Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu kedokteran gigi sebagian besar merupakan perawatan infeksi gigi


atau merestorasi dan menggantikan gigi yang hilang akibat infeksi bakteri.
Pencegahan dan perawatan infeksi orofacial melibatkan semua aspek perawatan
gigi: karies, penyakit pulpa, kondisi patologi gingivoperiodontal, trauma, dan
bedah rekonstruksi serta implan. Para ahli bedah selalu menemukan flora yang
berpotensi menjadi patogen pada infeksi odontogenik ketika mereka melakukan
pembedahan di dalam atau di sekitar rongga mulut (Daud dan Karasutisna, 2001)
Gigi geligi dengan karies yang diikuti dengan gangren pulpa dan infeksi di
periapikal serta infeksi periodontal mempunyai potensi cukup besar untuk
menyebarkan infeksi ke berbagai tempat dalam rongga mulut, muka dan leher
bahkan komplikasi seperti emboli dan septikemia. Penyebab infeksi ini adalah
mikroba komensal dalam mulut yang kemudian menjadi patogen, yang
penyebarannya dipengaruhi oleh meningkatnya virulensi dan kuantitas mikroba
dan menurunnya daya tahan tubuh penderita (Daud dan Karasutisna, 2001).
Infeksi odontogenik biasanya mempunyai derajat sedang dan dapat
dirawat dengan mudah dengan pemberian antibiotik dan perawatan bedah lokal.
Abses berukuran kecil di vestibulum bukolingual ditangani dengan prosedur insisi
intraoral dan drainase, termasuk pencabutan gigi. Tetapi, beberapa infeksi
odontogenik sangat serius dan membutuhkan penanganan lebih lanjut. Bahkan
setelah pemberian antibiotik dan peningkatan kebersihan mulut, infeksi
odontogenik serius dapat menimbulkan kematian. Kondisi tersebut dapat terjadi
ketika virulensi mikroba patogen meningkat dan terganggunya sistem kekebalan
tubuh akibat suatu penyakit tertentu. Kematian dapat terjadi ketika infeksi
mencapai daerah yang jauh dari prosesus alveolaris, yaitu daerah-daerah vital
(Peterson, 2003).
Perluasan infeksi ke daerah vital tersebut berawal dari perluasan infeksi ke
spasium-spasium wajah. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena ruangan di
daerah kepala dan leher satu sama lain hanya dipisahkan jaringan ikat longgar.
Biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna
(Daud dan Karasutisna,2001). Maka penanganan infeksi spasium wajah dengan
tepat dapat mencegah perluasan infeksi ke daerah vital dan mencegah kematian
penderita.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ABSES ODONTOGEN DI RAHANG ATAS

2.1 Definisi
Infeksi merupakan proses masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, dan
selanjutnya mikroorganisme tersebut mengadakan penetrasi dan menghancurkan
host secara perlahan-lahan, hingga berkembang biak (Topazian, 2004). Abses
merupakan infeksi yang gambaran utamanya berupa pembentukan pus. Pus
merupakan pertahanan efektif terhadap penjalaran infeksi dan cenderung
berpindah akibat pengaruh tekanan, gravitasi, panas lokal atau lapisan otot dekat
permukaan. Abses pada rongga mulut dapat terjadi akibat infeksi dentoalveolar.
Infeksi dentoalveolar dapat didefinisikan sebagai infeksi pada gigi dan jaringan
sekitarnya (seperti periodontium dan tulang alveolar) yang menghasilkan pus.
Salah satu bentuk dari kondisi ini adalah abses dentoalveolar. (Pedlar, ).

2.2 Etiologi
Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat campuran
(polimikrobial), umumnya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih.
Karena flora normal di dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan
aerob serta anaerob gram negatif maka yang paling banyak menyebabkan infeksi
adalah kuman-kuman tersebut. Secara umum biasanya diasumsikan bahwa infeksi
di rongga mulut disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus serta
mikrooganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob (Smith, 2007).

Selama empat dekade terakhir, infeksi yang berbahaya dan mengancam


hidup telah dilaporkan dan dihubungkan dengan bermacam-macam spesies
bakteri, ada beberapa yang oportunistik, lainnya nosocomial, dan sisanya
anaerobik. Bakteri-bakteri ini termasuk Pseudomonas, Proteus, Escherichia coli,
Serratia, Actinobacter bacterium, dan organisme-organime lainnya yang jarang.

2
Sebagai contoh, Pseudomonas, pernah diperkirakan jarang terdapat di dalam
rongga mulut, sekarang ini ditemukan 5-10% di dalam saliva dari subyek yang
sehat. Perubahan yang sama juga ditemukan pada flora pharyngeal yang mungkin
dihubungkan dengan berkurangnya flora normal akibat penggunaan antibiotik,
perolehan flora baru selama diopname, dan penggunaan obat-obat
immunosupressan (Daud dan Karasutina, 2001).
Meskipun demikian, streptococci aerobik dan anaerobik, Bacteroides,
Fusobacterium, dan Eikenella, dan flora gabungan aerobik dan anaerobik
merupakan organisme yang banyak ditemukan pada infeksi odontogenik termasuk
pada pasien yang sehat. Perkiraan kuantitatif jumlah mikroorganisme di dalam
saliva dan plak berkisar 1011/mL. Di dalam poket periodontal, jumlah anaerob per
gram dari material yang dikuret mencapai 1,8 x 1011/mL, kurang lebih sama
dengan konsentrasi anaerob pada feces manusia. Dengan mempertimbangkan
banyaknya mikroorganisme yang tumbuh subur pada kavitas yang basah, hangat,
gelap, dan dipenuhi debris ini, keefektifan mekanisme sistemik dan pertahanan
host oral dalam mencegah infeksi serius dari trauma minor yang biasa seperti
kebiasaan menggigit bibir (cheek biting) atau pergantian gigi sulung sangat
penting (Daud dan Karasutisna, 2001)

2.3 Patofisiologi Infeksi Odontogenik


Saat infeksi melewati akar gigi dan ligamentum periodontal apikal maka
akan timbul osteomyelitis localized apical. Kerusakan tulang pada osteomyelitis
mempunyai kesamaan dengan proses nekrosis pada inflamasi pulpa gigi. Pada
dasarnya peningkatan tekanan hidrostatik disebabkan oleh transudasi cairan
ekstraseluler yang diikuti dengan eksudasi sel-sel inflamasi sehingga mengganggu
masuknya aliran darah yang baru pada regio tersebut. Pada jaringan lunak
peningkatan tekanan cairan interstitial dapat dikurangi oleh pembengkakan.
Apabila jaringan lunak telah terisi oleh struktur keras yang termineralisasi seperti
rongga medulla tulang atau kanal pulpa, peningkatan tekanan tidak dapat
dihindari. Sehingga pulpa atau jaringan lunak medulla mengalami kematian akibat
iskemik. Jaringan yang mati tersebut memperoleh makrofag atau histiocytes pada

3
proses kemotaksis. Jaringan yang termineralisasi menghalangi penggabungan
makrofag dan berdiferensiasi ke dalam osteoklas yang meresorbsi mineral tulang
(Topazian, 2004).
Proses nekrosis dan resorpsi tulang meluas dengan pola melingkar hingga
mencapai korteks tulang. Pada titik ini proses resorpsi tulang diperlambat oleh
jaringan mineral padat sehingga menyebabkan perubahan bentuk kavitas tulang.
Saat lapisan cortex bony berhasil ditembus, maka proses infeksi dapat berlanjut ke
jaringan lunak. Bakteri patogen yang memicu proses inflamasi autolitik ini akan
tetap ada di semua tingkatan infeksi. Bakteri ini tidak hanya menyebarkan proses
inflamasi melalui produk antigen ,tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan
tulang secara langsung. Streptococcus umumnya ditemukan pada tahap awal
infeksi, dimana bakteri ini menyerang jaringan melalui penggabungan
hyaluronidase yang menyebabkan rusaknya glikoprotein ekstraseluler dari
jaringan ikat. Saat streptococcus dalam tahap pertumbuhan, bakteri ini
memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan flora anaerobik infeksi
odontogenik. Flora tersebut mengolah oksigen lokal dan zat-zat metabolisme
untuk membuat lingkungan menjadi lebih asam. Flora ini juga menghasilkan
produk nutrien untuk bakteri anaerobik yang muncul setelah tiga hari timbulnya
gejala klinik. Bakteri anaerobik seperti prevotella dan porphyromonas spp,
menghasilkan collagenase yang dapat menghancurkan kolagen sebagai matriks
protein ekstraseluler jaringan ikat terbanyak.(Topazian, 2004)
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan
kegawatan infeksi odontogenik adalah:
- Jenis dan virulensi kuman penyebab
- Daya tahan tubuh penderita
- Jenis dan posisi gigi sumber infeksi
- Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot
- Adanya tissue space dan potential space
Saat infeksi telah memasuki bony cortical plate, proses inokulasi bakteri
yang diikuti dengan inflamasi dan nekrosis dimulai sekali lagi pada jaringan
lunak. Jaringan yang paling mudah terserang yaitu jaringan ikat yang tidak

4
tervaskularisasi dengan baik. Jaringan tersebut mudah lepas dan terpotong
sekalipun oleh tekanan hidrostatik yang rendah. Sehingga penyebaran infeksi
yang mengikuti pola resistensi, dihalangi oleh struktur vaskularisasi yang
padat dan baik seperti otot, fascia, organ-organ, dan tulang. Infeksi fasial
profunda dihalangi oleh struktur-struktur yang termasuk dalam anatomi
rongga-rongga fasial profunda. Sebagai contoh apabila infeksi gigi yang baru
menembus cortex bony tertahan oleh periosteum di sekeliling tulang, maka
dapat terjadi abses subperiosteal. Proses ini dapat terjadi pada infeksi rongga
mandibula atau pada abses subperiosteal palatal. Sebaliknya, apabila
periosteum juga telah terserang maka perlekatan otot lokal dapat langsung
menyebarkan infeksi ke dalam jaringan lunak. Contohnya, apabila perlekatan
otot buccinator pada permukaan lateral maksilla terletak di bagian inferior
kortikal dan terjadi perforasi pada akar mesiobukal gigi molar pertama rahang
atas maka infeksi dapat masuk dan menyebar di seluruh rongga bukal. Tetapi
apabila infeksi tersebut menyerang tulang dan periosteum di bagian inferior
perlekatan otot tersebut, maka infeksi akan melewati daerah antara permukaan
oral otot buccinator dan mukosa oral kemudian masuk ke rongga vestibular
(Topazian, 2004).

Gambar 1. Alur potensial penyebaran infeksi yang berasal dari gigi (Topazian, 2004).

5
2.3.1 Perjalanan Infeksi Gigi
Foramen pulpa yang sempit pada ujung akar gigi meskipun diameternya
tidak cukup untuk dilakukan drainase pulpa yang terinfeksi, tetapi dapat bertindak
sebagai reservoir dari bakteri dan dapat menyebabkan bakteri masuk ke jaringan
periodontal dan tulang. Jalan masuk bakteri ini menunjukkan masalah yang biasa
terjadi apabila hanya antibiotik yang digunakan untuk merawat fistula dari abses
gigi. Sekali dilakukan drainase dapat menghentikan papulasi bakteri pada rongga
pulpa kemudian diikuti dengan perpindahan bakteri tersebut ke jaringan periapikal
dari pulpa yang tidak dirawat, jadi dapat kembali menjadi sumber infeksi. Infeksi
gigi yang serius, yang meluas ke luar soket, pada umumnya lebih banyak
disebabkan oleh infeksi pulpa daripada infeksi periodontal.
Apabila infeksi telah meluas melewati apeks gigi, patofisiologi proses infeksi
dapat berubah, tergantung pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host,
dan anatomi daerah yang terlibat (Daud dan Karasutisna, 2001).

Skema. Perjalanan infeksi pada gigi (Daud dan Karasutina, 2001)

Bila infeksi tetap terlokalisir pada ujung akar gigi, maka infeksi tersebut
dapat berkembang menjadi infeksi periapikal kronis. Biasanya kerusakan
tulang yang cukup dapat memberikan gambaran radilolusensi yang bagus pada
gambaran radiografi gigi. Proses ini menunjukkan adanya infeksi fokal pada
tulang, tetapi gambaran radiolusensi garden variety yang disebabkan oleh

6
karies gigi harus dapat dibedakan dengan osteomielitis.Apabila infeksi telah
meluas ke ujung akar, maka infeksi dapat berlanjut ke ruang medullar yang
lebih dalam dan berkembang menjadi osteomielitis yang luas (Smith, 2007)

2.3.2 Tahap-Tahap Infeksi


Dari proses inflamasi dan destruksi jaringan dapat diketahui tahap-tahap
infeksi dalam perjalanan klinis infeksi odontogenik. Tahap inokulasi diawali
dengan penyebaran awal (mungkin oleh streptococcus) ke dalam jaringan lunak.
Tahap ini ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak, lengket, dan agak halus
yang disertai dengan sedikit kemerahan. Selama tahap selulitis proses inflamasi
mencapai puncak dan menyebabkan pembengkakan yang berwarna sangat merah,
keras, dan amat sakit disertai functio laesa seperti trismus atau ketidakmampuan
mendorong lidah ke depan. Pada tahap ke tiga yaitu pembentukan abses banyak
terjadi nekrosis. Istilah fluktuasi sering disalah artikan untuk menggambarkan
edema ringan. Fluktuasi adalah pergerakan cairan dalam lesi yang dipalpasi secara
bimanual atau bidigital menggunakan tangan atau jari. Pergerakan cairan
disebabkan oleh aliran pus di dalam kavitas abses. Tahap akhir dari infeksi
odontogenik yaitu pecahnya abses yang terjadi secara spontan atau dengan
drainase terapeutik (Flyn, 2001).

Tabel 1 : Tahap-tahap infeksi


Karakteristik Inokulasi Sellulitis Abses
 Durasi  0-3 hari  3-7 hari  .> 5 hari
 Rasa sakit  ringan-sedang  berat dan  sedang-berat
menyeluruh dan lokal
 Ukuran  kecil  besar  kecil
 Lokalisasi  menyebar  menyebar  terbatas
 Palpasi  lunak,lengket,  keras, sangat  fluktuasi, halus
agak halus halus
 Warna  normal  merah pada

7
 kemerahan daerah
 Kualitas kulit  normal sekitarnya
 menebal  membulat dan
 Temperatur  panas ringan mengkilap
permukaan  minimal atau  panas  panas sedang
 Functio laesa tidak ada  berat  berat sedang
 Cairan jaringan  edema  serous, bercak  pus
 Tingkat malaise  ringan pus  sedang-berat
 Keparahan  ringan  berat  sedang-berat
 Bakteri  aerobic  berat  anaerobik
perkutaneus  gabungan

Sumber : Flyn TR. The timing of incision and drainage ; Oral and maxillofacial surgery
knowledge update 2001; III. Rosemont : American Association of Oral and
Maxillofacial Surgeons)

Tahapan infeksi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami


bagaimana infeksi odontogenik berat yang tidak dirawat dapat menyebar ke
rongga fasial kepala dan leher profunda. Sebagai contoh, apabila infeksi
odontogenik virulen yang berasal dari gigi molar rahang bawah berkembang
menjadi abses pada rongga mandibula maka mungkin dapat berlanjut menjadi
tahap inokulasi sampai selulitis pada daerah rongga retropharyngeal lateral di
dekatnya. Rongga retropharyngeal yang telah terinokulasi oleh bakteri dapat
berkembang menjadi edema. Konsep ini dapat menjelaskan mengapa kegagalan
prosedur insisi dan drainase yang tidak berhasil mengeluarkan pus masih dapat
menghalangi penyebaran infeksi sehingga berhasil dalam proses penyembuhan.

2.4 ANATOMI RAHANG ATAS DAN SPASIUM WAJAH


Secara garis besar rahang atas berhubungan erat dengan struktur-struktur
di sekitarnya. Hubungan ini yang membantu proses penjalaran infeksi dan abses
odontogenik menjadi lebih cepat.

8
Spasium wajah adalah daerah berlapis fasia yang dapat terisi atau
ditembus oleh eksudat purulen. Daerah ini merupakan ruang potensial yang tidak
ada pada orang sehat, tetapi terisi selama infeksi. Beberapa di antaranya
mengandung struktur neurovaskular dan dikenal sebagai kompartemen.
Sedangkan bagian yang diisi oleh jaringan ikat jarang disebut celah (Peterson,
2003).
Spasium wajah yang langsung terlibat pertama kali dikenal sebagai
spasium wajah primer baik pada maksila maupun mandibula (tabel 2). Sedangkan
perluasan infeksi melebihi daerah spasium primer ini adalah ke daerah spasium
sekunder (tabel 2).

Tabel 2. Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik (Peterson, 2003)
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus
2. Spasium bukal
3. Spasium infratemporal
b. Spasium primer mandibula

9
1. Spasium submental
2. Spasium bukal
3. Spasium submandubular
4. Spasium sublingal
c. Spasium sekunder wajah
1. Spasium maseter
2. Spasium pterigomandibular
3. Spasium temporal superfisial dan
dalam
4. Spasium faringeal lateral
5. Spasium retrofaringeal
6. Spasium prevertebra

Pada penyebaran infeksi odontogenik arah tembusan pada korteks tulang rahang
ditentukan oleh ketebalan tulang di sekitar apeks gigi dan hubungannya antara
tempat terjadinya perforasi dengan perlekatan muskulus pada tulang maksila dan
madibula. Tempat perforasi umumnya di daerah bukal karena tulang bagian bukal
lebih tipis. Tetapi dari akar palatal molar maksila perforasi lebih sering ke arah
palatal sedang pada molar kedua dan ketiga mandibula lebih sering kerjadi ke arah
lingual (Daud dan Karasutisna, 2001)
Lebih lanjut, referat ini akan terfokus pada pembahasan mengenai abses yang
terjadi pada rahang atas.

2.5 PENJALARAN ABSES RAHANG ATAS

Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi
melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan langsung infeksi dalam jaringan.

1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)


Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi
ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan
semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan

10
semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh
darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir
ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan
pleksus vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria.
Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan
pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka
aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan
penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau
faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap
infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena
jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat
sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang
mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten
akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut
kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat
dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah,
terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh
limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang
bawah. Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai
berikut: Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening
memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat
mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena
subklavia ke bagian tubuh lainnya.
3. Perluasan langsung infeksi dalam jaringan
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran
material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjang bidang
fasial dan jaringan penyambung di daerah yang paling rentan. Tipe
terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di
jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces),

11
menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier
anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan
ruang potensial yang normalnya teriis oleh jaringan ikat longgar. Ketika
terjadi infeksi, jaringan alveolar hancur, membentuk ruang sejati, dan
menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia
yang meliputi ruang tersebut relatif padat.
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a. Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan
osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih
sering pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling
berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan
mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui
tulang.
b. Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi
perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju
jaringan lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas
proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital.
Selanjutnya, abses infraorbital dapat mengenai mata dan
menyebabkan edema di mata. Di rahag bawah, pointing dari infeksi
menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah menuju
lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa terdorong ke
posterior sehingga membentuk abses retromolar atau peritonsilar.
4. Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena
fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan
saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat
longgar, sehingga infeksi dapat menurun. Di bawah ini adalah beberapa
fasia dan area yang penting, sesuai dengan klasifikasi dari Burman:
- Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda

12
- Regio submandibula
- Ruang (space) sublingual
- Ruang submaksila
- Ruang parafaringeal

Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum


dihubungkan oleh fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar
hingga ke dada. Infeksi menyebar sepanjang bidang fasia karena mereka
resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio infraorbita, edema dapat
sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering melibatkan
rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.

13
2.4.1 Abses Submukosa
Disebut “submukosa” karena memang dikarenakan pus terletak dibawah
lapisan mukosa, akan tetapi, jika berbeda tempat, berbeda pula namanya.
Yang terletak di palatal, disebut sebagai Abses Palatal (Palatal Abscess).
Tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan
polanya, jika jalur pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot
masseter (rahang atas) dan inferior dari perlekatan otot maseter (rahang
bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal, namun jika jalur
pergerakan pusnya adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang
atas) dan superior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka
kondisi ini disebut Abses Vestibular.
Spasium buccal dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian
lateral dan muskulus buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat
terlibat baik akibat perluasan infeksi gigi pada maksila maupun mandibula.
Selain itu, spasium bukal terjadi akibat infeksi yang merusak tulang di atas
perlekatan muskulus buccinator. Gejala klinis yang ditimbulkan berupa
pembengkakan di sudut zigomaticus dan sekitar batas bawah dari mandibular.
Abses membesar pada mukosa bukal dan menonjol ke dalam rongga mulut dan
batas tegas yang terlihat pada lengkung zygomaticus dan b atas bawah mandibula
2.4.2 Abses Subkutan
Sesuai namanya, abses ini terletak tepat dibawah lapisan kulit (subkutan).
Ditandai dengan terlihat jelasnya pembesaran secara ekstra oral, kulit
terlihat mengkilap di regio yang mengalami pembesaran, dan merupakan
tahap terluar dari seluruh perjalanan abses. Biasanya jika dibiarkan, akan
terdrainase spontan, namun disarankan untuk melakukan insisi untuk
drainase sebagai perawatan definitifnya.
2.4.3 Abses Dentoalveolar
Abses dentoalveolar biasanya terbentuk melalui penyebaran dari lesi
karies gigi dan penyebaran dari bakteri atau pulpa melalui tubulus dentin.

14
Respon pulpa terhadap infeksi dapat berupa inflamasi akut yang mengenai
seluruh pulpa yang secara cepat menyebabkan nekrosis atau dapat berupa
perkembangan dari abses kronis yang terlokalisir dimana sebagian besar
pulpanya dapat bertahan hidup (2).
2.4.4 Abses Alveolar
Infeksi ini terbatas pada daerah mulut dengan pembengkakan terpusat di
sekitar alveolus yang dekat dengan penyebabnya. Biasanya dalam 2 hari
dapat terlihat gejala awal berupa pembentukan pus dan meningkat menjadi
pembengkakan yang berfluktuasi pada sisi labia-buccal dari alveolus.
Derajat dari gangguan sistemik biasanya ringan (1)
2.4.5 Abses Periodontal
Abses periodontal disebabkan oleh proses destruktif akut atau kronis pada
periodontium, yang menghasilkan kumpulan pus yang terlokalisir,
berhubungan dengan rongga mulut melalui sulcus ginggiva dan
sisiperiodontal lainnya (tidak berasal dari pulpa gigi) (2).
Abses Periodontal terjadi ketika bakteri menginfeksi gusi, menyebabkan
penyakit gusi (yang dikenal sebagai periodontitis). Periodontitis
menyebabkan radang di dalam gusi, yang dapat membuat jaringan yang
mengelilingi akar gigi (ligamen periodontal) terpisah dari dasar tulang
gigi. Perpisahan ini menciptakan suatu celah kecil yang dikenal sebagai
suatu poket periodontal, yang sulit untuk dibersihkan, dan menyebabkan
bakteri masuk dan menyebar. Abses Periodontal dibentuk oleh bakteri
dalam poket periodontal. Abses Periodontal selalu terjadi akibat hasil dari:
(3,8)
1. Penanganan gigi yang menciptakan poket periodontal secara kebetulan,
2. Penggunaan antibiotik yang tidak diperlakukan untuk periodontitis,
yang dapat menyembunyikan suatu abses, dan
3. Kerusakan pada gusi, walaupun tidak terdapat periodontitis.
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung
melalui beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah

15
(hematogen), transmisi melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan
langsung infeksi dalam jaringan (2)

2.4.6 Abses Spasium Caninus


Merupakan ruangan tipis yang potensial antara muskulus levator anguli
oris dan muskulus levator labii superior. Infeksi gigi kaninus atas
menyebabkan terlibatnya spasium kaninus. Penderita yang mengalami
infeksi pada spasium kaninus mengeluh pembengkakan daerah alar dan
sembab di bawah mata. Kulit dapat memperlihatkan daerah kemerahan
dan edema sehingga lipatan nasolabial menghilang, nyeri tekan dapat
dirasakan di sekitar kaninus.

2.4.7 Abses Spasium Infratemporal


terletak di posterior maksila. Bagian medial spasium ini dibatasi oleh
lempeng lateral prosesus pterigoideus tulang sfenoid, bagian superior
dibatasi oleh dasar tengkorak. Sedangkan ke arah lateral, spasium ini
menyambung dengan spasium temporal bagian dalam. Proses infeksi
daerah ini biasanya disebabkan oleh trauma terhadap gigi posterior
maksila dan biasanya terdapat penonjolan jaringan tepat di atas dan di
bawah arkus zigomatikus, menyebabkan kesan dari luar seperti
“dumbbell” (Peterson, 2003).

2.5 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Gejala dan Tanda
Gejala utama abses gigi adalah nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang dapat
berdenyut dan keras. Pada umumnya nyeri dengan tiba-tiba, dan secara
berangsur-angsur bertambah buruk dalam beberapa jam dan beberapa hari. Dapat
juga ditemukan nyeri menjalar sampai ketelinga, turun ke rahang dan leher pada
sisi gigi yang sakit.
Pembentukan abses ini melalui beberapa stadium dengan masing-masing stadium
mempunyai gejala-gejala tersendiri, yaitu:

16
1. Stadium subperiostal dan periostal
- Pembengkakan belum terlihat jelas
- Warna mukosa masih normal
- Perkusi gigi yang terlibat terasa sakit yang sangat
- Palpasi sakit dengan konsistensi keras

2. Stadium serosa
- Abses sudah menembus periosteum dan masuk kedalam tinika serosa dari
tulang dan
pembengkakan sudah ada
- Mukosa mengalami hiperemi dan merah
- Rasa sakit yang mendalam
- Palpasi sakit dan konsistensi keras, belum ada fluktuas

3. Stadium sub mukous


- Pembengkakan jelas tampak
- Rasa sakit mulai berkurang
- Mukosa merah dan kadang-kadang terlihat terlihat pucat
- Perkusi pada gigi yang terlibat terasa sakit
- Palpasi sedikit sakit dan konsistensi lunak, sudah ada fluktuasi
4. Stadium subkutan
- Pembengkakan sudah sampai kebawah kulit
- Warna kulit ditepi pembengkakan merah, tapi tengahnya pucat
- Konsistensi sangat lunak seperti bisul yang mau pecah
- Turgor kencang, berkilat dan berfluktuasi tidak nyata

Gejala-gejala umum dari abses adalah:


• Gigi terasa sensitif kepada air dingin atau panas.
• Rasa pahit di dalam mulut.
• Nafas berbau busuk.
• Kelenjar leher bengkak.

17
• Bahagian rahang bengkak (sangat serius).
• Suhu badan meningkat tinggi dan kadang-kadang menggigil
• Denyut nadi cepat/takikardi
• Nafsu makan menurun sehingga tubuh menjadi lemas (malaise)
• Bila otot-otot perkunyahan terkena maka akan terjadi trismus
• Sukar tidur dan tidak mampu membersihkan mulut
• Pemeriksaan laboratorium terlihat adanya leukositosis

2.6 KOMPLIKASI

BAB III
PRINSIP PERAWATAN ABSES ODONTOGENIK PADA RAHANG ATAS

Perawatan infeksi odontogenik dapat melibatkan perawatan dengan obat-


obatan, pembedahan, atau terapi dental, atau kombinasi dari ketiganya.
Kebanyakan infeksi yang berasal dari gigi membutuhkan perawatan pasti pada
gigi yang terlibat jika sumber infeksi tersebut harus dihilangkan. Begitu gigi
sudah diidentifikasi, perawatan endodontik pada pulpa yang terifeksi, scaling
periodontal yang dalam, atau ekstraksi harus dilakukan. Metode perawatan gigi
merupakan pertanyaaan yang menentukan, tergantung dari banyak faktor, seperti
perluasan infeksi, status kesehatan umum pasien, derajat trismus pasien, dan
kebutuhan biomekanikal gigi yang ada. Tetapi faktor terakhir tidak boleh
menggoyahkan keputusan dokter bedah sehingga merusak kesehatan pasien. Para
klinisi harus menghindari tunnel vision ketika mendiagnosa penyakit gigi karena
hal ini dapat menjadi konsekuensi serius apabila terjadi infeksi mayor. Pencabutan
gigi yang terlibat merupakan metode yang paling cepat untuk drainase sementara
secara serempak menghilangkan nidus mikroorganisme yang berada dalam rongga
pulpa dan kanal. Sebagai kemungkinan lain, terapi endodontik dapat mengurangi
sumber infeksi (Daud dan Karasutisna, 2001).

18
Selama beberapa dekade pertanyaan mengenai apakah gigi yang abses
harus diekstraksi pada saat terjadi infeksi akut menjadi kontoversi. Perhatian
terhadap potensial penyebaran infeksi iatrogenik akibat manipulasi gigi menjadi
tantangan bagi mereka yang percaya bahwa ekstraksi dini dapat menjadi
pemecahan dini terhadap infeksi dengan mengurangi sumber infeksi dan menjadi
pintu gerbang drainase. Walaupun banyak studi klinis mengenai hal ini
menyarankan bahwa pencabutan segera (immediet) tidak menyebabkan perluasan
infeksi dan memang dapat menghasilkan masalah post operatif yang sedikit
dibandingkan dengan pencabutan yang lebih lama, studi ini tidak konklusif. Fakta
yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa pencabutan pada molar rahang bawah
dengan adanya infeksi meningkatkan insiden osteitis alveolar. Oleh sebab itu,
terapi antibiotik harus digunakan apabila gigi akan dicabut selama stadium akut
infeksi yang difus atau dalam, khususnya gigi-gigi molar tiga mandibula.

3.1 Insisi Drainase


Incisi dan drainase dapat membersihkan material toksik purulen tubuh dan
mengurangi tekanan udara jaringan, memperbaiki perfusi darah yang mengandung
antibiotik dan elemen defensif dan meningkatkan oksigenisasi daerah infeksi.
Abses harus didrainase dengan pembedahan pada saat yang sama
dilakukannya terapi dental. Incisi dan drainase merupakan prosedur pembedahan
yang paling tua dan biasanya paling sederhana. Incisi tajam yang cepat pada
mukosa oral yang berdekatan dengan tulang alveolar biasanya cukup untuk
menghasilkan pengeluaran pus yang banyak, sebuah ungkapan abad ke-18 dan 19
yang berupa deskriptif dan seruan. Ahli bedah yang dapat membuat relief instan
dan dapat sembuh dengan pengeluaran pus dari abses patut dipuji dan oleh sebab
itu lebih dikenal daripada teman sejawat yang kurang terampil yang menginsisi
sebelum waktunya atau pada tempat yang salah.
Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi facial dan leher sangat
penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang
membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi
ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol yang memisahkan scalpel dari

19
infeksi. Idealnya, abses harus didrainase ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur
dan drainase spontan. Incisi dan drainase paling bagus dilakukan pada saat ada
tanda awal dari “pematangan” abses ini, meskipun drainase pembedahan juga
efektif, sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi.

Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat


melakukan incisi dan drainase :
1. Bila memungkinkan lakukan incisi pada kulit dan mukosa yang sehat.
Incisi yang ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana
jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan,
jaringan parut yang tidak estetis.
2. Tempatkan incisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di
bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami.
3. Apabila memungkinkan tempatkan incisi pada posisi yang bebas agar
drainase sesuai dengan gravitasi.
4. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai
ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan
perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat
diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab
terhadap infeksi
5. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.
6. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang
submandibula.
7. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan;
lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat
mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri
penyerbu sekunder.
8. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan
bekuan darah dan debris.

20
Gambar 13. Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher. Insisi pada titik-titik
berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium yang terindikasi: superficial and deep
temporal, submasseteric; submandibular, submental,sublingual;pterygomandibular,
retropharyngeal; lateral pharyngeal, retropharyngeal (Peterson, 2003).

Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :


1. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.
2. Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan
dengan anestesi infiltrasi.
3. Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka
direncanakan insisi :
 Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar.
 Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada
titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus
sesuai gravitasi.
 Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara
estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.
 Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat
fluktuasi positif.

21
4. Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses
dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan
unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk
mempermudah pengeluaran pus.
5. Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan
pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.
6. Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

 Abses fosa canina


Insisi dilakukan intraoral pada lipatan mukobukal, diseksi, kemudian
dilakukan pemasangan drain intraoral.
 Abses bukalis
Insisi sedapat mungkin dilakukan secara intra oral untuk menghindari
nervus facialis, estetik, dan pada umumnya fluktuatif di bagian intraoral.
Insisi dilakukan pada bagian posterior dan menghindari duktus stensoni.
Insisi ekstra oral dilakukan bila pus lebih dekat ke permukaan luar. Insisi
dilakukan paralel dengan batas mandibula, 2 cmm di bawah batas bawah
mandibula.

3.2 Terapi Antibiotik


Penggunaan antibiotik pada perawatan dentoalveolar abses yang
terlokalisir dengan baik dan mudah didrain mungkin tidak penting karena drainase
pembedahan dan terapi dental dapat mengatasi infeksi pada kebanyakan pasien.
Abses dan selulitis pada pasien yang menderita immunocompromized dan pada
mereka yang mempunyai tanda dan gejala sistemik seperti trismus atau
peningkatan suhu biasanya diindikasikan membutuhkan antibiotik. Abses yang
lokasinya jelek dan meluas serta mereka yang menderita selulitis difus
membutuhkan terapi antibiotik.
Pada pasien dengan daya tahan host menurun, seperti mereka yang
menderita diabetes yang tidak terkontrol, pasien yang menderita
immunosuppresed atau immunocompetent, yang menerima dialisis renal, atau

22
pasien yang harus dirawat karena sakit serius, suplemen antibiotik diperlukan
untuk infeksi dentoalveolar karena dikhawatirkan adanya sepsis tiba-tiba yang
menyebar bahkan dari sumber yang kecil. Infeksi dental yang fatal dapat
ditemukan pada pasien yang menderita immunosuppresed.
Idealnya, pemilihan antibiotik untuk terapi infeksi odontogenik tergantung
dari hasil pemeriksaan laboratorium yaitu kultur dan tes sensivitas. Karena
kebanyakan infeksi dentoalveolar terjadi pada pasien sehat yang rawat jalan yang
terdapat di kantor atau klinik, kultur tidak rutin dilakukan dan biasanya tidak
diperlukan. Pendekatan rasional yang praktis terhadap pemilihan antibiotik
empiris dapat diterima, baik secara etis maupun legal, apabila pemilihan
didasarkan pada data ilmiah dan pengalaman modern dengan mikrobiologi dari
flora infeksi oral.
Flora infeksi oral yang berkembang terus-menerus telah dibuktikan
kebenarannya. Sejumlah studi menunjukkan adanya infeksi mayoritas yang terdiri
dari gabungan flora aerobik dan anaerobik (65-70%) atau hanya terdiri dari
anaerobik (25-30%), sementara hanya terdapat 5% aerobik. Lebih dari 90% terdiri
dari bakteri anaerob. Organisme terpisah yang paling sering dan berkembang
terus-menerus adalah streptococci aerobik (α-, β-, dan γ-), streptococci anaerobic
(Peptostreptococcus), Bacteroides (Porphyromonas, Prevotella), Fusobacterium,
dan Eikenella. Yang jarang ditemukan Bacteroides fragilis, bakteri gram negatif
anaerobik yang normalnya berada di dalam perut dan pelvis. Organisme pada kulit
seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis sekarang ini
dilaporkan lebih jarang dibandingkan pada dekade era antibiotik terdahulu, tetapi
mempunyai insiden tinggi pada infeksi facial nonodontogenik pada anak.
Corybacterium aerobic dan Propionibacterium anaerobic yang keduanya
merupakan bakteri gram-posotif adakalanya dipertemukan.
Penicillin merupakan antibiotik empiris pilihan untuk infeksi dental
selama hampir lima dekade yang telah dibuktikan kemanjurannya. Tetapi,
mikroorganisme dan populasi mikroorganisme dari kebanyakan ekosistem dapat
dan berkembang dalam merespon seleksi lingkungan atau terhadap pengaruh
mutatory, apakah pada lantai hutan hujan tropis atau pada sulcus gingival Homo

23
sapiens. Populasi beberapa mikrospesies oral menunjukkan adanya perubahan
besar dan dapat diukur dalam susceptibilitasnya terhadap penicillin, dan produk β-
lactamase organisme seperti Bacteroides yang sekarang sering kali ditemukan
tidak sensitif lagi terhadap penicillin, dengan beberapa laporan yang melaporkan
40% resisten. Bahkan streptococcus, yang sejarahnya sensitif terhadap penicillin,
adakalanya dilaporkan resisten terhadap penicillin. Telah ditemukan juga adanya
beberapa strain Bacteroides yang resisten terhadap clindamycin.
Ahli bedah facial harus membaca dan menafsirkan data ini dengan teliti.
Apabila 40% dari Bacteoides dilaporkan resisten, 60% sisanya seharusnya
sensitif, sebuah rasio yang masih mempunyai validitas pada infeksi gabungan.
Validitas dari uji sensivitas in vitro pada media agar laboratorium juga
harus diamati dengan teliti. Kebanyakan uji laboratorium isolasi bakteri untuk
susceptibilitas terhadap obat antimicrobial dengan tes disk diffusion, telah tersedia
walaupun masih semiotomatis. Metode ini menentukan konsistensi minimum
inhibitor dari antibiotik yang berbeda untuk masing-masing isolasi atau mengubah
data tersebut menjadi petunjuk pada tes susceptibilitas. Tes antibiotik
laboratorium untuk anaerob kurang akurat dibandingkan dengan untuk aerob.
Mekanisme pertahanan humoral dan seluler host, apabila normal, adalah
jauh lebih perlu untuk mematikan organisme dibandingkan dengan penggunaan
disk antibiotik di laboratorium. Sebagai tambahan, material yang ada (pus) untuk
kultur biasanya menyatakan secara tidak langsung bahwa drainase pembedahan
telah dilakukan (atau aspirasi), suatu prosedur yang sama pentingnya dengan
adanya pertahanan normal dalam keberhasilan perawatan infeksi dentoalveolar.
Oleh karena kebanyakan infeksi ini merupakan gabungan dari flora aerob
dan anaerob, sinergisme bakterial yang mempercepat pertumbuhan organisme-
organisme yang berbeda tipe ini dapat diganggu dengan penggunaan penicillin.
Apakah streptococci aerobik menghasilkan nutrien penting untuk anaerob,
menyediakan enzim, membersihkan metabolit, atau mengurangi tekanan oksigen
di dalam jaringan, destruksi organisme oleh penicillin dapat mengurangi
pertumbuhan dan reproduksi anaerob.

24
Itulah sebabnya penicillin tetap menjadi pilihan antibiotik empiris dalam
kebanyakan perawatan infeksi dentoalveolar pada host yang tidak membahayakan.
Pernyataan ringkas dan ilmiah dari Moenning, “Adalah sombong untuk
mengatakan bahwa sekarang ini penicillin tidak efektif terhadap kebanyakan
infeksi odontogenik dan belum waktunya untuk mempertimbangkan penggantian
penicillin dengan antibiotik lain sebagai drug of choice pertama untuk infeksi
odontogenik ringan sampai berat, khususnya apabila harga dan tingkat toksisitas
juga dipertimbangkan.” Pernyataan tersebut valid dari tahun 1989 sampai 2002.
Untuk infeksi yang berat dan bandel yang terlihat pada pasien yang dirawat jalan,
kultur dan studi sensivitas antibiotik mungkin penting. Metronidazol merupakan
suplemen yang efektif dibanding penicillin dan dengan cepat mematikan anaerob.
Clindamycin oral merupakan pilihan tepat baik untuk mematikan aerob dan
anaerob, tetapi harganya dan potensi efek sampingnya harus dipertimbangkan.
Apabila penggunaan antibiotic β-lactam (contohnya penicillin) selama 2-3 hari
tidak menunjukkan adanya penyembuhan infeksi odontogenik, maka dapat
dipertimbangkan penggunaan antibiotic non β-lactam yang lain atau β-lactamase-
stabil (contohnya clindamycin).
Pada pasien yang membutuhkan opname karena infeksi odontogenik dan
pada host compromised (termasuk pasien dengan diabetes yang tergantung
insulin, mereka yang mempunyai riwayat alkoholisme kronis, mereka yang
terlibat penyalahgunaan obat-obatan intravena, pasien yang baru saja diopname,
dan mereka yang menerima antibiotik profilaksis 4 minggu sebelumnya),
clindamycin atau kombinasi clindamycin dengan metronidazol atau gentamicin,
atau generasi pertama atau kedua cephalosporin dapat digunakan, seperti
ampicillin-sulbactam (Unasyn) parenteral. Quinolon mempunyai efektivitas yng
terbatas terhadap anaerob; jadi sulit untuk membenarkan penggunaannya pada
infeksi odontogenik. Generasi keempat dari quinolon, walaupun berguna terhadap
anaerob, dapat menyebabkan toksisitas hepatic yang serius pada beberapa pasien.
Untuk infeksi yang membandel yang tidak merespon terapi penicillin dengan
cepat dan pada host yang compromised, kultur aerob dan anaerob dan studi

25
sensivitas penting untuk menentukan apakah antibiotik yang lain dari penicillin
diindikasikan.
Penggunaan antibiotik diindikasikan pada kombinasi pembedahan baik
secara terapeutik maupun profilaksis seperti pada situasi berikut :
1. Selulitis akut yang berasal dari gigi
2. Pericoronitis akut dengan peningkatan suhu dan trismus
3. Infeksi ruang fascial yang dalam
4. Fraktur terbuka (compound) pada mandibula dan maksila, atau pada tulang
fasial lainnya
5. Laserasi orofacial yang luas, dalam, dan lama (>6jam)
6. Infeksi gigi atau pembedahan oral pada host yang compromised

Apakah perawatan dengan obat-obatan (antibiotik), pembedahan (incisi dan


drainase, ekstraksi atau endodontik), atau kedua-duanya, keputusan penting
lainnya adalah apakah opname untuk perawatan diperlukan atau cukup dengan
rawat jalan saja. Walaupun jumlah infeksi odontogenik yang dirawat di Amerika
Serikat tidak pernah ditentukan, perkiraan kasar menunjukkan 21.000 administrasi
rumah sakit dan paling sedikit 150 meninggal tiap tahun dari infeksi ini.
Keputusan untuk opname tergantung dari evaluasi faktor resiko, di mana
tergantung lokasi anatomis infeksi (contoh, bucal vs. ruang pharyngeal lateral),
status kesehatan (diabetes tergantung insulin, immunosupresi), durasi (akut vs.
kronis) dari infeksi, perlu tidaknya anestesi atau intubasi, dan respon antibiotik
oral. Penggunaan contemporary imaging (CT imaging) mungkin tampak dalam
tetapi gambaran infeksi tidak jelas sehingga tentu saja dapat mempengaruhi
keputusan.
Daftar antibiotik yang digunakan pada perawatan abses odontogenik. (3)
Antimicrobials Adult Dosage Pediatric Dosage
Narrow-spectrum agents
Penicillin VK 250 – 500 mg q6h 50 mg /kg q8h
Amoxicillin 500 mg q8h 15 mg / kg q8h
Cephalexin£ 250 – 500 mg q6h 25 – 50 mg /kg /d q6-8h

26
Erythromycin β 250 mg q6h 10 mg / kg q16h
Azithromycin β€ 500 mg x 1d, then
250 or 500 mg q 24h 10 mg / kg / d x 1d, then 5 mg / kg / d q24h x 4d
Clarithromycin β 250 – 500 mg q12h or 1g PO q24h 15 mg / kg / d q12h
Doxycycline β βi 100 mg q12h 1 – 2 mg / kg q12h x 1d, then 1 – 2 mg / kg q 24h
Tetracycline β βi 250 mg q6h 12.5 – 25.0 mg / kg q12h

Broad-spectrum agents
Clindamycin β 150 – 300 mg q8h 10 mg / kg q8h
Amoxicillin / clavulanate 875 mg q12h 45 mg /kg q12h
Metronidazole plus 1 of the following: β 250 mg q6h or 500 mg q12h 7.5 mg / kg
q6h or 15 mg / kg q12h
Penicillin VK 250 – 500 mg q6h 50 mg /kg or Amoxicillin 500 mg q8h 15 mg /kg
q8h
or Erythromycin β 250 mg q6h 10 mg / kg q8h

BAB IV
KESIMPULAN

Dari penjabaran diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyebab utama infeksi yang
terdapat pada kepala dan leher adalah yang bersifat odontogenik. Artinya infeksi berasal
dari sekitar gigi baik dari gigi itu sendiri yang terserang karies sehingga menyebabkan
pulpitis terus menjadi infeksi apikalis atau dari jaringan periodontal sekitar gigi yang
menimbulkan infeksi periodontal. Infeksi odontogenik pada umumnya bersifat ringan
dan mudah penanganannya dengan tindakan pemberian antibiotik bila diperlukan dan
kemudian dilakukan tindakan pembuangan atau pencabutan dari gigi penyebab.
Tindakan yang sangat sederhana sekali dan dapat dilakukan dirnana saja oleh seorang
dokter gigi.
Tetapi adakalanya infeksi ini berkembang sangat cepat dan sangat agresif
sehingga memerlukan tindakan bedah intensif, segera dan agresif karena dikhawatirkan
infeksi ini berkembang lebih jauh lagi dan membahayakan nyawa pasien. Hal ini dapat

27
terjadi karena kontaminasi virus, jamur dan bakteri atau pernberian tindakan yang tidak
sempurna pada awal infeksi tersebut, sehingga terjadi komplikasi yang membahayakan.
Untuk itulah perlu diingatkan bahwa sekecil apapun infeksi pada kepala dan leher
khususnya yang berasal dari odontogenik, hendaklah ditangani dengan tepat dan akurat,
sehingga tidak terjadi penyesalan dikernudian hari.
Prinsip perawatan pada infeksi spasium wajah pada dasarnya meliputi :
pemberian obat ( Analgesik dan antibiotik), tindakan operasi (Pencabutan gigi,
insisi dan drainase), perawatan gigi (Perawatan saluran akar), dan kombinasi dari
ketiganya.
Prognosis dari abses Odontogenik adalah baik terutama apabila diterapi
dengan segera menggunakan antibiotika yang sesuai. Apabila menjadi bentuk
kronik, akan lebih sukar diterapi dan menimbulkan komplikasi yang lebih buruk
dan kemungkinan amputasi lebih besar. (6)

DAFTAR PUSTAKA

28
Fragiskos dkk.2007.Oral Surgery. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.New York.

Smith, AG. 2007. Maxillofacial Surgery. Editor: Booth, PW. Mosby. St. Louise. p 1553.
Topazian RG., Goldberg MH., Hupp JR. 2004. Oral and Maxillofacial Infection.
4th ed. Philadelphia. W.B Sounders CO. p.1-29
Smith, AG. 2007. Maxillofacial Surgery. Editor: Booth, PW. Mosby. St. Louise. p 1553.
Peterson Larry J, D.D.S., M.S . 2003. Contemporaray Oral and Maxillofacial
Surgery. Fouth Edition. Mosby. St. Louise. p 367-376.
Daud ME., Karasutisna T. 2001. Infeksi odontogenik 1thed. Bandung. Bagian
Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. p.1-12
Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto,
Basoeseno. Jakarta. EGC

Flyn TR. 2001.The timing of incision and drainage ; Oral and maxillofacial
surgery knowledge update; III. Rosemont : American Association of
Oral and Maxillofacial Surgeons). Mosby. St. Louise.p. 5-10

http://www.pua.edu.eg/PUASite/uploads/file/Dentistry/fall2010/OS%20531/7-
10/Odontogenic_Infections_(3)_print_.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai