0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
146 tayangan22 halaman
Kisah seorang Habaib dari Hadramaut yang menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad. Ia dititipi Al-Quran untuk diserahkan kepada raja Saudi, namun tak kuasa menahan kerinduannya sehingga memeluk tanah makam Nabi.
Kisah seorang Habaib dari Hadramaut yang menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad. Ia dititipi Al-Quran untuk diserahkan kepada raja Saudi, namun tak kuasa menahan kerinduannya sehingga memeluk tanah makam Nabi.
Kisah seorang Habaib dari Hadramaut yang menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad. Ia dititipi Al-Quran untuk diserahkan kepada raja Saudi, namun tak kuasa menahan kerinduannya sehingga memeluk tanah makam Nabi.
Suci terhenti kala ia sampai di kota Kufah. Dia melihat seorang perempuan sedang mencabuti bulu itik dan Abdullah seperti tahu, itik itu adalah bangkai. Ulama hadits yang zuhud ini heran, di negeri Kufah bangkai ternyata menjadi santapan keluarga. Ia pun mengingatkan perempuan tersebut bahwa tindakannya adalah haram. Si perempuan menjawab dengan pengusiran. Abdullah pun pergi tapi selalu datang lagi dengan nasihat serupa. Berkali-kali. Hingga suatu hari perempuan itu menjelaskan perihal keadaannya. "Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini aku tak mendapatkan makanan untuk menghidupi mereka." Hati Abdullah bergetar. Segera ia pergi dan kembali lagi bersama keledainya dengan membawa makanan, pakaian, dan sejumlah bekal hingga musim haji berlalu dan Abdullah bin Mubarak gagal menunaikan ibadah haji tahun itu. Dia pun memutuskan bermukim sementara di sana sampai para jamaah haji pulang ke negeri asal dan ikut bersama rombongan. Begitu tiba di kampung halaman, Abdullah disambut antusias masyarakat. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah malu. "Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini," katanya meyakinkan para penyambutnya. Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyuguhkan cerita lain. "Subhanallah, bukankah kami menitipkan bekal kepadamu saat kami pergi kemudian mengambilnya lagi saat kau di Arafah?" Yang lain ikut menanggapi, "Bukankah kau yang memberi minum kami di suatu tempat sana?" "Bukankah kau yang membelikan sejumlah barang untukku," kata satunya lagi. Hingga malam harinya, dalam mimpi Abdullah mendengar suara, "Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji."
diceritakan kitab An-Nawâdir karya Syekh
Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi Kisah Diterimanya Haji Sebelum Berangkat ke Tanah Suci
Ini kesekian kalinya Abdullah bin Mubarak
menunaikan ibadah haji. Setelah thawaf, ulama besar tabi’ut tabi’in yang lahir pada 118 H itu bermimpi. Ia melihat dua malaikat yang turun dari langit sedang bercakap-cakap. “Berapa jumlah umat Islam yang menunaikan haji pada tahun ini?” tanya salah seorang malaikat. “600.000 jama’ah haji,” jawab malaikat yang lain, “sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang diterima hajinya” “Padahal jama’ah haji ini datang dari berbagai negeri. Mereka sudah mengeluarkan banyak uang, melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. Bagaimana mungkin semuanya tidak diterima?” Ibnu Mubarak menangis. “Namun…” lanjut malaikat, “Ada satu orang yang hajinya diterima. Namanya Ali bin Muwaffaq, seorang penduduk Damaskus yang berprofesi sebagai tukang sepatu. Sebenarnya ia tidak jadi berangkat haji, tetapi Allah menerima hajinya dan mengampuni dosanya. Bahkan berkat dia, seluruh jama’ah haji yang sekarang ada di tanah suci ini diterima hajinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Abdullah bin Mubarak sangat bahagia. Ia bersyukur, hajinya dan haji seluruh jama’ah diterima. Sayangnya, Abdullah bin Mubarak terbangun sebelum mendengarkan dialog malaikat berikutnya. Maka ia pun memutuskan untuk pergi ke Damaskus, mencari seorang lelaki yang hajinya diterima sebelum ia datang ke tanah suci. “Assalamu’alaikum,” kata Abdullah bin Mubarak di depan rumah itu. “Wa’alaikum salam” “Benarkah ini rumah Ali bin Muwaffaq, tukang sepatu?” “Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?” “Abdullah bin Mubarak pun menceritakan mimpinya dan sembari mendengar itu Ali bin Muwaffaq sangat terkejut, hingga jatuh pingsan. Setelah ia sadar, Abdullah bin Mubarak menceritakan kisahnya lebih lengkap. “Amal apakah yang telah engkau lakukan sehingga Allah menerima hajimu padahal engkau tidak jadi berangkat ke tanah suci?” “Ya, aku memang tidak jadi berangkat haji. Sungguh anugerah dari Allah jika Allah mencatatku sebagai orang yang hajinya diterima. Sebenarnya aku telah menabung sejak lama, hingga terkumpullah biaya haji. Namun suatu hari, sebelum aku berangkat ke tanah suci, aku dan istriku mencium masakan yang sedap. Istriku yang sedang mengandung jadi sangat ingin masakan itu. Lalu kucari sumbernya, ternyata dari tetanggaku. Aku katakan maksudku, namun ia malah menjawab, ‘Sudah beberapa hari anakku tidak makan. Hari ini aku menemukan keledai mati tergeletak, lalu aku memotong dan memasakknya menjadi masakan ini. Makanan ini tidak halal untuk kalian.’ Mendengar itu, aku merasa tertampar sekaligus sangat sedih. Bagaimana mungkin aku akan berangkat haji sedangkan tetanggaku tidak bisa makan. Maka kuambil seluruh uangku dan kuserahkan padanya untuk memberikan makan anak dan keluarganya. Karena itu, aku tidak jadi berangkat haji.” Abdullah bin Mubarak terharu. Bulir-bulir air mata membasahi pipi ulama itu. “Sungguh pantas engkau menjadi mabrur sebelum haji. Sungguh pantas hajimu diterima sebelum engkau pergi ke tanah suci,” kata Abdullah bin Mubarak kepada Ali bin Muwaffaq.
[Tim Redaksi Kisahikmah.com]
Kisah Hikmah: Pertanyaan Imam Junaid Pada Orang yang Pulang Haji
Ketika itu Imam Junaid al-Baghdadi, Seorang
ulama tasawuf terkenal dari Baghdad, Irak. mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ibadah haji telah ia lakukan, namun orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya. “Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid. ”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali. ”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?” ”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.” ”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa- dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?” “Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.” “Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?” “Itu semua tak terlintas di benak saya.” “Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.” “Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi. “Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.” “Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?” ”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa- apa.” Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah. “Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.” “Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.” “Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.” “Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?” “Tidak.” “Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?” “Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.” “Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?” “Tidak juga, Imam.” “Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.” Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an: “Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.” *) Diterjemahkan dari The Meaning of Hajj Kisah Cerita Seorang Habaib Ketika Menunaikan Ibadah Haji
Suatu ketika seorang Habaib dari Hadramaut ingin
menunaikan ibadah haji dan berziaroh ke kakeknya Rasulullah SAW. Seorang Sulton di Hadramaut, menitipkan Al-Qur’an buatan tangan yang terkenal keindahannya di jazirah arab pada saat itu untuk disampaikan kepada raja Saudi. Setelah berhaji, beliau ziarah ke makam Rasulullah. Karena tak kuasa menahan kerinduannya kepada Rasulullah, beliau memeluk turbah Rasulullah. Beberapa pejabat negara yang melihat hal tersebut berusaha mencegahnya sambil berkata, “Ini bid’ah dan dapat membawa kita kepada syirik.” Dengan penuh adab, Habib tersebut menurut dan tak membantah satu kata pun. Beberapa hari kemudian, Habib tersebut diundang ke jamuan makan malam raja Saudi. Pada kesempatan itu beliau menyerahkan titipan hadiah Al Quran dari Sulton Hadramaut. Saking girang dan dipenuhi rasa bangga, Raja Saudi mencium Al Qur’an tersebut! Berkatalah sang Habib, “Jangan kau cium Qur’an tersebut… Itu dapat membawa kita kepada syirik!” Sang raja menjawab, “Bukanlah Al Qur’an ini yang kucium, akan tetapi aku menciumnya karena ini adalah KALAMULLAH!” Habib berkata, “Begitu pula aku, ketika aku mencium turbah Rasulullah, sesungguhnya Rasululullah-lah yang kucium! Sebagaimana seorang sahabat (Ukasyah) ketika menciumi punggung Rasulullah, tak lain adalah karena rasa cinta beliau kepada Rasulullah. Apakah itu syirik?!” Tercengang sang raja tak mampu menjawab. Kemudian Habib tersebut membaca beberapa bait syair Majnun Layla yang berbunyi, Marortu ‘alad diyaari diyaaro laila # Uqobbilu dzal jidaari wa dzal jidaaro Fa ma hubbud diyaar, syaghofna qolbi # Wa lakin hubbu man sakana diyaro
Aku melewati sebuah rumah, rumah si Layla # dan aku
menciumi setiap dinding-dindingnya Bukanlah karena aku mencintai sebuah rumah yg membuat hatiku hanyut dlm cinta # akan tetapi krn cintaku kpd sang penghuni rumah
Oleh : Habib Muhammad Luthfi bin Yahya
KISAH UWAIS AL QORNI MENGGENDONG IBUNYA NAIK HAJI
Di Yaman, tinggalah seorang pemuda bernama
Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang. Walaupun cacat, ia adalah pemuda yang soleh dan sangat berbakti kepadanya Ibunya. Ibunya adalah seorang wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan Ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan. "Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkan agar Ibu dapat mengerjakan haji," pinta Ibunya. Uwais tercenung, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan. Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu, Setiap pagi beliau bolak balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. "Uwais gila.. Uwais gila..." kata orang- orang. Yah, kelakuan Uwais memang sungguh aneh. Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kg, begitu juga dengan otot Uwais yang makin membesar. Tahulah sekarang orang- orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya. Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya. Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka'bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka'bah, ibu dan anak itu berdoa. "Ya Allah, ampuni semua dosa ibu," kata Uwais. "Bagaimana dengan dosamu?" tanya ibunya heran. Uwais menjawab, "Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga." Subhanallah, itulah keinganan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah SWT pun memberikan karunianya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuk? itulah tanda untuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais. Beliau berdua sengaja mencari Uwais di sekitar Ka'bah karena Rasullah SAW berpesan "Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdua untuk kamu berdua." Suatu hari dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menemui Rasulullah SAW. Namun Beliau sedang dalam peperangan, Berkecamuklah di dalam hatinya apakah harus menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”. Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru. Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan
Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.” Hijir Ismail dan Kisah Angin dari Surga
Jika mengunjungi Ka'bah, umat muslim tentu akan
melihat pada satu bagian sisi antara Rukun Iraki dan Rukun Syami, terdapat tembok setengah lingkaran setinggi satu meter. Tembok seolah memagari dinding tersebut. Ya, itulah Hijir Ismail. Sedangkan pagar tembok setinggi sekitar satu meter itu dinamakan Al Hatim. Hijir Ismail memiliki sejarah setua Ka'bah. Di sanalah dahulu Nabi Ismail AS sering berada dalam pangkuan ibunya, karena itulah bagian ini dinamai Hijir Ismail yang secara harafiah berarti pangkuan Ismail. Konon di sini pulalah Ismail dan ibunya, Siti Hajar dimakamkan. Pada kitab Fi Rihaabil Baitil Haram disebutkan tentang keistimewaan Hijir Ismail, yakni terkait angin surga. Jemaah yang beruntung disebutkan bisa merasakan hembusan angin surga sewaktu-waktu jika tawaf melintasi Hijir Ismail. Dijelaskan, pada suatu ketika, Nabi Ismail AS menyampaikan keluhan kepada Allah SWT tentang panasnya Mekah, lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya: "Sekarang Aku buka di Hijirmu salah satu pintu surga yang dari pintu itu keluar hawa dingin untuk kamu sampai hari kiamat nanti." Sebagaimana dinding Multazam, di Hijir Ismail ini pun banyak jemaah berebut melaksanakan salat sunah karena diyakini doa yang dipanjatkan kepada Allah di tempat ini akan mustajab. Dalam satu riwayat Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepada Abu Huraira: "Wahai Abu Hurairah sebetulnya di pintu Hijir Ismail ada Malaikat yang selalu mengatakan kepada setiap orang yang masuk dan salah dua rakaat di Hijir itu, kau telah diampuni dosa-dosamu, mulailah dengan amalan-amalan baru." Keutamaan Hijir Ismail : 1. Hijir Ismail merupakan bagian dari Kakbah, siapa saja yang sholat didalamnya sama dengan shalat didalam Kakbah. 2. Tidak sah tawaf seseorang kecuali sekaligus mengitari seluruh Hijir Ismail. 3. Hijir Ismail adalah tempat mustajabah, terutama berdoa di bawah Talang Emas. 4. Salah satu pintu surga yang mengeluarkan hawa dingin sampai hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruntung, ia akan merasakan angin surga sewaktu bertawaf melintasi Hijir Ismail.
5. Pintu masuk ke Hijir Ismail selalu dijaga Malaikat
yang selalu mendoakan ampunan dan kebaikan bagi siapa saja yang melakukan shalat sunnah mutlak di dalamnya.
Hijr Ismail adalah bangunan terbuka yang
berbentuk ½ lingkaran. Disebut Hijr Ismail, karena dalam sejarahnya Nabi Ibrahim pernah membuat satu tempat berteduh yang terbuat dari pohon arok di samping Ka’bah yang ditempati oleh Ismail dan ibunya Siti Hajjar juka ingin shalat di dalam Ka’bah, cukup shalatlah di dalam Hijr Ismail. Shalat di Hijr Ismail adalah sunnah yang berdiri sendiri dalam arti tidak ada kaitannya dengan thawaf atau umrah, haji dan ibadah lainnya. Hijir Ismail adalah bagian dari Ka’bah yang terletak di sebelah utara, berbentuk setengah lingkaran yang membentang dari rukun Iraqi dan rukun Syami sepanjang 21,57 meter, garis tengah 11,94 meter, lebar dinding 1,55 meter dan tinggi dinding 1,32 meter. Hijir Ismail merupakan ruangan yang mempunayi 2 pintu di sebelah timur dan barat dengan lebar masing-maing pintu 2,29 meter, jarak dari pintu ke pintu 8,77 meter, jarak dari dinding Ka’bah ke dinding Hijr Ismail 8,42 meter Awalnya, tinggi Hijir Ismail sama dengan tinggi dinding Ka’bah, namun pada renovasi tahun 606 menjadi setinggi seperti sekarang ini karena kaum quraisy yang membangunnya kekurangan dana. Pada masa Abdullah bin Zubair, Hijir Ismail dibangun setinggi dinding Ka’bah, namun pada masa Abdul Malik bin Marwan dinding Hijir Ismail dipotong oleh Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqofiy menjadi setinggi seperti sekarang lagi. Itulah sebabnya, bangunan setinggi sekitar 1,5 meter itu disebut Al Hijr (dinding) atauAl Hathim (terpotong). Ketika Abdul Malik bin Marwan mengetahui hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Al Hijr adalah bagian dari Ka’bah yang belum selesai karena kekurangan dana, maka ia pun menyesali perbuatannya dan berkeinginan mengembalikan seperti sebelumnya. Imam Malik yang diajak bermusyawarah mencegahnya karena dikhawatirkan setiap penguasa akan melakukan perobohan sebagaimana yang dilakukan orang2 sebelumnya sehingga dapat menodai kehormatan Ka’bah. Hijir Ismail adalah bagian dari Ka’bah, maka tidak sah dijadikan sebagai tempat thawaf. Pada musim haji, Hijir Ismail digunakan untuk mengumpulkan jenazah yang akan disholatkan, sedangkan di luar itu dapat dimasuki oleh jemaah umroh. Hijir Ismail tidak boleh digunakan untuk tempat sholat fardhu, namun dapat dipergunakan untuk tempat sholat sunnah dan berdoa. “Dari Aisyah ia berkata, ‘Aku sangat ingin memasuki Ka’bah untuk melakukan sholat di dalamnya. Rasulullah SAW membawa Aisyah ke dalam Hijir Ismail sambil berkata, ‘Sholatlah kamu di sini jika kamu ingin sholat di dalam Ka’bah, karena ini termasuk sebagian dari Ka’bah” (HR. Abu Dawud) ال َأ ْن رب َأ رنا رع ْب ُد ْال رعزيز ْب ُن ُم رح َّمد رقالريم رق رَأ ْخ َر ربرنا إ ْس رح ُق ْب ُن إ ْب رراه ر ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ُ ْ ُ ْ َ ر َّ ر ر ْ ر ر ُ ْ ُ َ ر ْ ر ر ر ر ْ ُ ِّ ر ْ ر ر ر ر حدث ِ ين علقمة بن أ َِ يب علقمة عن أم ِه عن ع ِائشة قالت كنت رَ ر ر ر ُ ُ ه ر ه ه ُاَّلل ر ِ ُ ُّ َ ْ َ ْ ُ ر ْ ر ْ ر ر ُ ر اَّلل صّلِ يه فأخذ رسول ِ أ ِحب أن أدخل البيت فأص يّل ِف رع َل ْيه رو رس هل رم ب ريدي رف َأ ْد رخ َلن ْالح ْج رر رف رق ر ال إ رذا َأ رر ْدت ُد ُخولر ِ ِ ِ ِي ِ ِ ِ ر ْ ْ ر ْ ر ر ِ ر ُ ر ر َّ ر ُ ر ْ ر ٌ ْ ْ ر ْ ر َ َّ ر البي ِت فص يّل ها هنا ف ِإنما هو ِقطعة ِمن البي ِت ول ِكن قوم ِك ُث رب رن ْوه ُ ْ ْر ر ُ ر اقتَصوا حي
Apabila engkau ingin memasuki Ka'bah maka
lakukanlah shalat di sini, Karena ia bagian dari Ka'bah akan tetapi kaummu telah mengurangi ketika membangunnya. [HR. Nasai No.2863]. <Hadits shahih Bukhari - hasil percakapan antara Aisyah ra dengan Rasulullah saw> Hijir Ismail pada zaman nabi disebut "Jadr". Pada awalnya ka'bah itu lebih luas dari sekarang, luas bangunannya sampai Hijir ismail, tapi sebelum masa kerasulan nabi, ka'bah direnovasi oleh masyarakat Mekkah, dan karena keterbatasan dana cuma bisa sampai ukuran seperti sekarang. Dan tanda luas asli ka'bah cuma dibuat tanda yang disebut Hijr Ismail seperti sekarang Lalu Aisyah ra. bertanya kenapa pintunya ditinggikan? Rasul saw menjawab, ketika renovasi tsb pintu sengaja ditinggikan oleh masyarakat mekkah, agar orang tidak mudah masuk. Dan agar mereka bisa memasukan orang tertentu saja. Lalu nabi bersabda, bahwa nabi ingin merubah kembali bangunan kabah sampai hijir ismail dan merendahkan pintunya sejajar dengan tanah, tapi khawatir penduduk mekkah menolaknya, karena mereka baru memeluk islam.