Anda di halaman 1dari 13

Nama : Nijar Krismawan

NPM : 110110160170

Mata Kuliah : Hukum Pemda

Hukum Pemerintahan Daerah

1. Pendahuluan

Otonomi daerah adalah satuan pemerintahan mandiri (otonom) dalam batas wilayah
tertentu (dalam lingkungan negara kesatuan) yang berhak dan berwenang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga daerah yang
bersangkutan.
Otonomi fungsional adalah satuan pemerintahan mandiri (otonom) yang berhak dan
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu yang tidak dibatasi atau
ditentukan berdasarkan wilayah atau daerah tertentu, melainkan mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan tertentu.
UUD 1945 hanya memuat (mengatur) otonomi teritorial.Uraian di bawah hanya
mengenai otonomi teritorial sebagaimana dimaksud UUD 1945 Bab VI tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Menurut undang-undang, satuan pemerintahan yang
menjalankan otonomi disebut pemerintahan daerah.2 Karena itu hukum di bidang otonomi
daerah disebut juga hukum pemerintahan daerah. Apabila ada otonomi fungsional (selain
otonomi daerah), cukup dinamakan hukum otonomi atau hukum pemerintahan otonom. Uraian
ini akan menggunakan tema hukum pemerintahan daerah. Otonomi dapat dibedakan antara
otonomi dalam arti luas (autonomy in the broad sense) dan otonomi dalam arti sempit (autonomy
in the narrow sense). Dalam arti luas meliputi otonomi dalam arti sempit (lazim disebut otonomi)
dan tugas pembantuan (co-administration, medebewind). Pemerintahan daerah meliputi urusan
otonomi dan tugas pembantuan.
2. Hukum Pemerintah Daerah sebagai Kajian Mandiri

Seperti diajarkan Logemann, Hukum Tata Negara mempelajari hukum tentang


organisasi negara. Pemerintahan daerah adalah organisasi negara tingkat lebih rendah
atau dapat disebut sebagai sub organisasi negara. Dengan demikian, hukum mengenai
pemerintahan daerah merupakan bagian dari hukum organisasi negara yang menjadi
obyek Hukum Tata Negara. Kedua; sebagai kajian Hukum Administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur (menentukan) cara-cara
pemerintah (administrasi negara) menjalankan pemerintahan (menjalankan administrasi
negara), yang mencakup:
1. Hukum yang mengatur internal administrasi negara.
2. Hukum yang mengatur hubungan administrasi dengan warga atau penduduk negara.
3. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga atau penduduk terhadap pemerintah
(administrasi negara).

Dengan demikian karena hukum yang mengkaji pemerintahan daerah hanya mengenai tata
cara pemerintahan daerah menjalankan pemerintahan (administrasi negara), maka masuk
rumpun hukum administrasi negara.
Sebagai pengajaran tersendiri, Hukum Pemerintahan Daerah adalah hukum administrasi negara
khusus (special administrative law, bijzondere administrative recht) di samping hukum
administratif umum (general administrative law, algemene administratief recht). Materi hukum
administrasi umum mencakup – antara lain – pengertian, sejarah, sumber, macam-macam
keputusan, dan asas-asas hukum administrasi negara. Di Belanda, salah satu sumber utama
hukum administrasi umum adalah Algemene Wet Bestuursrecht (AWB).
Ada beberapa ukuran yang perlu dikaji, yaitu: (1) bahan-bahan hukum (legal
materials); (2) hubungan dengan cabang atau disiplin ilmu hukum lain; (3) sifat khusus;
dan (4) kajian-kajian yang sudah ada.

1. Bahan hukum (legal materials)


Untuk menuju suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, bahan-bahan hukum
berfungsi sebagai sumber hukum.
a. Bahan hukum tertulis.
Bahan hukum tertulis pemerintahan daerah dijumpai dalam UUD, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala
Daerah, sampai pada peraturan-peraturan tingkat desa. Selain itu, didapati pula
berbagai aturan (peraturan) kebijakan (beleidsregels) baik yang ditetapkan (besluit)
pusat atau oleh daerah.

b. Bahan hukum tidak tertulis


Bahan hukum tidak tertulis dijumpai dalam hukum adat yang masih berlaku, praktek-
praktek pemerintahan daerah, putusan-putusan hakim, dan lain-lain.

c. Bahan hukum dalam bentuk teori-teori otonomi (pemerintahan daerah) yang


bersumber dari hasil kajian (penyelidikan) ilmu hukum atau ajaran (doktrin) otonomi,
seperti doktrin yang menyangkut sistem otonomi, hubungan pusat dan daerah, dan
lain-lain.

2. Hubungan dengan cabang atau disiplin ilmu hukum lain.

Telah diuraikan hubungan (keterkaitan) Hukum Pemerintahan Daerah dengan Hukum


Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang menempatkan kajian Hukum Pemerintahan
Daerah berwajah ganda, sebagai kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Belum pula hubungan dengan Ilmu Politik (demokrasi), manajemen, dan lain-lain. Aneka ragam
hubungan (keterkaitan) tersebut menunjukkan kekayaan analisis Hukum Pemerintahan Daerah.
Membiarkan kajian Hukum Pemerintahan Daerah menjadi bagian aneka ragam disiplin ilmu
sehingga berserak-serak menyebabkan tidak ada kebulatan kajian yang terintegrasi. Hal ini bukan
saja menimbulkan kesulitan praktis.
karena terpecah-pecah, juga kesulitan konseptual yang akan menghalangi
pengembangan teori dan konsep hukum otonomi daerah yang mandiri. Menjadikan Hukum
Pemerintahan Daerah sebagai cabang atau disiplin ilmu hukum yang berdiri sendiri lebih
memungkinkan pengembangan konsep atau teori Hukum Pemerintahan Daerah yang mandiri.

3. Sifat khusus kajian Hukum Pemerintahan Daerah


Sifat khusus berkaitan dengan fungsi pemerintahan daerah pada umumnya yang meliputi:
a. Fungsi pengelolaan pemerintahan atau manajemen pemerintahan. Esensi
manajemen adalah efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Melalui desentralisasi
(otonomi) pelayanan terhadap masyarakat dapat diselenggarakan secara efisien,
efektif dan produktif.
b. Fungsi pelayanan publik. Fungsi ini hanya dapat berjalan dengan baik kalau
pemerintahan didekatkan dengan masyarakat. Desentralisasi (otonomi) adalah
sarana mendekatkan pemerintahan dengan masyarakat.
c. Fungsi politik. Fungsi politik terutama berkaitan dengan demokrasi.
Desentralisasi (otonomi) meluaskan peluang demokrasi.
d. Fungsi polisionil. Fungsi ini berkaitan dengan penegakan hukum, menjaga dan
memelihara ketertiban umum.
e. Fungsi keragaman (kebhinekaan). Indonesia adalah negara yang penuh
keragaman. Desentralisasi (otonomi) memberi peluang pelayanan yang
memuaskan berdasarkan perbedaan-perbedaan.
f. Fungsi menjaga persatuan. Desentralisasi (otonomi) memberi peluang
menumbuhkan rasa diakui dan diperhatikan.

Agar sifat-sifat khusus di atas dapat dikaji secara terpadu diperlukan metode yang
khusus pula. Tanpa metode yang khusus tidak akan dapat dikembangkan kajian
Hukum Pemerintahan Daerah secara terpadu. Salah satu metode khusus yaitu
metode antar disiplin (interdisciplinary approach). Metode antar disiplin dalam
Hukum Pemerintahan Daerah tidak hanya penting sebagai instrumen pengkajian.
Tidak kalah penting dalam pembentukan dan penerapannya.

4. Kajian-kajian yang sudah ada

Kajian mengenai pemerintahan daerah beraneka ragam. Seperti telah dikemukakan,


kajian hukum dilakukan baik dalam lingkup Hukum Tata Negara maupun Hukum
Administrasi Negara. Di luar hukum, kajian pemerintahan daerah dilakukan
dilapangan Ilmu Administrasi Negara (public administration) dan Ilmu Politik yang
berkaitan dengan bermacam kajian, seperti hubungan pusat dan daerah, demokrasi,
pemilihan umum, dan lain-lain.

Dari berbagai aspek di atas, sudah saatnya kajian Hukum Pemerintahan Daerah tidak lagi sekedar
efisiensi dan efektivitas pengajaran Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara,
melainkan sebagai cabang atau disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

3. Materi Pengajaran Hukum Pemerintahan Daerah

Materi pengajaran Hukum Pemerintahan Daerah dapat dibedakan:

Pertama; materi pengajaran umum. Materi pengajaran umum mencakup teori-teori atau
konsep-konsep yang memberikan pengetahuan dasar mengenai Hukum Pemerintahan
Daerah, yang meliputi:

(1) Pengertian Hukum Pemerintahan Daerah.


(2) Hubungan antara pemerintah daerah dan bentuk negara
(3) Sumber-sumber Hukum Pemerintahan Daerah
(4) Sistem dan susunan pemerintahan daerah
(5) Hubungan antara Hukum Pemerintahan daerah dengan Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara
(6) Fungsi pemerintahan daerah
(7) Letak Hukum Pemerintahan Daerah dalam susunan pembagian (pemisahan)
kekuasaan negara
(8) Sejarah dan perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah
(9) Asas-asas umum pemerintahan daerah
(10) Hubungan atau titik taut (knopping punten) antara Hukum Pemerintahan
Daerah dengan Ilmu Administrasi Negara

(public administration) dan Ilmu Politik (political science) Kedua; materi pengajaran khusus.
Materi pengajaran khusus terutama mengenai hukum positif, yang akan berbeda-beda dari
waktu ke waktu (karena perubahan peraturan perundang-undangan, praktek pemerintahan, dan
putusan hakim), dan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Dalam
rangka mendalami hukum positif, materi pengajaran hukum dilengkapi dengan pengamatan
perbandingan yang bersifat metodologis baik sebagai pengamatan historis internal
(perkembangan dalam negara yang bersangkutan), maupun dengan negara lain. Selain itu,
materi pengajaran khusus dapat diberikan melalui putusan-putusan hakim, misalnya putusan
mengenai sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, putusan
mengenai pengujian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah, dan lain-lain.

4. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

Pemerintahan daerah (otonom) adalah salah satu sendi konstitusional Negara Republik
Indonesia. Sendi-sendi konstitusional lain adalah prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila, sendi negara hukum, sendi demokrasi ekonomi, dan lain-lain. Semua
UUD yang berlaku dan pernah berlaku selalu memuat sendi-sendi otonomi (UUD 1945, Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950). Sejak tahun 1945 (sejak merdeka) telah ditetapkan berbagai undang-
undang (peraturan perundang-undangan) mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah.
Perubahan atau penggantian undang-undang tidak semata-mata karena perubahan UUD atau
karena perkembangan konsep atau teori kenegaraan atau pemerintahan, dinamika sosial,
kemajuan ilmu dan teknologi, melainkan termasuk juga perubahan politik (kebijakan) negara
atau pemerintah. Bahkan dapat dikatakan, politik negara atau pemerintah yang paling dominan
mempengaruhi berbagai peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah.
Akibatnya, meskipun undang-undang dibentuk atas dasar UUD yang sama, tetapi isi undang-
undang pemerintahan daerah berbeda-beda satu sama lain. Di bawah regim UUD 1945 telah
dibentuk berbagai undang-undang (UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004), tetapi dengan isi yang berbeda-beda. Perbedaan-
perbedaan mencakup – antara lain – mengenai susunan daerah otonom, isi otonomi (otonomi
luas atau tidak luas), desentralisasi atau sentralisasi, hubungan keuangan, hubungan
pengawasan, kedudukan dan hubungan dengan pemerintahan asli (seperti desa), sistem
otonomi, dan lain-lain. Ketentuan UUD ditafsirkan menurut kehendak kekuasaan yang dominan,
bukan berdasarkan sendi-sendi dasar, dan maksud sendi otonomi itu sendiri. Akibatnya
pergulatan, bahkan ketegangan (spanning, tension) tidak pernah mereda. Selalu ada berbagai
keluhan, lebih-lebih pada tataran pelaksanaan (implementasi). Keluhan-keluhan tidak saja
datang dari daerah. Tidak kurang-kurangnya dari pusat. Misalnya, dalam rangka perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah diadakan sistem Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Keluhan daerah tetap mengalir, karena cara-cara penetapan DAU dan DAK
dianggap tidak (kurang) mencerminkan kenyataan-kenyataan di suatu daerah atau daerah-
daerah yang bersangkutan. Demikian pula isi otonomi. Timbul keluhan baik dari daerah maupun
pusat. Dari daerah, secara diam-diam maupun melalui berbagai peraturan pelaksanaan
(implementing regulations) ada semacam proses sentralisasi (stilwijgend centralisatie), seperti
pengaturan mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah (termasuk hal-hal seperti uang
kehormatan anggota DPRD).
Ada beberapa alasan obyektif pusat untuk melakukan ”supervision” pelaksanaan otonomi
luas. Pertama; otonomi adalah sub sistem negara kesatuan. Pengawasan pusat senantiasa
melekat dalam otonomi (geen autonomie zonder toezich). Otonomi adalah zelfstandigheid,
tetapi bukan onafhankelijkheid. Kedua; penggunaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (termasuk yang berasal dari DAU dan DAK) harus benar-benar untuk kesejahteraan
rakyat. Ada daerah yang sampai menggunakan 40% dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk
anggaran DPRD. Sebaliknya, ada pula keluhan dari pusat terhadap otonomi luas. Daerah acap
kali menetapkan suatu kebijakan yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kebijakan
pusat. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan, pungutan yang berkaitan dengan
investasi, acap kali justeru menimbulkan hambatan investasi karena – antara lain –
menimbulkan investasi biaya tinggi (high cost investation). Demikian pula soal penguasaan
dan pengelolaan hutan yang dapat mempengaruhi kebijakan pusat mengenai lingkungan,
lebih-lebih yang berkaitan dengan kewajiban internasional seperti perubahan iklim (climate
change) atau pemanasan global (global warming). Semua ini dilakukan daerah dengan dalih
otonomi luas. Segala sesuatu yang tidak secara nyata ditetapkan sebagai wewenang pusat
adalah wewenang daerah. Suatu ketentuan yang sangat mirip dengan hubungan antara
Pemerintah Federal dengan Negara Bagian. di Amerika Serikat. Banyak lagi hal lain, yang
menunjukkan persoalan otonomi belum selesai.

a. Pergeseran kekuasaan dari kepala daerah ke DPRD


Pergeseran ini mengikuti pergeseran kekuasaan dari Presiden ke DPR. Semula,
pergeseran ini begitu kuat karena kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Setiap
saat, seperti melalui laporan tahunan, kepala daerah menjadi sangat lemah di hadapan DPRD
(UU No. 22 Tahun 1999). Meskipun telah diadakan perubahan (UU No. 32 Tahun 2004)
dengan perubahan-perubahannya), DPRD tetap kuat karena disertai bermacam-macam hak
(seperti DPR). Dari executive heavy (strong executive) bergeser menjadi “DPRD heavy”.
Kehendak atau kemauan DPRD lebih menentukan dari kepala daerah. Semestinya yang harus
dikembangkan bukanlah pergeseran untuk melemahkan yang satu terhadap yang lain,
melainkan membangun sistem keseimbangan antara DPRD dan Kepala Daerah. DPRD yang
memegang hak anggaran (hak budget), mempunyai anggaran tersendiri. Meskipun
diperlukan persetujuan kepala daerah, DPRD dengan kekuasaannya menentukan sendiri
besaran anggarannya, termasuk. menaikkan sendiri pendapatan aneka ragam nomenklatur,
dan kepala daerah umumnya menyetujui anggaran tersebut. Telah dikemukakan ada DPRD
yang menggunakan 40% dari PAD yang bersangkutan.

b. Korupsi

Pada tahun 2000, dalam salah satu tulisan yang dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung,
saya telah mencatat kekhawatiran korupsi di daerah akan meningkat akibat tambahan
berbagai pendapatan daerah (DAU, DAK, disamping PAD). Ternyata dugaan tersebut menjadi
kenyataan. Kekhawatiran lain adalah penggunaan uang yang banyak tidak terarah
sebagaimana mestinya. Ada kepala daerah yang menghamburkan keuangan daerah dengan
berkelana di Jakarta dan pindah dari hotel ke hotel, bukan berada di daerahnya.

c. Letak titik berat otonomi


Hingga sekarang masih tetap dipersoalkan tempat yang tepat untuk titik berat
otonomi daerah. Ada yang berpendapat titik berat otonomi di provinsi. Ada yang
berpendapat di kabupaten/kota. Salah satu fungsi otonomi adalah mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat, karena itu semestinya titik berat otonomi ada pada kabupaten/kota.
Dalam kaitan pendapat mengenai titik berat otonomi pada kabupaten/kota, ada yang
menghendaki provinsi hanya sebagai wilayah administratif. Memperhatikan ketentuan
UUD 1945, Pasal 18 ayat (2), baik provinsi, kabupaten, atau kota adalah satuan pemerintahan
otonom (mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan). Dengan demikian, tidak mungkin membentuk provinsi adminsitratif,
kecuali mengubah Pasal 18 UUD 1945. Muhammad Yamin dalam pidato di hadapan BPUPKI
tahun 1945 menghendaki otonomi, terutama pada desa yang sudah diperbaharui
(modernisasi). Pemikiran ini pernah tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1948 yang
menghendaki otonomi luas pada desa.

d. Tata cara pemilihan kepala daerah

Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan meningkatkan mekanisme


demokrasi, ternyata menimbulkan berbagai persoalan. Pemilihan langsung telah meluaskan
money politics sebagai alat membeli suara. Ketika hal yang sama terjadi pada pemilihan oleh
DPRD dikatakan permainan uang juga ada dan lebih mudah dilakukan karena melibatkan
jumlah orang yang terbatas. Cukup membayar separoh jumlah anggota DPRD ditambah satu
(mayoritas absolut atau absolute majority) sudah menjamin kemenangan. Selain itu,
pemilihan oleh anggota DPRD, rawan tekanan dan suara akan didominasi partai besar.

e. Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota

Provinsi, kabupaten, dan kota sebagai satuan pemerintahan otonom, masing-masing


adalah badan hukum. Sebagai badan hukum, provinsi, kabupaten, kota adalah subyek hukum
mandiri. Hubungan antara provinsi, di satu pihak dengan kabupaten, kota, walaupun berada
dalam wilayah yang sama adalah hubungan antar badan hukum, baik dalam lapangan hukum
keperdataan maupun hukum publik. Hubungan di lapangan hukum publik harus diatur atau
ditentukan oleh undang-undang yang mengatur bentuk dan isi hubungan tersebut. Tanpa
pengaturan tidak ada hubungan hukum publik antara provinsi dengan kabupaten dan kota.
Hubungan di lapangan hukum keperdataan dilakukan menurut asas-asas dan kaidah umum
hukum keperdataan.

f. Pemekaran daerah

Pemekaran daerah merupakan salah satu kemeriahan reformasi. Sampai-sampai,


sekitar 50% atau lebih undang-undang yang dibentuk DPR periode 2004 – 2009 adalah
undang-undang pembentukan daerah otonom baru (provinsi, kabupaten, kota). Yang lebih
menarik, berbagai undang-undang pembentukan daerah otonom tersebut, pada umumnya
bersumber dari penggunaan hak inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah (Presiden).
Ditinjau dari struktur materi muatan, seperti juga undang-undang pembentukan pengadilan
tingkat. banding, sangat sederhana. Karena tidak secara langsung mengikat umum. Di
lapangan Ilmu Hukum disebut undang-undang formal (formeel recht) yang berbeda dari
pengertian undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin).
Kecenderungan ini berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa yang justeru
menuju konsolidasi dengan menggabungkan atau menyederhanakan susunan daerah-daerah
pemerintahan yang sudah ada. Pertimbangan konsolidasi adalah dalam rangka efisiensi,
efektivitas, ketersediaan sumber daya (resources), serta kecukupan anggaran. Semua aspek
tersebut bertujuan untuk lebih menjamin kemandirian daerah. Pada saat ini, ada kebijakan
moratorium (penghentian sementara) pembentukan pemerintahan daerah baru.
Disamping itu, pemerintah sedang menyusun semacam peta pemerintahan daerah untuk
dijadikan batas pembentukan pemerintahan daerah baru.
Kebijakan-kebijakan tersebut semestinya diikuti pula dengan ketentuan hak inisiatif
DPR tidak berlaku untuk pembentukan pemerintahan daerah seperti pembentukan Undang-
Undang APBN, Undang-Undang Ratifikasi. Pemerintahan daerah ada dalam lingkungan
kekuasaan eksekutif, karena itu seyogyanya hanya eksekutif yang mengajukan inisiatif, bukan
DPR.
g. Pilihan antara urusan pusat dan daerah

Semua berpikiran, rumusan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pembagian urusan antara pusat dan daerah, menyerupai Amandemen ke-X UUD Amerika
Serikat. yang menetapkan segala sesuatu yang tidak ditetapkan sebagai urusan federal (Pasal
I, sec. 8), atau yang tidak dinyatakan dilarang diselenggarakan negara bagian, adalah
wewenang negara bagian. Dalam berbagai bahan bacaan, disebutkan kekuasaan residu
(residual powers) ada pada negara bagian (kebalikan dari Kanada). Ternyata, baik UU No. 22
Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004, tidak sepenuhnya demikian. Dalam UU No. 22
Tahun 1999 ada embel-embel yang disebut ”urusan lain” yaitu berbagai wewenang yang
bersifat kebijakan untuk sejumlah urusan pemerintahan tertentu. Meskipun disebut
berbagai macam urusan lain, tetapi karena termasuk ke dalam kategori kebijakan (beleid,
discretion), dapat menjadi sumber masalah hubungan antara pusat dan daerah. Kebijakan
senantiasa diperlukan, tetapi juga kebijakan diandaikan dengan orang yang sedang berjalan
di lereng yang licin (slippery slope). Kebijakan mudah disalahgunakan, sewenang-wenang, dan
sangat sulit diawasi. Meskipun disebutkan kebijakan atau diskresi, tetap harus memiliki
landasan hukum (wewenang berdasarkan hukum), tujuan yang akan dicapai tidak
bertentangan dengan hukum (legal purposeful), tetapi karena setiap bentuk kebijakan akan
selalu menekankan manfaat yang akan dicapai (doelmatigheid) sehingga seolah-olah
dibenarkan melonggarkan sifat hukum (rechtmatigheid), mudah sekali menimbulkan
pergesekan dengan wewenang di bidang otonomi, bahkan dapat menggerogoti otonomi
daerah. Akibatnya, dasar otonomi luas hanya sekedar sebagai ungkapan normatif tanpa isi
atau ). UU No. 32 Tahun 2004 menyebut urusan-urusan pemerintahan pilihan sebagai
”urusan pemerintahan yang bersifat concurrent”. Dalam konkurensi semacam ini, pusat
biasanya memiliki posisi yang lebih kuat dengan berbagai alasan, seperti kepentingan
nasional, peraturan pusat secara hirarkis lebih materialisasi. Hubungan wewenang untuk
mewujudkan otonomi seluas-luasnya tidak lebih baik diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004,
bahkan lebih mudah bergeser ke arah sentralisasi dibandingkan dengan undang-undang
terdahulu. UU No. 32 Tahun 2004 seperti dengan sengaja pula tidak menyebut rincian urusan-
urusan tambahan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya semua urusan pemerintahan
dapat diatur dan diurus pusat. Pembatasan hanya didasarkan pada kriteria ”eksternalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan antar pemerintahan”. Suatu kriteria yang
mulur mungkret (elastik) yang mudah disalahgunakan. Memang, UU No. 32 Tahun 2004, juga
memungkinkan daerah mengurus dan mengatur urusan pemerintahan yang disebut urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan. Ukuran-ukurannya juga mulur mungkret yang mudah
menimbulkan pergesekan dengan pusat (meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutantinggi dari aturan-aturan daerah.
Bidang-bidang yang bersifat concurrent dikenali dalam UUD India dan UUD Jerman.

(1) India. Ada tiga rincian (lists) yang memuat wewenang (kekuasaan) pusat
(federal), wewenang (kekuasaan) negara bagian, dan wewenang (kekuasaan)
bersama (concurrent).

(2) Jerman. UUD Jerman juga mengatur mengenai wewenang (kekuasaan)


federal, wewenang (kekuasaan) negara bagian (Länder) dan wewenang
(kekuasaan) concurrent. Wewenang negara bagian (Länder) serupa
dengan Amandemen ke-X UUD Amerika Serikat (The Länder shall have the
right to legislate in so far as this Basic Law does not confer legislative power
on the Federation), dengan tambahan seperti India, yaitu ada rincian
mengenai concurrent powers.
Demikian sebagai isu (issues) atau persoalan-persoalan mengenai
penyelenggaraan otonomi daerah. Silih berganti undang-undang, ternyata belum
berhasil memecahkan berbagai persoalan tersebut, apalagi menyelesaikan seluruh
persoalan.
(1) India. Ada tiga rincian (lists) yang memuat wewenang (kekuasaan) pusat
(federal), wewenang (kekuasaan) negara bagian, dan wewenang (kekuasaan)
bersama (concurrent).

(3) Jerman. UUD Jerman juga mengatur mengenai wewenang (kekuasaan)


federal, wewenang (kekuasaan) negara bagian (Länder) dan wewenang
(kekuasaan) concurrent. Wewenang negara bagian (Länder) serupa
dengan Amandemen ke-X UUD Amerika Serikat (The Länder shall have the
right to legislate in so far as this Basic Law does not confer legislative power
on the Federation), dengan
tambahan seperti India, yaitu ada rincian mengenai concurrent powers.
Demikian sebagai isu (issues) atau persoalan-persoalan mengenai
penyelenggaraan otonomi daerah. Silih berganti undang-undang, ternyata belum
berhasil memecahkan berbagai persoalan tersebut, apalagi menyelesaikan seluruh
persoalan.

Anda mungkin juga menyukai