PENDAHULUAN
I. DEFINISI
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus uteri)
masuk ke kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam
kavum uteri, bahkan kedalam vagina dengan dinding endometrium sebelah luar .
II. KLASIFIKASI
Ada beberapa macam klasifikasi dari inversio uteri.
A. Berdasarkan gradasi beratnya:
1. Inversio uteri ringan: jika fundus uteri terputar balik menonjol ke dalam
kavum uteri, tetapi belum keluar dari kavum uteri.
2. Inversio uteri sedang: jika fundus uteri terbalik masuk ke dalam vagina.
3. Inversio uteri berat: bila semua bagian fundus uteri bahkan terbalik dan
sebagian sudah menonjol keluar vagina atau vulva.
B. Berdasarkan derajat kelainannya:
1. Derajat satu (inversio uteri subtotal/inkomplit): penonjolan sampai ke kanalis
servikalis.
2. Derajat dua (inversio uteri total/komplit): penjolan sudsh sampai ostium uteri
eksternum.
3. Derajat tiga (inversio uteri total): penjolan sudah mencapai vagina atau keluar
vagina
C. Berdasarkan pada waktu kejadian:
1. Inversio uteri akut: suatu inversio uteri yang terjadi segera setelah kelahiran
bayi atau plasenta sebelum terjadi kontraksi cincin serviks uteri.
2. Inversio uteri subakut: yaitu inversio uteri yang terjadi hingga terjadi
kontraksi cincin serviks uteri.
3. Inversio uteri kronis: yaitu inversio uteri yang terjadi selama lebih dari 4
minggu ataupun sudah didapatkan gangren.
2
III. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya inversio uteri belum dapat diketahui sepenuhnya
dengan pasti dan dianggap ada kaitannya dengan abnormalitas dari miometrium.
Inversio uteri sebagian dapat terjadi apontan dan lebih sering terjadi karena prosedur
tindakan persalinan dan kondisi ini tidak selalu dapat dicegah.
Inversion uteri biasanya terjadi pada kala III persalinan atau sesudahnya.
Tekanan yang dilakukan pada fundus uteri ketika uterus tidak berkontraksi baik,
tarikan pada tali pusat, hipotonia uteri dapat merupakan awal masuknya fundus uteri
kedalam kavum uteri, dan dengan adanya kontraksi yang berturut-turut, mendorong
fundus yang terbalik kebawah. Inversion uteri dapat juga terjadi diluar persalinan
misalnya pada myoma gebiirt yang sedang ditarik untuk dilahirkan.
Ada beberapa faktor penyebab yang mendukung untuk terjadinya suatu inversio uteri
yaitu:
A. Faktor predisposisi
1. Abnormalitas uterus
a. Plasenta adhesiva
b. Tali pusat pendek
c. Anomali kongenital (uterus bikornus)
d. Kelemahan dinding uterus
e. Implantasi plasenta pada fundus uteri (75% dari inversio spontan)
f. Riwayat inversio uteri sebelumnya
2. Kondisi fungsional uterus
a. Relaksasi miometrium
b. Gangguan mekanisme kontraksi uterus
c. Pemberian MgSO4
d. Atonia uteri
B. Faktor pencetus, antara lain:
1. Pengeluran plasenta secara manual
2. Peningkatan tekanan intraabdominal, seperti batuk-batuk, bersin, mengejan
dan lain-lain.
3. Kesalahan penanganan pada kala uri, yaitu:
a. Penekanan fundus uteri yang kurang tepat
b. Penarikan tali pusat yang kuat
3
c . Penggunaan oksitosin yang kurang bijaksana
4. Partus presipitatus
V. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb :
A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan :
4
1. Nyeri yang hebat
2. Syok / tanda-tanda syok, dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai
3. Perdarahan
4. Nekrosis / gangren / strangulasi
B. Pada pemeriksaan dalam didapatkan :
1. Bila inversio uteri ringan didapatkan fundus uteri cekung ke dalam
2. Bila komplit, di atas simfisis uterus tidak teraba lagi, sementara di dalam
vagina teraba tumor lunak
3. Kavum uteri tidak ada ( terbalik )
VI. PENATALAKSANAAN
Mengingat bahaya syok dan kematian maka pencegahan lebih diutamakan pada
persalinan serta menangani kasus secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
A. Pencegahan
1. Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio
uteri, terutama pada wanita dengan predisposisinya.
2. Jangan dilakukan tarikan pada tali pusat dan penekanan secara Crede sebelum
ada kontraksi.
3. Penatalaksaan aktif kala III dapat menurunkan insiden inversio uteri.
4. Tarikan pada tali pusat dilakukan bila benar-benar plasenta sudah lepas.
B. Pengobatan7
1. Perbaikan keadaan umum dan atasi komplikasi
2. Reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan
metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya
dilakukan reposisi dengan metode operatif.
a. Manual : cara Jones, Johnson, O’Sullivan
b. Operatif:
- Transabdominal : cara Huntington, Haulstain
- Transvaginal : cara Spinelli, Kustner, Subtotal histerektomi
5
dengan jarum intravena dan penggantian cairan. Penggantian cairan yang hilang
diberikan dengan larutan kristaloid selama 15-30 menit. Volume dari resusitasi awal
dihitung sebanyak tiga kali dari perkiraan darah yang hilang. Dipertimbangkan untuk
memasang akses intravena tambahan, kesiapan anestesia, persiapan kamar operasi, dan
asisten bedah. Lakukan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dan faktor pembekuan,
golongan darah. Lakukan transfusi darah. Monitor tanda vital ibu sesering mungkin oleh
satu individu. Pasang kateter menetap untuk menilai pengeluaran urin. Pemberian
antibiotika bermanfaat untuk mencegah timbulnya sepsis paskapersalinan.
Oksitosin sebaiknya ditunda dan dicoba resposisi uterus secara manual melalui
vagina. Kebanyakan penulis merekomendasikan usaha reposisi secara manual sebelum
plasenta dilepaskan dan sebelum tindakan reposisi secara operatif dilakukan. Bila
plasenta dilepaskan sebelum reposisi intrauterin, pasien beresiko untuk mengalami
kehilangan darah dan syok. Plasenta biasanya akan mudah dilepaskan setelah reposisi.
6
uterus direposisi, tangan operator tetap didalam kavum uteri hingga timbul
kontraksi uterus yang keras dan hingga diberikan oksitosin intravena.
B. Reposisi manual cara Jones
Jari tangan yang terbungkus handscoen ditempatkan pada bagian tengah dari
fundus uteri yang terbalik, sementara itu diberikan tekanan ke atas secara lambat.
Sementara itu serviks ditarik dengan arah yang berlawanan dengan ring forceps.
7
pada fundus atau tekanan secara simultan dari tangan asisten. Bila reposisi telah
komplit, luka insisi dijahit dengan jahitan terputus dengan chromic.9,35
8
adneksa yang terperangkap di kantung inversio. Perdarahan yang terjadi
dirawat. Keadaan pangkal tuba ovarium, ligamentum rotundum dan jaringan
lain dievaluasi. Dengan bantuan sonde transuretra diidentifikasi vesika urinaria.
Selanjutnya dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus tahap II
kurang lebih 2 cm di luar introitus vagina. Setelah itu dilakukan pemotongan
melingkar lagi terhadap korpus uterus di bagian distal jahitan tahap II. Langkah
selanjutnya kedua ligamen rotundum diklem, dipotong dan dijahit dengan
chromic catgut no.2. Jika diyakini tidak ada perdarahan, tunggul uterus
dimasukkan ke dalam vagina. Operasi selesai.
VII. PROGNOSIS
Walaupun inversio uteri kadang-kadang terjadi tanpa banyak gejala dan penderita
tetap dalam keadaan baik, tetapi sebaliknya dapat pula terjadi keadaan darurat sampai
terjadi kematian penderita baik karena syoknya sendiri ataupun karena
perdarahannya. Kematian karena kasus inversio uteri cukup tinggi yaitu 15 – 75%
dari kasus. Oleh karena itu makin cepat dan tepat diagnosis ditegakkan dan segera
dilakukan tindakan reposisi, maka prognosisnya makin baik. Sebaliknya makin
lambat diatasi maka prognosisnya menjadi buruk. Akan tetapi bila penderita dapat
bertahan dengan keadaan tersebut setelah 48 jam maka prognosisnya berangsur –
angsur menjadi baik.
BAB III
KESIMPULAN
9
Inversio uteri merupakan kasus yang jarang dijumpai, walaupun demikian kita
harus cukup tanggap pada keadaan syok postpartum dengan perdarahn yang tidak
sesuai.
Penyebab inversio uteri lebih sering spontan yang berkaitan dengan abnormalitas
uterus. Selain itu inversio uteri dapat juga disebabkan oleh penanganan persalinan
yang salah.
Pembagian inversio uteri adalah inversio uteri inkomplit, komplit dan inversio total,
dan dapat timbul akut, subakut dan kronis.
Tindakan pada kasus inversio uteri adalah meliputi perbaikan keadaan umum
dengan infus, transfusi dan antibiotik, reposisi manual secara Johnson, dan bila gagal
dilanjutkan dengan tindakan operatif.
Operasi dapat perabdominal dengan teknik Houltain dan hatington dan dapat juga
pervaginam dengan teknik Spinelli atau Kustner, atau pada keadaan tertentu dapat
dilakukan histerektomi pervaginam.
Prognosis penderita tergantung dari kecepatan dan ketepatan diagnosis serta
penanganan kasus, makin dini makin prognosisnya semakin baik.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Eastman Nj, Hellman LM. Inversion of the uterus. In: William obstetrics. 18th ed,
New York: Appleton & Lange, 1989; 1005-10
2. Beck AC, Rosenthal AH. Inversion of the uterus obstetrical practice. 7 th ed,
Toronto: Baltimore, Williams & Wilkins Co, 1958: 866-71
3. Mochtar R. Sinopsis obstetri I. Edisi kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteraan
EGC, 1998; 304-6
4. Hakimi M. Ilmu kebidanan patologi & fisiologi persalinan. Edisi bahasa Indonesia,
Jakarta: Yayasan Essentia Medica, 1990; 475-80
5. Tala MR. Inversio uteri. Workshop vaginal surgery. Jakarta: Subbagian
Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri & Ginekologi FKUI/RSUPN-
CM
6. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1997: 880-2
7. Supono. Ilmu kebidanan. Edisi pertama. Bagian Obstetri & Ginekologi RSU/FK
UNSRI, 1984; 293-295
8. Sakala. The puerpurium. In: Obstetric and gynecology. Maryland: Williams and
Wilkins, 1997: 195-198
9. Wiknjosastro H, Saifuddin BA, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan. Edisi
pertama, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1996; 195-6
10. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan. Edisi kedua, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1997; 442-7
11