Anda di halaman 1dari 9

2.1.

Pengertian Hukum Islam


Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga
berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan.

Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam[4] adalah hokum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda
dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan
hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada
umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran
manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya
merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi
pada dasarnya ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan
dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini pun
tehimpun dalam kitab-kitab hadits.

Dasar inilah yang membedakan hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum
lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia. Hokum
islam diperkenalkandengan berbagai istilah yang saat ini telah popular di lingkungan umat Islam.
Ada istilah syariat, hokum syara, maupun fiqih. Bagi setiap umat Islam selayaknya memahami
ketiga istilah tersebut, agar memiliki wawasan yang cukup mengenai wilayah dan cukupan-
cakupan ilmu agama islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah swt. Bagi hamba-hambaNya
yang dibawa oleh para Nabi Allah termasukNabi Muhammad saw. Baik yang berkaitan dengan
teknik suatu aml perbuatan (yang kemudian tersusun dalam ilmu fiqih), maupun persoalan-
persoalan kepercayaan dan keimanan (yang kemudian tersusun dalam ilmu kalam). Istilah syariat
ini sering pula disebut dengan istilah ad-diin dan al-millah (agama).

Adapula yang mendefinisikan syariat dengan pengertian segala sesuatu yang Allah SWT
bagi hambaNya yaitu agama, atau segala sesuatu yang telah ditunjukkan jalanNYa oleh Allah,
berupa agama dan segala perintah-perintahNya seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan segenap
amal kebaikan. Dari uraian di atas tampak bahwa istilah syariah mencakupi yang di ajarkan dan
ditetapkan oleh Allah melalui nabiNya, baik yang berkaitan dengan masalah teologi (keyakinan),
masalah ritual (peribadatan), masalah social (kemasyarakatan), maupun moral (etika).
Hukum syara’ adalah firman Allah yang mengikat (mengatur) tindakan-tindakan orang
mukallaf (orang Islam yang telah layak menerima hak dan kewajiban hukum) baik yang berupa
tuntutan, pilihan, maupun penetapan.
Hokum syara dibagi menjadi 2 bagian:
1. Al-hukmu at-taklifiy (hokum yang bersifat pembebanan ),menurut mayoritas ulama ada 5
tingkatan:
 Ijab/ wajib (kewajiban), yaiti suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan phala dan kalau
ditinggalkan akan mendapat siksa dan dosa.
 Sunnah/ mandub (anjuran), yaitu suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan tetapi jika
ditinggalkan tidak memiliki resiko berdosa.
 Ibahah/ mubah (kebolehan), yaitu suatu pernuatan jika dikerjakan mauoun ditinggalkan tidak
mengandung konsekuensi pahala ataupun dosa.
 Karahah/ makruh (kebencian/ keterpaksaan), yaitu perbuatan jika ditinggalkan akan mendapatkan
imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak beresiko siksa dan dosa.
 Tahrim/ haram (larangan) yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat siksa dan dosa,
dan jika ditinggalkan akan dapat imbalan paahala.
2. Al-hukmu al-wadl’iy (hukum yang bersifat penetapan-penetapan khusus), terdiri dari ketetapan-
ketetapan yang menentukan kberlakuan hokum taklifiy, yaitu:
\
 As-sabab (sebab), yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sebagai factor datangnya ketentuan
hokum taklifiy, seprti condongnya matahari ke arah barat menjadi factor datangnya sholat
dhuhur; seperti hadinya suatu penyakit atau kegiaatan bepergian (musafir) menjadi
dihapuskannya skewajiban puasa ramadhan pada hari itu. Jadi, ada hubungan sebab akibat antara
datangnya suatu factor dengan datangnya hokum.
 As-syarath (syarat) yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadi factor bagi keabsahan
suatu hokum walaupun tidak memiliki hubungan mutlak sebaab akibat, seperti akaad nikah yang
sah merupakan syarat ditetaapkannya talak/ perceraian karena tidak ada perceraian jika sepasang
manusia tidak pernah maenikah secara sah, dan seoarang yang menikah secara sah, dan seorang
yang menikah secara sah dan tidak selalu berakhir dengan perceraian.
 Al- mani’ (penghalang), ayitu segala seduatu yangt ditetapkan oleh Allah menjadi penghalang
pelaksanaan suatu hukum. Maka jika sesuatu itu ada, secara otomatis hukum itu tidak berlaku,
seperti batalnya hak mewarisi bagi seorang pembunuh bagi yang dibunuhnya. Dalam hukum
waris, seorang anak memperoleh bagian harta waris dari orang tuanya dalam keadaan apapun
juga. Namun hal ini bisa di anulir jika terbukti ternyata anak tersebut ternyata menjadi pembunuh
bagi orang tuanya. Maka dalam hal ini “membunuh”adalah mani’/ penghalanh untuk menerima
waris.
 Azimah (ketetapan reguler), yaitu ketetapan Allah yang disampaikan kepada umatnya secara
umum dengan tidaka disertai dengan relevansi-relevansi khusus baiak dalam keadaan tertentu
maupun terhadap kelompok tertentu. Seperti shalat 5 waktu dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan waktu dan jumlah rekaatnya.
 Rukhshah (dipensasi), yaitu ketetapan Allah untuk memberikan dipensasi bagi umatnya dalam
keadaan khusus yang menghajatkan seperti itu. Seperti shalat dhuhur yang dapat digabung
dengan shalat ashar dengan masing- masing dua rekaat saja (disebut dengan jama’ dan qashar);
orang yang sakit memperoleh dispensasi puasa ramadhan untuk dikerjakan di bulan lainnya saja.
 As-Shihhah (valid/ absah) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi
standar kriteria syarat dan rukunnya. Seperti shalat yang dilakukan sebagaimana syarat dan
ketentuan secara lengkap maka shalat itu ditetapkan sabagai shalat yang sah.
 Al- buthlan (batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi ketetentuan
syarat dan rukun padahal tidak memiliki dispensasi apapun.
Istilah fiqh didefinisikan denngan pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang bersifat
praktis dari dalil-dalil yang terperinci, yang dihasilakan dari rasio dan ijtihad melalui proses
pemikiran dan perenungan. Banyak definisi tentang fiqh, ada yang menyebutkan bahwa fiqh
dengan ilmu pengetahuan tentang hukum syara’ yang praktis digali dari sumber-sumbernya yang
terperinci. Oleh karena itu, fikih bersifat instrumental, dari ruang lingkupnya terbatas pada
hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang disebut dengan perbuatan hukum.

Karena fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dan dapat berubah
dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini terlihat dari
aliran- aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mahzab-mahzab. Oleh karena itu,
dalam fikih menunjukan keragamandalam hukum islam. Fikih dalam bahasa indonesia berisi
perincian-perincian sdari syariah karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap
syariah. Elaboarsiyang dimaksud adalah suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran
atau ar-ra’yu.
Yang dimaksud ijtihad[5] adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
memprgunakan segenapa kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang
memenuhi syarat untuk mendapat garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam al-quran dan sunah Rasulullah. Jika mempelajari kitab-kitab fikih, mak seseorang akan
menemukan pemiikiran para fukaha antara lain pendiri empat mazhab yang dikenal sampai
sekarang masih berpengaruh dikalanngan umat islam sedunia, yaitu: Abu Hanifah (pendiri
mazhab hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad bin Idris asy Syafi’I
(pendiri mazhab Syafi’i), dzan Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali). Para yuris islam
tersebut sangat berjasa bagi perkembangan hokum islam melalui pemikiran-pe ikiran mereka
yang mengagumnkan.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, Dengan sifat ini, hukum islam
mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Sifat-sifat itu adalah:
 Bidimensional yang artinya menhgandung sehi kemanusiaan dan segi ketuhanan (illahi) sehingga
luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan tetapi juga
mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat inilah yang merupakan sifat dasar hukum
islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum islam.
 Adil, sifat ini merupakan tujuan penetapan hukum islam, dan telah melekat sejak kaidah-kaidah
dalam syariah ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang di dambakan oleh setiapm manusia
baik sebagai individu, maupun masyarakat.
 Individualistik, dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transdental yaituwahyu Allah
yang di sampaikan kepada nabi Muhammad saw.
2.2. Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupaoleh
syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum
Islaam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa:
59, “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di
antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah
(al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
Dari ayat tersebut, dap[at diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan
hokum agamanya harus didasarkan urutan:
 Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.
 Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya.
 Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.
 Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1. Al Quran
2. Sunah atau hadits Rasul
3. Ijtihad
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama
Al-Quran juga di definisikan ialah 'Kalam Allah Swt yang diwahyukan kepada nabi yang
terakhir Muhammad Saw, yang merupakan mukjizat yang terbesar diberikan Allah Swt terhadap
Rasul Saw dan membacanya merupakan ibadah (pahala).
Dalam al-quran juga disebutkan ada beberapa nama lain Al-quran seperti :
 Al-kitab
 Al-Syifa (obat)
 Al-Huda’ (petunjuk)
 Al-Furqan (pembeda), dan
 Al-Mau’izhah (nasihat).
Artinya, Al-Qur’an adalah kitab yang berisikan petunjuk allah Swt untuk menjelaskan
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan hambanya, membedakan antara yang haq dan
yang bathil, serta menjadi peringatan, obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah Swt dalam QS.Al-Isra’ 82:
“ Dan kamiturunkan dari Al-quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al-quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian”.
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam islam. Karena setiap muslim
wajib berpegang teguh kepada isi kandungan Al-Qur’an dan menempatka Al-Qur’an sebagai
rujukan utama dan pertama dalam menetapkan suatu hukum Allah SWT berfirman :
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan
hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu
perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan
rasul-Nya.

2. Al-Hadits[6] Sebagai Sumber Hukum Kedua

As-sunnah menurut istilah yang dirumuskan oleh ‘Ulama Hadis adalah “Segala sesuatu
yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
(ketentuan), pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa
kenabian ayau sesudahnya”
Sedangkan menurut ‘ulama Fiqh : “ Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad
Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) yang mempunyai kaitan dengan hukum

Berdasarkan pengertian di atas , dapat diklasifikasikan kepada 4 macam yaitu;
a. Hadis Qauliyah

Seluruh hadis yang bersumber dari perkataan Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk perintah,
larangan, anjuran atau nasehat , dan lain-lain. Yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hokum syara’
b. Hadis Fi’liyah

Seluruh hadis yang bersumber dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh Nabi
Muhammad Saw agar diconthkan atau diteladani oleh umatnya.Contohnya: tata cara wudu’ ,
shalat, haji, dan lain-lain yang diperbua dan dicontohkan oleh Nabi.
c. Hadis Taqririyah
Seluruh hadis yang berbentuk ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad Saw terhadap suatu
perkara yang dilakuakn sahabat atau umatnya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw memberikan
persetujuan atau ketetapan terhadap hal-hal positif yang dilakukan sahabatnya. Sebagai contoh,
nabi Muhammad saw menyetujui kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh sahabat yang
bernama Bilal Nin rabbah.
 Hadis Hamiyah
Hadis nabi Muhammad Saw yang masih berbentuk harapan. Menurut ahli hadis, bentuk hadis
seperti ini sangat sedikit, bahkan ada yang mengatakan tidak ada,. Hal ini dikarenakan Nabi
Muhammad Saw adalah sosok teladan yang tidak pernah meminta umatnya melakukan sesuatu
sebelum ia sendiri melakukannya. Begitupun, ada yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad
saw pernah berniat untuk berpuasa pada Muharram, tetapi sebelum ia menunaikannya, beliau
telah dipanggil Allah Swt inilah salah satunya sumber informasi tentang hadis hammiyah.
Hadis merupakan salah satu sumber hokum islam yang wajib kita taati. Allah Swt telah
mewajibkan agar kita mentaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad Saw tersebut.
Hadits terdiri dari :
 Matan, yaitu isi atau kandungan dari suatu hadis yang memuat berbagai pengertian.
 Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis,yaitu nama-nama para perawinya
yang berurutan menjadi sandaran dalam periwayatan hadis menjadi perantara Nabi Muhammad
Saw sampai kepada perawi atau orang yang meriwayatkan suatu hadis
 Rawi yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadist

Klasifikasi Hadits
a. Hadis Shahih
Yaitu hadits yang dapat dipakai sebagai landasan hukum. Hadits yang sahih para perawinya
bersambung sampai kepada Nabi saw, perawinya orang yang taat beragama, kuat hafalannya dan
isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an.

b. Hadits Hasan (baik)


Yaitu hadits yang memenuhi persyaratan seperti perawinya semuanya bersambungan,
perawinya taat beragama, agak kuat hafalannya, tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan tidak
cacat di dalamnya.

c. Hadits Daif (lemah)


Yaitu hadits yang tidak memenuhi criteria persyaratan hadits hasan apalagi shahih. Hadits
daif tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum.

3. Al-Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pelengkap


Menurut bahasa Ijtihad[7] artinya bersungguh-sungguh. Menurut istilah Ijtihad ialah
bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan dan menetapkan hukum atau
suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga atau pelengkap. Hal itu di
dasarkan kepada hadis yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu Daud yang berisikan
dialoq antara Nabi Muhammad Saw dengan Mua’az bin Jabal, ketika diutus ke negeri Yaman
waktu itu Nabi bertanya kepada Mu’az “ Bagaimana kamua akan menetapkan hukum kalau
dihadapkan kepadamu sutu persoalan yang memerlukan ketetapan hukum?” Mu’az menjawab,”
saya akan menetapkan hukum dengan Al-Qur’an ,” Rasul bertanya lagi “ kalau seandainya tidak
ditemukan ketetapannya dengan Al-quran?” Mu’az menjawab,” saya akan berijtihad denan
pendapat saya sendiri.” Kemudian rasulullah menepuk-nepuk bahu mu’az bin jabal tanda setuju.
Dan ini merupakan dasar hukum perlunya ijtihad. Al-quran menjelaskan ada “ULIL AMRI”yang
berarti mereka yang berwenang menetapkan suatu maslahat bagi umat. Q.S An-Nisa ayat 59.

Persoalan apa sajakah yang boleh di ijtihadkan?


Para ulama sepakat bahwa semua masalah boleh diijtihadkan apabila kita tidak menentukan
penjelasan yang rinci tentang masalah tersebut, baik dalam al-quran maupun hadist. Karenanya
kita tidak diperkenankan lagi beijtihad dalam masalah-masalah yang sudah jelas aturan dan dasar
hukumnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Ijtihad semakin dirasakan penting ditengah-tengah kehidupan yang semakin maju, maka semakin
banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah terjadi, baik pada masa
rasul,sahabat maupun pada masa-masa sebelunya.kini semakin, banyak masalah yang
memerlukan ijtihad para ulama menentukan status atau ketentuan hukumnya.
Diantara msalah-masalah tersebut misalnya:
 Bayi tabung
 Ber-KB secara vasektomi dan tebektomi
 Transpalantasi organ tubuh seperti jantung buatan, pemotongan hewan dengan mesin,transfusi
darah, dan sih banyak masalah lainnya.
Bentuk-bentuk Ijtihad[8]
a. Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan pendapat.
Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang hukum suatu masalah yang tidak
tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain, kemudian
menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum suatu maslaah yang tidak
ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara menganalogikan suatu
masalah dengan masalah yang lain karena terdapat kesamaan ‘illat (alasan).
c. Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari suatu hal. Menurut
istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak
jelas (khafi), atau meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan hukum
khusus (pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang menurut pertimbangan logika
menguatkannya.

Contoh: menurut istihsan sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak,
rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas
seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain yang haram dagingnya karena sisa makanan
binatang-binatnag buas ini mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram
(najis). Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun haram
dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya dengan paruh yang berupa
tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan tidak dimungkinkan air liur / ludah yang
keluar dari perutnya (dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi. Sedangkan binatang-
binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang sejenis daging sehingga
dimungkinkan sekali sisa minumannya bercampur dengan ludahnya.
d. Masalihul Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk mengambil kebaikan. Menurut
istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan umum
atau kepentingan bersama dimana hokum pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh
syar’I (al Qur’an dan Hadits) dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya.
Contoh penggunaan masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar shiddiq
mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan ‘ijazah, surat-surat
berharga dsb.
Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul berbagai masalah baru yang
belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Masalah-masalah baru
tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut
kita semua untuk selalu memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga
kita mampu menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad dengan benar. Pintu
ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim yang memiliki syarat-syarat ijtihad. Islam
sangat mendorong kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw.
dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin Jabal :
Artinya :" Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar,
maka ia mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan dengan jalan ijtihad kemudian
keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari Muslim).”
e. Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada dan telah diterapkan karena adanya suatu dalil
sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hokum tersebut. Misalnya apa yang
diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya keragu-raguan, contoh : orang yang telah berwudlu,
lalu dia ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap dalam
keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga dalam hal menentukan
suatu masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh), maka hukumnya tetap mubah sampai
dating dalil yang mnegharuskan meninggalkan hokum tersebut.
Syarat umum yang harus dimiliki setiap mujtahid:
 Menguasai atau memahami secara mendalam tentang al-quran dan ilmu-ilmu al-quran, terutama
ayat-ayat hukum, asbabun nuzul dan nasakh mansukhnya
 Menguasai hadis dan ilmu-ilmu hadis.
 Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan bahasa arab.
 Menguasai ilmu ushul fiqh.
 Memahami tujuan pokok syari’at islam
 Memahami Qawaid kulliyah atau Qawaid Fiqhiyah.
2.3. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan
pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan
dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok sosial memiliki kjepentingan. Namun
demikan kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal
itu mengandung poteensi terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan
main. Agar kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhjkan penegakkan
aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebutdenngan hukum islam yang dan
menjadi pedomaan setiap pemeeluknya. Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi,
yaitu:
a. Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam
kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal
abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup
(jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-
mafasid). Bbegitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan
makhluknya. Maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.[9]
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak
palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2. Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka
setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang
dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.

3. Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi
hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat
jera dan takut melakukan kejahatan.
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum
sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja,
akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik. Dalam
literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum
tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.

Anda mungkin juga menyukai