Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Di negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan


masalah besar namun sejumlah kematian yang cukup besar tidak dilaporkan dan tidak
tercatat dalam statistik resmi. Tingkat kematian maternal di negara-negara maju berkisar
antara 5 – 10 per 100.000 kelahiran penduduk, sedangkan di Indonesia diperkirakan sekitar
450 per 100.000 kelahiran hidup .
Penyebab kematian maternal cukup kompleks, salah satunya adalah terjadinya
perdarahan post partum . Perdarahan post partum adalah sebab penting kematian ibu, ¼
dari kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan post partum, plasenta
previa, solutio plasenta, kehamilan ektopik, abortus dan ruptur uteri) disebabkan oleh
perdarahan post partum. Yang termasuk etiologi perdarahan post partum adalah atonia
uteri, retensio plasenta, trauma jalan lahir, inversio uteri, ruptur uteri dan gangguan sistem
pembekuan darah.
Inversio uteri merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan obstetrik yang jarang
terjadi (1 per 2000 – 12.000 kelahiran), namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan
keadaan gawat dengan angka kematian yang tinggi (15 – 70%), biasanya yang terjadi
adalah syok yang berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus uteri)
masuk ke kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam
kavum uteri, bahkan kedalam vagina dengan dinding endometrium sebelah luar .

II. KLASIFIKASI
Ada beberapa macam klasifikasi dari inversio uteri.
A. Berdasarkan gradasi beratnya:
1. Inversio uteri ringan: jika fundus uteri terputar balik menonjol ke dalam
kavum uteri, tetapi belum keluar dari kavum uteri.
2. Inversio uteri sedang: jika fundus uteri terbalik masuk ke dalam vagina.
3. Inversio uteri berat: bila semua bagian fundus uteri bahkan terbalik dan
sebagian sudah menonjol keluar vagina atau vulva.
B. Berdasarkan derajat kelainannya:
1. Derajat satu (inversio uteri subtotal/inkomplit): penonjolan sampai ke kanalis
servikalis.
2. Derajat dua (inversio uteri total/komplit): penjolan sudsh sampai ostium uteri
eksternum.
3. Derajat tiga (inversio uteri total): penjolan sudah mencapai vagina atau keluar
vagina
C. Berdasarkan pada waktu kejadian:
1. Inversio uteri akut: suatu inversio uteri yang terjadi segera setelah kelahiran
bayi atau plasenta sebelum terjadi kontraksi cincin serviks uteri.
2. Inversio uteri subakut: yaitu inversio uteri yang terjadi hingga terjadi
kontraksi cincin serviks uteri.
3. Inversio uteri kronis: yaitu inversio uteri yang terjadi selama lebih dari 4
minggu ataupun sudah didapatkan gangren.

2
III. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya inversio uteri belum dapat diketahui sepenuhnya
dengan pasti dan dianggap ada kaitannya dengan abnormalitas dari miometrium.
Inversio uteri sebagian dapat terjadi apontan dan lebih sering terjadi karena prosedur
tindakan persalinan dan kondisi ini tidak selalu dapat dicegah.
Inversion uteri biasanya terjadi pada kala III persalinan atau sesudahnya.
Tekanan yang dilakukan pada fundus uteri ketika uterus tidak berkontraksi baik,
tarikan pada tali pusat, hipotonia uteri dapat merupakan awal masuknya fundus uteri
kedalam kavum uteri, dan dengan adanya kontraksi yang berturut-turut, mendorong
fundus yang terbalik kebawah. Inversion uteri dapat juga terjadi diluar persalinan
misalnya pada myoma gebiirt yang sedang ditarik untuk dilahirkan.

Ada beberapa faktor penyebab yang mendukung untuk terjadinya suatu inversio uteri
yaitu:
A. Faktor predisposisi
1. Abnormalitas uterus
a. Plasenta adhesiva
b. Tali pusat pendek
c. Anomali kongenital (uterus bikornus)
d. Kelemahan dinding uterus
e. Implantasi plasenta pada fundus uteri (75% dari inversio spontan)
f. Riwayat inversio uteri sebelumnya
2. Kondisi fungsional uterus
a. Relaksasi miometrium
b. Gangguan mekanisme kontraksi uterus
c. Pemberian MgSO4
d. Atonia uteri
B. Faktor pencetus, antara lain:
1. Pengeluran plasenta secara manual
2. Peningkatan tekanan intraabdominal, seperti batuk-batuk, bersin, mengejan
dan lain-lain.
3. Kesalahan penanganan pada kala uri, yaitu:
a. Penekanan fundus uteri yang kurang tepat
b. Penarikan tali pusat yang kuat

3
c . Penggunaan oksitosin yang kurang bijaksana
4. Partus presipitatus

IV. GEJALA KLINIS


Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas, sehingga
dignosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini. Syok merupakan gejala yang
sering menyertai suatu inversio uteri. Syok atau gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai
dengan jumlah perdarahan yang terjadi, oleh karena itu sangat bijaksana bila syok
yang terjadi setelah persalinan tidak disertai dengan perdarahan yang berarti untuk
memperkirakan suatu inversio uteri. Syok dapat disebabkan karena nyeri hebat, akibat
ligamentum yang terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan serta tarikan pada
peritoneum atau akibat syok kardiovaskuler.
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula terjadi
perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila plasenta lepas
atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada kontraksi uterus.
Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang telah ada sebelumnya
bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90% kematian terjadi dalam dua
jam postpartum akibat perdarahan atau syok.
Inversion uteri yang terjadi akut pada akhir persalinan menimbulkan gejala
misalnya, syok, nyeri keras, dan pendarahan. Keadaan inversion ini sering akibat dari
plasenta akreta. Pada inversion uteri yang kronik gejalanya dapat berupa metroragia,
nyeri punggung, anemia, dan banyak keputihan.
Mengingat kasus ini jarang didapatkan dan kadang-kadang tanpa gejala yang
khas maka perlu ketajaman pemeriksaan dengan cara :
1. Meningkatkan derajat kecurigaan yang tinggi
2. Palpasi abdomen segera setelah persalinan
3. Periksa dalam
4. Menyingkirkan kemungkinan adanya ruptur uteri

V. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb :
A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan :

4
1. Nyeri yang hebat
2. Syok / tanda-tanda syok, dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai
3. Perdarahan
4. Nekrosis / gangren / strangulasi
B. Pada pemeriksaan dalam didapatkan :
1. Bila inversio uteri ringan didapatkan fundus uteri cekung ke dalam
2. Bila komplit, di atas simfisis uterus tidak teraba lagi, sementara di dalam
vagina teraba tumor lunak
3. Kavum uteri tidak ada ( terbalik )

VI. PENATALAKSANAAN
Mengingat bahaya syok dan kematian maka pencegahan lebih diutamakan pada
persalinan serta menangani kasus secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
A. Pencegahan
1. Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio
uteri, terutama pada wanita dengan predisposisinya.
2. Jangan dilakukan tarikan pada tali pusat dan penekanan secara Crede sebelum
ada kontraksi.
3. Penatalaksaan aktif kala III dapat menurunkan insiden inversio uteri.
4. Tarikan pada tali pusat dilakukan bila benar-benar plasenta sudah lepas.
B. Pengobatan7
1. Perbaikan keadaan umum dan atasi komplikasi
2. Reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan
metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya
dilakukan reposisi dengan metode operatif.
a. Manual : cara Jones, Johnson, O’Sullivan
b. Operatif:
- Transabdominal : cara Huntington, Haulstain
- Transvaginal : cara Spinelli, Kustner, Subtotal histerektomi

Keberhasilan penatalaksanaan dari inversio uteri tergantung dari deteksi penyakit


yang lebih cepat. Semakin lama uterus terbalik maka semakin sulit untuk
mengembalikannnya. Terapi terhadap hipovolemia dan syok sebaiknya diberikan segera

5
dengan jarum intravena dan penggantian cairan. Penggantian cairan yang hilang
diberikan dengan larutan kristaloid selama 15-30 menit. Volume dari resusitasi awal
dihitung sebanyak tiga kali dari perkiraan darah yang hilang. Dipertimbangkan untuk
memasang akses intravena tambahan, kesiapan anestesia, persiapan kamar operasi, dan
asisten bedah. Lakukan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dan faktor pembekuan,
golongan darah. Lakukan transfusi darah. Monitor tanda vital ibu sesering mungkin oleh
satu individu. Pasang kateter menetap untuk menilai pengeluaran urin. Pemberian
antibiotika bermanfaat untuk mencegah timbulnya sepsis paskapersalinan.
Oksitosin sebaiknya ditunda dan dicoba resposisi uterus secara manual melalui
vagina. Kebanyakan penulis merekomendasikan usaha reposisi secara manual sebelum
plasenta dilepaskan dan sebelum tindakan reposisi secara operatif dilakukan. Bila
plasenta dilepaskan sebelum reposisi intrauterin, pasien beresiko untuk mengalami
kehilangan darah dan syok. Plasenta biasanya akan mudah dilepaskan setelah reposisi.

A. Reposisi manual cara Johnson


Pada kebanyakan kasus plasenta telah lepas, jika plasenta belum lepas atau sudah
lepas tetapi belum dilahirkan maka plasenta dilepaskan setelah reposisi berhasil
atau dilakukan bersama-sama. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi maka
dapat terjadi perdarahan hebat. Reposisi manual yang tervaforit adalah dengan
metode Johnson (1949). Teknik dari metode Johnson yaitu memasukkan seluruh
tangan ke dalam jalan lahir, sehingga ibu jari dan jari-jari yang lain pada cervical
utero junction dan fundus uteri dalam telapak tangan. Uterus diangkat ke luar dari
rongga pelvis dan dipertahankan di dalam rongga abdomen setinggi umbilikus.
Tindakan ini membuat peregangan dan tarikan pada ligamentum rotundum akan
memperlebar cincin servik, selanjutnya akan menarik fundus uteri ke arah luar
melewati cekungan. Bila spasme miometrium dan kontriksi cincin menghambat
reposisi dapat diberikan anestesi seperti halothane atau tokolitik . MgSO4 dapat
diberikan intravena 1 g permenit selama 4 menit. Bila tidak efektif dapat
diberikan terbutaline 0,125-0,25 mg intravena, ritrodrine 0,150 mg intravena.
Bahkan nitroglycerin dapat digunakan untuk secara efektif merelaksasikan cincin
konstriksi menggantikan kebutuhan akan anestesia umum.Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan maka posisi tersebut dipertahankan selama 3 – 5 menit
hingga fundus uteri berangsur – angsur bergeser dari telapak tangan. Setelah

6
uterus direposisi, tangan operator tetap didalam kavum uteri hingga timbul
kontraksi uterus yang keras dan hingga diberikan oksitosin intravena.
B. Reposisi manual cara Jones
Jari tangan yang terbungkus handscoen ditempatkan pada bagian tengah dari
fundus uteri yang terbalik, sementara itu diberikan tekanan ke atas secara lambat.
Sementara itu serviks ditarik dengan arah yang berlawanan dengan ring forceps.

C. Reposisi manual cara O’Sullivan


O’Sullivan pertama kali menggunakan tekan hidrostatis untuk mereposisi
inversio uteri pueperalis (1945). Dua liter cairan garam fisiologis ditempat pada
tiang infus dan lebih kurang dua meter dari permukaan lantai. Dua buah tube
karet ditempatkan pada fornik posterior vagina. Sementara itu cairan dibiarkan
mengalir cepat, dan tangan operator menutup introitus untuk mencegah keluar
cairan. Dinding vagina mulai teregang dan fundus uteri mulai terangkat. Setelah
inversio terkoreksi, cairan dalam vagina dikeluarkan secara lambat. Kemudian
pasien diberi 0,5 mg ergonovine intravena. Lalu diberikan infus 1000 cc
dekstrose 5% dengan oksitosin 20 unit. Reposisi dari uterus biasanya didapatkan
dalam 5-10 menit.

D. Reposisi operatif cara Huntington


Pada tindakan reposisi operatif perabdominam sebaiknya dicoba dahulu dengan
cara Huntington. Pendekatan Huntington yaitu setelah tindakan laparatomi
dilanjutkan dengan menarik fundus uteri secara bertahap dengan bantuan forsep
Allis. Forsep Allis dipasang + 2 cm di bawah cincin pada kedua sisinya,
kemudian ditarik ke atas secara bertahap sampai fundus uteri kembali pada
posisinya semula.
Selain tarikan ke atas maka dorongan dari luar ( pervaginam ) oleh asisten akan
mempermudah pelaksanaan prosedeur tersebut.

E. Reposisi operatif cara Haultin


Pada reposisi dengan cara Haultin, dilakukan insisi longitudinal sepanjang
dinding posterior uterus dan melalui cincin kontriksi. Jari kemudian dimasukkan
melalui insisi ke titik di bawah fundus uteri yang terbalik dan diberikan tekanan

7
pada fundus atau tekanan secara simultan dari tangan asisten. Bila reposisi telah
komplit, luka insisi dijahit dengan jahitan terputus dengan chromic.9,35

F. Reposisi operatif cara Spinelli


Tindakan operatif menurut Spinelli dilakukan pervaginam yaitu dengan cara
dinding anterior vagina dibuat tegang berlawanan dengan arah tarikan dari
retraktor dan dilakukan insisi transversal tepat di atas portio anterior. Kemudian
plika kandung kemih dipisahkan dari serviks dan segmen bawah rahim. Insisi
mediana dibuat melalui serviks pada jam 12, secara komplit membagi cincin
konstriksi. Insisi dilakukan pada linea mediana sampai fundus uteri. Uterus
dibalik dengan cara telunjuk mengait ke dalam insisi pada permukaan
endometrium yang terbuka dan membuat tekanan yang berlawanan dengan ibu
jari pada bagian peritoneal.

G. Reposisi operatif cara Kustner


Tindakan operatif menurut Kustner dilakukan pada inversio uteri kronis.
Dengan cara membuka dinding posterior kavum douglas. Dilakukan kolpotomi
transversa transvaginal dengan insisi sedalam ketebalan serviks pada jam 6
sampai dinding posterior uterus. Insisi dibuat sepanjang garis putus-putus
seperti pada gambar 8. Kemudian dengan menggunakan ibu jari uterus direversi
sepanjang sisi insisi. Setelah uterus direversi, insisi dinding posterior uterus dan
servik diperbaiki, demikian juga dengan insisi transversa dan kolpotomi pada
vagina. Luka ditutup dengan jahitan terputus dan uterus ditempatkan kembali
ke dalam kavum pelvis.
Bila inversio uteri sudah terjadi gangren atau inversio uteri terjadi pada
wanita yang usianya sudah mendekati akhir masa reproduksi dapat dilakukan
histerektomi pervaginam.
Kerugian dari teknik ini adalah mempunyai resiko yang besar untuk
terjadinya perlengketan pelvis. Pada kehamilan selanjutnya dapat terjadi
ruprura uteri yang tersembunyi.

H. Subtotal vaginal histerektomi


Dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus dengan benang zeyde
no.1 untuk hemostasis. Kemudian dilakukan sayatan melingkar pada korpus
uterus distal dari jahitan sedikit demi sedikit sehingga tidak mengenai organ

8
adneksa yang terperangkap di kantung inversio. Perdarahan yang terjadi
dirawat. Keadaan pangkal tuba ovarium, ligamentum rotundum dan jaringan
lain dievaluasi. Dengan bantuan sonde transuretra diidentifikasi vesika urinaria.
Selanjutnya dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus tahap II
kurang lebih 2 cm di luar introitus vagina. Setelah itu dilakukan pemotongan
melingkar lagi terhadap korpus uterus di bagian distal jahitan tahap II. Langkah
selanjutnya kedua ligamen rotundum diklem, dipotong dan dijahit dengan
chromic catgut no.2. Jika diyakini tidak ada perdarahan, tunggul uterus
dimasukkan ke dalam vagina. Operasi selesai.

VII. PROGNOSIS
Walaupun inversio uteri kadang-kadang terjadi tanpa banyak gejala dan penderita
tetap dalam keadaan baik, tetapi sebaliknya dapat pula terjadi keadaan darurat sampai
terjadi kematian penderita baik karena syoknya sendiri ataupun karena
perdarahannya. Kematian karena kasus inversio uteri cukup tinggi yaitu 15 – 75%
dari kasus. Oleh karena itu makin cepat dan tepat diagnosis ditegakkan dan segera
dilakukan tindakan reposisi, maka prognosisnya makin baik. Sebaliknya makin
lambat diatasi maka prognosisnya menjadi buruk. Akan tetapi bila penderita dapat
bertahan dengan keadaan tersebut setelah 48 jam maka prognosisnya berangsur –
angsur menjadi baik.

BAB III
KESIMPULAN

9
Inversio uteri merupakan kasus yang jarang dijumpai, walaupun demikian kita
harus cukup tanggap pada keadaan syok postpartum dengan perdarahn yang tidak
sesuai.
Penyebab inversio uteri lebih sering spontan yang berkaitan dengan abnormalitas
uterus. Selain itu inversio uteri dapat juga disebabkan oleh penanganan persalinan
yang salah.
Pembagian inversio uteri adalah inversio uteri inkomplit, komplit dan inversio total,
dan dapat timbul akut, subakut dan kronis.
Tindakan pada kasus inversio uteri adalah meliputi perbaikan keadaan umum
dengan infus, transfusi dan antibiotik, reposisi manual secara Johnson, dan bila gagal
dilanjutkan dengan tindakan operatif.
Operasi dapat perabdominal dengan teknik Houltain dan hatington dan dapat juga
pervaginam dengan teknik Spinelli atau Kustner, atau pada keadaan tertentu dapat
dilakukan histerektomi pervaginam.
Prognosis penderita tergantung dari kecepatan dan ketepatan diagnosis serta
penanganan kasus, makin dini makin prognosisnya semakin baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Eastman Nj, Hellman LM. Inversion of the uterus. In: William obstetrics. 18th ed,
New York: Appleton & Lange, 1989; 1005-10
2. Beck AC, Rosenthal AH. Inversion of the uterus obstetrical practice. 7 th ed,
Toronto: Baltimore, Williams & Wilkins Co, 1958: 866-71
3. Mochtar R. Sinopsis obstetri I. Edisi kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteraan
EGC, 1998; 304-6
4. Hakimi M. Ilmu kebidanan patologi & fisiologi persalinan. Edisi bahasa Indonesia,
Jakarta: Yayasan Essentia Medica, 1990; 475-80
5. Tala MR. Inversio uteri. Workshop vaginal surgery. Jakarta: Subbagian
Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri & Ginekologi FKUI/RSUPN-
CM
6. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1997: 880-2
7. Supono. Ilmu kebidanan. Edisi pertama. Bagian Obstetri & Ginekologi RSU/FK
UNSRI, 1984; 293-295
8. Sakala. The puerpurium. In: Obstetric and gynecology. Maryland: Williams and
Wilkins, 1997: 195-198
9. Wiknjosastro H, Saifuddin BA, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan. Edisi
pertama, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1996; 195-6
10. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan. Edisi kedua, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1997; 442-7

11

Anda mungkin juga menyukai