Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA

SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN


HUKUM

Penulis :
David Irmantius

Pebimbing:
Suharnoko
Endah Hartati

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JANUARI 2013

ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas gejala penipisan perbedaan konsep wanprestasi dengan konsep perbuatan
melawan hukum yang ditandai dengan penggunaan konsep perbuatan melawan hukum pada
pembatalan perjanjian sepihak. Di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana suatu konsep
perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam sengketa pembatalan perjanjian sepihak, selain
itu juga akan dibahas mengenai konsep ganti rugi yang digunakan. Untuk lebih memahami
penerapan gugatan perbuatan melawan hukum ini, akan dianalisa beberapa putusan dari sengketa
pembatalan perjanjian sepihak yang digugat dengan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini
adalah penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian dengan lebih mengutamakan data sekunder,
khususnya terhadap bahan hukum primer berupa putusan pengadilan.

Kata Kunci:
Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, Pembatalan Perjanjian Sepihak

ABSTRACT
This thesis discusses the indications of subtle difference between default concept and illegal action
concept shown with the use of illegal action concept on the unilateral cancellation of agreement. It
will not only discuss how an illegal action concept can be applied in a dispute over the unilateral
cancellation of agreement, but it will also discuss the concept of compensation used. To better
understand the application of lawsuit over illegal action, an analysis of several decisions of the
dispute over the unilateral cancellation of agreements challenged for the reason of illegal action
will be carried out. This research is a judicial normative research having priority over secondary
data, particularly in primary legal materials in the form of a court decision.

Key words: Illegal action, default, unilateral cancellation of agreement

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


PENDAHULUAN

Menurut Prof. Subekti, mendefinisikan suatu perikatan adalah suatu


perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berkehendak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.1 Sedangkan menurut pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), “perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana kedua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa


perjanjian itu menerbitkan perikatan dimana perjanjian merupakan sumber
terpenting yang melahirkan perikatan.3 Dapat diketahui bahwa perikatan itu paling
banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada sumber-sumber lain yang lain
yang melahirkan perikatan yang tercangkup dengan nama undang-undang.4 Hal
tersebut sesuai dengan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang menyebutkan bahwa perikatan dapat lahir dari perjanjian atau
undang-undang.5

Perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang akan


melahirkan hak dan tanggung jawab yang dapat dituntut serta harus dipenuhi oleh
masing-masing pihak. Namun dasar lahirnya perikatan tersebut mempunyai akibat
yang berbeda bagi para pihak. Dalam perikatan yang lahir dari perjanjian akibat
yang timbul dikehendaki oleh para pihak sedangkan dalam perikatan yang lahir
dari undang-undang, akibat yang timbul ditentukan oleh undang-undang yang

1
Ibid., hal. 1.
2
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1313.
3
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa , 2002), cet.19, hal 1.
4
Ibid., hal 1.
5
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1233.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


mungkin saja tidak dikehendaki para pihak atau di luar kemauan para pihak yang
bersangkutan.6 Adanya perbedaan sumber perikatan tersebut berpengaruh pada
bentuk gugatan jika nantinya dalam pelaksanaannya salah satu pihak tidak
memenuhi hak dan kewajibannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian para pihaknya sepakat mengikatkan


diri dalam sebuah perjanjian. Pada perjanjian ini, jika salah satu pihaknya merasa
bahwa pihak lain tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, maka pihak tersebut dapat menuntut
pemenuhan hak-haknya dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan.

Perikatan yang lahir karena undang-undang terjadi karena dua sebab.


Pertama adalah karena undang-undang yang menyatakan bahwa antara pihak-
pihak yang disebutkan undang-undang mempunyai perikatan atau hubungan
hukum, dalam hal ini subjek hukumnya pasif. Kedua adalah perikatan yang
bersumber sebagai akibat perbuatan manusia. Perikatan yang bersumber dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia mengandung arti bahwa dengan
dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang
melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku
seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan
(tidak bertentangan dengan undang-undang) atau merupakan perbuatan yang tidak
dibolehkan undang-undang (melawan hukum).7 Hal tersebut juga disebutkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1352, “perikatan yang
dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari
undang-undang akibat perbuatan orang”8

Pelanggaran terhadap perikatan yang timbul karena undang-undang ini


dapat digugat dengan gugatan melawan hukum, yang dimana tercantum dalam
6
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal 3.
7
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003) hal. 31.
8
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1352

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seseorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.9

Dari hal yang penulis uraikan di atas, jelaslah bahwa terdapat perbedaan
yang mendasar antara gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan
hukum. Gugatan wanprestasi lahir karena pelanggaran terhadap perikatan yang
timbul karena suatu perjanjian/kontrak, dalam artian bahwa sebelumnya telah
terdapat hubungan kontraktual antara para pihak. Sedangkan perbuatan melawan
hukum lahir karena adanya pelanggaran terhadap perikatan yang timbul dari
undang-undang, tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak.

Namun pada saat ini, gugatan wanprestasi maupun gugatan perbuatan


melawan hukum, mengalami penipisan perbedaan. Penipisan perbedaan tersebut
diketahui dengan adanya pada saat ini pelanggaran terhadap perikatan yang lahir
dari perjanjian juga dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum. Gugatan
melawan hukum ini digunakan agar para pihak yang menggugat tetap dapat
menuntut hak-haknya, tanpa harus menyandarkan dasar gugatannya pada
perjanjian sebelumnya, karena perjanjian para pihak telah dibatalkan.

Dikarenakan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengamati


kembali hukum perikatan secara teoritis khususnya yang berkaitan dengan
pangkal sengketa dalam hukum perikatan yang dapat dijadikan alasan gugatan.
Untuk lebih memahami, penulis meneliti dan menganalisa putusan dari perbuatan
melawan hukum atas pembatalan perjanjian secara sepihak yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 281/PDT.G/2007/PN.JKT.PST dan Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 176/PDT/2009/PT.DKI Antara Conoco Philips
Melawan PT. Sapta Sarana Persona Prima, serta Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 1787 K/PDT/2005 Antara PT. PERTAMINA
(PERSERO) Melawan PT. WAHANA SENO UTAMA.

9
Ibid., Pasal 1365.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, pokok permasalah yang
akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah suatu pembatalan perjanjian secara sepihak dapat diterapkan


dalam konsep perbuatan melawan hukum?
2. Bagaimanakah sistem ganti rugi yang diterapkan dalam gugatan perbuatan
melawan hukum atas perjanjian yang dibatalkan secara sepihak?
3. Bagaimanakah penerapan gugatan perbuatan melawan hukum dan sistem ganti
rugi yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan terhadap perkara
perdata atas gugatan perbuatan melawan hukum?

PEMBAHASAN

Dalam bidang hukum perdata sering kita jumpai istilah perjanjian, adanya
suatu perjanjian selalu menimbulkan perikatan. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.”10

Sedangkan menurut Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah peristiwa


dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”11

Dalam membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat agar


perjanjian tersebut sah dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya di depan
hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1320

10
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1313.
11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), cet 24, hal 3

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


sampai dengan pasal 1337 dijelaskan mengenai syarat-syarat sah suatu
perjanjian12

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yang mana jika syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan
pembatalan oleh pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
objektif, yang mana jika kedua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka
perjanjian akan batal demi hukum. Hal ini berakibat perjanjian dianggap tidak
pernah ada.

Akibat hukum perjanjian yang sah, yakni memenuhi syarat-syarat pada


pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut
undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.13

Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian
tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan
secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian
tersebut itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi.
Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.14

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur
subjektif, dan sebagai unsur objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum
benda unsur subjektif berarti “kejujuran” atau “kebersihan” si pembuatnya.
Namun dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

12
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1320.
13
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1338.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1992) Cet.
3. Hal 97.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Perdata), bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan
perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif
untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan
kepatutan dan kesusilaan itu, undang-undang juga tidak memberikan
perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut.
Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan berarti kepantasan, kelayakan,
kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari
arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai
yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan beradab, sebagai mana sama-
sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.15

Itikad baik juga dapat diartikan bahwa dalam melaksanakan haknya,


seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu.
Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin
kreditur dapat dianggap melakukan kontrak dengan itikad tidak baik.16

Dalam melaksanakan perjanjian dengan itikad baik perlu diperhatikan juga


“kebiasaan”. Hal ini ditentukan juga dalam pasal 1339 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata)

Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan undang-


undang dan adat kebiasaan disuatu tempat, disamping kepatutan. Atas dasar pasal
ini kebiasaan juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang,
sehingga kebiasaan itu turut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam
perjanjian. Namun demikian, adat istiadat tidak boleh mengenyampingkan atau
menyingkirkan undang-undang, apabila ia menyimpang dari ketentuan undang-

15
Ibid., hal. 99.
16
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Kencana, 2004), Cet
1, hal 4

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


undang. Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku (dimenangkan) meskipun
sudah ada adat istiadat yang mengatur.17

Dasar hukum asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dijelaskan dalam rumusan angka
4 yang berbunyi “suatu sebab yang halal.” Asas kebebasan berkontrak
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan
“dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah satu
asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Dengan asas
kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian
yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib
dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.

Perjanjian timbal balik yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar.
Sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya perjanjian hibah dan
hadiah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam
soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata). Menurut pasal ini salah satu syarat adanya pemutusan
perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

Pembatalan perjanjian atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai


ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati
kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada saat mana pihak lainnya tetap
bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikan dan menghendaki
untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak lainnya itu.

Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi
syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi

17
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.101.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


para pihak yang membuatnya. Seperti yang tercantum pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa:

“persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan


sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan tidak cukup untuk itu”18

Dari pasal 1336 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat dibatalkan sepihak, karena jika
perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tidak
mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari pasal 1266 dan
1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maka jelas diatur
mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Permintaan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar
nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan
alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak memenuhi kewajibannya
(wanprestasi).

Menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH


Perdata), ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat supaya pembatalan
itu dapat dilakukan. Tiga syarat tersebut adalah:

a. Perjanjian bersifat timbal balik


b. Harus ada wanprestasi
c. Harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan diatas dimana kedua
pihak memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu
pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian,
maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.19

18
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1338
19
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.130.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Jika dilihat dari pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), pengertian perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai berikut:

“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada


seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut”

Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) hanya dalam beberapa pasal saja,
sebagaimana juga yang terjadi di Negara-negara yang menganut sistem Eropa
Kontinental lainnya, tetapi kenyataannya dilapangan menunjukkan bahwa gugatan
perdata yang ada di pengadilan didominasi oleh perbuatan melawan hukum
disamping tentunya gugatan wanprestasi kontrak.20

Istilah “perbuatan melawan hukum” dalam bahasa Belanda disebut juga


dengan onrechtmatige daad atu dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu
sendiri hanya berarti “salah” (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang
hukum, kata tort berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata
yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa dengan pengertian
perbuatan melawan hukum dalam sistem hukum Belanda atau Negara-negara
Eropa Kotinental lainnya. Kata tort berasal dari bahasa latin yaitu “torquere” atau
”tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong” berasal dari kata Perancis
“wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada perinsipnya
tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan
melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut
oleh peribahasa Latin, yaitu: Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum
non laedere. Suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur,
tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).21

20
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005),
cet 2, hal. 3
21
Ibid., hal. 2

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sumber perikatan adalah
perjanjian dan undang-undang (pasal 1233 KUH Perdata).22 Wanprestasi
bersumber dari perjanjian sedangkan perbuatan melawan hukum bersumber dari
undang-undang.

Akibat dari wanprestasi diatur dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUH Perdata) sampai dengan 1252 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai
pengganti kerugian yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga yang berwujud uang.
Akibat dari perbuatan yang melawan hukum selain pengganti kerugian yang
berwujud uang dimana pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) sampai dengan 1252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), dapat diterapkan secara analogis, juga berwujud pemulihan dalam
keadaan semula dan larangan untuk mengulangi perbuatannya lagi atau suatu
prestasi yang bukan berupa uang untuk menghilangkan kerugian yang diderita.23

Pentingnya pembedaan gugatan berdasarkan perjanjian dan gugatan


berdasarkan perbuatan melawan hukum ialah karena dalam praktek biasanya
penggugat mulai dengan gugatan karena perbuatan melawan hukum dan atas
dasar itulah ia meminta ganti rugi. Tergugat akan menjawab bahwa gugatan
berdasar perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima dan hanya dapat diterima
berdasarkan tidak ditepatinya perjanjian. Hakim akan memeriksa apakah gugatan
berdasarkan perbuatan melawan hukum mungkin, dan jika tidak mungkin maka
hakim akan menolak gugatan itu24

Pemutusan perjanjian, memang diatur dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pasal 1266, haruslah memenuhi syarat-
syarat bahwa perjanjian tersebut haruslah bersifat timbal balik, harus ada
wansprestasi dan pembatalannya dan harus memintakan pada hakim (pengadilan).

22
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1233.
23
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 46
24
Ibid., hal. 44

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Namun jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut,
maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang,
yakni pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut.
Selain itu jika dilihat dapat dilihat dari alasan pembatalan perjanjian, jika
pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan
posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada
pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam suatu perbuatan melawan hukum,
karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan
merugikan dari pihak lawan diluar dari pelaksanaan kewajiban yang atur dalam
perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi, namun lebih ke arah
melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam perjanjian.
Itikad baik dapat dilihat dari dua tolak ukur, pertama dilihat dar isi perjanjian,
apakah hak dan kewajiban para pihak rasional atau tidak, patut atau tidak. Kedua
dapat dilihat dari pelaksanaan perjanjiannya.

Selain melanggar kewajiban hukum untuk beritikad baik, tindakan


kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah pihak lawan juga dapat
dikatakan melanggar kepatutan. Kepatutan itu tergantung dari rasional masyarakat
menilai tindakan tersebut. Jadi pembatalan perjanjian sepihak tanpa alasan yang
sah, yakni tidak memenuhi syarat yang tertera dalam pasal 1266 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), termasuk dalam perbuatan melawan
hukum, apalagi jika pembatalan perjanjian tersebut sebagai akibat memanfaatkan
posisi dominannya untuk melakukan kesewenang-wenangan kepada pihak lain
yang lebih lemah atau mempunyai kedudukan yang merugikan. Hal ini termasuk
dalam perbuatan melawan hukum.

Hal ini sejalan dengan pendapat Suharnoko, bahwa suatu pelanggaran


perjanjian atau pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh satu pihak, dapat juga
berupa suatu pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau suatu perbuatan
yang melanggar kepatutan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan dalam
hubungan antara warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.25

25
Suharnoko, Op. Cit., hal 131

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Pitlo menegaskan bahwa biasanya dalam menentukan besarnya kerugian
karena perbuatan melawan hukum tidak diterapkan ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), melainkan
paling tinggi ketentuan dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) tersebut secara analogis. Oleh karena itu Rosa Agustina
berpendapat bahwa dalam pasal 1247 dan pasal 1250 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), tidak dapat diterapkan untuk perbuatan melawan
hukum karena:26

a) Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


mengenai “perbuatan perikatan” yang berarti, bahwa perikatan tersebut
dilahirkan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan hukum
tidaklah merupakan perikatan yang lahir dari persetujuan.
b) Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
membebankan bunga atau penggantian biaya, rugi dan bunga dalam
hal terjadi kelambatan pembayaran sejumlah uang, sedangkan yang
dialami karena perbuatan melawan hukum bukan disebabkan karena
tidak dilakukan pembayaran uang tepat pada waktunya.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis setuju dengan pendapat yang


dikemukakan oleh Pitlo dan Rosa Agustina, karena pasal 1247 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengisyaratkan adanya suatu perjanjian
sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat bahwa si berutang hanya
diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga nyata, yang telah, atau sedianya
harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan. Seperti yang dikemukakan Rosa
Agustina dari pasal ini mencerminkan adanya suatu “perbuatan Perikatan”,
sedangkan perbuatan melawan hukum lahir dari pelanggaran terhadap perikatan
yang lahir karena undang-undang.

Menurut teori klasik ganti kerugian karena wanprestasi yang dijadikan


acuan adalah keadaan dimana seandainya perjanjian dilaksanakan, sedangkan

26
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 72

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang dijadikan acuan adalah sebisa
mungkin mengembalikan pihak yang dirugikan kepada keadaan sebelum
perbuatan melawan hukum terjadi. Sehingga pada saat wanprestasi ganti rugi yang
dituntut dapat juga termasuk ganti rugi terhadap keuntungan yang diharapkan
seandainya perjanjian terlaksana, yang mana besarnya kerugian sudah bisa diduga
dan dihitung sebelumnya. Sedangkan dalam ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum, yang dapat dituntut hanyalah ganti rugi yang nyata diderita oleh pihak
yang dirugikan (reliance loss). Teori klasik ini tidak sepenuhnya berlaku mutlak
meskipun masih relevan digunakan.27 Dengan berlakunya teori analogi terhadap
ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka pada umumnya dianut
pendapat bahwa ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum selain harus
mengganti kerugian yang ditimbulkan juga harus membayar ganti rugi akibat
keuntungan yang dapat diharapkan diterima (winstderving).28 Yang perlu
diperhatikan apakah kerugian atas kehilangan keuntungan yang diharapkan
memang sudah dapat diduga oleh Tergugat dan merupakan akibat langsung dari
tidak terpenuhinya perikatan.29

Pada kasus pertama, pembatalan sepihak yang dilakukan oleh Conoco


Philips terhadap PT. Sapta Sarana Persona Prima didasarkan karena pihak Conoco
Philips menganggap PT. Sapta Sarana Persona Prima telah melakukan kelalaian
(wanprestasi) yaitu telah melakukan keterlambatan dalam pengiriman Rig-rig
selama 4 (empat) bulan dari jadwal yang disepakati dan Rig-rig yang didatangkan
tidak memenuhi spesifikasi kelayakan operasional sehingga tidak bisa
dioperasikan sama sekali dan dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan
pekerja dilapangan (tidak memenuhi persyaratan (i) safety, (ii) healty, (iii)
environment friendly). Hal ini telah sesuai dengan pasal 2.2.3 di dalam Addendum
Lampiran A Kontrak telah disepakati pengaturan sebagai berikut: (terjemahan
dalam bahasa Indonesia)

27
Suharnoko, Op. Cit., hal 136
28
Ibid., hal. 116
29
Ibid., hal. 136

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


“waktu adalah sangat penting. Apabila pada setiap waktu pelaksanaan
kontraktor atas kontrak ini tidak memadai untuk memenuhi keperluan
Perusahaan atau terlambat secara tidak wajar, maka Perusahaan akan
memberitahukan kepada Kontraktor, apabila dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah penerimaan tersebut Kontraktor lalai untuk
memulai atau melanjutkan pelaksanaan yang dipercepat untuk memenuhi
keperluan Perusahaan, maka Perusahaan dapat mengakhiri kontrak ini
sesuai dengan pasal 4.1.5. Setiap peningkatan sumber daya yang diberikan
oleh Kontraktor untuk mempercepat kemajuan harus ditanggung oleh
Kontraktor”

Selain itu menurut Conoco Philips, PT. Sapta Sarana Persona Prima
berulang kali ingkar janji, karena ternyata setelah dilakukan inspeksi oleh
MODUSPEC berdasarkan laporannya tanggal 27 september 2002 menyebutkan
banyaknya kerusakan-kerusakan yang terdapat pada komponen Rig-rig yang
didatangkan oleh PT. Sapta Sarana Persona Prima.

Jika dilihat dari hati hal tersebut di atas, memang alasan pemutusan
perjanjian sepihak yang dilakukan oleh Conoco Philips cukup memenuhi dua
alasan pertama dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni
perjanjian bersifat timbal balik, dan pihak Conoco Philips menganggap ada
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Hanya saja pemutusan
perjanjian tersebut dilakukan oleh Conoco Philips hanya melalui surat
pemberitahuan, dan tidak melewati pengadilan.

Namun karena pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima merasa tidak
melakukan ingkar janji (wanprestasi) sehingga tuduhan wanpretasi yang
dilontarkan pihak Conoco Philips terlebih dahulu harus dibuktikan. Dari ada atau
tidak wanprestasi yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah pemutusan
perjanjian secara sepihak telah sesuai dengan pasal 1266 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, atau termasuk dalam lingkup perbuatan melawan hukum.

Pihak Conoco Philips sebelumnya telah melakukan perubahan pada


perjanjian tersebut. Perubahan-perubahan tersebut terutama perubahan spesifikasi

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Top Drive Rig. Menurut saksi ahli DR.Ir. Chandra Arif (dari BPPT) yang
menerangkan apabila ada perubahan spesifikasi Top Drive Rig tersebut, maka
memerlukan waktu 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan untuk mendapatkan
dan mengirimkan Rig tersebut, sehingga waktu yang layak atau patut diberikan
untuk memberi kesempatan kepada PT. Sapta Sarana Persona Prima
melaksanakan penggantian Rig tersebut adalah minimal 10 (sepuluh) bulan
dihitung dari tanggal persetujuan PT. Sapta Sarana Persona Prima atas perubahan
spesifikasi tersebut, yakni tanggal 20 Mei 2002. Namun yang terjadi pihak
Conoco Philips tidak memberikan waktu yang layak untuk PT. Sapta Sarana
Persona Prima dalam memenuhi permintaan perubahan yang di maksud, sehingga
PT. Sapta Sarana Persona Prima mengalami keterlambatan dalam memenuhi
permintaan perubahan tersebut.

Dalam hal ini keterlambatan yang dilakukan oleh PT. Sapta Sarana
Persona Prima merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, karena untuk
memesan Rig dengan spesifikasi baru membutuhkan waktu yang lama. Mengenai
PT. Sapta Sarana Persona Prima telah telah menyetujui adanya perubahan
tersebut, hal ini di pandang sebagai kelemahan posisi dari pihak PT. Sapta Sarana
Persona Prima, karena sebagai kontraktor dan ketika pelaksanaan perjanjian telah
berjalan, maka tentunya pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima akan berharap
perjanjian tersebut akan tetap berlangsung, agar PT. Sapta Sarana Persona Prima
berharap tetap mendapatkan keuntungan atau setidaknya penggantian biaya dan
segala hal yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Selain
itu pihak Conoco Philips yang telah lama berkecimpung dalam bisnis ini tentunya
telah mengetahui bahwa dalam hal pemesanan Rig dengan spesifikasi yang baru
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga sekiranya dapat
memberikan waktu yang layak bagi PT. Sapta Sarana Persona Prima untuk
memenuhi permintaan perubahan tersebut, namun walau telah mengetahui, pihak
Conoco Philips tidak memberikan waktu yang layak dan tetap menuntut haknya
dalam keadaan PT. Sapta Sarana Persona Prima yang paling sulit, karena harus
memenuhi Rig dengan spesifikasi baru dan pada waktu itu juga sedang mengalami
kesulitan keuangan sehingga kemudian digugat pailit oleh sejumlah krediturnya.
Oleh karenanya, dikaitkan dengan pendapat Suharnoko, dalam hal ini kreditur

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


dapat dikatakan tidak beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian, karena tidak
memperhatikan kreditur dalam situasi tertentu.30

Menurut DR. Ridwan Khairandi, S.H yang juga merupakan saksi ahli
dalam persidangan kasus tersebut, bahwa perubahan perjanjian secara sepihak
dapat dikatakan dengan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan
adalah cacat kehendak yang dikembangkan oleh pengadilan yang telah menjadi
yurisprudensi. Bila dalam sebuah perjanjian terjadi ketidak seimbangan posisi
tawar, antara para pihak, pihak yang kuat posisi tawarnya dapat menekan pihak
lainnya untuk mengikuti kehendaknya dan isi perjanjian dapat dibuat sesuai
dengan kehendak dan kepentingan pihak dengan posisi yang lebih kuat

Berdasarkan fakta yang diketahui secara umum, bahwa Conoco Philips


adalah perusahaan internasional/asing yang besar yang sudah lama terkenal di
bidang perminyakan yang beroperasi di berbagai Negara, sedangkan PT. Sapta
Sarana Persona Prima hanyalah sebagai perusahaan nasional yang di Indonesia
tidak begitu dikenal. Selain itu pihak yang memberikan pekerjaan dari sisi
psikologis mempunyai posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan penerima
pekerjaan.

DR. Ridwan selanjutnya mengatakan bahwa kelemahan posisi tawar


sebenarnya bukan masalah dalam perjanjian, akan tetapi akan menjadi masalah
jika ada pihak lain yang memanfaatkan kelemahan tersebut. Selanjutnya Ia juga
mengatakan bahwa sangatlah tidak patut bila suatu perjanjian dibatalkan oleh
pihak yang lebih kuat posisi tawarnya, dikarenakan keterlambatan pihak lainnya
untuk memenuhi hal-hal yang menjadi kewajiban pihak yang lebih lemah posisi
tawarnya, yang di tambahkan pada saat isi perjanjian sedang berjalan.

Dalam hal ini pihak Conoco Philips sebagai perusahaan


asing/internasional yang besar dan berperan sebagai pemberi pekerjaan,
mempunyai posisi dominan daripada pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima.

30
Suharnoko, Op. Cit., hal.4. ”Itikad baik juga dapat diartikan bahwa dalam
melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi
tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur
dapat dianggap melakukan kontrak dengan itikad tidak baik.”

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Perubahan-perubahan sepihak yang dilakukan oleh pihak Conoco Philips dapat
dianggap sebagai pemanfaatan posisi dominannya, karena menurut saksi ahli
dalam persidangan tersebut, sebenernya perubahan tidak lazim dilakukan dalam
perjanjian ini, karena peralatan tersebut mahal dan memerlukan waktu yang lama
dalam penyediaannya.

Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembatalan perjanjian


sepihak oleh Conoco Philips tidak memenuhi syarat-syarat pembatalan perjanjian
yang terdapat dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena
unsur wanprestasi yang di tunduhkan oleh pihak Conoco Philips tidak terbukti.
Kemudian juga pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh Conoco Philips hanya
melalui surat pemberitahuan biasa pada PT. Sapta Sarana Persona Prima, tidak
melalui pengadilan. Selain itu dalam perjanjian tersebut, pihak Conoco Philips
sebagai perusahaan asing/internasional yang besar dan bertindak sebagai pemberi
pekerjaan, yang secara psikologis mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dari
pada pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima menggunakan posisi dominannya
untuk melakukan perubahan sepihak pada perjanjian yang mereka buat, sehingga
menimbulkan keterlambatan pada pihak Kontraktor dalam hal ini PT. Sapta
Sarana Persona Prima untuk memenuhi permintaan perubahan tersebut. Yang
mana lazimnya dalam perjanjian tertentu seperti yang dibuat oleh kedua belah
pihak tidak dapat dibuat perubahan spesifikasi dalam kontrak, karena peralatan
yang diperlukan mahal, serta memerlukan waktu yang lama untuk penyediannya.

Pembatalan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh pihak PT. Pertamina


terhadap PT. Wahana Seno Utama didasarkan pada Pihak PT. Wahana Seno
Utama telah melakukan wanprestasi yaitu tidak melanjutkan pembangunan proyek
gedung Menara Gas sejak tanggal 1 Mei 1998, sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan kedua belah pihak No.SPK-1016A/C0000/96-S0 pada tanggal 9
Agustus 1996. Dimana menurut pihak PT. Pertamina, pihak PT. Wahana Seno
Utama tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan pasal 5.1 dan pasal 2.2
Perjanjian, dimana PT. Wahana Seno Utama dianggap tidak menyediakan
pendanaan proyek pembangunan gedung Menara Gas sebesar US$ 95,614.070.00
(sembilan puluh lima juta enam ratus empat belas ribu tujuh puluh dollar Amerika

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Serikat) dan tidak menyelsaikan pembangunan gedung Menara Gas dalam jangka
waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung mulai tanggal 17 Februari 1997.

Alasan dari pihak PT. Wahana Seno Utama mengalami penundaan


pelaksanaan pembangunan proyek tersebut sejak tanggal 1 Mei 1998, dikarenakan
terjadinya perubahan kondisi perekonomian yang mengakibatkan harga material
membumbung tinggi dan tidak menentu. Sehingga menurut PT. Wahana Seno
Utama keadaan tersebut termasuk dalam kategori force majeure.

Dengan keadaan tersebut, sebenarnya di ketahui bahwa pihak PT. Wahana


Seno Utama memiliki itikad baik untuk tetap ingin melanjutkan proyek dalam
perjanjian tersebut, terbukti dengan adanya kegiatan surat menyurat serta
pertemuan yang dilakukan pihak PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama
yang banyak menghasilkan kesepakatan baru untuk tetap melaksanakan proyek
dalam perjanjian tersebut, antara lain dengan usaha yang dilakukan PT. Wahana
Seno Utama untuk mendapatkan penyandang dana asing GIFC Boston Capital,
memperpanjang garansi bank, mengadakan perubahan pasal-pasal penjanjian dan
kajian ulang keekonomian, serta terciptanya suatu penambahan perjanjian dimana
PT. Pertamina berkewajiban mencari tenants dari mitra kerja PT. Pertamina untuk
menyewa gedung Menara Gas (pasal 3.1.C-BPT).

Tetapi dengan segala yang telah diupayakan tersebut, pihak PT. Pertamina
tetap melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dengan PT. Wahana Seno
Utama serta melakukan pencairan dana garansi bank tanpa sepengetahuan PT.
Wahana Seno Utama, yang akhirnya dilanjutkan dengan melakukan gugatan
kepada PT. Wahana Seno Utama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan
wanprestasi PT. Wahana Seno Utama.

Dalam kasus kedua jika dilihat dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut alasan pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh PT.
Pertamina memenuhi syarat pertama, dimana memang perjanjian yang di lakukan
antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama merupakan perjanjian
timbal balik. Tetapi pembuktian mengenai wanprestasi dimana terjadi perbedaan
pendapat diantara kedua belah pihak, mengenai perubahan kondisi perekonomian

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


yang mengakibatkan harga material membumbung tinggi dan tidak menentu
merupakan force majeure harus dibuktikan terlebih dahulu. Selain itu juga
pemutusan sepihak yang dilakukan pihak PT. Pertamina hanya melalui surat
pemberitahuan dan tidak melewati pengadilan. Dari ada atau tidak wanprestasi
yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah pemutusan perjanjian secara sepihak
telah sesuai dengan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, atau
termasuk dalam lingkup perbuatan melawan hukum.

Dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1787 K/PDT/2005


dapat diketahui bahwa Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa krisis
moneter dapat dijadikan alasan terhambatnya pelaksanaan isi perjanjian, karena
jelas bahwa krisis moneter merupakan suatu hal yang tidak dapat diduga akan
terjadi dan diluar kendali dari pihak yang bersangkutan. Hal tersebut berkaitan
dengan salah satu ruang lingkup dari force majeure, yaitu dikarenakan keadaan
ekonomi yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada
kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor
ekonomi. Termasuk di dalam force majeure tersebut, antara lain terjadi perubahan
kondisi perekonomian atau peraturan perundang-undangan sedemikian rupa
sehingga mengakibatkan tidak dapat dipenuhi prestasi, timbulnya gejolak moneter
yang menimbulkan kenaikan biaya bank dan sebagainya.31

Selain itu juga terlihat adanya suatu tindakan kesewenang-wenangan dari


pihak PT. Pertamina yang memanfaatkan posisi dominannya untuk
mengubah/mengganti kata-kata dalam pasal 3.1.C-BPT dari kata “berkewajiban”
menjadi “membantu mengusahakan”. Kata berkewajiban mempunyai arti bahwa
PT. Pertamina harus/wajib untuk mencari tenants dari mitra kerja PT. Pertamina
untuk menyewa gedung Menara Gas. Dimana pihak PT. Pertamina sendiri
sebenarnya juga belum melaksanakan kewajibannya ini. Karena apabila hal
tersebut sudah dapat dilakukan oleh pihak PT. Pertamina, maka PT. Wahana Seno
Utama akan dapat segera melanjutkan proyek tersebut dengan bantuan dana dari
GIFC Boston Capital.

31
Soemadipradja, Rahmat S.S., Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta:
Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 42

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Hal lain juga berkaitan dengan pencairan dana bank garansi milik PT.
Wahana Seno Utama sebesar Rp. 1.285.283.077,26 (satu milyar dua ratus delapan
puluh lima juta dua ratus delapan puluh tiga ribu tujuh puluh tujuh rupiah dua
puluh enam sen) yang dilakukan oleh pihak PT. Pertamina di luar sepengetahuan
PT. Wahana Seno Utama. Padahal PT. Wahana Seno Utama tetap beritikad baik
untuk memperpanjang bank garansi sebagai bentuk bahwa pihak PT. Wahana
Seno Utama tetap ingin melanjutkan apa yang telah di perjanjikan oleh kedua
belah pihak. Bank garansi memang suatu jaminan dari pihak PT. Wahana Seno
Utama sebagai jaminan kepada pihak PT. Pertamina, dimana apabila terjadi
wansprestasi dari pihak PT. Wahana Seno Utama, maka dana dari bank garansi
tersebut dapat dimiliki oleh pihak PT. Pertamina, tetapi benar atau tidaknya pihak
PT. Wahana Seno Utama telah melakukan wanprestasi belum dapat dibuktikan
oleh PT. Pertamina.

Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembatalan/pemutusan


perjanjian sepihak oleh PT. Pertamina tidak memenuhi syarat-syarat pembatalan
perjanjian dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena unsur
wanprestasi yang dituduhkan oleh pihak PT. Pertamina tidak terbukti. Hal tersebut
dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1787
K/PDT/2005 dapat diketahui bahwa Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa
krisis moneter dapat dijadikan alasan terhambatnya pelaksanaan isi perjanjian,
karena jelas bahwa krisis moneter merupakan suatu hal yang tidak dapat diduga
akan terjadi dan diluar kendali dari pihak yang bersangkutan, sehingga hal
tersebut dapat dikategorikan force majeure. Selain itu dalam
pembatalan/pemutusan perjanjian tersebut terjadi tindakan kesewenang-wenangan
dimana pihak PT. Pertamina tidak melaksanakan perjanjian dalam pasal 3.1.C-
BPT dimana pihak PT. Pertamina harus mencarikan tenants untuk menyewa
gedung Menara Gas, agar PT. Wahana Seno Utama dapat melanjutkan proyek
dalam perjanjian dengan mendapatkan bantuan dana dari GIFC Boston Capital.
Hal terakhir yaitu pencairan dana bank garansi yang dilakukan oleh PT. Pertamina
tanpa sepengetahuan PT. Wahana Seno Utama merupakan tidakan dimana
PT.Pertamina melakukan kesewenang-wenangan dengan tanpa melakukan

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


pembuktian mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Wahana Seno Utama,
tetap melakukan pencairan dana bank garansi tersebut.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam hal pembatalan perjanjian sepihak dapat digugat dengan gugatan


perbuatan melawan hukum, karena dianggap pembatalan sepihak tidak didasari
dengan alasan yang dibenarkan menurut kesepakatan mereka untuk dapat
dibatalkan, serta dapat dikatakan telah melanggar kewajiban hukum yang juga ada
di luar perjanjian, yakni untuk selalu beritikad baik dan bertindak sesuai dengan
kepatutan dan asas kehati-hatian. Suatu pelanggaran perjanjian atau pemutusan
perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak, dapat juga suatu pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang atau suatu perbuatan yang melanggar
kepatutan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan dalam hubungan antara
warga masyarakat dan terhadap benda orang lain. Syarat batal suatu perjanjian
diatur dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyebutkan syarat agar suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak
adalah perjanjian harus timbal balik, terdapat wanprestasi, dan pembatalan harus
dimintakan kepada hakim. Jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut
melanggar undang-undang, yakni pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut. Selain itu pertimbangan lain dapat dilihat dari alasan pembatalan
perjanjian, jika pembatalan perjanjian tersebut mengandung kesewenang-
wenangan, atau menggunakan posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi
lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam
perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan
posisi lemah atau keadaan merugikan pihak lawan diluar dari pelaksanaan
kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukam merupakan wanprestasi,
namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnyan untuk selalu

Mengenai konsep ganti rugi karena karena perbuatan melawan hukum,


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merincikan dengan jelas

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


perhitungan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka
perhitungannya digunakan konsep ganti rugi karena wanprestasi secara analogis,
terkecuali pada pasal-pasal yang dianggap tidak dapat digunakan pada konsep
ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, yakni pasal 1247 dan 1250
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain itu dalam ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum, menurut teori klasik yang dapat dituntut hanyalah
ganti rugi yang nyata diderita oleh pihak yang dirugikan, akan tetapi teori ini tidak
berlaku mutlak walaupun masih relevan untuk diterapkan. Namun hakim
mempunyai batasan untuk dapat memutuskan dengan seadil-adilnya sebagaimana
tercantum dalam pasal 178 ayat (3) HIR yang mengatakan bahwa hakim
berwenang untuk menentukan berapa sepantasnya harus diganti kerugian,
sekalipun penggugat menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tak pantas. (ex
aequo ex bono).

Konsep melawan hukum yang digunakan dapat dilihat dari benang merah
yang dapat ditarik dari hasil analisa kedua perkara tersebut, yaitu dari kedua kasus
pembatalan perjanjian sepihak tersebut unsur-unsur perbuatan melawan hukum
terpenuhi, yang utama diantaranya terdapat didalamnya unsur pelanggaran
terhadap kewajiban hukum di luar suatu perjanjian, yakni untuk selalu beritikad
baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian, selain itu juga terindikasi adanya
tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan posisi tawar lebih
dominan untuk memanfaatkan posisi tawar pihak lain, yang mana hal tersebut
juga melanggar kepatutan dan sikap baik dalam masyarakat, serta tidak
terpenuhinya syarat batal dalam permbatalan perjanjian sepihak sebagaimana
tertuang dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena hal-hal
tersebutlah konsep perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam kasus
pembatalan perjanjian secara sepihak.

B. Saran

Dengan diputuskannya beberapa perkara pembatalan perjanjian secara


sepihak sebagai perbuatan melawan hukum diharapkan dapat menjadi
yurisprudensi sehingga dapat menciptakan kekonsistenan hakim dalam

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


menerapkan hukum, hal ini agar tercipta kejelasan dan kepastian hukum bagi para
pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian agar selalu beritikad baik dan berusaha
yang terbaik dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Dalam penentuan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, karena


perhitungannya didasarkan pada pertimbangan hakim sesuai dengan keadilan dan
kepatutan (ex aequo ex bono), akan lebih baik jika pertimbangan tersebut
didukung oleh data dari hasil perhitungan seorang ahli keuangan yang
berkompeten dibidang mana kasus tersebut disengketakan, yang mana ahlin
tersebut terlepas dari pihak manapun dalam perjanjian. Sehingga besarnya ganti
kerugia yang diberikan selain sesuai dengan keadilan dan kepatutan juga dirasa
lebih valid dan benar-benar mewakili kerugian yang diderita oleh pihak yang
dirugikan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pasca Sarjana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2001.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung:


Alumni, 1982

Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa,


Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013


Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa , 2002.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1992.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2004.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi
Revisi Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007.

Tinjauan yuridis..., David Irmantius, FH UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai