Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan
Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962 hingga 1966.

Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada
tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak
sesuai dengan Persetujuan Manila oleh karena itu keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno
yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme
dan imperialisme dalam bentuk baru, serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam
negeri dan pemberontakan di Indonesia.

Pelanggaran perjanjian internasional konsep THE MACAPAGAL PLAN antara lain melalui perjanjian
Persetujuan Manila mengenai dekolonialisasi yang harus mengikut sertakan rakyat Sarawak dan Sabah.

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi:

Kalimantan : Sebuah provinsi di Indonesia

Brunei

Koloni Inggris : Sarawak & Borneo Utara(Sabah)

Sebagai bagian dari penarikan koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di
Kalimantan dengan Federasi Malaya dan membentuk Federasi Malaysia.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia
hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di
kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah,
dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang
diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur
orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan
sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

Time Line

8 Desember 1962 : Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak. Mereka
mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta
pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura.
16 Desember 1962: Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa
seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi.

20 Januari 1963 : Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio mengumumkan sikap bermusuhan dengan
Malaysia.

17 April 1963 : Pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

27 Juli 1963 : Presiden Soekarno memproklamirkan Ganyang Malaysia.

16 September 1963 : Federasi Malaysia resmi dibentuk. Brunei menolak bergabung & Singapura keluar di
kemudian hari.

17 September 1963 : Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur.

3 Mei 1964 : Presiden Soekarno mengumumkan Dwikora.

Mei 1964 : Pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Dibentuk Komando
Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora).
Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).

Agustus 1964: Enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata
Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos
perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya
pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia
adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS).

16 Agustus 1964 : Pasukan dari Rejimen Askar Melayu Diraja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan
Indonesia.

17 Agustus 1964 : Pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk
pasukan gerilya.

2 September 1964 : Pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor.

29 Oktober 1964 : 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan
Resimen Askar Melayu DiRaja & Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian
Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

20 Januari 1965 : Indonesia menarik diri dari PBB.

Januari 1965 : Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak
permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen
Australian Special Air Service.
28 Juni 1965 : Militer Indonesia menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau,
Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary.

1 Juli 1965: Militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan
Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun
gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.

Akhir 1965 : Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh
karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi
berkurang dan peperangan pun mereda.

28 Mei 1966 : Di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia
mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian
ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudi

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia,
terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan
Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia
Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya,
Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Sukarno berpendapat bahwa Malaysia
hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di
kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah,
dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka
mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta
pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember,
Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat
pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan
pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang
diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur
orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan
sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung
KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku
Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda[3],
amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak. ”

Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku
ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan
konfrontasi terhadap Malaysia[3] dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia
terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu
pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak
dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April
berikutnya.

Sukarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[4] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Sukarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia
melalui pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa

Kalau kita malu itu djuga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan
sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita
akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat
dan kita djuga masih memiliki martabat

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...

Ganjang... Malaysia

Ganjang... Malaysia

Bulatkan tekad

Semangat kita badja

Peluru kita banjak

Njawa kita banjak

Bila perlu satu-satu!

Sukarno

4 ALASAN YANG MENDORONG KEPUTUSAN INDONESIA KELUAR DARI PBB


Di tahun 1965, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno pernah menarik diri dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Alasan utama yang mendasari keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena saat itu
Malaysia yang dianggap sebagai negara boneka bentukan Inggris, diterima oleh PBB sebagai anggota
tidak tetap Dewan Keamanan. Tapi selain itu, ternyata keputusan yang diambil oleh Bung Karno ini juga
merupakan puncak akumulasi dari ketidaksukaannya pada PBB. Dan berikut 4 alasannya.

1. Kedudukan PBB di Amerika Serikat

Saat terjadi perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet, Bung Karno pernah melayangkan kritik pada
PBB yang bermarkas di Amerika, pasalnya, Ia merasa tidak sepatutnya markas PBB berada di salah satu
negara pelaku perang dingin. Kemudian Bung Karno juga menyarankan agar PBB bermarkas di Jenewa
atau benua lain yang netral seperti Asia atau Afrika.

2. Sekretariat Selalu Dipegang Orang Amerika

Menurut Bung Karno, hal inilah yang membuat kebijakan PBB banyak mengakomodasi kepentingan
barat, atau menggunakan sistem barat. Bung Karno tidak dapat menerima hal itu karena menurutnya
mengandung imperialisme dan kolonialisme.

3. Tidak Adanya Pembagian Yang Adil

Dalam lembaga-lembaganya, PBB dianggap tidak adil karena selalu mengedepankan orang dari negara
barat di posisi penting. Seperti contohnya, Badan Bantuan Teknik PBB yang dipimpin orang Inggris, lalu
Badan Dana Khusus yang dipimpin orang Amerika, sampai dalam persengketaan Asia seperti
pembentukan Malaysia ketuanya berasal dari Amerika.

4. PBB Mengesampingkan China

PBB dianggap 'keblinger' saat menolak perwakilan dari China. Sementara di Dewan Keamanan, ada
Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Hal ini menurut Bung Karno akan melemahkan PBB saat
berunding karena telah mengesampingkan negara yang besar dalam jumlah penduduk.

Sejarah Pengembalian Irian Barat - Hasil dari Konferensi Meja Bundar ( KMB ) dengan cara tegas sudah
diputuskan bahwa msumberah Irian Barat bakal dibahas setahun seusai KMB ditandatangani, tetapi pada
kenyataannya Belanda tetap merasa berat bahkan terlihat ingin tetap menjadikan Irian barat sebagai
bagian dari negara Belanda ( dekolonisasi) . Bahkan Belanda dengan cara terang- terangan pada tahun
1953 dalam forum PBB mengemukakan niatnya untuk membentuk “ Negara Papua “ yang lepas dari
Indonesia . Usaha licik Belanda tersebut sukses digagalkan oleh Indonesia .
Menanggapi gelagat yang tak baik dari pihak Belanda terhadap msumberah Irian Barat ini , maka pada
tahun 1954 pemerintah Indonesia membatalkan kesepakatan Uni Indonesia – Belanda , sebab dirasakan
tak berguna bagi Indonesia. Dilanjutkan pada tahun 1956 pihak Indonesia menyebutkan pembatalan
hasil KMB, sebab dikualitas Belanda tak menepati putusan mengenai Irian Barat. Perbuatan Indonesia
sebagai reaksi atas sikap Belanda dalam menyelesaikan msumberah Irian Barat ini semakin berlanjut
dalam bentuk :perjuangan melewati jalur diplomasi maupun dengan perjuangan fisik .

Perjuangan diplomasi

Pemerintah Indonesia dalam usaha pembebasan Irian Barat dengan jalur diplomasi alias menempuh
penyelesaian dengan jalan damai, diantaranya merupakan sebagai berikut :

Pembatalan perundingan KMB : Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hasil hubungan
dengan Belanda berdasarkan perundingan KMB yang diperbuat dengan cara sepihak oleh Indonesia
dengan dikeluarkannya Undang- undang Nomor : 13 tahun 1956

Pembentukan Provinsi Irian Barat : Pada tanggal 17 Agustus 1956 diadakan pembahasan mengenai
pembentukan pemerintahan sementara Irian Barat , yang pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 23
September 1956 . Pemerintahan sementara Irian Barat berpusat di Soa Siu, di Pulau Tidore . Pemangku
jabatan oleh Zainal Abidin Syah, sultan Tidore.

Konferensi Asia – Afrika: Konferensi Asia – Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 s.d.
24 April 1955 dihadiri 29 negara , antara lain menghasilkan dukungan terhadap Indonesia untuk merebut
kembali Irian Barat dari kekuasaan Belanda.

Perjuangan diplomasi di forum PBB : Kelompok informal yang anggotanya dari negara- negara Asia –
Afrika mempunyai pengaruh lumayan kuat di PBB. Faktor ini dikegunaaankan oleh Ali Sastroamidjojo
yang saat itu sebagai perdana menteri ( kabinet Ali ) , untuk mencari penyelesaian msumberah Irian
Barat di PBB

Pada tahun 1961 melewati sidang Majelis Umum PBB , msumberah Irian Barat diperdebatkan . Pada saat
itu Sekjend PBB : U Than meminta terhadap seorang diplomat Amerika Serikat : Eisenhower Bunker
untuk mengajukan usul mengenai penyelesaian msumberah Irian Barat, yang kemudian dikenal dengan
istilah “ Usul Bunker “. Isi usul Bunker merupakan supaya Belanda menyerahkan Irian Barat terhadap RI
dalam jangka waktu 2 tahun dengan perantaraan PBB. Pemerintah RI menerima usul tsb tetapi meminta
supaya waktunya diperpendek , sedangkan pemerintah Belanda menyebutkan bakal melepaskan Irian
untuk ditempatkan dibawah perwakilan ( Trusteeship) PBB serta membentuk “ Negara Papua “ Pasti saja
usulan Belanda ini ditolak mentah- mentah oleh Indonesia .
Perjuangan dengan konfrontasi politik serta ekonomi

Sebagai langkah awal dalam melaksanakan konfrontasi ini pada tahun 1957 dibentuklah Front Nasional
Pembebasan Irian Barat , yang mengadakan aksi- aksi pembebasan Irian Barat yang dilancarkan di
seluruh tanah air.

Konfrontasi politik :

Pada tanggal 5 Desember 1957 pemerintah Indonesia menghentikan kegiatan konsuler Belanda di
Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam peringatan proklamasi kemerdekaan RI, presiden Soekarno
memberi tau pidato yang berjudul : “ Jalannya Revolusi Kami Bagaikan Malaikat Turun dari Langit ( JAREK
) “, sekaligus menandai pemutusan hubungan diplomatik Indonesia – Belanda , sebagai tasumsi RI atas
sikap penerintah Belanda yang menolak penyelesaian dengan cara damai.

Untuk mendukung konfrontasi militer di bulan Desember 1960 pemerintah mengirimkan misi ke Uni
Sovyet dipimpin oleh A.H. Nasution yang menjabat menteri keamanan nasional , untuk membeli
persenjataan serta peralatan perang lainnya .

Pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Yogyakarta presiden Soekarno mengadakan pembahasan
mengenai perjuangan pengembalian Irian Barat dengan perjuangan senjata . Faktor itu dikenal dengan
nama Tri Komando Rakyat alias Tipsora yang berisi : Gagalkan pembentukan negara Papua buatan
kolonial Belanda; Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah ai Indonesia; Bersiaplah untuk
mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan serta kesatuan tanah air Indonesia

Konfrontasi ekonomi :

Untuk menekan pihak Belanda supaya melepaskan kekuasaannya di Irian Barat , pemerintah RI yang
didukung segenap rakyat Indonesia mengadakan konfrontasi bidang ekonomi dalam bentuk :

Pemogokan buruh : Pada tanggal 18 November 1957 , diselenggarakan rapat umum rakyat Jakarta yang
intinya menuntut pembebasan Irian Barat dari belenggu Belanda. Aksi ini disertai dengan pemogokan
buruh pada semua perusahaan Belanda yang ada di Jakarta

Pada tanggal 2 Desember 1957 , pemerintah Indonesia melarang beredarnya film- film Belanda di
Indonesia.,dan melarang perusahaan angkutan laut Belanda berlabuh di Jakarta

Pada tahun 1958 pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No 23 tahun 1958 mengenai pengambilalihan
modal serta perusahaan Belanda di Indonesia . Beberapa perusahaan Belanda yang diambil alih
pemerintah RI antara lain : Nederlandsche Handel Maatschappij NV , di bulan Desember 1957 , yang saat
ini menjadi Bank Dagang Negara; Bank Escomto , pada tanggal 9 Desember 1957; Percetakan De Unie , di
bulan Desember 1957 dan Perusahaan Phillips serta KLM di bulan Desember 1957

Tri Komando Rakyat


Langkah- langkah yang diambil pemerintah RI dalam melaksanakan Tipsora tersebut merupakan
membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962 , dengan tugas :

Merencanakan , mempersiapkan serta menyelenggarakan operasi- operasi militer dengan tujuan


mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat kedalam kekuasaan negara Republik Indonesia

Mengembangkan situasi militer di wilayah provinsi Irian Barat sesuai dengan taraf – taraf perjuangan di
bidang diplomasi Berusaha supaya dalam waktu yang sesingkat- singkatnya di wilayah provinsi Irian
Barat dengan cara de facto diciptakan daerah- daerah yang diduduki unsur- unsur kekuasaan /
pemerintah RI.

Bertindak sebagai panglima komando Tipsora merupakan Mayjend Soeharto, wakil I : panglima Kol. Laut
Subono , wakil II : panglima Kol. Udara : Leo Watimena serta sebagai Ka Staf Perpaduan merupakan Kol.
Achmad Taher .

Dalam menjalankan tugasnya komando Mandala melancarkan operasi- operasi pembebasan Irian Barat
dalam tiga fase :

Fase pertama merupakan fase Infiltrasi dilaksanakan hingga akhir tahun 1962 . Fase ini berupa
memasukkan kompi- kompi ke kurang lebih target tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
Pada bagian inilah pada tanggal 15 Januari 1962 gugur Komodor Yos Sudarso , kapten Wiratno serta
kapal RI Macan Tutul di perairan laut Aru . Oleh sebab itu untuk mengenang momen tsb setiap tanggal
15 Januari diperingati sebagai hari Bahari TNI Angkatan Laut.

Melewati fase infiltrasi ini sukses mendaratkan pasukan TNI serta para sukarelawan di beberapa tempat
di Irian Barat . Nama operasi yang dilancarkan dalam fase infiltrasi ini merupakan :

Operasi Banteng di Fakfak serta Kaimana

Operasi Srigala di kurang lebih Sorong serta Teminabaun

Operasi Naga di Merauke

Operasi Jatayu di Sorong , Kaimana serta Merauke

Fase kedua, disebut fase Eksploitasi , dimulai awal tahun 1963 dengan mengadakan serangan terbuka
terhadap induk militer lawan, serta menduduki pos- pos pertahanan musuh paling penting. Melewati
operasi Jayawijaya , angkatan laut Mandala dibawah ceo kolonel Sudomo membentuk Angkatan Tugas
Amphibi 17 .

Pada masa perebutan Irian Barat inilah dikenal tokoh sukarelawati : Herlina , yang sangat gigih serta
gencar dalam meperbuat serangan- serangan menyusup ke daerah pedalaman Irian Barat . Atas nama
pemerintah RI, presiden Soekarno menganugerahkan “ Pending Emas “ terhadap Herlina atas jasa-
jasanya tsb.
Fase ketiga , yaitu fase Konsolidasi , dilaksanakan awal tahun 1964 dengan tujuan menegakkan
kekuasaan RI dengan cara utama di seluruh Irian Barat.

Persetujuan New York

Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani persetujuan antara Indonesia serta Belanda di Markas
Besar PBB di New York , yang kemudian dikenal dengan Persetujuan New York.

Adapun isi perjanjian New York antara lain :

Mulai tanggal 1 Oktober 1962 kekuasaan Belanda atas Irian Barat beres : Untuk selanjutnya Irian Barat
dikuasai oleh pemerintah sementara PBB yang disebut UNTEA ( United Nations Temporary Execative
Auyhority ) . Sejak itulah bendera Belanda diturunkan diganti dengan bendera PBB

Mulai tanggal 1 Oktober 1962 hingga dengan 1 Mei 1963 Irian Barat berada dibawah kekuasaan PBB :
Pemerintahan sementara PBB ( UNTEA) berada dibawah ceo Jalal Abdoh dari Iran , sedangkan sebagai
gubernur Irian Barat yang petama merupakan E.J. Bonay, putra orisinil Irian Barat. Untuk menjamin
keamanan di Irian Barat PBB membentukUnited Nations Security Forces ( UNSF ) dibawah ceo Brigadir
Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan . Dengan cara berangsur- angsur angkatan perang Belanda
dipulangkan serta sebagian ditempatkan dibawah pengawasan PBB serta tak diperbolehkan untuk
kegiatan operasi militer. Antara Irian Barat serta daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas .

Mulai tanggal 31 Desember 1962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB

Pada tanggal 1 Mei 1963 dengan cara resmi PBB menyerahkan Irian Barat terhadap pemerintah RI

Sebagai bagian dari Persetujuan New York Indonesia menerima keharusan untuk mengadakan “
Penentuan Pendapat Rakyat “ ( Ascertainment of the wishes of the people ) alias dikenal dengan istilah
PEPERA , di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969 . Dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak :
Belanda – Indonesia bakal menerima keputusan hasil penentuan pendapat rakyat Irian Barat tersebut.

Pengertian penting Penentuan pendapat rakyat ( Pepera )

Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Persetujuan New York yang sudah ditandatangani pihak Belanda –
Indonesia, maka sebelum akhir tahun 1969 diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat ( Pepera) yang
dilaksanakan dalam tiga bagian :

Bagian pertama , dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 1969 , berupa konsultasi dengan dewan- dewan
kabupaten di Jayapura mengenai tata tutorial pelaksanaan Pepera.

Bagian kedua : dilaksanakan pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera. Kegiatan ini sukses memilih
1.026 anggota ( 983 laki- laki, 43 perempuan ) dari delapan kabupaten di Irian Barat. Kegiatan ini beres
di bulan Juni 1969
Bagian Ketiga : pelaksanaan Pepera yang berjalan di kabupaten- kabupaten , mulai tanggal 14 Juli 1969 di
Merauke serta beres tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura .Pelaksanaan Pepera tersebut disaksikan oleh
utusan PBB, utusan Belanda serta utusan Australia.

Dari pelaksanaan Pepera tersebut hasilnya menunjukkan bahwa rakyat Irian Barat ingin tetap bersatu
dengan Republik Indonesia , serta Belanda dengan rela menerima kenyataan itu.

Hasil- hasil Pepera tersebut dibawa ke sidang umum PBB oleh Ortis Sanz, duta besar PBB yang
menyaksikan dengan cara langsung setiap bagian pelaksanaan Pepera tsb.

Pada tanggal 19 November 1969 dalam Sidang Umum Dewan Keamanan PBB ke- 24 menyetujui resolusi
Belanda , Muangthai, Malaysia, Belgia, Luxemburg serta Indonesia , menerima hasil- hasil Pepera yang
sudah dilaksanakan sesuai dengan jiwa serta isi Persetujuan New York.[gs]

Anda mungkin juga menyukai