PROGRAM BIMBINGAN
MASYARAKAT KATOLIK
KABUPATEN LANDAK
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. KONDISI UMUM 1
B. POTENSI DAN PERMASALAHAN 8
- Kondisi Internal : Kekuatan dan Kelemahan
-. Kondisi Eksternal : Tantangan dan Peluang
BAB V PENUTUP 53
LAMPIRAN I : MATRIK KINERJA DAN PENDANAAN
PROGRAM BIMBINGAN MASYARAKAT KATOLIK
TAHUN 2015
LAMPIRAN II : ANGGARAN 2014, USULAN TAHUN 2015
DAN PAGU INDIKATIF TAHUN 2015
LAMPIRAN III : RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) PROGRAM
BIMBINGAN MASYARAKAT KATOLIK TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. KONDISI UMUM
Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral pembangunan nasional yang
bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis dan sejahtera.
Pembangunan bidang agama adalah upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat
yang dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) bahwa “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan itu ditegaskan pula pada bagian lain, yaitu
Pasal 28E UUD 1945 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Selain itu, konstitusi Negara Republik Indonesia juga menegaskan bahwa hak beragama
adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun;
bahwa setiap warga berhak mendapat perlindungan dari setiap perlakuan diskriminatif; dan
bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama
Pemerintah (Pasal 28I UUD 1945 Ayat (1), (2), dan (4)).
Sesuai amanat konstitusi, Negara dan Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan
dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, serta memberikan fasilitas dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut.
Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara menjadi landasan pokok bagi
program pembangunan di bidang agama.
Kondisi umum pembangunan Bidang Agama dan Bidang Pendidikan pada
masyarakat Katolik dalam kurun waktu lima tahun mengacu pada upaya pencapaian tujuan
Kementerian Agama, mencakup 6 (enam) dari 7 (tujuh) hal, yaitu:
(1) Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama Katolik;
(2) Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama Katolik;
2
(3) Peningkatan pemanfaatan dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi
keagamaan Katolik;
(4) Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama Katolik;
(5) Peningkatan dan pemerataan akses dan mutu pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan Katolik; dan (6) Peningkatan kualitas tatakelola
pembangunan bidang agama Katolik.
2
penanggulangan problematika umat. Kemitraan yang dikembangkan mencakup orientasi,
koordinasi, sosialisasi dan pemberian bantuan.
Meski kategorisasi dan lingkupnya berbeda-beda, lembaga sosial keagamaan yang
ada telah cukup memberi gambaran dinamika kelompok agama Katolik dalam
2
mengorganisasikan/mengelola berbagai aspirasi umatnya dalam pemenuhan dan
peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran agama Katolik.
7
melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat Katolik sebagaimana diamanatkan
dalam PMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama; yang salah satu amanatnya adalah tugas pokok Ditjen Bimas Katolik adalah
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang bimbingan
masyarakat Katolik.
8
8) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 168 Tahun 2000 tentang Pedoman Perbaikan
Pelayanan Masyarakat di Lingkungan Departemen Agama.
9) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 489 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama.
10) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 325 Tahun 2002 tentang Pedoman Pendirian
dan Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Katolik Swasta.
11) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 439 Tahun 2002 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Pascasarjana di Bidang Ilmu Agama/Teologi Katolik dan
Ujian Negara Pada Perguruan Tinggi Agama Katolik.
12) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Visi dan
Misi Departemen Agama.
13) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemberian Kuasa
Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen Pada Perguruan Tinggi Agama di
Lingkungan Departemen Agama.
14) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Agama.
15) Instruksi Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan
Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah sehubungan dengan telah terbentuknya
Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama.
16) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang RENSTRA
Kementerian Agama RI tahun 2015 – 2019.
17) Keputusan Menteri Agama Nomor 118 Tahyn 2010 tentang Program Percepatan
melalui Penyelenggaran layanan unggulan di Lingkungan Kementerian Agama.
18) Keputusan Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI Nomor
DJ.IV/Hk.00.5/94/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Akta IV
Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik Perguruan Tinggi Agama Katolik Swasta
(PTAKS) Dalam Lingkungan Departemen Agama RI.
19) Keputusan Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI Nomor
DJ.IV/Hk.00.5/95/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Ujian Negara Bagi
Mahasiswa Peserta Kuliah Jarak Jauh (KJJ) Program Diploma Dua (D2) dan
Program Sarjana Strata Satu (S1) Perguruan Tinggi Agama Katolik Swasta (PTAKS)
Dalam Lingkungan Departemen Agama RI.
9
20) Keputusan Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI Nomor
DJ.IV/Hk.00.5/84/2002 tentang Pedoman Pembukaan Program Studi dan/atau
Jurusan pada Perguruan Tinggi Agama Katolik Swasta.
21) Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor
38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
22) Visi dan Misi Sebagai Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Katolik Departemen Agama RI.
23) PMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Dewan Pertimbangan Kepegawaian
Kementerian Agama.
24) PP No 39 Tahun 2006 : Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan.
25) Jumlah sumber daya manusia Ditjen Bimas Katolik.
26) Komitmen pimpinan untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa
(clean government and good governance) berlandaskan moral, spiritual, etik dan
agama.
27) UU No. 1/PNPS Tahun 1965: Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
28) PP No. 55 Tahun 2007: Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
29) PP No. 19 Tahun 2005 : Tentang Standar Nasional Pendidikan.
30) PP No. 21 Tahun 2004 : Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga.
31) Perpres Nomor 60 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016.
32) Perpres No.70 Tahun 2012: Tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 54 Tahun
2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
33) Perpres No. 55 Tahun 2012: Tentang Strategi Nasional Pencegahan Dan Pem-
berantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun
2012-2014.
34) Keputusan Menteri Agama Nomor 200 Tahun 2012: Tentang Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kemenag
35) Keputusan Menteri Agama Nomor 175 Tahun 2010: Tentang Pemberian Tugas
Belajar Dan Izin Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian
Agama.
10
36) Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2010: Tentang Perubahan Departemen
Menjadi Kementerian.
37) Peraturan Menteri Agama Nomor 80 Tahun 2013: Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama.
38) Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 2012: Tentang Pelaksanaan Pembangunan
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih
Dan Melayani Di Lingkungan Kemenag.
39) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2015 tentang
Rencana Strategis Kementerian Agama tahun 2015 – 2019.
b. Kelemahan
Di samping kekuatan yang dimiliki, terdapat kelemahan yang harus dikurangi
bahkan dihilangkan sehingga tidak menjadi hambatan dalam pencapaian tujuan
pelayanan Ditjen Bimas Katolik, yaitu:
1. Masih lemahnya kualitas sumber daya manusia secara akademik dan manajerial.
2. Belum optimalnya kerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan instansi
terkait.
3. Terbatasnya alokasi anggaran pembangunan agama.
4. Belum optimalnya pemahaman tugas pokok dan fungsi unit teknis di lingkungan
Ditjen Bimas Katolik.
5. Masih lemahnya data yang berfungsi untuk pengambilan keputusan dan tata kelola
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
6. Belum optimalnya pemanfaaatan teknologi informasi sebagai alat untuk membantu
menjalankan sistem pemerintahan secara lebih efektif dan efisien.
7. Belum optimalnya pemberian pelayanan kepada masyarakat Katolik karena berbagai
keterbatasan unsur pendukung.
8. Masih lemahnya koordinasi antar unit teknis.
9. Tidak semua daerah ada unit kerja Bimas Katolik, sehingga pelayanan belum
optimal.
11
2. KONDISI EKSTERNAL
a. Tantangan Pembangunan Agama
1) Nilai dan sikap
Agama adalah sebuah nilai yang dimensional, artinya bersifat transformatif.
Dalam dirinya sendiri, agama adalah nilai yang mengatur bagaimana manusia hidup dan
mewujudkan cita-cita hidupnya. Perwujudan cita-cita hidup ini diekspresikan oleh sikap
hidup. Sikap hidup yang diharapkan dikembangkan oleh masyarakat Katolik adalah
menghargai nilai kejujuran, persamaan, keadilan, toleransi, dll.
Nilai-nilai tersebut menjadi gamang ketika berhadapan dengan tekanan nilai
“baru” yang ditawarkan oleh dampak negatif dari globalisasi, yaitu materialisme,
pragmatisme, konsumerisme, dan hedonisme. Sikap hidup yang mengutamakan materi,
hal-hal yang bersifat instan, sifat memiliki berlebihan, dan ingin menikmati secara tidak
terarah cenderung memojokkan manusia ke egoisme diri. Dalam tahap ini, manusia
mengalami alienasi dengan masyarakatnya. Keterasingan ini akan semakin mendorong
manusia untuk hidup menurut kepentingan diri yang tidak sesuai dengan ajaran agama,
misalnya memperkaya diri dengan praktik KKN.
Selain itu, kehidupan modern yang berdampak negatif, seperti tayangan (yang
dapat dikategorikan sebagai) pornografi di media cetak dan elektronik, prostitusi,
minuman keras, penyalahgunaan narkoba, juga dapat merusak sistem nilai dan norma
yang sudah lama dianut dan dipedomani oleh masyarakat. Misalnya menurunnya
penggunaan nilai-nilai tradisional, lemahnya hubungan sosial berdasarkan cinta kasih,
serta menurunnya kontrol sosial berdasarkan nilai agama dan adat istiadat. Bahkan lebih
jauh lagi dapat melunturkan dan menghilangkan segala nilai dan sikap yang sesuai
dengan ajaran agama baik secara perorangan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam hal ini tantangan yang dihadapi oleh Ditjen Bimas Katolik adalah
mengembangkan mekanisme pelayanan kepada Masyarakat Katolik agar mampu
menghindari dampak negatif globalisasi informasi yang semakin menguasai hajat hidup
orang banyak.
2) Budaya
Setiap masyarakat memiliki karakter, salah satu diantaranya adalah budaya.
Secara umum, budaya dapat dipahami dalam dua tataran yaitu tataran dari dalam dan
tataran dari luar. Pemeliharaan budaya dari dalam adalah tanggung jawab masyarakat
12
itu sendiri secara bersama-sama. Mereka harus mencermati nilai-nilai dasar yang
membangun keadaban mereka, sehingga mereka bisa eksis. Keberhasilan suatu
masyarakat memelihara budayanya, akan menjadi sarana untuk membangun harmoni
kehidupan dalam cakrawala yang lebih luas (eksotik). Keberhasilan ini bisa menjadi
“jalan” bagi masyarakat luar untuk belajar. Tetapi “jalan” itu sekaligus menjadi
kesempatan untuk mengekspresikan rasa ingin tahu bagaimana budaya eksotik itu
dipertahankan. Keingintahuan terhadap budaya eksotik, juga sekaligus menjadi ruang
“bertemunya budaya lain” yang mungkin lebih permisif.
Perkembangan mutakhir, menyebut usaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya
sesuatu masyarakat menjadi aset positif. Itulah yang diekspresikan oleh jargon
pariwisata. Kehadiran masyarakat luar dalam bingkai pariwisata, secara tidak langsung
membawa nilai budayanya sendiri, yang justru menjadi arena pertarungan antara nilai
setempat. Nilai-nilai budaya luar sering dianggap sebagai lebih manusiawi daripada
nilai yang dianut masyarakat atau bangsa sendiri. Sehingga orang berlomba untuk
menirunya, karena dianggap lebih ringkas dan tidak banyak rambu-rambunya.
Tantangan bagi Ditjen Bimas Katolik adalah bagaimana membantu masyarakat
Katolik yang sedang bergumul untuk menegakkan nilai-nilai tradisionalnya di tengah
arus zaman yang semakin tidak terkendali.
3) Ilmu Pengetahuan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Seni
Dampak lain dari globalisasi adalah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni. Pelayanan kepada masyarakat Katolik, tidak selalu harus dilaksanakan secara
tradisional, tetapi tentu mengikuti irama perkembangan Iptek dan Seni.
Namun yang perlu dipertimbangkan, Iptek dan Seni macam apa yang sebaiknya
dikembangkan untuk pelayanan kepada masyarakat Katolik. Perkembangan Iptek dan
Seni, memang harus mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat Katolik agar
mampu berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan nasional, masyarakat Katolik perlu
didorong terus: mereka yang belum familiar dengan alat-alat teknologi modern perlu
dilatih; mereka yang belum bisa baca, perlu dilatih dan diberikan bahan-bahan yang
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Pelayanan Bimas Katolik harus bisa
menjangkau seluruh masyarakat Katolik, baik yang ada di perkotaan maupun mereka
yang jauh dari kota (bahkan disebut “masyarakat terasing”).
13
Dalam perkembangan Iptek dan Seni ini Ditjen Bimas Katolik dituntut untuk
bekerja sama dengan pihak Mitra Kerja agar mampu memberikan pelayanan bimbingan
kepada masyarakat Katolik, sehingga hasil-hasil perkembangan Iptek dan Seni dapat
berguna sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Utamanya dalam hal pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Komunikasi pada proses pemerintahan (e-Government) akan
meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintah.
4) Reformasi
Semangat reformasi selain berdampak positif bagi perkembangan kehidupan
masyarakat, juga tidak dapat dihindari muncul persoalan krusial yang membutuhkan
solusi. Persoalan krusial antara lain adalah disorganisasi structural, suasana kehidupan
yang tidak harmonis, anarkis dan berbagai bentuk konflik sosial bernuansa SARA, serta
meningkatnya kriminalitas dengan berbagai model. Hal ini merupakan fenomena sosial
yang menonjol di tengah kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Melalui
pendekatan sosial keagamaan, Ditjen Bimas Katolik memiliki peran strategis dalam
pembinaan serta pelayanan secara berkelanjutan dan terkendali dalam pencarian
pemecahan masalah. Reformasi tidak hanya dalam bentuk fisikal tetapi juga dalam hal
pemahaman.
Pelayanan Ditjen Bimas Katolik kepada masyarakat Katolik perlu memperhatikan
dinamika dan respons masyarakat terhadap yang namanya tuntutan reformasi. Dimensi
kehidupan reformasi adalah pemberian pelayanan yang tidak berbelit, cepat, murah,
sesuai dengan kebutuhan, tidak membeda-bedakan.
5) Konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; perebutan
atau klaim kemampuan semakin menguat. Mereka yang mampu mempertahankan diri
terhadap tekanan globalisasi informasi dan teknologi dengan tetap memelihara jati
dirinya, akan tampil menjadi yang terbaik. Sebagai terbaik, kalau tidak dikelola dengan
baik, akan membawa ke arah eksklusifisme. Eksklusifisme dapat menjadi wahana untuk
cenderung memisahkan diri dari kelompok atau komunitas.
Konflik sosial muncul ketika masyarakat saling mengklaim kebenarannya sendiri-
sendiri. Kebenaran dalam bidang agama adalah kebenaran iman. Dan ini sebenarnya
tidak perlu berwajah duniawi karena akan membawa perseturuan (menang-kalah).
Ketika masyarakat sudah tidak saling percaya, maka sejak itu rasa curiga hidup dan
14
menyejarah dalam kehidupan manusia. Tentu ini tidak sejalan dengan ajaran agama,
termasuk didalamnya Ajaran Agama Katolik.
Gangguan kehidupan beragama dan ancaman kerukunan adalah contoh dari sebab
atau akibat konflik sosial. Bagaimana Ditjen Bimas Katolik berupaya untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat Katolik agar tidak terjebak dalam arus
eksklusifisme ini, karena akan merugikan nilai-nilai ajaran Agama Katolik. Penyuluhan
kepada masyarakat Katolik menjadi semakin penting dan urgen dilakukan untuk
mewujudkan peran agama sebagai pemersatu, pendidik, dan penengah dalam situasi
konflik.
6) Lemahnya daya saing dalam berbagai aspek kehidupan
Dalam bidang agama, lemahnya daya saing tidak hanya disebabkan oleh
keterbatasan informasi dan penguasaan Iptek dan Seni, tetapi juga karena rendahnya
motivasi dan etos keagamaan untuk mencapai kemajuan. Kondisi tersebut di antaranya
diakibatkan oleh rendahnya pemahaman, penafsiran, dan pengamalan terhadap ajaran
agama yang dianut, selain faktor akumulasi masalah sosial, politik, ekonomi, dan
budaya.
Sebagai landasan moral, spiritual, dan etik; agama dituntut untuk memberikan
motivasi keagamaan kepada penganutnya sesuai dengan nilai-nilai kristiani untuk
bekerja secara maksimal, mengatur dan mengelola potensi yang dimiliki secara
profesional, membangun rasa percaya diri, menumbuhkan iklim sosio-psikologis yang
siap menghadapi kompetisi secara sehat, serta mengarahkan hidupnya pada
kesejahteraan di dunia dan keselamatan di masa yang akan datang melalui
kontekstualisasi dan eksplisitasi nilai ajaran agama secara komprehensif.
Dalam konteks inilah Ditjen Bimas Katolik diharapkan mampu memfasilitasi
terciptanya iklim yang kondusif bagi proses revitalisasi dan fungsionalisasi ajaran
agama Katolik sehingga mampu meningkatkan daya saing di berbagai aspek kehidupan.
7) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai pengaruh
terhadap dinamika bimbingan masyarakat Katolik. Secara politis, pembinaan umat
beragama masih berada pada manajemen Pemerintah Pusat. Dari sisi koordinasi,
pembinaan keagamaan, Pemerintah Pusat perlu melakukan desain ulang untuk
15
mengikuti rancangan dinamika pembangunan daerah (di Provinsi dan
Kabupaten/Kota/Kecamatan).
Ditjen Bimas Katolik perlu ikut serta dalam memikirkan bagaimana bimbingan
kepada masyarakat Katolik dilaksanakan: memperkuat koordinasi dengan pihak-pihak
terkait sebagai mitra kerja. Pilihan-pilihan program dan pola pembinaan perlu
dikembangkan lebih baik, sehingga tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah
berjalan bersama melayani kebutuhan masyarakat Katolik.
8) Dialektika Pemahaman Pembangunan Kehidupan Beragama
Agama oleh banyak pihak dipandang sebagai sistem kepercayaan; kebiasaan, tata
nilai berlandaskan kepercayaan dan tata cara mengungkapkan kepercayaan kepada
Yang Maha Kuasa diorganisir sedemikian rupa sehingga melembaga. Karena itu,
substansi kehidupan beragama dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan otonom
berhadapan dengan hal-hal yang mundial. Pandangan ini berdampak pada sistem
interaksi antara negara/pemerintah dengan lembaga agama. Di satu sisi, agama dilihat
sebagai sesuatu yang otonom namun juga tidak boleh lepas dari campur tangan negara,
di sisi lain, negara/pemerintah mengakui otonomitas lembaga agama namun
membutuhkan lembaga agama dalam pengembangan kehidupan masyarakat. Dialektika
semacam ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan negara dari sisi agama.
Pada dasarnya dialektika semacam ini dapat dijadikan kekuatan dalam inovasi
pembangunan di bidang kehidupan beragama karena situasi dialektis semacam ini
berimplikasi pada perkembangan terhadap pola dan sistem pembangunan itu sendiri;
tidak pernah mapan dan tidak pernah berhenti menganalisis fenomena demi menemukan
suatu sistem/ pola yang lebih baik.
Situasi seperti di atas juga dialami oleh Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Katolik berhadapan dengan masyarakat Katolik. Pengelolaan fakta dan
fenomena interaksi tersebut merupakan tantangan tersendiri dalam penyusunan program
pembangunan masyarakat Katolik oleh Direktorat Urusan Agama Katolik.
Bagaimanapun juga tidak bisa dipungkiri bahwa akibat dari panorama interaksi dan
interelasi demikian, apabila tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan resistensi
dari kedua belah pihak, namun, apabila dikelola dengan baik, justru melahirkan relasi
kemitraan dan kerja sama yang kuat dalam pembangunan masyarakat Katolik dari sisi
kehidupan beragama. Kehadiran Gereja Katolik merupakan berkah tersendiri bagi
masyarakat Katolik pada khususnya dan negara pada umumnya karena dengan adanya
16
Gereja Katolik nilai-nilai religi mendasar kehidupan masyarakat Katolik tetap terjaga.
Kualitas masyarakat Katolik sebagai manusia pembangunan sangat ditentukan oleh
kualitas nilai-nilai religi yang dipertahankan dan dijaga oleh Gereja Katolik.
Kehadiran negara bagi Gereja Katolik juga sangat diperlukan. Negara diperlukan
untuk memberi jaminan kebebasan dan pengakuan bagi Gereja Katolik dan masyarakat
Katolik untuk dapat mengembangkan nilai-nilai mendasar tersebut. Jaminan itu
dibuktikan oleh perhatian Pemerintah terhadap Gereja Katolik dan masyarakat Katolik
melalui program pembangunan di bidang kehidupan beragama. Direktorat Urusan
Agama Katolik berpeluang mengelola tantangan dinamika interaksi dan interalasi ini
menjadi sebuah kekuatan pembangunan.
9) Perkembangan Paradigma dalam Sistem Tata Kelola Pemerintahan
Ditjen Bimas Katolik sebagai bagian dari Kementerian Agama merupakan
instansi Pemerintah. Sebagai instansi Pemerintah, tugas dan fungsi utamanya adalah
pelayanan publik masyarakat Katolik. Direktorat Urusan Agama Katolik mengurus
kepentingan publik masyarakat Katolik dalam menjalankan fungsi kehidupan beragama.
Dalam mengurus kepentingan publik dimaksud, Ditjen Bimas Katolik mengikuti
perkembangan paradigma sistem tata kelola Pemerintahan. Pemerintah bukan terutama
sebagai pemegang kekuasaan, tetapi terutama pelayanan publik. Perkembangan
paradigma itu menekankan bahwa pengelolaan urusan publik dalam setiap kepentingan
masyarakat didasarkan pada fakta kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Potensi utama pembangunan masyarakat Katolik melalui fungsi agama adalah
dinamika partisipasi aktif masyarakat Katolik dalam kehidupan sosio keagamaan. Pada
umumnya potensi pembangunan dari segi urusan agama di tengah-tengah masyarakat
Katolik adalah gerakan partisipatif masyarakat Katolik dalam pembangunan negara.
Akan tetapi beberapa hal dapat disebut sebagai potensi aktual untuk menjadi aktor dan
sasaran obyek pembangunan, antara lain:
a) Lembaga Sosial Keagamaan Katolik sebagai wadah organisatoris aktivitas kehidupan
keagamaan Katolik.
b) Tokoh-tokoh masyarakat Katolik sebagai pendorong pelaksanaan pembangunan
sosio religius dan politik.
c) Tokoh Gereja Katolik yang berasal baik dari hirarki Gereja Katolik maupun dari
lembaga-lembaga keagamaan Katolik.
17
d) Kelompok-kelompok pembinaan dalam masyarakat Katolik sebagai wadah
pengembangan pemahaman dan penghayatan hidup keagamaan Katolik, termasuk di
antaranya adalah kelompok kategorial.
e) Adanya tenaga Penyuluh PNS dan Non PNS sebagai ujung tombak penyuluhan di
bidang agama Katolik.
f) Adanya tenaga pembina kelompok-kelompok pembinaan yang bersifat kategorial.
g) Adanya sarana pelaksanaan dan pengembangan hidup keagamaan Katolik.
3. DASAR HUKUM
a. Pancasila dan UUD 1945.
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 – 2025.
d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 : Tentang Keterbukaan Informasi Publik
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
g. Perpres 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama.
h. Perpres Nomor 60 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016.
i. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019.
19
j. Peraturan Presiden Nomor 135 tahun 2014 tentang Perubahan ketujuh atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
k. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara.
l. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 Kebijakan dan Strategi Nasional tentang
Pembangunan e-Government.
m. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Agama.
n. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Agama Tahun 2015 – 2019.
o. Visi dan Misi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama
RI.
20
BAB II
VISI, MISI, TUJUAN & SASARAN, KEBIJAKAN, STRATEGI
DAN PENDEKATAN DITJEN BIMAS KATOLIK
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
21
e. Terwujudnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama Katolik
secara dewasa.
f. Terwujudnya pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan hak dan kewajiban
sebagai warga negara.
22
3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bimbingan masyarakat
Katolik;
4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang bimbingan masyarakat Katolik;
dan
5. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik.
23
c. Meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan
masyarakat Katolik sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dalam
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat dengan baik khusuk dan
nyaman.
d. Meningatkan peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan
keagamaan sebagai agen pembangunan dalam rangka meningkatkan daya tahan
masyarakat Katolik dalam menghadapi berbagai krisis.
e. Menciptakan harmoni sosial dalam kehidupan intern umat Katolik dan antar
umat beragama yang toleran dan saling menghormati dalam rangka
menciptakan suasana yang aman ,damai, dan tenteram.
24
dalam memberdayakan pertumbuhan, perkembangan, serta pendewasaan iman
Umat Katolik Indonesia.
3. Metode-Pendekatan
Di samping strategi di atas, metode-pendekatan dalam pelaksanaan tugas adalah:
a. Pendekatan etis, humanis, fungsional, personal, dan menghindari pendekatan
yang mengarah pada arogansi kekuasaan.
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keadilan, kebenaran, kejujuran,
kesederhanaan dan kepatutan serta kesantunan.
c. Mengedepankan persaudaraan sejati dan memberikan penilaian yang
komprehensif dalam setiap upaya penyelesaian masalah-masalah keagamaan.
Titik Perhatian Utama
Ada empat titik perhatian utama dalam pelaksanaan tugas, yaitu:
a. Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai sebuah institusi
yang otonom.
b. Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan keagamaan Katolik.
c. Meningkatkan kualitas kerukunan.
d. Meningkatkan kualitas peran, fungsi lembaga-lembaga, organisasi,
perkumpulan dan komunitas basis pada Gereja Katolik.
25
BAB III
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT KATOLIK
TAHUN 2015 – 2019
26
6. Program Pendidikan Islam;
7. Program Bimbingan Masyarakat Islam;
8. Program Bimbingan Masyarakat Kristen;
9. Program Bimbingan Masyarakat Katolik;
10. Program Bimbingan Masyarat Hindu;
11. Program Bimbingan Masyarakat Buddha.
27
pengembangan sistem informasi serta penyusunan laporan dan evaluasi program dan
akuntabilitas kinerja; pembinaan dan pelayanan administrasi keuangan, penyusunan
rencana pengelolaan keuangan, pelaksanaan anggaran dan perbendaharaan, serta
penyusunan laporan akuntasi dan verifikasi keuangan; pembinaan dan pelayanan di
bidang ortala, pengelolaan kepegawaian dan penyiapan peraturan perundang-
undangan; serta pelayanan dan pembinaan urusan ketatausahaan, kearsipan, BMN,
kerumahtanggaan, dan perlengkapan serta keprotokolan.
28
4. Penyelenggaraan Administrsi Perkantoran Pendidikan Bimas Katolik
Keluaran (Ouput) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah terlaksananya
administrasi perkantoran pendidikan Bimas Katolik yang ditandai antara lain
dengan:
a. Jumlah guru PNS penerima tunjangan profesi, dan
b. Jumlah guru PNS yang menerima gaji dan tunjangan.
1. BIDANG TUGAS
Berdasarkan PMA 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik
mempunyai tugas ”menyelenggarakan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang Bimbingan Masyarakat Katolik berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri” (Bab VII, Pasal 460).
Dalam melaksanakan tugas sbagaimana dimaksud dalam Pasal 460, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik menyelenggarakan fungsi (Pasal 461) :
a. Penyiapan perumusan dan penetapan visi, misi, dan kebijakan teknis di bidang
Bimbingan Masyarakat Katolik berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh
Menteri Agama dan Peraturan Pedundang-undangan yang berlaku;
b. Perumusan standardisasi, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang
Bimbingan Masyarakat Katolik;
c. Pelaksanaan kebijakan di bidang Bimbingan Masyarakat Katolik;
d. Pemberian pembinaan teknis dan evaluasi pelaksanaan tugas;
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
Berdasarkan PMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik
mempunyai tugas ”merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi
teknis di bidang bimbingan masyarakat Katolik” (Bab VIII, Pasal 492).
29
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik menyelenggarakan fungsi
(Pasal 493) :
1. Perumusan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Katolik;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Katolik;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bimbingan
masyarakat Katolik;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang bimbingan masyarakat
Katolik; dan
5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik.
30
Kegiatan Urusan Agama Katolik.
1) Memberikan informasi tentang peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kebijaksanaan Pemerintah di bidang sosio keagamaan
kepada masyarakat Katolik agar mengetahui hak dan kewajibannya,
kemudian dapat mengatur dirinya dengan sebaik-baiknya dalam
kebersamaan dengan elemen bangsa lainnya.
2) Memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk praktis kepada
masyarakat katolik dalam pemenuhan prosedur-prosedur hukum dan
prosedur administrasi dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan
keagamaan Katolik, misalnya prosedur administratif pembangunan
tempat-tempat peribadatan, prosedur administrasi dan persyaratan-
persyaratannya untuk memperoleh bantuan dari Pemerintah, dsb.
3) Memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat Katolik berupa
surat-surat keterangan, rekomendasi, perijinan bahkan surat-surat
keputusan untuk memenuhi persyaratan dan kebutuhan sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku.
4) Membantu penyelesaian masalah-masalah atau kasus-kasus
kemasyarakatan yang erat hubungannya dengan keagamaan Katolik, agar
kehidupan dan kegiatan-kegiatan agama katolik berjalan sebagaimana
mestinya.
5) Memberikan bantuan sarana fisik keagamaan untuk memenuhi kebutuhan
Masyarakat Katolik seperti misalnya Kitab Suci, bantuan untuk
pembangunan atau rehabilitasi rumah ibadat, bantuan untuk membangun
gedung dan peralatan lembaga pendidikan agama, bantuan untuk guru-
guru agama Katolik, bantuan untuk Ormas Katolik (PMKRI, Pemuda
Katolik, WKRI, FMKI).
6) Memberikan bantuan penyuluhan kepada kelompok masyarakat terasing,
kelompok kategorial, kelompok masyarakat khusus.
31
b. Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Katolik
1) Pendidikan Agama Katolik [.....yang dimaksud dalam pasal 12 ayat 1
huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah bahwa Pelajaran Agama Katolik di Sekolah
Umum (mulai dari tingkat SD s.d. PT) dialokasikan waktu 2 jam per
Minggu......] Pelajaran ini bermaksud untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta ber-akhlak mulia [pasal 37 ayat (1)].
Pendidikan Keagamaan berfungsi “Mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama Dalam [Undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30 ayat (2)].
Ada 2 hal penting yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
a) Penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola
Pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat.
b) Penghapusan pembedaan/diskriminasi antara pendidikan keagamaan
dan pendidikan umum.
Dengan kata lain, sekolah negeri dan sekolah swasta adalah setara:
Pemerintah memfasilitasi agar tujuan nasional terwujud.
32
b) Pembinaan penyelenggaraan sarana fisik dan peralatan pendidikan agama
Katolik dan pendidikan keagamaan Katolik tingkat dasar, menengah dan
perguruan tinggi.
c) Penyelenggaraan pengamanan teknis pendidikan agama Katolik dan
pendidikan keagamaan Katolik tingkat dasar, menengah dan perguruan
tinggi.
d) Pembinaan pendidikan agama Katolik.
e) Penyelenggaraan pengamanan teknis di bidang pendidikan.
34
2. PROGRAM DITJEN BIMAS KATOLIK
35
1) Meningkatnya dukungan manajemen administrasi urusan agama
Katolik;
2) Meningkatnya fungsi dan layanan bimbingan lembaga keagamaan
Katolik;
3) Meningkatnya tugas bimbingan dan penyuluhan agama Katolik;
4) Terlaksananya pemberdayaan.
Keluaran (output) tersebut dicapai antara lain melalui pelayanan bimbingan
Urusan Agama Katolik; bimbingan dan pelayanan pembinaan lembaga-
lembaga agama Katolik; bimbingan dan pelayanan penyusunan,
penganalisaan dan perumusan bahan pemberdayaan umat; bimbingan dan
pelayanan penyuluhan tenaga teknis keagamaan; bimbingan keluarga; serta
pelayanan ketatausahaan.
36
1) Jumlah guru PNS penerima tunjangan profesi, dan
2) Jumlah guru PNS yang menerima gaji dan tunjangan.
D. STRATEGI PELAKSANAAN
37
d. Direktorat Pendidikan Katolik merupakan koordinator kerjasama dalam
penyelenggaraan bimbingan pendidikan agama dan keagamaan Katolik
Di samping itu masih ada mekanisme koordinasi, yaitu jabatan fungsional
merupakan mitra koordinasi dalam pemantapan mekanisme administrasi Direktorat
Jenderal.
4. PENINGKATAN PROFESIONALISME
a. Terbatasnya kualitas sumberdaya manusia di lingkungan Ditjen Bimas Katolik
perlu diantisipasi dengan meningkatkan profesionalisme. Usaha ini dilakukan
untuk membangun pegawai yang produktif, kompetitif, efektif, dan efisien,
dengan mempertimbangkan latar belakang pendidikan, bidang kerja dan fungsi
tugas masing-masing pegawai, serta tantangan dan kualifikasi yang mesti
dimiliki di masa depan. Ini berarti bahwa langkah pertama dan utama untuk
meningkatkan profesionalisme pegawai adalah melakukan estimasi kebutuhan
dan kualifikasi pegawai yang mampu memainkan peran penting dalam
38
mewujudkan interaksi antara instansi terkait dalam pembangunan bidang
agama.
b. Secara umum, peningkatan profesionalisme pegawai dilakukan melalui:
1) Pengadaan dan seleksi.
2) Pendidikan dan pelatihan.
3) Pembinaan karir.
4) Pelibatan dalam kegiatan ilmiah.
5) Studi banding
6) Membangun kemitraan.
c. Evaluasi kinerja dilakukan dalam 2 hal, yaitu evaluasi proses dan evaluasi
hasil. Evaluasi proses adalah suatu penilaian yang dilakukan terhadap proses
kerja masing-masing unit sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan
program. Dalam hal ini evaluasi proses dilakukan sesuai dengan sifat dan jenis
kegiatan serta berpedoman kepada kelayakan kinerja. Sedangkan evaluasi hasil
adalah penilaian yang dilakukan terhadap output yang merupakan hasil kerja
dari pelaksanaan program. Evaluasi hasil dilakukan sesuai dengan sifat dan
39
jenis kegiatan dan berpedoman kepada kelayakan hasil yang dicapai. Untuk
mengevaluasi kinerja dapat dilakukan melalui cara:
1) Menganalisa hasil pengukuran kinerja.
2) Menginterprestasikan data yang diperoleh.
3) Membuat pembobotan (rating) dalam keberhasilan pencapaian
program.
4) Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi Ditjen
Bimas Katolik.
d. Pengukuran kinerja merupakan proses pengukuran untuk mengetahui apakah
program yang ditetapkan sesuai dengan misinya melalui penyediaan produk,
jasa pelayanan, atau proses yang dilakukan. Pengukuran kinerja harus mampu
memahami hasil-hasil dari suatu aktivitas program yang dibandingkan dengan
tujuan awalnya.
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan mempergunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Meneliti tugas pokok dan fungsi organisasi.
2) Meneliti tujuan kebijakan program-program organisasi.
3). Meneliti sasaran program, sasaran pelaksanaan tugas, dan target-target
yang telah ditetapkan oleh instansi yang lebih tinggi.
4). Membuat daftar indikator outcome.
5). Membuat daftar variabel masukan dan proses.
6). Memilih indikator yang diinginkan.
40
e. Sedangkan alat untuk melaksanakan pencapaian kinerja adalah laporan
akuntabilitas kinerja Ditjen Bimas Katolik, melalui mekanisme pelaksanaan
akuntabilitas kinerja yang dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Setiap pimpinan unit teknis wajib membuat laporan akuntabilitas
kinerja secara berjenjang serta berkala untuk disampaikan kepada
atasannya;
2) Laporan akuntabilitas tahunan Ditjen Bimas Katolik disampaikan
kepada menteri Agama
f. Sedangkan monitoring atau pemantapan, adalah proses mengamati
pelaksanaan tugas dan fungsi dengan seksama, pelaksanaan monitoring
dijalankan secara berkala sejak tahap perencanaan sampai dengan pelaporan
hasil-hasil kegiatan. Monitoring dilakukan untuk melihat tingkat pelaksanaan,
daya dukung, kendala, dan tantangan dalam pelaksanaan program sehingga
memperoleh masukan untuk penyempurnaan pencapaian hasil.
41
BAB IV
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
A. TARGET KINERJA
Berdasarkan kebijakan restrukturisasi program dan kegiatan, Ditjen Bimas
Katolik melaksanakan satu program, yaitu Program Bimbingan Masyarakat Katolik
yang memiliki target outcome dan output serta indikator yang menjadi ukuran kinerja
dari kegiatan yang akan dicapai dalam rentang lima tahun dengan mempertimbangkan
aspek kapasitas lembaga, kemampuan anggaran negara, kemungkinan ketercapaian,
dan berbagai perubahan lingkungan strategis yang bisa saja terjadi.
42
Untuk mencapai outcome tersebut dilaksanakan kegiatan:
1. Pengelolaan dan pembinaan urusan agama Katolik, dengan sasaran yang meliputi:
a. Meningkatnya kualitas pemahaman, pengamalan ajaran agama Katolik yang
mencakup:
1) Jumlah penyuluh keagamaan Katolik yang difasilitasi dalam pembinaan
dan pengembangan yang ditandai antara lain dengan:
a) Jumlah Penyuluh Agama Katolik PNS dan Non PNS yang mengikuti
pendidikan dan latihan (pengembangan kemampuan substansi dan
teknis);
b) Jumlah Laporan pelaksanaan tugas dan fungsi Penyuluh Agama Katolik
PNS;
c) Jumlah Penyuluh Agama Katolik Non PNS yang menerima
honorarium;
d) Jumlah naskah bimbingan keagamaan Katolik;
e) Jumlah Juklak/Juknis Pelaksanaan Penyuluhan Agama Katolik; dan
f) Jumlah kendaraan operasional R2 bagi Penyuluh Agama Katolik PNS.
2) Jumlah fasilitasi pembinaan, pemberdayaan dan kerukunan intern umat
beragama Katolik yang ditandai antara lain dengan:
a) Jumlah Rohaniwan Katolik yang mengikuti dialog kerukunan umat
beragama;
b) Jumlah Tokoh Agama dan Masyarakat Katolik yang mengikuti dialog
kerukunan umat beragama;
c) Jumlah Naskah hasil pertemuan dialog kerukunan;
d) Jumlah Keluarga Katolik yang mengikuti pembinaan keluarga bahagia;
e) Jumlah Naskah Bimbingan Keluarga Bahagia;
f) Jumlah Kelompok Kategorial yang terbina; dan
g) Jumlah pegawai yang mengikuti pembinaan kerohanian Katolik.
3) Jumlah naskah Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria yang ditandai
antara lain dengan:
a) Jumlah juklak/juknis pemberian bantuan kepada Institusi/Lembaga
keagamaan Katolik;
b) Jumlah Pedoman Pembinaan Keluarga Katolik;
c) Jumlah Naskah Bimbingan kepada kelompok keagamaan Katolik.
43
4) Jumlah fasilitasi pembinaan dan pengembangan budaya keagamaan
Katolik yang ditandai dengan Jumlah lembaga keagamaan katolik yang
terbina.
b. Meningkatnya kualitas pelayanan kehidupan beragama Katolik, yang
mencakup:
1) Jumlah lembaga sosial keagamaan yang difasilitasi dalam penguatan dan
pemberdayaan yang ditandai antara lain dengan:
a) Jumlah Rumah Ibadah yang menerima bantuan;
b) Jumlah Keuskupan Agung dan Sufragan yang menerima bantuan;
c) Jumlah Komisi KWI yang menerima bantuan;
d) Jumlah Paroki/Stasi/Lingkungan yang menerima bantuan;
e) Jumlah Lembaga Keagamaan Katolik yang menerima bantuan (sarana
keagamaan);
f) Jumlah Lembaga Sosial Keagamaan Katolik yang menerima bantuan
(seminari/ kongregasi/ tarekat/ ordo/ unio/ lembaga sekular);
g) Jumlah Kelompok Kategorial Katolik yang menerima bantuan
(BIARLU, ME/LM); dan
h) Jumlah Ormas Katolik yang menerima bantuan Pembinaan Kerohanian
Katolik.
2) Jumlah fasilitasi sarana dan prasarana pelayanan keagamaan (lokasi):
a) Jumlah Keluarga Katolik yang menerima bantuan Kitab Suci;
b) Jumlah buku peribadatan Katolik;
c) Jumlah perlengkapan dan peralatan misa; dan
d) Jumlah Buku Peningkatan Pemahaman Kehidupan Beragama Katolik.
44
3) Jumlah Pengawas Pendidikan Agama Katolik Tingkat Dasar dan
Menengah yang memenuhi standar kompetensi;
4) Jumlah dosen Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi yang
memenuhi kualifikasi;
5) Jumlah dosen Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum
yang tersertifikasi;
6) Jumlah dosen PTAKS yang memenuhi standar kualifikasi minimal
(S2);
7) Jumlah dosen PTAKS yang tersertifikasi;
8) Jumlah dosen PTAKS yang mendapat bantuan pendidikan S2 bidang
ilmu yang relevan dalam dan luar negeri;
9) Jumlah dosen PTAKS yang menerima bantuan pendidikan S3 bidang
ilmu yang relevan dalam dan luar negeri;
10) Jumlah GPAK Tingkat Dasar dan Menengah yang mengikuti
pembinaan dan latihan teknis kependidikan yang berlaku;
11) Jumlah Pengawas PAK Tingkat Dasar dan Menengah yang
mengikuti pembinaan dan latihan teknis kependidikan;
12) Jumlah Fasilitasi Peningkatan Kompetensi GPAK Tingkat Dasar
dan Menengah;
13) Jumlah dosen PAK di perguruan tinggi yang mengikuti
pembinaan kompetensi;
14) Jumlah dosen PTAKS yang mengikuti seminar / workshop / kongres /
short course di dalam dan luar negeri;
15) Jumlah Guru Pendidikan Agama Katolik Tingkat Dasar dan Menengah
yang menerima TPG [Non PNS yang sudah Inpassing];
16) Jumlah GPAK Tingkat Dasar dan Menengah Non PNS yang menerima
TPG;
17) Jumlah Guru Pendidikan Agama Katolik Non PNS Tingkat Dasar dan
Menengah yang belum tersertifikasi menerima tunjangan fungsional;
18) Jumlah tenaga kependidikan SMAK yang terbina;
19) Jumlah Dosen PTAKS yang menerima Tunjangan Profesi Dosen;
20) Jumlah tenaga kependidikan PTAKS yang terbina (pembinaan
administrasi penyelenggaraan pendidikan);
45
21) Jumlah tenaga kependidikan Sekolah Keagamaan Katolik Tingkat
Dasar dan Menengah (Seminari);
22) Jumlah Juklak / Juknis Pembinaan Kepada Guru Pendidikan Agama
Katolik, Dosen Agama Katolik, Pembina Agama Katolik dan Tenaga
Kependidikan;
23) Jumlah dokumen kerja dengan mitra kerja;
24) Jumlah Buku Guru dan Silabus tingkat dasar;
25) Jumlah Buku Guru dan Silabus tingkat menengah;
26) Jumlah GPAK Tidak Tetap Tingkat Dasar dan Menengah yang
menerima bantuan;
27) Jumlah Guru Tidak Tetap SMAK yang menerima bantuan.
46
11) Jumlah peserta didik tingkat dasar dan menengah yang menerima sarana
dan prasarana pembelajaran pendidikan agama Katolik [Buku Murid];
12) Jumlah peserta didik tingkat dasar dan menengah yang menerima sarana
dan prasarana pembelajaran pendidikan agama Katolik [Buku
Perpustakaan]; dan
13) Jumlah mahasiswa katolik PTU yang menerima sarana dan prasarana
pembelajaran pendidikan agama Katolik [Buku Referensi].
47
3. Penyelenggaraan Administrasi Perkantoran Pendidikan Bimas Katolik, dengan sasaran
terlaksananya administrasi perkantoran pendidikan Bimas Katolik ditandai antara lain
dengan:
a. Jumlah Guru PNS penerima tunjangan profesi;
b. Jumlah Guru PNS yang menerima gaji dan tunjangan.
B. KERANGKA PENDANAAN
Untuk mencapai tujuan dan sasaran program tahun 2015-2019, diperlukan
ketersediaan dana secara memadai. Sumber pembiayaan perlu dikelola sedemikian rupa
akibat tidak seimbangnya kebutuhan pembiayaan dengan sumber biaya yang tersedia.
Sumber pembiayaan khususnya dari pemerintah pusat yang tidak memadai harus
didukung dengan sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan
masyarakat.
Dalam rangka pemenuhan pendanaan pembangunan bidang agama dan pendidikan
yang menjadi tugas Ditjen Bimas Katolik, direncanakan skema kerangka pendanaan
sebagai berikut:
48
1. Pendanaan Dari Pemerintah
a. Pendanaan Pemerintah Pusat
Alokasi ini merupakan sumber utama dari pendanaan terhadap Program
Bimbingan Masyarakat Katolik. Pendanaan dari Pemerintah Pusat atau APBN
terdiri dari dana rupiah murni yang didistribusikan pemerintah pusat untuk
kementerian/lembaga.
Total alokasi pendanaan Program Bimbingan Masyarakat Katolik dalam
rangka mencapai target kinerja tahun 2015 - 2019 adalah Rp. 4.467.614.154.000,-
(Empat Trilyun Empat Ratus Enam Puluh Tujuh Milyar Enam Ratus Empat Belas
Juta Seratus Lima Puluh Empat Ribu Rupiah), teridiri dari :
a) Anggaran yang tertera di dalam RPJMN sebesar Rp. 1.441.538.092.000,- untuk
dua Kegiatan, yaitu: Pengelolaan dan Pembinaan Urusan Agama Katolik;
Pengelolaan dan Pembinaan Pendidikan Agama Katolik;
b) Anggaran yang belum tertera di dalam RPJMN untuk dua kegiatan yaitu
kegiatan Penyelenggaraan Administrasi Perkantoran Pendidikan Bimas
Katolik sebesar Rp. 2.959.439.076.000,- ; dan untuk kegiatan Dukungan
Manajemen dan Pelaksanaan Tugas teknis Lainnya Bimas Katolik sebesar Rp.
66.636.086.000,-
Total anggaran sebagaimana tersebut di atas untuk membiayai tiga fungsi
dan empat kegiatan ( belum termasuk alokasi untuk gaji pegawai dan belanja
operasional seperti listrik, telepon dan air).
Rancangan alokasi anggaran terbesar adalah untuk pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan selaras dengan kewajiban pemenuhan 20% anggaran
pendidikan nasional, yaitu rata-rata 89,31% dari total alokasi yang direncanakan
untuk Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Alokasi tersebut selain akan
digunakan untuk mendanai program nasional yang berkelanjutan seperti Biaya
Operasional Pendidikan (BOP), tunjangan profesi guru, penyediaan sarana
pendidikan dan juga untuk mendanai program baru sehubungan dengan NAWA
CITA antara lain Kartu Indonesia Pintar (KIP).
49
Rincian kerangka pendanaan Program Bimas Katolik sebagai berikut:
UNIT
Alokasi Kumulatif Tahun
Program / Fungsi / ORGANISASI KETERANGAN
No 2015 - 2019
Kegiatan PELAKSANA
Rp. ribu %
Ditjen Bimas
Program Bimbingan
4.467.614.154,- 100% Katolik/Kanwil/
Masyarakat Katolik
Kankemenang
Sekretariat/ Belum masuk
Fungsi Pelayanan
A. 66.636.086,- 1,49% Kanwil/ dalam pendanaan
Umum RPJMN
Kankemenag
Dukungan Manajemen
dan Pelaksanaan Tugas
1. 66.636.086,- 1,49%
Teknis Lainnya Bimas
Katolik
Direktorat
Urusan Agama
B. Fungsi Agama 344.305.000,- 7,71% Katolik/
Kanwil/
Kankemenang
Pengelolaan dan
1. Pembinaan Urusan 344.305.000,- 7,71%
Agama Katolik
Direktorat
Pendidikan
C. Fungsi Pendidikan 3.990.036.081,- 89,31%
Katolik/Kanwil/
Kankemenag
Pengalolaan dan
1. Pembinaan Pendidikan 1.030.597.005,- 23,07%
Katolik
Penyelenggaraan Belum masuk
2. 2.959.439.076,- 66,24%
Administrasi Perkantoran di dalam
50
UNIT
Alokasi Kumulatif Tahun
Program / Fungsi / ORGANISASI KETERANGAN
No 2015 - 2019
Kegiatan PELAKSANA
Rp. ribu %
Pendidikan Bimas Katolik pendanaan
RPJMN
Total 4.467.614.154,- 100%
51
Sekolah Agama dan Keagamaan tingkat Dasar dan Menengah maupun
Tingkat Tinggi.
2). Pemberian tambahan tunjangan bagi Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Agama.
3). Pemberian bantuan atau hibah bagi sarana prasarana peribadatan dan sarana
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
4). Sinergi penyelenggaraan even keagamaan serta even pendidikan bagi satuan
pendidikan umum dengan satuan pendidikan agama dan keagamaan.
52
BAB V
PE N U T U P
1. Ditjen Bimas Katolik sebagai unit teknis yang ikut menyukseskan pembangunan
nasional di bidang agama diharapkan lebih proaktif, kreatif, adaptif, dan responsif
terhadap laju perubahan di berbagai sektor kehidupan, baik perubahan yang membawa
dampak positif maupun negatif. Untuk itu, Ditjen Bimas Katolik dituntut mampu
memberikan kontribusi yang signifikan bagi tercapainya tatanan kehidupan yang dicita-
citakan masyarakat melalui program pembangunan agama.
2. Dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Tahun 2015 ini diharapkan unit-unit teknis di
lingkungan Ditjen Bimas Katolik memiliki pedoman yang dapat dijadikan penuntun
bagi pencapaian arah, tujuan, dan sasaran program selama tahun 2015 sehingga visi dan
misi pembangunan agama dapat terwujud dengan baik.
53