Laporan Pendahuluan Peritonitis
Laporan Pendahuluan Peritonitis
DISUSUN OLEH :
ADI PURNOMO
121440124040001
PURWOKERTO
2014
A. PENGERTIAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. (Fauci et al, 2008).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
B. ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
o Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
o Appendisitis yang meradang dan perforasi
o Tukak peptik (lambung / dudenum)
o Tukak thypoid
o Tukan disentri amuba / colitis
o Tukak pada tumor
o Salpingitis
o Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
o Operasi yang tidak steril
o Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal.
o Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
o Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.
5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh
dari lokasi peritonitisnya.
6. Nausea
7. Vomiting
8. Penurunan peristaltik.
D. PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal diawali
terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril
(kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri.
Akibatnya timbul edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen
menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak
dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti
oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada peritonitis ialah inflamasi tidak lokal dan seluruh
rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum. Sepsis adalah penyebab umum dari
kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemik. Proses
inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya
perlekatan usus (Brunner & Suddarth, 2002 : 1104).
Menurut Corwin (2000 : 528) komplikasi yang terjadi pada peritonitis ialah sepsis
dan kegagalan multiorgan.
Dua komplikasi pasca operatif paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan
abses. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukan adanya
dehisens luka (Brunner & Suddarth, 2002 : 1104).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
• Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift to the left.
Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe
infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau
malah leukopenia
• PT, PTT dan INR
• Test fungsi hati jika diindikasikan
• Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
• Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
• Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
• BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
Diagnostic Peritoneal Lavage.• Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan PMN
merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL, LDH
cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat, didapatkan multipel
organisme. (7)
2. Radiologis
• Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus) adalah
pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada penderita dengan
kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara bebas sering ditemukan pada
perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi kolon dan juga
appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di
bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang merupakan indikasi adanya
perforasi organ.
3. • USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas (abses
perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah pelvis.
Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak nyaman,
adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites), tetapi
kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral dari
rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan USG
tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan
ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi
dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada
peritonitis. (7)
4. • CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak lagi
diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus
intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika memungkinkan,
CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi
cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT
lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan pengumpulan cairan
bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT Scan.
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Konservatif
Indikasi terapi konservatif, antara lain:
·Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
·Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
·Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua dan
komorbid
·Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum. Terapi
suportif harus diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada penderita dengan
sepsis abdomen di ICU.
Terapi konservatif meliputi:
·Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah cairan
ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik atau
pada penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous
pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran
berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi
hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output yang memuaskan.
·Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
·Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor dengan
pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
·Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia aspirasi
·Nutrisi Parenteral
·Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti muntah.
Definitif / Pembedahan
Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan
pasien untuk
tindakan bedah antara lain :
o Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
o Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
o Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
o Pemberian terapi cairan melalui I.V
o Pemberian antibiotic
Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
o Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
o Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus,
darah, dan jaringan yang nekrosis
o Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
o Irigasi kontinyu pasca operasi
Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika
peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang
terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus
yang perforasi. Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi
terutama pada peritonitis generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutama pada penderita dengan SP yang parah yang
dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami perburukan atau jatuh ke
dalam keadaan sepsis.
Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan
perforasi ulkus duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi kolon, tetapi
lebih sering dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada penderita dengan syok dan
ileus
Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik dalam hal
ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian antibiotik
dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung pada tingkat keparahan peritonitis.
(LNG) Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus
pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis.
Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:
1.Pre Operasi
Resusitasi cairan
Oksigenasi
NGT, DC
Antibiotik
Pengendalian suhu tubuh
2. Pro Operasi
Balance cairan
Perhitungan nutrisi
Monitor vital Sign
Pemeriksaan laboratorium
Antibiotika
J. MASALAH KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien post operasi akibat
peritonitis menurut Doengoes (2000 : 516) adalah sebagai berikut :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan
perseptual / kognitif, peningkatan eskpansi paru, energi, obstruksi trakeobronkial.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti
melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,
disfungsi usus, abnormalitas metabolik, peningkatan kebutuhan metabolik dan
pembedahan.
e. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi, akumulasi drein, perubahan status
metabolis.
f. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri,
hipervolemik.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interprestasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.
- Menetapkan pola nafas yang normal / efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-
tanda hipoksia lainnya.
Auskultasi suara nafas. Dengarkan adanya kumur-kumur, mengi, crow dan atau
keheningan setelah ekstubasi.
Observasi frekuensi dan kedalaman pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau
pernafasan cuping hidung, Mencegah obstruksi jalan nafas.
Kurangnya suara nafas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau lidah dan
dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun penghisapan.
Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan pada
periode pasca operasi.
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
Tindakan / Intervensi
Rasional
Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
Periksa alat drein pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
Kolaborasi : Berikan cairan parenteral, produksi drah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.
Kulit yang dingin / lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi
perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
Tujuan :
Nyeri teratasi.
Kriteria Evaluasi :
-Mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol / dihilangkan.
-Tampak santai, dapat beristirahat / tidur dan ikut serta dalam aktivitas sesuai
kemampuan.
Tindakan / Intervensi
Rasional
Evaluasi rasa sakit secara reguler, mencatat karakteristik, lokasi dan intensitas (skala
0 – 5)
Lepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan kontrol yang mungkin
dapat meningkatkan kemampuan koping.
Analgesik IV akan dengan segera mencapaui pusat rasa sakit, menimbulkan
penghilangan yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
Tindakan / Intervensi
Rasional
Kaji abdomen dengan sering untuk kembali ke bunyi yang lembut, penampilan bising
usus normal dan kelancaran flatus
Kolaborasi : Tambahkan diet sesuai toleransi, contoh cairan jernih sampai lembut
Kehilangan / peningkatan dini menunjukan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut
diduga ada defisit nutrisi
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
Tindakan / Intervensi
Rasional
Beri penguatan pada balutan awal / penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik
aseptik yang ketat.
Pertahankan ketepatan saluran pengeluaran cairan pada drain / insisi yang mengalami
pengeluaran cairan yang berbau.
Fasilitas letak kantong dekat luka, menurunkan resiko terjadinya infeksi dan
kecelakaan secara kimiawi pada jaringan /
Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal selama batuk
atau bergerak.
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
Tindakan / Intervensi
Rasional
Bantu latihan rentang gerak, meliputi latihan aktif kaki dan lutut.
Bantu dengan ambulasi awal.
Pantau tanda-tanda vital, palpasi denyut nadi perifer, catat suhu / warna kulit dan
pengisian kapiler. Evaluasi waktu dan pengeluaran cairan urine.
Merupakan indikator dari volume sirkulasi dan fungsi organ / perfusi jaringan yang
adekuat.
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
-Melakukan dengan benar, prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.
Tindakan / Intervensi
Rasional
Anjurkan melakukan aktivitas biasanya secara bertahap sesuai toleransi dan sediakan
waktu untuk istirahat adekuat
Menghindari peningkatan tekan-an intraabdomen yang tidak perlu dan tegangan otot
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.EGC : Jakarta.
Doenges, E., Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.EGC : Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Peritonitis
http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/penatalaksanaan-peritonitis.html#ixzz36t4AFeI8
http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-000127.htm
http://glufu.blogspot.com/2009/12/peritonitis.html
http://www.peutuah.com/askep-peritonitis/