Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS ANESTESI

Seorang Pria 57 Tahun dengan Gangguan Kesadaran Suspek Stroke


Hemoragik

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Noverian Yoshua P
22010117220088

Pembimbing :
dr. Reidy Bayu Nugroho

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Noverian Yoshua P


NIM : 22010117220088
Bagian : Anestesiologi RSDK / FK UNDIP
Judul kasus : Seorang Pria 57 Tahun dengan Gangguan Kesadaran
Suspek Stroke Hemoragik
Pembimbing : dr. Reidy Bayu Nugroho

Semarang, Oktober 2018


Pembimbing

dr. Reidy Bayu Nugroho


BAB I
PENDAHULUAN

Pada kondisi henti nafas maka transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam
waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang
paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu
bertahan jika ada oksigen dan asupan gula/glukosa.
Proses kematian dapat dimulai dari hipoksia. Jika dalam waktu lebih dari 10
menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami
kematian secara permanen. Ketika pasien mengalami hipoksia, pada 0-6 menit
pertama akan terjadi mati klinis (kerusakan sel otak yang tidak diharapkan), 6-10
menit mati biologis ( sudah mulai terjadi kerusakan otak), dan >10 menit hampir
dipastikan terjadi kerusakan sebagian besar sel otak secara permanen. Kematian otak
berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu Golden Period (waktu emas) pada
korban yang mengalami henti napas adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu
kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas harus sudah mulai
mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil.
Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan
napas dan menjamin masuknya udara ke paru secara normal serta menjamin
kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan Airway (Jalan napas) terbagi menjadi 2 yaitu
dengan manual airway atau definitive airway. Alat bantu pembebasan jalan napas
disesuaikan dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien. Cara manual dapat
dilakukan dimana saja, kapan saja walaupun lebih baik dengan menggunakan alat
namun cara manual yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko kematian atau
kecacatan permanen.
Ada berbagai macam pengelolaan jalan napas dengan menggunakan alat,
contohnya dengan pipa orofaring atau pipa nasofaring. Namun jika dengan
pemasangan alat bantu tersebut ternyata masih tetap ada obstruksi jalan napas,
maka dilakukan pemasangan definitive airway yaitu dengan pipa endotracheal
(ETT – Endotracheal tube). Pemasangan pipa endotracheal akan menjamin jalan
napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan
pernapasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Intubasi endotrakhea adalah memasukkan pipa endotrakhea ke dalam


trakhea melalui hidung atatu mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas
anestesi ke dalam trakhea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.
Endotracheal tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkna ke
dalam trakhea, tindakannya dinamakan intubasi endotrakhea.

2.2 Tujuan Intubasi

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan
dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :

1. Mempermudah pemberian anesthesia.


2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut

2.3 Indikasi Intubasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan


saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi
yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan
berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah
dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis :
mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru,
kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Selain itu, endotracheal tube (ET) dilakukan bila :
a. Cara-cara lain untuk airway gagal
b. Sukar memberikan nafas buatan
c. Risiko aspirasi ke paru besar
d. Mencegah pCO2 meningkat (pada cedera kepala)
e. GCS < 8
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang
memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.
Pemasangan ET juga memiliki risiko. Risiko yang mungkin ditemukan adalah
hipoksia karena spasme pita suara, naiknya tekanan darah, aritmia bradikardi sampai
asistole, kenaikan tekanan intra kranial, dan gerakan leher yang dapat memperberat
cedera servikal. Idealnya pemasangan intubasi harus dibantu obat anestesi dan obat
pelumpuh otot.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil
oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi
nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang
karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini
bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.
Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan
penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk
penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti
aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa
nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid,
epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan
intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga
adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari
ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi
kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.
2.4 Kesulitan Intubasi

Setelah anamnesis maka dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat


membantu mengidentifikasi pasien yang berpotensial untuk terjadinya kesulitan
intubasi. Salah satu cara penilaian kesulitan intubasi adalah dengan menggunakan
metode LEMON (Look externally, Evaluate, Mallampaty, Observation, Neck
mobility.

2.4.1 L (Look externally)

Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada
hal-hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti
trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang
kecil.

2.4.2 E (Evaluate 3-3-2)

Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental.
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap
posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit
untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa
membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental
direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum dan tulang hioid dan 2
jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 :

Gambar 1.
Evaluasi jarak
thyromental (3-3-2)

Angka 3 yang pertama


adalah kecukupan akses
oral
Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah
ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan
peningkatan kesulitan.

Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah.
Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga
mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glotis.

2.4.3 M (Mallampaty score)

Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati


Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan
kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Skor
Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap faring. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal, dan
menjulurkan lidah tanpa fonasi. Oleh Samsoon dan Young skor mallapati telah
dimodifikasi menjadi 4 kategori berdasarkan struktur faring menjadi :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula


Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula


Mallampati 4 : Palatum durum saja


Gambar 2. Mallampati Score


Kelas I dan II dihubungkan dengan kemudahan dalam intubasi, sedangkan kelas III
dan IV dikaitkan dengan tingkat kesulitan intubasi, bahkan kelas IV mempunyai rasio
kegagalan melebihi 10%.

2.4.4 O (Obstruction)

Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai
akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled
voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi)
dan adanya stridor.

2.4.5 N (Neck mobility)

Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam


intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto-oksipital yaitu posisi
leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat
mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto-oksipital. Aksis oral,
faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya
adalah 35 derajat.

2.5 Persiapan Intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐ alat dan memposisikan


pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes
terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya
dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala
pasien harus sejajar dengan pinggag orang yang mengintubasi atau lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan
intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam
dengan oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS

1. Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop


untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring
secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Ada
dua jenis laringoskop yang umum dipakai yaitu laringoskop bentuk lengkung
(macintosh) dan bentuk lurus (miller). Laringoskop digunakan untuk melihat laring
dan struktur yang berdekatan dengan laring, paling sering digunakan dengan tujuan
memasukkan pipa endotrakea kedalam trakea. Tujuan lainnya yaitu untuk
pemasangan gastric tube, melihat benda asing, dan menilai saluran pernafasan bagian

atas. Bentuknya bervariasi, dari yang dilengkapi dengan bola lampu sederhana
hingga menggunakan perangkat serat optik yang kompleks. Beragam perangkat yang
tersedia disesuaikan dengan penggunaannya.
Gambar 3. Laryngoscope Miller dan Machintos

Laringoskop diproduksi baik sebagai kesatuan maupun terpisah (blade dan


handle). Sumber cahaya dapat berada di pisau (blade) maupun pada pegangan
(handle). Untuk laringoskop yang terpisah antara pisau dan pegangan, sumber cahaya
dapat berfungsi jika keduanya disatukan. Handle dilengkapi dengan pin engsel yang
memudahkan untuk disatukan pada slot engsel pisau. Sebuah laringoskop tunggal
memiliki tombol pada handle untuk mengontrol kekuatan lampu. Standar yang
digunakan dalam pembuatan laringoskop adalah American Society for Testing and
Materials (ASTM) F-965 dan F1195 serta International Standars Organization (ISO)
7376.

Blade atau pisau terdiri dari beberapa bagian, yaitu :

1) Base (dasar) : adalah bagian yang melekat pada pegangan. Bagian ini memiliki
slot untuk dikaitkan dengan pin engsel handle.
2) Tongue (spatula) : adalah bagian utama dari blade. Ini berfungsi untuk
mengkompresi dan memanipulasi jaringan lunak (terutama lidah) dan rahang bawah.
Sumbu panjang lidah mungkin lurus atau melengkung di sebagian atau seluruh
panjang permukaannya. Blade (pisau) didesain lurus atau melengkung menyesuaikan
bentuk lidah. Secara umum bentuk pisau lurus akan memberikan visualisasi laring
yang lebih baik, sementara bentuk lengkung akan memudahkan proses intubasi.
3) Tip (paruh) : bagianinikontakdenganepiglottismaupundenganvallecula dan secara
langsung atau tidak langsung mengangkat epiglotis. Desain paruh biasanya tumpul
dan menebal untuk mengurangi trauma.
4) Flange (tepi) : tepidaribladeterhubungdengansisi–sisi lidah.

2. Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter.
Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk
bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea
hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan
anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)sedangkan untuk anak besar-
dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation
croup.
Gambar 4. Endotracheal Tube Gambar 5. Nasotracheal Tube

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan
orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan
mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Ukuran pipa trakea
yang tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Ukuran Endotracheal Tube

Umur Diameter Panjang (cm)

Bayi aterm 3,5 12

Anak-anak 4 + (umur/4) 14 + (umur/4)

Dewasa

Wanita 7,0 - 7,5 24

Pria 7,5 - 9,0 24

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor
standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan
pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa
secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk
memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk
corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit).
Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa
tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang
ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk
fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung
(memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan
secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat
(blind).Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa
tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak
dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon
yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada
balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan
memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak
iritasif.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan
anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + 1⁄4 umur (tahun). Pemakaian
pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi,
bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang
dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan
balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi
diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar
tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih
nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan
lebih dini
3. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menyumbat jalan napas.

Gambar 6. Nasopharyngeal Airway Gambar 7. Oropharyngeal Airway

4. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.

5. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.

Gambar 8. Stilet

6. Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.

7. Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
2.6 Cara Intubasi

2.6.1 Intubasi Endotracheal

1. Persiapan dan pengaturan letak alat


 Kiri pasien : Laringoscope
 Kanan pasien : AMBU Bag, ET, OPA, Spuit, dan Plaster
 Stetoscope
 Gel
 Handscoon

2. Sebelum melakukan intubasi wajib dilakukan Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


O2 100% dengan tujuan mencegah hipoksia, caranya dengan :

Gambar 9. Ventilasi Tekanan Positif

 2 jari berada diatas sungkup muka, menekan sungkup muka kebawah


dan 3 jari lain berada di mandibula dengan mengangkat mandibula
keatas. Posisi jari tangan membentuk huruf C dan E
 Lakukan bagging hingga terdapat pengembangan dinding dada
 VTP dilakukan sampai pasien tidak hipoxia lagi, bisa dievaluasi dari
nilai saturasi 02
2. Gunakan laringoscope untuk intubasi Endotracheal
 Nyalakan laringoscope
 Muka mulut pasien dengan mengonakan teknik cross finger (Ibu jari
menekan mandibula kebawah, jari telunjuk menekan maksilla keatas)
Gambar 10. Cross Finger

 Pegang laringoscope dengan tangan kiri


 Masukkan mulai dari sisi kanan kemudian singkirkan lidah kekiri
 Handle diangat keatas hingga terlihat uvula, faring, dan epiglotis.
Tempatkan ujung blade laringoscope di valekula (pertemuan epiglotis
dan pangkal lidah)

Gambar 11. Teknik mengangkat handle laryngoscope

 Angkat epiglotis dengan elevasi laringoscope keatas untuk melihat


plica vocalis. Plica vocalis tampak keputihan berbentuk huruf V
 Bila tidak terlihat, minta bantuan oranglain untuk melakukan BURP
Manuever (Back, Up, Right Pressure) pada cartilagi cricoid sampai
terlihat plica vocalis
Gambar 12. Teknik memasukkan ETT

 Masukkan ET sampai ujung proksimal cuff ET melewati plica vocalis


 Kembangkan cuff ET sampai tidak ada kebocoran udara
 Auskultasi paru pasien untuk bandingan suara nafas paru kanan dan
kiri
 Pasang OPA supaya pasien tidak menggigit
 Fiksasi ET dengan menggunakan teknik bone to bone

2.6.2 Intubasi Nasotracheal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih
gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi
secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

Gambar 13. Nasotracheal Intubation


NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari
turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari
NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga
ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan
pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep
Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan
balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma
wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

2.7 Komplikasi Intubasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada perawatan


emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan
napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-
paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi
mekanik, dan sebagainya.
Walaupun tindakan laringoskopi dan intubasi aman namun bukan tanpa
resiko. Tindakan laringoskopi dan intubasi dapat menyebabkan penekanan pada
saraf laryngeus superior dan saraf recurrenlaryngeus sehingga meningkatkan
rangsang simpatis. Dengan meningkatnya rangsang simpatis maka dapat muncul
komplikasi maupun efek samping yang tidak diinginkan.
Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri tenggorokan, obliterasi trakea
total, pada sistem kardiovaskuler (disritmia, peningkatan tekanan darah), sistem
respirasi (spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia), susunan saraf
pusat (peningkatan tekanan intrakranial), mata (peningkatan tekanan intraokuler),
saluran pencernaan (muntah dan teraspirasinya isi lambung), dan lain-lain.
Peningkatan rangsang simpatis juga menyebabkan kelenjar suprarenalis mensekresi
hormon adrenalin dan noradrenalin sehingga pada sistem kardiovaskuler akan
terjadi peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan disritmia
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal
dapat dibagi menjadi:
2.7.1 Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena
memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema
pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung
mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

2.7.2 Faktor yang berhubungan dengan anestesia

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi


krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan
pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam
intubasi.

2.7.3 Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan


yang 
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan
yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi
pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya
trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan
toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan


ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan
melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak
dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses
anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia
otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika
dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot- intubation
(CVCI).
Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐ tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐ kadang timbul
suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika
ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang‐ kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang
sama.Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan,
seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih
pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli
anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif
manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy jet
ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan.
BAB III
LAPORAN KASUS

II. IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn. ESTH
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Ruang : Label Merah IGD RSUP Kariadi
No. CM : C717565
Masuk : 13 september 2018

III.ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan pengantar pasien pada tanggal 13 Oktober 2018 di RSUP
Kariadi.
A. Keluhan utama:
Penurunan Kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
± pukul 15.00 sebelum masuk rumah sakit pasien terjatuh dari sepeda motor, tidak
KLL, terjatuh tanpa menggunakan helm. Pasien sempat sadar ± 30 menit
kemudian pasien mulai menurun kesadarannya , kejang (-), mual muntah (-)
demam (-) sehingga pasien dibawa ke IGD RSDK.
C. Riwayat Dahulu:
 Riwayat tekanan darah tinggi (+) tak terkontrol
 Riwayat merokok (+)
 Riwayat penyakit kencing manis (+) tak terkontrol
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat stroke sebelumnya disangkal
 Riwayat kejang sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah menikah, memiliki 2 orang anak sudah mandiri. Pasien merupakan
pegawai swasta.
Biaya pengobatan: Umum

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
Tidak sadar (GCS: E1M4V1)
B. Survey Primer
Airway : Curiga lidah jatuh kebelakang, dipasang opa
Breathing : 36x/menit, pergerakan dada simetris
Circulation: Tekanan darah : 80/60 mmHg; Nadi : 135x/menit
C. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan
Jalan napas : SpO2 100%
Pernapasan : Takipneu
Sirkulasi : Gangguan hemodinamik
Nyeri :-
D. Survey sekunder
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, hematom palpebra -/-,
pupil bulat isokor +/+, reflek cahaya +/+
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), Mallampati II
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)

THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Abdomen : datar, supel, timpani, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
VI. DIAGNOSIS
1. Penurunan Kesadaran dd Stroke Hemoragik, Cidera Kepala Berat

VII. TINDAKAN LIFE SAVING


 Nama Tindakan : Intubasi Endotracheal
 Diagnosis Banding : Stroke Hemoragik, Cidera Kepala Berat
 Dasar Diagnosis : Anamnesis, pemeriksaan fisik
 Indikasi Tindakan : Penurunan kesadaran
 Tata Cara : Sesuai prosedur
 Tujuan : Bantuan hidup lanjut
 Risiko : Gigi patah, Vagal Reflek, Kematian
 Komplikasi : Henti jantung
 Prognosis : Dubia
 Alternatif & Risiko : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada
Tindakan Lanjutan ( Initial Plan)

Assesment : Etiologi Penurunan Kesadaran


Rencana Pemecahan Masalah
IPDx : Pemeriksaan Laboratorium darah (Darah Lengkap, Ur/Cr , GDS , Asam Laktat
, BGA) , Pemeriksaan X Foto Thoraks AP dan MSCT Kepala tanpa Kontras.
IPRx :
- Intubasi ET dengan Oksigen 8L per menit + Jackson Reece
- Pasang Orofaringeal Tube , DC
- Infus RL 20 tpm
IPMx : Pengawasan kesadaran dan tanda vital (Tekanan darah, HR , RR , SpO2)
dengan Monitor

IPEx :
- Edukasi kepada keluarga pasien tentang alat bantu nafas yang akan
diberikan sebagai pertolongan awal mengenai tujuan dan komplikasinya
- Edukasi kepada keluarga mengenai kondisi pasien , pemeriksaan yang akan
dilakukan, pemeriksaan tambahan yang akan dilakukan, dan kemungkinan
prognosisnya.

VIII. CATATAN KEMAJUAN


Tanggal 13 September 2018 17.00
Pasien dikonsulkan kepada TS Interna dan TS Neuro
17.15 menerima jawaban dari TS Interna
S : Pasien terjatuh dari motor tanpa menggunakan helm. Riwayat HT (+) tidak minum
obat, Riwayat DM (+) tidak minum obat
O : KU lemah, GCS E1M1Vet
TD 70/90 N 130x/menit GDS 267
A : Penurunan kesadaran ass intracranial CKB, Stroke
P : Infus NaCL 0,9% loading 500cc -> bolus
Cek Darah lengkap, SGOT, SGPT, Ur, Cr, Elektrolit
18.00 menerima jawaban dari TS Neuro
KU : Tampak sakit berat, GCS E1M1Vet
TD : 73/49 HR 143x/menit reguler RR 19x/menit SpO2 100%
Mata : Pupil bulat isokor 2,5/2,5 mm, Reflek cahaya +/+ menurun
Kaku kuduk (-)
nn. Craniales sulit dinilai
Gerak menurun (superior/inferior)
Kekuatan tidak ada
Tonus normotonus (superior/inferior)
Trofi Eutrofi (superior/inferior)
RF +/+ (superior) +/+ (inferior)
RP -/- (superior) _-/- (inferior)
Sensibilitas sulit dinilai
Vegetatif dbn
Usul pemeriksaan MSCT scan kepala tanpa kontras

IX. TINDAKAN ANASTESI


- Intubasi ET + bagging oksigen 8l/menit
- Pasang OPA
- Infus RL 500cc loading
- Pengawasan dengan monitor
- Pemasangan DC urin bag
- Pem. Lab darah
- Pem. MSCT scan kepala non kontras
- Konsul TS Interna dan TS Neuro
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini, seorang laki-laki usia 57 tahun dengan penurunan kesadaran
(GCS 6). Saat pasien datang dilakukan penilaian triage dan pasien kemudian masuk
ke label merah, mengalami distress nafas. Dilakukan penilaian ABC dan didapatkan
pasien mengalami distress nafas disertai dengan penurunan kesadaran sehingga
dilakukan pemasangan endotracheal tube dan orofaringeal tube untuk mencegah lidah
jatuh ke belakang dan mendapatkan oksigen langsung ke paru paru. Pasien
mengalami gangguan hemodinamik berupa takikardi sehingga diberikan cairan RL
yang menyerupai cairan isotonis. Dicurigai penyebab dari penurunan kesadaran
karena ada stroke hemoragik, cidera kepala berat.
Untuk mencari etiologi, maka dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan
Laboratorium darah (Darah Lengkap, Ur/Cr , GDS , Asam Laktat , BGA) ,
Pemeriksaan X Foto Thoraks AP dan MSCT Kepala tanpa Kontras. Didapatkan hasil
GDS 267.
Kemudian pasien mengalami perburukan dan henti jantung dan keluarga
menolak untuk dilakukan resusitasi.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien mengalami penurunan kesadaran curiga stroke
hemoragik. Pasien datang dengan penurunan kesadaran, impending gagal nafas serta
gangguan hemodinamik. Pada pasien dilakukan pemasangan endotracheal tube,
bantuan ventilasi tekanan positif untuk mengatasi gangguan nafas, infus RL untuk
menstabilkan hemodinamik. Pasien mengalami perburukan kondisi dan mengalami
cardiac arrest, keluarga menolak untuk dilakukan resusitasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Pasca Anestesia,dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi,Edisi kedua, Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256. 

2. Anestesia dan Critical Care volume 24,Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia,Bandung,2006
3. Sutiyono D, Susilowati D. 2013. Pengelolaan Jalan Napas. Dalam : Buku Ajar
Anestesiologi FK UNDIP. Edisi kedua. Penerbit PERDATIN Jateng. 197-208
4. Hagberg, C., Georgi, R., Krier, C. 2005. Complication of managing the airway. Best
Practice & Reserch Clinical Anaesthesiology; 19 (4): 641-59.
5. Kabhrel et al. Orotracheal intubation. The New England Journal of Medicine
6. Gupta et al. 2005. Airway assessment: predictors of difficult airway
7. Latief S.A. Petunjuk praktis anestesiologi edisi kedua. FKUI. Jakarta. 2010.

Anda mungkin juga menyukai