Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebakaran merupakan peristiwa yang tak bisa dihindari. Selain


menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah, kebakaran juga dapat
menimbulkan korban jiwa. Pada kasus kebakaran, tingkat kematian
karena keracunan asap jauh lebih besar dibandingkan kematian karena
cidera luka bakar. Di dunia, 85% kematian pada kasus kebakaran
disebabkan oleh asap yang berat dan gas beracun.

Asap dari kasus kebakaran banyak mengandung senyawa-


senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Beberapa kandungan asap
yang dihasilkan antara lain karbon dioksida (CO₂), karbon monoksida
(CO) dan uap air. CO merupakan gas yang paling banyak dihasilkan
waktu terjadi kebakaran.

Karbon monoksida tidak mengiritasi tetapi sangat berbahaya


maka gas CO dijuluki sebagai “Silent Killer”. Keberadaan gas CO
sangat berbahaya jika dihirup oleh manusia karena gas tersebut akan
menggantikan posisi oksigen yang berikatan dengan hemoglobin
dalam darah. Ikatan antara CO dan hemoglobin membentuk karboksi
hemoglobin yang jauh lebih kuat 200 kali dibandingkan ikatan oksigen
dengan hemoglobin. Akibatnya, oksigen akan kalah bersaing dengan
CO saat berikatan dengan hemoglobin. Ini berarti kadar oksigen dalam
darah akan berkurang. Padahal telah diketahui bahwa oksigen
diperlukan oleh tubuh untuk metabolisme sel dan jaringan. Kedua gas
CO akan menghambat oksidase sitokrom yang menyebabkan respirasi
intraseluler menjadi kurang efektif. Terakhir, CO dapat berikatan
langsung dengan sel otot jantung dan tulang. Efek paling serius adalah
terjadi keracunan secara langsung terhadap sel-sel tersebut, juga dapat
menyebabkan gangguan pada system saraf. Bahaya utama terhadap
kesehatan adalah mengakibatkan gangguan pada darah. Batas
pemaparan karbon monokisda yang diperbolehkan oleh OSHA
(Occupational Safety and Health Administration) adalah 35 ppm untuk
waktu 8jam/hari kerja, sedangkan yang diperbolehkan oleh ACGIH
TLV-TWV adalah 25ppm untuk waktu 8 jam. Kadar yang dianggap

1
langsung berbahaya terhadap kehidupan atau kesehatan adalah 1500
ppm (0,15%). Paparan dari 1000 ppm (0,1%) selama beberapa menit
dapat menyebabkan 50% kejenuhan dari karboksi hemoglobin dan
dapat berakibat fatal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kebakaran ?
2. Apa saja yang menjadi penyebab kematian dari kebakaran ?
3. Bagaimana gambaran post mortem pada kasus kematian akibat
kebakaran ?

C. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah :
a. Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan
medikolegal di RSUD IBNU SINA GRESIK.
b. Menjelaskan pengertian dari kebakaran.
c. Menjelaskan jenis-jenis penyebab kematian pada kasus kebakaran.
d. Menjelaskan gambaran post mortem pada kasus kematian akibat
kebakaran.

D. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan kepada dokter muda yang sedang menjalani stase forensik
dan medikolegal mengenai kematian pada kasus kebakaran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Trauma Thermik

Trauma thermik yang terjadi baik pada suhu tinggi maupun


pada suhu rendah dapat menyebabkan kematian yang banyak
dipengaruhi oleh beberapa hal.

2
Trauma thermic dapat dibagi atas 2 macam

1. Hyperthemis
2. Hypothermis
Sejak zaman dahulu di dalam kehidupannya, manusia tidak
dapat dipisahkan dengan panas. Pada zaman modern ini banyak
fasilitas yang tercipta yang berhubungan dengan panas, tetapi
sesuai kegunaannya pada manusia tidak jarang pula terjadi efek
samping negative sehingga terjadi korban yang meninggal akibat
luka bakar oleh panas.

Kematian karna luka bakar biasanya terjadi karena


kecelakaan. Kecelakaan dapat mengenai semua golongan umur,
tetapi lebih sering pada orang tua dan anak-anak. Kematian karena
luka bakar dapat terjadi juga pada kasus-kasus pembunuhan dan
bahkan juga pada kasus bunuh diri.

Klasifikasi luka bakar ada 3, yaitu :

1. Luka bakar thermis


2. Luka bakar kimia
3. Luka bakar listrik
Luka bakar thermis adalah kelainan akibat kontak
permukaan luar dan dalam dari tubuh dengan panas fisik.
Penyebab luka bakar thermis ada 2, yaitu :

1. Luka bakar oleh panas kering (burns/dry heat) misalnya :


- Sinar matahari
- Nyala api
- Benda padat yang panas
2. Luka bakar oleh panas basah (scalds/moist heat)
Seperti halnya pada kasus-kasus kematian yang
lain, sangatlah penting melakukan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara (TKP), sehingga kita dapat memperoleh
gambaran tentang cara kematian ataupun penyebab luka
bakar tersebut. Dengan dilakukannya pemeriksaan TKP
dan pemeriksaan korban, maka dapat membantu pihak
penyidik dalam mengungkapkan kasus tersebut.

Hyperthermis

I. Patofisiologi luka bakar


1. Perubahan-perubahan yang terjadi pada luka bakar.

3
Korban dengan luka bakar, akan mengalami
beberapa kemungkinan antara lain :

a. Sembuh tanpa bekas :


Bila luka bakarnya hanya dengan erythema ataupun
vesikel yang tampak disertai kerusakan jaringan
bawah kulit.

b. Sembuh dengan bekas (jaringan parut) :


Bila luka bakar tersebut disertai kerusakan seluruh
tebal kulit disertai dengan kerusakan jaringan
bawah kulit.

c. Berakhir dengan kematian.


2. Secara garis besar, perubahan-perubahan yang terjadi
pada korban yang mengalami luka bakar adalah sebagai
berikut :
a. Panas akan menyebabkan permeabilitas kapiler
darah yang meningkat, sehingga cairan tubuh yaitu
air, elektrolit (misalnya Na dan Cl), protein akan
keluar dari jaringan intravaskuler ke jaringan
interstitial. Untuk 1% luas luka bakar, maka cairan
tubuh yang keluar ke interstitial adalah 0,5%-1%
dari blood volume. Bila blood volume hilang
sampai 20%, maka akan terjadi penurunan tekanan
darah sehingga berakibat terjadinya cardiac failure
yang kemudian akan berakibat dengan shock.
Pengeluaran cairan tubuh yang terbanyak yaitu pada 6-
8 jam pertama. Insensibel water loss juga akan
meningkat. Pada luka bakar, komposisi cairan gula
hampir sama dengan cairan plasma.

b. Erytrocit menjadi rapuh dan pecah karena panas.


c. Dapat terjadi akut renal failure oleh karena :
o Shock
o Timbunan hemogloblin dan pecahnya erytrocit
d. Cortison release meningkat.
e. Dapat terjadi curling ulcers pada lambung, juga
dapat terjadi akut dilatasi / paralise usus.
f. Rasa nyeri yang hebat dapat pula menyebabkan
neurogenic shock.

4
g. Udara panas / sangat panas yang terhirup dapat
menyebabkan larynx oedema yang mengakibatkan
asphyxia.
h. Dapat terjadi keracunan akut gas CO ataupun gas
toksik lainnya.

Gas CO ini mempunyai afinitas terhadap Hb jauh lebih


besar dari pada O2 terhadap Hb. Akibatnya bila Hb banyak
yang terikat oleh CO (COHb), maka akan sedikit Hb yang
terikat dengan O2 sehingga akan terjadi anoksia dan korban
dapat mati lemas. Pada korban yang meninggal karena
keracunan gas CO, maka saturasi COHb dalam darahnya dapat
sampai 40% - 60%.

II. Gradasi luka bakar.


Gradasi luka bakar tersebut ditentukan oleh :

1. Luasnya area yang terbakar


2. Tinggi rendahnya temperature / panas yang
membakar tersebut
3. Lamanya kontak dengan kulit.
Tinggi rendahnya temperature dan lamanya
kontak dengan kulit, akan menentukan dalamnya luka
bakar.

Untuk menentukan luasnya luka bakar, kita


memakai patokan rumus “Rule of Nine” dari Wallace yaitu
sebagai berikut :

a. Permukaan kepala dan leher 9%

b. Permukaan dada 9%

c. Permukaan punggung 9%

d. Permukaan perut 9%

e. Permukaan pinggang 9%

f. Permukaan extremitas atas kanan 9%

g. Permukaan extremitas atas kiri 9%

h. Permukaan extremitas bawah kanan 18%

5
i. Permukaan extremitas bawah kiri 18%

j. Permukaan alat kelamin 1%

Gambar 1 : Gambaran luas luka bakar “rule of nine”

Menurut Boyer (1814) dalamnya luka bakar dibagi


menjadi 3 tingkat, antara lain :

1. Tingkat I : Hanya mengenai epidermis


2. Tingkat IIa : Superficial, mengenai epidermis
dan lapisan atas corium.
3. Tingkat IIb : Dalam, mengenai epidermis dan
lapisan dalam corum.
4. Tingat III : Mengenai seluruh tebal kulit,
subcutan, otot dan tulang.
American Collage of Surgeon membagi gradasi dari
luka bakar menjadi 3 bagian :

1. Kritis.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II > 15%
- Luka bakar Tk. III > 10%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II > 30%


- Luka bakar Tk. III > 10%

c. Luka bakar Tk. III pada tangan, kaki, wajah, atau


yang memberi komplikasi pada tractus respiratorius
ataupun adanya Fraktura tulang.

6
2. Sedang.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II (10-15)%

- Luka bakar Tk. III (2-10)%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II (15-30)%

- Luka bakar Tk. III (2-10)%

3. Ringan.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II < 10%

- Luka bakar Tk. III < 2%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II < 15%

- Luka bakar Tk. III < 2%

Pemeriksaan Kematian Pada Korban Luka Bakar :

1. Pemeriksaan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP)


Sebagaimana pada pemeriksaan TKP secara umum, maka
tujuan yang ingin dicapai adalah :

a. Menentukan apakah korban masih hidup atau sudah


meninggal.
b. Menentukan perkiraan saat kematian.
c. Menentukan sebab/akibat dari luka bakar
d. Membantu mengumpulkan barang bukti
e. Menentukan cara kematian

2. Menentukan apakah korban masih hidup atau sudah


meninggal

Dalam melakukan penolongan atau pemeriksann TKP,


maka sikap terbaik seorang dokter adalah berjalan jongkok, hal ini
merupakan upaya awal agar dokter / penolong , korban tidak
terpapar CO2 dalam kejadian kebakaran tersebut.

Dokter juga harus membawa stetoskop dan senter. Alat


tersebut dapat dipakai dalam menentukan apakah korban tersebut
masih hidup atau sudah meninggal.

7
Apabila korban masih hidup, maka segera diberikan
pertolongan. Dan bilamana korban sudah meninggal, maka
sebaiknya pemeriksaan selanjutnya jangan dilakukan dengan
terburu-buru.

3. Menentukan perkiraan saat kematian

Data-data yang diperlukan dalam menentukan saat


kematian karena luka bakar adalah :

1. Penurunan suhu tubuh


2. Lebam mayat
3. Kaku mayat
4. Tanda-tanda pembusukan
5. Umur larva pada jenazah yang sudah membusuk.

Pada luka bakar yang dalam dan total seluruh tubuh, data-
data tersebut diatas mungkin agak sukar diperoleh :

 Sikap puguilistik pada luka bakar total.


 Lebam mayat sulit ditentukan pada korban yang hangus
terbakar.
Untuk mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi,
maka dalam perkiraan saat kematian perlu diketahui jam
ditemukannya korban meninggal dan jam terakhir korban
terlihat hidup.

4. Menentukan sebab/akibat dari luka bakar

Data yang diperoleh dapat diambil sesuai keadaan luka


bakar pada tubuh korban. Keadaan luka bakar tersebut dapat
menunjukkan penyebabnya.

Sesuai dengan penyebabnya, maka luka bakar dapat dibagi dalam


2 jenis yaitu:

a. Luka bakar oleh cairan (scalds).


Terdapat 2 derajat luka bakar jenis ini anatara lain :

- Derajat I : yang berupa kemerahan ( Hyperemia )


- Derajat II : yang berupa gelembung berair ( vesicula ).
Luka bakar ini dapat disebabkan oleh misalnya :

- Siraman air panas dari termos


- Cipratan minyak/cairan yanag sedang dimasak

8
- Tumpahan air ceret pada anak-anak dan lain
sabagainya.

b. Luka bakar panas ( Dry heat ).


Jenis luka bakar ini bervariasi, mulai dari kemerahan biasa
sampai hangus, tergantung dari tingkat panas dan lamanya
kontak.

Penyebabnya dapat oleh karena :

- Tersentuhnya botol panas


- Terjilat nyala api
- Pakaian korban yang terbakar
- Kejadian kebakaran besar.
5. Membantu mengumpulkan barang bukti

Barang-barang bukti di TKP merupakan informasi penting


yang perlu dikumpulkan karena dapat mengungkapkan penyebab
kebakaran dan menunjukkan indikasi awal kebakaran.

Penyelidikan menyeluruh pada lokasi sekitar korban akan


dapat pula menunjukkan cara kematiannya. Barang bukti
dikumpulkan dari jenazah dan barang-barang bukti di lokasi
korban.

Pengumpulan barang bukti pada jenazah korban


dilaksanakan sekaligus dengan identifikasi korban. Barang-barang
bukti di sekitar lokasi korban diperlukan untuk mengungkapkan
lokasi, sumber, penyebab luka bakar. Ini dapat juga dinilai dari
posisi korban pada waktu ditentukan dan bagian yang terkena luka
bakar. Barang bukti yang dapat dikumpulkan antara lain : putung
rokok, kompor yang meledak, tangki bensin yang mudah terbakar,
tempat penampungan air panas yang mendidih (termos), sumber
uap panas dan lain-lain.

6. Cara kematian pada luka bakar

Cara kematian pada luka bakar biasanya akibat luka bakar,


akan tetapi bukan tidak mungkin ada unsur kesengajaan
(pembunuhan) atau bunuh diri. Sering kali pembakaran dilakukan
untuk menutupi kekerasan/jejas akibat tindakan fisik terhadap

9
korban sebelum dibakar, bahkan dapat pula korban telah terbunuh
sebelum dibakar.

Untuk mencari cara kematian pada korban, maka perlu


diperhatikan beberapa hal antara lain :

1. Penyakit-penyakit yang mungkin menyebabkan kecelakaan.


Misalnya : epilepsi, hipertensi.

2. Keadaan barang-barang disekitar korban.


Misalnya : pada bunuh diri maka barang-barang disekitar
korban masih tampak pada tempatnya yang sesuai (tidak
berantakan).

3. Adanya tanda-tanda kekerasan yang lain, selain luka bakar


Misalnya : luka-luka akibat benda tajam/tumpul yang mungkin
terjadi sebelum terbakar.

7. Sebab kematian pada luka bakar


Sebab kematian yang biasanya ditemukan pada korban
yang meninggal akibat luka bakar antara lain :

1. Shock (Hypovolemik maupun neurogenik shock)


2. Infeksi
3. Akut renal failure
4. Larynx Oedema
5. Keracunan akut gas CO atau gas-gas toksik yang lain.
Misalnya karena terbakarnya bahan-bahan yang terdapat
pada lokasi antara lain :

- Wool atau sutra yang bila dibakar akan melepaskan gas


ammonia atau HCN
- Terbakarnya bahan nitrocellulose film dan bahan-bahan
kulit imitasi dapat melepaskan gas NO2 dan NO4.
8. Identifikasi Korban
Identifikasi pada korban dilaksanakan pada pemeriksaan
TKP maupun pada waktu pemeriksaan jenazah. Identifikasi dapat
diperoleh dengan mencatat hal-hal sebagai berikut :

1. Catat data-data dari korban, antara lain :


- Tinggi Badan

10
- Berat Badan
- Jenis Kelamin
- Umur
- Warna Kulit
- Warna Mata
- Rambut
2. Catat tanda-tanda pengenal khusus pada tubuh, seperti
jaringan parut luka, tato, kelainan-kelainan kongenital.
3. Simpan potongan pakaian yang tidak hangus terbakar.
4. Catat dan simpan barang pribadi milik korban, misalnya
gantungan kunci, uang, KTP, dan identitas lainnya, surat-
surat berharga serta perhiasan yang dikenakan korban.
5. Kumpulkan dari sampel rambut yang tidak terbakar.
6. Buat pemeriksaan gigi dan bila mungkin buat sidik jarinya.
7. Buat pemeriksaan radiologi
8. Tentukan golongan darah korban.

9. Autopsi pada korban yang meninggal karena luka bakar


thermik

Pada kasus luka bakar yang berat, terjadi kelainan yang luas
pada tubuh dan sering kali tubuh menjadi hangus, sehingga dapat
mempersulit proses penyidikan. Pada kasus-kasus seperti ini,
autopsi dapat memberikan informasi yang penting.

Dalam mengevaluasi sebab kematian korban, kadang-


kadang kita mengalami kesulitan oleh karena sering tidak
ditemukan hal-hal yang pathognomis. Sarjana Teplitz mengusulkan
beberapa prosedur yang bisa membantu, disamping pemeriksaan
post mortem yang rutin antara lain :

- Membuat irisan multipel pada luka bakar untuk


pemeriksaan bakteriologis
- Dan bilamana dicurigai adanya sepsis, maka perlu
secepatnya dibuat biakan kuman postmortem dari darah
dalam jantung, bagian basal paru, hati serta limpa.
Pemeriksaan Luar :

a. Kulit

11
Perubahan-perubahan pada kulit sesuai dengan derajat luka
bakarnya, oleh karena itu, pada pemeriksaan luar perlu
ditentukan :

1. Keadaan luka
2. Luas luka dan dalamnya
Pada pemeriksaan luka ini adanya tanda-tanda reaksi vital
berupa daerah yang berwarna merah pada perbatasan antara
daerah yang terbakar. Tanda reaksi vital ini penting untuk
membedakan apakah korban masih hidup atau sudah mati pada
saat terbakar. Bila ada pemeriksaan makroskopik kita tidak
menemukan tanda-tanda reaksi vital, maka perlu dilakukan
pemeriksaan mikroskopik, untuk menemukan daerah kongesti
dengan perdarahan dan infiltrasi leukosit.

b. Heat Stiffening
Pada korban yang meninggal akibat luka bakar, dapat
ditemukan kekakuan postmortem pada otot-ototnya yang
disebabkan oleh karena terjadinya koagulasi protein-protein
otot yang terkena panas. Pada keadaan ini tidak terjadi rigor
mortis dan keadaan ini berlangsung sampai proses pembusukan
terjadi. Pada tubuh yang terbakar, akan terjadi fleksi pada
siku, lutut, dan paha , sehingga posisi korban dapat menyerupai
orang yang tertinju yang disebut Pugillistic Attitude.

c. Lebam Mayat
Pada kematian akibat luka bakar, lebam mayat yang
terjadi kadang-kadang sukar dilihat. Bila masih ada sebagian
dari tubuh yang tidak terbakar, maka lebam mayat masih dapat
ditemukan pada daerah tersebut.

Pemeriksaan dalam :

Pada korban yang meninggal karena luka bakar, tidak


ditemukan kelainan yang spesifik, dimana kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan dalam juga bisa dijumpai pada
keadaan-keadaan lain. Kelainan-kelainan tersebut hampir meliputi
semua system organ, diantaranya :

1. System pernapasan

12
Pada pemeriksaan mikroskopik, paru-paru menjadi
lebih berat dan mengalami kosnsolidasi. Kelainan yang sering
ditemukan antara lain :

a. Oedema laryngopharynx
b. Tracheochitis
c. Pneumonia
d. Kongesti Paru
e. Oedema paru interstitial
f. Ptechiae pada pleura
g. Adanya pigmen korban melekat pada mukosa saluran
napas. Adanya pigmen korban menunjukan bahwa korban
telah menghirup asap dan masih hidup saat terbakar
2. Jantung
Oedema interstitial dan fragmentasi miokardium dapat
terjadi pada penderita luka bakar termis, tetapi perubahan-
perubahan ini tidak khas dan dapat ditemukan pada keadaan-
keadaan lain. Pada penderita dengan septicaemia, ditemukan
adanya metastase focus-fokus septik pada miokardium dan
endocardium. Perubahan lain berupa gambaran pteciae pada
pericardium dan endocardium.

3. Hati
Pada korban yang meninggal karena luka bakar
superfisial, ditemukan adanya perlemakan hati, bendungan,
nekrosis dan hepatomegali. Hal ini merupakan tanda yang non
spesifik.

Perlemakan hati sering dihubungkan dengan nutrisi


yang tidak optimal. Nekrosis hati relative jarang ditemukan
dan biasanya merupakan tipe perdarahan sentrilobuler. Kedaan
ini dapat dijumpai pada syok yang lama, hipoksemia dan
kegagalan jantung kongestif. Tipe nekrosis ini lebih banyak di
sebabkan oleh bahan koagulasi yang dipakai dalam pengobatan
dari pada karena luka bakar sendiri.

Beberapa sarjana melaporkan bahwa insiden dari


kerusakan hati meningkat jika dalam pengobatan digunakan
bahan-bahan asam tannat, perak nitrat, dan fericloride.

13
Sedangkan hepatomegaly sering ditemukan pada keadaan
hipoalbuminemia.

4. Limpa dan Kelenjar Getah Bening


Kelainan-kelainan yang ditemukan adalah odema dan
nekrosis dari limfoid germinal centre dan infiltrasi makrofag.
Penelitian lain melaporkan adanya eosinopenia dalam limpa,
yaitu sebagai akibat adanya hiperaktifitas adrenal.

5. Ginjal
Organ ini tidak terpengaruh langsung pada luka bakar
termik. Perubahan yang terjadi pada organ ini biasanya
merupakan akibat dari komplikasi yang terjadi. Pada korban
yang mengalami komplikasi berupa syok yang lama, dapat
terjadi akutubular nekrosis pada tubular proksimal dan distal
serta trombosis vena. Akutubular nekrosis ini diduga
disebabkan oleh adanya heme cast pada medulla yang bisa
ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik.

Pada korban yang mengalami luka bakar yang fatal,


dapat ditemukan adanya pembesaran ginjal. Traktus genetalis
merupakan sumber infeksi yang potensial pada korban luka
bakar, terutama pada korban yang memakai daur kateter,
dimana populasi bakteri yang ditemukan biasanya tidak
berbeda dengan populasi bakteri pada luka yang terjadi, bakteri
tersebut antara lain: pseudomonas aerobakter, stapilokokus,
dan proteus.

6. Saluran pencernaan
Pada penderita luka bakar dapat dijumpai curling’s
ulcer, yang kadang-kadang mengalami perforasi. Kelainan-
kelainan ini dapat sebagai ancaman bagi penderita luka bakar
karena bisa terjadi pendarahan profuse dan perforasi dari
mukosa saluran pencernaan yang biasanya berakibat fatal.

7. Kelenjar Endokrin
- Thyroid
Berat dan aktifitas kelenjar tiroid meningkat pada penderita
dengan luka bakar.

14
- Timus
Perubahan pada organ ini adalah terjadi infolusi yang diduga
disebabkan oleh hiperaktifitas kelenjar adrenal sebagai respon
terhadap stress yang non-spesifik.

- Adrenal
Kenaikan kadar steroid dalam darah dan urin pada
penderita luka bakar termik ialah penimbunan lemak dan
bendungan sinusoid-sinusoid pada korteks dan medulla.
Perubahan-perubahan ini bersamaan dengan autolysis da dapat
menyebabkan perdarahan vocal pada kelenjar.

8. Susunan Saraf Pusat


Dilaporkan adanya perubahan-perubahan pada susunan
saraf pusat berupa odema, kongesti, kenaikan tekanan darah
intrakrnial dan herniasi dari tonsil cerebellum melewati
foramen magnum serta adanya perdarahan intracranial. Tetapi
perubahan-perubahan ini diduga terjadi akibat adanya
gangguan kesemimbangan air dan elektrolit, karena
kebanyakan pada pasien dengan luka bakar terjadi kenaikan
temperature tubuh tidak lebih dari satu derajat. Jadi dengan
demikian, otak tidak selalu terpengaruh jejas termik.

Sel-sel neuron tifak menunjukan perubahan-perubahan


abnormal kecuali sel-sel purkinye yang menunjukan perubahan
degenerative. Pada penderita yang mengalami komplikasi
berupa sepsis, maka dapat ditemukan adanya mikro abses dan
meningitis homatogenus.

9. Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot, tendon, dan tulang jarang sekali terpengaruh
oleh luka bakar termik, kecuali pada kebakaran luar. Perubahan
yang dapat terjadi adalah fraktur patologis, yaitu pada tulang
kepala. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kenaikan tekanan
intracranial yang mendadak, sedangkan pada anggota gerak
disebabkan oleh pemendekan otot-otot yang berlebihan,
sehingga terjadi tarikan yang berlebihan pada tendon dan
tulang.

15
Hipotermis

Hipotermis dibagi menjadi 2, yaitu sistemik hipotermis


dan local hipotermis. Suhu udara yang kritis bagi manusia
tanpa pelindung apapun kurang lebih 270 C. pada suhu ini
manusia dapat mempertahankan suhu tubuhnya tanpa aktifitas
apapun.

Telah diketahui bahwa pengaturan suhu tubuh berpusat


pada hipotalamus anterior. Bila terjadi lesi pada bagian ini,
maka akan menyebabkan krisis hipotermis. Kemudian
diketahui pula bahwa sebagian mediator pengaturan suhu
tubuh ini adalah system simpatik, dalam hal ini terjadi
vasokonstriksi. Pada kulit dan otot merupakan mekanisme
yang penting untuk pengaturan suhu tubuh. Manifestasi
kerusakan permanen otot berhubungan dengan kurangnya
aliran darah, hipotermis tidak menyebabkan lesi permanen
selama aliran darah baik. Pada saraf perifer terjadi penurunan
kecepatan perjalanan inpuls. Menghilangnya ketangkasan
tangan dengan kekakuan berjalan merupakan indicator
terganggunya transmisi.

Pada jantung terjadi penurunan denyut nadi. Penurunan


ini berbanding lurus dengan penurunan suhu tubuh. Kecuali
pada saat tubuh menggigil, maka akan terjadi kenaikan denyut
nadi temporer. Pada suhu tubuh dibawah 300C sering terjadi
atrial fibrilasi. Kondisi paling berbahaya adalah terjadinya
fibrilasi ventrikel, yang biasanya terjadi pada suhu 25 o C – 28o
C. penyebabnya belum diketahui, namun salah satu
kemungkinan adalah gangguan pada pompa Na-K.
kemungkinan adalah terbentuknya focus ektopik pada dinding
ventrikel. Pada suhu kurang dari 20 o C, dan jantung selamat
dari fibrilasi biasanya denyut nadi menjadi pelan. Akan tetapi
irama yang normal akan tetap bila pasien dihangatkan.

Selama fase pertama hypothermi, antara 370C sampai


340C, tekanan darah akan terus meningkat, namun dengan terus
menurunnya suhu tubuh, tekanan darah terus akan menurun

16
sampai terjadi hipotensi dan biasanya tekanan darah menjadi
tidak terukur pada suhu 290C.

Penurunan denyut nadi dan tekanan darah diikuti oleh


pengendapan sel-sel darah merah di vena-vena post kapiler.

Respiratory rate dan tidal volume menurun pada


hypothermi. Dead space meningkat 50% pada suhu 25 0C yang
disebabkan hambatan nervus vagus. Telah diketahui bahwa
suhu dingin dapat menyebabkan lesi pada epitel alveoli dan
bronchioli yang merupakan jalan bagi invasi bakteri. Asidosis
respiratorik sering terjadi pada kasus hypothermi bila tidak
dilakukan pernapasan buatan.

Hypothermi dapat menyebabkan paralisis usus, hal ini


menjelaskan mengapa korban yang diselamatkan dari paparan
dingin, sering mengeluh sakit perut. Mukosa lambung yang
merupakan target organ pada hypothermi, didasarkan pada
fakta sering terjadinya erosi dan haemorrhagik pada lambung
(Wischeneusky Ulcer) dimana sebenarnya kasus ini jarang
terjadi. Ulcus semacam ini dapat ditemukan pula pada ileum
dan colon. Penemuan yang aneh terjadi pada pancreas, yaitu
terjadinya pankreatitis. Hal ini diduga berhubungan dengan
ileus paralitik dan refluks isi usus kesaluran pancreas.
Sedangkan hati relative tidak mengalami gangguan, namun
kalau ada biasanya reversible.

Ginjal bereaksi terhadap dingin dengan diuresis, yang


mulai pada suhu lingkungan 150C. Reaksi ini dapat dijelaskan
dengan 2 cara, yaitu :

1. Berkurangnya absorbsi
2. Vasokonstriksi perifer sehingga meningkatkan aliran
darah pada organ dalam
Keadaan yang berlawanan pada keadaan diatas, yaitu
oligouria, terjadi pada paparan suhu dingin (sekitar 300C
tubuh) pada waktu yang lebih lama, terutama pada orang tua.

Sering terjadi hemokonsentrasi pada hypothermi. Hal


ini disebabkan oleh mekanisme diuresis dan merembesnya

17
plasma keruangan ekstraselular yang dikenal sebagai “cold
oedema”. Disamping hal tersebut, pada suhu lingkungan yang
dingin sel darah merah mengikat 02 lebih kuat, sehingga pada
akhirnya menyebabkan sistemik anoxia. Pada local
hypothermi, beratnya kerusakan dibagi beberapa derajat, antara
lain :

1. Derajat I : Hanya hiperemi dan oedema

2. Derajat II : Terjadi nekrosis kulit sampai sub cutis

3. Derajat III : Nekrosis kulit dan subcutis, nyeri dan


bila sembuh terjadi keropeng berwarna
hitam

4. Derajat IV : Terjadi kerusakan seluruh jaringan

Beberapa obat dapat menyebabkan hypothermi


terutama pada dosis toksik, antara lain barbiturate dan
promazine. Namun kedua obat ini jarang ditemukan pada
riwayat korban-korban kematian akibat hypothermi.
Sedangkan untuk alcohol masih diperdebatkan pengaruhnya
terhadap hypothermi. Secara umum, telah disetujui bahwa
konsumsi alcohol dalam jumlah sedikit dapat digunakan untuk
mengatasi suhu dingin.

B. Intoksikasi Karbon Monoksida


1. Sifat

Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua


dalam sejarah manusia. Sejak di kenal cara membuat api,
manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung
CO. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak
berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk
gas yang tidak berwarna dan sedikit lebih ringan dari
udara.(4) Keberadaan gas CO akan sangat berbahaya jika
terhirup oleh manusia karena gas itu akan menggantikan
posisi oksigen yang berikatan dengan hemoglobin dalam
darah. Afinitas CO yang 200-250 kali lebih besar dari
afinitas oksigen terhadap Hb dan karboksihemoglobin yang

18
terbentuk lebih stabil dibandingkan dengan
oksihemoglobin.

2. Sumber

Karbon monoksida yang berasal dari alam termasuk


dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan,
kebakaran hutan dan badai listrik alam. Walaupun dapat
terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya adalah
dari kegiatan manusia.

Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor,


terutama yang menggunakan bahan bakar bensin.
Berdasarkan estimasi, jumlah CO dari sumber buatan
diperkirakan mendekati 60 juta ton per tahun. Separuh dari
jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar bensin dan sepertiganya berasal
dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran batubara
dan minyak dari industri dan pembakaran sampah
domestik. Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling
tidak 90% dari CO diudara perkotaan berasal dari emisi
kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok juga
mengandung CO, sehingga para perokok dapat memajan
dirinya sendiri dan asap rokok yang sedang dihisapnya.
Sumber CO dari dalam ruang (indoor) termasuk
dari tungku dapur rumah tangga dan tungku pemanas
ruang. Dalam beberapa penelitian ditemukan kadar CO
yang cukup tinggi didalam kendaraan sedan maupun bus.

Karbon monoksida yang bersumber dari dalam


ruang (indoor) terutama berasal dari alat pemanas ruang
yang menggunakan bahan bakar fosil dan tungku masak.
Kadar nya akan lebih tinggi bila ruangan tempat alat
tersebut bekerja, tidak memadai ventilasinya. Namun
umumnya pemajanan yang berasal dari dalam ruangan
kadarnya lebih kecil dibandingkan dari kadar CO hasil
pemajanan asap rokok.

3. Patofisiologi dan Proses Terjadinya Keracunan Gas


Karbon Monoksida

19
Karbon monoksida tidak mengiritasi tetapi sangat
berbahaya (beracun) maka gas CO dijuluki sebagai “silent
killer” (pembunuh diam-diam). Jumlah CO yang
diabsorbsi oleh tubuh tergantung pada ventilasi semenit,
durasi paparan, dan konsentrasi relatif karbon monoksida
di lingkungan ikatan CO dengan haemoglobin
menimbulkan terjadinya penurunan kapasitas oksigen
terhadap haemoglobin dan penurunan pengiriman oksigen
ke sel.

Mekanisme kerja CO adalah per inhalasi.


Mekanisme nya adalah didasarkan atas afinitas CO yang
200-250 kali lebih besar dari afinitas oksigen terhadap Hb
dan karboksihemoglobin yang terbentuk lebih stabil
dibandingkan dengan oksihemoglobin. Akibatnya, CO akan
mengikat Hb secara cepat dan lengkap, dan menghambat
oksigen berikatan dengan Hb. Sehingga akibat
terbentuknya COHb dalam jumlah yang tinggi dalam
darah, suplai oksigen ke organ vital tidak dapat dipenuhi
sebagaimana mestinya. Maka, akan menimbulkan
anoksemia. Secara tidak langsung pula akibat dari
mekanisme diatas akan menyebabkan penurunan
kemampuan Hb melepaskan oksigen ke jaringan. Dua
faktor yang menyebabkan asfiksia dalam keracunan CO:

- Penurunan kadar Hb yang dapat membawa oksigen


dalam sirkulasi.
- Penurunan kemampuan Hb untuk melepas oksigen
ke dalam jaringan.
Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan
turunnya kapasitas transportasi oksigen dalam darah oleh
hemoglobin dan penggunaan oksigen di tingkat seluler.

Karbonmonoksida mempengaruhi berbagai organ


di dalam tubuh, organ yang paling terganggu adalah yang
mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar, seperti otak
dan jantung. Beberapa literatur menyatakan bahwa
hipoksia ensefalopati yang terjadi akibat dari keracunan

20
CO adalah karena injuri reperfusi dimana peroksidasi lipid
dan pembentukan radikal bebas yang menyebabkan
mortalitas dan morbiditas.

Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia


seluler yang disebabkan oleh gangguan transportasi
oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversible, yang
menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat
hemoglobin 200-250 kali lebih kuat daripada oksigen.
Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala klinis.
CO yang terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan
oksigen untuk jaringan menurun.

CO mengikat myoglobin jantung lebih kuat


daripada mengikat hemoglobin yang menyebabkan depresi
miokard dan hipotensi yang menyebabkan hipoksia
jaringan. Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar
HbCO yang menyebabkan kegagalan respirasi di tingkat
seluler.

CO mengikat cytochromes c dan P450 yang


mempunyai daya ikat lebih lemah dari oksigen yang
diduga menyebabkan defisit neuropsikiatris. Beberapa
penelitian mengindikasikan bila CO dapat menyebabkan
peroksidasi lipid otak dan perubahan inflamasi di otak
yang dimediasi oleh lekosit. Proses tersebut dapat
dihambat dengan terapi hiperbarik oksigen. Pada
intoksikasi berat, pasien menunjukkan gangguan sistem
saraf pusat termasuk demyelisasi substansia alba. Hal ini
menyebabkan edema dan dan nekrosis fokal.

Penelitian terakhir menunjukkan adanya pelepasan


radikal bebas nitric oxide dari platelet dan lapisan
endothelium vaskuler pada keadaan keracunan CO pada
konsentrasi 100 ppm yang dapat menyebabkan vasodilatasi
dan edema serebri.

CO dieliminasi di paru-paru. Waktu paruh dari CO


pada temperatur ruangan adalah 3 - 4 jam. Seratus persen

21
oksigen dapat menurunkan waktu paruh menjadi 30 – 90
menit, sedangkan dengan hiperbarik oksigen pada tekanan
2,5 atm dengan oksigen 100% dapat menurunkan waktu
paruh sampai 15-23 menit.

Jadi asphyxia dengan kegagalan pernapasan atau


sirkulasi merupakan sebab kematian dari kematian karbon
atau kombinasi dari kedua hal tersebut di atas.

4. Gejala dan Tanda Keracunan Karbon Monoksida

Diagnosis keracunan CO pada korban hidup


biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak dan di
temukannya gejala keracunan CO. Gejala-gejala yang
muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain. Pada
anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan oleh
gas CO. Gejala-gejala yang muncul sering tidak sesuai
dengan kadar HbCO dalam darah.

Gejala keracunan gas karbon monoksida didahului


dengan sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah, berkeringat
banyak, pyrexia, pernafasan meningkat, confusion,
gangguan penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi,
kehilangan kesadaran dan sakit dada mendadak juga dapat
muncul pada orang yang menderita nyeri dada.

Studi oleh Haldane dan Kilick mungkin


memberikan penjelasan paling baik dari efek keterpaparan
karbon monoksida (CO). Gejalanya, pada saat muncul
biasanya bersifat progesif dan kira-kira sebanding dengan
kadar CO darah. Pada awalnya, tanda dan gelaja seringkali
sulit dipisahkan. Pada kadar saturasi karboksihemoglobin
0-10%, umumnya tanpa gejala. Pada seseorang yang
istirahat, kadar CO dari 10 sampai 20% sering tidak
bergejala, kecuali sakit kepala, akan tetapi jika diuji orang
ini akan menunjukkan pelemahan dalam melakukan tugas-
tugas kompleks. Haldane mengamati tidak ada efek nyeri
pada kadar 18-23%. Gejala Kellick dapat diabaikan pada
kadar di bawah 30%, meskipun demikian kadar antara 30-

22
35%, dia menunjukan sakit kepala disertai denyutan dan
perasaaan penuh di kepala.

Kadar CO antara 30-40%, ada sakit kepala


berdenyut, mual, muntah, pingsan, dan rasa mengantuk
pada saat istirahat. Pada saat kadarnya mencapai 40%,
penggunaan tenaga sedikit pun menyebabkan pingsan.
Denyut nadi dan pernafasan menjadi cepat, tekanan darah
turun. Kadar antara 40-60%, ada suatu kebingungan
mental, kelemahan, dan hilangnya koordinasi. Haldane
pada kadar 56% tidak mampu berjalan sendiri tanpa
bantuan. Pada kadar CO 60% dan seterusnya, seseorang
akan hilang kesadaran, pernapasan menjadi Cheyne-Stokes,
terdapat kejang intermitten, penekanan kerja jantung dan
kegagalan pernafasan, dan kematian, dapat disertai
peningkatan suhu tubuh.

Tabel 1. Hubungan % saturasi Hb oleh CO (%CO-Hb) dan


akibatnya

% sat’d / % Akibat / Efek


CO-Hb

<10 -

10-20 Dahi rasa tertekan, headache, sesak nafas dalam aktifitas

20-30 Kepala berdenyut, emosi tidak stabil, iritabilitas meningkat,


kelelahan, letargi (sering ditafsirkan sebagai bukan sebab
keracunan)

30-40 Severe headache, nausea, vomiting, dizziness, pandangan kabur

40-50 Confusion, ataxia, dyspneu

50-60 Syncope, takikardia, mulai koma

60-70 Derajat koma lebih dalam

70-80 Koma yang dalam

>80 Kematian yang cepat karena respiratory arrest

Akan tetapi perlu diketahui untuk beberapa kasus,


kadar COHb tidak berkorelasi dengan tingkat keparahan

23
gejala. Pada orang tua dan pada mereka yang menderita
penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit
paru obstruktif kronik, kadar COHb 20-30% sudah dapat
bersifat fatal. Selain itu, pada studi yang dilakukan
terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb
yang tinggi namun dengan kadar CO bebas yang minimal
tidak menghasilkan gejala klinis atau gejalanya minimal.
Hal ini mengindikasikan bahwa adanya CO bebas yang
terlarut dalam plasma berperan penting dalam
menimbulkan gejala pada intoksikasi karbon monoksida.

Walaupun keracunan gas CO tersebut dapat diatasi,


namun keterlambatan penanganan masalah ini dapat
berakibat fatal karena otak dan jantung manusia organ
tubuh sangat vital yang paling peka terhadap kekurangan
oksigen dalam darah.

Tabel 2. Hubungan konsentrasi CO di udara, waktu pajanan dan


akibatnya

% [CO] Waktu pajanan Akibat / Efek

0,02 2-3 jam Mungkin terdapat headache


frontal

0,04 1-2 jam Headache frontal

2 ½ - 3 ½ jam Headache, oksipital

0,08 ¾ jam Headache, dizziness, nausea

2 jam Kolaps, mungkin tidak sadar

0,16 20 menit Headache, dizziness, nausea

2 jam Kolaps, tidak sadar, mungkin


mati

0,32 5-10 menit Headache, dizziness

30 menit Tidak sadar dan bahaya mati

0,64 1-2 menit Headache, dizziness

10-15 menit Tidak sadar dan bahaya mati

24
5. Cara Kejadian Keracunan Gas CO (kaitannya dalam
menentukan sebab kematian)

Keracunan gas CO dapat terjadi akibat kebakaran,


sumber karbon monoksida kedua tersering yang bersifat
fatal adalah inhalasi asap knalpot mobil. Kebanyakan
kematian akibat hal ini adalah karena bunuh diri, tetapi
juga akibat kecelakaan maupun pembunuhan.

a. Kecelakaan
Penyebab utama dari kematian monoksida karena
struktur kebakaran dirumah atau gedung lain, penyebab
terbesar kematian pada kebakaran rumah tidak disebabkan
karena terbakar tapi karena menghirup asap. Keadaan fatal
ini disebabkan karena keracunan CO, walaupun gas-gas
lain seperti sianida, phosgene dan acrolein sebagian turut
berperan. Kebanyakan korban dari kebakaran rumah, mati
jauh dari pusat api, yang mungkin terdapat pada ruangan
berbeda atau lantai yang berbeda, karbon monoksida pada
jarak jauh dapat membunuh manusia walaupun sedang
tidur atau terperangkap pada saat didalam gedung.

Sumber karbon monoksida kedua tersering yang


bersifat fatal adalah inhalasi asap knalpot mobil. Hal ini
hampir semata-mata disebabkan karena kerusakan pada
mesin, meskipun kematian sudah pernah terjadi pada saat
mobil terjebak di salju. Beberapa kematian pernah terjadi
ketika mesin sedang menyala, dan beberapa lagi dengan
kondisi jendela mobil terbuka sebagian (2-4 inchi).

b. Bunuh Diri
Sering di pakai untuk bunuh diri misalnya yaitu gas
dapur, gas hasil pembakaran kendaraan bermotor.Untuk
keperluan ini biasanya dikombinasikan dengan obat tidur.
Di Maio dan Dana melaporkan tiga kasus kematian akibat
menghirup karbon monoksida dari gas knalpot mobil
ketika berada di luar ruangan. Konsentrasi
karboksihemoglobin korban berkisar dari 58% (pada
karbon yang sudah membusuk) sampai 81%. Seluruh

25
korban ditemukan bergeletak dekat dengan pipa knalpot
mobil. Dua meninggal karena bunuh diri. Kasus ini
menggambarkan kenyataan bahwa meskipun di luar
ruangan, kematian karena menghirup karbon monoksida
dapat terjadi jika seseorang dekat dengan sumber karbon
monoksida dalam jangka waktu yang lama.

c. Pembunuhan
Kasus keracunan CO karena pembunuhan jarang
terjadi namun sebaiknya jangan diabaikan. Karena korban
sebelumnya dapat dibuat tidak sadar atau mabuk lalu
dibunuh oleh ibu yang memberi gas pada anaknya dan
kemudian bunuh diri. Pola kematian pada kasus CO harus
dievaluasi dengan perhatian penuh karena tindakan bunuh
diri dapat dianggap sebagai kematian akibat kecelakaan atau
kematian yang wajar.

6. Pemeriksaan TKP

Salah satu kewajiban dokter ahli forensik atau ahli


toksikologi forensik adalah melakukan pemeriksaan TKP pada
kematian-kematian tidak wajar, karena pemeriksaan TKP
sangat membantu dalam penentuan proses lebih lanjut.
Demikian pula pada peristiwa keracunan gas karbon
monoksida, dalam hal ini tugas seorang dokter ahli adalah:

1. Menentukan korban masih hidup atau sudah meninggal.


2. Apabila didapati korban dalam keadaan masih hidup segera
beri pertolongan. Pertolongan yang dapat diberikan pada
korban keracunan CO antara lain:
a. Segera korban dipindahkan dari sumber keracunan
(penolong memakai masker gas oksigen).
b. Berikan pernafasan buatan dengan pemberian
oksigen atau campuran oksigen dengan 5 – 7 % CO2
untuk merangsang pernafasan.
c. Terapi simptomatis lain seperti:
- Transfusi darah
- Infus glukosa untuk mengatasi koma atau
pemberian infus i.v.500 ml mannitol 20 % dalam
waktu 15 menit diikuti dengan 500 ml dextrose 5

26
% selama kurang lebih 4 jam berikutnya untuk
mengatasi cerebral odema.
- Analgetika, antibiotika, antikonvulsi.
3. Mencari sumber-sumber gas karbon monoksida (bila
memungkinkan diambil contoh udara untuk test isolasi gas).
4. Membantu mengumpulkan barang bukti (untuk
pemeriksaan toksologi melalui analisis bahan yang
terbakar).
5. Membuat catatan tentang lingkungan di TKP, mencari
informasi dari orang-orang terdekat korban atau yang berada
di sekitar TKP.
6. Menentukan apakah keracunan tersebut sesuatu yang wajar
atau tidak.
7. Apabila korban telah meninggal dan ada permintaan visum
et repertum (SPVR), maka jenasah segera diangkut ke
rumah sakit untuk dilakukan otopsi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas,
diharapkan pemeriksaan di TKP dapat membantu dalam
pemeriksaan toksikologi yang akan dilakukan.

7. Pemeriksaan Jenazah

a. Pemeriksaan luar
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red)
baik permukaan tubuh, membran mukosa, kuku jari, namun
warna ini tidak sama di seluruh tubuh misal tubuh bagian
depan, leher dan paha berwarna lebih terang dibanding
dengan yang lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat
di daerah hipostasis post mortem dan menunjukkan
kejernihan kadar COHb telah melampaui 30%. Pada
pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan pencahayaan
yang baik karena tidak semua warna cherry red yang
ditemukan dalam pemeriksaan luar jenasah sebagai
indikator pasti untuk menentukan adanya keracunan gas
karbon monoksida. Warna cherry red tidak akan ditemukan
pada jenasah yang diawetkan.

Pada keracunan gas karbon monoksida juga


ditemukan pelepuhan kulit pada area tertentu yang dikenal

27
dengan pelepuhan barbiturat, misal pada betis, pantat,
sekitar pergelangan tangan dan lutut merupakan hasil
edema kulit akibat koma yang lama, dimana terdapat
immobilitas total serta tidak adanya darah vena yang
kembali dari gerakan otot. Hal ini merupakan tanda
spesifik pada keracunan gas CO akan tetapi karena
sebagian besar kematian karena gas CO relatif cepat maka
pelepuhan ini jarang terjadi.

Eritema dan vesikel / bula pada kulit dada, perut,


luka, atau anggota gerak badan, baik di tempat yang
tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut
disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.

Pada kasus yang meragukan, jenasah korban


diperiksa dengan pencahayaan yang baik, sehingga tingkat
ketelitian dalam menentukan apakah ada atau tidaknya
warna cherry red pada permukaan tubuh dapat lebih baik.

b. Pemeriksaan dalam
Tidak ditemukan perdarahan di rongga pleura pada
keracunan CO, walau hal ini sering dihubungkan dengan
asfiksia. Inilah membedakan keracunan CO dan kehilangan
oksigen.

Pada pemeriksaan dalam penting untuk


diperhatikan dalam pengambilan sampel :

1. Pengambilan sampel darah --- lebih baik mengambil


bahan dalam keadaan segar dan lengkap, pengambilan
darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari
sebelah kanan dan sebelah kiri bila darah masih dapat
ditemukan.
2. Pada korban yang meninggal, dapat diambil setiap saat
sebelum terjadi proses pembusukan sebab:
 Post mortem tidak terbentuk ikatan CO-Hb yang
baru.
 Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap
ikatan CO-Hb yang telah terjadi.

28
Perubahan yang dapat terjadi antara lain:

1. Warna cherry red seluruh organ dalam, otot,


terkadang pulpa gigi dan sumsum tulang
2. Bintik bintik perdarahan (tanda asphyxia) pada
otot jantung, jaringan otak, conjunctiva, endocard.
3. Degenerasi anoksida terlokalisir (hepar, jantung,
ginjal dan paru)
4. Odema paru dan bronkopneumonia
5. Nekrosis otot
6. Gagal ginjal akut
7. Nekrosis bilateral dari globus pallidus
8. Edema pada globus pallidus dan subthalamicus
9. Ptechie dari substansia alba otak
10. Perlunakan korteks dan nucleus sentralis
11. Fatty degeneration dan nekrosis pada ginjal

c. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan PA menunjukkan adanya area nekrotik
dan perdarahan mikrokospis di seluruh tubuh juga terjadi
edema dan kongesti hebat pada otak, hati, ginjal dan limpa.

C. Keracunan Karbon Dioksida

Karbon dioksida (rumus kimia: CO2) atau zat asam


arang adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom
oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom
karbon. Ia berbentuk gas pada keadaan temperatur dan tekanan
standar dan hadir di atmosfer bumi. Rata-rata konsentrasi
karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm
berdasarkan volume walaupun jumlah ini bisa bervariasi
tergantung pada lokasi dan waktu. Karbon dioksida adalah gas
rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang
inframerah dengan kuat.

Karbon dioksida adalah gas yang tidak berwarna dan


tidak berbau. Ketika dihirup pada konsentrasi yang lebih tinggi

29
dari konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, ia akan terasa
asam di mulut dan menyengat di hidung dan tenggorokan.

Gas CO2 dalam kadar tinggi dapat mengganggu


kesehatan. Pada kadar 3%, menyebabkan dyspnea dan pusing
kepala. Pada kadar 10%, menyebabkan gangguan penglihatan,
tinitus, tremor dan pingsan.

BAB III
KESIMPULAN

1. Trauma thermik yang terjadi baik pada suhu tinggi maupun


pada suhu rendah dapat menyebabkan kematian yang banyak
dipengaruhi oleh beberapa hal. Trauma thermik dapat dibagi
atas 2 macam, yaitu hyperthemis dan hypothermis.
2. Pemeriksaan kematian pada korban luka bakar, antara lain :
pemeriksaan pada tempat kejadian perkara (TKP), menentukan
apakah korban masih hidup atau sudah meninggal, menentukan

30
perkiraan saat kematian, menentukan sebab/akibat dari luka
bakar, membantu mengumpulkan barang bukti, cara kematian
pada luka bakar, sebab kematian pada luka bakar, identifikasi
korban, autopsi pada korban yang meninggal karena luka bakar
thermik.
3. Pemeriksaan luar yang dilakukan meliputi kulit yaitu keadaan
luka dan luas luka, Heat Stiffening dan, lebam mayat
4. Pemeriksaan dalam yang dilakukan meliputi, system
pernapasan, jantung, hati, limpa dan kelenjar getah bening,
ginjal, saluran pencernaan, kelenjar endokrin, susunan saraf
pusat, sistem muskuloskeletal.
5. Karbon monoksida merupakan suatu gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa yang berbahaya bagi manusia.
6. Karbon monoksida merupakan hasil pembakaran yang tidak
sempurna dari senyawa karbon dan oksigen.
7. Jumlah CO yang diabsorbsi oleh tubuh tergantung pada
ventilasi semenit, durasi paparan dan konsentrasi relatif karbon
monoksida di lingkungan. Ikatan CO dengan hemoglobin
menimbulkan terjadinya penurunan kapasitas oksigen tergadap
hemoglobin dan penurunan pengiriman oksigen ke sel
berdasarkan tiga mekanisme, yaitu berkaitan dengan
hemoglobin, berkaitan dengan kompleks sitokrom oksidase
sehingga terjadi penurunan respirasi efektif intra sel, berikatan
dengan mioglobin membentuk karboksi mioglobin (COHb).
8. Kadar karboksihemoglobin pada seseorang yang meninggal
karena keracunan CO dapat sangat bervariasi, tergantung pada
sumber CO, keadaan sekitar tempat kematian, dan kesehatan
atau penyakit parut obstruktif kronik.
9. Waktu paruh karbon monoksida, jika menghirup udara ruangan
yang rata dengan air laut, yaitu sekitar 4-6 jam. Tetapi oksigen
mengurangi eliminasi waktu paruh, tergantung pada
konsentrasi oksigennya. Eliminasi waktu paruh dengan terapi
oksigen dipendekkan menjadi 40-80 menit dengan menghirup
oksigen 100% pada 1 atm, dan menjadi 15-30 menit dengan
menghirup oksigen hiperbarik.
10. Keracunan gas karbon monoksida gejala didahului dengan
sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah, berkeringat banyak,
pyrexia, pernapasan meningkat, confusion, gangguan
penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan

31
kesadaran dan sakit dada mendadak juga dapat muncul pada
orang yang menderita nyeri dada.
11. Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO,
ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry pink
color) yang tampak jelas bila kadar COHb menempati 30%
atau lebih, dan berbeda dengan lebam mayat pada kasus
kematian CO yang tertunda. Pada mayat yang didinginkan dan
pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna biasa, tidak
merah terang. Juga pada mayat yang didinginkan warna merah
terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan
daerah yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO,
jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang.
Kadang-kadang dapat ditemukan ptekiae di substansia alba bila
korban dapat bertahan hidup lebih dari ½ jam.
12. Kematian bisa disebabkan bunuh diri dan kecelakaan.

DAFTAR PUSTAKA

Algozi, Agus, 2013. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Fakultas


Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Amir A, 2007. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu


Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Darmono,2009.Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam


Penyidik KasusTindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

DR.P.V. Chadha, Karbon Monoksida, Ilmu Forensik dan Toksikologi, Edisi 5,


Penerbit Widya Medika Jakarta, 1995.
Hoediyanto-Hariadi A. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal
edisi ketujuh. 2010.

32
Homan CS, Brogan GX. Carbon Monoxide Poisoning dalam : Viccellio P
(Editor). Handbook of Medical Toxicology, First edition, Little
Brown and Co, Boston.1993
Olson, KR, Cargbon Monoxide, Poisoning & Drug Overdose, Fourth edition,
Mc. Graw Hill, Singapore, 2004.
Tomaszewksi Christian. Carbon Monoxide Poisoning, Earl Awareness and
Intervention can save live. Postgraduate Medicine online Vol. 105
No. 1 (online) January 1999.

POWER POINT /
SLIDE
PRESENTATION
33
34

Anda mungkin juga menyukai