Keratitis 3
Keratitis 3
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama Lengkap : An. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 tahun
Alamat : Desa Mekarsari, Rt.2 Rw.11 , Banjar Kota
Datang Ke klinik Mata Tanggal : 30 Oktober 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pandangan mata sebelah kiri seperti ada yang menghalangi.
RPS : Pasien datang ke poli mata RSU Banjar dengan keluhan pengelihatan
mata kiri sisi luar seperti terhalang benda keputihan seperti kabut sejak
satu minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh mata kirinya kadang
terasa gatal dan kemerahan sejak satu bulan yang lalu. Sekitar seminggu
yang lalu pasien melihat di bulatan hitam mata kirinya terdapat bercak
berwana keputihan. Keluhan seperti rasa nyeri, mata seperti berpasir,
mata berair lebih banyak dari biasanya, mata seperti ada yang
mengganjal, kotoran mata lebih banyak disangkal oleh pasien.
RPD : Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
RPK : Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini.
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke puskesmas di berikan obat tetes mata,
tetapi tidak ada perubahan
Riwayat Alergi : Alergi obat-obatan (-), makanan (-), udara (-)
Riwayat Psikososial : Selama ini pasien pergi dan pulang sekolah mengendarai
dengan sepeda motor tanpa menggunakan pelindung mata,
pasien mengaku sering kelilipan, dan bila kelilipan pasien
menggosok matanya. Pasien tidak pernah menggunakan lensa
kontak.
5 Palpebra
2
Hematom (-) (-)
6 Punctum Lakrimalis
3
Edema (-) (-)
9 Konjungtiva Bulbi
4
Kemosis (-) (-)
10 Kornea
5
Kejernihan Jernih Keruh
11 Sklera
13 Iris
14 Pupil
6
Bentuk Bulat Bulat
Besar ± 3 mm ± 3 mm
15 Lensa
IV. RESUME
• Anamnesis
Seorang anak perempuan usia 15 tahun, datang dengan keluhan pengelihatan mata
kiri sisi luar seperti terhalang kabut putih sejak satu minggu yang lalu. Terkadang
mata kiri pasien terasa gatal dan terlihat merah. Sehari-hari pasien pergi dan pulang
sekolah dengan menggunakan sepeda motor, pasien sering kelilipan saat
mengendarai motor. Pasien juga sering menggosok matanya bila kelilipan.
V. DIAGNOSA KERJA
7
Keratitis
VI. PENATALAKSANAAN
Pengobatan
- Kompres mata
- Antibiotik topikal
Edukasi
- Hindari terlalu banyak menyentuh mata yang sakit
- Menjaga kebersihan daerah mata
- Kontrol ke poli mata
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1 Anatomi dan Histologi Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan
dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem
optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
h u m o r d a n o k s i g e n ya n g b e r d i f u s i m e l a l u i l a p i s a n a i r m a t a . S e b a g a i
t a m b a h a n , kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu
organtubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah100
kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar
longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembusmembran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai
pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin ole h Bulbus Krause ditemukan pada
daerah limbus
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5
% (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan
permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal seringterlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat deng an sel basal di sampingnya
dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa m e l a l u i b a r r i e r . S e l b a s a l
m e n g h a s i l k a n m e m b r a n b a s a l ya n g m e l e k a t e r a t k e p a d a n ya . B i l a
t e r j a d i g a n g g u a n a k a n m e n g a k i b a t k a n e r o s i r e k u r e n . Sedangkan epitel
berasal dari ektoderem permukaan.Epitel memiliki daya regenerasi
2. Membran bowman
9
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel.Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
l a p i s a n tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan
lebar s e k i t a r 1 µ m ya n g s a l i n g m e n j a l i n y a n g h a m p i r m e n c a k u p s e l u r u h
d i a m e t e r kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktulama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yangm e r u p a k a n f i b r o b l a s t e r l e t a k d i a n t a r a s e r a t k o l a g e n s t r o m a .
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
p e r k e m b a n g a n e m b r i o a t a u sesudah trauma
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur
hidup d a n m e m p u n y a i t e b a l + 4 0 m m . L e b i h k o m p a k d a n e l a s t i s
daripada membranBowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan
p r o s e s p a t o l o g i k l a i n n y a dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebalantara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
darikornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisane p i t e l k a r e n a t i d a k m e m p u n y a i d a y a r e g e n e r a s i , s e b a l i k n ya
e n d o t e l mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endoteld a n m e m b e r i k a n d a m p a k p a d a r e g u l a s i c a i r a n , j i k a e n d o t e l t i d a k
l a g i d a p a t menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel,stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
hilangnyatransparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan
olehepitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel,kedua lapisan
ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisanini
maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea
10
2.2 Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkascahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting
daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak j a u h
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
e n d o t e l menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan p a d a e p i t e l h a n y a m e n y e b a b k a n e d e m a s t r o m a k o r n e a
l o k a l s e s a a t y a n g a k a n meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi.
Penguapan air dari lapisan air mata p r e k o r n e a l m e n g h a s i l k a n h i p e r t o n i s i t a s
r i n g a n l a p i s a n a i r m a t a t e r s e b u t , ya n g mungkin merupakan faktor lain dalam
menarik air dari stroma kornea superfisial danmembantu mempertahankan keadaan dehidrasi..
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Subst ansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar
dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel a d a l a h
sawar ya n g efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
k o r n e a . N a m u n s e k a l i k o r n e a i n i c e d e r a , s t r o m a ya n g a v a s k u l a r d a n
m e m b r a n b o w m a n mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri,
virus, amuba,dan jamur .
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan
sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea,s e g e r a m e n g g a n g g u p e m b e n t u k a n b a ya n g a n ya n g b a i k d i r e t i n a .
O l e h k a r e n a n ya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil
2.4 Klasifikasi
Keratitis menurut lokasinya dapat dibagi menjadi:
1. Keratitis superfisial
Keratitis superfisial mengenai bagian epitel dan subepitel kornea. Keratitis ini
dapatberbentuk pungtata, numular, dendritik,geografik dan disciform.Bentuk-bentuk
ini khas untuk menentukan etiologinya. Biasanya tidak meninggalkan parut.
2. Keratitis stroma
Keratitis ini mengenai lapisan stroma dan biasanya berbentuk disciform.
3. keratitis profunda
Keratitis profunda mengenai stroma lapisan dalam dan endotel kornea dan mempunyai
bentuk yang tidak khas. Disfungsi endotel akan menyebabkan munculnya edema
kornea. Biasanya meninggalkan parut.
Keratitis dapat juga dibagi berdasar mikroorganisme penyebab infeksinya, bentuk lesi, maupun
etiologi lainnya. Di bawah ini adalah jenis-jenis keratitis berdasarkan pembagian tersebut.
12
Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi lokal konjungtiva, bersifat rekuren, biasanya
terdapat pada pasien paruh baya dengan blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik
akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita akan mengeluh sakit, seperti kelilipan, lakrimasi,
disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau
multipel, sering disertai neovaskularisasai dari limbus. Pengobatan yang diberikan adalah
antibiotika sesuai penyebabnya dan steroid dosis ringan.
13
2.4.4 Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial adalah suatu infeksi yang mengancam penglihatan, bersifat
progresif, serta terjadi destruksi kornea secara keseluruhan dalam 24-48 jam pada jenis bakteri
yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stromal, edema kornea, dan peradangan
segmen anterior merupakan karakteristik dari penyakit ini.
14
7. Pemakaian steroid topikal
2.4.4.2. Organisme penyebab
Organisme patogen penyebab keratitis bakteri diantaranya Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (termasuk Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan Proteus),
dan Staphylococcus sp.
2.4.4.3. Gejala klinis
Pasien dengan keratitis bakteri pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, fotofobia,
hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan
diantaranya riwayat pemakaian kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi
air mata, penyakit kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan
sekret kental mukopurulen. Kornea edem, injeksi konjungtiva, dan pada kasus yang berat dapat
ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan hipotonus badan siliar.
Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat akibat sumbatan dari trabecular
meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata juga dapat edema.
Beberapa jenis bakteri memiliki respon kornea yang khas yaitu :
1. S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval, kuning-putih,
supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih, serta menyebar dari
fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan diplokokus Gram
positif.
2. Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis liquefaktif yang
difus, dan semi-opak ’ground-glass’ pada penampakan stroma. Infeksi berkembang dengan
cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh Pseudomonas. Terasa nyeri, dan
perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan
bakteri batang Gram negatif
3. Enterobacteriaceae biasanya menyebabkan ulserasi dangkal, supurasi pleomorfik abu-abu-
putih dan diffuse stromal opalescence. Endotoksin yang dihasilkan bakteri Gram-negatif
dapat memberikan gambaran infiltrat ring cornea.
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan ulserasi epitel, infiltrat kornea tanpa
kehilangan jaringan, peradangan supuratif stroma dan padat, kehilangan jaringan stroma, dan
edema stroma. Dapat juga ditemukan peningkatan reaksi bilik mata depan dengan atau tanpa
hipopion, lipatan pada membran descemet, edema kelopak mata, sinekia posterior, peradangan
kornea fokal maupun difus, hiperemis konjungtiva, dan eksudat mukopurulen.
2.4.4.4. Pemeriksaan penunjang
15
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah kultur
mikroorganisme dengan pengambilan spesimen dari ulkus, menggunakan spatula platinum dan
ditempatkan pada agar darah dan agar coklat. Pewarnaan menggunakan Gram, Giemsa, dan
pewarnaan tahan asam atau akridin orange.
2.4.4.5. Terapi
Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial sering
terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi, aminoglikosida
(gentamisin 1,5%, tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam, cefazolin fortifikasi 1 tetes/jam pada jam
bangun selama lima hari, dan sefalosporin (cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan
fluoroquinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30
menit selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Monoterapi kurang
adekuat pada infeksi Streptococcus. Kombinasi terapi menggunakan fluorokuinolon dan
cefuroxim dapat disarankan pada anak. Perbaikan kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya.
Perawatan di rumah sakit dapat dilakukan bila kepatuhan pasien kurang atau
dibutuhkan perawatan malam hari pada kasus sulit. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik
maka antibiotik topikal dapat diberikan setiap dua jam. Apabila perbaikan yang terjadi dapat
dipertahankan maka tetes mata dapat diganti yang lebih rendah kadarnya atau dihentikan.
Pemberian tetes mata yang terlalu sering terutama aminoglikosida dapat mengakibatkan
keracunan konjungtiva dan kornea serta memperlambat penyembuhan epitel. Ciprofloksasin
dapat menyebabkan penumpukan deposit kornea berwarna putih dan memperlambat
penyembuhan. Antibiotik diganti apabila organisme telah resisten dan infeksi bertambah berat.
Siklopegik seperti atropin 1% dapat digunakan pada kedua mata untuk mencegah
sinekia posterior akibat uveitis anterior sekunder serta mengurangi nyeri akibat spasme siliar.
Kompres dingin dapat membantu mengurangi peradangan.
Terapi steroid masih kontroversial, keuntungan penggunaan steroid adalah mengurangi
nekrosis pada stroma dan mengurangi parut yang terjadi. Namun, steroid juga dapat
memperpanjang infeksi. Terapi steroid diindikasikan pada kultur yang steril dan terjadi
perbaikan dengan penggunaan steroid. Pada umumnya perbaikan terjadi 7-10 hari setelah terapi
dimulai
17
Terapi keratitis HSV bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan
memperkecil efek merusak respon radang.
1. Debridement: Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan
dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat sikloplegik seperti atropin 1% atau homatropin
5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek kornea sembuh, umumnya dalam 72
jam. Pengobatan tambahan dengan antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi
obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak
perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi keracunan obat.
2. Terapi obat: Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir efektif untuk penyakit stroma.
Idoxuridine dan trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral digunakan untuk
penyakit herpes mata berat. IDU merupakan obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil,
bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga bersifat toksik untuk
epitel normal dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vidarabin sama dengan IDU, akan
tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IUD, diberikan
1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Dalam bentuk salep
3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek
samping yang minimal.
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten umumnya sembuh sendiri dan terjadi
pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu,
bahkan berpotensi sangat merusak. Sekali dipakai kortikosteroid topikal, umumnya pasien
terpaksa memakai obat itu untuk mengendalikan episode keratitis berikutnya, dengan
kemungkinan terjadi virus yang tidak terkendali dan efek samping lain yang berhubungan
dengan steroid, seperti superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma, dan katarak. Kortikosteroid
topikal dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi
kornea. Jika memang perlu pemakaian kortikosteroid topikal karena hebatnya peradangan,
penting sekali ditambahkan obat antivirus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Terapi bedah: Keratoplasti penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi pada parut kornea
berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca
bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal
yang dipakai untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Keratoplasti lamelar memiliki
18
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan
transplant.
4. Pengendalian mekanisme pemicu: Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat dihindari, keadaan-keadaan yang
dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi.
21
Gram positif batang Amikasin Ciprofloksasin
nocardia sp,
actinomyses sp
Organisme gram Cefazolin Penisilin G Vancomisin atau
positif lain : kokus ceftazidim
dan batang
Gram negatif kokus Ceftriakson Penisilin G Cefazolin atau
vancomisin
Gram negatif batang Tobramisin atau Ciprofloksasin Polimiksin B atau
pseudomonas gentamisin karbenisilin
Gram negatif batang Penisilin G Gentamisin Tobramisin
moraxella
Gram negatif batang Tobramisin Seftazidim Gentamisin atau
lainnya karbenisilin
Yeast like organism Natamisin Amfoterisin B Nistatin, mikonazol
= candida sp
Hifa-like organism = Natamisin Amfoterisin B Mikonazol
jamur
Kista, tropozoit = Propamidin dan Propamidin atau Mikonazol
akantamuba poliheksametilen neomisisn
biguanid
22
Terdapat keratokonjungtivitis flikten dan keratitis fasikularis. Keratokonjungtivitis flikten
merupakan radang pada konjungtiva dan kornea. Terjadi karena reaksi imun pada jaringan yang
sudah tersensitisasi oleh antigen. Pada benjolan akan ditemukan adanya penimbunan sel
limfoid dan eosinofil. Pengobatan dilakukan dengan pemberian steroid. Keratitis fasikularis
merupakan keratitis dengan pembentukan pembuluh darah yang menjalar dari limbus ke
kornea. Jenis ini merupakan penampilan flikten yang berjalan (wander phlycten) sambil
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.
2.4.13. Keratokonus
Keratokonus merupakan penyakit degeneratif bilateral yang jarang. Berkaitan dengan sindrom
Down, dermatitis atopik, retinitis pigmentosa, sindrom Marfan, dll. Terjadi perubahan pada
membrana Bowman dengan degenerasi keratosit, ruptur membran Descemet, dan parut linear
superfisial yang tidak teratur pada apeks konus yang terbentuk. Biasanya muncul mada dekade
kedua kehidupan. Tanda-tandanya meliputi keluhan pandangan kabur dan kornea yang
berbentuk konus.
23
Lesi kornea dapat terjadi karena trauma maupun non trauma. Trauma dapat dari luar (trauma
tumpul, benda asing, jari tangan, dll) maupun dari bagian mata sendiri (trikiasis, distrikiasis).
Sedangkan penyebab non trauma di antaranya adalah sebagai komplikasi konjungtivitis atau
blefaritis, alergi atau hipersensitivitas terhadap obat, kurangnya air mata atau substansi air
mata, degenerasi, imunosupresi (penyakit sistemik seperti diabetes dan HIV, penggunaan
steroid lama) serta defisiensi vitamin A. Baik lesi karena trauma maupun non trauma dapat
menyebabkan infeksi dan peradangan pada kornea. Pada anamnesis perlu dicari etiologi-
etiologi tersebut.
Tanda peradangan kornea di antaranya adalah injeksi siliar dan terlihatnya infiltrat pada kornea.
Untuk memastikan adanya lesi pada kornea digunakan fluoresein. Dapat juga digunakan lup
serta senter hingga alat yang lebih canggih seperti biomikroskop (slit lamp). Pada pemeriksaan
dengan senter perlu diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan senter.
Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan memberikan anestesi lokal. Tanda lain yang bisa
ditemukan yaitu:
– Ciliary flush
injeksi pembuluh darah konjungtiva dan episklera di sekeliling kornea
– Corneal opacification
Yaitu berupa tampilan kornea yang keruh
– Corneal epithelial disruption
• Iregularitas pantulan cahaya
• Uji fluoresein
• Uji dengan papan placido menunjukkan gambaran garis lingkaran tidak
beraturan
Keratitis dalam perjalanannya dapat sembuh tanpa meninggalkan bekas, dapat menjadi
sikatriks, maupun berlanjut menjadi ulkus kornea yang bisa berkomplikasi ke arah
endoftalmitis.
2.6 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan radang kornea secara umum, pasien diberikan antibiotika topikal
maupun antiviral atau antifungal sesuai penyebab infeksi, air mata buatan, siklopegik bila
perlu, serta suplementasi vitamin A, C, dan E. Steroid topikal sebaiknya dihindari pada kasus
keratitis kecuali pada beberapa kasus tertentu seperti pada keratitis marginal. Penatalaksanaan
lainnya disesuaikan dengan masing-masing jenis keratitis. Pada keratitis yang sembuh dengan
24
meninggalkan bekas sikatriks, biasanya penderita mengeluhkan adanya gangguan penglihatan.
Hal ini dapat diatasi dengan jalan keratoplasti (transplantasi kornea).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 2011
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Jakarta : Sagung Seto, 2002
25
3. John P. Lensa. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum
(ed. 14). Jakarta: Widya Medika. 2000.
4. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan kelima. Jakarta: 1989. hlm. 83-84.
7. Ophthalmology AAo. Examination techniques for the external eye and cornea. Basic
and Clinical Science Course. Cornea and external eye disease. Vol 8. San Francisco:
8. Edelstein SL, Wichiensin P, Huang AJ. Bacterial keratitis. In: Krachmer JH, Mannis
MJ, Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:919-940.
26