Disusun oleh :
Noverian Yoshua P
22010117220088
Pembimbing :
dr. Reidy Bayu Nugroho
Pada kondisi henti nafas maka transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam
waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang
paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu
bertahan jika ada oksigen dan asupan gula/glukosa.
Proses kematian dapat dimulai dari hipoksia. Jika dalam waktu lebih dari 10
menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami
kematian secara permanen. Ketika pasien mengalami hipoksia, pada 0-6 menit
pertama akan terjadi mati klinis (kerusakan sel otak yang tidak diharapkan), 6-10
menit mati biologis ( sudah mulai terjadi kerusakan otak), dan >10 menit hampir
dipastikan terjadi kerusakan sebagian besar sel otak secara permanen. Kematian otak
berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu Golden Period (waktu emas) pada
korban yang mengalami henti napas adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu
kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas harus sudah mulai
mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil.
Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan
napas dan menjamin masuknya udara ke paru secara normal serta menjamin
kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan Airway (Jalan napas) terbagi menjadi 2 yaitu
dengan manual airway atau definitive airway. Alat bantu pembebasan jalan napas
disesuaikan dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien. Cara manual dapat
dilakukan dimana saja, kapan saja walaupun lebih baik dengan menggunakan alat
namun cara manual yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko kematian atau
kecacatan permanen.
Ada berbagai macam pengelolaan jalan napas dengan menggunakan alat,
contohnya dengan pipa orofaring atau pipa nasofaring. Namun jika dengan
pemasangan alat bantu tersebut ternyata masih tetap ada obstruksi jalan napas,
maka dilakukan pemasangan definitive airway yaitu dengan pipa endotracheal
(ETT – Endotracheal tube). Pemasangan pipa endotracheal akan menjamin jalan
napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan
pernapasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan
dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada
hal-hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti
trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang
kecil.
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental.
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap
posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit
untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa
membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental
direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum dan tulang hioid dan 2
jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 :
Gambar 1.
Evaluasi jarak
thyromental (3-3-2)
Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah.
Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga
mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glotis.
2.4.4 O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai
akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled
voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi)
dan adanya stridor.
1. Scope
atas. Bentuknya bervariasi, dari yang dilengkapi dengan bola lampu sederhana
hingga menggunakan perangkat serat optik yang kompleks. Beragam perangkat yang
tersedia disesuaikan dengan penggunaannya.
Gambar 3. Laryngoscope Miller dan Machintos
1) Base (dasar) : adalah bagian yang melekat pada pegangan. Bagian ini memiliki
slot untuk dikaitkan dengan pin engsel handle.
2) Tongue (spatula) : adalah bagian utama dari blade. Ini berfungsi untuk
mengkompresi dan memanipulasi jaringan lunak (terutama lidah) dan rahang bawah.
Sumbu panjang lidah mungkin lurus atau melengkung di sebagian atau seluruh
panjang permukaannya. Blade (pisau) didesain lurus atau melengkung menyesuaikan
bentuk lidah. Secara umum bentuk pisau lurus akan memberikan visualisasi laring
yang lebih baik, sementara bentuk lengkung akan memudahkan proses intubasi.
3) Tip (paruh) : bagianinikontakdenganepiglottismaupundenganvallecula dan secara
langsung atau tidak langsung mengangkat epiglotis. Desain paruh biasanya tumpul
dan menebal untuk mengurangi trauma.
4) Flange (tepi) : tepidaribladeterhubungdengansisi–sisi lidah.
2. Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter.
Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk
bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea
hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan
anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)sedangkan untuk anak besar-
dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation
croup.
Gambar 4. Endotracheal Tube Gambar 5. Nasotracheal Tube
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan
orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan
mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Ukuran pipa trakea
yang tampak pada tabel di bawah ini.
Dewasa
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor
standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan
pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa
secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk
memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk
corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit).
Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa
tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang
ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk
fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung
(memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan
secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat
(blind).Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa
tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak
dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon
yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada
balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan
memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak
iritasif.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan
anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + 1⁄4 umur (tahun). Pemakaian
pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi,
bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang
dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan
balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi
diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar
tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih
nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan
lebih dini
3. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
5. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
Gambar 8. Stilet
6. Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.
7. Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
2.6 Cara Intubasi
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih
gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi
secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena
memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema
pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung
mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
III.ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan pengantar pasien pada tanggal 13 Oktober 2018 di RSUP
Kariadi.
A. Keluhan utama:
Penurunan Kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
± pukul 15.00 sebelum masuk rumah sakit pasien terjatuh dari sepeda motor, tidak
KLL, terjatuh tanpa menggunakan helm. Pasien sempat sadar ± 30 menit
kemudian pasien mulai menurun kesadarannya , kejang (-), mual muntah (-)
demam (-) sehingga pasien dibawa ke IGD RSDK.
C. Riwayat Dahulu:
Riwayat tekanan darah tinggi (+) tak terkontrol
Riwayat merokok (+)
Riwayat penyakit kencing manis (+) tak terkontrol
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat stroke sebelumnya disangkal
Riwayat kejang sebelumnya disangkal
Riwayat alergi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah menikah, memiliki 2 orang anak sudah mandiri. Pasien merupakan
pegawai swasta.
Biaya pengobatan: Umum
THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Abdomen : datar, supel, timpani, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
VI. DIAGNOSIS
1. Penurunan Kesadaran dd Stroke Hemoragik, Cidera Kepala Berat
IPEx :
- Edukasi kepada keluarga pasien tentang alat bantu nafas yang akan
diberikan sebagai pertolongan awal mengenai tujuan dan komplikasinya
- Edukasi kepada keluarga mengenai kondisi pasien , pemeriksaan yang akan
dilakukan, pemeriksaan tambahan yang akan dilakukan, dan kemungkinan
prognosisnya.
Pada pasien ini, seorang laki-laki usia 57 tahun dengan penurunan kesadaran
(GCS 6). Saat pasien datang dilakukan penilaian triage dan pasien kemudian masuk
ke label merah, mengalami distress nafas. Dilakukan penilaian ABC dan didapatkan
pasien mengalami distress nafas disertai dengan penurunan kesadaran sehingga
dilakukan pemasangan endotracheal tube dan orofaringeal tube untuk mencegah lidah
jatuh ke belakang dan mendapatkan oksigen langsung ke paru paru. Pasien
mengalami gangguan hemodinamik berupa takikardi sehingga diberikan cairan RL
yang menyerupai cairan isotonis. Dicurigai penyebab dari penurunan kesadaran
karena ada stroke hemoragik, cidera kepala berat.
Untuk mencari etiologi, maka dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan
Laboratorium darah (Darah Lengkap, Ur/Cr , GDS , Asam Laktat , BGA) ,
Pemeriksaan X Foto Thoraks AP dan MSCT Kepala tanpa Kontras. Didapatkan hasil
GDS 267.
Kemudian pasien mengalami perburukan dan henti jantung dan keluarga
menolak untuk dilakukan resusitasi.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien mengalami penurunan kesadaran curiga stroke
hemoragik. Pasien datang dengan penurunan kesadaran, impending gagal nafas serta
gangguan hemodinamik. Pada pasien dilakukan pemasangan endotracheal tube,
bantuan ventilasi tekanan positif untuk mengatasi gangguan nafas, infus RL untuk
menstabilkan hemodinamik. Pasien mengalami perburukan kondisi dan mengalami
cardiac arrest, keluarga menolak untuk dilakukan resusitasi
DAFTAR PUSTAKA