BAB I
PENDAHULUAN
1
Clinical Science Session
2
Clinical Science Session
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 Gambaran anterior & komposisi frontal otot ekstraokuler mata kiri1
Ketika bola mata terarah lurus kedepan dan kepala juga dalam posisi lurus,
maka bola mata dikatakan dalam posisi primer. Gerakan primer otot merupakan
efek utama otot pada posisi mata ketika otot berkontraksi sementara bola mata
pada posisi primer. Gerakan sekunder dan tersier merupakan efek tambahan pada
posisi mata primer. Bola mata biasanya dapat bergerak kurang lebih 50º pada
3
Clinical Science Session
masing-masing arah dari posisi primer. Namun, pada keadaan pandangan normal,
bola mata bergerak hanya sekitar 15º-20 º dari posisi primer sebelum gerakan
kepala muncul.1
Gambar 2.2 Garis insersi muskulus ekstraokuler pada sklera dilihat dari: A,
depan; B, atas; C, belakang. SR, rectus superior; MR, rectus medial; IR, rektus
inferior; SO, obliq superior.5
Otot rektus berasal dari cincin tendon umum (annulus Zinn), yang melekat
pada apeks orbita, mengelilingi foramina optikum dan bagian medial fisura orbita
superior. Rektus medial muncul dari bagian medial cincin, rektus superior dari
bagian superior dan juga bergabung dengan lapisan duramater yang menutupi
saraf optikus, rektus inferior muncul dari bagian inferior dan rektus lateral dari
bagian lateral dengan dua kepala yang bergabung dalam bentuk huruf “V”.
Keempat otot rektus berjalan kedepan bola mata dan berinsersi di sklera dengan
tendon pipih (lebar 10 mm) pada jarak yang berbeda-beda dari limbus:1
- Rektus medial: 5.5 mm
- Rektus inferior : 6.5 mm
- Rektus lateral : 6. 9 mm
- Rektus superior : 7.7 mm
4
Clinical Science Session
5
Clinical Science Session
Gambar 2.4 Otot ekstrinsik bola mata (mata kanan) pada posisi primer, dilihat
dari atas.
6
Clinical Science Session
sudut 51º terhadap aksis visual atau midplane mata pada posisi primer. Berkas
neurofibrovaskular (neurifibrovascular bundle = NFVB) kaku yang berisi saraf
berjalan ke anterior, sepanjang batas lateral dari muskulus rektus inferior ke
myoneural junction. Kebanyakan otot obiq inferior memiliki perut tunggal, tetapi
rata-rata 10% memiliki 2 perut, pada kasus jarang terdapat tiga.1
7
Clinical Science Session
8
Clinical Science Session
Gambar 2.8 Posisi pandangan diagnostik: posisi primer (e); posisi sekunder (b, d,
h, f); posisi tersier (a, c, g, i); posisi cardinal (a, c, d, f, g, i) 5
9
Clinical Science Session
- Antagonis: otot yang bekerja pada arah yang berlawanan terhadap otot agonis
pada mata yang sama. Misalnya, m. rektus medial dan m. rektus lateral adalah
antagonis.
Hukum Sherrington tentang inervasi resiprokal menyatakan bahwa
meningkatan inervasi dan kontraksi otot-otot ekstraokuler akan diikuti oleh
penurunan inervasi dan kontraksi otot-otot antagonisnya. Misalnya pada saat
abduksi, otot rektus lateral kanan mendapatkan peningkatan inervasi, sedangkan
rektus medial akan mengalami penurunan inervasi.1
Posisi pandangan menentukan efek kontraksi EOM pada rotasi mata.
Terdapat tujuh posisi penglihatan: posisi primer dan enam posisi kardinal. Pada
setiap posisi kardinal, keenam otot ekstraokuler okulorotator memiliki efek
berbeda terhadap rotasi mata, bergantung pada hubungan visual axis mata dengan
orientasi muscle plane terhadap visual axis.
10
Clinical Science Session
11
Clinical Science Session
12
Clinical Science Session
13
Clinical Science Session
14
Clinical Science Session
15
Clinical Science Session
Gambar 2.14.1 Paresis otot horizontal (rektus lateralis kanan). Deviasi sekunder
lebih besar daripada deviasi primer karena hokum Hering.18
16
Clinical Science Session
17
Clinical Science Session
fusion), dimana lapangan pandang lebih luas. Fusi dapat dibagi atas fusi sensorik,
fusi motorik dan stereopsis.1.
1. Fusi Sensoris
Fusi sensorik berdasarkan pada hubungan topografi teratur antara retina dan
korteks visual, dimana gambar yang jatuh pada titik retina yang sesuai (atau
hampir sesuai) pada setiap mata bergabung untuk membentuk persepsi visual
tunggal.
Fusi sensorik adalah proses yang membuat perbedaan-perbedaan antara dua
bayangan tidak disadari. Di bagian retina perifer masing-masing mata,
terdapat titik-titik korespondensi yang bila tidak ada fusi akan melokalisasi
rangsangan pada arah yang sama dalam ruang. Setiap titik di retina pada
masing-masing mata mampu memfusikan rangsangan yang jatuh cukup dekat
dengan titik korespondensi di mata yang lain. Daerah titik-titik yang dapat
difusikan ini disebut daerah Panum.18
2. Fusi Motorik
18
Clinical Science Session
19
Clinical Science Session
20
Clinical Science Session
Pada mata dengan ambliopia yang cukup berat, mungkin digunakan daerah
retina ekstrafovea untuk fiksasi dlaam kondisi penglihatan mnokular. Hal ini
selalu menimbulkan ambliopia berat dan fiksasi yang tidak stabil.18
2.4 Strabismus
2.4.1 Definisi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2014-2015), istilah
strabismus berasal dari bahasa Yunani (Strabismos) yang berarti juling.
Strabismus merupakan kelainan kedudukan bola mata (ocular misalignment)
sehingga visual axis dari kedua mata tidak mengarah secara bersamaan kepada
titik fiksasi. Hal ini dapat disebabkan oleh abnormalitas penglihatan binokular
atau anomali kontrol neuromuskular terhadap pergerakan bola mata.1
Orthoporia merupakan kondisi ideal dari kedudukan bola mata yang
normal. Akan tetapi pada umumnya keadaan heteroporia ringan ditemukan pada
mata orang normal. Oleh karena itu, beberapa ahli (ophthalmologist) menyatakan
bahwa orthoporia merupakan posisi normal bola mata pada keadaan penglihatan
binokular. Istilah orthoporia atau heteroporia ringan sering digunakan untuk
menggambarkan keadan mata dengan strabismus laten. Heterotropia adalah suatu
kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan kedudukan bola mata yang tidak bisa
diatasi oleh mekanisme fusi sehingga terjadi deviasi ocular nyata (strabismus
manifest). Strabismus dapat bermanifestasi sebagai esotropia (deviasi nasal atau
strabismus konvergen), eksotropia (deviasi temporal atau strabismus divergen),
hipertropia (deviasi superior), hipotropia (deviasi inferior), insiklotropia (deviasi
superior – nasal) dan eksiklotropia (deviasi superior – temporal).1,7
Secara klinis, kelainan pergerakan mata dikelompokkan menjadi
strabismus non-paralitik dan strabismus paralitik. Pada strabismus non-paralitik,
pergerakan kedua mata penuh (tidak ada paresis), namun hanya satu mata yang
terarah pada target fiksasi, sudut deviasi konstan dan tidak berkaitan dengan arah
pandangan. Ini juga disebut sebagai strabismus konkamitan dan merupakan
strabismus yang sering ditemukan pada masa kanak-kanak. Pada starbismus
paralitik, terdapat kerja satu atau lebih otot mata yang kurang baik akibat palsi
saraf (paralisis).
21
Clinical Science Session
22
Clinical Science Session
2. Berdasarkan fiksasi1,8
a. Alternating, yaitu adanya alternasi atau pergantian fiksasi spontan pada
satu mata dengan mata lainnya
b. Monocular, yaitu terjadinya fiksasi hanya pada satu mata
3. Berdasarkan variasi ukuran deviasi dengan posisi pandangan atau mata yang
mengalami fiksasi1,8
a. Comitant (concomitant)
Ukuran deviasi hanya sedikit bervariasi (tidak lebih dari beberapa prisma
diopter) pada posisi pandangan (gaze) berbeda atau dengan perbedaan
mata yang digunakan untuk fiksasi.1 Sekitar 75% strabismus merupakan
strabismus comitant.9
b. Incomitant (noncomitant)
Ukuran deviasi bervariasi pada posisi pandangan berbeda atau dengan
perbedaan mata yang digunakan untuk fiksasi. Sebagian besar strabismus
incomitant adalah paralitik atau restriktif. Deviasi primer merupakan
deviasi yang tampak saat mata yang tidak paresis atau tidak restriksi
mengalami fiksasi, sedangkan deviasi sekunder merupakan deviasi yang
tampak saat mata yang paresis atau restriksi mengalami fiksasi.1
23
Clinical Science Session
24
Clinical Science Session
2.4.5 Diagnosis
Diagnosis strabismus ditegakkan berdasarkan klinis, yaitu berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis penting untuk menegakkan
diagnosis dan menatalaksana strabismus pada pasien.9 Berikut adalah aspek yang
perlu ditanyakan pada saat anamnesis.9,12
a. Arah strabismus (contoh: ke samping, ke atas)
b. Usia saat strabismus diketahui pertama kali
c. Onset tiba-tiba atau gradual. Bila onset strabismus berupa onset gradual, ada
kemungkinan bahwa onset yang sebenarnya terjadi lebih lama daripada yang
diketahui
d. Strabismus terjadi konstan atau intermiten
e. Aktivitas seperti apa yang dapat menimbulkan strabismus. Contoh, saat
melihat ke samping
f. Kelainan lain yang dapat dihubungkan dengan strabismus, seperti postur
kepala yang abnormal. Anak yang lebih besar dapat ditanyai mengenai gejala,
seperti: apakah terdapat diplopia.
g. Tatalaksana pada mata sebelumnya, termasuk kacamata, patching, dan bedah
h. Riwayat keluarga
i. Riwayat kelahiran dan perkembangan pada anak
j. Pekerjaan dan hobi. Hal ini berhubungan dengan tatalaksana strabismus pada
dewasa.
25
Clinical Science Session
Tabel 2.3 Tajam Penglihatan Normal dengan bebagai Pemeriksaan pada Anak
26
Clinical Science Session
cahaya dari kornea terletak di sentral kornea, dan posisinya simetris pada kedua
mata. Jika target fiksasi terletak di pinggir, dinamakan Uncentral (UC. S mengacu
kepada steadiness fiksasi cahaya yang diberikan pemeriksa, tanpa disertai gerakan
atau bergerak perlahan. Pemeriksaan ini juga dilakukan pada satu mata secara
bergantian. M mengacu pada kemampuan pasien strabismus untuk
mempertahankan (maintain) mata dalam keadaan orthoporia. Keadaan ini dinilai
saat kondisi penglihatan binokuler. Ketidakmampuan mempertahankan fiksasi
cahaya penglihatan binokuler menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tajam
penglihatan diantara kedua mata.1 Selain metode CSM, pemeriksaan visus pada
anak-anak usia pra sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan HOTV, dan
LEA symbol chart, the illiterate E game chart dan Allens picture chart.
Pemeriksaan ketajaman penglihatan secara onjektif dapat dilakukan dengan
menggunakan retinoskop.1
Pemeriksaan tajam penglihatan jauh biasanya dicatat sebagai rasio yang
membandingkan dengan standar pemeriksaan yang sudah disepakati. Dalam
pencatatan angka pertama ditulis sebagai jarak antara pasien dengan tabel (kartu
snellen, jarak 20 kaki atau 6 meter), angka kedua sebagai jarak huruf yang dapat
dibaca seseorang dengan ketajaman penglihatan normal. Visus normal 20/20 atau
6/6. Huruf pertama di snellen (E) dapat dibaca oleh orang dengan visus normal
dalam jarak 200 kaki. Namun, apabila pasien tidak dapat melihat huruf tersebut,
pemeriksaan ketajaman penglihatan dilanjutkan dengan penilaian hitung jari (60
meter). Jika pasien tidak dapat melihat dengan menghitung jari pemeriksaan visus
dilanjutkan dengan pergerakan atau lambaian tangan pemeriksa (300 meter).
Lakukan juga pemeriksaan proyeksi dengan menanyakan arah gerakan tangan.
Pemriksaan visus terakhir dapat dilakukan dengan menilai kemampuan pasien
dalam mendeteksi ada atau tidaknya cahaya dan arah dari datangnya cahaya (~).10
Pemeriksaan tajam penglihatan dekat dinilai dengan menggunakan kartu
baca yang telah memenuhi standar pemeriksaan dan diletakkan dalam jarak baca
normal (14 inci atau 35 cm). Pemeriksaan tajam penglihatan jarak dekat pada
anak-anak dengan penurunan visus penting untuk dilakukan dengan tujuan
mengetahui fungsi penglihatan dan aktivitas belajar disekolah.1
27
Clinical Science Session
28
Clinical Science Session
29
Clinical Science Session
tersebut. Cara yang tepat untuk mengukur deviasi yang besar adalah dengan
meletakkan prisma didepan kedua mata.1
30
Clinical Science Session
yang dipegang pemeriksa (penlight) pada jarak 33 cm. Jika mata berdeviasi maka
refleks cahaya akan jatuh pada tempat yang berbeda dibandingkan dengan mata
yang berfiksasi. Reflek cahaya bergeser ke arah nasal pada esotropia dan akan
bergeser ke temporal pada eksotropia. Jika pantulan cahaya penlight berada di
tengah pupil kedua mata, maka normal atau tidak ada deviasi, akan tetapi jika
pantulan cahaya penlight berada dipinggir pupil mata deviasi dan di tengah pupil
mata yang terfiksasi maka deviasi 15 derajat, jika pantulan sinar pertengahan
pupil dan limbus pada mata deviasi dan ditengah pupil yang fiksasi maka deviasi
30 derajat dan jika pantulan sinar dipinggir limbus mata yang deviasi dan ditengah
pupil mata yang fiksasi maka deviasi 45 derajat.1
31
Clinical Science Session
kekuatan prisma sehingga pantulan cahaya penlight akan jatuh pada tengah
kornea, memungkinkan untuk memperkirakan besarnya deviasi.
32
Clinical Science Session
terdapat sudut Kappa negatif dan mata tampak esodeviasi. Sudut kappa tidak akan
mempengaruhi pemeriksaan cover tests.
2. Subjective Tests
Pemeriksaan Maddox Rod menggunakan alat yang terdiri dari rangkaian
silinder paralel yang mengubah titik sumber cahaya menjadi bayangan garis. Alat
optik silinder menyebabkan garis cahaya terletak 90° terhadap arah silinder
paralel. Karena fusi dihalangi oleh Maddox Rod, heteroforia dan heterotropia
tidak dapat dibedakan. Pemeriksaan Maddox Rod dapat digunakan untuk
memeriksa deviasi horizontal dan vertikal.
Pemeriksaan Maddox Rod (lihat gambar) dilakukan pada jarak 33 cm dan
6 m. Pemeriksaan Maddox Rod untuk deviasi horizontal, Maddox Rod diletakkan
didepan mata kanan dengan silinder pada arah horizontal. Pasien difiksasikan
dengan titik cahaya dan kemudian pasien melihat garis vertikal dengan mata
kanan dan cahaya putih dengan mata kiri. Jika cahaya berhimpit dengan garis,
berarti ortoforia. Jika cahaya berada disebelah kiri garis berarti terdapat
esodeviasi. Jika cahaya terlihat berada di sebelah kanan garis berarti terdapat
eksodeviasi. Prosedur yang sama dengan silinder tersusun vertikal dilakukan
untuk pemeriksaan deviasi vertikal. Untuk mengukur besarnya deviasi, pemeriksa
harus menggunakan prisma dengan kekuatan yang berbeda sampai didapatkan
garis berhimpit dengan titik cahaya.
33
Clinical Science Session
34
Clinical Science Session
3. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya dan
tipe koordinasi binokular.14 Terdapat beragam pemeriksaan sensorik pada
strabismus.1
a. Uji red-glass (red-glass test)1,15
Uji red-glass atau uji red filter digunakan untuk mendeteksi ada atau
tidaknya diplopia dan tipe diplopia pasien. Selain itu, uji ini dapat digunakan
untuk mendeteksi supresi dan menentukan korespondensi retina.15
Sebuah kaca berwarna merah ditempatkan di depan salah satu mata pasien.
Pasien kemudian diminta memfiksasi pandangan pada sebuah sumber cahaya
kecil berwarna putih dan diminta menyatakan posisi cahaya merah; apakah berada
di kanan, kiri, atas, atau bawah cahaya putih. Pada esotropia, gambar titik fiksasi
mata yang mengalami deviasi jatuh di retina yang terletak nasal dari fovea,
sehingga menghasilkan uncrossed diplopia. Pada exotropia, gambar titik fiksasi
mata yang mengalami deviasi jatuh di retina yang terletak temporal dari fovea,
sehingga menghasilkan crossed diplopia. Pada normal retinal correspondence
(NRC), tercipta gambar ganda dengan jarak yang sama dengan sudut strabismus.16
35
Clinical Science Session
36
Clinical Science Session
37
Clinical Science Session
d. Afterimage test1,15
Pemeriksaan ini melibatkan stimulasi atau pelabelan makula pada setiap
mata dengan afterimage linear yang berbeda, 1 horizontal dan 1 vertikal. Karena
skotoma supresi terjadi di sepanjang meridian retina horizontal dan dapat
menghalangi sebagian besar afterimage horizontal, afterimage vertikal diletakkan
pada makula mata yang berdeviasi dan afterimage horizontal diletakkan pada
makula mata yang fiksasi dengan cara fiksasi dengan hanya satu mata secara
terpisah pada filamen cahaya linear. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan dengan
cara menutupi flash kamera dengan kertas hitam dan hanya menyisakan sebuah
slit kecil; bagian tengah slit ditutupi dengan tape hitam yang berfungsi sebagai
38
Clinical Science Session
titik fiksasi sekaligus proteksi fovea dari paparan. Pasien kemudian diminta
menggambarkan posisi relatif afterimage yang terlihat.1
39
Clinical Science Session
40
Clinical Science Session
41
Clinical Science Session
b. Konvergensi
Kesejajaran pada fiksasi dekat (near fixation) biasanya diukur pada 33 cm
langsung di depan pasien pada bidang horizontal. Perbandingan kesejajaran mata
pada posisi primer pada fiksasi dekat dan jauh membantu pemeriksa menilai
refleks konvergensi akomodatif. Titik dekat konvergensi ditentukan dengan
menempatkan objek fiksasi pada jarak 40 cm di bidang midsagital kepala pasien.
Objek dipindahkan semakin mendekati pasien saat mata pasien fiksasi pada objek,
sampai salah satu mata kehilangan fiksasi dan berputar. Titik saat hal itu terjadi
disebut titik dekat konvergensi. Mata yang mempertahankan fiksasi disebut
42
Clinical Science Session
43
Clinical Science Session
pasien lebih exotropik atau kurang esotropik pada fiksasi dekat, didapatkan rasio
AC/A rendah, dan sebaliknya.1
d. Vergen fusional
Vergen merupakan gerakan kedua mata pada arah yang berlawanan.
Vergen fusional merupakan respons motorik yang terjadi untuk mengeliminasi
disparitas gambar horizontal atau vertikal, atau secara lebih terbatas, pada
disparitas gambar torsional. Vergen fusional dapat diukur dengan amblioskopi
mayor, prisma rotary, atau prisma batang. Vergen fusional dapat dikelompokkan
sebagai berikut.1
- Konvergensi fusional: dapat mengontrol exophoria
- Divergensi fusional: dapat mengontrol esophoria
- Vergen fusional vertikal: mengontrol hiperphoria atau hipophoria
- Vergen fusional torsional: mengontrol insiklophoria atau eksiklophoria
44
Clinical Science Session
45
Clinical Science Session
46
Clinical Science Session
DAFTAR PUSTAKA
47
Clinical Science Session
16. Traboulsi EI, Utz VM. (eds.) 2016. Practical Management of Pediatric
Ocular Disorders and Strabismus. New York: Springer.
17. Momeni-Moghaddam H, Kundart J, Ehsani M, Gholami K. Stereopsis with
TNO and Titmus Tests in Symptomatic and Asymptomatic University
Students. Journal of Behavioral Optometry, 23(2), 35-39. 2012.
18. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Strabismus, dalam Oftalmologi umum Vaughan
& Asbury Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009
19. Wright KW, Spiegel PH, Thompson LS. (eds). Handbook of Pediatric
Strabismus and Amblyopia. California: Springer. 2006.
48