NPM : 110110160170
1. Pendahuluan
Otonomi daerah adalah satuan pemerintahan mandiri (otonom) dalam batas wilayah
tertentu (dalam lingkungan negara kesatuan) yang berhak dan berwenang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga daerah yang
bersangkutan.
Otonomi fungsional adalah satuan pemerintahan mandiri (otonom) yang berhak dan
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu yang tidak dibatasi atau
ditentukan berdasarkan wilayah atau daerah tertentu, melainkan mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan tertentu.
UUD 1945 hanya memuat (mengatur) otonomi teritorial.Uraian di bawah hanya
mengenai otonomi teritorial sebagaimana dimaksud UUD 1945 Bab VI tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Menurut undang-undang, satuan pemerintahan yang
menjalankan otonomi disebut pemerintahan daerah.2 Karena itu hukum di bidang otonomi
daerah disebut juga hukum pemerintahan daerah. Apabila ada otonomi fungsional (selain
otonomi daerah), cukup dinamakan hukum otonomi atau hukum pemerintahan otonom. Uraian
ini akan menggunakan tema hukum pemerintahan daerah. Otonomi dapat dibedakan antara
otonomi dalam arti luas (autonomy in the broad sense) dan otonomi dalam arti sempit (autonomy
in the narrow sense). Dalam arti luas meliputi otonomi dalam arti sempit (lazim disebut otonomi)
dan tugas pembantuan (co-administration, medebewind). Pemerintahan daerah meliputi urusan
otonomi dan tugas pembantuan.
2. Hukum Pemerintah Daerah sebagai Kajian Mandiri
Dengan demikian karena hukum yang mengkaji pemerintahan daerah hanya mengenai tata
cara pemerintahan daerah menjalankan pemerintahan (administrasi negara), maka masuk
rumpun hukum administrasi negara.
Sebagai pengajaran tersendiri, Hukum Pemerintahan Daerah adalah hukum administrasi negara
khusus (special administrative law, bijzondere administrative recht) di samping hukum
administratif umum (general administrative law, algemene administratief recht). Materi hukum
administrasi umum mencakup – antara lain – pengertian, sejarah, sumber, macam-macam
keputusan, dan asas-asas hukum administrasi negara. Di Belanda, salah satu sumber utama
hukum administrasi umum adalah Algemene Wet Bestuursrecht (AWB).
Ada beberapa ukuran yang perlu dikaji, yaitu: (1) bahan-bahan hukum (legal
materials); (2) hubungan dengan cabang atau disiplin ilmu hukum lain; (3) sifat khusus;
dan (4) kajian-kajian yang sudah ada.
Agar sifat-sifat khusus di atas dapat dikaji secara terpadu diperlukan metode yang
khusus pula. Tanpa metode yang khusus tidak akan dapat dikembangkan kajian
Hukum Pemerintahan Daerah secara terpadu. Salah satu metode khusus yaitu
metode antar disiplin (interdisciplinary approach). Metode antar disiplin dalam
Hukum Pemerintahan Daerah tidak hanya penting sebagai instrumen pengkajian.
Tidak kalah penting dalam pembentukan dan penerapannya.
Dari berbagai aspek di atas, sudah saatnya kajian Hukum Pemerintahan Daerah tidak lagi sekedar
efisiensi dan efektivitas pengajaran Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara,
melainkan sebagai cabang atau disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pertama; materi pengajaran umum. Materi pengajaran umum mencakup teori-teori atau
konsep-konsep yang memberikan pengetahuan dasar mengenai Hukum Pemerintahan
Daerah, yang meliputi:
(public administration) dan Ilmu Politik (political science) Kedua; materi pengajaran khusus.
Materi pengajaran khusus terutama mengenai hukum positif, yang akan berbeda-beda dari
waktu ke waktu (karena perubahan peraturan perundang-undangan, praktek pemerintahan, dan
putusan hakim), dan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Dalam
rangka mendalami hukum positif, materi pengajaran hukum dilengkapi dengan pengamatan
perbandingan yang bersifat metodologis baik sebagai pengamatan historis internal
(perkembangan dalam negara yang bersangkutan), maupun dengan negara lain. Selain itu,
materi pengajaran khusus dapat diberikan melalui putusan-putusan hakim, misalnya putusan
mengenai sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, putusan
mengenai pengujian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah, dan lain-lain.
Pemerintahan daerah (otonom) adalah salah satu sendi konstitusional Negara Republik
Indonesia. Sendi-sendi konstitusional lain adalah prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila, sendi negara hukum, sendi demokrasi ekonomi, dan lain-lain. Semua
UUD yang berlaku dan pernah berlaku selalu memuat sendi-sendi otonomi (UUD 1945, Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950). Sejak tahun 1945 (sejak merdeka) telah ditetapkan berbagai undang-
undang (peraturan perundang-undangan) mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah.
Perubahan atau penggantian undang-undang tidak semata-mata karena perubahan UUD atau
karena perkembangan konsep atau teori kenegaraan atau pemerintahan, dinamika sosial,
kemajuan ilmu dan teknologi, melainkan termasuk juga perubahan politik (kebijakan) negara
atau pemerintah. Bahkan dapat dikatakan, politik negara atau pemerintah yang paling dominan
mempengaruhi berbagai peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah.
Akibatnya, meskipun undang-undang dibentuk atas dasar UUD yang sama, tetapi isi undang-
undang pemerintahan daerah berbeda-beda satu sama lain. Di bawah regim UUD 1945 telah
dibentuk berbagai undang-undang (UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004), tetapi dengan isi yang berbeda-beda. Perbedaan-
perbedaan mencakup – antara lain – mengenai susunan daerah otonom, isi otonomi (otonomi
luas atau tidak luas), desentralisasi atau sentralisasi, hubungan keuangan, hubungan
pengawasan, kedudukan dan hubungan dengan pemerintahan asli (seperti desa), sistem
otonomi, dan lain-lain. Ketentuan UUD ditafsirkan menurut kehendak kekuasaan yang dominan,
bukan berdasarkan sendi-sendi dasar, dan maksud sendi otonomi itu sendiri. Akibatnya
pergulatan, bahkan ketegangan (spanning, tension) tidak pernah mereda. Selalu ada berbagai
keluhan, lebih-lebih pada tataran pelaksanaan (implementasi). Keluhan-keluhan tidak saja
datang dari daerah. Tidak kurang-kurangnya dari pusat. Misalnya, dalam rangka perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah diadakan sistem Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Keluhan daerah tetap mengalir, karena cara-cara penetapan DAU dan DAK
dianggap tidak (kurang) mencerminkan kenyataan-kenyataan di suatu daerah atau daerah-
daerah yang bersangkutan. Demikian pula isi otonomi. Timbul keluhan baik dari daerah maupun
pusat. Dari daerah, secara diam-diam maupun melalui berbagai peraturan pelaksanaan
(implementing regulations) ada semacam proses sentralisasi (stilwijgend centralisatie), seperti
pengaturan mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah (termasuk hal-hal seperti uang
kehormatan anggota DPRD).
Ada beberapa alasan obyektif pusat untuk melakukan ”supervision” pelaksanaan otonomi
luas. Pertama; otonomi adalah sub sistem negara kesatuan. Pengawasan pusat senantiasa
melekat dalam otonomi (geen autonomie zonder toezich). Otonomi adalah zelfstandigheid,
tetapi bukan onafhankelijkheid. Kedua; penggunaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (termasuk yang berasal dari DAU dan DAK) harus benar-benar untuk kesejahteraan
rakyat. Ada daerah yang sampai menggunakan 40% dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk
anggaran DPRD. Sebaliknya, ada pula keluhan dari pusat terhadap otonomi luas. Daerah acap
kali menetapkan suatu kebijakan yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kebijakan
pusat. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan, pungutan yang berkaitan dengan
investasi, acap kali justeru menimbulkan hambatan investasi karena – antara lain –
menimbulkan investasi biaya tinggi (high cost investation). Demikian pula soal penguasaan
dan pengelolaan hutan yang dapat mempengaruhi kebijakan pusat mengenai lingkungan,
lebih-lebih yang berkaitan dengan kewajiban internasional seperti perubahan iklim (climate
change) atau pemanasan global (global warming). Semua ini dilakukan daerah dengan dalih
otonomi luas. Segala sesuatu yang tidak secara nyata ditetapkan sebagai wewenang pusat
adalah wewenang daerah. Suatu ketentuan yang sangat mirip dengan hubungan antara
Pemerintah Federal dengan Negara Bagian. di Amerika Serikat. Banyak lagi hal lain, yang
menunjukkan persoalan otonomi belum selesai.
b. Korupsi
Pada tahun 2000, dalam salah satu tulisan yang dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung,
saya telah mencatat kekhawatiran korupsi di daerah akan meningkat akibat tambahan
berbagai pendapatan daerah (DAU, DAK, disamping PAD). Ternyata dugaan tersebut menjadi
kenyataan. Kekhawatiran lain adalah penggunaan uang yang banyak tidak terarah
sebagaimana mestinya. Ada kepala daerah yang menghamburkan keuangan daerah dengan
berkelana di Jakarta dan pindah dari hotel ke hotel, bukan berada di daerahnya.
f. Pemekaran daerah
Semua berpikiran, rumusan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pembagian urusan antara pusat dan daerah, menyerupai Amandemen ke-X UUD Amerika
Serikat. yang menetapkan segala sesuatu yang tidak ditetapkan sebagai urusan federal (Pasal
I, sec. 8), atau yang tidak dinyatakan dilarang diselenggarakan negara bagian, adalah
wewenang negara bagian. Dalam berbagai bahan bacaan, disebutkan kekuasaan residu
(residual powers) ada pada negara bagian (kebalikan dari Kanada). Ternyata, baik UU No. 22
Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004, tidak sepenuhnya demikian. Dalam UU No. 22
Tahun 1999 ada embel-embel yang disebut ”urusan lain” yaitu berbagai wewenang yang
bersifat kebijakan untuk sejumlah urusan pemerintahan tertentu. Meskipun disebut
berbagai macam urusan lain, tetapi karena termasuk ke dalam kategori kebijakan (beleid,
discretion), dapat menjadi sumber masalah hubungan antara pusat dan daerah. Kebijakan
senantiasa diperlukan, tetapi juga kebijakan diandaikan dengan orang yang sedang berjalan
di lereng yang licin (slippery slope). Kebijakan mudah disalahgunakan, sewenang-wenang, dan
sangat sulit diawasi. Meskipun disebutkan kebijakan atau diskresi, tetap harus memiliki
landasan hukum (wewenang berdasarkan hukum), tujuan yang akan dicapai tidak
bertentangan dengan hukum (legal purposeful), tetapi karena setiap bentuk kebijakan akan
selalu menekankan manfaat yang akan dicapai (doelmatigheid) sehingga seolah-olah
dibenarkan melonggarkan sifat hukum (rechtmatigheid), mudah sekali menimbulkan
pergesekan dengan wewenang di bidang otonomi, bahkan dapat menggerogoti otonomi
daerah. Akibatnya, dasar otonomi luas hanya sekedar sebagai ungkapan normatif tanpa isi
atau ). UU No. 32 Tahun 2004 menyebut urusan-urusan pemerintahan pilihan sebagai
”urusan pemerintahan yang bersifat concurrent”. Dalam konkurensi semacam ini, pusat
biasanya memiliki posisi yang lebih kuat dengan berbagai alasan, seperti kepentingan
nasional, peraturan pusat secara hirarkis lebih materialisasi. Hubungan wewenang untuk
mewujudkan otonomi seluas-luasnya tidak lebih baik diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004,
bahkan lebih mudah bergeser ke arah sentralisasi dibandingkan dengan undang-undang
terdahulu. UU No. 32 Tahun 2004 seperti dengan sengaja pula tidak menyebut rincian urusan-
urusan tambahan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya semua urusan pemerintahan
dapat diatur dan diurus pusat. Pembatasan hanya didasarkan pada kriteria ”eksternalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan antar pemerintahan”. Suatu kriteria yang
mulur mungkret (elastik) yang mudah disalahgunakan. Memang, UU No. 32 Tahun 2004, juga
memungkinkan daerah mengurus dan mengatur urusan pemerintahan yang disebut urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan. Ukuran-ukurannya juga mulur mungkret yang mudah
menimbulkan pergesekan dengan pusat (meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutantinggi dari aturan-aturan daerah.
Bidang-bidang yang bersifat concurrent dikenali dalam UUD India dan UUD Jerman.
(1) India. Ada tiga rincian (lists) yang memuat wewenang (kekuasaan) pusat
(federal), wewenang (kekuasaan) negara bagian, dan wewenang (kekuasaan)
bersama (concurrent).