S45317-David Irmantius PDF
S45317-David Irmantius PDF
Penulis :
David Irmantius
Pebimbing:
Suharnoko
Endah Hartati
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JANUARI 2013
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas gejala penipisan perbedaan konsep wanprestasi dengan konsep perbuatan
melawan hukum yang ditandai dengan penggunaan konsep perbuatan melawan hukum pada
pembatalan perjanjian sepihak. Di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana suatu konsep
perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam sengketa pembatalan perjanjian sepihak, selain
itu juga akan dibahas mengenai konsep ganti rugi yang digunakan. Untuk lebih memahami
penerapan gugatan perbuatan melawan hukum ini, akan dianalisa beberapa putusan dari sengketa
pembatalan perjanjian sepihak yang digugat dengan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini
adalah penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian dengan lebih mengutamakan data sekunder,
khususnya terhadap bahan hukum primer berupa putusan pengadilan.
Kata Kunci:
Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, Pembatalan Perjanjian Sepihak
ABSTRACT
This thesis discusses the indications of subtle difference between default concept and illegal action
concept shown with the use of illegal action concept on the unilateral cancellation of agreement. It
will not only discuss how an illegal action concept can be applied in a dispute over the unilateral
cancellation of agreement, but it will also discuss the concept of compensation used. To better
understand the application of lawsuit over illegal action, an analysis of several decisions of the
dispute over the unilateral cancellation of agreements challenged for the reason of illegal action
will be carried out. This research is a judicial normative research having priority over secondary
data, particularly in primary legal materials in the form of a court decision.
1
Ibid., hal. 1.
2
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1313.
3
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa , 2002), cet.19, hal 1.
4
Ibid., hal 1.
5
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1233.
Dari hal yang penulis uraikan di atas, jelaslah bahwa terdapat perbedaan
yang mendasar antara gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan
hukum. Gugatan wanprestasi lahir karena pelanggaran terhadap perikatan yang
timbul karena suatu perjanjian/kontrak, dalam artian bahwa sebelumnya telah
terdapat hubungan kontraktual antara para pihak. Sedangkan perbuatan melawan
hukum lahir karena adanya pelanggaran terhadap perikatan yang timbul dari
undang-undang, tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak.
9
Ibid., Pasal 1365.
PEMBAHASAN
Dalam bidang hukum perdata sering kita jumpai istilah perjanjian, adanya
suatu perjanjian selalu menimbulkan perikatan. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.”10
10
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1313.
11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), cet 24, hal 3
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yang mana jika syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan
pembatalan oleh pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
objektif, yang mana jika kedua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka
perjanjian akan batal demi hukum. Hal ini berakibat perjanjian dianggap tidak
pernah ada.
Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian
tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan
secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian
tersebut itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi.
Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.14
Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur
subjektif, dan sebagai unsur objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum
benda unsur subjektif berarti “kejujuran” atau “kebersihan” si pembuatnya.
Namun dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
12
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1320.
13
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1338.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1992) Cet.
3. Hal 97.
15
Ibid., hal. 99.
16
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Kencana, 2004), Cet
1, hal 4
Dasar hukum asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dijelaskan dalam rumusan angka
4 yang berbunyi “suatu sebab yang halal.” Asas kebebasan berkontrak
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan
“dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah satu
asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Dengan asas
kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian
yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib
dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
Perjanjian timbal balik yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar.
Sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya perjanjian hibah dan
hadiah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam
soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata). Menurut pasal ini salah satu syarat adanya pemutusan
perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi
syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi
17
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.101.
Dari pasal 1336 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat dibatalkan sepihak, karena jika
perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tidak
mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari pasal 1266 dan
1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maka jelas diatur
mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Permintaan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar
nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan
alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak memenuhi kewajibannya
(wanprestasi).
Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan diatas dimana kedua
pihak memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu
pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian,
maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.19
18
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1338
19
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.130.
20
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005),
cet 2, hal. 3
21
Ibid., hal. 2
22
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan
Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita,
2007), Pasal 1233.
23
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 46
24
Ibid., hal. 44
25
Suharnoko, Op. Cit., hal 131
26
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 72
27
Suharnoko, Op. Cit., hal 136
28
Ibid., hal. 116
29
Ibid., hal. 136
Selain itu menurut Conoco Philips, PT. Sapta Sarana Persona Prima
berulang kali ingkar janji, karena ternyata setelah dilakukan inspeksi oleh
MODUSPEC berdasarkan laporannya tanggal 27 september 2002 menyebutkan
banyaknya kerusakan-kerusakan yang terdapat pada komponen Rig-rig yang
didatangkan oleh PT. Sapta Sarana Persona Prima.
Jika dilihat dari hati hal tersebut di atas, memang alasan pemutusan
perjanjian sepihak yang dilakukan oleh Conoco Philips cukup memenuhi dua
alasan pertama dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni
perjanjian bersifat timbal balik, dan pihak Conoco Philips menganggap ada
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Hanya saja pemutusan
perjanjian tersebut dilakukan oleh Conoco Philips hanya melalui surat
pemberitahuan, dan tidak melewati pengadilan.
Namun karena pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima merasa tidak
melakukan ingkar janji (wanprestasi) sehingga tuduhan wanpretasi yang
dilontarkan pihak Conoco Philips terlebih dahulu harus dibuktikan. Dari ada atau
tidak wanprestasi yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah pemutusan
perjanjian secara sepihak telah sesuai dengan pasal 1266 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, atau termasuk dalam lingkup perbuatan melawan hukum.
Dalam hal ini keterlambatan yang dilakukan oleh PT. Sapta Sarana
Persona Prima merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, karena untuk
memesan Rig dengan spesifikasi baru membutuhkan waktu yang lama. Mengenai
PT. Sapta Sarana Persona Prima telah telah menyetujui adanya perubahan
tersebut, hal ini di pandang sebagai kelemahan posisi dari pihak PT. Sapta Sarana
Persona Prima, karena sebagai kontraktor dan ketika pelaksanaan perjanjian telah
berjalan, maka tentunya pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima akan berharap
perjanjian tersebut akan tetap berlangsung, agar PT. Sapta Sarana Persona Prima
berharap tetap mendapatkan keuntungan atau setidaknya penggantian biaya dan
segala hal yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Selain
itu pihak Conoco Philips yang telah lama berkecimpung dalam bisnis ini tentunya
telah mengetahui bahwa dalam hal pemesanan Rig dengan spesifikasi yang baru
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga sekiranya dapat
memberikan waktu yang layak bagi PT. Sapta Sarana Persona Prima untuk
memenuhi permintaan perubahan tersebut, namun walau telah mengetahui, pihak
Conoco Philips tidak memberikan waktu yang layak dan tetap menuntut haknya
dalam keadaan PT. Sapta Sarana Persona Prima yang paling sulit, karena harus
memenuhi Rig dengan spesifikasi baru dan pada waktu itu juga sedang mengalami
kesulitan keuangan sehingga kemudian digugat pailit oleh sejumlah krediturnya.
Oleh karenanya, dikaitkan dengan pendapat Suharnoko, dalam hal ini kreditur
Menurut DR. Ridwan Khairandi, S.H yang juga merupakan saksi ahli
dalam persidangan kasus tersebut, bahwa perubahan perjanjian secara sepihak
dapat dikatakan dengan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan
adalah cacat kehendak yang dikembangkan oleh pengadilan yang telah menjadi
yurisprudensi. Bila dalam sebuah perjanjian terjadi ketidak seimbangan posisi
tawar, antara para pihak, pihak yang kuat posisi tawarnya dapat menekan pihak
lainnya untuk mengikuti kehendaknya dan isi perjanjian dapat dibuat sesuai
dengan kehendak dan kepentingan pihak dengan posisi yang lebih kuat
30
Suharnoko, Op. Cit., hal.4. ”Itikad baik juga dapat diartikan bahwa dalam
melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi
tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur
dapat dianggap melakukan kontrak dengan itikad tidak baik.”
Tetapi dengan segala yang telah diupayakan tersebut, pihak PT. Pertamina
tetap melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dengan PT. Wahana Seno
Utama serta melakukan pencairan dana garansi bank tanpa sepengetahuan PT.
Wahana Seno Utama, yang akhirnya dilanjutkan dengan melakukan gugatan
kepada PT. Wahana Seno Utama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan
wanprestasi PT. Wahana Seno Utama.
Dalam kasus kedua jika dilihat dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut alasan pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh PT.
Pertamina memenuhi syarat pertama, dimana memang perjanjian yang di lakukan
antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama merupakan perjanjian
timbal balik. Tetapi pembuktian mengenai wanprestasi dimana terjadi perbedaan
pendapat diantara kedua belah pihak, mengenai perubahan kondisi perekonomian
31
Soemadipradja, Rahmat S.S., Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta:
Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 42
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep melawan hukum yang digunakan dapat dilihat dari benang merah
yang dapat ditarik dari hasil analisa kedua perkara tersebut, yaitu dari kedua kasus
pembatalan perjanjian sepihak tersebut unsur-unsur perbuatan melawan hukum
terpenuhi, yang utama diantaranya terdapat didalamnya unsur pelanggaran
terhadap kewajiban hukum di luar suatu perjanjian, yakni untuk selalu beritikad
baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian, selain itu juga terindikasi adanya
tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan posisi tawar lebih
dominan untuk memanfaatkan posisi tawar pihak lain, yang mana hal tersebut
juga melanggar kepatutan dan sikap baik dalam masyarakat, serta tidak
terpenuhinya syarat batal dalam permbatalan perjanjian sepihak sebagaimana
tertuang dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena hal-hal
tersebutlah konsep perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam kasus
pembatalan perjanjian secara sepihak.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Fuady, Munir. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2001.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2004.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi
Revisi Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007.