Anda di halaman 1dari 22

MAJU MUNDURNYA PERADABAN ISLAM

DISUSUN OLEH:

NOVITA SAFITRI
23052250008

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Alfi Julizun Azwar, M.Ag


196807141994031008

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM RADEN FATAH

PALEMBANG

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Puji syukur
kepada Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dan alam seisinya untuk makhluknya
serta mengajari manusia tentang Al-qur’an dan kandungannya, yang dengan akal pikiran
sebagai potensidasar bagi manusia untuk menimbang sesuatu itu baik atau
buruk,menciptakan hati nurani sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah
menciptakan fisik dalam sebagus bagusnya rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita
kepada-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dan keluarga sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
Faktor maju dan mundurnya peradaban Islam berdasarkan teori Ibnu Khaldun, yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya para mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah
Palembang . Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengampuh mata kuliah kami meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah kami dimasa-masa yang akan datang dan mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca. Akhirnya kami mengucapkan jazakumullahu khairan
katsiran,billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Palembang, 01 Oktober 2023

Penyus
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban Islam merupakan sebuah peradaban yang membawa perubahan dominan


baik dalam aspek sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Peradaban yang
dimulai pertama kali di kota kecil Madinah mampu menjadi salah satu peradaban besar, kaya
akan ilmu pengetahuan, serta memiliki daerah kekuasaan yang luas. Islam mampu
berkembang bukan hanya sebagai agama namun juga sebagai politik. Hal ini bisa kita lihat
dengan munculnya dinasti-dinasti Islam setelah sistem kekhalifahan hancur atau tidak
digunakan kembali. Dinasti dinasti yang mendominasi Islam selanjutnya adalah dinasti
Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mamluk, Fatimiyyah, dan masih banyak lagi.

Setelah sistem kekhalifahan tidak digunakan lagi dalam pemerintahan Islam, Islam
menggunakan sistem baru dalam aspek pemerintahannya, dimana yang awalnyanya bersifat
musyawarah dalam memilih seorang pemimpin maka pada sekitar abad ke-7, sistem itu
diganti atau berubah menjadi sitem monarki/kerajaan yang ditandai dengan berdirinya dinasti
baru di Damaskus yang didirikan oleh salah seorang sahabat nabi yaitu, Muawiyyah bin Abi
Sufyan.1

Daulah Umamiyyah berkuasa kurang lebih sekitar 200 tahun kemudian setelahnya
digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Namun setelah Islam berkuasa kurang lebih selama 500
tahun dibawah kedaualatan Abbasiyah, Islam harus mengalami sebuah kemunduran akibat
lemahnya sultan yang berkuasa dan luasnya wilayah kekuasaan yang dimiliki tidak
terkontrol, disisi lain hancurnya peradaban Islam karena adanya serangan Mongol yang tidak
bisa dibendung. Para Sultan yang berkuasa hidup lebih glamour dan terjadi kesenjangan
dimana para sultan yang berkuasa lebih mementingkan kehidupan pribadinya dibanding
kehidupan umatnya. Dengan begitu karisma dan kebijaksanaan Sultan hilang, sehingga
membuat wilayah kekuasaan yang luas tidak terkontrol dan termonitori dengan baik. Oleh
karena itu banyak wilayah yang berada dibawah kekuasaan Abbasiyah membentuk dinasti
sendiri. Tidak kalah pentingnya juga, kemunduran daulah Islam dipercepat dengan adanya

1
Muh Jabir, ‘Dinasti Bani Umayyah Di Surriah (Pembentukan, Kemajuan, Dan Kemundurannya)’, Jurnal
Hunafa, 4 (2017), 271–80.
serangan Mongol yang masuk kewilayah Islam dan berhasil menghancurkan ibu kota Islam di
Baghdad pada tahun 1258 M.2

Menurut Ibnu Khaldun hal itu sangat wajar karena pola dalam pemerintahan atau
suatu peradaban terdiri dari tiga fase yaitu, lahir, maju, dan mundur. Dalam pola yang digagas
Ibnu Khaldun, peradaban mengalami tahapan transformasi diantaranya: pertama, periode
suatu negara memiliki tingkat ashobiyah yang kuat dan dapat berusaha untuk terbentuk
menjadi sebuah negara, mereka berada dalam keadaan primitif, jauh dari kehidupan kota
yang mewah dan modern. Kedua adalah tahap kesuksesan, hirarki ashobiyah yang kuat dapat
"mengambil" atau membentuk sebuah negara bahkan peradaban dengan stabil dimana kondisi
politik, sosial, dan ekonomi dapat terkendali dengan baik, maka yang berkuasa atau
peradaban yang berkuasa sangat dihormat karena Ashobiyah yang kuat. Ketiga adalah
tahapan ketika mereka "menduduki" negara dengan ashobiyah yang mulai ditinggalkan dan
tidak sesuai dengan visi pertama dibentuk, sehingga tahap ketiga ini peradaban akan
mengalami kemunduran akibat sultan atau raja yang kurang mampu menjalankan politik,
sosial, dan ekonomi yang stabil bagi rakyatnya.3

Selain yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun juga, Allah SWT juga berfirman dalam
surat Ali-Imran 140 yang berbunyi:
‫ٱ ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫ن َيْم َس ْس ْمُك َقْر ٌح َفَقْد َم َّس ْلَقْو َم َقْر ٌح ِّم ْثُهُل ۥۚ َو ِتَكْل َأْلاَّي ُم ُنَد اِو ُلَها َبَنْي لَّناِس َو ِلَيْعَمَل ُهَّلل ِذَّل يَن‬
‫ِإ‬
‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫َء اَمُنو۟ا َو َيَّتِخ َذ ِم نْمُك ُش َهَد ٓاَء ۗ َو ُهَّلل اَل ِحُي ُّب لَّٰظ ِلِم َني‬
Artinya : “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum
(kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan
supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya
sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-
orang yang zalim”.

Sudah dijelaskan bahwa Allah Swt memberikan sebuah kemenangan, kejayaan,


kemunduran, serta kekalahan terhadap setiap umat agar mereka senantiasa untuk berpikir dan
mengambil pelajaran atas apa yang telah terjadi.4

2
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 10th edn (Bandung: Pustaka Setia, 2008), p. 127
3
Asrul Muslim, ‘Perubahan Sosial’, 7.2 (2012), 138–48.
4
Kementrian Agama, AlQuran Dan Tafsirnya Jilid 2 (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012).
Dengan dalil Q.S Ali-Imran 140 serta konsep yang digagas oleh Ibnu Khaldun,
menjadi hal yang lumrah mengapa daulah yang hebat dan maju bisa mengalami kemunduran
yang sangat drastis. Selain itu pada awal abad ke 12 ini yang paling memukul bagi
kemunduran Abbasiyah adalah adanya serangan yang dilakukan oleh Bangsa Mongol yang
membuat Bagdad seolah-olah menjadi kota mati. Penyerangan yang dilakukan oleh Mongol
tersebut mengakibatkan syok terapi bagi umat Islam pada saat itu karena mereka beranggapan
bahwa tidak akan ada yang selamat dalam pertempuran melawan Mongol.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teori Ibnu Khaldun tentang pembangunan dan kemunduran
Peradaban ?
2. Apa itu benturan Peradaban?
3. Apa saja faktor penentu kemajun dan kemunduran Peradaban Islam?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Teori Ibnu Khaldun tentang pembangunan dan kemunduran
Peradaban.
2. Untuk mengetahui apa itu benturan Peradaban.
3. Untuk mengetahui faktor penentu kemajun dan kemunduran Peradaban Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Ibnu Khaldun


Nama asli Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman bin Muhammad, dan nama ayahnya
adalah Muhammad bin Muhammad, kemudian nama kakeknya adalah Khalid bin Usman.
Jadi nama lengkap beliau adalah Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-hasan
ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman bin Khalid ibn Usman ibn Hani al-
khttab ibn kuraib ibn ma‟dikarib ibn haris ibn al-wail ibn hujr. 5 Sebutan ibnu khladun karena
dihubungkan dengan garis keturunan kakeknya yaitu khalid bin usman. Kakeknya merupakan
orang pertama yang memasuki negara Andalusia. Kebiasaan orang-orang andalusia yang
terbiasa menambahkan huruf wow ‫ و‬dan nun ‫ ن‬belakang nama-nama orang yang terkemuka
sebagai penghormatan dan ta’dzim, maka nama khalid pun berubah kata menjadi Khaldun.6

Beliau lahir di tunisia pada 27 mei 1331 M dan wafat pada 19 maret 1406 M/ 25
Ramadhan 808 H, atau lahir di abad 14. Era ketika abad itu barat mulai bangun dan Islam
mulai jatuh. Era kegelapan Islam dimulai dan kejayaan barat muncul. Ibnu Khaldun menjadi
saksi dimana pada era itu Islam terpecah-pecah luar biasa dan dikenal sebagai pintu ijtihad
sudah tertutup, artinya pada abad itu manusia sudah berpikir bahwa pengetahuan sudah
selesai dan mereka hanya tinggal memilih untuk ikut mazhab yang mana. Ilmu pengetahuan
tidak berkembang, yang ada adalah syarah (komentar), saking tidak berkembangnya syarah
itu dikomentari menjadi hasiyah dan kemudian hasiyah dikemontari kembali menjadi taqlik. 7

Semua itu bagus dari sisi kreatifitas dan minim dari produktifitas artinya tidak ada
baru pada abad itu. Secara serius ibnu khladun memulai menulis di umur 40 tahunan,
sebelumnya ia berkarir di dunia politik. Karier politik ibnu khladun dimulai degan mengabdi
kepada pemerintah Abu muhammad ibn Tafrakin pada tahun 751 H/ 1349 M. Ketika menjadi
bagian pada pemerintahan ini, Ibnu Khaldun menjabat sebagai penulis kata-kata al-
hamdulillah dan al-shukrulillah dengan pena serta tulisan basmallah yang menjadi penduhulu
dalam surat atau intruksi. Kedudukan ini membutuhkan suatu kekhususan di bidang
mengarang sehingga tulisan kata-kata syukur dan isi surat menyatu menjadi satu kesatuan
tulisan yang selaras.8

Karya monumental Ibnu Khaldun yang sangat luar biasa ialah al-‘Ibar wa Diwan al-
Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa alBarbar. Sebuah karya yang
empiris dan terdiri dari beberapa jilid. Muqoddimah merupakan sebuah pendahuluan atau

5
Badri Yatim, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya, (Jakarta: Grafiti Prers, 1990). 5
6
Firdaus Syam, Pemikiran Pilitik Dan Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-
3, Ed. I, Cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 67.
7
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha, 56.
8
Ali Audah, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 26
pengantar dari kitab al-‘ibar. Dalam muqoddimah itulah Ibnu Khaldun memberi nama khusus
pada ilmu-ilmu kemasyarakatan.9

Pada abad 19 seorang orientalis yang bernama franz rosenthal mengkaji dan
menerjemahkan karya muqoddimah Ibnu Khaldun, Rosenthal menulis bahwa Ibnu Khaldun
adalah seorang pemikir yang luar biasa, dan banyak orang yang menyaksikan sejarah, namun
tak semua dapat menulisya seperti khaldun menyusun muqoddimah. Gagasan-gagasannya
sangat banyak menduhului zamannya. Ibnu Khaldun orang pertama yang mengkritisi
sejararah, oleh sebab itu beliau di kenal sebagai bapak historiografi selain itu juga di kenal
sebagai bapak ekonomi dan bapak sosiologi.10

B. Teori Ashabiyah Menurut Ibnu Khaldun

Secara harfiah ashabiyah berasal dari kata ashaba yang memiliki arti mengikat. Secara
fungsional ashabiyah berbicara tentang ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk
menjalin ikatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dipahami sebagai solidaritas
sosial, dengan mewujudkan kesadaran, kepaduan dan kesatuan komunitas. 11 Istilah ashabiyah
oleh Ibnu Khaldun dibagi menjadi dua macam pengertian. Pertama, definisi ashabiyah
bermakna positif dengan mengarah kepada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam
sejarah peradaban Islam konsep ini menciptakan solidaritas sosial masyarakat Islam untuk
saling gotong royong, mengesampingkan kepentingan personal (self-interest), dan memenuhi
kewajiban kepada sesama. Semangat ini yang kemudian mewujudkan keselarasan sosial dan
menciptakan kekuatan yang sangat luar biasa dalam menopang perkembangan dan kemajuan
peradaban manusia. Kedua, arti ashabiyah yang memiliki makna negatif yaitu dengan
menimbulkan kesetiaan dan fanatsime membuta yang tidak didasari kepada aspek kebenaran.
Kontek pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan
Islam. Karena akan membuat kekacauan nilai-nilai kebenaran dalam prinsip-prinsip agama. 12

Menurut Ibn Khaldun bahwa kebenaran agama memilki peran penting dalam
menciptakan persatuan dalam ashabiyah. Semangat persatuan rakyat yang dibentuk oleh
kebenaran agama tidak dapat ditandingi oleh semangat persatuan yang diciptakan oleh faktor
lainnya. Baik itu suku/ras, kebangsaan, keturunan, atau keluarga sekalipun.13
9
Badri Yatim, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya, 9
10
Ali Audah, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, 33
11
Jhon L.Esposito (ed). Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Mizan, 2001). 198
12
Nurul Huda, Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiya, jurnal SUHUF, Vol. 20. No.1, Surakarta: Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mei 2008. 41-51.
13
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negera: Pemikiran Ibnu Khaldun, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992). 155.
Secara umum, konsep ashabiyah menurut Ibnu Khaldun mempunyai spektrum luas dalam
menjelaskan relasi sosio-kultural. Ada lima bentuk ashabiyah yaitu: 1. Ashabiyah
kekerabatan dan keturunan adalah ashabiyah yang paling kuat. 2. Ashabiyah persekutuan,
terbentuk karena seseorang membuat komunitas dengan komunitas lain yang menjadi satu
ikatan. 3. Ashabiyah kesetiaan, tercipta akibat kondisi sosial. Ashabiyah ini tumbuh dari
persahabatan dan pergaulan yang timbul dari ketergantungan seseorang kepada garis
keturunan yang baru. 4. Ashabiyah penggabungan, ialah ashabiyah yang terjadi karena
lepasnya seseorang dari keluarga dan kaum yang lain. 5. Asabiyah perbudakan terbentuk dari
hubungan antar tuan dan budak. Para budak mempunyai keterikatan kepada tuan. Sehingga
harus patuh kepada tuannya.14

Sebagaimana penjelasan di atas, secara umum ashabiyah yang maksudkan Ibnu Khaldun
dapat diklasifikasi sebagai berikut:

1. Ashabiyah di Bidang Sejarah

Dalam karyanya muqoddimah, Ibnu Khaldun berbicara secara rinci tentang sejarah
bangsa arab, zaman dimana masyarakat arab terdiri dari bangsa barbar, yang sebagian besar
penduduknya tinggal menetap dan hidup mengembara. Masyarakat budaya (hadharah) yang
lebih dulu modern hidupnya telah menetap dan sudah berbisnis tentu mengalami kemajuan
peradaban. Menurut Ibnu Khaldun ada tiga ras masyarakat yang paling menonjol di ras arab.
Pertama, ras arab yang memiliki ciri pengembara yaitu ras perampok dan pemalas. Mereka
merampok menurut kemampuan mereka tanpa rasa takut bahaya. Setelah itu mereka lari
bersembunyi di gurun pasir, dan mereka tidak mau ambil resiko perang kecuali bila terdesak
mempertahankan diri. Kedua, ras arab yang mempunyai naluri suka mengembara dan tidak
terikat oleh ketentuan hukum dan politik. Karakter ini berbeda jauh dengan karakter etnis
menetap. Ketiga, etnis arab jauh lebih pengembara dari etnis mana pun. Teori ini dikenal
dengan teori “teori ras” dan ini menimbulkan pro-kontra dari para ilmuan.15

Menurut Ibnu Khaldun sejarah adalah hal yang rasional, factual dan bebas dari mitos.
Sejarah bukan untuk dimonopoli, para ahli sejarah cenderung mengangkat fakta yang bersifat
narrative untuk suatu kepentingan. Padahal sejarah itu milik semua orang dan saling memberi
pengaruh bukan mempolitisi sejarah menjadi kepentingan pribadi. Dan oleh sebab itu sejarah
harus dipahami sebagai pemahaman dalam (nadhar) yang meliputi penalaran kritis dan upaya

14
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha, 340.
15
Hanik Yuni Alfiyah, Dalam Syamsudin Abdullah. Agama Dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama
(Logos Wacana Ilmu; 1997). 60.
mencari kebenaran (tahqiq). Penjelasan Ibnu Khaldun ini mengandung arti bahwa kebenaran
yang terjadi dalam sejarah merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan, dan
peradaban. Maka pokok perubahan dan pengembangan sejarah adalah ashabiyah. Peran
ashabiyah dalam rumpun sejarah ini terutama pada eksistensi suatu peradaban negara yang
saling berkaitan, karena bila ashabiyah lemah maka suatu negara itu akan mengalami
kehancuran, dan akan muncul negara baru.

2. Ashabiyah di Bidang Agama

Agama memiliki arti penting dalam ashabiyah. Ashabiyah akan memiliki fondasi
bilamana perasaan atau jiwa itu dilandaskan pada faktor-faktor keagamaan atau faktor
duniawi yang legal. Agama sangat erat kaitannya untuk kemajuan ashabiyah. Seperti
dikatakan oleh Rasulallah bahwa muslim dengan muslim lainnya bagaikan satu badan yang
sama. Oleh karena itu ashabiyah memiliki ikatan kekerabatan antar sesama. Dan ini
mewujudkan kesadaran sosial. Ashabiyah pada dasarnya bukanlah sesuatu yang kongkrit atau
bisa kita sebut suatu hal yang abstrak tanpa wujud dan juga tidak hanya terjadi pada
hubungan yang ada ikatan darah saja. Melainkan ashabiyah ini merupakan hubungan
komunitas yang tidak berhubungan darah namun memiliki tujuan dan ikatan yang sama.16

3. Ashabiyah Dalam Pertumbuhan Negara

Fondasi pemerintah negara dicanangkan berdasarkan kekuatan ashabiyah. Peran


ashabiyah dalam sebuah negara menurut Ibnu Khaldun haruslah menggunakan ciri yang khas
yaitu menceritakan keadaan sebenarnya. Karena sebuah negara yang berperadaban tercipta
melalui pembangunan dan penaklukan kota-kota oleh masyarakat yang memiliki ashabiyah
yang kuat. Tujuan pembentukan negara ialah menciptkan keinginan-keinginan alamiah dan
mengakualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup manusia.17

Ashabiyah tetap di nilai sebagai faktor esensial bagi kemajuan negara. Terbentuknya
negara yang besar, luasnya daerah dan bagaimana negara itu jadinya sangatlah tergantung
kepada kekuatan masyarakatnya. Oleh sebab itu suatu negara tidak bisa didirikan tanpa
adanya ashabiyah.

16
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha 50.
17
Oesman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Mayarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). 32
Dalam fase ini Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa pada awal pendirian sebuah negara,
ashabiyah yang terdapat dalam masyarakat sangatlah kuat sehingga mampu menghancurkan
sebuah peradaban yang ada sebelumnya, namun setelah peradaban lama hancur, mereka
mulai memasuki fase ke dua dengan memulai membangun kembali peradaban baru dan
biasanya penguasa ingin menciptakan status dengan regulasi-regulasi sehingga mulai banyak
yang tersingkirkan. Orang-orang yang ada di fase awal pendirian negara ini mulai kehilangan
statusnya karna telah disingkirkan.

Dalam fase ini masyarakat membangun dan ashabiyah yang masih kuat tapi
cenderung melemah karna orang-orang yang terlibat pada fase awal yang mulai disingkirkan.
Pada fase ke tiga yaitu fase dimana ashabiyah luntur karena fase ini sudah menikmati
kesuksesan. Orang orang dalam fase ini berlomba-lomba untuk kenikmatan dan mulailah
lahir persaingan, semua orang berkompotitif untuk saling menjatuhkan, saling menguasai dan
mengungguli meskipun dengan cara yang tidak adil atau dengan menabrak batasan-batasan
diluar moral. Pada fase ini ashabiyah sudah sangat melemah dan hampir tiada karena
persaingan untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.

Kemudian ada fase ke empat yaitu fase kemalasan. Fase ini menjadikan ashabiyah
sudah hilang karena masyarakatnya cenderung pasif kemudian negara mulai kacau dimana
kebutuhan sudah tidak dapat di jangkau dengan baik mulai dan terjadilah krisis. Kondisi
negara semakin kacau yang tidak terkendali, masyarakat maupun negara sudan bermalas-
malasan sehingga masuklah pada fase kelima yaitu menghabiskan sumber daya yang ada.
Pada fase ini adalah tanda runtuhnya peradaban, karena masyarakat hanya cenderung
menghabiskan sumber daya yang ada tanpa berpikir kreatif. Hal ini terjadi akibat kemalasan
yang terjadi pada masa sebelumnya, masyarakat malas dan produksi tidak dapat diciptakan
dan tinggal menunggu kehancuran dan kemudian kematian. Fase ini akan melahirkan kembali
ashabiyah yang kuat yang akan merebut peradaban yang sudah hampir mati tersebut dan fase
awal akan dimulai lagi, yang membedakan adalah pada aspek waktu dan materi. Menurut
Ibnu Khaldun ini yang disebut dengan teori siklus.18

C. Perkembangan Peradaban Manusia Berbasis Ashabiyah

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia tidak dapat hidup secara
individual mereka tidak akan mampu hidup sendiri, mereka akan saling membutuhkan orang
18
Zainab Kudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Bandung: Pustaka, 1999), 89.
lain. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa menjalin dengan beberapa tenaga lain jika ia
hendak memperoleh makanan bagi diri dan sesamanya. Dengan berkerja sama kebutuhan
manusia dapat terpenuhi.19

Hal ini memberikan penjelasan bahwa dalam peradaban manusia antar satu komunitas
dengan komunitas lain harus bergotong royong dan saling melengkapi agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang terciptanya interaksi sosial. Dari pengertian ashabiyah yang telah
dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa teori yang dibuat oleh Ibnu Khaldun ini
menyebutkan sebagai ’Umran badawi (bedouin culture) dan ’Umran hadhiri (civic culture).
Jika dikaitkan dengan peradaban dan perkembangan manusia maka teori ashabiyah akan
menjadi “peradaban basis komunitas”. Berbasis peradaban badawi (komunitas tradisonal) dan
peradaban hadhiri (komunitas modern). Dengan perilaku yang ada di dalam komunitas
masing-masing.20

Sebagaimana telah diungkapkan oleh Ibnu Khaldun, dalam kedudukannya sebagai


individu, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan keterikatan dengan
orang lain (ta’awun). Manusia dapat menjadi kuat dan hidup apabila melebur diri dalam
masyarakat dan menciptakan interkasi sosial di dalamnya. Kesadaran tentang kelemahan
tersebut mendorong manusia untuk saling berperan dalam sistem gotong royong dengan
orang lain dalam memenuhi kenutuhan hidupnya.

D. Perkembangan ’Umran badawi (Bedouin Culture) dan ’Umran hadhiri (Civic


Culture)

Adapun ashabiyah dalam perkembangan peradaban manusia yang barbasis komunitas


tradisional/desa dan modern/kota telah disebutkan oleh Ibnu Khaldun sebagai berikut:

1) Peradaban Komunitas Tradisional/Desa (Bedouin Culture)

Dalam komunitas desa produksi yang paling sederhana adalah pertanian. Pekerjaan ini,
menurut Ibnu Khaldun, tidak memerlukan ilmu dan ia merupakan penghidup orang-orang
yang tidak punya dan orang-orang desa. Oleh karena kegiatan bertani ini jarang dilakukan
orang-orang kota pada umumnya. Disini telihat Ibnu Khaldun menempatkan pertanian

19
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha, 72.
20
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha, 74.
sebagai peringkat pekerjaan yang sedikit lebih rendah daripada pekerjaan profesi
masyarakat kota.

Penilaian Ibnu Khaldun ini setidaknya sebebkan oleh beberapa alasan. Pertama, tidak
membutuhkan ilmu yang luas dan dalam. Karena siapa saja dapat menjadi petani tanpa
harus sekolah khusus pertanian. Analisa ini diutarakan karena pada saat itu kondisi
masyarakat masih sangat sederhana dan belum ada fakultas pertanian seperti sekarang ini.
Kedua, jika di telaah dari segi besarnya pendapatan, para perani pada umumnya
berpenghasilan rendah dibanding masyarakat kota. Ketiga, para petani diwajibkan
membayar pajak. Ibnu Khaldun berpandangan orang-orang yang membayar pajak adalah
orang yang lemah, sebab orang-orang yang kuat tidak mau membayar pajak. Alasan
terakhir adalah bersifat kondisional yang berbeda dengan kondisi zaman modern sekarang
ini. Ibnu Khaldun berpendangan bahwa masyarakat merupakan fenomena ilmiah, ia
bahkan menunjukan faktor utama yang menyebabkan manusia bersatu dalam masyarakat
yaitu untuk saling tolong-menolong secara sosial, di mana hasil perilaku dibentengi oleh
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh relasi sosial.21

2) Peradaban Komunitas Modern/Kota (Civic Culture)

Menurut Ibnu Khaldun orang kaya yang hidup di kota populer dalam membantu
kebutuhan komoditi, akan tetapi mereka membutuhkan kekuatan untuk melindunginya.
Perlindungan itu bisa diperoleh dari orang-orang yang dekat dengan raja atau penguasa
dan komunitas tertentu dimana raja atau penguasa akan menghormati dan
menghargainya.22

Dalam hal ini peradaban basis komunitas kota tertentu di mana yang memiliki banyak
modal akan meminta bantuan komunitas lainnya untuk melobi raja agar mendapat
perlindungan. Dengan ini bahwa komunitas di kota tidak ada saling kerja sama atau
gotong royong sikap saling membantu antar sesama yang ada disekitarnya, hanya karna
ingin pendapatkan perhatian dan perlindungan dari raja. Menurutnya, jika kota-kota dan
kota besar tertentu mengungguli kotakota lain dalam aktifitas untuk mencari perlindungan
kepada raja yang menyebabkan mereka tidak saling terikat dengan masyarakat di
dekatnya. Maka bagi Ibnu Khaldun bentuk kegiatan ini memiliki beberapa faktor, di
antaranya adalah perdagangan dan industri.23
21
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha 229.
22
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Terj. Ahmadie Thoha, 246.
23
Zainab Kudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, 107.
Ibnu Khaldun berpandangan bawa para petani di komunitas desa atau ’Umran badawi
(bedouin culture) menghasilkan hasil pertanian yang melimpah dari yang mereka
butuhkan. Oleh karena itu mereka menukar kelebihan produksi mereka dengan produk-
produk lain yang mereka perlukan. Dari sinilah timbul ashabiyah dalam
perdagangan(tijarah). Jadi, pekerjaan perdagangan ini secara kronologis muncul setalah
adanya produksi pertanian dari ’umran badawi (bedouin culture). Seperti telah dijelaskan,
perdagangan adalah upaya produktifitas modal yaitu dengan membeli barang-barang dan
berusaha menjualnya dengan harga tinggi untuk mengambil keuntungan sebesar-
besarnya. Ini dilakukan, baik dengan menunggu meningkatnya harga produksi atau
dengan menjual barang-barang itu ke tempat yang lebih memerlukan, sehingga akan di
raih harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan lain dengan menjual barang-barang itu ke
dengan kredit jangka panjang.

Selanjutnya Ibnu Khaldun, menjelaskan bahwa keuntungan/laba perdagangan yang


diperoleh pedagang akan kecil bila modelnya juga kecil. Tetapi jika kapital besar maka
laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang besar. perdagangan ini menurutnya
adalah “pembelian dengan harga murah dan dijual dengan harga mahal untuk
memperoleh keuntungan”. Hal seperti ini, menurut Ibnu Khaldun harus di dasari perilaku
tertentu bagi pelakunya, seperti keramahan dan pembujukan. Ibnu Khaldun juga
mengkritisi para pejabat dan penguasa di dalam Peradaban komunitas modern/kota yang
melakukan perdagangan. Hal ini dimaksudkan supaya para penguasa berlaku adil
terhadap para pedagang. Agar tidak terjadi monopoli proyek oleh penguasa yang
berkuasa.

Sedangkan dalam perindustrian, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa faktor industri


menduduki peringkat budaya yang tinggi dan lebih luas ketimbang pertanian dan
perdagangan. Perindustrian pada umumnya memiliki daerah atau kawasan khusus di
perkotaan di mana penduduknya lebih mencapai peringkat kebudayaan yang lebih maju.
Hal ini menjadi perhatian masyarakat industri karena mereka berada dalam zona
kebutuhan atau menjadi masyarakat konsumtif.24

Apabila peradaban(civilazation) semakin meningkat dan kewewahan semakin meluas,


maka industri akan semakin berkembang dan tumbuh dengan pesat. Setiap kali peradaban
semakin meningkat maka semakin berkembanglah perindustrian, karena antara keduanya
24
Harbert Marcuse, One Dimensionan Man. Terj. Silvester G. Pertama dan Yusup Priyasudiarja (Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya, 2000), 87.
memiliki relasi yang sangat erat. Industri-industri yang kompleks dan bermacammacam
itu membutuhkan banyak pengetahuan, skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu
masyarakat yang berada di bidang ini harus mempunyai spesialisasi. Menurut Ibnu
Khaldun kegiatan industri ini membutuhkan skill praktis dan ilmu pengetahuan.

Spesialisasi di bidang industri tidak bergerak secara individual, tetapi juga bercorak
regional atau dengan sebutan lain ada kawasan khusus yang memiliki keahlian dalam
sauatu bidang industri, sementara kawasan lainnya memiliki keahlian dalam industri
lainnya sesuai dengan kesiapan masing-masing kawasan. Di sis lain Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa pada setiap kota harus mempunyai keseimbangan antara pendapatan
(income) dan pengeluaran (expenditure), dan jika kedua (pendapatan dan pengeluaran)
bertambah besar, maka kota tersebut berkembang.

3) Kerjasa Sama Antar Komunitas ’Umran Badawi (Bedouin Culture) dan ’Umran
Hadhiri (Civic Culture)

Bagi Ibnu Khaldun seseorang mustahil dapat melakukan sebagian dari pekerjaannya
sendiri. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi mereka untuk bersinergi dan
terintegrasi dengan orang lain. Manusia membutuhkan kerja agar terciptanya kerukunan
dalam sebuah peradaban. Dengan kerja sama dan tolong menolong masyarakat dapat
mewujudkan sebuah peradaban sosial, hal ini berfungsi agar keberlangsungan hidup
manusia dari berbagai aspek tercukupi. Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia
diciptakan dalam keadaan lemah dan tak berdaya kemudian menjadi kuat dengan
keterleburan dalam masyarakat. Kesadaran yang terdapat kelemahan dirinya pada waktu
diluar masyarakat mendorong untuk bekerjasama dengan orang lain dalam kegiatan
bermasyarakat cara ini di nilai mampu untuk meringankan beban kehidupan. Penjelasan
tersebut menunjukan secara jelas dan teliti bahwa foktor utama yang membuat manusia
mampu menanggung kehidupan sosial adalah dengan kerja sama. Kerja sama ini sendiri
diperlukan karena menjadi bagian dari peradaban.

E. Benturan Peradaban
The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia ditulis oleh Samuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat
yang juga aktif mengajar dan mengisi kajian di universitas ternama yaitu Univeritas
Harvard. Ia menjadi guru besar sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Politik di Universitas
Harvard dan Ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional dan Regional, di
Weatherhead Centre for International Affairs.25
Pada tahun 1998 istilah benturan peradaban muncul ke permukaan dan isu ini berhasil
menarik perhatian para ahli politik dan kebudayaan global sehingga didiskusikan di
berbagai forum di dalam maupun di luar negeri, meskipun isu ini sudah dua dasa warsa
lamanya namun hingga saat ini masih diperbincangkan oleh banyak kalangan terutama
kalangan akadmisi. Samuel P. Huntington melalui tesisnya berpendapat bahwa benturan
peradaban terjadi lantaran disebabkan oleh budaya yang berbeda dan bukan lagi persoalan
ekonomi, politik maupun ideologi sehingga pertikaian budaya antarnegara - dalam
konteks peradaban akan selalu terjadi. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Henry
Kissinger, Vaclav Havel, dan Jacques Delors. Pertikaian yang terjadi oleh sebab konflik
negara-negara dan peradabanperadaban akan memicu negara-negara dan kelompok-
kelompok lain untuk ikut serta membela “negara-negara serumpun” mereka. Seperti
konflik antarpradaban yang terjadi di Yugoslavia, Rusia mendukung Serbia dalam bentuk
dukungan diplomasi sedangkan Arab Saudi, Turki, Iran, dan Libya mendukung Bosnia
dengan menggelontorkan dana dan menyediakan senjata perang.
Pasca Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Komunisme dan Sosialisme yang
menjelma dalam bentuk negara Uni Soviet dan negara - negara sekutu Eropa Timur. Kini
yang tertinggal kekuatan raksasa tunggal Amerika Serikat dan sekutunya yang
memposisikan dirinya sebagai polisi dunia.26 Huntington tidak hanya mengajukan
hipotesa bahwa sumber konflik yang dominan antar negara bangsa di masa depan berakar
pada perbedaan kebudayaan, tetapi juga memandang bahwa peradaban Islam sebagai satu
ancaman bagi peradaban Barat. Pandangan orang Barat bahwa Islam merupakan ancaman
bagi mereka.27
Barat menganggap Islam sebagai agama teroris setelah tragedi pengeboman gedung
WTC di Amerika Serikat sehingga Barat memberikan stigma negatif kepada muslim.
Huntington juga memandang bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik
antarperabadan di masa mendatang dan kita seakan dingatkan bahwa agama tidak berfungsi
sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tapi ia juga bisa
menampilkan sosoknya dan menakutkan. Agama bisa menyulut konflik dan pertikaian
sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. Pandangan yang subjektif
25
https://id.wikipedia.org/wiki/Samuel_Huntington. Diakses pada 20 September 2023 pukul 17.50.
26
Perta, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Islam dan Terorisme Vol. V, No. 2 (Jakarta: Paramadina,
2002) hlm. 52
27
Ibid, hlm. 53
ini memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengorbankan perang
atas nama Tuhan dan kitab suci. Konflik - konflik kebudayaan yang terjadi di India, antara
umat Islam dan Hindu, pertempuran antara Yahudi Israel dan kaum muslim Palestina,
perang antara Kristen Katolik dan Protesran di Irlandia Utara, demikian juga perselisihan
yang memuncak di Lebanon antara milisi Syiah dan Druz, pembasmian masyarakat Persia
di Iran dan masyarakat Arab di Saudi Arabia pada zaman Ayatullah Khumaini, penindasan
suku Aborigni oleh warga kulit putih Australia, sengketa yang terjadi antara pemerintah
Filipina dan kaum muslim Moro, pertentangan kultural yang terjadi antara suku Kreol dan
budaya Perancis di Amerika Latin, merupakan contoh tentu lebih banyak lagi yang tidak
disebut di sini.28
Dengan begitu bisa dilihat berapakah identifikasi diri setiap kelompok sosial
berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, mengarahkan kesadaran akan
identitas dan jati diri itu bukan saja telah menimbulkan konflik yang menelan ongkos sosial
sangat besar di antara kelompok sosial dan budaya tetapi juga sebagai mana dibuktikan oleh
sejarah dan peradaban - peradaban. Bila kita mampu mendirikan peradaban manusia yang
mengagumkan itu pada masa - masa keterbelakangan ilmu dan pemikiran maka tentu akan
lebih mampu mendirikan peradaban semacam itu pada masa kemajuan ilmu dan
penyingkapan misteri - misteri alam sedikit demi sedikit, ketika kita memegang kendali tali
peradaban, peraban ideal tidak akan menjadikan keberhasilan mencapai ruang angkasa
sebagai dalil untuk meningkari adanya Allah. Peradaban ideal kita (al-Islam) tidak
menjadikan roket - roket antara benua sebagai sarana untuk mengintimidasi (mengancam)
umat - umat dan bangsa - bangsa agar bernaung di bawah kekuasan kita. Peradaban kita
tidak akan menjadikan rasio sebagai sarana untuk menyesatkan, bioskop sebagai sarana
untuk membius, wanita sebagai tempat untuk menyenangkan raga, dan kemajuan peradaban
sebagai sarana untuk memeras bangsa - bangsa terbelakang, untuk mengajar kekayaan
mereka atau merendahkan kehormatan mereka. 29 Ada salah satu hikmah dalam suatu
konflik, kalau tidak ada konflik tidak akan ada kontrol terhadap perkembangan suatu
masyarakat.30

F. Faktor kemajuan dan kemunduran Peradaban Islam:

28
Samuel P. Huntington. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Terj : M. Sadat Ismail
(Jakarta: Qalam, 2001) hlm. ix
29
Mustafa As Sibai. Peradaban Islam Dulu Kini dan Esok (Jakarta: Gema Insani, 1993) hlm. 28
30
7 Departemen Agama RI. Harmoni, Konflik Etnik dan Civil Society, Vol I, No 3 (Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan, Juli – September, 2002) hlm. 127 .
Menurut Harun Nasution dan Nourouzaman Shidiqi membagi sejarah Islam menjadi
tiga periode, yaitu: Periode Klasik (650-1250 M). Periode Pertengahan (1250-1800 M),
dan Periode Modern (1800-sekarang).
1. Periode Klasik (650-1250) Periode Klasik merupakan periode kejayaan Islam
yang dibagi ke dalam dua fase, yaitu:
a. fase ekspansi(perluasan wilayah), integrasi, (650-1000),
b. fase disintegrasi(perpecahan wilayah/kelompok) (1000-1250).

Pada fase kemajuan, Islam mengalami internasionalisasi. Pada masa Bani


Umayyah, Islam mulai masuk ke Eropa melalui Spanyol. Pengaruh Islam kemudian
meluas dari Afrika Utara sampai Spanyol di belahan Barat. Lebih lanjut, perluasan ini
menyentuh Persia hingga ke India di belahan Timur. Mengutip buku Sejarah Peradaban
Islam karya Syamruddin Nasution, pada masa ini ilmu pengetahuan dan arsitektur
berkembang di kota-kota Spanyol, seperti Cordoba dan Granada. Beberapa bangunan
dengan arsitektur megah juga dibangun, seperti istana Az Zahra Cordoba dan istana
Alhambra Granada.
Sejumlah ulama besar bermunculan di fase ini, yaitu Imam Malik, Imam Abu Anifah,
Imam Syafi’i, dan Imam Ibn Hambal dalam bidang fikih. Adapun dalam bidang teologi
muncul Imam al- Asya’ri, Imam al-Maturidi, Wasil ibn ‘Ata’, Abu Huzail, Al-Nazzam,
dan Al-Jubba’i. Pada masa ini, perubahan bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan
bahasa Pahlawi ke Bahasa Arab dimulai oleh Abdul Malik. Orang–orang bukan Arab
pada waktu itu telah mulai pandai berbahasa Arab. Untuk menyempurnakan pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab, terutama pengetahuan pemeluk– pemeluk Islam baru dari
bangsa–bangsa bukan Arab, perhatian kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya mulai
diperhatikan. Inilah yang mendorong Imam Sibawaih untuk menyusun al–Kitab, yang
selanjutnya menjadi pegangan dalam masalah tata bahasa Arab.
Perhatian kepada syair Arab Jahiliah timbul kembali dan penyair–penyair Arab
baru mulai muncul, misalnya Umar bin Abu Rabi’ah (w. 719 M), Jamil al– Udhri (w. 701
M), Qays bin al– Mulawwah (w. 699 M) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, al–
Farazdaq (w. 732 M), Jarir (w. 792 M), dan al–Akhtal (w. 710 M). Selain itu, perhatian
dalam bidang tafsir, hadis, fikih, dan ilmu kalam pada zaman ini juga mulai muncul.
Inilah yang kemudian memunculkan nama–nama seperti Hasan al– Bashri, Ibnu Syihab
al–Zuhri, dan Washil bin Atha’. Kufah dan Bashrah di Irak menjadi pusat dari kegiatan–
kegiatan ilmiah ini. Sayangnya, pada fase disintegrasi keutuhan umat Islam dalam bidang
politik mulai pecah. Baghdad dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu Khan pada 1258.
Kekhalifahan sebagai simbol keutuhan politik mulai runtuh dan digantikan pemerintahan
otonom di berbagai kawasan.
2. Periode Pertengahan (1250-1800) Periode Pertengahan merupakan periode
kemunduran Islam yang dibagi ke dalam dua fase, yaitu:
a. fase kemunduran (1250-1500 M), dan
b. fase munculnya ketiga kerajaan besar (1500-1800), yang dimulai dengan
zaman kemajuan (1500- 1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800).
Pada fase ini juga dunia Islam terbagi dua. Bagian Arab yang berpusat di Mesir terdiri
atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara. Sementara bagian Persia yang
berpusat di Iran terdiri atas Balkan, Asia kecil, Persia dan Asia tengah. Pada fase tiga kerajaan
besar (1500 M–1700 M), perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang. Hasilnya, umat
Islam semakin mundur saat tiga kerajaan besar mendapat banyak tekanan. Kekuatan militer dan
politik pun menurun. Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan bangsa Afghan,
Kerajaan Mughal diserang raja-raja India, Kerajaan Usmani terpukul di Eropa, sementara Mesir
dikalahkan oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis. Gedung-gedung bersejarah yang ditinggalkan
periode ini antara lain Taj Mahal di Agra, benteng Merah, masjid-masjid, istana-istana, dan
gedung-gedung pemerintahan di Delhi. Pada masa ini, tarekat terus mempunyai pengaruh besar
dalam hidup Umat Islam. Selain Arab dan Persia, Turki dan India muncul sebagai kerajaan besar.
Inilah yang membuat bahasa Turki dan bahasa Urdu mulai muncul sebagai bahasa penting dalam
Islam, tetapi kedudukan bahasa Arab menjadi bahasa persatuan semakin menurun. Kemajuan
Islam pada era ini lebih banyak berpusat di bidang politik. Selain itu, Barat juga mulai bangkit,
terutama dengan terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah di Timur
Jauh, melalui Afrika Selatan dan ditemukannya Amerika oleh Columbus tahun 1492 M. Namun
demikian, kekuatan Eropa pada waktu itu masih lemah jika dibandingkan dengan kekuatan Islam.

3. Periode Modern (1800-dan seterusnya)


Periode Modern merupakan periode kebangkitan umat Islam yang ditandai dengan
munculnya para pembaharu Islam.
Periode modern (1800 M–sekarang) merupakan zaman kebangkitan umat Islam yang mulai sadar
bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang
berakhir pada tahun 1801 M membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan
kemunduran dan kelemahan umat Islam. Raja-raja dan para pemuka Islam mulai memikirkan cara
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Kontak Islam dengan Barat sejak masa ini
berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat periode klasik. Pada waktu itu, Islam sedang
naik dan Barat sedang dalam kegelapan. Sekarang sebaliknya, Islam tampak dalam kegelapan dan
Barat tampak gemilang.31

Kesimpulan

Teori asabiyah adalah salah satu konsep yang dikembangkan oleh seorang sejarawan
dan filsuf Muslim terkenal bernama Ibnu Khaldun pada abad ke-14 dalam karyanya yang
terkenal, "Muqaddimah" atau "Prolegomena." Dalam konteks teori asabiyah, istilah
"asabiyah" merujuk kepada semangat kebersamaan, solidaritas, atau persatuan dalam suatu
kelompok sosial atau masyarakat.Ibnu Khaldun berpendapat bahwa masyarakat manusia
cenderung mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan salah satu faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut adalah asabiyah. Ia mengklaim bahwa pada awalnya,
kelompok manusia memiliki tingkat asabiyah yang tinggi, yang memungkinkan mereka
untuk membangun kerajaan atau kekuatan besar. Namun, seiring berjalannya waktu, asabiyah
bisa merosot, yang akhirnya dapat menyebabkan keruntuhan masyarakat atau kekuasaan.Jadi,

31
Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hlm.13
teori asabiyah Ibnu Khaldun menyoroti pentingnya faktor sosial, kebersamaan, dan persatuan
dalam perkembangan masyarakat, dan bagaimana faktor-faktor ini dapat berkontribusi pada
kenaikan dan kejatuhan kekuasaan dalam sejarah.

Benturan peradaban adalah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan
sosial bernama Samuel P. Huntington dalam esainya yang terkenal berjudul "The Clash of
Civilizations?" yang diterbitkan pada tahun 1993. Konsep ini menyatakan bahwa dalam dunia
pasca Perang Dingin, konflik utama akan terjadi bukan lagi antara negara-negara berdasarkan
ideologi politik, tetapi antara berbagai peradaban atau budaya yang berbeda.Huntington
mengidentifikasi sejumlah besar peradaban atau budaya besar di dunia, seperti peradaban
Barat, Islam, Tionghoa, Hindu, dan sebagainya, dan ia berpendapat bahwa benturan antara
peradaban ini akan menjadi sumber utama konflik di masa depan. Ia mengklaim bahwa
perbedaan budaya, nilai, dan agama akan memicu konflik-konflik yang serius.Namun, ada
banyak kritik terhadap konsep benturan peradaban ini, dengan beberapa orang berpendapat
bahwa hal ini terlalu sederhana dan cenderung mengeneralisasi peradaban serta tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi konflik internasional, seperti
ekonomi, politik, dan sejarah. Meskipun demikian, konsep ini tetap menjadi topik perdebatan
dan diskusi dalam studi hubungan internasional dan sosiologi politik.

Kemajuan dan kemerosotan peradaban Islam dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
kompleks dan dapat berubah seiring waktu. Berikut adalah beberapa faktor utama yang dapat
mempengaruhi kemajuan dan kemerosotan peradaban Islam:Faktor Kemajuan:Pendidikan
dan Ilmu Pengetahuan: Investasi dalam pendidikan, riset, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dapat memacu kemajuan peradaban Islam. Universitas, sekolah, dan pusat-pusat
penelitian yang berkualitas penting untuk memajukan pemahaman dan inovasi.Inovasi dan
Teknologi: Keberhasilan dalam mengadopsi, mengembangkan, dan menerapkan teknologi
baru dapat memajukan ekonomi dan infrastruktur peradaban Islam.Kepemimpinan dan Tata
Kelola: Kepemimpinan yang kompeten, transparan, dan bertanggung jawab dalam aspek
politik, ekonomi, dan sosial adalah kunci untuk mencapai kemajuan yang
berkelanjutan.Ekonomi yang Sehat: Pertumbuhan ekonomi yang stabil, investasi, dan
perdagangan yang baik dapat memberikan sumber daya yang diperlukan untuk pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat.Budaya dan Identitas: Seni, sastra, musik, dan warisan budaya
lainnya dapat memperkaya budaya peradaban Islam dan menginspirasi kreativitas.Faktor
Kemerosotan:Konflik dan Instabilitas: Konflik bersenjata, ketidakstabilan politik, dan perang
dapat merusak perkembangan peradaban serta menyebabkan kerusakan sosial dan
ekonomi.Korupsi dan Ketidakadilan: Korupsi yang merajalela, ketidakadilan sosial, dan
ketidaksetaraan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-
lembaga publik.Stagnasi Intelektual: Kekurangan inovasi dan perkembangan ilmiah dapat
menyebabkan stagnasi dalam pemikiran dan perkembangan teknologi.Ketidakseimbangan
Ekonomi: Ketidakseimbangan dalam distribusi kekayaan dan peluang ekonomi dapat
menciptakan ketegangan sosial dan ketidakpuasan.Pengaruh Eksternal: Faktor-faktor
eksternal seperti invasi asing atau tekanan geopolitik dapat mempengaruhi kemerosotan
peradaban Islam.Penting untuk diingat bahwa faktor-faktor ini tidak selalu bekerja secara
terpisah, dan situasi yang kompleks dapat memiliki interaksi antara berbagai elemen ini.
Untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan, peradaban Islam perlu beradaptasi dengan
perubahan zaman dan mengatasi tantangan yang ada.

Daftar Pustaka

Alfiyah, Hanik Yuni, (2006). Ibnu Khaldun dan Tafsir Sosial, Jurnal Paramedia, Vol.
7, No, 2, April.

Arief, Armai, (2002), Pengantar ilmu dan metodologi pendidikan islam. Ciputat Pers,
2002.

Audah, Ali, 1996. Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Mizan.

Huda, Nurul, (2008). Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiya, jurnal Suhuf, Vol.
20. No.1, Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ibnu Khaldun Tentang Mayarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang. Syam, Firdaus,
(2010).

Khaldun, Ibn, (2000). Muqoddimah, Terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Kudairi, Zainab, (1999). Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Pustaka.

Marcuse, Harbert, (2000). One Dimensionan Man, Ter, Silvester G. Pertama dan
Yusup Priyasudiarja Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.

Maryam, (2012). Kontribusi Ibnu Khaldun Dalam Historigrafi Islam, Jurnal


Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, UIN Suka Yogyakarta. Raliby, Oesman, (1988).

Mustofa, Mustofa, (2018), Sejarah Kepustakaan Dalam Konteks Islam: Periodisasi


Pertengahan. Jurnal Publis, Vol. 2, No. 2.

Nasution, Syamruddin, (2013), Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Kencana.

Nata, H. Abuddin. (2014), Sejarah pendidikan islam. Jakarta: Kencana Nurhasanah

Neneng, dkk, (2021), Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Amzah.

Pemikiran Pilitik Dan Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi Dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Ke-3, Ed. I, Cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara.

Syahputra, Muhammad Rizki dan Darmansah, (2020), Fungsi Kaderisasi dalam


Meningkatan Kualitas Kepemimpinan, Journal Of Education And Teaching Learning (JETL),
Vol. 2, Issue 3.

Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Esposito, L, Jhon (ed). (2001).

Yakub, Muhammad, dkk, (2015), Sejarah peradaban Islam: pendekatan periodesasi,


Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Yatim, Badri, (1990). Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Prers.

Yatim, Badri, (2003). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zainuddin, A. Rahman, (1992). Kekuasaan dan Negera: Pemikiran Ibnu Khaldun,


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai