Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DYAH NOVA R.A.

NIM/NIP : 20110310142/20154011100

TUGAS CERAMAH TEMA KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM

َّ ‫علَ ْيك ْمُُال‬


‫سالَ ُم‬ َ ُُ‫ُُو َر ْح َمة‬
َ ‫َوبَ َركَاتهُُللاه‬

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti
jalannya sampai hari pembalasan.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan
pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama
dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan
muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka
dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah
bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama
berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik
sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan
dalam sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya,
bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi
kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap
kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah.
Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah
kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik
kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia
siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa
ash-Shilah no. 2548)
Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada
ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami)
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan
rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Allah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman
Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa
kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita
tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih
sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.
Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah
Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang biasa menjadi bahan
perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya mungkin kita pernah mendengar sebagian orang
mengatakan, “Kami tidak suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.”
Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau melahirkan anak
perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri dari orang-orang seperti itu-.
Sebagian dari wanita ada yang mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka
merasa gelisah dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti
mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh dalam masalah ini?
Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu yang sangat jarang
terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada seorang suami yang kebodohannya sampai pada
taraf seperti itu; mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya anak
perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka dengan isterinya, kemudian
ingin menceraikannya dan menjadikan masalah ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya.
Jika ini masalah yang sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama
isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya akan tetapi tidak
berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya dia mencerai istrinya dengan cara yang
jelas, bukan dengan alasan seperti itu.
Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang syar’i. Akan tetapi, meskipun
demikian, kami menasehatkan kepada para suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai
pada diri isterinya agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’:
19)
Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan perilaku jahiliyah,
dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak menerima) terhadap apa yang telah menjadi
ketetapan dan takdir Allah. Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang
dimilikinya akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa banyak
anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik semasa hidupnya maupun setelah
matinya. Dan berapa banyak anak-anak lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya
semasa hidupnya dan tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.
Menurut ajaran Islam:
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (QS Al-Ahzab:35,
Muhammad:19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal saleh
atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh,
memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (QS An-Nisa:4 dan
32).
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh
warisan, sesuai pembagian yang ditentukan (QS An-Nisa:7).
4. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu
pengetahuan: “Mencari/menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim pria
dan wanita” (Hadits).
5. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan
ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu
terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui
lembaga fasakh dan khulu’, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah,
gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya
dan lain-lain.
6. Wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan,
kebersamaan dan saling ketergantungan (QS An-Nisa:1, At-Taubah:71,
Ar-Ruum:21, Al-Hujurat:13). QS Al-Baqarah:2 menyimbolkan hubungan saling
ketergantungan itu dengan istilah pakaian; “Wanita adalah pakaian pria, dan
pria adalah pakaian wanita”.
7. Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala
(kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah
di dunia (QS Ali Imran:195, An-Nisa:124, At-Taubah:72 dan Al-Mu’min:40).
Amal saleh di sini maksudnya adalah segala perbuatan baik yang diperintahkan
agama, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan hidup dan
diridhai Allah SWT.
8. Hak dan kewajiban wanita-pria, dalam hal tertentu sama (QS
Al-Baqarah:228, At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat
mereka yang sama dan berbeda pula (QS Al-Baqarah:228, An-Nisa:11 dan 43).
Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita,
maka dalam kehidupan sehari-hari –misalnya sebagai suami-isteri– fungsi
mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala
keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala
rumahtangga.
Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk mencari
nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada
urusan kehidupan rumahtangga, mendidik anak dan membesarkan mereka. Walau
demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau
melakukan aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan
kewajiban) terhadap apa yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya.
Sebagai anak (belum dewasa), wanita berhak mendapat perlindungan, kasih
sayang dan pengawasan dari orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala
rumah tangga, ibu, mendapat kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga
masyarakat dan warga negara, posisi wanita pun sangat menentukan.

Anda mungkin juga menyukai