BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa maksud Islam sebagai agama wahyu?
2. Bagaimana ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu?
3. Apa pengertian wahyu?
4. Bagaimana epistemologi wahyu?
5. Apa saja bentuk-bentuk wahyu?
6. Bagaimanakah posisi akal terhadap wahyu?
BAB II
PEMBAHASAN
C. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu, yang artinya suara, api dan
kecepatan. Al-Wahyu diartikan juga dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Dalam
wacana keislaman, al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran
Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Dalam kata wahyu terkandung
arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi
pilihanNya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan
hidupnya.[6]
Istilah wahyu dalam al-Qur’an muncul sebanyak 78 kali, yang masing-masing
memiliki makna dan pengertian yang beragam. Dari segi maknanya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan RasulNya, yang
berupa risalah atau kitab suci. Misalnya pada QS. An-Nisa’ ayat 163.
2. Wahyu dalam arti firman (pemberitahuan) Allah kepada Nabi dan RasulNya untuk
mengantisipasi kondisi dan tantangan tugasnya. Seperti dalam QS. Al-A’raf ayat 117.
3. Wahyu dalam arti instink atau naluri atau potensi dasar yang diberikan Allah kepada
makhlukNya. Contohnya pada QS. An-Nahl ayat 68.
4. Wahyu dalam arti pemberian ilmu dan hikmah. Misalnya dalam firman Allah QS, Al-
Isra’ ayat 39.
5. Wahyu dalam arti ilham atau petunjuk Allah kepada manusia dalam bentuk intuisi
atau inspirasi dan bisikan hati. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Qashash ayat 7.[7]
D. Epistimologi Wahyu
1. Sumber Wahyu
Wahyu, baik berupa Qur’an maupun hadits bersumber dari Allah swt. yang
disampaikan kepada orang-orang pilihan-Nya (nabi/rasul). Adapun cara Allah dalam
menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
a. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad.
b. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. berupa seorang laki-
laki.
c. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. dalam rupanya yang
asli.
d. Wahyu datang kepada Nabi Muhammad saw. seperti gemerincingnya lonceng.[8]
2. Karakteristik Wahyu
Wahyu yang berupa al-Qur’an maupun hadits, memiliki karakteristik yang asli.
Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik ini dianggap sangat penting dalam
kaitannya dengan pemahaman ajaran ajaran yang terkandung di dalamnya. Berikut
ini adalah beberapa karakteristik wahyu :
a. Wahyu, baik berupa al-Qur’an maupun hadits, bersumber dari Tuhan. Pribadi nabi
SAW menyampaikan wahyu ini, memainkan peran yang sangat penting dalam
menyampaikan makna wahyu tersebut. Seperti firman Allah dalam Q.S An-Najm ayat
3-4 yang artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
b. Wahyu, baik berupa Al-qur’an maupun hadits, merupakan perintah yang berlaku
umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah
itu diungkapkan dalam bentuk umum maupun khusus.
c. Wahyu itu berupa nash-nash yang berbahasa arab dengan gaya ungkap bahasa yang
berlaku. Orang arab memiliki gramatika khas dalam bahasa mereka, baik dari segi
indikasi lafal terhadap maknanya, dari segi pemakaian makna yang tidak terkandung
pada lafalnya maupun dari segi kekayaan sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa
arab dengan kaidahnya yang paling tinggi, sehingga Alqur’an mencapai tingkat yang
tidak dapat dijangkau manusia.
d. Apa yang dibawa oleh wahyu itu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia
sejalan dengan prinsip prinsip akal.
e. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah pisah. Diantara
tanda kesatuannya adalah penafsiran satu bagian dengan bagian yang lainnya saling
berhubungan.
f. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia, baik berupa
perintah maupun larangan. Keduanya berkaitan dengan ujaran yang sifatnya
langsung terkait dengan jenis perbuatan tersebut.
g. Sesungguhnya wahyu, yang berupa Alqur’an dan hadits, turun secara berangsur
angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. Turunnya sesuai dengan keperluan
dan kasus yang terjadi pada zaman dan tempat dimana ia diturunkan.[9]
3. Nilai Kebenaran Wahyu
Nilai kebenaran wahyu bersifat mutlak dan mengikat, juga universal dan
lestari. Karena wahyu bersumber dari Allah swt. dzat yang Maha Besar, mengatasi
segala kebenaran yang ada. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 1-2 yang
artinya: “Alif Lam Mim. Al-kitab itu (al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya.
Dialah petunjuk bagi orang-orang Muttaqin”. Serta dalam QS. Al-Baqarah ayat 147
yang artinya: “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah kalian
meragukannya”. Kebenaran wahyu berbeda dengan kebenaran akal yang bersifat
relatif.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah,
dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah
diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi
Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad saw. Ciri-ciri Islam sebagai
agama wahyu dapat dilihat sebagai berikut: Berkembang secara revolusi, diwahyukan
Tuhan, disampaikan melalui utusan Tuhan, ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak
(tauhid), memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan
manusia, serta ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Wahyu dapat dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang
diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu memiliki beberapa karakteristik
diantaranya: wahyu bersumber dari Tuhan, merupakan sebuah perintah untuk
seluruh umat manusia, wahyu diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, wahyu
tidak bertentangan dengan akal, dan yang lainnya. Nilai kebanaran wahyu tidak
diragukan lagi, karena ia bersumber dari Allah, dzat yang Maha Benar.
Wahyu yang diturunkan kepada manusia dapat berupa ayat-ayat kauniyyah
maupun qur’aniyah. Ayat kauniyyah yaitu ayat yang dijelaskan secara tersirat,
sedangkan ayat qur’aniyah adalah ayat yang dijelaskan secara tersurat.
Hubungan antara wahyu dengan akal pikiran, akal merupakan kunci untuk
mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber dari fenomena
penciptaan (al-ayat kauniyah) maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-
ayat qawliyah). Di samping berfikir dengan akalnya, manusia harus pula
mendengarkan (yasma’u) wahyu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan
demikian akal (aql) dan naql harus diperlakukan sebagai dua kekuatan yang saling
mengisi dalam memahami kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi Studi Islam, Cet. 14.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Al-Najjar, Abd. Majid. 1997. Pemahaman Islam: Antara Rakyu dan Wahyu, Cet.
1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hady, M. Syamsul. 2007. Islam Spiritual: Cetak-Biru Keserasian Eksistensi.
Malang: UIN - Malang Press.
Ismail, Asep Usman. 2014. “Ayat”, (online). (http://lazuardibirru-duniaislam.
blogspot.com/2014/01/ayat.html, diakses tanggal 21 Oktober 2014).
Mudzhar, Atho. 2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet. 4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salimi, Ibnu. Dkk. 1997. Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1. Surakarta: Lembaga Studi Islam UMS.
Supadie, Didiek Ahmad. Dkk. 2011. Pengantar Studi Islam, Cet.1. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Cet. 5. Jakarta: Gema Insani Press.
Qomar, Mujamil. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, Cet. 3. Jakarta: Erlangga.
[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet. 4,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, Cet. 3, (Jakarta; Erlangga, 2007), hlm. 105.
[3] Didiek Ahmad Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam, Cet.1, (Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.
[4] Ibid., hlm. 45-48.
[5] Ibid., hlm. 44-99.
[6] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3, Cet.
1, (Surakarta; Lembaga Studi Islam UMS, 1997), hlm. 14.
[7] Ibid., hlm. 15-17.
[8] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. 14, (Bandung;
PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 75.
[9] Abd. Majid al-Najjar, Pemahaman Islam: Antara Rakyu dan Wahyu, Cet. 1,
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 19-23.
[10] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1, hlm. 20.
[11] http://lazuardibirru-duniaislam.blogspot.com/2014/01/ayat.html
[12] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1, hlm. 6.
[13] M. Syamsul Hady, Islam Spiritual: Cetak-Biru Keserasian Eksistensi, (Malang; UIN -
Malang Press, 2007), hlm. 186-187.
[14] Ibid., hlm. 194.
[15]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
Cet. 5, (Jakarta; Gema Insani Press, 1998), hlm. 27-29
[16] Ibid., hlm. 47.
http://ovinovi.blogspot.com/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html
Adib Mubarok
Senin, 14 Maret 2016
I. Pendahuluan
Para Rasul datang kepada kita sebagai penyampai wahyu dari Allah Swt. Mereka membawa ajaran yang
memberikan petunjuk kepada kehidupan manusia. Mereka datang dengan memberikan gambaran tentang apa
yang ada di dunia ini, dan melakukan perubahan terhadap manusia, baik secara individual maupun social.
Ajarannya menjelaskankepada manusia mengenai hakikat yang ada di alam ghoib, dan apa yang seharusnya
dilakukan di alam nyata ini. Itulah agama yang dibawa oleh berbagai risalah yang datang silih berganti, hingga
risalah paling akhir, yaitu risalah Islam sebagai risalah penutup dan risalah yang paling sempurna. Karena itu,
agamannya dinamakan Islam.
III. Pembahasan
Wahyu, secara etimologi berarti ilham (QS. Al-Qashas: 7), isyarat (QS. Maryam:11), bisikan (QS. Al-
An’am:121). Sedang secara terminologi, wahyu adalah risalah samawi (langit) yang diberikan kepada seorang
Nabi yang dipilih dari hamba-hamba Allah, agar ia berbuat dengannya dan menyampaikannya kepada kaum di
mana ia diutus.[2]
Secara bahasa, Al Qur’an berasal dari kata qara-a, yaqra-u, qira-atan atau qur-anan”, yang berarti
mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.
Sedangkan menurut istilah, Dr. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al Qur’an Al Karim”
menyatakan bahwa Al Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis
dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang
ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walau dengan surat terpendek. [3]
1) Sebagai bukti berasal dari Allah SWT. “Dan apabila engkau tidak mendatangkan satu ayat (Al Qur-an) kepada
mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak engkau buat sendiri ayat itu?” Katakanlah,”Sesungguhnya aku hanya
mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dari Tuhanku. Inilah (Al Qur-an) adalah bukti-bukti yang nyata dari
Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman”. (QS. Al A’raf: 203). Orang kafir beranggapan bahwa Al Qur-
an itu adalah karangan Nabi Muhammad saw, sehingga apabila wahyu tidak turun, maka mereka meminta
kepada beliau untuk mengarang ayat. Tentu saja hal ini merupakan ejekan mereka kepada Nabi Muhammad.
2) Sebagai pembenar kitab-kitab suci sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil. “Dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) adalah Al-Kitab (Al Qur’an) itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya.” (QS. Fathir: 31)
3) Sebagai pelajaran dan penerangan. “Al Quran itu tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi
penerangan.” (QS. Yaa Siin: 69)
4) Sebagai pembimbing yang lurus. “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Quran
dan Dia tidak mengadakan penyimpangan di dalamnya, melainkan sebagai bimbingan yang lurus.” (QS. Al-Kahfi:
1-2)
5) Sebagai pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi yang meyakininya. “Al-Quran ini adalah pedoman
bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakininya.” (QS. Al Jatsiyah: 20)
6) Sebagai pengajaran. “Dan tiadalah ia (Al Qur-an), melainkan pengajaran untuk semesta alam.”(QS. AI Qalam:
52)
7) Sebagai petunjuk dan kabar gembira. “Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur-an) yang menjelaskan segala
sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi oranggorang muslim.”(QS. An Nahl: 89)
8) Sebagai obat penyakit jiwa. “Hai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kamu pengajaran dari
Tuhanmu (Al Qur-an), penyembuh penyakit-penyakit dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman”. (QS. 10/Yunus: 57)
9) Fungsi lain Al-Quran yang tidak kalah penting, adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., dan bukti
bahwa semua ayatnya benar-benar dari Allah SWT. Sebagai bukti kedua fungsinya yang terakhir paling tidak ada
dua aspek dalam Al-Quran itu sendiri: 1) Isi/kandungannya yang sangat lengkap dan sempurna; 2) Keindahan
bahasanya dan ketelitian redaksinya; 3) Kebenaran beritaberita gaibnya; dan 4) Isyarat-isyarat ilmiahnya.
Secara umum pendekatan pokok dalam studi Al Qur’an dibagi dua, yaitu:
1. Literal (tekstual)
Yaitu memahami makna Al Qur’an hanya pada teks ayat itu sendiri tanpa melihat latar belakang sejarah
dan kondisi masyarakat pada waktu ayat tersebut diwahyukan.
2. Liberal (kontekstual)
Yaitu memahami Al Qur’an dengan cara mempelajari situasi dan masalah yang dihadapi sebagai latar
belakang turunnya ayat tersebut.
Ayat di atas dapat dipahami dengan pendekatan literal maupun liberal. Jika kita memahaminya dengan
pendekatan literal, maka kita hanya memahami ayat di atas dari arti satu per satu kata di dalamnya. Ayat itu
mengandung perintah membunuh orang-orang musyrik. Maka bisa saja orang-orang musyrik dalam ayat
tersebut dipahami “semua orang kafir atau orang yang bukan Islam”. Pemahaman tersebut kurang tepat karena
bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Sedang jika kita memahami ayat di atas dengan pendekatan liberal, maka akan muncul pemahaman bahwa
yang dimaksud membunuh orang-orang musyrik yaitu orang-orang musyrik pada saat ayat itu diturunkan.
Karena saat itu banyak orang yang membangkang perintah Allah dan tidak mau menbayar zakat, Allah
menurunkan ayat ini agar menjadi pelajaran bagi mereka, agar mereka jera.
Dalam pendekatan studi Al Qur’an, juga dibahas masalah metode tafsir. Menurut Al Farmawi, ada empat
metode tafsir, yaitu: metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, metode maudu’i, dan metode kulli.[5]
1. Metode Tahlili
Maksudnya adalah metode kajian Al Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan
berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam
urutan mushaf Uthmani. Tetapi tenyata metode kajian atomistic atau metode kajian yang bersifat persial ini
memiliki beberapa kelemahan. Fazlur Rahman misalnya berpandangan, metode kajian atomistic menjadi
penyebab dengan metode perisal ini nash dipahami kata demi kata atau ayat yang ada dalam surah secara
erpisah-pisah. Akibatnya Al Qur’an terkesan tidak menjadi satu kesatuan yang utuh. Quraish Shihab
berpendapat, satu akibat dari pemahaman Al Qur’an berdasar ayat demi ayat secaqra terpisah adalah Al Qur’an
terlihat seolah sebagai petunjuk yang terpisah-pisah.
Adalah metode tafsir dengan cara menafsirkan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar.
Diantara tafsir ijmali adalah Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Al Suyuti dan Jalaluddin al Mahalli.
Adalah metode penafsdiran terhadap ayat Al Qur’anyang berbicara suatu masalah denagn cara
membandingkan antara ayat dengan ayat dan antar ayat dengan sunnah nabi Muhammad Saw, baik dari segi isi
maupun redaksi atau antara pendapat para ulama tafsir denganmenonjolkan segi-segi perbedaan dari objek
yang dibandingkan.
Adalah metode tafsir dengan cara mengelompokkan secara global, menurut tema-tema tertentu. Dalam
sejarah, tafsir tematik secar umumdapat dibagi menjadi dua, yaitu: tematik berdasar subjek dan tematik
berdasarkan surah Al Qur’an.
Adapun tafsir Holistik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tafsir Hermenuetik fazlur Rahman (1919-
1988). Ada juga yang menyebutnya tafsir Kontekstual. Tafsir ini menekankan pada pentingnya pemahaman Al
Qur’an dengan metode silang (cross-referential), atau induktif.
Tujuan dari penggunakan metode holistik dengan demikian adalah untuk menemukan nilai dasar, prinsip
dan etika (spirit) dari nilai partikular-partikular ayat yang dipahami secara sepotong-sepotong.
Ada perbedaan antara tafsir tematik dan holistik. Jika tafsir tematik lebih menekankan pada pembahasan
topikdemi topik atau surah demi surah dari Al Qur’an, sementara tafsir holistik lebih menekankan pada upaya
menjamin keutuhan Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan menemukan prinsip-prinsip umum Al Qur’an
secara keseluruhan. Namun keduanya sama-sama menekankan pada pentingnya pemahaman Al Qur’an dengan
metode silan atau induktif.
Agama wahyu disebut demikian karena bersumber dari wahyu yang diturunkan Allah lewat malaikat
kepada para rasul-Nya kemudian disampaikan kepada manusia, baik dalam kawasan local maupan dalam
kawasan yang lebih luas. Agama wahyu disebut juga agama Samawi (langit) karena dinisbahkan kepada tempat
yang tinggi yang biasa disebut.
1. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama,
melainkan menyampaikannya.
5. Kebenarannya bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia, masa, dan keadaan.
Jika kita memperhatikan ciri-ciri di atas, ternyata hanya Islam yang memenuhi syarat-syarat sebagai
agama wahyu, sedang agama selain Islam tidak, terutama apabila dilihat dari segi ketuhaan dan keaslian kitab
sucinya. Asumsi ini dikuatkan oleh firman Allah dalam Q. S. 3 (Ali Imron): 19
Karena itulah seluruh Rasul Allah yang pernah diutus sebelum Nabi Muhammad Saw menerima wahyu,
yakni agama yang bersumber dari wahyu Allah. Sebaliknya adalah sangat tidak logis apabila para Rasul terdahulu
itu membawa agama yang bukan Islam, karena tidak diakui di sisi-Nya, padahal Dia juga yang mengutus mereka.
Ayat 3: 9 di atas diperkuat oleh doktrin Q. S. 3: 85
Dalam hal kebenaran, ajaran agama wahyu bersifat universal ada kaitan erat dengan konsep ketuhanan
yang monoteisme mutlak (tauhid). Ajaran tauhid memang pokok dan akar dari misi segala nabi utusan Allah, dan
ini merupan alat ukur apakah seseorng nabi atau bukan.
Tidak ada satu pun kitab suci yang mempunyai keotentikan seperti Al Qur’an. Tidak diragukan bahwa
hal itu merupakan rahasia kehebatan dan kebesarannya.[7] Seperti yang tercantum pada Q. S. Al-Hijr 9:
Jaminan otentisitas tersebut diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan KamahatahuanNya, serta berkat
usaha-usaha yang dilakukan oleh makhluknya, terutama manusia. Dalam ayat di atas digunakan kata “Innaa”
(sesungguhnya kami) dan “Nahnu” (Kami). Ketika Al Qur’an menggunakan kata tersebut, sebagai kata ganti dari
“Allah”, maka mempunyai kesan perli adanya keterlibatan pihak lain (yaitu usaha-usaha makhlukNya) terutama
manusia untuk memeliharanya.[8]
Untuk menunjukkan bukti-bukti keotentisitas Al Qur’an dapat digunakan berbagai pendekatan, yaitu
dari aspek ciri-ciri dan sifat Al Qur’an itu sendiri dan aspek sejarah.[9]
1. Dilihat dari aspek ciri-ciri dan sifat Al Qur’an, otentisitas Al Qur’an dapat dilihat dari hal-hal berikut ini:
Lafadz dan redaksi Al Qu’an merupaksn kutipan langsung dari firman Allah. Karena itu tidak mungkin
ditemukan keganjilan-keganjilan redaksinya, dan kalau terjadi demikian, misalnya karena ulah manusia yang
berusaha mengubahnya, maka akan segera diketahui bahwa itu bukanlah Al Qur’an.
Sistematika redaksi Al Qur’an telah ditata sedemikian rupa oleh Allah SWT, sehingga ditemukan adanya
keserasian dalam ayat-ayat dan surah-surah Al Qur’an. Dr. Musthafa Mahmud mengutip pendapat Rasyad
Khalifah mengenai bukti keotentisitas Al Qur’an ditinjau dari segi redaksinya, bahwasannya dalam awal
beberapa surah yang didahului oleh huruf-huruf hijaiyah, tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari
kata-kata yang digunakan oleh Allah. Kesemuanya habis dibagi 19.
b. Kemukjizatan Al Qur’an
Kemukjizatan Al Qur’an secara umum meliputi tiga aspek, yaitu aspek bahasa, aspek sejarah, dan isyarat-
isyaratnya tentang sains.[10]
Mu’jizat Al Qur’an dlam aspek bahasa terletak pada gaya pengungkapannya, antara lain kelembutan
dalam jalinan huruf dan kata dengan yang lainnya. Susunan huruf dan kata dalam Al Qur’an terajut secara teratur
sehingga menjelma menjadi ayat-ayat indah untuk dibaca. Apabila ada kata-kata manusia yang disisipkan ke
dalamnya, maka menjadi rusakkeindahannya. Oleh karena itu upaya-upaya untuk mengubah dan memalsukan
Al Qur’an tidak pernah berhasil. Keistimewaan lainnya dari segi bahasa adalah adanya keselarasan bahasa Al
Qur’an dengan akal dan perasaan manusia. Al Qur’an menggabungkan kebenaran akal dan keindahan rasa,
sehingga ia dapat menyentuh akal pikiran dan hati manusia. Selain itu, penggubahan kata yang dinamis menjadi
bukti lain dari kemukjizatan bahasa Al Qur’an. Seperti gaya bahasa Al Qur’an dalam menyajikan perintah dan
larangan. Kedua pesan itu disampaikan dengan aneka ragam gubahan kata yang serasi dengan masing-masing
tema, selaras dengan status, tingkat, dan kedudukan perbuatan yang diperintahkanNya atau dilarangNya. Aneka
gubahan kata Al Qur’an dalam konteks perinta dan larangan, misalnya dalam surat An Nisa’:58 dan Al-A’raf:33.
Mukjizat Al Qur’an dalam aspek sejarah terletak pada penjelasannya tentang kedudukan, peran, proses
perjuangan, dan ketabahan para Rasul Allah SWT. Mulai dari Nabi Adam a.s. hingga Nabi Isa a.s. serta kondisi
umat-umat yang dihadapi mereka. Selain kisah para Rasul, Al Qur’an juga menjelaskan kisah beberapa kaum dan
orang yang menonjol pada masanya guna menjadi pelajaran bagi kaum sesudahnya. Seperti kisah negeri Saba’
yang subur makmur, kaum Tsamud yang membangkang, kaum Nabi Luth yang asusila, Raja Fir’aun yang otoriter
serta sombong dan Maryam yang Salehah. Sejarah kuno tentang peradaban manusia itu tidak mungkin datang,
kecuali dari Tuhan. Itulah sejarah tua yang membuktikan kebenaran mukjizat Al Qur’an.
Dalam Al Qur-an banyak isyarat-isyarat ilmiah. Diuraikan oleh Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya
“Membumikan” Al Qur-an bahwa banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam AI-Quran. Misalnya
diisyaratkan bahwa “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan adalah pantulan
(dari cahaya matahari)” (perhatikan QS. Yunus:5). Atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria,
sedang wanita sekedar mengandung karena mereka hanyalah bagaikan “ladang” (QS. AI Baqarah: 223), dan
masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia, kecuali pada abad-abad bahkan tahun-
tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya, kalau bukan dari Dia, Allah SWT. Tuhan yang
Maha Mengetahui.
a) Masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya Al Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis,
sehingga satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.
b) Masyarakat Arab pada saat itu dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja, sehingga mereka memiliki
waktu luang yang cukup guna menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
c) Masyarakat Arab sangat ganderung lagi membanggakan kesusastraan, mereka melakukan perlombaan-
perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu. Sedang Al Qur’an mencapai tingkat tinggi dari segi
keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan hanya bagi orang mukmin tetapi juga bagi orang kafir.
d) Al Qur’an menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca Al Qur’an dan mempelajari, dan
anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
e) Ayat-ayat Al Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang
mereka alami, bahkan menjawab pertannyaan-pertanyaan mereka.
f) Dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadist Nabi ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya
untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampai berita, terutama kalau berita itu merupakan firman
Allah atau sabtu RasulNya.
Ibnu Hazm juga menyinggung masalah keontentisitas Al Qur’an dalam bukunya Al-Fashl fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa al-Nihal. Dia mengatakan bahwa Al Qur’an: “dinukilkan oleh ahli-ahli timur dan barat dari orang-
orang seperti mereka, generasi ke generasi. Tidak seorang mukmin pun yang berbeda pendapat dalam hal ini
dan tidak pula seorang kafir yang jujur menolak kenyataan ini. Mereka semua tidak berbeda dan menolak bahwa
Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul-Mutholib memberitakan bahwa Allah telah mewahyukannya kepada beliau.
Dan orang-orang yang mengikuti beliau menerima Al Qur’an sehingga sampai kepada kita.”[12]
Langkah utama untuk memelihara keotentikan Al Qur’an di masa Rasulullah SAW ialah setiap kali
wahyu turun langsung ditulis, dan beliau melarang penulisan sesuatu selain wahyu agar tidak terjadi
percampuradukan.
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Al Qur’an seluruhnya ditulis oleh penulis-
penulis wahyu dan selain mereka dari kalangan sahabat. Hanya saja pada waktu itu belum terkumpul dalam
satu mushaf karena kebutuhan akan hal terrsebut belum mendesak, sementara para sahabat berlomba-lomba
menghafal dan menulis Al Qur’an. Sedangkan Rasulullah sendiri membacakannya dan menjelaskan hukum-
hukumnya secara langsung kepada mereka.
IV. Kesimpulan
Agama wahyu disebut demikian karena bersumber dari wahyu yang diturunkan Allah lewat malaikat
kepada para rasul-Nya kemudian disampaikan kepada manusia, baik dalam kawasan local maupan dalam
kawasan yang lebih luas. Agama wahyu disebut juga agama Samawi (langit) karena dinisbahkan kepada tempat
yang tinggi yang biasa disebut. Jika kita memperhatikan agama wahyu, ternyata hanya Islam yang memenuhi
syarat-syarat sebagai agama wahyu, sedang agama selain Islam tidak, terutama apabila dilihat dari segi ketuhaan
dan keaslian kitab sucinya.
Bukti-bukti keotentisitas Al Qur’an bisa dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek keunikan
redaksi Al Qur’an, kemukjizatan Al Qur’an, dan dari aspek sejarah Al Qur’an itu sendiri.
V. Penutup
Demikianlah makalah yang kai buat. Pemakalah menyadari banyak kekurangan baik dalam penyajian
materi, penulisan, maupun pembahasan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Tadjab, Abd. Mujib, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya: Abditama, 1994.
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Al-Islam 1, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2003.
http://kutilgaring.blogspot.com/2016/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html