Anda di halaman 1dari 74

MANAQIB

WALI-WALI KETURUNAN
NABI MUHAMMAD SAW
1

1
- Sekilas Sejarah salaf Al-Alawiyin
- AL IMAM ISA AR-RUMI
- AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR
- AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR
- AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR
- AL IMAM ALI KHALI' QASAM
- AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH
- AL IMAM AL FAQIH AL MUQADDAM MUHAMMAD
- AL IMAM ALWI AL GHUYUR
- Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad as Saqqaf (Tarim)
- AL IMAM ALI SHAHIBUD DARK
- AL HABIB UMAR AL MUHDHOR
- AL HABIB ABDULLAH BIN ABU BAKAR AS SAKRAN
- AL HABIB AHMAD BIN ABU BAKAR AS SAKRAN
- AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN
- Al-Habib Abu Bakar Sakran bin Abdurrahman As-Seggaf
- Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib

2
Sekilas SejarahSalaf Al-Alawiyin
Sekilas sejarah Salaf Al-alawiyin yang disampaikan oleh Sayid Muhammad
Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih Al
Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.) Diterjemahkan dari
buku,Sirah As-Salaf min Bani 'Alawy Al-Husainiyin, oleh Sayid Muhammad
Ahmad Assyathiri, terbitan 'Alam AI-Ma'rifah, Cetakan I, 1405 H, Jeddah, Saudi
Arabia
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam
sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat.
Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf
pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang
mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas semua.
Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak
pengetahuan tentang sejarah kita – ia merupakan bidang perselisihan dalam
pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak adanya, di
antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan penyelidikan secara teliti
dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa
dirinya sangat antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf tersebut.
Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang benar-
benar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitab-
kitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga dapat dimengerti
secara jernih dan mudah dicerna.
Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak
ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena
keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam
menjalankan kewajiban itu.
Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat
atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis
yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang sangat
mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari
padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus.

• Siapa Salaf ?
Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum,
yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan
khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua, dan ketiga
Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabi’in
dan tabi’it-tabi’in.
3
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan
itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu
mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah Al-Haddad [1] membatasi
penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke atas
“Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah orang-orang di mana kita tunduk
sepenuhnya (dalam segala hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang
kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita ‘laki-laki’ (yakni kita herhak mengikuti
atau menolak sesuai dengan dalil).”
Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang
datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan
murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi istilah
ulama Hadramaut terdahulu – sampaipun mereka yang akhir-akhir ini masih
bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka yang saleh. di
mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya

• Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin


Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan,
khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara
(fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi
pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat
seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang
penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama
bertahun-tahun.
Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-tokoh yang menonjol
– berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman.
Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir
Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-
tokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi
sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat
terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin
rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai
mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana kacau
itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan
di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah
menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi
pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir
mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah
semestinya.
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan
menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk

4
tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaran-
pelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang
ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik – menurut pandangan
mereka – akan selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian
segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin
harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus
terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah
di tengah medan pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya
Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan
perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu
memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak
melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus
menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian
Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan),
negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar,
hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta
dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana
tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik
di negeri Irak maupun di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huru-
hara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya
ketenangan dan menyusahkan hati.
Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya
bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan
masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu
masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya
berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas penduduk
Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga
terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah
kecil itu, telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau’an yang
bersimpati kepada Ahlulbait.
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima
kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka,
yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah,
sebagai akan dituturkan kemudian.

5
• Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin
Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik
dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah.
bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu
berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH (ajaran-ajaran
nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan
utuh secara Islam.
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut pandangan kami
dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut :

Tahap — Abad (Hijriah) — Zaman


Pertama — Ke-3 s/d Ke-7 — Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih Al-
Muqaddam
Kedua — Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah Al-
Haddad
Ketiga — Abad ke 11 s/d ke 13.
Keempat — Ke-14 s/d Kini

Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh
tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar
atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut :

Tahap —————- Gelar


Pertama ————– Al-Imam
Kedua —————- As-Syech
Ketiga —————- Al-Habib
Keempat ————– As-Sayid

Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin


pada masing-masing tahap.
Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sebutan-
sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja –
seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi
mereka.

TAHAP PERTAMA
Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki
keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran
dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin
telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri

6
dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan sehari-hari
benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam
pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah.
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir
dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika itu
harus melawan golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan senjata,
sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas
di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi)
Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah
itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan
ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang bersifat mengawasi dan
membimbing (para penguasa) demi tercapainya kepentingan umum, tanpa
berambisi memegang tampuk kekuasaan secara praktis.
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid (dalam
arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti
diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal dengan
gelar “Imam” seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain.
Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafi’i
dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama
seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari
negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga
mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan
sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang
pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu.
Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman
dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak,
sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman,
kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan
beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga
keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan
itu.

• Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin


Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir Hadist,
Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan
lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja
ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada

7
tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf
sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata.

• Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin


Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah:
kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim).
Sifat ini diimbangi dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas dan tidak
kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan bidang
keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam
kesempatan-kesempatan tertentu.
Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi
berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya
dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan santun hal ini
berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh
ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima “Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan
Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al
Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam
suasana damai.

• Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar


Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa
tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup
bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru merupakan
watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi
kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa
penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping
terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang
selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan stabil.
OIeh karena itu, seorang Alawi – seperti halnya penduduk Hadramaut
pada umumnya – mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti:
Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun
agama.
Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik mengunjungi Irak — negeri
asal mereka – untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa harta
kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad
bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di
negeri ini.
Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh
Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari keturunan

8
Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan
Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama,
yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak
berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari
keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita
jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali
nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli
Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam
Salim bin Bashri (wafat 604 H.)
Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi
bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan
Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan Alawiyin
seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa
Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian
silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad
bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi ( terkenal dengan gelar
Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang
putranya, yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih Al Muqaddam,
dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang
inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh
Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya
Muhammad Al Bagir.
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin
Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad
Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah
Azzahra’ putri Rasul Allah saw.

TAHAP KEDUA (a)


Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah – dari
abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al
Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad.
Tokoh – tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila kita hendak
membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara
tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] ,
Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus*8+ , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus *9+ dengannya tanpa
di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini,
dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka,
tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya
ilmiah maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka

9
yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan
kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak
dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam,
sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya,
baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya
memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup
besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak
di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah,
terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan,
tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek
setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya
tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami
peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu
kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan
kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini –
di samping pertanian – telah juga berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka
mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman.
Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain,
disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-
negara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka
lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara
demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam
negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan
mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja.

Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai


kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa,
mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus,
dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan
membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan
semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan
oleh syari’at.
Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah
dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal di
hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan – tokoh ahli
Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke
negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus
dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan

10
juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh
seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru
berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan
memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu
Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah,
demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu,
sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk
menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu
Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan
dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia
meletakkan pedang menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam
itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam
merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segi-
segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya
Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak
menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muragga’at),
mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang melakukan cara-
cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihan-
latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya
bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan
bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah
“Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di
dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh
Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di
dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat
mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku
dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib
Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau
petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf,
tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas

11
kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun
pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para
tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad
menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap
zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta
yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal,
yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu,
mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya,
menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan,
membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk
menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian
dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa,
bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun
mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-soal
tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid),
namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal,
seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali
serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak
mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan
dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang
mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan seandainya dapat
dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” *10+.

TAHAP KEDUA (b)


Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi
dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi
minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa
penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat
atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas.
Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang
tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata
mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani,
sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka
dan syahwat.

12
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak
melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan
penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau
usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik
sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf,
mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi
perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan
keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin
tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan
batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti di
riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360 guci (zier).
setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Al masyra’ Ar rawiy bercerita tentang kekayaan Al-habib
Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.)
Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di
Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya
tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah
yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi
tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya.
Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang
Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan
Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak
kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar,
namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta
laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada
waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis
kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara
pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca
surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah
seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong
seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal,
tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua
itu di dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Abdullah Al-
A’idarus ( yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang
hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu
para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam

13
Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30
ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh Al-
A’idarus ( keponakan al-A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja
India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping
hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan
serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu
memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran.
Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan
kepentingan umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran
tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada
fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan
ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara
keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-
tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu
dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu
berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan
dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun
mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan
beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacam itu hanyalah merupakan
tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di
samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacam ini
memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus
dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka
sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada
yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap
sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai
“karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula
dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan
oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh sebagian penulis
sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip
syara’, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena
mereka telah meyakini faham “wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk
menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh
sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu
cukup dikenal dalam sejarah.

14
Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat
mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam
suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah
dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan
dosa, apalagi kufur. Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu
disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.

• Organisasi Alawiyin “An Naqabah”


Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-
cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat
suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka. Cukuplah bagi
golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang
secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga.
Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah
menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin
guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka,
melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang
bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan ” Naqabah”.
Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada
akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus
terpilih sebagai Naqib. Dewan “Naqabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang
dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan
oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang
dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang
disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam’iyah,
nornor 8, tahun 1357 H.
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang
dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran
syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah
ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk
disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing
merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku,
sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annaqabah” *atau Naqib para
Naqib+ yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”. Setiap
anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula
dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di
samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh
Alawiyin.

15
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan
menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara
boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap
melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat
tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. ‘Tindakan Naqib
akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang
benar.
Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami
sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al
Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu,
yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu
terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang
diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta
pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang.
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan
tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para
nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali
kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain-lain,
menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah
Habib Abdullah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar
Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat
Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail
untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib
Abdullah Al-A’idarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi
telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya –
setelah pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al-A’idarus menerima.
Pengganti A1-A’idarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat
tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus
(wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041
H.).
Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan
sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun
kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata
karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang
memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang
tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada dasarnya
adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul
senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang
berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian.

16
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli
tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya,
yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga
sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka
telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu. namun ada seorang
tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan
itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya
gagal .
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua
tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi
terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang
yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan
mayoritas yang menyetujui.
Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini
terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup
pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir
hilang.

TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H.
Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah Al-
Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al
Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum – berada di bawah
tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas tokoh-
tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang
peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini
adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai tokoh puncak
golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih
(wafat 1163 H.).

• Hijrah Kaum Alawiyin


Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah – melebihi masa-masa
sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian
berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan
Malaysia) pada abad-abad berikutnya.
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti
telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap
pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi
masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih

17
besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka
Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi
perwujudan cita-cita mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu
menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila
mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan luar
biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang kendali
perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga kekuasaan
eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain
yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika
Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang
kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih
dapat disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India),
Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores),
Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di
antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah
Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka
yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas
di Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka lainnya dari
Hadramaut – ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah),
tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negara-
negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk,
Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka
tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam tersebut di
atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan hubungan
kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan
penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong keluarga
bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni rnembawa isteri-
isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas
tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah
yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara
tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat
Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru
beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri asal berkurang,
sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup,

18
untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat
istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal,
mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan
daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal
abad ketigabelas H.
Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang
hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap
tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini –
namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara
sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini.
Yaitu dengan menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat
mereka merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi
yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal
demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi
Assaqaf (wafat 1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut – baik
bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah
merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri sejak
dahulu kala.

• Para Munshib
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu
sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul
pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas,
Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi,
Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan
lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan
bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan
ini – yang menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha mendamaikan
suku-suku yang bersengketa – khususnya sengketa antara suku-suku yang
bersenjata – menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang
lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan
bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M), sesuai
dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak
jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan
jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila
dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan,

19
maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama
makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya
perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa
yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.

• Golongan Alawiyin dan Politik


Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan
Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini
hanya tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin,
mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan
politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan dan
maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan
hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani, Zain
Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka bergaul
dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat rnenyurat
dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk
dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti
hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka
tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar melakukan
kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang
cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah;
mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi,
atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan
mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang
terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya,
seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah
Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin AI-
A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari Yaman,
peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu
merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”*13+
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah
disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu
pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran
tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang
hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek
seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?

20
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha,
apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik
untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudara-
saudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri
Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah berhasil
mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak
dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadang-
kadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap.
Suasana demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang
tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan.

TAHAP KEEMPAT
Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga kini. Yakni, di dalam
pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat
membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah salaf
kita yang terdahulu.
Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini – dibanding dengan tahap-
tahap sebelumnya – merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di hampir
semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini
merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam.
Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan
tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta
sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa, makin
surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar.
Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang
‘hidup’, yang makin lama makin maju (14)

• Diagnosa dan Pengobatan


Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya
pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang
amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra
mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki,
untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin
adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri.
Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita, sekolah-
sekolah kita, majlis-majlis ta’lim kita sekarang merupakan sarana pendidikan
yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh
salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah
kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu.

21
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai
derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping
tersebarnya penyakit-penyakit sosial.
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan,
padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti
cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua tindakan
yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian
pula halnya dengan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, “akhir umat ini
tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki
pendahulunya “, demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul
Allah saw.
Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang
membela dan menegakkan ajaran-Nya.
*************
CATATAN KAKI / FOOTNOTE
01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada
Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an
seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami penyakit sehingga
menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan
kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. Al-
Haddad telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru
kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari’at,
Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru
untuk mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang
disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa buku
yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain : Annasha’ih
Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain.
Wafat di Tarim 1132 H.
02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar
AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu,
khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang.
Wafat 895 H.
03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi
bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al
Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan
Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang
berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara),
dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut
pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu
pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.

22
04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah
bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani
Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah
pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian
mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut.
05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad
bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah
tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah
mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh
Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang
perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid
Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk
tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al
Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu
kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk
menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut
kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al
Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al Quthbiyah di dalam
bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih
Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah-
Wafat 653 H.
06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy
bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak
berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri,
saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh
Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena
kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik
dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah
mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjid-
mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu
tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi
ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku,”
kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari
kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : “Manusia
semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal
dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan
amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah
adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati
dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada tahun
819 H.

23
07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu,
tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak
pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan
agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa keluarga
yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal
dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar A1-
A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung
diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus bertindak sebagai
gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa. Ketika
AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun. Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat
untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib,
namun menolak dan menyarankan agar mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini
untuk menggantikan pamannya. Ulama besar yang bertindak menyebarluaskan
ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan
hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab Almasyra’ dinyatakan:
“Dalam kedermawanan bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu’
bagaikan seorang fakir”. Sangat senang menampakkan nikmat Allah atas dirinya
dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan
rumah yang bagus. Wafat 865 H.
09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang
Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya
sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah
selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan
ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi
kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin
sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan
sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak
jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu kepentingan, baik yang
bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain Al-
Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan
cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di
samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia
menguasai soal pertanian dan bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk
kepada mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia
sering mengobati mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041
H
10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Imam Al-Ghazzali dan
Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik
dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan

24
fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam kitab-kitab itu.
11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah
menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia
meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulama-
ulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk
menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota suci
Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad
kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin Alwi (sudara
kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat
ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung halaman untuk
memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai da’i dan
mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh murid
telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah putra-
putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada tahun 731
H
12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang
datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu
pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum
kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana
Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan
menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat
1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini
untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan
mendampinginya
14. Kendati suasana umum amat suram — pada tahap ini – namun ada juga
tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial
seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi – Shohibul Maulid Simtud
Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas – (wafat 1334 H.),
Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib
Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al
Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian
hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin
secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di
berbagai penjuru.

Wallahu A`lam…

25
AL IMAM ISA AR-RUMI
Abu Muhammad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-
Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib. Beliau seorang imam besar ilmu agama, dibesarkan dan di didik ilmu
hadits, ilmu fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali
al-Uraidhi.
Imam Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerah-
merahan yang merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam
Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan.
Beliau juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib, karena beliau mempunyai
rupa putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum,
sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan kedudukannya sebagai pemimpin para
kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, nama
beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun
gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna
biru. Imam Isa bin Muhammad wafat sekitar tahun 270 hijriyah di Basrah, Iraq.
Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang
anak perempuan, diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan
nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa al-
Rummi adalah :
a. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal,
Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman.
Mereka tidak mempunyai keturunan
b. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja’far,
Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad al-
Muhajir.

AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR

Al-Imam Ahmad Al-Muhajir (820-924) Juga


dikenal dengan panggilan Al-Imam Ahmad
bin Isa merupakan keturunan Ali bin Abu
Thalib dan Fatimah az-Zahra. Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Isa ar-Rumi
bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi
bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-
Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu
Thalib. Diriwayatkan bahwa ia lahir pada
tahun 241 Hijriyah (820 Masehi) walaupun
ada pula yang menyebut 260 Hijriyah.

26
Hijrah ke Hadramaut
Imam Ahmad bin Isa dinamakan Al-Muhajir karena ia meninggalkan
Basrah, Irak pada zaman pemerintahan Khalifah Abbassiyah yang berpusat di
Baghdad, pada tahun 317H (896 M). Mula-mula ke Madinah dan Mekkah,
kemudian pada tahun 318 H dari Mekkah ke Yaman kurang lebih sekitar tahun
319 H.
Beliau berhijrah disebabkan karena banyaknya fitnah yang terjadi di Irak
pada waktu itu. banyak para Ahlul Bait keturunan Rasulullah diburu atau
bahkan dibunuh karena pemerintah khawatir kalau mereka mau mengambil-
alih kekuasaan. Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke
Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam
perjalanan adalah anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya; Alwi,
Jadid dan Basri.
Ia wafat pada tahun 345h (924 M) di Husayyisah, sebuah kota antara
Tarim dan Sewun, Hadramaut. Makamnya di atas sebuah bukit umumnya salah-
satu yang pertama kali diziarahi oleh para pengunjung yang datang ke
Hadramaut.
Keturunan dan status
Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia
keturunan:
1. Muhammad (Keturunannya tersebar di negri Baghdad )
2. Abdullah / Ubaidillah (Abu Alawy). Lahir di Basrah dan meninggal pada
383 H di Somal, Yaman.
1. Basri
2. Jadid
3. Alwi al-Awwal
1. Muhammad
1. Alwi ats-Tsani
1. Salim
2. Ali Khali' Qasam
1. Muhammad Shahib Mirbath
2. Abdullah
3. Husain
Semua para sayyid dari keluarga BaAlawi, Hadramaut bernasab
kepadanya. Sebagian besar para Walisongo di Indonesia juga adalah keturunan
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa.
Imam Ahmad Al-Muhajir ialah seorang Imam Mujtahid, yang lebih banyak
diikuti daripada mengikuti.

27
Gelar al-Muhajir.
Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada Imam
Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut. hanya
Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula
orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang
berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang
timbul.
Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Basrah ke Hadramaut
karena sebab-sebab perbaikan yang diperlukan, diantaranya adalah mencari
ketenangan demi menyelamatkan agamanya dan agama para pengikutnya ke
tempat yang aman. Hijrah yang dilakukan oleh al-Muhajir bukanlah sesuatu
yang baru, tetapi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sepuluh pemimpin
dari kalangan keluarga Nabi saw, seperti Rasulullah saw dan keluarganya yang
hijrah dari Mekkah ke Madinah, Imam Ali bin Abi Thalib hijrah dari Hijaz ke Iraq,
yang diikuti oleh anak dan cucunya setelahnya seperti Imam al-Husein bin Ali,
Zaid bin Ali bin Husein, Muhammad al-Nafsu al-Zakiyah bin Abdullah al-Mahdh
bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib serta saudaranya
Ibrahim dan Idris, kakek Bani Adarisah di Maghrib dan lainnya.
Sedangkan al-Muhajir hijrah dari Basrah ke Hadramaut disebabkan
timbulnya fitnah, bencana dan kedengkian yang telah mewabah pada
masyarakat Iraq, berkuasanya para ahli bid’ah dan banyaknya penghinaan
terhadap para syarif Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang mereka
rasakan, banyaknya para pencuri dari kalangan orang-orang hitam, dan
perbuatan yang tidak pantas terhadap wanita kaum muslimin serta banyaknya
pembunuhan, di samping itu mereka juga mencaci maki khalifah Usman, Ali,
Tolhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah, maka pada tahun 317 hijriyah, Imam al-
Muhajir hijrah ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang.[4]
Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga
cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Anak Imam Ahmad yang bernama Muhammad
tetap tinggal di Iraq untuk menjaga harta Imam Ahmad al-Muhajir, sampai
beliau mendapat keturunan dan meninggal di sana.
Dalam majalah al-Rabithah, jilid 5 halaman 296 dijelaskan bahwa, .Imam
Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut tidak untuk mencari kekayaan dunia,
karena di Hadramaut tidak ada sesuatu untuk dicari. Barang siapa mendengar
berita tentang negeri Hadramaut, maka dapat dikatakan bahwa Sayid Ahmad
bin Isa dan keturunannya tidaklah hijrah dari negeri Iraq yang subur ke negeri
yang tandus dan tidak dapat ditemukan adanya banyak makanan, akan tetapi
beliau hijrah bersama keluarga dan anaknya karena menjaga diri dan agamanya
dari fitnah dan kekejaman bala tentara kerajaan’.

28
Sebelum ke Hadramaut, beliau melakukan perjalanan melalui Hijaz pada
tahun 317 hijriyah, bersama sebagian maula dan anak pamannya seperti kakek
dari keluarga al-Ahadilah dan al-Qudaim, dan pada tahun 318 hijriyah ke
Madinah melalui Syam, disebabkan jalan ke Makkah dan Madinah dari Iraq
kurang aman. Mereka tinggal di Madinah sampai musim haji untuk
menunaikannya dan saat itu kaum Qaramithah telah mengambil Hajar al-
Aswad dari tempatnya. Dalam perjalanan haji, al-Imam al-Muhajir bertemu
dengan rombongan haji Hadramaut.
Setelah itu al-Muhajir berangkat ke Yaman dan memilih sayid
Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin
Dhohman bin Auf bin al-Imam Musa al-Kadzim untuk tinggal di Wadi Saham,
sebagaimana al-Muhajir memilih seorang dari keluarga al-Qudaim untuk tinggal
di Wadi Surdud.
Ketika sampai di Wadi Du’an, al-Muhajir tinggal di Jubail, kemudian
pindah lagi ke Hajrain daerah yang mempunyai pemandangan yang indah.
Dengan ilmu dan bukti-bukti beliau memberikan pemahaman kepada ahlu
bid’ah dan ahlu sunnah di sana sehingga Allah swt mempertemukan kedua
kelompok yang bertikai itu di bawah kemuliaan al-Muhajir.
Menurut Muhammad bin Salim al-Bijani, daerah yang pertama kali
disinggahi Imam Ahmad adalah Jubail di mana penduduknya mempunyai sifat
yang baik dan mereka menerima dengan senang hati kedatangan Imam al-
Muhajir. Negeri Jubail terletak di Wadi Du’an yang penduduknya bermadzhab
Ahlussunnah dan Syi’ah yang dikelilingi oleh penganut madzhab Ibadiyah.
Penduduk Jubail berasal dari suku Kindah dan Sodap. Tidak lama kemudian
Imam Ahmad pindah ke Hajrain dan tinggal di sana selama satu tahun. Di
Hajrain beliau membeli perkebunan kurma dengan harga 1.500 dinar dan
menghadiahkan perkebunan tersebut kepada mawalinya. Kemudian beliau
pergi ke desa Bani Jasir dan kemudian ke Husaisah. Di Husaisah beliau menetap
sampai wafat. Pengembaraan beliau di Hadramaut di mulai dari tahun 320
hijriyah sampai tahun 345 hijriyah. Beliau hidup pada zaman Daulah Ziyadiyah
(Bani Umayah) dan pada zaman Daulah Zaidiyah (al-Hasyimi) di Yaman. Selama
di Hadramaut, beliau memerangi kaum Ibadhiyah dan kaum Qaramithah tanpa
senjata.
Kemudian beliau pindah ke Husaisah, yang jaraknya setengah marhalah
dari Tarim, dan ditempat itu beliau menghabiskan sisa umurnya untuk
berda’wah menuju kesatuan pandangan dan kekuatan madrasah alquran dan
sunnah berdasarkan manhaj ahlu sunnah wal jamaah. Beliau adalah seorang
mujtahid dalam ilmu ushul, maka kuatlah manhaj yang membawa kebahagiaan
di Hadramaut atas usahanya, sehingga muncul madzhab Imam Syafii yang

29
kemudian menjadi madzhab anak keturunannya dalam bidang furu’. Al-Muhajir
wafat dan dikuburkan di Husaisah tahun 345 hijriyah.

Kisah lainnya
Al Imam Ahmad Al-Muhajir berasal
dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah.
Ketika mencapai kesempurnaan di dalam
ketaatan dan ibadah kepada Allah,
bersinarlah mata batinnya dan
memancarlah cahaya kewaliannya,
sehingga tersingkaplah padanya hakekat
kehidupan dunia dan akherat, mana hal-
hal yang bersifat baik dan buruk.
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir di Irak adalah seorang yang mempunyai
kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika mulai
melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih
mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah
menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan
tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah
kalian lari kepada Allah..."
Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan
menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para
ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu
sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul
sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya.
Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka
membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum
perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka
pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly
menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh
pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku
bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal
Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Utsman bin Affan, Ali bin
Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Siti Aisyah dan
Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.
Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad Al-Muhajir memutuskan untuk
berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga
dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam
rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-

30
anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri),
dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah ulama yang
mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan saleh. Termasuk juga yang ikut
dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta
termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut
diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah
termasuk keturunan dari paman-paman beliau).
Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta
orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, melanjutkan
perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain
dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu melanjutkan ke desa
Jusyair. Tak lama disana, lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya
sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim).
Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.
Semenjak menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana
beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf
dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan
keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya Al-Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut dan menetap disana
banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-
Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji
kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada
keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya." Hadramaut menjadi
mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali
Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah
SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman
salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang
tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta."

AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR

Beliau adalah Al-Imam


Ubaidillah bin Ahmad Al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far
Ash-Shodiq, dan terus
bersambung nasabnya hingga
Rasulullah SAW. Beliau seorang
imam yang agung dan

31
dermawan, alim dan berakhlak mulia, penuh dengan sifat-sifat kebaikan dan
kemuliaan.
Beliau juga seorang yang sangat tawadhu (rendah diri). Karena begitu
tawadhunya, beliau tidak menamakan dirinya dengan nama Abdullah, akan
tetapi di-tasghir1-kan menjadi Ubaidillah, semata-mata untuk mengagungkan
Allah dan berendah diri di hadapan-Nya.
Beliau adalah seorang yang Allah memberikan keistimewaan sifat-sifat
yang terpuji pada dirinya. Berkata AS-Sayyid Ali bin Abubakar mengenai diri
beliau, Abdullah, orang yang menjaga dirinya dalam agama,paling terkemuka
dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya.Datuk para keturunan mulia,
sumber kedermawanan,dan lautan ilmu, itulah tuan kami yang mulia.
Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil
ilmu dari para ulama di jamannya. Di kota Makkah, beliau berguru kepada Asy-
Syeikh Abu Thalib Al-Makky. Dibawah asuhan gurunya, beliau berhasil
menamatkan pelajaran dari kitab gurunya tersebut yang berjudul Guut Al-
Guluub.
Tampak pada diri beliau berbagai macam karomah yang dikaruniakan
kepada dirinya. Beliau, Al-Imam Ubaidillah, jika meletakkan tangannya pada
orang yang sakit, lalu beliau meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka
sembuhlah si sakit itu. Mengenai kedermawanannya, beliau jika menggiling
kurma miliknya dan meletakkannya di tempat penggilingan, maka kurma-kurma
itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak.
Beliau mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya, baik itu di dalam
kezuhudannya, ilmunya ataupun ibadahnya. Setelah ayahnya wafat, beliau
pindah ke daerah Saml, dan memberikan tanah miliknya ke budaknya yang
telah dimerdekakannya yang bernama Ja’far bin Mukhaddam. Tinggallah beliau
di kota Saml. Beliau menikah dengan wanita dari daerah tersebut dan
dilahirkannya salah seorang anaknya yang bernama Jadid. Sampai akhirnya
beliau menutup mata untuk terakhir kalinya di kota tersebut pada tahun 383 H.
Kisah lain
Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-
Uraidhi Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Basrah, dibesarkan dalam lingkungan
para ahli ilmu. Dinamakan Ubaidillah karena bentuk tasghir dari Abdullah dan
beliau suka dipanggil dengan nama tersebut. Beliau hijrah dari Iraq bersama
ayahnya ke kota Madinah kemudian ke Hadramut, bersama beliau ikut serta
istri dan anaknya yang paling besar bernama Basri yang mengikuti jejak
ayahnya dalam menyebarluaskan ilmu dan berda’wah ke jalan Allah swt. Guru
beliau adalah ayahnya sendiri Imam Ahmad bin Isa. Pada tahun 317 hijriyah
beliau mengadakan perjalanan ke Makkah dan sekaligus menunaikan ibadah

32
haji ke Baitullah. Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa seorang yang hafal hadits,
para ulama banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau juga merupakan ulama
kenamaan di zamannya. Harta kekayaan beliau berupa perkebunan yang subur
dan luas.
Beliau membeli tanah yang luas di Sumal dan Bait Jubair untuk
membantunya membiayai kegiatan dalam penyebaran ilmu dan infaq ke jalan
Allah swt. Beliau selalu menanamkan kepada anak-anaknya dengan pelajaran
atas dasar manhaj ahlu sunnah. Beliau wafat setelah kaidah-kaidah yang
dipelopori oleh ayahnya telah tumbuh subur. Beliau wafat di Sumal tahun 383
hijriyah. Di lain riwayat beliau dikuburkan di daerah Najdi dekat dengan kota
Boor.
Awal Sufi Di Hadramaut.
Pendiri pertama madrasah bani Alawi yang hanya padanya manhaj Saadah
Bani Alawi melekat sebagaimana telah disebutkan ialah al-Imam al-Muhajir
yang pada saat itu beliau hidup di tengah-tengah zaman yang penuh fitnah,
beliau pula yang pertama kali menumbuhkan dasar-dasar manhaj tersebut.
Setelah beliau wafat, manhaj beliau diteruskan oleh anaknya Ubaidillah yang
hidup di zaman ayahnya dengan menyaksikan berbagai cara beramal dan
da’wah, beliau juga merupakan orang pertama yang mengambil ijazah ilmu usul
ahlu sunnah wal jamaah di Mekkah dan Madinah. Beliau pergi ke Mekkah
diutus oleh ayahnya, dimana hal tersebut merupakan saksi yang agung akan
kecintaan al-Imam al-Muhajir terhadap usaha mengembangkan wawasan
dengan mengambil pemikiran-pemikiran baru yang tercermin dalam cara
berpikir anak-anak dan cucunya sebelum manusia yang lain. Ubaidillah bin
Ahmad tidak saja cukup mempelajari ilmu usul dan hadits di Makkah
Mukarromah, bahkan beliau mempelajari ilmu tasawuf dan ilmu akhlaq
kenabian kepada guru besar ahlu sunnah a-Imam al-Allamah al-Syekh Abu
Thalib al-Makki yang wafat pada tahun 386 hijriyah, kepada gurunya beliau
membaca kitab Quut al-Qulub, sebagaimana mempelajari ilmu fiqih beliau
selalu diijazahkan dari setiap periwayatan dan sanad. Dari sinilah menyambung
sanad keluarga Abi Alawi dan madrasah mereka kepada sanad ahlu sunnah.
Untuk masalah ini para ahli sejarah menjelaskannya dalam biografi
Ubaidillah bin Ahmad, diantaranya : Ubaidillah bin Ahmad, beliau orang yang
pertama kali membawa ajaran tasawuf di Hadramaut, beliau kembali ke
Hadramaut pada zaman ayahnya masih hidup, dan ayahnya memberikan izin
kepada beliau untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada manusia
hingga ayahnya wafat pada tahun 345 hijriyah. Maka kepemimpinan ayahnya
berpindah kepadanya. Beliau telah meletakkan tasawuf dalam mimbar ilmu dan
da’wah sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh al-Imam al-Muhajir,
sehingga para ulama, ahli syair pada zamannya memuji akan keutamaan ilmu

33
dan kemuliaan serta kedermawanannya, beliau telah berakhlaq seperti akhlaq
kakeknya Rasulullah saw.
Dan ketika ayahnya wafat di Husaisah pada tahun 345 hijriyah
kekhilafahan ilmu dan da’wah kembali kepadanya, dan masyarakat sangat
mengharapkannya di berbagai tempat, dan ini menunjukkan bahwa beliau
banyak berda’wah ke pelosok daerah, maka berangkatlah beliau ke desa Sumal
dan menghadiahkan semua tanah dan apa yang dimilikinya semua kepada
maulanya Ja’far bin Makhdam sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh
ayahnya al-Muhajir, yang membeli perkebunan kurma ketika beliau tiba di
Hajrain Hadramaut, kemudian berpindah lagi ke daerah Bani Jusaib sebelum
akhirnya beliau menentap di Husaisah. Beliau menghadiahkan semua harta dan
perkebunannya kepada maulanya Suwaih yang termasuk maula yang terdahulu
ikut serta hijrah dari Iraq. Di Sumal dan di Bait Jubair beliau mengusahakan
sumber kehidupan untuknya dan untuk para pengikutnya dengan membeli
sebidang tanah pertanian dan perkebunan kurma.
Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad telah mendirikan kaidah-kaidah ilmu dan
syariah dan da’wah kejalan Allah swt berdasarkan manhaj berpikir yang telah
diterima bulat oleh para ulama ahlu sunnah di Hadramaut, dimana saat itu
terdapat ulama dari keluarga Abi Fadhol dan dari keluarga al-Khatib di negeri
Tarim, sebagaimana sama halnya dengan kaum Khawarij dan beberapa ulama
mereka yang mengambil hujjah serta keterangan-keterangan dari uslub yang
diajarkan oleh ayahnya dengan cara akhlaq yang mulia tanpa mendahulukan
rasa fanatik dan hawa nafsu, sehingga keadaan Hadramaut berubah menjadi
negeri ahlu sunnah dikarena beliau, begitu pula pada zaman ayahnya.
Keturunan Imam Ubaidillah.
Silsilah Saadah Bani Alawi al-Husaini yang menetap di Hadramaut sampai
hari ini dan yang telah menyebar ke penjuru alam semua bersumber kepada
Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Beliau merupakan satu-satunya
anak dari keturunan Ubaidillah bin Ahmad yang mempunyai keturunan yang
bersambung hingga hari ini. Imam Ubaidillah bin Ahmad mempunyai tiga orang
anak : Basri, Jadid dan Alwi.
Basri dan Jadid mempunyai keturunan yang tinggal di Hadramaut dan
terputus pada awal tahun 700 hijriyah, hingga tidak ada lagi dari keturunannya
yang tercatat dalam silsilah dan biografi keluarga Alawi.
Pengarang kitab Ghuror al-Bahau al-Dhowwiy menulis : Sesungguhnya
keluarga Bani Jadid terputus begitu pula keluarga dari Bani Basri, yang hidup
paling akhir dari keluarga Jadid ialah seorang wanita di Zubaid yang bernama
Jadidah. Alwi bin Ubaidillah mempunyai banyak keturunan yang tersebar di
Hadramaut, Yaman, Hijaz, Mesir, Kholij, Indonesia, Afrika Timur, India, Sailan
dan negeri lainnya. Dalam hal ini telah ditetapkan nisbah Saadah Bani Alawi

34
kepada asalnya yang diberkahi khususnya sesudah hijrahnya al-Imam Ali bin
Jadid ke negeri Iraq.
AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR

Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-


Muhajir
[ Al-Imam Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-
Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib
- Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq -
Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin -
Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad
SAW].
Beliau seorang yang sangat alim dan
merupakan imam besar di zamannya.
Beliau di lahirkan di Hadramaut dan di besarkan disana. Semenjak kecil
beliau di didik langsung oleh ayahnya dan berjalan pada thariqah yang telah
ditempuh oleh ayahnya. Beliau gemar mendalami ilmu dan selalu menyibukan
dirinya untuk menuntut ilmu, sehingga berhasil menguasai berbagai macam
ilmu. Beliau juga adalah seorang yang hafal Alquran. Selain menuntut ilmu di
Hadramaut, beliau juga menuntut ilmu sampai kekota Makkah dan Madinah.
Di samping kedalaman ilmunya, beliau adalah seorang yang banyak
bermujahadah. Beliau banyak melakukan shalat dan puasa. Sifat wara' dan
banyak bersedekah juga selalu menghiasi diri beliau.
Beliau adalah orang yang pertama kali diberi nama Alwi, yaitu nama yang
asalnya diambil nama burung yang terkenal. Beliau di karuniai banyak
keturunan, tersebar dan baik. Keturunan beliau ini di kenal dengan nama
Ba'alawy. Jadi setiap keluarga Ba'alawy diseluruh dunia ini pasti benasabkan diri
kepada beliau, keluargaa Ba'alawy, tersebar di seluruh antero negeri. Nasab
mereka lebih terang daripada sinar matahari dan cahaya rembulan.
Beliau adalah seorang yang sempurna memadukan kemuliaan diri dan
nasab. Keutamaan- keutamaan beliau terukir di berbagai lembaran tulisan.
Banyak para ulama dan ahli sejarah yang memuji dan menagungkan beliau.
Diceritakan dalam satu riwayat, ketika beliau hendak melaksanakan
perintah haji dan berziarah ke makam kakeknya Rasulullah SAW. Ikut di dalam
rombongan beliau sekitar 80 orang, belum termasuk para pembantu dan sanak
kerabatnya. ikut juga di dalamnya saudaranya yang bernama Jadid. Itu semua
beliau yang menanggung biaya perjalannya. Ditambah lagi beliau sering
bersedekah kepada orang lain disaat perjalanan pulangnya. Beliau juga
membawa unta-unta dalam jumlah banyak untuk dipakai buat orang-orang
yang lemah dalam rombongannya.

35
Puing-puing kota Bait Jubair: kota tertua kaum Alawiyin. Kota ini hancur karena lama ditinggalkan
pada tahun 461 keluarga Ba'alawy melakukan exodus ke Tarim

Beliau hanya mempunyai seorang anak yang bernama Muhammad. Tidak


berbeda dengan ayahnya, Al-Imam Muhammad juga seorang yang dikaruniai
kemuliaan sifat wara', zuhud dan ibadah. Perkataan , perbuatan dan hal
ihwalnya selalu berbeda dalam kebaikan. Berkumpul di dalam dirinya
keutamaan dan keindahab budi pekerti. Beliau adalah seorang yang sangat
pengasih kepada anak-anak yatim, orang-orang lemah dan kaum fakir miskin.
Banyak para ulama dan ahli sejarah yang menyebutkan. memuji dan
menghormati beliau. di samping itu, beliau adalah seorang yang berilmu,
kalamnya fasih dan pandai.
Beliau, Al-Imam Muhammad bin Alwi, dilahirkan di daerah Bait Jubair (
Hadramaut ) dan dibesatkan disana. Beliau mengambil ilmu langsung dari
ayahnya dan juga dari beberapa ulama yang hidup di zamannya, beliau
meninggal pada umur56 tahun, dengan tidak di ketahui pasti tanggal
meninggalnya dan tempat di semayamkannya.

Makam Imam Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang terletak di
kota Bait Jubair.
Adapun anak beliau adalah bernama Alwi. Al-Imam Alwi juga mewarisi
sifat-sifat kebaikan ayahnya. Beberapa ahli sejarah menyebutkan dan memuji
kehidupan beliau. Beliau seorang imam, ulama, ahli zuhud dan ibadah. Selain

36
itu, beliau juga seorang yang dermawan dan tawadhu. Beliau mengabil ilmu
langsung dari ayahnya dan beliau berjalan pada thariqah ayahnya.

Mesjid Ash-Shouma’ah di kota Bait Jubair - kota tertua kaum Alawiyin.

Beliau di lahirkan di Bait Jubair dan dibesarkan disana dalam kemuliaan


didikan. Beliau meninggal ditempat kelahirannya pada tahun 512 H.
Radhiyallohu anhu wa ardhah....

AL IMAM ALI KHALI' QASAM

Imam Ali Khali' Qasam


[Al-Imam Ali Khali' Qasam - Alwi -
Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-
Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali
Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-
Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-
Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-
’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus
bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW.
Beliau terkenal dengan julukan Khali’ Qasam
(pelepas/pemberi Qasam). Julukan tersebut diberikan kepada beliau
dikarenakan beliau membeli suatu tanah dengan harga 20.000 Dinar. Tanah itu
kemudian beliau namakan dengan Qasam, sesuai dengan nama tanah
keluarganya di kota Bashrah. Di tanah itu beliau menanam pohon kurma.
Disana beliau juga membangun suatu rumah yang ditempati pada saat panen
kurma. Kemudian beberapa orang membangun rumah-rumah disamping rumah

37
beliau. Sampai akhirnya tempat itu menjadi suatu desa dan dinamakan dengan
desa Qasam.
Beliau dilahirkan di Bait Jubair (di Hadramaut), suatu daerah yang penuh
berkah dan kebaikan. Beliau dibesarkan di daerah itu. Beliau mengambil ilmu
dari ayahnya. Beliau sering mondar-mandir bepergian ke kota Tarim. Akhirnya
beliau, diikuti oleh saudara-saudara dan anak pamannya, memutuskan untuk
tinggal di kota Tarim.
Beliau adalah seorang imam agung, guru besar, dan terkenal dengan
keluasan ilmunya. Terkumpul di dalam diri beliau keutamaan dan kebaikan,
anwar dan asrar. Beliau dikaruniai oleh Allah dengan maqam yang sangat tinggi,
sehingga tampak dalam diri beliau karomah-karomah yang luar biasa. Beliau
adalah seorang alim yang tiada duanya di jamannya dan tempat rujukan bagi
manusia di saat itu. Jarang sekali pada suatu jaman terdapat orang yang
mempunyai maqam setinggi beliau.
Para ulama besar dan ahli sejarah banyak menyebutkan manaqib dan
ketinggian maqam beliau di buku-buku mereka. Termasuk di antaranya adalah
Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menyebutnya dalam suatu
syairnya, Rasulullah membalas salamnya, “(Salam bagimu) Ya Syeikh”
sebagai jawaban atas salamnya (kepada Rasulullah), maka dibuat kagumlah
para orang-orang mulia.
Syair tersebut menggambarkan suatu karomah besar yang ada pada diri
beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam. Hal ini terjadi setelah beliau tinggal di kota
Tarim. Beliau jika menjalankan shalat dan sampai pada waktu tahiyat dan
membaca salam kepada Nabi SAW, “As-salaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyu wa
rohmatullohi wa barakaatuh,” beliau mengulang-ulangi bacaan tersebut,
sampai beliau mendengar langsung jawaban dari Rasulullah SAW, “As-salaamu
‘alaika ya Syeikh (salam sejahtera bagimu wahai Syeikh).” Demikianlah yang
terjadi sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama seperti Al-Jundi, Asy-
Syaraji, Ibnu Hisan, dan lain-lain. Al-Allamah Asy-Syeikh Al-Khatib juga
menyebutkannya di dalam kitabnya Al-Jauhar Asy-Syafaaf.
Kekhususan ini, yakni dapat mendengar jawaban salam dari Rasulullah
SAW, merupakan suatu maqam yang tinggi. Tidak bisa mendapatkan maqam
setinggi itu, kecuali hanya segelintir auliya. Maqam itu tidak bisa didapatkan
kecuali oleh orang yang sangat-sangat dekat dengan Allah. Asy-Syeikh Abdul
Wahab Asy-Sya’rawi berkata dalam hal ini, “Tidak akan sampai seseorang
kepada maqam berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW dan mendengar
jawaban salam dari beliau SAW, kecuali ia telah melampaui 247.999 maqam
para Auliya.”
Asy-Syeikh Abu Al-Abbas Al-Mursi bertanya kepada teman-temannya,
“Adakah diantara kalian yang ketika menyampaikan salam kepada Rasul SAW di

38
dalam shalat, terus dapat mendengar jawaban salam dari beliau SAW?.”
Mereka berkata, “Tidak ada.” Selanjutnya beliau berkata, “Menangislah kalian,
karena kalbu-kalbu kalian tertutup dari Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam, tidak hanya mendapat jawaban salam
dari Rasul SAW di dalam shalatnya saja, tetapi di dalam semua kesempatan
yang beliau memberikan salam kepada Rasul SAW. Beliau, meskipun
mempunyai maqam yang demikian tinggi, adalah seorang yang sangat
tawadhu. Beliau mempunyai akhlak yang mulia. Disamping itu, beliau adalah
seorang yang pemurah.
Beliau meninggal berkisar pada tahun 523-529 H. Di dalam riwayat lain
dikatakan beliau meninggal pada tahun 529 H1. Jasad beliau disemayamkan di
pekuburan Zanbal, Tarim. Radhiyallohu anhu wa ardhah…

AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH

Imam Muhammad Shohib Mirbath


[Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath -
Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi -
Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi -
Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi -
Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali
Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro -
Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Muhammad
Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin
Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW.
Beliau terkenal dengan julukan Shohib Mirbath, yang artinya penghuni
daerah Mirbath. Mirbath adalah julukan bagi kota Dhafar lama, suatu daerah
berpantai.
Beliau adalah seorang imam yang agung, unggulan di jamannya. Beliau
banyak menguasai berbagai macam ilmu dan gemar mengamalkannya. Beliau
seorang yang hidup dalam keadaan zuhud dan wara’. Hidupnya penuh dengan
ibadah dan berbuat kebajikan. Seseorang yang melihat kehidupan beliau, pasti
terkagum akan keindahan akhlak dan kemuliaan sifat-sifatnya.
Selain itu beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.
Kedalamannya di dalam menguasai ilmu menjadikan beliau sebagai seorang
guru yang agung. Dengan kemuliaan dan kebaikan kehidupannya, muncullah di
dalam diri beliau berbagai macam karomah.

39
Beliau aslinya berasal dari Hadramaut, kemudian memutuskan tinggal di
Mirbath. Banyak para ulama yang berhasil dalam didikan beliau dan akhirnya
menjadi ulama-ulama besar. Diantaranya adalah 4 putra beliau sendiri, yaitu
Alwi, Abdullah, Ahmad dan Ali (ayah dari Ah-Fagih Al-Muqaddam). Selain itu
ada juga beberapa ulama lainnya seperti Asy-Syeikh Muhammad bin Ali (yang
disemayamkan di kota Sihr), Asy-Syeikh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-
Dhafariyyin, Asy-Syeikh Salim bin Fadhl, Asy-Syeikh Ali bin Ahmad Bamarwan,
Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-
Khatib.
Dari beliaulah, muncullah generasi-generasi yang membawa bendera
dakwah seantero negeri. Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad melukiskan
beliau dalam suatu bait syairnya, “Penghuni Mirbath, seorang imam,pusat
bermuaranya keturunannya, para ahli dakwah” Siapa lagi kalau bukan dari
keturunan anak-anak beliau, yaitu Ali (ayah dari Al-Fagih Al-Muqaddam) dan
Alwi (Ammul Fagih). Dari putra-putra beliau itulah, bertebaran insan-insan
pembawa hidayah kepada jalan yang benar. Merekalah guru dari semua guru
yang menyampaikan syariah ke seluruh negeri. Merekalah insan-insan
pembawa kebenaran dari generasi ke generasi, dan bermuarakan dari Shohibur
Risalah Nabi Muhammad SAW.
Beliau wafat pada tahun 556 H dan disemayamkan di Mirbath. Sampai
sekarang makam beliau banyak diziarahi orang-orang yang ingin mengambil
barakah dan terkabulnya doa. Radhiyallohu anhu wa ardhah…
Putra - Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath
Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang pertama adalah Al-Imam
Alwi. Beliau sering dijuluki dengan ‘Ammul Faqih (paman dari Al-Faqih Al-
Muqaddam). Beliau adalah seorang imam yang berilmu dan beramal,
dermawan dan pemurah. Beliau mewarisi sifat-sifat kebaikan dari ayahnya.
Beliau berjalan di jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya.
Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil
ilmu langsung dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari Asy-
Syeikh Salim Bafadhal, As-Sayyid Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Ali bin Ibrahim Al-
Khatib, dan lain-lain. Dari tangan beliau juga, telah berhasil keluar ulama-ulama
besar dalam didikannya, seperti diantaranya putra-putra beliau sendiri yaitu
Ahmad, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdul Malik. Selain itu, Al-Faqih Al-
Muqaddam juga termasuk hasil didikan beliau yang berhasil.
Beliau adalah seorang yang mempunyai budi pekerti luhur, sehingga
sangat dicintai oleh masyarakatnya. Beliau dapat diterima baik di kalangan
awam maupun khusus. Selain itu, dari ketinggian maqam beliau di sisi Allah,
beliau banyak dikaruniai karomah.

40
Beliau wafat di kota Tarim, pada hari Senin, bulan Dzulqaidah, tahun 613
H. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal.
Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang kedua adalah Al-Imam
Ahmad. Beliau adalah ayah dari Zainab, istri Al-Faqih Al-Muqaddam.
Kemudian putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang ketiga adalah
Al-Imam Ali. Beliau adalah ayah dari Al-Faqih Al-Muqaddam.
Beliau adalah seorang imam yang penuh dengan kezuhudan. Beliau adalah
seorang yang alim dan menjalani kehidupannya sebagai seorang sufi. Beliau
banyak dikaruniai asrar dan ahwal, sehingga muncul pada diri beliau karomah-
karomah. Selain itu beliau juga adalah seorang yang pemurah dan dermawan.
Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil
ilmu dari ayahnya dan dari beberapa ulama di jamannya. Kehidupan beliau
penuh dengan akhlak yang luhur. Sifat tawadhu selalu menghiasi diri beliau.
Beliau wafat pada sekitar tahun 593-599 H.
Adapun putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang keempat adalah
Al-Imam Abdullah. Muhammad bin Ali Al-Qal’iy pernah memberikan suatu
ijazah kepada beliau. Demikian juga Al-Faqih Ibnu Faris pernah menyebutkan
nama beliau di kitabnya Jami’ At-Turmudzi. Radhiyallohu anhu wa ardhah…

AL IMAM AL FAQIH AL MUQADDAM MUHAMMAD

Imam Al-Faqih Al- Muqaddam Muhammad


[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad -
Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam -
Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-
Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-
'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir -
Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro -
Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin
Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin
Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-
Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai
Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih
yang diunggulkan).
Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan
guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub
yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan
kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa
yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah.

41
Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT,
sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah
memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang
dhohir ataupun yang bathin.
Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para
ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih
Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam
Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di
kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari
Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin
Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya
itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali
kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-
Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya,
diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam
Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid
Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin
Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin
Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi.
Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil
dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua
dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus
sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun
jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli
sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid
Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan
Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan
mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-
menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh
kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta
mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau ber-
mujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan
adab-adab yang sesuai dengan syariah.
Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulama-
ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di
jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai
macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau
untuk menyandang sebagai imam di jamannya.

42
Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan
mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allah-
lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah
juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan
yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah
kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak
pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.
Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap
keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli
sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh
Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-
kagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia
membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai
Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh
siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan
haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.”
Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih
Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang
lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya
para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun
terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau
orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau
selainnya.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap
masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah
tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau
berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-
tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya
agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau
tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”
Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk
bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai
seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-
Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian
memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran.
Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam
menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di
jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling
terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin

43
Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya,
banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau,
diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman
bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya
Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara
sepupunya, dan masih banyak lagi.
Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau
disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang
berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5
orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…

AL IMAM ALWI AL GHUYUR

Imam Alwi Al-Ghuyur


[Imam Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih Al-
Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad
Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi -
Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-
Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-
Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq -
Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin -
Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali
bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus
bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-
Ghuyur (yang cemburu), yaitu yang cemburu atas namanya. Hal ini dikarenakan
tidak ada seorang pun dari keluarga Bani Alawy di jaman beliau yang bernama
Alwi. Jika ada seseorang yang berniat memberi nama Alwi, pasti ia akan
tercegah untuk menamakan dengan nama itu, sehingga memberikan nama lain.
Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau dididik
langsung oleh ayahnya. Beliau mengambil dari ayahnya berbagai macam ilmu
dan pengetahuan. Beliau juga menempuh jalan ayahnya, baik secara syariah,
thariqah maupun haqiqah. Ibu beliau adalah Hababah Zainab binti Ahmad bin
Muhammad Shahib Mirbath, seorang wanita yang termasuk al-’arif billah.
Beliau adalah seorang keturunan Rasul SAW yang agung, seorang yang
alim dan mengamalkan ilmunya, serta seorang ahli zuhud. Beliau adalah
seorang al-’arif billah, mempunyai maqam yang tinggi dan karomah yang luar
biasa. Beliau banyak mendapatkan ilmu-ilmu laduniyyah dan asrar ghaibiyyah.

44
Beliau jika berkata terhadap sesuatu, “Kun (jadilah),” maka sesuatu itu jadi
sebagaimana yang dikehendakinya dengan ijin Allah. Banyak para ulama besar
dan auliya di jamannya menukilkan ucapan beliau yang berkata, “Aku berada
dalam maqam Al-Junaid.” Beliau dapat mendengar tasbih dari benda-benda
mati.
Beliau bisa mengenali orang-orang yang ahli celaka dan yang ahli bahagia.
Pada suatu hari ayahnya, Al-Faqih Al-Muqaddam, berkata kepada beliau pada
saat beliau masih kecil, “Engkau dapat mengenali mana orang yang ahli celaka
dan mana yang ahli bahagia. Maka lihatlah yang demikian itu di dahiku (aku
termasuk yang mana)?.” Lalu beliau melihatnya dan mendapatkannya sebagai
orang yang termasuk ahli bahagia, kemudian beliau sampaikan hal tersebut
kepada ayahnya.
Suatu saat beliau berziarah ke datuknya, Rasulullah SAW, dan di
sampingnya ada Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi keduanya). Beliau
berkata kepada datuknya SAW, “Dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai
kakek?.” Menjawab Rasulullah SAW, “Di kedua belah mataku.” Lalu Rasulullah
SAW bertanya kepada beliau, “Dan dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai
Syeikh Alwi?.” Lantas beliau menjawab, “Di atas kepalaku.” Kemudian Abubakar
berkata, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian?. Dia
menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau
menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai
kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada
para fakir miskin 100 dinar.” Setelah beliau pulang, beliau pun bersedekah 100
dinar sebagai tanda syukur.
Pada saat beliau berlambat-lambat dalam menikah, berkatalah calon
keturunannya dari punggungnya, “Kami telah berada di punggungmu. Cepatlah
menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu!.” Ketika beliau telah
menikah dan istrinya mengandung, berkatalah si jabang bayi dari rahim
istrinya, “Aku anak sholeh. Aku hamba Sholeh.”
Beliau, Al-Imam Alwi Al-ghuyur, seorang yang cepat memberikan
pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. As-Sayyid Al-
Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi Al-Khirid Ba’alawy berkata di dalam
kitabnya Al-Ghurar, “Mengabarkan kepadaku Asy-Syeikh Abdurrahman bin Ali
bahwa para al-’arif billah berkata, ‘Ada 3 orang dari keluarga Bani Alawy yang
senantiasa semangatnya terpelihara. Sifatnya yang merespon pertolongan
dengan cepat selalu semakin baik dan terjaga. Seorang yang meminta
pertolongan kepada mereka, selalu cepat mereka bantu. Mereka adalah Alwi
Al-Ghuyur, dan anaknya yaitu Ali, serta Asy-Syeikh Umar Al-Muhdhor.’ “

45
Bagian dalam dari tempat ibadah Sayidinal Faqih Al-Muqoddam yang terletak di bukit Nu’air di kota
Tarim. Di tempat ini pula Imam Alwi Al-Ghuyur, Abdurrahman Assegaf, Abubakar As-Sakran,
Abdullah Alaydrus dan lainnya beribadah.

Ayah beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, memuji kepada beliau dan


memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya itu akan menjadi
seorang wali yang agung. Banyak para ulama mengatakan bahwa sirr ayahnya
pindah kepada diri beliau. Sebagian di antara mereka berkata, “Beliau
pengganti dari orang-orang yang terdahulu.”
Beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Hababah Fatimah
binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Melalui istrinya tersebut,
beliau dikaruniai dua orang putra, yaitu Ali dan Abdullah. Beliau wafat pada hari
Jum’at, 12 Dzulqaidah 669 H. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal
Tarim dan diletakkan di sebelah timur dari makam ayahnya.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad as Saqqaf (Tarim)

Wali Yang Bertabur Karamah


Salah seorang wali dan ulama
dari Ahlil Bait Ba’alawi yang
bertabur karamah adalah
Habib Abdurrahman bin
Muhammad As-Saqqaf. Beliau
mendapat julukan As-Saqqaf,
yang berarti atapnya para wali
dan orang-orang shalih pada masanya.
Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur
karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di
tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang
kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia

46
sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga
setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang
agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di
kota Tarim, Hadramaut pada 739 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar
ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Sebahagian dari karamah beliau diriwayatkan bahawasanya hampir setiap
tahunnya banyak orang melihat beliau sedang hadir di tempat-tempat penting
di Makkah. Ketika ditanyakan oleh sebahagian murid beliau: "Apakah anda
pernah berhaji?" Jawab beliau: "Jika secara zahir tidak pernah".
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin
Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang
santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin
keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian
memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan
beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin
Hassan Jamalullail. “Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya
dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang
masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan
perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang
beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat
makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin
persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling
membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak awliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman
As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali
setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu.
Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy,
“Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka
hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti
dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri
untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke
makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim
bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah
ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami
tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali

47
dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam
sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja
menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami
tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa
dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau
sampai di tempat yang ditujunya.”
Kata sebahagian murid beliau: "Kejadian itu sama seperti yang pernah
terjadi pada diri Syeikh Ismail Al-Hadrami.rhm"
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-
murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka:
“Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang
diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang
isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang
hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan
akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya
dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan
sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada
hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu
meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang
dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam
perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada
sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang
lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-
Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu
bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir
tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang
yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.
Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya
dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama
tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa.
Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib
Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu.
Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar
jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh
dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesai menyebut nama beliau
tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air.

48
Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan
oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di
tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya
kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa
takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk
minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan
perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang
perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun.
Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang
dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah
sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang
perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh
seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan
barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu
pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata,
“Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar
suara perlahan.”
Itulah beberapa karamah yang ditujukan kepada ulama yang bernama
lengkap Habib Abdurrahman As-Saqqaf Al-Muqaddam Ats-Tsani bin
Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahibud Dark bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-
Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-
Muhajir Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-Sibth
bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah az-Zahra al-Batul binti Rasulullah
SAW.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya
para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan
ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar
di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-
Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah
Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan
seluruh keturunannya.
Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin
Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh
ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya

49
Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin
Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi.
Bergelar As-saqqaf karena kedudukannya sebagai “pengayom”, serta
tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal
sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk
mencukupi kebutuhan mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma,
namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan
hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau
seandainya dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada
yang berbuah, aku akan menari kegirangan“.
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami
berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql
(referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad
Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru
kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi
Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-
Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu
Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq.
Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-
Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-
Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin.
Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz dan Al-
Muharror.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan
malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang.
Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah
Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu
dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk
setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap
pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-
putrinya.
Di antara kata mutiaranya adalah sebagai berikut : “Manusia semua
membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan
akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan
amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah
adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati
dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”.

50
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416
M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut
berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di
pekuburan Zanbal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri.

AL IMAM ALI SHAHIBUD DARK

Imam Ali Shahibud Dark


[Al-Imam Ali Shahibud Dark - Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih Al-Muqaddam
Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi -
Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad
An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal
Abidin - Husain - Ali bin Abi Thalib/Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam
Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin
Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin
Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki
dengan Shahibud Dark.
Beliau adalah seorang imam, guru besar dan wali yang terkenal. Beliau
adalah orang yang mahbub (dicintai) di sisi Allah. Ibu beliau adalah seorang
syarifah, yaitu Sayyidah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib
Mirbath.
Beliau, Al-Imam Ali Shahibud Dark, adalah termasuk orang-orang yang
yang diberikan kekhususan. Beliau seorang ‘arif billah dan qutub. Beliau
seorang yang kuat dalam ber-mujahadah dan suka menyendiri dalam ber-
muwajahah kepada Allah. Diri beliau adalah merupakan sosok teladan bagi para
muridin dan arifin.
Beliau dibesarkan dalam didikan ayahnya. Beliau juga sempat hidup
dengan kakeknya, Al-Faqih Al-Muqaddam, ketika masih kecil. Dari keduanya,
beliau mendapatkan banyak nafahat.
Suatu ketika saat berada di Mekkah, beliau berdoa kepada Allah agar
diberikan seorang anak yang sholeh. Spontan setelah itu terdengar suara,
“Doamu telah dikabulkan oleh Allah. Maka kembalilah engkau ke negerimu.”
Beliau pun kembali ke Tarim. Namun beliau masih berlambat-lambat dalam
menikah. Suatu ketika beliau berada di salah satu masjid di kota Tarim sedang
berdoa. Saat beliau hanyut dalam doanya dan ruhnya naik keatas langit, beliau
mendapat kabar gembira dengan akan diberikannya seorang anak yang sholeh.
Beliau lalu berkata, “Saya ingin melihat tandanya.” Lalu beliau diberi 2 lembar
kertas, sambil dikatakan kepada beliau, “Taruhlah salah satu kertas itu diatas
mata seorang wanita yang berada di dekatmu, maka ia akan segera dapat
51
melihat.” Dan memang di dekat beliau ada seorang wanita yang buta. Beliau
pun lalu menaruh salah satu kertas tersebut diatas matanya dan spontan
wanita itu dapat melihat kembali. Beliau pun kemudian menikah dengan wanita
tersebut dan memperoleh seorang anak yang sholeh yang bernama
Muhammad.
Beliau, Al-Imam Ali Shahibud Dark, banyak mempunyai karomah dan
keajaiban. Beliau adalah orang yang suka ber-khalwah (menyendiri) dan ber-
zuhud terhadap dunia. Beliau sering berziarah ke makam Nabiyallah Hud di
bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
Muhammad bin Abu As-Su’ud pernah berkata, “Suatu ketika beliau
mendapatkan harta. Lalu aku mendengar beliau berkata, ‘Ali bin Alwi dan
dunia. Ya Allah, jauhkan aku darinya, atau jauhkan ia dariku.’ Beliau meninggal
3 bulan setelah itu.” As-Syeikh Ibrahim bin Abu Qusyair berkata, “Aku bermimpi
bertemu dengan Asy-Syeikh Ali bin Alwi, lalu aku bertanya, ‘Bagaimana Allah
memperlakukanmu?. Beliau menjawab, ‘Sesuatu apapun tak dapat
membahayakan orang yang mahbub (dicintai).’ “
Beliau meninggal pada hari Rabu, 17 Rajab 709 H. Beliau meninggalkan
seorang putra yang bernama Muhammad Maulad Dawilah, dan 6 putri yang
masing-masing bernama Maryam, Khadijah, Zainab, Aisyah, Bahiyah dan
Maniyah. Kesemuanya berasal dari seorang ibu yang bernama Fatimah bin
Sa’ad Balaits.Radhiyallohu anhu wa ardhah…

Manakib Al-Imam Ali Shahibud Dark


Beliau adalah seorang waliyullah yang lahir di Tarim, Hadramaut, beliau
ulama besar yang menafikan kehidupan dunia, waktunya lebih banyak
dimanfaatkan untuk menyendiri (khalwat) dan hidup sebagai seorang zahid,
seperti ulama-ulama besar lainnya beliau juga sering berziarah kemaqam Nabi
Hud as di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, tiada lain untuk menambah
kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT, selama berkhalwat ibadah yang paling
beliau tunaikan adalah memperbanyak amal kebajikan, terutama shalat sunnah
dan wirid.
Imam Ali Shahibud-Dark atau Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Faqih Al-
Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali
Khali’Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-
Muhajir Ahmad bin Isa dan seterusnya, nasabnya bersambung sampai
Rasulullah SAW, beliau di juluki Shahibud-Dark karena suka membantu dan
menolong sesama.
Beliau juga dikenal sebagai guru besar bagi para ulama di Hadramaut,
sehingga menjadi seorang wali yang mahbub, dicintai Allah. Beliau juga
termasuk seorang waliyullah dengan posisi ‘Arif Billah dan Quthub, sosok

52
keteladanan bagi para murudin (pengikut tarekat) dan ‘arifin (para ulama dan
cendikiawan).
Sejak kanak-kanak beliau mendapat pendidikan agama dari ayahandanya,
Syaikh Alwi Al-Ghuyur dan pada usia sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an,
beliau juga sempat mengaji kepada kakeknya Al-Faqih Al-Muqaddam. Dari
ayahanda dan kakeknya beliau mendapat banyak keutaman terutama ilmu
hikmah dan tasawuf, setelah dewasa wajah dan pandangan matanya sejuk.
Salah satu karamahnya ialah firasat yang tajam dan doanya yang mustajab.
Di usia dewasa ketika menunaikan ibadah haji terlihat berbagai karamah
dan keutamaan-keutamaannya. Saat berangkat ke Makkah beliau banyak
ditemani kawan-kawannya yang selalu minta di doakan. Dan setiap doanya
makbul, sehingga kawan-kawannya selalu mengikutinya. Di tanah suci beliau
berdoa agar diberikan seorang anak yang sholeh padahal ketika itu beliau
belum menikah. Setelah itu keluar suara ghaib, “doamu telah dikabulkan oleh
Allah, maka kembalilah ke negerimu!”.
Beliau pun langsung pulang ke Tarim, namun tak langsung menikah,
hingga suatu ketika beliau berdoa di sebuah Masjid di tarim. Saat itulah beliau
hanyut dalam doa dan ruhnya terasa membumbung naik kelangit. Pada kondisi
kekhusu’an dan kefanaan itulah beliau mendapat kabar gembira akan
dikaruniai seorang anak shalih.
“Saya ingin melihat tanda-tandanya,” katanya dalam hati, seketika itu juga
beliau mendapat dua kertas dan terdengarlah suara ghaib, “taruhlah salah satu
kertas itu di atas mata seorang wanita di dekatmu, maka beliau akan segera
dapat melihat”. Benar ternyata di dekatnya ada seorang wanita buta, beliau
lalu menaruh salah satu kertas itu di atas matanya dan spontan wanita itu
dapat melihat kembali, beliaupun kemudian menikah dengan wanita tersebut
dan memperoleh seorang anak yang shalih yang bernama Muhammad Mawla
Dawilah.
Suatu ketika beliau mendapat harta cukup banyak, tapi kemudian berdoa
kepada Allah,”Ali bin Alwi dan dunia. Ya Allah jauhkan aku daripadanya,
jauhkan dunia dariku.” Tiga bulan setelah itu tepat pada 9 Rajab 709 H/1289 M,
beliau wafat dan jenazahnya dimakamkan di makam Zanbal, Tarim, Hadramaut.
Beliau meninggalkan seorang putra Muhammad Mawla Dawilah dan enam
putri : Maryam, Khadijah, Zainab, Aisyah, Bahiyah, dan Maniyah dari seorang
ibu Sayyidah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath.
Suatu hari seorang ulama terkemuka dari Tarim, syaikh Ibrahim bin Abu
Qusyair, menceritakan suatu malam pernah bermimpi berjumpa syaikh Ali bin
Alwi . lalu beliau bertanya , “bagaimana Allah memperlakukanmu?” dalam
mimpi itu syaikh Ali Bin Alwi menjawab : suatu apa pun tak dapat
membahayakan orang yang mahbub (dicintai Allah),”.

53
AL HABIB UMAR AL MUHDHOR

Beliau adalah anak lelaki Syeikh Abdurrahman As-


Seggaf. Beliau seorang wali besar yang mempunyai
karamah luar biasa. Karamahnya banyak diceritakan
orang.
Sebahagian dari karamah beliau ialah semua
harta bendanya dibiarkan begitu saja tanpa dijaga
sedikitpun. Anehnya siapa saja yang berani
mengganggunya pasti terkena bencana seketika itu
juga. Sampaipun jika ada seekor binatang yang berani
mengganggu tanamannya tanpa pengetahuan beliau,
binatang itu akan mati seketika itu juga.
Diriwayatkan ada seekor burung gagak yang makan pohon kurmanya.
Burung itu segera dihalaukannya. Tidak lama kemudian, burung gagak itu pun
kembali makan pohon kurma beliau. Dengan izin Allah burung gagak itu
tersungkur mati seketika itu juga.
Sebahagian pelayan beliau ada yang mengadukan tentang banyaknya
kijang yang menyerang kebun beliau dan tetangga beliau banyak yang
mentertawakannya. Beliau menyuruh pelayannya berseru untuk menyuruh
semua kijang yang berada di kebun beliau segera meninggalkan tempat menuju
ke kebun tetangga beliau yang mentertawakannya. Dengan izin Allah semua
kijang itu menyingkir pindah ke kebun tetangga yang mentertawakan beliau.
Terkecuali hanya seekor kijang saja yang tidak mahu berpindah. Dengan mudah
kijang tersebut dipegang oleh beliau dan disembelih.
Salah seorang pelayan beliau bercerita: “Ayah saudaraku mempunyai anak
perempuan yang cantik. Setiap kali dipinang orang anak perempuan itu selalu
menolak pinangannya. Aku mengadukan hal itu kepada Sayid Umar Al-
Muhdhor. Jawab beliau: “Anak perempuan ayah saudaramu itu tidak akan
berkahwin selain dengan engkau, dan engkau akan menapatkan seorang anak
lelaki daripadanya”. Aku rasa apa yang dikatakan oleh Sayid Umar Al-Muhdhor
itu tidak mungkin akan terjadi pada diriku yang sefakir ini. Dengan izin Allah aku
pun dipinang oleh anak perempuan ayah saudaraku itu. Aku kahwin dengan
anak perempuan ayah saudaraku dan mendapatkan seorang anak lelaki seperti
yang dikatakan oleh Sayid Umar Al-Muhdhor”.
Seorang datang mengadu pada beliau: “Kalung isteriku dicuri”. Sayid Umar
Al-Muhdhor berkata: “Katakan pada orang banyak di sekitarmu, siapa yang
merasa mengambil kalung itu hendaknya segera dikembalikan, kalau tidak
dalam waktu tiga hari ia akan mati dan kalung tersebut akan kamu temui pada
baju pencuri itu”. Perintah beliau dijalankan oleh lelaki tersebut. Tapi tidak

54
seorangpun yang mengaku perbuatannya. Setelah tiga hari ia dapatkan orang
yang mencuri kalung isterinya itu mati. Waktu diperiksa ia dapatkan kalung
isterinya itu berada dalam pakaian si mayat sebagaimana yang dikatakan oleh
Sayid Umar.
Pernah beliau memberi kepada kawannya segantang kurma yang
ditempati dalam keranjang. Setiap hari orang itu mengambilnya sekadar untuk
memberi makan keluarganya. Segantang kurma itu diberi berkat oleh Allah
sehingga dapat dimakan selama beberapa bulan. Melihat kejadian itu si isteri
tidak tahan untuk tidak menimbangnya. Waktu ditimbang ternyata hanya
segantang saja seperti yang diberikan oleh Sayid Umar Al-Mudhor. Anehnya
setelah ditimbang kurma itu hanya cukup untuk beberapa hari saja. Waktu
keluarga itu mengadukan kejadian itu pada Sayid Umar beliau hanya
menjawab: “Jika kamu tidak timbang kurma itu, pasti akan cukup sampai
setahun”.
Doa beliau sangat mujarab, banyak orang yang datang pada beliau untuk
mohon doa. Ada seorang wanita yang menderita sakit kepala yang
berpanjangan. Banyak doktor dan tabib yang dimintakan pertolongannya.
Namun tidak satupun yang berhasil. Si wanita itu menyuruh seorang untuk
memberitahukan penderitaannya itu kepada Sayid Umar Al-Muhdhor. Beliau
berkunjung ke rumah wanita yang sakit kepala itu dan mendoakan baginya agar
diberi sembuh. Dengan izin Allah wanita itu segera sembuh dari penyakitnya.
Ada seorang lelaki yang mengadu pada beliau bahawa ia telah kehilangan
wang yang berada di dalam pundi-pundinya. Beliau berdoa kepada Allah
mohon agar wang lelaki itu dikembalikan. Dengan izin Allah pundi-pundi itu
dibawa kembali oleh seekor tikus yang menggondolnya.
Karamah beliau banyak sekali sehingga sulit untuk disebutkan semua.
Beliau wafat di kota Tarim pada tahun 833 H dalam keadaan bersujud waktu
bersolat Zohor. Beliau dimakamkan di perkuburan Zanbal.

AL HABIB ABDULLAH BIN ABU BAKAR AS SAKRAN

Beliau ialah penyusun Ratib Alaydrus yang sering dibaca di


beberapa majlis taklim, marga beliau bergelar Alaydrus yang
ertinya ketua orang-orang tasauf.
Beliau lahir di Tarim pada 10 Zulhijjah 811H. Ayah
beliau bernama Habib Abu Bakar Sakran dan ibunya
bernama Mariam dari seorang zuhud bernama Syeikh
Ahmad bin Muhammad Barusyaid.
Habib Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar Sakran seorang
wali qutub (imamnya para wali) dan seorang ahli sufi. Sejak kecil beliau gemar
sekali membaca karya-karya ulama termasyhur seperti kitab Ihya ulumudin
55
karangan Imam Ghazali hingga beliau hampir hafal kerana seringnya
membacanya.
Beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti:
- Syeikh Muhammad bin Umar Ba’alawi
- Syeikh Sa’ad bin Ubaidillah bin Abi Ubei
- Syeikh Abdullah Bagasyin
- Syeikh Abdullah Bin Muhammad Bin amar
- Syeikh Umar Muhdor (mertua nya seorang ulama ahli sufi)
Beliau menikah dengan anak gurunya Habib Umar Muhdor yang bernama
Syarifah Aisyah karena Habib Umar Muhdor mendapat isyarat dari para
pendahulunya untuk menikahkan anaknya dengan Habib Abdullah Alaydrus.
dan Beliau dianugerahkan lapan anak empat putera dan empat puteri.
Beberapa ulama memuji Habib Abdulloh Alaydrus di dalam karangannya
diantaranya Al-Yafie dalam kitab Uqbal Barahim al-Musyarokah, muridnya
Habib Umar bin Abdurrahman Ba’alawi dalam kitabnya Al-Hamrah mereka
menceritakan tentang manaqib, kewaliaan dan karamah-karamah beliau yang
terjadi sebelum dan sesudah beliau dilahirkan.
Sebahagian para auliya bermimpi bertemu dengan Rosulullah s.a.w. dan
memuji Habib Abdullah Alaydrus dengan sanadnya, ”Ini anakku…ini ahli
warisku…..ini darah dagingku…..ini rahsiaku…..ini ahli waris sunnahku….orang-
orang besar akan mempelajari ilmu tarekat darinya”.
Beliau mempelajari Tasawuf dan seorang guru Al Imam Syeh Umar
Muhdor dan membekali dirinya sebagai seorang syufi (ahli Tasawuf), beliau
sangat gemar membaca kitab-kitab karangan Imam Ghozali terutama kitab Ihya
Ulumuddin sehingga hampir hafal dan pindah ke batinnya.
Beliau banyak memuji sang pengarangnya, kami diperingatkan beliau
segala sesuatu mengenai terjemahan kita Ihya Ulumuddin tersebut.
Shohibur Ratib mempunyai kata-kata hikmah yang sangat tinggi mengenai
Tauhid diantaranya beliau mengucapkan “ SEANDAINYA SAYA DISURUH UNTUK
MENGARANG DENGAN HANYA HURUF ALIF SERATUS JILID PASTI AKAN SAYA
LAKUKAN”.
Diantara karangan Beliau adalah Kitab Alkibritul Ahmar dan syarahnya
dalam bentuk syair untuk Paman Beliau Al-Habib Syeh Umar Muhdor.
Antara lain kata-kata beliau “BAGI SAYA SAMA SAJA PUJIAN DAN MAKIAN,
LAPAR DAN KENYANG, PAKAIAN MEWAH DAN PAKAIAN RENDAH, LIMA RATUS
DINAR ATAUPUN DUA DINAR. SEJAK KECIL HATIKU TIDAK PERNAH CONDONG
SELAIN KEPADA ALLAH SWT DAN BAGAIMANA HATIKU BISA TENANG APABILA
BADAN SAYA BERBALIK KE KANAN SAYA MELIHAT SURGA DAN APABILA
BERBALIK KE KIRI SAYA MELIHAT NERAKA”.

56
Beliau sangat takut kepada ALLAH SWT , dan sangat tawadhu
(merendahkan diri). Beliau tidak pernah merasa dirinya lebih baik, dari
siapapun makhluk ALLAH bahkan binatang sekalipun.
Beliau senantiasa bersujud ditanah karena merendahkan dirinya di
hadapan ALLAH SWT. Dan beliau selalu membawa sendiri keperluannya dari
pasar dan tidak mengizinkan orang lain membawanya dan senantiasa beliau
duduk ditempat yang rendah dan senantiasa berjalan kaki ketempat-tempat
yang jauh dan kerap kali meminum air hujan. Demikianlah beliau memerangi
hawa nafsu keduniaan sejah usia 6 (enam) tahun. Al-Habib Abdullah Alaydrus
Akbar berpuasa selama dua tahun dengan buka puasa tidak melebihi dari dua
butir korma kecuali dimalam-malam tertentu dimana ibunya datang membawa
sedikit makanan untuk Beliau memakannya semata-mata untuk menyenangkan
hati ibunya.
Gurunya Habib Syeh Umar Muhdor berkata “ Aku mengawinkan putriku
Aisyah dengan keponakanku HabibAbdullah Alaydrus Akbar disebabkan Aku
mendapatkan isyarat dari sesepuhku (pendahuluku)”
Al-Habib Muhammad bin Hasan Almu’alim Ba’alawi berkata “ AL-HABIN
ABDULLAH ALAYDRUS AKBAR MENDAPATKAN SESUATU (MAQOM/ WILAYAH)
YANG TIDAK DIDAPATI OLEH ORANG LAIN. BAIK SEBELUM MAUPUN
SESUDAHNYA”.
Maqam Alhabib
Al-Habib Abdullah Alaydrus Akbar telah mendapat pujian dari orang besar,
para wali dan para guru, antara lain : kakeknya sendiri Al Imam Abdurrahman
bin Muhammad Assegaf, ayahnya Al-Habib Abubakar Assakran, Syeh Saad bin
Ali Al Majhaj, dan juga Syeh Abdullah bin Tohir Al Douanidan, pemuka sufi
wanita Al Zubaidiah, Syeh Ahmad bin Muhammad Al-Jabaruti, Syeh Umar bin
Said Bajabir. Syeh Husain Al Ghorib, Syeh Ma’aruf bin Muhammad Ba’Abbad,
Syeh Muhammad Baharmuz, Syeh Abdurrahman Al Khotib pengarang kitab Al
Jauhar, tidak menyebutkan seorangpun (dalam kitabnya) dari yang hidup selain
Beliau Al-Habib Imam Abdullah Alaydrus Akbar (Shohibur Ratib).
Beberapa pengarang kitab yang bermutu memuji dan meriwayatkan
Beliau diantaranya Al Yafii dalam Kitab Uqbal Barahim Al Musyaraqah,
muridnya Al Imam Al Habib Unmar Bin Abdurrahman Ba Alawi dalam kitabnya
Al Hamrah dan Syech Abdillah Bin Abdurrahman Bawazier, daalm kitab Al
Tuhfa, mereka mengytraknab Mankib (Riwayat Singkat), kewalian dan kramat-
kramat yang sebagaian terjadi sebelum dan sesudah Beliau dilahirkan.
Sebagaian para wali mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, yang memuji
Al Habib Al-Imam Abdullah Alaydrus AQkbar dengan sabdanya “INI ANAKKU, INI
AHLI WARISKU, INI DARAHKU DAGINGKU, ORANG-ORANG BESAR AKAN
MEMPELAJARI ILMU THAREQAT DARINYA”.

57
Diantara yang mengambil dan belajar thareqat dari Habib Abdullah
Alydrus Akabar antara lian saudaranya sendiri Habib Ali Bin Abi Bakr Syakran,
Habib Umar Ba’alawi, (pengarang kitab Alhamrah) dan pengarang kitab
Faturrohim Al Rahman, Syech Abdullah Bin Abdul Rahaman Bawazier Al
Alamah, Syech Abdullah Bin Ahmad Baksir Al Makki, dan ringkasnya kebaikan
dan akhlak Beliau tidak terlukiskan, sedangkan ilmu dan karomahnya laksana
lautan.
Al Habib Imam Abdullah Alaydrus Bin Abi Bakar Alaydrus (Shohibur Raatib)
wafat pada hari Ahad sebelum waktu Zhuhur tanggal 12 Romahdon 865 H.
dalam perjalanan dakwahnya dikota Syichir tepatnya didaerag Abul.
Dimakamkan dikota Tarim dan dinagun Kubah diatas pusaranya, Beliau wafat
dalam usia 54 tahun.
Beliau meninggalkan delapan anak, empat putera dan empat puteri.
Putranya : Abubakar Al Adni, Alwi, Syech, Husain.
Putrinya : Roqgayah, Khodijah, Umul Kultsum, Bahiya.
Ibu Beliau adalh yang bernama Mariam dari seorang yang Zuhud / Shaleh
bernmama Syech Ahmad Bin Muhammad Barusyaid.
Al Habib Muhammad Bin Hasan Al Mualim berkata “ SAYA MENDENGAR
BISIKAN YANG MENGATAKAN “ BILA KAMU INGIN MELIHAT SEORANG AHLI
SORGA, MAKA LIHATLAH MUHAMMAD BARUSSYAID”!! (DIRIWAYATKAN OLEH
AL IMAM Al – HABIB MUHAMMAD BIN ALI MAULA AIDIED)”.
Sewaktu Al Habib Imam Abdurrahman Bin Muhammad Assegaf wafat usia
Al Habib Abdullah Alaydrus Akbar 8,5 tahun. Dan pada waktu Ayahnya Belai
wafat (Abu Bakar Syakran) dan umur Beliau berusia 11 tahun setelah Ayahnya
wafat Beliau tinggal dan dididik oleh Pamannya Syech Al Habib Umar Muhdar
yang kemudian menikahkannya dengan puterinya Aisyah, pada saat Al Habib
Umar Muhdar Bin Abdulrahman Assegaf wafat Al Habib Abdullah Alaydrus
Akbar kurang lebih berumur 23 tahun.
Dan ucapan Shohibur Raatib kepada murid-muridnya :
Barang Siapa Yang Masuk Dalam Pendengaran Yang Sia-Sia, Maka Ia Telah
Berada Dalm Kerugian Yang Besar.
Nasehat-Nasehat Beliau Yang Tertuang Dalam Kitab Alkibratul Ahmar:
o Peraslah jasadmu dengan mujahadah (memerangi hawa nafsu dunia)
sehingga keluar minyak kemurnian.
o Barangsiapa yang menginginkan keridhoan ALLAH hendaklah mendekatkan
diri kepada ALLAH SWT, karena keajaiban dan kelembutan dari ALLAH SWT
pada saat di akhir malam.
o Siapapun dengan kesungguhan hati mendekatkan diri pada ALLAH maka
terbukalah khazanah ALLAH

58
o Diantara waktu yang bernilai tinggi merupakan pembuka perbendaharaan
Ilahi diantara Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya dan tengah malam
terkakhir sampai ba’da Sholat Shubuh.
o Sumber segala kebaikan dan pangkal segala kedudukan dan keberkahan
akan dicapai melalui ingat mati, kubur dan bangkai
o Keridhoan ALLAH dan RosulNya terletak pada muthalaah (mempelajari dan
memperdalam) Al-Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab agama Islam.
o Meninggalkan dan menjauhi ghibah (menggunjingkan orang) adalah raja
atas dirinnya, menjauhi namimah (mengadu domba) adalah ratu dirinya,
baik sangka kepada orang lain adalah wilayah dirinya, duduk bercampur
dalam majlis zikir adalah keterbukaan hatinya
o Kebaikan seluruhnya bersumber sedikit bicara (tidak bicara yang jelek)
didalam bertafakur tentang Ilahi dan ciptaaNya terkandung banyak rahasia
o Jangang kau abaikan sedekah setiap hari sekalipun sekecil atom,
perbanyaklah membaca Al-Qur’an setiap siang dan malam hari.
o Ciri-ciri orang yang berbahagia adalah mendapatkan taufik dalam hidupnya
banyak ilmu dan amal serta baik perangai tingkah lakunya.
o Orang yang berakal ialah orang yang diam (tidak bicara sembarangan)
o Orang yang takut kepada ALLAH ialah orang yang banyak sedih (merasa
banyak bersalah)
o Orang yang roja’ (mengharap ridho ALLAH) ialah orang yang melakukan
ibadah
o Orang mulia ialah orang yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan dalam
ridha ALLAH SWT yang didambakan dalam hidupnya
o Orang yang bertaubat ialah yang banyak menyesali perbuatannya, menjauhi
pendengarannya yang tidak bermanfaat dan mendekatkan diri kepada
ALLAH terutama di masa sekarang.

AL HABIB AHMAD BIN ABU BAKAR AS SAKRAN

Imam Ahmad lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya.
Beliau juga seorang yang hafal alquran yang ia pelajari dari syaikh Muhammad
bin Umar Ba’alawi. Melazimkan membaca lafadz sahadat ribuan kali setiap
harinya. Selain ayahnya beliau dididik oleh pamannya syaikh Umar Muhdhar.
Dari pamannya beliau belajar ilmu fiqih, tasawuf dan ilmu hakikat. Di samping
pamannya, Imam Ahmad belajar kepada sayid Muhammad bin Hasan
Jamalullail, syaikh Said Baubaid, keluarga Baqasyir dan keluarga Baharmi dan
kepada saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus.
Beliau mahir dalam ilmu hadits, fiqih dan usuluddin, rahasia nama-nama
Allah, ilmu aufaq dan huruf. Murid-murid beliau di antaranya Abu bakar al-
Adeni, sehingga beliau berkata : Sesungguhnya syaikh Shahabuddin al-Faqih
59
Ahmad bin syaikh Abubakar Sakran adalah berita gembira yang sempurna dan
penghulu manusia yang bersih dan suci, cinta kepada amal kebajikan. Murid
yang lainnya adalah Husin bin Abdullah Alaydrus, al-Faqih Abdullah bin
Abdurrahman Balahij, al-allamah Muhammad bin Abdurrahman Bilfaqih.
Imam Ahmad bin Abubakar Sakran wafat di Lisik tahun 869 hijriyah,
dikuburkan di Zanbal Tarim.

AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN

Syaik Ali bin Abubakar Sakran lahir di Tarim pada tahun 818 hijriyah, hafal
alquran dan membacanya mujawwad dengan dua riwayat yaitu Abi Amru dan
Nafi’, hafal kitab al-Hawi karangan al-Quzwani (baik kitab fiqih dan kitab
nahwu), beliau juga seorang guru besar ilmu syariat.
Kakeknya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Ketika ibunya
mengandung, ayahnya syaikh Abubakar Sakran memberitahukan kepada
isterinya bahwa anak yang dikandungnya mempunyai maqam yang agung.
Syaikh Abubakar Sakran berkata : Sesungguhnya ketika anakku sedang dalam
kandungan telah terkumpul pada diri syaikh Ali dua jenis ilmu, akan tetapi hal
tersebut masih tersembunyi dan akan terlihat sebelum rambutnya memutih’.
Dan ketika syaikh Ali lahir berkata kakeknya al-Muqaddam Tsani
Abdurrahman Assaqaf, ‘Sesungguhnya kelahiran anak Abubakar adalah
kelahiran seorang sufi’. Pada malam ke tujuh kalahirannya berkata saudaranya
syaikh Abdullah Alaydrus : ‘Namakan ia dengan Ali’.
Sesudah ayahnya wafat, beliau diasuh oleh pamannya syaikh Umar
Muhdhar , yang menjaganya dari hal-hal yang merusak serta mendidiknya
dengan kebaikan. Ketika pamannya wafat, beliau masuk khalwat. Dalam
khalwatnya beliau mendengar suatu panggilan : ‘Ya ayyuhannafsu mutmainah
irji’I ila robbika radhiyamatammardiyah’, kemudian beliau keluar dari
khalwatnya dan membaca kitab ihya ulumuddin, maka dibacanya kitab tersebut
sampai dua puluh lima kali tamat, setiap tamat dalam membaca kitab tersebut,
saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus mengundang para fuqaha dan masakin
untuk mengadakan tasayakuran.
Guru-guru beliau di antaranya ayahnya Abubakar Sakran, pamannya
syaikh Umar Muhdhar, syaikh Saad bin Ali, syaikh Shondid, Muhammad bin Ali
shohib shohib Aidid. Belajar fiqih dan hadits kepada al-faqih Ahmad bin
Muhammad Bafadhal. Beliau juga belajar ke Syihir, Gail Bawazir. Di Gail Bawazir
beliau belajar kepada para fuqaha dari keluarga Ba’amar, al-Baharmiz, syaikh
Abdullah bin Abdullah bin Abdurrahman Bawazir, dan tinggal di sana selama
empat tahun. Setelah itu beliau pergi ke Aden belajar kepada Imam Mas’ud bin
Saad Basyahil, kemudian mennaikan ibadah haji ke baitullah pada tahun 849
hijriyah dan tinggal di rubat Baziyad serta belajar kepada ulama di kota
60
tersebut. Kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah saw dan membaca
kita al-Bukhari kepada Imam Zainuddin Abi Bakar al-Atsmani di masjid nabawi.
Murid-murid syaikh Ali bin Abibakar Sakran di antaranya anak-anaknya
yang bernama Umar, Muhammad, Abdurrahman, Alwi, Abdullah dan sayid
Umar bin Abdurrahman shohibul Hamra, syaikh Abubakar al-Adeni Alaydrus,
syaikh Muhammad bin Ahmad Bafadhal, syaikh Qasim bin Muhammad bin
Abdullah bin syaikh Abdullah al-Iraqi, syaikh Muhammad bin Sahal Baqasyir,
syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bashuli.
Syaikh Ali seorang auliya’ yang mempunyai kefasihan lidah, terkumpul
padanya keutamaan dan kepemimpinan, beliau juga banyak mengkaji kitab
Tuhfah dan mengamalkan isinya, banyak shalat malam dan sesudahnya beliau
banyak menangis, seorang yang mempunyai sifat qanaah, tawadhu’. Di antara
keistimewaannya jika shalat, beliau lupa akan kehidupan duniawi dan tidak
pernah membicarakan dunia dalam majlisnya. Beliau pernah ditanya oleh
gurunya syaikh Said bin Ali pada keadaan menghadapi sakaratul maut, ‘Apa
yang engkau tinggalkan?’ Beliau menjawab hanya kamar ini.
Berkata saudaranya Abdullah Alaydrus, ‘Orang yang paling dekat hatinya
kepada Allah adalah hati saudaraku Ali’. Berkata pula syaikh Abdullah Alaydrus,
‘Sesungguhnya apa yang ada pada diriku karena saudaraku Ali, jika terbenam
sinar matahari saudaraku Ali, maka terbenam pula sinar matahariku’. Berkata
syaikh Umar Muhdhar kepada anaknya Fathimah sebelum dinikahi dengan
syaikh Ali, ‘Wahai Fathimah, nanti engkau akan menikah dengan seorang wali
quthub’.
Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail berkata : ‘Dalam shalat aku
berdoa kepada Allah swt agar diperlihatkan kepada seseorang yang mempunyai
rahasia-rahasia-Nya dalam zaman ini, maka aku melihat dalam mimpiku
seorang lelaki mengambil tanganku dan membawanya kepada syaikh Ali’.
Syaikh Ali seorang yang berjalan di atas thariqah kefakiran yang hakiki,
dalam thawafnya beliau berdoa : ‘Allahumma ij’alni nisfal faqir’ (Ya Allah
jadikanlah aku dalam keadaan setengah fakir), tidak mempunyai perasaan
benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah hingga
terbit matahari. Beliau juga hafal alquran dalam waktu empat puluh hari.
Kitab yang telah dibacanya : Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain,
Risalah al-Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma’arif, I’lamul Huda, Bidayatul Hidayah, al-
Muqtasid al-Asna, al-Ma’rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan
lainnya.
Sebagian ulama berkata : ‘ Sesungguhnya memandang beliau
menghilangkan kekotoran jiwa, kedudukan dan rahasia al-faqih al-muqaddam
ada pada beliau’. Berkata syaikh Muhammad bin Ali al-Khirrid ; ‘Memandang

61
beliau adalah obat bagi yang melihat, dan perkataannya obat penawar yang
mujarrab’.
Syaikh Ali bin Abibakar Sakran wafat pada hari Minggu tanggal dua belas
bulan Muharram tahun 895 hijriyah dalam usia 77 tahun. Keturunan beliau di
antaranya adalah keluarga al-Wahath, al-Musayyah, al-Umar Faqih, al-Bin
Ahsan (Banahsan) , al-Masyhur, al-Zahir, al-Hadi dan al-Shahabuddin.

Al-Habib Abu Bakar Sakran bin Abdurrahman As-Seggaf

Imam Abubakar as-sakran lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik


dalam rumah kemuliaan, ketaqwaan dan ilmu. Beliau seorang yang hafal
alquran dan menamatkannya pada setiap pagi hari. Imam Abubakar
merupakan kesayangan ayah dan saudara-saudaranya. Beliau dinamakan as-
sakran karena jika sedang beribadah kepada Allah swt melupakan segala
aktivitas lainnya tenggelam dalam suasana dzikir kepada Allah swt.
Beliau adalah Sayyidinal Imam Abu Bakar As-Sakran bin Syeikh al Ghauts
Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al-
Ghoyur bin Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin
Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-
Naqib bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Siti Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW )
Beliau digelari dengan As-Sakran (mabuk) , karena beliau mabuk dengan
cintanya kepada Allah swt.
Waliyullah Abu Bakar al-sakran dikarunia lima orang anak laki, yaitu:
Muhammad al-akbar, Hasan, Abdullah, Ali, dan Ahmad. Dari ketiga anaknya
yang bernama Abdullah, Ali dan Ahmad menurunkan keluarga al-Aydrus,
Syahabuddin, al-Masyhur, al-Hadi, al-Wahath, al-Munawar.
Waliyullah Abu bakar al-sakran wafat di Tarim tahun 821 Hijriyah.
Berkata saudara belia syaikh Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, ‘Saya
melihat mahkota guru besar berada di atas kepala saudaraku Abibakar’. Syaikh
Umar Muhdahr berkata, ‘Jika keluarga Abdurrahman Assegaf diberi suatu
kemuliaan maka cukuplah saudaraku Abubakar merupakan kemuliaan itu’.
Imam Abubakar as-sakran berkata, ‘Derajatku sama dengan kakekku
Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam yang mempunyai maqam auliya’.
Beliau berkata pula, ‘Kakekku Ali bin Alwi telah member dua keistimewaan
kepadaku, pertama aku mempunyai anak bernama Abdullah dan kedua aku
mengetahui segala sesuatu yang berada antara Arasy dan Poros bumi’.
Imam Abubakar assakran adalah seorang yang sangat takut kepada Allah
swt, beliau pernah menyendiri mengasingkan diri dari keramaian selama

62
sebelas bulan tidak tidur baik malam maupun siang. Beliau dapat menyaksikan
ka’bah dan apa yang ada di sekitarnya dari kota Tarim. Beliau seorang yang
selalu tenggelam dalam dzikir dan doa kepada Allah swt, bertawassul kepada
para auliya’ dan selalu bersikap khusnu dzhon, banyak mendoakan anak-
anaknya.
Syaikh Ali bin Abibakar Assakran dalam kitabnya al-Barkah al-Musyiqah
menyatakan, …beliau adalah salah satu wali besar ahli ma’rifah yang sempurna
dalam jalan kefakiran, pemaaf dan penyantun, tempat mengalirnya ilmu-ilmu
syariah tanpa bisa dibendung, mempunyai kedudukan yang agung, suka
berkhalwat.
Pada suatu hari seorang lelaki ingin meminang seorang wanita, syaikh
Abubakar berkata, ‘lelaki ini tidak akan menikah dengan wanita tersebut, akan
tetapi ia akan menikah dengan ibu wanita tersebut. Kejadian tersebut terbukti
dengan cerainya ibu wanita itu dengan suaminya dan kawin dengan lelaki yang
meminang anak gadisnya.
Beliau adalah seorang wali Allah yang mempunyai berbagai macam
karamah yang luar biasa. Beliau berasal dari keturunan Al-Ba'alawi. Sebahagian
dari karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pernah ada dua orang yang
datang ke kota Tarim (Hadhramaut) dengan maksud mengunjungi setiap orang
terkemuka dari keluarga Al-Ba'alawi yang berada di kota tersebut. Setibanya di
suatu masjid jami' keduanya dapati Syeikh Abu Bakar sedang bersolat di masjid
tersebut. Setelah solat Jumaat selesai keduanya menunggu keluarnya Syeikh
Abu Bakar dari masjid. Namun beliau tetap duduk beribadat dalam masjid
sampai hampir matahari terbenam. Kedua orang itu merasa lapar, tapi
keduanya tidak berani beranjak dari masjid sebelum bertemu dengan Syeikh
Abu Bakar. Tidak lama kemudian, Syeikh Abu Bakar Asseggaf menoleh kepada
mereka berdua sambil berkata: "Ambillah apa yang ada dalam baju ini".
Keduanya mendapati dalam baju Syeikh itu sepotong roti panas. Roti tersebut
cukup mengenyangkan perut kedua orang tersebut. Bahkan masih ada sisanya.
Kemudian sisa roti itu barulah dimakan oleh Syeikh Abu Bakar".
Diceritakan pula bahwa ada serombongan tetamu yang berkunjung di
Kota Tarim tempat kediaman Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Tetamu itu tergerak
di hatinya masing-masing ingin makan bubur gandum dan daging. Tepat waktu
rombongan tetamu itu masuk ke rumah Syeikh Abu Bakar, beliau segera
menjamu bubur gandum yang dimasak dengan daging.Kemudian sebahagian
dari rombongan tersebut ada yang berkata: "Kami ingin minum air hujan".
Syeikh Abu Bakar berkata kepada pembantunya: "Ambillah bejana itu dan
penuhilah dengan air yang ada di mata air keluarga Bahsin". Pelayan itu segera
keluar membawa bejana untuk mengambil air yang dimaksud oleh

63
saudagarnya. Ternyata air yang diambil ari mata air keluarga Bahsin itu rasanya
tawar seperti air hujan.
Pernah diceritakan bahawasanya ada seorang Qadhi dari keluarga
Baya'qub yang mengumpat Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Ketika Syeikh Abu Bakar
mendengar umpatan itu, beliau hanya berkata: "Insya-Allah Qadhi Baya'qub itu
akan buta kedua matanya dan rumahnya akan dirampas jika ia telah meninggal
dunia". Apa yang dikatakan oleh Syeikh Abu Bakar tersebut terlaksana sama
seperti yang dikatakan.
Ada seorang penguasa yang merampas harta kekayaan seorang pelayan
dari keluarga Bani Syawiah. Pelayan itu minta tolong kepada Syeikh Abu Bakar
Asseggaf. Pada keesokkan harinya penguasa tersebut tiba-tiba datang kepada
pelayan itu dengan mengembalikan semua harta kekayaannya yang dirampas
dan dia pun meminta maaf atas segala kesalahannya. Penguasa itu bercerita:
"Alu telah didatangi oleh seorang yang sifatnya demikian, demikian, sambil
mengancamku jika aku tidak mengembalikan barangmu yang kurampas ini".
Segala sifat yang disebutkan oleh penguasa tersebut sama seperti yang
terdapat pada diri Syeikh Abu Bakar.
Diceritakan pula oleh sebagian kawannya bahawasanya pernah ada
seorang ketika dalam suatu perjalanan di padang pasir bersama keluarganya
tiba-tiba ia merasa haus tidak mendapatkan air. Sampai hampir mati rasanya
mencari air untuk diminum. Akhirnya ia teringat pada Syeikh Abu Bakar
Asseggaf dan menyebut namanya minta pertolongan. Waktu orang itu tertidur
ia bermimpi melihat seorang penunggang kuda berkata padanya: "Telah kami
dengar permintaan tolongmu, apakah kamu mengira kami akan mengabaikan
kamu?" Waktu orang itu terbangun dari tidurnya, ia dapati ada seorang Badwi
sedang membawa tempat air berdiri di depannya. Badwi itu memberinya
minum sampai puas dan menunjukkannya jalan keluar hingga dapat selamat
sampai ke tempat tujuan.

Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib


Nasab Al-habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad

Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin
Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin
Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin
Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin
Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam
Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin

64
Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir
Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad
An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-
Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali
Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-
Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.
Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di
pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi
beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim
dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim ) dan
terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Kedua Orang Tua Beliau


Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad
dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid
Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal
sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy
Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad
dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang
termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna. Suatu hari Sayyid
Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad
bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta
Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya,
”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia
menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin
Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin
Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek
dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin
Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu
Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya
berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh
Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku
melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-Wilayah ( Kewaliyan ).
Masa kecil Beliau
Ketika Habib Abdullah berusia 4 tahun, beliau terserang penyakit cacar.
Demikian hebat penyakit itu, hingga hilanglah penglihatan beliau. Namun
musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut ilmu.
Beliau berhasil menghafal Al Qur’an dan menguasai berbagai ilmu agama ketika

65
masih kanak-kanak. Beliau sejak kecil gemar beribadah da riyadhoh. Nenek dan
kedua orang tuanya sering kali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini
melakukan berbagai ibadah dan riyadhoh. Mereka menasehati agar beliau
berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah
pun mengurangi ibadah dan riyadhoh yang sesunguhnya amat beliau gemari.
Di masa mudanya beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih,
berwibawa dan di wajahnya tidak tampak bekas-bekas cacar yang dahulu
menyebabkan beliau kehilangan penglihatannya.
Guru-guru Habib Abdullah bin alwi Al Haddad
1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin
Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman
Asseqaff,
2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin Aqil
bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff,
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,
4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin
Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff
6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin
Syaikh Abdurrahman Asseqaff
7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu
Bakar bin Salim
9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrohman bin
Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin
Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus
10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi

Murid-murid Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad


1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( putra beliau )
2. Habin Ahmad bin Zein Al Habsyi
3. Habib Abdurrahman bin Abdullah BilFaqih
4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith
5. Habib Umar bin Zein bin Smith
6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar
7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan As Segaf
8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha Ash Ahafi As Segaf
9. dll.

66
Suatu hari beliau berkata :
”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang
menuntut ilmu dariku “.
Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari
Quthbud Da’wah wal Irsyad.
Beliau berpesan :
“Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli
syariat kepada tarekat ( thariqah ) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat
kepada hakikat ( haqiqah ) dengan bahasa hakikat, ajaklah ahli hakikat kepada
Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul Haq kepada Al-Haq dengan
bahasa Al-Haq.”

Ibadah Beliau
Pada masa Bidayahnya ( permulaannya ); setiap malam beliau
mengunjungi seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Telah lebih 30
tahun lamanya beliau beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di
Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah binAbu Bakar Al-Khotib, salah seorang guru Fiqih
beliau, berkata :
”Aku bersaksi bahwa Syyidi Abdullah Al Haddad berada di Maqom Sayyid ath-
Thoifah Junaid.”

Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif


ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk
ke Yaman. Para Ulama khawatir akidah masyarakat akan rusak karena pengaruh
ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka lalu meminta beliau untuk
merumuskan sebuah doa’ yang dapat mengokohkan akidah masyarakat dan
menyelamatkan mereka dari faham-faham sesat. Beliau memenuhui
permintaan mereka lalu menyusun sebuah doa’ yang akhirnya dikenal dengan
nama Ratb Al Haddad. Disamping itu beliau juga merumuskan bacaan dzikir
yang dinamainya Wirid al-Lathif. Ketika berusia 28 tahun, ayah beliau meninggal
dunia dan tak lama kemudian ibunya menyusul.

Keluhuran Budi Beliau


Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat gangguan dari masyarakat
lingkungannya, Beliau berkata :
Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka
tabah dan sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah SWT.
Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa

67
gangguan-gangguan itu sebenarnya juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka
lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT hendak menguji dan menyucikan jiwa
mereka.
Rasulullah bersabda :
“Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah SWT mencintai
suatu kaum, ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh
keridhoannya; barang siapa tidak ridho, Allah SWT akan murka kepadanya.” (
HR Thabrani dan Ibnu Majah )
Habib Abdullah juga menjadikan Ratib Al-Atthas karya gurunya, Habib
Umar bin Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. Ketika seseorang datang
minta ijazah atau izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau berkata :
“Bacalah Ratib Gurku, kemudian baru Ratibku”

Ini merupakan cermin bagaimana seorang murid menghormati gurunya, meski


karyanyalah yang lebih populer.
Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa
harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan
hadiah kepada orang yang ditegurnya. Beliau berkata :
”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci dan iri pada
seseorang!”
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau lebih suka berpegang pada hadits
Rasulullah SAW :
”Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung
gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat
dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan Ahmad )
Dalam kesempatan lain beliau berkata :
“Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga
tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapapun dari
mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai
kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun sahara. Itulah
keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak
melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.”
Beliau menulis dalam sya’irnya :
Bila Allah SWT mengujimu, bersabarlah
karena itu haknya atas dirimu.
Dan bila ia memberimu nikmat, bersyukurlah.
Siapapun mengenal dunia, pasti akan yakin
bahwa dunia tak syak lagi
adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan.

68
Beliau tidak pernah bergantung pada mahluk dan selalu mencukupkan diri
hanya kepada Allah SWT. Beliau berkata :
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia
Allah SWT. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya.”
“Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT.
Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan
kedudukannya di sisiku, karena aku mrnganggap orang itu hanyalah perantara
saja,”

Beliau sangat menyayangi kaum faqir miskin,


“Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum
faqir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin
yang lemah.” “Dengan sesuap makanan tertolaklah bencana.”
Karya-karya Beliau
1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal Imaniyyah
2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah
3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah wal Muazaroh
4. Al Fushul ‘Ilmiyyah
5. Sabilul Iddikar
6. Risalatul Mudzakaroh
7. Risalatu Adabi sulukil Murid
8. Kitabul Hikam
9. An Nafaisul ‘Uluwiyah
10. Ithafus Sail Bijawabil Masail
11. Tatsbitul Fuad
12. Risalah Shalawat ; diantaranya Shalawat Thibbil Qulub ( Allahumma shalli
‘ala sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wadawa-iha, wa’afiyati abdani
wa syifa-iha, wanuril abshari wadliya-iha, wa’ala alihi washahbihi wasalim.)
13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi )
14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )
Karya-karya beliau sarat dengan inti sari ilmu syari’at, adab islami dan
tarekat, penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata
bahasa yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami.
Berisi ajaran tasawuf murni. Beliau berkata :
“Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat
dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya
segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun
awam.”

69
Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran islam ( tauhid, syari’at, akhlaq,
tarekat ) semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam Ad-Durrul Mandzum,
misalnya beliau menulis :
“Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat berbagai ilmu yang tidak yang
tidak ada dalam kitab lainnya. Maka barang siapa membacanya secara rutin,
lalu berpegang teguh kepadanya, cukup sudah baginya.”
Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya
Habib Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan
hanya bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya.

Sebagai Mujaddid Abad ke 11 H.


Penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib
Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid ( pembaharu )abad 11 H.
pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman
yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli.
Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan
yang indah,yaitu:
”Dalam Dunia Tasawuf Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani
ibarat tukang potong dan Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah
penjahitnya.”

Beberapa Ulama memberinya beberapa gelar, seperti :


• Syaikhul Islam ( Rujukan utama keislaman )
• Fardul A’lam ( Orang teralim )
• Al-Quthbul Ghauts ( Wali tertinggi yang bisa menjadi wasilah pertolongan )
• Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad ( Wali Tertinggi yang memimpin Dakwah )

Pendapat Ulama tentang Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.


Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-
Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang
dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu,
hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat dizaman ini ( abad
12 H ).
Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan,
“Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba
Alawy"
Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra.
mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat

70
bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan
baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu
dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan
banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya
orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak
berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah
SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat
diukur.”
Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-
Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa
masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka'at
kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib
Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah ( fath ) dari allah swt sejak masa
kecilnya".
Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib
Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota
Tarim).
Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib
Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau
sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti
mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu
Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan
sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.
Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah
telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-
Quthbaniyyah.”
Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib
Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan
merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau
mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku
tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak
ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib
Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya".
Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-
Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada
Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan
mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib
Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku
sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul

71
Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat),
maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka
semenjak itu aku berta'alluq kepadanya".
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-
Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya
terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib
Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada
orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit
sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri
bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang
bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu
pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam
ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu
tersebut bagi penghuni zaman ini".
Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib
Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin
Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang
berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-
Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh
Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan
mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu
itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku,
kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada
seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku
memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H,
yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat
bagi penghuninya.”
Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah
memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk
mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah
memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi
‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”
Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah
mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan
memudahkannya,bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb
Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad ra".
Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang
hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah,
sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada

72
sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya
darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya
melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau
berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah
saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Wafatnya Beliau
Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, beliau sakit dan tidak ikut
shalat ashar berjamaah di masjid dan pengajian sore. Beliau memerintahkan
orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut
mendengarkan dari dalam rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya berjamaah
dan tarawih. Keesokan harinya beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at. Sejak
hari itu, penyakit beliau semakin parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai
akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah 1132 H / 1712 M beliau wafat di kota
Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan.
Beliau wafat dalam usia 89 tahun, meninggalkan banyak murid, karya dan
nama harum di dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim.
Meski secara fisik telah tiada, secara batin Habib Abdullah bin Alawy Al-
Haddad tetap hadir di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya
kita baca.
al-Quthub Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, mempunyai enam orang anak
laki:
1. Zainal Abidin
2. Hasan, wafat di Tarim tahun 1188 H, anaknya Ahmad.
3. Salim
4. Muhammad, keturunannya di Tarim
5. Alwi, wafat di Makkah tahun 1153 H, keturunannya di Tarim
6. Husin, wafat di Tarim tahun 1136 H keturunannya di Aman, Sir, Gujarat

~~~~~ Alhamdulillah ~~~~~

73
Sumber :
- https://.../site/pustakapejaten/
- Berbagai sumber internet

Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam manaqib ini,


mohon Untuk kritik, saran dan request manaqib bias
kirim ke :

Oke.banget@yahoo.co.id

Semoga Bermanfaat

74

Anda mungkin juga menyukai