Anda di halaman 1dari 1

Awal 1949, sudah hampir sebulan rengat dan tembilahan diduduki serdadu KNIL.

Bak semut yang hancur sarangnya, mereka berkerumun, membentuk koloni baru, merusak
wilayah yang mereka tempati. Sejak itu, mereka berupaya mencari tempat konsentrasi
pasukan TNI. Rakyat terpaksa mundur dan meneruskan perang dengan taktik gerilya.
Isak tangis, kesedihan, dan wajah-wajah kehilangan menjadi teman orang-orang
setiap hari dalam suasana perang ini. Anak-anak kehilangan ibunya, ayahnya, bahkan
sahabat karib. Itulah yang dilihat Letnan II Muhammad Boya. Setelah sebagian dari sisa
pasukan yang dipimpin Komandan Batalyon Kapten Marah Halim berpisah dari
kelompoknya. Setidaknya hari-hari Letda M. Boya terisi dengan wajah baru, meski dipenuhi
keluh kesah.
Suatu malam, malam itu cerah, bulan tampak tersenyum, terang cahayanya. Letda
M. Boya sedang memperhatikan tiap-tiap anggotanya. Hanya tampang murung yang
terlihat. Beberapa dari mereka terpisah dari saudara, teman, tak tahu menahu soal kabar
mereka. Tiba-tiba datang seorang cacat. Kakinya telah hilang sebelah. Kepalanya tampak
menggunakan perban. Sepertinya hanya diobati seadanya. Ia meringis, mukanya menahan
tangis.
“ Maafkan saya, hanya jadi beban...” Ia meringkuh di kaki sang Letnan.
Teriris hatinya. Tersayat jiwanya. Namun ia takkan membiarkan prajurit itu.
Diangkatnya muka prajurit itu.
Plak...
Seluruh ruangan terdiam. Puluhan pasang mata tertuju pada kedua orang itu.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi prajurit itu. Merah pipinya, serasa panas. Cuma ia
tak dapat berbuat apapun.
“ Tak ada yang namanya beban. Tiap-tiap orang di sini berharga

Anda mungkin juga menyukai