Anda di halaman 1dari 11

NAMA : NOER AULIA RAHMAN

INSTANSI : INSPEKTORAT
PEMBIMBING : MAYOR ERI WITJAKSONO I. A.MD
DIKLAT : LATSAR CPNS PEMPROV KALTARA ANGKATAN V - LANUD TARAKAN

“AKU DAN PANCASILA”

Aku adalah Indonesia. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kota dengan julukan “Kota Lembah” di
bumi Sulawesi, yakni kota Palu. Kota tersebut secara administratif merupakan ibu kota dari provinsi
Sulawesi Tengah, secara geografis berbentuk lembah/cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan. Kota
ini hampir tepat dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga menyebabkan cuacanya yang terbilang panas.
Meskipun demikian, kota ini cukup asri dan nyaman untuk dihuni. Bagian barat dan timur dari kota ini
dipisahkan oleh Sungai Palu yang dihubungkan oleh empat buah jembatan, mulai dari Jembatan I, II, III
dan yang baru dibangun yaitu Jembatan IV. Terdapat Pantai Talise yang menghampar di bagian barat
sebagai ikon dari kota ini. Flora dan fauna yang terkenal di kota ini ialah Pohon Ebony dan Burung Maleo
yang merupakan hewan endemik Sulawesi Tengah. Secara demografis, kota ini dihuni oleh beraneka
ragam suku, mulai dari Kaili yang merupakan suku asli setempat, kemudian Bugis, Toraja, Sunda, Jawa,
Tolaki, Banjar, Batak, Papua dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut diatas adalah bukti bahwa Indonesia
adalah rumah bagi keanekaragaman.

Indonesia adalah Pancasila. Sebagai bagian dari Indonesia, aku pun adalah bagian dari Pancasila.
Aku bangga menjadi bagian dari Pancasila. Pancasila mengajarkan diriku untuk mempunyai rasa
kebangsaan yang tinggi, berjiwa nasionalisme dan mempunyai semangat patriotisme. Sebagai anak
bangsa, aku akan terus menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam menyikapi segala
problematika kehidupan serta akan terus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankannya. Semangat
Pancasila akan selalu menggelora didadaku dan akan terus kupertahankan hingga akhir hayatku.

Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945
dan secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diundangkan dalam
Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.

Dalam sejarahnya, eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa
demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila.
Dengan lain perkataan, dalam kedudukan yang seperti ini Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar
filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu. Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari
berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya sebagai dasar negara
ataupun ideologi, namun demikian perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format
dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi berbagai
tantangan dan ancaman.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan


kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang hal ini
direalisasikan melalui Ketetapan Sidang Istimewa MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P-4 dan
sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia. Ketetapan
tersebut sekaligus juga mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden atas kewenangan untuk
membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila. Monopoli Pancasila demi
kepentingan kekuasaan oleh penguasa inilah yang harus segera diakhiri, kemudian dunia pendidikan
tinggi memiliki tugas untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa untuk
benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.

Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh para penguasa pada masa lampau,
dewasa ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila
merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap akan
mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan sinis serta upaya melemahkan ideology Pancasila
berakibat fatal yaitu melemahkan kepercayaan rakyat yang akhirnya mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa, contoh: kekacauan di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Ambon , Papua, dll.

Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara
untuk selalu mengkaji dan mengembangkan Pancasila setingkat dengan idelogi/paham yang ada seperti
Liberalisme, Komunisme, Sosialisme.

Pancasila Sebagai Ideologi Negara

a. Tinjauan Historis

Pancasila lahir melalui proses yang sangat panjang, beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam
perjalanan hidupnya (zaman kerajaan dan penjajahan) berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai
suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup
maupun filsafat hidup bangsa. Setelah melalui proses yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah,
bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa
yang berbeda dengan bangsa lain, yang oleh pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu rumusan
sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.

Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan
disahkan menjadi dasar Negara Indonesia, secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sehingga asal muasal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia
sendiri, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Walaupun demikian
tidak menolak suatu kenyataan bahwa para Bapak Bangsa yang juga “penggali” Pancasila adalah mereka
yang tidak berpikir sempit dan chauvinistis. Mereka adalah pemikir yang mampu menjangkau
pengetahuan lintas nation, yang sangat menyadari masa depan bangsa Indonesia yang akan menjadi
bagian dari bangsa-bangsa di dunia. Artinya, bahwa nilai-nilai yang dapat ditemui di dalam khasanah
kehidupan masyarakat Nusantara itu harus dapat disebarluaskan dengan nilai-nilai yang berlaku secara
mondial. Dengan demikian berdasarkan fakta obyektif secara historis, kehidupan bangsa Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai Pancasila. Atas dasar pengertian alasan historis inilah maka sangat
penting bagi para generasi penerus bangsa terutama para intelektual untuk mengkaji, memahami dan
mengembangkan nilai-nilai Pancasila berdasarkan pendekatan ilmiah sebagai ilmu pengetahuan
(knowledge) yang akan mendasari penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bangun atau konstruksi pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai Pancasila ini harus
disosialisasikan, diinternalisasikan dan diinstitusionalkan kepada semua warga bangsa secara
terprogram dan berkesinambungan, sehingga segenap komponen bangsa akan mempunyai kesadaran
dan pengetahuan akan nilai-nilai nasionalnya untuk memperkuat jati diri dan wawasan kebangsaannya.

b. Kedudukan Ideologi Pancasila

Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi (dalam pengertian: ide-ide dasar tentang
sistem yang akan diwujudkan atau a system of ideas) dalam menyelenggarakan pemerintahan negara
sehingga berkedudukan sebagai ideologi negara merupakan sumber dari segala sumber hukum
(Staatsfundamentalnorm), merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia (philosophie and
way of life of nations).

Pancasila sebagai ideologi negara bermakna bahwa, sila-sila dalam Pancasila nilai-nilainya
merupakan ide dasar dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita-citakan.
Nilai-nilai philosofi untuk mengatur tata kehidupan kenegaraan Indonesia (filosofische groundslag) yang
terdapat dalam Pancasila selanjutnya ditetapkan sebagai dasar negara. Kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara merupakan Kedudukan yuridis formal karena tertuang dalam ketentuan hukum negara,
yaitu terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara
semakin kuat dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan Pancasila
Sebagai Dasar Negara dan pencabutan ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dimana dalam Pasal I menyatakan, bahwa Pancasila
adalah Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedudukan Pancasila juga merupakan cita hukum atau sumber dari segala sumber hukum yang
berlaku dalam negara. Pancasila sebagai cita hukum harus menguasai dan melingkupi hukum dasar
(konstitusi) dan norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sehingga sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila berfungsi sebagai dasar hukum yang
bersifat konstitutif dan sebagai dasar hukum yang bersifat regulatif. Hal ini bermakna, bahwa hukum dasar
(konstitusi) negara Indonesia dan semua produk hukum positif yang bersifat mengatur (regulatif), nilai-
nilai yang dikandungnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terdapat
dalam Pancasila.

Pancasila merupakan hasil pemikiran dan kristalisasi dari nilai-nilai kehidupan dan cita-cita
masyarakat Indonesia yang sumbernya tidak lain adalah dari kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk
(plural) dengan berbagai ragam budaya, suku bangsa, agama serta bahasa (multikultural). Ketika bangsa
Indonesia berupaya untuk membentuk bangsa yang merdeka dan mendirikan negara yang berdaulat,
maka para pendiri bangsa (the founding fathers) bersepakat (mengadakan perjanjian luhur) untuk
menetapkan (cita-cita luhur) falsafah hidup bangsa Indonesia yang harus diwujudkan di kemudian hari
dan yang akan mendasari segenap penyelenggaraan kehidupan dalam pencapaian sasaran hidup yang
aman dan sejahtera. Oleh karena itu, Pancasila merupakan falsafah hidup yang menjadi cita-cita dan
sekaligus landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Dalam kedudukan Pancasila sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka Pancasila
sebagai ideologi negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai falsafah dan
pandangan hidup bangsa, nilai-nilainya mempunyai peran penting dan utama dalam rangka membangun
jati diri bangsa (nation character building).

c. Makna Sila yang terkandung dalam Pancasila

1) Arti dan Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini
seperti halnya makhluk lain yang diciptakan oleh penciptanya. Pencipta itu adalah kausa prima
yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta
wajib melaksanakan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya serta istiqomah.
2) Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Manusia ditempatkan sesuai dengan
harkatnya. Hal ini berarti bahwa manusia mempunyai derajat yang sama di hadapan hukum.
Sejalan dengan sifat universal, bahwa kemanusiaan itu dimiliki oleh semua bangsa, maka hal
itupun juga kita terapkan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Sejalan dengan hal itu, hak
kebebasan dan kemerdekaan akan selalu dijunjung tinggi.
3) Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia: Makna persatuan hakikatnya adalah satu, yang artinya
bulat, tidak terpecah. Jika persatuan Indonesia dikaitkan dengan pengertian modern sekarang
ini, maka disebut nasionalisme. Oleh karena rasa satu yang sedemikian kuatnya, maka akan
timbul rasa cinta kepada bangsa dan tanah air.
4) Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan: Perbedaan secara umum demokrasi di Barat dan di Indonesia
yaitu terletak pada unsur permusyawaratan. Permusyawaratan diusahakan, agar dapat
menghasilkan keputusan-keputusan yang diambil secara bulat. Kebijaksanaan ini merupakan
suatu prinsip, bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak.
5) Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia : Keadilan berarti adanya
persamaan dan saling menghargai karya orang lain. Jadi seseorang bertindak adil apabila dia
memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan haknya. Kemakmuran yang merata bagi
seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat.

d. Nilai-nilai Kebangsaan yang bersumber dari esensi nilai-nilai ideologi Pancasila.


Esensi nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari falsafah bangsa Pancasila, apabila ditelaah
secara menyeluruh, dapat ditemukan sebagai berikut:

1. Nilai Religius, memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi berdasarkan agama dan keyakinan yang
dipeluknya dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain yang
tumbuh dan diakui di Indonesia; ini konsekuensi dari nilai religius dan mengakui adaya Tuhan Yang
Maha Esa;
2. Nilai Kekeluargaan, memiliki nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan dengan
sesama warga negara tanpa membedakan asal usul, keyakinan dan budaya; ini adalah
konsekuensi dari bangsa yang bersifat majemuk;
3. Nilai keselarasan, memiliki kemampuan beradaptasi dan kemauan untuk memahami dan
menerima budaya daerah atau kearifan lokal sebagai konsekuensi dari bangsa yang bersifat
plural/majemuk, itulah bangsa Indonesia;
4. Nilai Kerakyatan, memiliki sifat keberfihakan kepada rakyat Indonesia di dalam merumuskan dan
mengimplementasikan suatu kebijaksanaan pemerintah negara, yang datang dari rakyat untuk
rakyat sebagi perwujudan dari kedaulatan rakyat.
5. Nilai Keadilan, memiliki kemampuan untuk menegakkan dan berbuat adil bagi seluruh rakyat
tanpa terkecuali, serta mampu memeratakan kesejahteraan kepada semua warga bangsa.A.
Landasan Pendidikan Pancasila

Pembahasan Pancasila Secara Ilmiah

Pancasila termasuk Filsafat Pancasila sebagai suatu kajian ilmiah harus memenuhi syarat-syarat
ilmiah, menurut Ir. Poedjowijatno dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan” mencatumkan syarat-syarat
ilmiah sebagai berikut :
- berobyek
- bermetode
- bersistem
- bersifat universal

1. Berobyek

Dalam filsafat, ilmu pengetahuan dibedakan antara obyek forma dan obyek materia. Obyek
materia Pancasila adalah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila. Pancasila dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya : Moral (moral Pancasila), Ekonomi (ekonomi Pancasila),
Pers (Pers Pancasila), Filsafat (filsafat Pancasila), dsb. Obyek Materia Pancasila adalah suatu obyek
yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila baik yang bersifat empiris maupun non
empiris. Bangsa Indonesia sebagai kausa materia (asal mula nilai-nilai Pancasila), maka obyek materia
pembahasan Pancasila adalah bangsa Indonesia dengan segala aspek budaya dalam bermayarakat,
berbangsa dan bernegara. Obyek materia empiris berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-
benda sejarah dan budaya, Lembaran Negara, naskah-naskah kenegaraan, dsb. Obyek materia non
empiris non empiris meliputi nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral, nilai-nilai religius yang tercermin dalam
kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya.

2. Bermetode

Metode adalah seperangkat cara/sistem pendekatan dalam rangka pembahasan Pancasila untuk
mendapatkan suatu kebenaran yang bersifat obyektif. Metode dalam pembahasan Pancasila sangat
tergantung pada karakteristik obyek forma dan materia Pancasila. Salah satu metode adalah “analitico
syntetic” yaitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesa. Oleh karena obyek Pancasila banyak
berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah maka sering digunakan metode “hermeneutika”
yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik obyek, demikian juga metode “koherensi historis”
serta metode “pemahaman penafsiran” dan interpretasi. Metode-metode tersebut senantiasa didasarkan
atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan.

3. Bersistem
Suatu pengetahuan ilmiah harus merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagian dari
pengetahuan ilmiah harus merupakan suatu kesatuan antara bagian-bagian saling berhubungan baik
hubungan interelasi (saling hubungan maupun interdependensi (saling ketergantungan). Pembahasan
Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan (majemuk tunggal) yaitu ke lima
sila baik rumusan, inti dan isi dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan dan kebulatan.

4. Universal
Kebenaran suatu pengetahuan ilmiah harus bersifat universal artinya kebenarannya tidak terbatas
oleh waktu, keadaan, situasi, kondisi maupun jumlah. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal atau dengan
kata lain intisari, esensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada hakekatnya bersifat
universal.

Lingkup Pembahasan Pancasila Yuridis Kenegaraan

Pancasila yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai


dasar negara Republik Indonesia, sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan.
Realisasi Pancasila dalam aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik yang menyangkut norma
hukum maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara.

Tingkatan pengetahuan ilmiah dalam pembahasan Pancasila yuridis kenegaraan adalah meliputi
tingkatan pengetahuan deskriptif, kausal dan normatif. Sedangkan tingkat pengetahuan essensial
dibahas dalam bidang filsafat Pancasila, yaitu membahas sila-sila Pancasila sampai inti sarinya, makna
yang terdalam atau membahas sila-sila Pancasila sampai tingkat hakikatnya.

Beberapa Pengertian Pancasila

Kedudukan dan fungsi Pancasila jika dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam
kedudukannya sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara dan sebagai
kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya, terdapat berbagai macam terminologi yang harus
kita deskripsikan secara obyektif. Oleh karena itu untuk memahami Pancasila secara kronologis baik
menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila meliputi :

1. Pengertian Pancasila secara Etimologis

Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, menurut Muhammad Yamin dalam bahasa
Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu :
Panca artinya lima
Syila artinya batu sendi, alas, dasar
Syiila artinya peraturan tingkah laku yang baik/senonoh
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang memiliki arti secara harfiah dasar
yang memiliki lima unsur.

Kata Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Dalam ajaran Budha
terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui samadhi dan setiap golongan mempunyai
kewajiban moral yang berbeda. Ajaran moral tersebut adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila.

Pancasyiila menurut Budha merupakan lima aturan (five moral principle) yang harus ditaati,
meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan larangan minum-minuman keras.

Melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, kebudayaan India masuk ke Indonesia sehingga
ajaran Pancasyiila masuk kepustakaan Jawa terutama jaman Majapahit yaitu dalam buku syair pujian
Negara Kertagama karangan Empu Prapanca disebutkan raja menjalankan dengan setia ke lima
pantangan (Pancasila). Setelah Majapahit runtuh dan agama Islam tersebar, sisa-sisa pengaruh ajaran
moral Budha (Pancasila) masih dikenal masyarakat Jawa yaitu lima larangan (mo limo/M5) : mateni
(membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabok (minuman keras/candu), main (berjudi).
2. Pengertian Pancasila Secara Historis

Sidang BPUPKI pertama membahas tentang dasar negara yang akan diterapkan. Dalam sidang
tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir.Soekarno yang mengusulkan nama
dasar negara Indonesia disebut Pancasila.

Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 termasuk Pembukaannya yang didalamnya termuat
isi rumusan lima prinsip sebagai dasar negara. Walaupun dalam Pembukaan UUD 1945 tidak termuat
istilah/kata Pancasila, namun yang dimaksudkan dasar negara Indonesia adalah disebut dengan
Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan rumusan
dasar negara yang secara spontan diterima oleh peserta sidang BPUPKI secara bulat. Secara historis
proses perumusan Pancasila adalah :

a. Mr. Muhammad Yamin

Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato mengusulkan lima asas dasar
negara sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Setelah berpidato beliau juga menyampaikan usul secara tertulis mengenai rancangan UUD RI
yang di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

b. Mr. Soepomo

Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan lima dasar negara sebagai
berikut :
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan bathin
4. Musyawarah
5. Keadilan rakyat

c. Ir. Soekarno

Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara yang disebut
dengan nama Pancasila secara lisan/tanpa teks sebagai berikut :
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Selanjutnya beliau mengusulkan kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio Nasional
(Nasionalisme dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat),
Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi menjadi Eka Sila yang intinya adalah
“gotong royong”
.
d. Piagam Jakarta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan sidang oleh 9 anggota BPUPKI (Panitia Sembilan) yang
menghasilkan “Piagam Jakarta” dan didalamnya termuat Pancasila dengan rumusan sebagai berikut :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Pengertian Pancasila Secara Terminologis

Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI tercantum
rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara
konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia. Namun dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia dalam upaya bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi dan
eksistensinya, terdapat pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut :

a. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950)


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial

b. Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial

c. Dalam kalangan masyarakat luas


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kedaulatan Rakyat
5. Keadilan Sosial

Dari berbagai macam rumusan Pancasila, yang sah dan benar adalah rumusan Pancasila yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Implementasi Nilai-nilai Ketuhanan dalam kehidupan Sehari-hari

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan, kita perlu mendudukkan Pancasila secara


proporsional. Dalam hal ini, Pancasila bukan agama yang bermaksud mengatur sistem keyakinan, sistem
peribadatan, sistem norma, dan identitas keagamaan masyarakat. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila
bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama yang ada. Pancasila bermaksud menjadikan
nilai-nilai moral ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan dalam konteks masyarakat yang
majemuk, tanpa menjadikan salah satu agama tertentu mendikte negara. Sila ketuhanan dalam
Pancasila menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler yang membatasi agama dalam ruang
privat. Pancasila justru mendorong nilai-nilai ketuhanan mendasari kehidupan bermasyarakat dan
berpolitik. Namun, Pancasila juga tidak menghendaki negara agama, yang mengakomodir kepentingan
salah satu agama. Karena hal ini akan membawa pada tirani yang memberangus pluralitas bangsa.
Dalam hal ini, Indonesia bukan negara sekuler sekaligus bukan negara agama.

Adanya nilai-nilai ketuhanan dalam Pancasila berarti negara menjamin kemerdekaan masyarakat
dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak hanya kebebasan dalam memeluk
agama, negara juga menjamin masyarakat memeluk kepercayaan. Namun dalam kehidupan di
masyarakat, antar pemeluk agama dan kepercayaan harus saling menghormati satu sama lain.

Nilai-nilai ketuhanan yang dianut masyarakat berkaitan erat dengan kemajuan suatu bangsa. Ini
karena nilai-nilai yang dianut masyarakat membentuk pemikiran mereka dalam memandang persoalan
yang terjadi. Maka, selain karena sejarah ketuhanan masyarakat Indonesia yang mengakar, nilai-nilai
ketuhanan menjadi faktor penting yang mengiringi perjalanan bangsa menuju kemajuan.Nilai-nilai
ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai
keagamaan yang terbuka (inklusif), membebaskan, dan menjunjung tinggi keadilan dan persaudaraan.
Dengan menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai sila tertinggi di atas sila-sila yang lain, kehidupan
berbangsa dan bernegara memiliki landasan rohani dan moral yang kuat. Sebagai landasan rohani dan
moral dalam berkehidupan, nilai-nilai ketuhanan akan memperkuat etos kerja. Nilai-nilai ketuhanan
menjadi sumber motivasi
bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Implementasi nilai-nilai ketuhanan dalam
kehidupan berdemokrasi menempatkan kekuasaan berada di bawah Tuhan dan rakyat sekaligus.
Demokrasi Indonesia tidak hanya berarti daulat rakyat tapi juga daulat Tuhan, sehingga disebut dengan
teodemokrasi. Ini bermakna bahwa kekuasaan (jabatan) itu tidak hanya amanat manusia tapi juga
amanat Tuhan. Maka, kekuasaan (jabatan) harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-
sungguh. Kekuasaan (jabatan) juga harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel karena jabatan
yang dimiliki adalah amanat manusia dan amanat Tuhan yang tidak boleh dilalaikan.

Nilai-nilai ketuhanan diimplementasikan dengan cara mengembangkan etika sosial di masyarakat.


Nilai-nilai ketuhanan menjiwai nilai-nilai lain yang dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
seperti persatuan, kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Dalam hal ini nilai-nilai
ketuhanan menjadi sila yang menjiwai sila-sila yang lain dalam Pancasila. Dengan berpegang teguh pada
nilai-nilai ketuhanan diharapkan
bisa memperkuat pembentukan karakter dan kepribadian, melahirkan etos kerja yang positif, dan memiliki
kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi diri dan kekayaan alam yang diberikan Tuhan untuk
kemakmuran masyarakat.

Implementasi Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Kehidupan Sehari-hari

Embrio bangsa Indonesia berasal dari pandangan kemanusiaan universal yang disumbangkan
dari berbagai interaksi peradaban dunia. Penjajahan yang berlangsung di berbagai belahan dunia
merupakan upaya masif internasional dalam merendahkan martabat kemanusiaan. Sehingga
perwujudan Indonesia merdeka merupakan cara dalam memuliakan nilainilai kemanusiaan universal.

Kemerdekaan Indonesia merupakan ungkapan kepada dunia bahwa dunia harus dibangun
berdasarkan kesederajatan antarbangsa dan egalitarianisme antar umat manusia. Dalam hal ini
semangat nasionalisme tidak bisa lepas dari semangat kemanusiaan. Belum disebut sebagai seorang
yang nasionalis jika ia belum menunjukkan jiwa kemanusiaan. Dalam hal ini, para pendiri bangsa bukan
hanya sekedar hendak merintis dan membangun negara, tetapi mereka juga memikirkan bagaimana
manusia Indonesia tumbuh sebagai pribadi yang berbudaya dan bisa berkiprah di pentas pergaulan
dunia. Pada massa kemerdekaan ini, membangun bangsa tidak sekedar terlibat dan sibuk dalam
pemerintahan dan birokrasi, tapi juga mempertimbangkan bagaimana membangun manusia Indonesia
yang ada di dalamnya.

Bung Hatta memandang sila kedua Pancasila memiliki konsekuensi ke dalam dan ke luar. Ke
dalam berarti menjadi pedoman negara dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi
manusia. Ini berarti negara menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Konsekuensi ke luar berarti menjadi pedoman politik luar negeri bebas aktif dalam rangka, “ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Dalam gempuran globalisasi, pemerintahan yang dibangun harus memperhatikan prinsip


kemanusiaan dan keadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan global
atau dunia. Jangan sampai lebih memperhatikan kemanusiaan dalam negeri tapi mengabaikan
pergulatan dunia, atau sebaliknya, terlibat dalam interaksi global namun mengabaikan kemanusiaan
masyarakat bangsanya sendiri. Perpaduan prinsip sila pertama dan kedua Pancasila menuntut
pemerintah dan peyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang cita-cita moral rakyat yang mulia.

Dengan melandaskan pada prinsip kemanusiaan ini, berbagai tindakan dan perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur
negara. Fenomena kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial merupakan kenyataan
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga aparatur negara dan seluruh komponen
bangsa perlu bahu membahu menghapuskan masalah tersebut dari kehidupan berbangsa.

Di tengah globalisasi yang semakin meluas cakupannya, masyarakat Indonesia perlu lebih selektif
dalam menerima pengaruh global. Pengaruh global yang positif, yakni yang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan tentu lebih diterima di-banding pengaruh yang negatif, yakni yang merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan pemimpin yang mampu menentukan kebijakan dan arah
pembangunan dengan mempertimbangkan keselarasan antara kepentingan nasional dan kemaslahatan
global.

Implementasi Nilai Persatuan Indonesia Dalam Membangun Semangat Nasionalisme

Upaya melaksanakan sila ketiga Pancasila dalam masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah
sesuatu hal yang mudah. Sejak awal berdirinya Indonesia, agenda membangun bangsa (nation building)
merupakan sesuatu yang harus terus menerus dibina, dilakukan dan ditumbuh kembangkan.Bung Karno
misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang
menggerakkan suatu i’tikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat ini adalah satu golongan, satu
bangsa. Soekarno menyatakan bahwa yang menjadi pengikat manusia menjadi satu jiwa adalah
kehendak untuk hidup bersama, dengan ungkapan khasnya:” Jadi gerombolan manusia, meskipun
agamanya berwarna macam macam, meskipun bahasanya bermacam macam, meskipun asal
turunannya bermacam macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup
bersama, itu adalah bangsa”. Soekarno menyatakan bahwa Semangat kebangsaan mengakui manusia
dalam keragaman, dan terbagi dalam golongan-golongan. Gagasan ini seolah menolak keberatan dari
kelompok Islam dan kaum Internasional Marxis.Kelompok Islam menolak kebangsaan karena hanya
mengenal umat manusia atas dasar kesamaan hamba Tuhan, dan pendapat kaum Internasional Marxis
yang hanya mengenal ide persaudaraan manusia atas dasar cita cita sosialis dunia. Dengan demikian,
keberadaan Bangsa Indonesia terjadi karena dia memiliki satu nyawa, satu asal akal, yang tumbuh dalam
jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, yang membangkitkan persatuan karakter
dan kehendak untuk hidup bersama dalam suatu wilayah geopolitik nyata. Sebagai persenyawaan dari
ragam perbedaan suatu bangsa mestinya memiliki karakter tersendiri yang bisa dibedakan dari karakter
unsur unsurnya.

Selain kehendak hidup bersama, keberadaan bangsa Indonesia juga didukung oleh semangat
Gotong Royong. Dengan kegotong Royongan itulah, Negara Indonesia harus mampu melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, bukan membela atau mendiamkan suatu unsur
masyarakat atau bagian tertentu dari territorial Indonesia. Negara juga diharapkan mampu memberikan
kebaikan bersama bagi warganya tanpa memandang siapa dan dari etnis mana, apa agamanya.
Semangat gotong royong juga dapat diperkuat dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik dengan terus
menerus mengembangkan pendidikan kewarganegaraan dan multikulturalisme yang dapat membangun
rasa keadilan dan kebersamaan dilandasi dengan prinsip prinsip kehidupan public yang lebih partisipatif
dan non diskriminatif.

Ada dua tujuan nasionalsime yang mau disasar dari semangat gotong royong, yaitu kedalam dan
keluar. Kedalam, kemajemukan dan keanekaragaman budaya, suku, etnis, agama yang mewarnai
kebangsaan Indonesia, tidak boleh dipandang sebagai hal negatif dan menjadi ancaman yang bisa saling
menegaskan. Sebaliknya, hal itu perlu disikapi secara positif sebagai limpahan karunia yang bisa saling
memperkaya khazanah budaya dan pengetahuan melalui proses penyerbukan budaya. Keluar,
nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang memuliakan kemanusiaan universal dengan
menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian, dan keadilan antar umat manusia.

Implementasi Nilai-nilai Permusyawaratan dalam Kehidupan Sehari-hari

Kesepahaman para pendiri bangsa untuk membangun demokrasi yang sesuai dengan karakter
bangsa, yakni demokrasi permusyawaratan, menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekedar alat.
Demokrasi permusyawaratan merupakan cerminan dari jiwa, kepribadian, dan cita-cita bangsa Indonesia.
Dalam pandangan Soekarno, demokrasi bukan sekedar alat teknis saja, tetapi suatu kepercayaan atau
keyakinan untuk mencapai suatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan.

Karena itu, demokrasi yang diterapkan di Indonesia mempunyai corak nasional yang sesuai
dengan kepribadian bangsa. Sehingga, demokrasi di Indonesia tidak perlu sama atau identik dengan
demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara lain di dunia. Sila ke-4 Pancasila mengandung ciri-ciri
demokrasi yang dijalankan di Indonesia, yakni kerakyatan (kedaulatan rakyat), 2) permusyawaratan
(kekeluargaan), dan 3) Hikmat kebijaksanaan. Demokrasi yang berciri kerakyatan berarti adanya
penghormatan terhadap suara rakyat. Rakyat berperan dan berpengaruh besar dalam proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara ciri permusyawaratan bermakna
bahwa negara menghendaki persatuan di atas kepentingan perseorangan dan golongan.
Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas semangat kekeluargaan di antara keragaman bangsa
Indonesia dengan mengakui adanya kesamaan derajat.
Hikmat kebijaksanaan menghendaki adanya landasan etis dalam berdemokrasi.
Permusyawaratan dijalankan dengan landasan sila-sila Pancasila lainnya, yakni ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Landasan Pancasila inilah yang membedakan model demokrasi
di Indonesia dengan demokrasi di negara-negara lain, termasuk dengan demokrasi liberal dan demokrasi
totaliter. Hikmat kebijaksanaan juga mensyaratkan adanya wawasan dan pengetahuan yang mendalam
tentang pokok bahasan dalam musyawarah atau pengambilan keputusan. Pemerintah dan wakil rakyat
diharapkan bisa mengetahui, memahami, dan merasakan, apa yang diinginkan rakyat dan idealitas apa
yang seharusnya ada pada rakyat, sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan yang bijaksana.
Penghayatan terhadap nilai-nilai permusyawaratan ini diharapkan memunculkan mentalitas masyarakat
yang mengutamakan kepentingan umum. Adanya mentalitas yang mengutamakan kepentingan umum
ini memudahkan dalam menemukan kata sepakat dalam pengambilan keputusan bersama. Untuk itu,
dalam segala pengambilan keputusan, lebih diutamakan diambil dengan cara musyawarah mufakat.
Pemungutan suara (voting) dalam pengambilan keputusan merupakan pilihan terakhir jika tidak mencapai
mufakat, dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.

Demokrasi permusyawaratan dijalankan tidak hanya dalam bidang politik dan pemerintahan saja.
Demokrasi permusyawaratan juga dijalankan dalam berbagai pilar kehidupan bernegara. Demokrasi tidak
hanya dijalankan secara prosedural melalui pembentukan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja.
Demokrasi juga hendaknya dijalankan dalam bidang ekonomi, sosial, hukum, dan pelayanan publik.
Dalam hal ini, demokrasi dijalankan untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan pada masyarakat.
Pelayanan publik hendaknya memahami kebutuhan rakyat sebagai pemegang saham utama
pemerintahan. Dalam demokrasi sosial, pelayanan publik berperan dalam memastikan seluruh warga
negara, tanpa memandang latar belakang dan golongan, mendapat jaminan kesejahteraan. Demokrasi
permusyawaratan juga menghendaki adanya semangat para penyelenggara negara. Idealitas system
demokrasi yang dirancang sangat ditentukan oleh semangat para penyelenggara negara untuk
menyesuaikan sikapnya menurut nilai-nilai Pancasila.

Dimuliakannya aspirasi rakyat dalam demokrasi perwakilan menuntut rakyat untuk menjalankan
sikap etis bernegara. Rakyat diharapkan dapat menjadi warga negara yang bijaksana, memahami hak
dan kewajibannya, dan bertanggung jawab dalam menjalankan partisipasi politiknya. Untuk
mewujudkannya, peran wakil rakyat, pemerintah sebagai pelayan publik, dan para kaum terpelajar pada
umumnya bias saling menopang dan mengisi agar tercipta warga negara dan pemerintahan yang baik
secara bersamaan.

Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila

Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, para pendiri bangsa menyatakan bahwa Negara
merupakan organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan keadilan. Untuk itulah diperlukan
dua syarat yaitu adanya emansipasi dan partisipasi bidang politik, yang sejalan dengan emansipasi dan
partisipasi bidang ekonomi. Kedua partisipasi inilah yang oleh Soekarno seringkali disebut dengan istilah
Sosio Demokrasi. Dengan kedua pendekatan tersebut, akan menghindarkan Indonesia dari Negara
liberal, tapi lebih menekankan Negara kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan pemikiran para pendiri
bangsa yang lebih menghendaki Negara ini menjadi Negara kesejahteraan, yaitu suatu bentuk
pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa Negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
rakyat (setidaknya secara minimal). Negara juga berhak mengatur pembagian kekayaan negara agar
rakyat tidak ada yang kelaparan, rakyat bisa memperoleh jaminan sosialnya.

Dalam Negara kesejahteraan sosial, yang dituntut bukanlah penghapusan hak milik pribadi, tapi
fungsi sosial dari hak miliki pribadi. Disinilah Negara bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan
dari fungsi sosial atas hak milik pribadi sehingga bisa terwujud kesejahteraan umum. Keadilan sosial juga
merupakan perwujudan imperative etis dari amanat pancasila dan UUD 1945, sebagaimana tercantum
dalam pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi; ”Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang”. Dan dalam realisasinya usaha mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
sosial harus bersendirikan kepada nilai nilai kekeluargaan Indonesia sebagaimana yang terkandung
dalam sila sila Pancasila.

Komitmen keadilan dalam alam pikiran Pancasila memiliki dimensi sangat luas. Peran Negara
dalam mewujudkan rasa keadilan sosial, setidaknya ada dalam empat kerangka; (i) Perwujudan relasi
yang adil disemua tingkat sistem kemasyarakatan, (ii) pengembangan struktur yang menyediakan
kesetaraan kesempatan, (iii) proses fasilitasi akses atas informasi, layanan dan sumber daya yang
diperlukan. (iv) dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang.
Tujuan gagasan keadilan tidak terbatas hanya semata pada tujuan ekonomis, tapi juga terkait dengan
usaha emansipasi dalam rangka pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan
martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas kebangsaan dan penguatan daulat rakyat.

Perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu penyelenggara
Negara, disertai dukungan rasa tanggung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar dari setiap warga.
Dalam visi Negara yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku
prinsip” berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tidak sepantasnya mau mendapatkan untung dengan
membiarkan rakyatnya buntung.

Dengan pemenuhan imperative modal sila keadilan sosial, diharapkan jeritan panjang rakhat
Indonesia untuk keluar dari himpitan kemiskinan dan penderitaan bisa menemukan kembali impian
kebahagiaannya:” gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja” sebuah negeri yang berlimpah
kebajikan dan ridha Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai