Anda di halaman 1dari 2

BincangSyariah.

Com – Kisah orang jadi haji mabrur meski tidak berangkat haji ini masyhur
disebut-sebut bersumber dari Abdullah bin Mubarak, seorang sufi dan muhaddits. Menurut sebagian
ulama, kisah ini secara historis diragukan kebenarannya bahkan disebut-sebut tidak nyata. Namun,
betatapun jikalau demikian, ada kisah yang sangat penting untuk disimak dalam kisah tersebut. Kisah
itu juga diceritakan Syaikh Ramadhan al-Buthi dalam salah satu videonya.

Kisahnya dimulai dari mimpi al-Imam Abdullah bin Mubarak di satu malam, dimana ia dalam
mimpinya melihat dua orang yang saling berbicara. Yang satu mengatakan, “tahukah kamu tahun ini
berapa orang yang Allah terima hajinya?” Orang kedua menjawab: “Tidak!” Yang bertanya tadi
kemudian mengatakan: “Tahun ini, banyak dari orang yang berhaji tidak diterima hajinya. Tapi,
Allah kemudian memaafkan mereka semua lalu menerima hajinya dengan kemuliaan seorang tukang
sepatu di daerah Syam meskipun dia tidak berangkat haji.” Setelah mendengar dialog itu, Ibn
Mubarak terbangun kaget dan tidak bisa tidur.

Esoknya ia berangkat mencari ke Syam siapa sebenarnya tukang sepatu ini, padahal ia tidak tahu
namanya. Sampai singkat cerita Abdullah bin Mubarak menemukan tukang sepatu tersebut.

Beliau langsung bertanya, “wahai tukang sepatu, anda berhaji tahun ini?”

Tukang sepatu menjawab: “tidak.”

Abdullah bin Mubarak pun bertanya lagi, “kalau gitu, ceritakan peristiwa tentangmu!”

Tukang sepatu bertanya lagi, “memangnya kenapa?”

Abdullah bin Mubarak meyakinkannya dengan mengatakan, “berceritalah, nanti saya akan
menjelaskan alasannya.”

Tukang sepatu pun mulai bercerita, “pekerjaan saya tukang sepatu. Sejak awal tahun ini, saya mulai
menyisihkan pendapatan saya sedikit-sedikit supaya bisa berhaji di akhir tahun atau tahun
sesudahnya. Ketika sudah hampir memasuki musim haji, saya melihat harta saya sudah cukup untuk
berangkat haji. Saya pun mulai mempersiapkan segala hal, sampai setelah itu saya kembali ke rumah
dan istri saya yang sedang hamil menemui saya.

Lalu tercium bau daging panggang yang nikmat sekali masuk ke dalam rumah. Istri saya kemudian
langsung memberikan piring dan bilang, “coba minta perkenan tetangga kita yang memasak ini agar
memberikan sedikit ke kita.” Saya pun setuju dan keluar mencari sumber bau itu, dan tiba di sebuah
rumah. Ketika pintunya dibuka, keluarlah seorang perempuan tua. Saya pun menyampaikan
keinginan saya. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “baik, saya akan berikan. Tapi boleh saya
menceritakan kisahku. Saya rasa engkau perlu mengetahui ini, kalau menurut anda kisah ini baik,
saya akan memberikan daging panggangnya.” Saya pun mengiyakan.
Perempuan itu pun cerita, suaminya sudah meninggal lama. Dan harta mereka baru saja habis
seminggu sebelumnya. Anak-anaknya hari ini sudah mulai kelaparan, dan kematian nampak sudah
mendekat ke mereka. Perempuan itu pun keluar mencoba barangkali menemukan sesuatu yang bisa
dimakan, sampai ia menemukan ada kambing mati namun sudah dibuang oleh yang punya di suatu
tempat pembuangan. Naluri keibuannya bangkit, sang perempuan mencoba mengambil sebagian
daging dan membawanya pulang untuk dimasak dan jadilah daging yang baunya sampai tercium ke
rumahku.

Aku pun segera pulang, menampar-nampar wajahku sendiri dan menyalahkan diriku. Ini tetanggaku
masih membutuhkan dan anak-anak bahkan hampir mati sementara aku sejak kemarin terus
mengumpulkan harta untuk berhaji. Aku pun pulang mengambil harta itu, dan kembali ke rumah
perempuan itu dan menyedekahkan semua hartaku untuknya. ”

Abdullah bin Mubarak pun berkata, “Berbahagialah engkau, Allah tidak hanya mencatatmu sebagai
seorang haji saja, tapi karenamu Allah menerima ibadah haji semua orang di tahun ini.”

Kisah ini mungkin diragukan kesahihannya oleh para ulama. Sebagian mengatakan, peristiwanya
bukan seperti itu, tapi Abdullah bin Mubarak dan rombongannya yang menemui langsung seorang
perempuan yang kelaparan itu sampai harus mengambil makanan berupa hewan mati di pembuangan
sampah untuk dimasak. Dan melihat hal itu, Abdullah bin Mubarak pun memutuskan untuk
menyedekahkan hartanya untuk sang perempuan dan mengatakan, « menyumbang kepada yang tidak
mampu lebih utama dibandingkan berhaji pada tahun ini. » Kisah ini disebut sumbernya dapat
ditemukan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir

Kisah-kisah keteladanan mendahulukan membantu yang kekurangan dibandingkan berhaji ini banyak
tersebar dan menjadi dasar ulama untuk menguatkan pendapat bahwa berhaji atau umrah berulang
bisa makruh hukumnya. Diantara yang cukup keras berbicara ini adalah mendiang Prof. Dr. K.H. Ali
Mustafa Yaqub hingga beliau menulis artikel berjudul “Haji Pengabdi Setan”

Anda mungkin juga menyukai