Anda di halaman 1dari 39

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


1. Definisi dan Klasifikasi

Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada


hipertensi secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP
(National High Blood Pressure Education Working Group Report on High
Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri karena pada
kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi
tekanan darah.

Tabel 1.1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak


Hamil
Klasifikasi JNC 7 (Tidak Hamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)
Normal: Normal/acceptable pada kehamilan
TDS ≤ 120 mmHg TDS < 140 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD < 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1: Hipertensi Ringan:
TDS ≤ 120 mmHg TDS 140 -150 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2 Hipertensi Berat
TDS 160 - 179 mmHg TDS ≥ 160 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg TDD ≥ 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg

1
Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Disadur
dari Report on the National High Blood Pressure Education Program
Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183 :
S1, July 2000), hipertensi dalam kehamilan meliputi:
a. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya
pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah
kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan
separuhnya berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya
proteinuri. Diagnosis pasti sering dibuat di belakang, Jika tes
laboratorium tetap normal dan tekanan darah menurun pasca
melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi gestational
(sebelumnya disebut transcient hypertension). Wanita dengan
hipertensi gestational harus dianggap beresiko terjadinya preeklamsia,
yang dapat berkembangkan setiap saat, termasuk minggu pertama pasca
melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perempuan awalnya didiagnosis
dengan hipertensi gestational akan mengembangkan preeklamsia, dan
kemungkinan lebih besar pada pasien yang memiliki riwayat
preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi kehamilan
sebelumnya (Davis et.al, 2007).
b. Preeklamsia
Preeklampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis
seperti new-onset hypertension pada saat kehamilan (setelah usia
kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya mendekati hari perkiraan lahir),
berhubungan dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg dalam 24 jam
urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan.
Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk
menyembuhkan atau memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat
berkembangkan secara tiba-tiba pada wanita muda, pada wanita yang
sebelumnya normotensive, sehingga perlu pencegahan gangguan

2
kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi dari berat dan
cepat peningkatan tekanan darah, hal ini adalah tujuan utama
manajemen klinis yang membutuhkan kebijaksanaan penggunaan obat
antihipertensi (Levine et.al, 2004).
c. Eklamsia
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak
dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsia. Konvulsi
terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsia,
terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah
postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus
antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang
lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di
luar 48 jam postpartum (Cunningham, 2005).
d. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsia
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang
sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul
setelah kehamilan 20 minggu.
e. Hipertensi kronis (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum
kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang
setelah 12 minggu pasca persalinan. Wanita usia subur dengan
hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki kerusakan organ target
dan dalam kondisi kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik
dalam kehamilan. Walaupun terdapat peningkatan resiko terjadi
superimposed preeclampsia, akan tetapi secara fisiologi akan terjadi
penurunan tekanan darah selama kehamilan dan penurunan kebutuhan
terhadap agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya adalah
mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal
(Abalos et.al, 2007).

3
Kadang-kadang, wanita dengan hipertensi kehamilan akan tetap
hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar
memiliki hipertensi kronis yang sudah ada sebelumnya, yang
tertutup/tak tampak di awal kehamilan oleh karena respon fisiologis
dari kehamilan yakni vasodilatasi. Kejadian hipertensi pada periode
pasca melahirkan dan waktu maksimum untuk normalisasi tekanan
darah belum diketahui. Pada umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg
menetap lebih dari 3 bulan pasca melahirkan didignosis sebagai
hipertensi kronis.

2. Diagnosis
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan
hati yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien
hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk
memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi
gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui
keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau
jumlah ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk
mengetahui fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum
menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya
dipakai sebagai tanda beratnya pre eklampsia. Pemeriksaan EKG
diperlukan pada hipertensi kronis. Seperti juga pada kehamilan tanpa
hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan kultur urin
(Suhardjono, 2007).
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya
peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar
pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut. Tekanan darah
sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung.
Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi

4
berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran
yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk
duduk tenang 5-10 menit (Gibson dan Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat
140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk
menentukan tekanan darah diastolik. Dahulu telah dianjurkan agar
peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg
digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat
diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi
dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak
memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat
kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada
trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan
kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem
telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga
banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap
patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai.
Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi
maupun eklamsi (Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The
Associety of Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30
number 3, March 2008) adalah: 1. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan primer, 2.
Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolik >90
mmHg, didapatkan pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang
sama, 3. Wanita dengan sistolik >140 mmHg harus dipantau untuk
mengawasi adanya perkembangan ke arah hipertensi diastolil, 4.
Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
atau tekanan darah diastolic ≥110mHg, 5. Untuk hipertensi tidak berat,
pemeriksaan tekanan darah serial harus dicatat sebelum menegakkan

5
diagnosis hipertensi, 6. Pada hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan
ulang dilakukan setelah 15 menit.
a. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
1) TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
2) Tidak ada proteinuria.
3) TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
4) Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
5) Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya
nyeri epigastrium atau trombositopenia (Cunningham, 2005).
b. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
1) TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
2) Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklampsia:
1) TD 160/110 mmHg.
2) Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
3) Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
4) Trombosit <100.000/mm3.
5) Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
6) Peningkatan ALT atau AST.
7) Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral
lain.
8) Nyeri epigastrium persisten (Cunningham, 2005).
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 1.2. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan

6
dan berat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam
mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan
penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan.
Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria
+3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan
kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg
tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan
diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang
persisten atau gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah
yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya
riwayat epilepsy dan bukan merupakan proses intracranial. Keadaan ini
dikenal sebagai keadaan eklamsia.

Tabel 1.2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham,


2005)
< 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Abnormalitas
Tekanan darah Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
diastolik
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut Tidak ada Ada
bagian atas
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan Minimal Nyata

7
enzim hati
Hambatan Tidak ada Nyata
pertumbuhan
janin
Oedem paru Tidak ada Ada

c. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
1) Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang
belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.
2) Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu (Brooks, 2005).
d. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
1) Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
2) Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu,
kecuali bila ada penyakit trofoblastik.
3) Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Selain itu, pada hipertensi kronis sering ditemukan ciri-ciri
sebagai berikut :
1) Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
2) Tekanan darah sangat tinggi
3) Umumnya multipara
4) Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal dan diabetes mellitus
5) Obesitas
6) Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan
7) Hipertensi yang menetap pasca persalinan.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi
wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan.
Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan

8
usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah
yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin
merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.
Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular
pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah
sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang
sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari,
seperti:
1) Obesitas
2) Hipertensi esensial
3) Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
4) Gangguan-gangguan endokrin : Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
5) Glomerulonephritis (akut dan kronis)
6) Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
7) Penyakit jaringan konektif : Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
8) Penyakit ginjal polikistik
9) Gagal ginjal

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah


dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24
minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang
mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi

9
kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada
preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan
sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin.

3. Dampak hipertensi kronis pada kehamilan


a. Dampak Pada Ibu
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya,
dan hipertensi dapat terkendali, maka hipertensi kronis tidak
berpengaruh buruk pada kehamilan, meski tetap mempunyai risiko
terjadinya solusio plasenta ataupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronis yang diperberat oleh kehamilan akan memberi
tanda (a) kenaikan mendadak tekanan darah, yang akhirnya disusul
proteinuria dan (b) tekanan darah sistolik >200 mmHg diastolik >130
mmHg, dengan akibat segera terjadi oliguria dan gangguan ginjal.
Pernyulit hipertensi kronis pada kehamilan ialah (a) solusio
plasenta : risiko terjadinya solusio plasenta 2-3 kali pada hipertensi
kronis dan (b) superimposed preeklampsia (Saifuddin, 2010).
b. Dampak Pada Janin
Dampak hipertensi kronis pada janin ialah pertumbuhan janin
terhambat atau fetal growth restriction, intra uterine growth restriction
(IUGR). Insiden fetal growth restriction berbanding langsung dengan
derajat hipertensi yang disebabkan menurunnya perfusi uteroplasenta,
sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta. Dampak lain pada janin
ialah peningkatan persalinan preterm (Saifuddin, 2010).

4. Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan


Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi
esensial. Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini
adalah secara primer berhubungan dengan terjadinya preeklamsi
superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap
penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta
tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien

10
pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur
ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah >
160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes mellitus, kardiomiopati,
dan penyakit ginjal atau autoimun.
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap,
termasuk funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan
meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk
mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan
elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG,
rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan
katekolamin urine.
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk
komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi
perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis
meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah
biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah
di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan
aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa
aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko
preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan
pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil
bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam
sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28
minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap
kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan
tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan
dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran
hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi
protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk,
terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat.

11
Peningkatan asam urat >6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal
preeklamsi superimposed.
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita
hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa
klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika
menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah
di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan
terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap
45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat
anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan
menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah
rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa
Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat
anti hipertensi, dan lamanya terapi.
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target
organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi
untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus
dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi
harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik
atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah
pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa
pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat
tekanan darah mencapai  180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif
pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting,
mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal
yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling
buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi,
wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi
dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada
awal kehamilan (Habli dan Sibai, 2008).

12
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum
kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap
janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil
dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap
menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang
baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah
terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan
perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif
garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi
kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit
kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat
lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat
kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti
nifedipin atau labetalol dapat digunakan.
Tabel 1.3. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis
dalam kehamilan (Reynold, 2003)
Obat (risiko FDA) Dosis Keterangan
Agen yang umum 0.5- 3.0 gram/hari Pilihan obat berdasar NHBEP,
diberikan: tercatat aman pada trimester awal
Methyldopa
Lini kedua
Labetalol 200-1200 mg/hari Dapat dikaitkan dengan fetal
growth restriction
Nifedipin 30-120 mg/hari Dapat menghambat persalinan
dengan preparat dan memiliki efek sinergis dengan
lepas lambat MgSO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mg/hari Dapat digunakan bersama agen
dibagi dalam 2-4 simpatolitik, dapat menyebabkan
dosis pemberian trombositopenia neonates

13
Β-Blocker Tergantung pada Menurunkan tekanan darah
agen yang dipilih uretroplasenta, menyebabkan
stress hipoksia janin, resiko
growth restriction pada trimester
I-II (atenolol), dosis terlalu tinggi
menyebabkan hipoglikemi
neonates
Hidrochlortiazid 12.5 – 25 mg/hari Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator untuk
mengurangi retensi cairan.
Kontraindikasi Menyebabkan fetal death,
ACE-inhibitor dan gangguan jantung, fetophaty,
ARB tipe I oligohidramnion, growth
restriction, renal agenesis dan
neonatal anuric renal failure

Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester


pertama. Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa
komplikasi dan saat tekanan diastolic ≥100mmHg. Tatalaksana dengan
dosis yang lebih rendah diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus,
gagal ginjal, atau kerusakan organ target.

5. Evaluasi Pada Janin


Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau
kronis, perlu dilakukan Non stress test dan pemeriksaan ultrasonografi bila
curiga terjadinya fetal growth restriction atau terjadi superimposed
preeklampsia.

6. Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronis


Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah
dan perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali,

14
perjalanan kehamilan normal, pertumbuhan janin normal, dan volume
amnion normal, maka dapat diteruskan sampai aterm.
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka
segera diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur
kehamilan. Secara umum persalinan diarahkan pervaginam, termasuk
hipertensi dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronis yang
tambah berat.

7. Perawatan pasca persalinan


Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema
serebri, edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam pasca
persalinan. Setelah persalinan: 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer
meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left
ventricular work load). Bersamaan dengan itu akumulasi cairan interstitial
masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi lebih cepat dengan atau tanpa
diuretik. Banyak perempuan dengan hipertensi kronis dan superimposed
preeklampsia, mengalami penciutan volume darah (hipovolemia). Bila
terjadi perdarahan pascapersalinan, sangat berbahaya bila diberi cairan
kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah mengalami
vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian
transfusi darah.

8. Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan
tanda-tanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan
preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah
seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan
pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan
istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti
berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari
dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan

15
rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan
merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi
merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang
baik.

B. KEHAMILAN RISIKO TINGGI


1. Definisi
Merupakan suatu kehamilan yang memiliki risiko lebih besar dari biasanya
(baik bagi ibu maupun janin), akan terjadinya penyakit atau kecacatan atau
kematian sebelum maupun sesudah persalinan.

2. Faktor Risiko
a. Penyakit yang menyertai kehamilan
1) Penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah dan ginjal
misalnya darah tinggi, rendahnya kadar protein dalam darah dan
tingginya kadar protein dalam urin.
2) Inkompatibilitas darah atau ketidaksesuaian golongan darah
misalnya pada janin dan ibu yang dapat menyebabkan bahaya baik
bagi janin maupun ibu seperti ketidaksesuaian resus.
3) Endokrinopati atau kelainan endokrin seperti penyakit gula
4) Kardiopati atau kelainan jantung pada ibu yang tidak
memungkinkan atau membahayakan bagi ibu jika hamil dan
melahirkan.
5) Haematopati atau kelainan darah, misalnya adanya gangguan
pembekuan darah yang memungkinkan terjadinya perdarahan yang
lama yang dapat mengancam jiwa.
6) Infeksi, misalnya infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubella,
Citomegalo virus dan Herpes simpleks), dapat membahayakan ibu
dan janin.

16
b. Penyulit kehamilan
1) Partus prematurus atau melahirkan sebelum waktunya yaitu kurang
dari 37 minggu usia kehamilan. Hal ini merupakan sebab kematian
neonatal yang terpenting.
2) Perdarahan dalam kehamilan, baik perdarahan pada hamil muda
yang disebabkan oleh abortus atau keguguran, kehamilan ektopik
atau kehamilan diluar kandungan dan hamil mola, maupun
perdarahan pada triwulan terakhir kehamilan yang disebabkan oleh
plasenta previa atau plasenta (ari-ari) yang berimplantasi atau
melekat tidak normal dalam kandungan dan solutio plasenta atau
pelepasan plasenta sebelum waktunya.
3) Ketidaksesuaian antara besarnya rahim dan tuanya kehamilan,
misalnya hidramnion atau cairan ketuban yang banyak, gemelli
atau kehamilan kembar dan gangguan pertumbuhan janin dalam
kandungan.
4) Kehamilan serotin atau kehamilan lewat waktu yaitu usia
kehamilan lebih dari 42 minggu.
5) Kelainan uterus atau kandungan, misalnya bekas seksio sesarea dan
lain-lain
c. Riwayat obstetris yang buruk
1) Kematian anak pada persalinan yang lalu atau anak lahir dengan
kelainan congenital (cacat bawaan)
2) Satu atau beberapa kali mengalami partus prematurus atau
melahirkan belum pada waktunya.
3) Abortus habitualis atau keguguran yang terjadi berulang kali dan
berturut-turut terjadi, sekurang-kurangnya 3 kali berturut-turut.
4) Infertilitas tidak disengaja lebih dari 5 tahun yaitu tidak
merencanakan untuk menunda kehamilan dengan cara apapun, tapi
selama 5 tahun tidak hamil.
d. Keadaan ibu secara umum
1) Umur ibu, kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

17
2) Paritas atau banyaknya melahirkan, berisiko tinggi pada ibu yang
sudah melahirkan lebih dari 4 orang anak.
3) Berat badan ibu, yaitu ibu yang terlalu kurus atau ibu yang terlalu
gemuk.
4) Tinggi badan ibu, yaitu tinggi badan kurang dari 145 cm.
5) Bentuk panggul ibu yang tidak normal.
6) Jarak antara dua kehamilan yang terlalu berdekatan yaitu kurang
dari 2 tahun.
7) Ibu yang tidak menikah, berhubungan dengan kondisi psikologis
8) Keadaan sosio ekonomi yang rendah
9) Ketagihan alkohol, tembakau dan morfin.

3. Komplikasi
Bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kehamilan risiko tinggi bisa
terjadi pada janin maupun pada ibu. Antara lain:
a. Bayi
1) Bayi lahir belum cukup bulan
2) Bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR)
3) Janin mati dalam kandungan.
b. Ibu
1) Keguguran (abortus)
2) Persalinan tidak lancar / macet
3) Perdarahan sebelum dan sesudah persalinan
4) Ibu hamil / bersalin meninggal dunia
5) Keracunan kehamilan/kejang-kejang

4. Penanganan
Penanganan terhadap pasien dengan kehamilan risiko tinggi
berbeda-beda tergantung dari penyakit apa yang sudah di derita
sebelumnya dan efek samping penyakit yang dijumpai nanti pada saat
kehamilan. Tes penunjang sangat diharapkan dapat membantu perbaikan
dari pengobatan atau dari pemeriksaan tambahan.

18
Kehamilan dengan risiko tinggi harus ditangani oleh ahli
kebidanan yang harus melakukan pengawasan yang intensif, misalnya
dengan mengatur frekuensi pemeriksaan prenatal. Konsultasi diperlukan
dengan ahli kedokteran lainnya terutama ahli penyakit dalam dan ahli
kesehatan anak. Pengelolaan kasus merupakan hasil kerja tim antara
berbagai ahli. Keputusan untuk melakukan pengakhiran kehamilan perlu
dipertimbangkan oleh tim tersebut dan juga dipilih apakah perlu di
lakukan induksi persalinan atau tidak.

5. Pencegahan
Pendekatan risiko pada ibu hamil merupakan strategi operasional
dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan kesakitan atau kematian
melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi dengan memberikan
pelayanan yang lebih intensif kepada risiko ibu hamil dengan cepat serta
tepat, agar keadaan gawat ibu maupun gawat janin dapat dicegah. Untuk
itu diperlukan skrining sebagai komponen penting dalam perawatan
kehamilan untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko pada ibu hamil
tersebut (Wiknjosastro,1999).
Pengenalan adanya Resiko Tinggi Ibu Hamil dilakukan melalui
skrining/deteksi dini adanya faktor resiko secara pro/aktif pada semua ibu
hamil, sedini mungkin pada awal kehamilan oleh petugas kesehatan atau
nonkesehatan yang terlatih di masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, Kader
Karang Taruna, ibu hamil sendiri, suami atau keluarga.
Setiap kontak pada saat melakukan skrining dibicarakan dengan ibu
hamil, suami, keluarga tentang tempat dan penolong untuk persalinan
aman. Pengambilan keputusan dapat dilakukan dalam keluarga untuk
persiapan mental dan perencanaan untuk biaya, transportasi telah mulai
dolakukan jauh sebelum persalinan menuju kepatuhan untuk Rujukan Dini
Berencana/ Rujukan In Utero dan Rujukan Tepat Waktu.

19
Mengingat sebagian besar kematian ibu sesungguhnya dapat
dicegah, maka diupayakan untuk mencegah 4 terlambat yang meyebabkan
kematian ibu, yaitu :
a. Mencegah terlambat mengenali tanda bahaya resiko tinggi
b. Mencegah terlambat mengambil keputusan dalam keluarga
c. Mencegah terlambat memperoleh transportasi dalam rujukan
d. Mencegah terlambat memperoleh penanganan gawat darurat secara
memadai

20
BAB II
UPAYA PENDEKATAN KELUARGA

TAHAP I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Tn. T


Alamat Lengkap : Cabean RT 08 RW 06 Demak
Bentuk Keluarga : Nuclear Family

Tabel 2.1. Daftar Anggota Keluarga


L/ Umur Pendidikan
No Nama Status Pekerjaan Pasien Ket.
P (Tahun) Terakhir
Supir
1. Tn. T KK L 45 th SD Tidak -
angkut
G3P2A0
hamil 25
Ibu
minggu
2. Ny. S Istri P 41 th SD Rumah Tidak
dengan
Tangga
hipertensi
kronis
3. Sdr. L Anak L 23 th SMP Karyawan Tidak -
4. Sdri. P Anak P 14 th SD pelajar Tidak -

Kesimpulan tahap I :
Di dalam keluarga Tn. T yang berbentuk Nuclear Family didapatkan
pasien atas nama Ny. S yang merupakan istri dari Tn. T, usia 41 tahun dengan
hipertensi kronis pada multigravida hamil preterm.

21
TAHAP II
STATUS PASIEN

1. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Cabean 8/6 Demak
Status : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 4 Agustus 2017

2. Keluhan Utama
Kepala pusing.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang wanita G3P2A0 hamil 25 minggu datang ke Puskesmas Demak
III dengan keluhan kepala terasa pusing, terutama di sekitar tengkuk. Keluhan
ini dirasakan +/- sejak 1 minggu. Pasien merasa hamil 6 bulan, kenceng-
kenceng belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, gerak janin
masih dirasakan, dan tidak ditemukan keluar lendir darah. Pasien tidak
merasakan sakit kepala yang terpusat di dahi, tidak merasakan pandangan
kabur, tidak merasakan nyeri pada ulu hati. Pasien juga tidak merasakan mual
dan muntah.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sesak nafas : Disangkal
 Riwayat Hipertensi : (+) sejak sebelum hamil
 Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal

22
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi : (+) alergi obat, pasien lupa
nama obat
 Riwayat Minum Obat Selama Hamil : Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Hipertensi : (+) ibu dan adik pasien
 Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
6. Riwayat Fertilitas
Baik
7. Riwayat Obstetri
I : laki-laki, usia 23 tahun, lahir spontan BBL 3500 gram dibantu dukun
bayi
II : perempuan, usia 14 tahun, lahir spontan BBL 3000 gram dibantu
dukun bayi
III : hamil sekarang
8. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Pasien pertama kali periksa kehamilan di usia kehamilan 5 bulan. Pasien
teratur kontrol setiap 2 minggu.
9. Riwayat Haid
- Menarche : 12 tahun
- Lama menstruasi : 5 hari
- Siklus menstruasi : tidak teratur
10. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, dengan usia pernikahan 24 tahun.
11. Riwayat Keluarga Berencana
Pasien rutin meminum pil KB sejak setelah kelahiran anak kedua.

23
12. Riwayat Kebiasaan
Pasien istirahat cukup setiap harinya sekitar 6-8 jam sehari. Pasien
biasanya mandi 2 kali sehari, makan 3x sehari.
13. Riwayat Gizi
Pasien makan teratur 3 kali sehari, makan sepiring nasi sayur dengan lauk
pauk tempe tahu, sayur, ikan, kadang diimbangi dengan konsumsi buah-
buahan.
14. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga berusia 41 tahun yang tinggal
dengan suami dan kedua anaknya. Suami pasien adalah seorang supir angkut.
Untuk biaya hidup sehari-hari pasien ditanggung oleh suami. Untuk biaya
kesehatan pasien memiliki jaminan kesehatan berupa Jamkesmas.
15. Pemeriksaan Fisik
a. Status Interna
Keadaan Umum : Baik, CM, Gizi cukup
Tanda Vital :
Tensi : 140/100 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Respiratory Rate : 22 x/menit
Suhu : 36,6 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax : Normochest, retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkus : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

24
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada
Striae gravidarum (+)
Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar
Perkusi : Tympani pada bawah processus xiphoideus, redup pada
daerah uterus
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Genital : Lendir darah (-), air ketuban (-)
Ekstremitas : Oedema
- -

- -

Akral dingin

- -

- -

b. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, stria gravidarum (+)

25
Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra
uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung
kanan, belum masuk panggul, his (-).
Pemeriksaan Leopold
I : TFU setinggi 21 cm, teraba bagian lunak dan bulat,
kesan bokong janin
II : teraba punggung di sebelah kanan, dan bagian kecil
sebelah kiri
III : teraba 1 bagian keras kesan kepala janin
IV : Belum masuk panggul.
Auskultasi : DJJ (+) 140/ reguler
Genital eksterna : Vulva/uretra tidak ada kelainan, lendir darah (-),
peradangan (-)
Ekstremitas : Oedema
- -
- -

akral dingin
- -
- -

16. Pemeriksaan Penunjang


Hb : 12,1 mg/dl
HbsAg : negative
HIV : negative
Protein urine : negative
Glukosa urine : negative
17. Resume
Pasien G3P2A0 usia 41 tahun hamil 25 minggu datang ke Puskesmas
Demak III dengan keluhan kepala terasa pusing, terutama di sekitar tengkuk.
Keluhan ini dirasakan +/- sejak 1 minggu. Pasien merasa hamil 6 bulan, gerak

26
janin masih dirasakan, tidak didapatkan kenceng-kenceng, air kawah yang
keluar, maupun lendir darah. Pasien tidak merasakan sakit kepala yang
terpusat di dahi, pandangan kabur, nyeri pada ulu hati, maupun mual dan
muntah. Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak sebelum
kehamilan. Dalam keluarga, ibu dan adik pasien juga memiliki riwayat
tekanan darah tinggi.
Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah meningkat,
yaitu 140/100 mmHg. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan edema.
Sedangkan dari pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil protein urine
negatif.
18. Diagnosa
G3P2A0 usia 41 tahun hamil 25 minggu dengan hipertensi kronis
19. Diagnosa Banding
Hipertensi gestasional
Superimposed preeklampsia
Pre eklampsia ringan
20. Terapi
 Non medikamentosa
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pola makan dan tidur
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai olahraga
- Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit pasien
dan bahayanya
 Medikamentosa
Rujuk RSUD Sunan Kalijaga Demak
21. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

27
TAHAP III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
Keluarga Ny. S adalah nuclear family yang terdiri dari 4 orang.
Pasien berusia 41 tahun tinggal dengan suami dan kedua anaknya.
Suaminya berumur 45 tahun, anak pertama berumur 23 tahun, dan anak
kedua berumur 14 tahun.
2. Fungsi Psikologis
Pada keluarga pasien hubungan yang terjadi antar anggota keluarga
terjalin cukup baik, akrab, luwes dan tidak terjadi perselisihan, terbukti
dengan komunikasi yang hidup dan berjalan harmonis antar anggota
keluarga.
3. Fungsi Sosial
Keluarga ini merupakan keluarga yang cukup berperan dalam
kehidupan sosial walaupun pasien dan keluarganya tidak memiliki
kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat dan hanya sebagai anggota
masyarakat biasa. Tidak ada hambatan hubungan penderita dan keluarga
dengan masyarakat disekitar rumah. Suami dan kedua anak pasien cukup
berperan aktif dalam kehidupan sosial di sekitar lingkungan rumahnya.
Pasien aktif bersosialisasi dengan para tetangga di sekitar rumah pasien.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan utama keluarga inti berasal dari suami pasien sebagai
supir angkut, kira-kira sebesar Rp 800.000-1.000.000/bulan. Pasien sendiri
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pengeluaran sehari-hari untuk
pemenuhan kebutuhan makan, kelengkapan hidup, dan pengobatan pasien
dirasakan belum tercukupi. Biaya berobat menggunakan biaya Jamkesmas.
5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi
Keputusan penting untuk masalah dalam keluarga inti keluarga
dipegang oleh suami pasien. Cara menyelesaikan masalah dengan keluarga
yaitu dengan diskusi. Hubungan dengan masyarakat sekitarnya baik.

28
B. Fungsi Fisiologis
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga digunakan APGAR score.
APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya
dengan anggota keluarga yang lain.APGAR score meliputi :
Skoring : Kriteria nilai APGAR :
Hampir selalu : 2 poin  8 - 10 : baik
Kadang – kadang : 1 poin  5- 7 : sedang
Hampir tak pernah : 0 poin  1-4 : buruk

Tabel 2.2 APGAR score keluarga Ny. S

Kode APGAR Tn. Ny. Sdr. Sdri.


T S L P
A Saya dapat kembali ke keluarga bila saya 2 2 2 2
(Adaptation) mendapat masalah.
P Cara keluarga membahas dan membagi 2 1 2 2
(Partnership) masalah dengan saya.
G (Growth) Cara keluarga saya menerima dan 2 2 1 1
mendukung keinginan saya untuk
melakukan kegiatan baru atau arah hidup
yang baru.
A (affection) Cara keluarga saya mengekspresikan kasih 2 2 2 1
sayang dan merespon emosi saya seperti
marah, perhatian dll.
R (resolve) Cara keluarga saya dan saya membagi 1 2 1 2
waktu bersama.
Total (kontribusi) 9 9 8 8
Sumber: Data Primer, Agustus 2017
Rata-rata APGAR score keluarga Ny.S = 9+9+8+8= 8,5
4
Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Ny. S = Baik

29
C. Fungsi Patologis
Tabel 2.3 Fungsi Patologis SCREEM keluarga
Sumber Patologi Keterangan
Social Interaksi sosial anggota keluarga baik. Hubungan dengan -
tetangga baik. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan
seperti seperti kelompok PKK dan arisan warga.
Cultural Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik. Keluarga ini -
menggunakan budaya jawa, termasuk dalam bahasa sehari-hari.
Religion Beragama dan memiliki pemahaman terhadap ajaran agama, -
ketaatan ibadah cukup baik.
Economic Pendapatan yang sekarang dirasa kurang memenuhi kebutuhan +
sehari-hari.
Education Pendidikan keluarga Ny. S dianggap kurang karena pendidikan +
terakhir Tn. T dan Ny. S adalah SD.
Medical Kesadaran keluarga tentang pentingnya kesehatan cukup baik. -
Jika sakit akan memilih periksa kesehatan ke tenaga kesehatan
terdekat.
Sumber: Data Primer, Agustus 2017

Kesimpulan : Keluarga Ny. S memiliki 2 fungsi patologis dalam keluarga


yaitu fungsi ekonomi dan edukasi.

30
D. Genogram

Pasien

Ny. S Tn.T
(41th) (45th)

Sdr. L Sdri. P
23th 14th

Keterangan:

: Perempuan

: Laki-laki

: Meninggal

Gambar 2.1. Genogram Keluarga Ny.S

E. Pola Interaksi Keluarga

Tn. T Ny. S
45 th 41 th
Keterangan:
Hubungan
kurang

Sdr. L Sdri. P
Hubungan
23 th 14 th
baik

Gambar 2.2. Hubungan antar anggota keluarga


Sumber: Data Primer, Agustus 2017

31
Simpulan :
Hubungan antara Ny. S, dengan suami dan anaknya baik. Dalam keluarga
ini tidak sampai terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.
F. Faktor Perilaku
1. Pengetahuan
Ny.S adalah seorang anggota keluarga dengan bentuk keluarga nuclear
family. Pasien tinggal dengan suami dan kedua anaknya. Keluarganya
kurang memiliki pengetahuan akan sakit pasien, terutama mengenai bahaya
dari penyakit yang diderita pasien.
2. Sikap
Pasien belum sepenuhnya merubah pola makan sesuai dengan diit yang
dianjurkan. Pasien seringkali memberi tambahan garam ketika memasak
untuk dirinya dan keluarga. Dari segi kebiasan, pasien sudah cukup
memiliki waktu untuk beristirahat. Untuk lingkungan dan sanitasi keluarga,
rumah pasien kurang memiliki lingkungan dan sanitasi yang bersih juga
terawat. Sumber air yang digunakan pasien merupakan air PDAM. Pasien
dan keluarga membuang sampah ke tempat pembuangan sampah. Akan
tetapi, secara keseluruhan, sikap keluarga dan penderita sendiri terhadap
penyakit yang dideritanya cukup positif. Keluarga ini menyadari pentingnya
kesehatan karena apabila mereka sakit, mereka tidak dapat beraktifitas
dengan baik dan bisa menjadi beban anggota keluarga lainnya. Mereka tidak
terlalu mempercayai mitos, apalagi menyangkut masalah penyakit, mereka
lebih mempercayakan pemeriksaan atau pengobatannya pada pengobatan
medis dan komplementer.
3. Tindakan
Keluarga pasien sudah cukup menyadari pentingnya kesehatan. Mereka
lebih mempercayakan kesehatan di puskesmas atau tenaga kesehatan lain.

32
G. Faktor Non Perilaku
1. Lingkungan
a. Indoor
Pasien tinggal dirumah milik pribadi dengan kondisi yang cukup
memadai. Luas rumah pasien sekitar 70 m2. Rumah pasien terdiri atas 1
lantai. Di rumah tersebut terdapat 3 kamar tidur, ruang tamu yang
bersatu dengan ruang keluarga, dapur dan satu kamar mandi. Dinding
rumah menggunakan batu bata di bagian depan dan kayu serta seng di
bagian belakang. Lantai rumah masih berupa semen. Atap rumah
menggunakan genteng. Kamar tidur hanya diberi jendela kecil dari kayu
untuk sirkulasi udara. Secara umum kondisi dalam rumah kurang tertata
rapi dan kurang ventilasi udara serta pencahayaan.
b. Outdoor
Rumah pasien berada sekitar 500 meter dari jalan umum. Antara
rumah keluarga Ny.S dengan rumah lainnya berjarak 2 m. Pada bagian
samping kiri rumah berbatasan dengan kebun. Bagian samping kanan
rumah pasien adalah rumah tetangga dan bagian belakang rumah pasien
berbatasan dengan kebun. Tempat pembuangan sampah di bagian
kebun, sampah biasanya dikumpulkan kemudian dibakar. Penggunaan
air untuk mandi, mencuci, dan memasak dengan air PDAM. Saluran
jamban menuju septic tank di belakang rumah.
Keterangan :
G H A : Ruang Tamu
B : Ruang Keluarga
E F C : Ruang Parkir Motor
D : Kamar Tidur

D B E : Kamar Tidur
F : Kamar Tidur
C A G : Dapur
H : Kamar Mandi
Gambar 2.3 Denah rumah

33
2. Keturunan
Ditemukan adanya penyakit hipertensi yang diturunkan dari ibu pasien
ke pasien.
3. Pelayanan Kesehatan
Ketersediaan sarana kesehatan sudah cukup baik. Jarak dari rumah
penderita ke sarana kesehatan baik puskesmas pembantu, puskesmas,
maupun RS tidak terlalu jauh.
4. Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-
hari mengandalkan penghasilan suami sebagai seorang supir angkut.

H. Resume Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga


a. Fungsi holistik (biopsikososial) : baik
b. Fungsi fisiologis (APGAR Score) : baik
c. Fungsi patologis (SCREEM) : (+) pada faktor edukasi dan
ekonomi
d. Fungsi genogram keluarga : baik
e. Fungsi pola interaksi keluarga : baik
f. Fungsi perilaku keluarga : pasien dan keluarga masih
kurang mengerti sepenuhnya
tentang risiko tinggi pada
kehamilannya
g. Faktor non perilaku keluarga : rumah pasien belum
memenuhi syarat dari faktor
kebersihan dan pencahayaan

34
TAHAP IV. DIAGNOSIS HOLISTIK

1. Aspek 1 : Personal
Keluarga dan pasien kurang mengerti tentang risiko tinggi pada kehamilan
pasien. Akan tetapi, pasien tidak merasa khawatir dalam menghadapi
penyakitnya karena mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya.
2. Aspek 2: Klinis
Ny. S G3P2A0 hamil 25 minggu usia 41 tahun dengan hipertensi kronis.
3. Aspek 3: Faktor Internal
Pasien berumur 41 tahun. Pasien memiliki riwayat penyakit keluarga
berupa hipertensi.
4. Aspek 4: Faktor Eksternal
Pasien tidak memiliki hambatan dalam kegiatan bersosial. Kebiasaan
makan yang kurang memperhatikan diit rendah garam mampu meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi pada pasien.
5. Aspek 5: Derajat Fungsional
Pasien tergolong sehat, tidak membutuhkan bantuan (derajat 1)

35
DAFTAR PUSTAKA

Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007. Antihypertensive


drug therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy. http:
//hyper.ahajournals.org/content/51/4/960.

AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: eclampsia,


hypertension, preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of
Obstetrics and Gynecology. 183(1)

Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com.

Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.

Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh Mangos G.
2007. Predicting transformation from gestational hypertension
preeclampsia in clinical practice: a possible role for 24 hour ambulat
blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.

Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http :


//emedicine.medscape.com/article/261435.

Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforth’s
obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2008: 258-266

Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF, Schisterman EF,
Thadhani R, Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan
Karumanchi SA. 2004. Circulating angiogenic factors and the risk of
preeclampsia. N Engl J Med. 350.

National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint
National Committee. NIH publication.

Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In:


Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-
9. New York : McGraw-Hill, pp: 338-353

Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. 2010. Ilmu


Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535.

Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.

36
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 1999.

37
LAMPIRAN
Dokumentasi Kunjungan Rumah

Anamnesis dan pemeriksaan terhadap Ny.S

Outdoor rumah Ny.S

Indoor rumah Ny.S

38
Indoor Rumah Ny.S

39

Anda mungkin juga menyukai