, dan deret Pfun.

Anda mungkin juga menyukai