Skenario 1 Blok Gastrointesinal
Skenario 1 Blok Gastrointesinal
Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, dengan volume 1200-
1500ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan bagian distal
esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum. Lambung terletak
pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium kiri. Kecembungan lambung yang
meluas ke gastroesofageal junction disebut kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian
kanan disebut kurvatura minor, dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ
lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum.
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa, muscularis, dan
serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim,
asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar
perbandingan antara luas dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang
dapat dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat
ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa
nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan
otot yang membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan
otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik
menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu serosa berfungsi
sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel dilapisan ini mengeluarkan sejenis cairan untuk
mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh lainnya.
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu sel goblet
[ goblet cell ], sel parietal [ parietal cell ], dan sel chief [chief cell ]. Sel goblet berfungsi untuk
memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel agar tidak rusak karena
enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk memproduksi asam lambung
[ Hydrochloric acid ] yang berguna dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel
parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam
lambung mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi
untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief
memproduksi
dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel ter
sebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.
Pendarahan gaster
1. Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor
gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian atas kanan
gaster.
2. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas pylorus
dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian kanan bawah
gaster.
3. Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan ke
depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
4. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster sepanjang
bagian atas curvatura major.
5. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang merupakan
cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan mendarahi gaster
sepanjang bawah curvatura major.
Venae
Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan dextra
bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae gastricae breves dan vena gastroomentalis
sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam
vena mesentrica superior.
Persarafan gaster
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan
serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.
Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus
sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin
tunggal atau multipel, kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan
anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di sini
membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.
Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus
vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya truncus
membentuk cabang-cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang
besar berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian
didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.
Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut
parasimpatis nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut
motoris untuk tunica muscularis gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut
motoris dari sistem simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.
a. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal, disebut
juga rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni epitel, lapisan propria, dan
muskularis mukosa. Pada epitel permukaannya menekuk dengan kedalamaan berbeda ke dalam
lamina propria membentuk sumur lambung (gastric pits). Lamina propria tersusun atas jaringan
pengikat longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga terdapat muskularis mukosa,
yakni lapisan yang memisahkan mukosa dan submukosa yang masih merupakan lapisa notot
polos (Junquiera dan Carneiro, 2003) .
Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk (foveolae
gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik. Kelenjar pada daerah cardiac
dan pylorus hanya memproduksi mukus, sedangkan kelenjar pada daerah corpus dan fundus
memproduksi mukus, asam klorida dan enzim proteolitik. Karena itu pada kelenjar corpus dan
fundus ditemukan 3 jenis sel, yaitu sel yang memproduksi mukus yaitu sel mukus, sel yang
menghasilkan HCl yaitu sel parietal, sel yang menghasilkan enzim proteolitik yaitu sel epitel
mukosa (Sukirno, 2008).
Lamina propria terdiri atas anyaman serat retikuler dan kolagen, serta sedikit elastin. Juga
anyaman fibrosa yang mengandung limfosit, eosinofil, selmast, dan sel plasma. Kontraksinya
berhubungan dengan pengeluaran sekret pada mukosa (Bloom dan Fawcett, 2002) .
Lapisan muskularis mukosa terdiri atas lapisan otot polos tipis yang tersusun sirkuler di bagian
dalam serta lapisan longitudinal di bagian luar (Eroschenko, 2003) .
b. Lapisan submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan lapisan
mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan
peristaltik. Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran
limfe (Price danWilson, 2006).
c. Lapisan muskularis
Lapisan muskularis tersusun atas tiga lapis otot polos. Bagian luar tersusun atas lapisan
longitudinal, bagian tengah tersusun atas lapisan sirkuler, dan bagian dalam tersusun atas
lapisan oblik (Price dan Wilson, 2006)
d. Lapisan serosa
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis. Merupakan
lapisan paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis. Jaringan ikat yang
menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak (Eroschenko, 2003).
Histologi bagian-bagian gaster :
1. Esophagus cardia
Pada bagian esophagus cardia terjadi peralihan dari epitel berlapis gepeng menjadi epitel
selapis silindris. Saat mencapai cardia kelenjer esophagus di submucosa tidak ada lagi.
2. Gaster Fundus
Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak. Foveola gastrica sepertiga tebal mukosa ( dangkal )
sedangkan kelenjernya ( fundus ) duapertiga tebal mukosa, terletak di lamina propria. Ada
beberapa macam kelenjer yang terdapat disini antara lain :
3. Gaster Pilorus
Memiliki foveola gastrica yang lebih dalam. Sel-sel kelenjer hamper homogeny, semua sel
mucus kelenjer pylorus sering berkelok-kelok di dalam lamina propria. Tunika muskularis
dengan lapisan sirkular amat tebal membentuk sfingter.
4. Gaster duodenum
Tunika mukosa epitel selapis torak pada gaster akan memiliki sel goblet ketika memasuki
daerah duodenum.
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Sistem Pencernaan (Gaster)
FISIOLOGI LAMBUNG (GASTER)
Fungsi lambung terdiri dari:
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik
lambung dan getah lambung.
2. Getah asam lambung yang dihasilkan:
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton)
b. HCl, fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan
membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin
c. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari
kaseinogen (kaseinogen dan protein susu)
d. Lipase lambung, jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang
merangsang sekresi getah lambung
Otot lambung yang tebal berfungsi untuk mengaduk dan menggerus bahan makanan
didalamnya serta mencampur secara sempurna dengan getah sekret pencernaan yang
dikeluarkan oleh lambung. Dinding lambung terdiri atas 4 lapisan, yaitu :
1. mukosa, berfungsi mensekresikan sesuatu yang diperlukan untuk mengabsorpsi vitamin
B12. Didalam mukosa terdapat kalenjar yang berbeda yang dibagi menjadi tiga zona, yaitu
:
a. kelenjar kardia, berfungsi menghasikan lisozom
b. kelenjar lambung, berfungsi mensekresikan asam, enzim-enzim, mukus, dan hormon-
hormon.
c. kelenjar pilorus, berfungsi menghasilkan hormon dan mukus.
2. submukosa, mengandung pembuluh darah, pembuluh limfa dan syaraf perifer.
3. Muskularis
4. serosa, mengandung banyak lemak apabila umur bertambah.
PENCERNAAN DI LAMBUNG
1. MEKANIK
Beberapa menit setelah makanan memasuki perut, gerakan peristaltik yang lembut dan
berriak yang disebut gelombang pencampuran (mixing wave) terjadi di perut setiap 15-25
detik. Gelombang ini merendam makanan dan mencampurnya dengan hasil sekresi kelenjar
lambung dan menguranginya menjadi cairan yang encer yang disebut chyme. Beberapa
mixing wave terjadi di fundus, yang merupakan tempat penyimpanan utama. Makanan
berada di fundus selama satu jam atau lebih tanpa tercampur dengan getah lambung.
Selama ini berlangsung, pencernaan dengan air liur tetap berlanjut.
Selama pencernaan berlangsung di perut, lebih banyak mixing wave yang hebat dimulai
dari tubuh dan makin intensif saat mencapai pilorus. Pyloric spinchter hampir selalu ada
tetapi tidak seluruhnya tertutup. Saat makanan mencapai pilorus, setiap mixing wave
menekan sejumlah kecil kandungan lambung ke duodenum melalui pyloric spinchter.
Hampir semua makanan ditekan kembali ke perut. Gelombang berikutnya mendorong terus
dan menekan sedikit lagi menuju duodenum. Pergerakan ke depan atau belakang
(maju/mundur) dari kandungan lambung bertanggung jawab pada hampir semua
pencampuran yang terjadi di perut.
2. KIMIAWI
Prinsip dari aktivitas di perut adalah memulai pencernaan protein. Bagi orang dewasa,
pencernaan terutama dilakukan melalui enzim pepsin. Pepsin memecah ikatan peptide
antara asam amino yang membentuk protein. Rantai protein yang terdiri dari asam amino
dipecah menjadi fragmen yang lebih kecil yang disebut peptide. Pepsin paling efektif di
lingkungan yang sangat asam di perut (pH=2) dan menjadi inakatif di lingkungan yang
basa. Pepsin disekresikan menjadi bentuk inakatif yang disebut pepsinogen, sehingga tidak
dapat mencerna protein di sel-sel zymogenic yang memproduksinya. Pepsinogen tidak
akan diubah menjadi pepsin aktif sampai ia melakukan kontak dengan asam hidroklorik
yang disekresikan oleh sel parietal. Kedua, sel-sel lambung dilindungi oleh mukus basa,
khususnya setelah pepsin diaktivasi. Mukus menutupi mukosa untuk membentuk hambatan
antara mukus dengan getah lambung.
Enzim lain dari lambung adalah lipase lambung. Lipase lambung memecah trigliserida
rantai pendek menjadi molekul lemak yang ditemukan dalam susu. Enzim ini beroperasi
dengan baik pada pH 5-6 dan memiliki peranan terbatas pada lambung orang dewasa.
Orang dewasa sangat bergantung pada enzim yang disekresikan oleh pankreas (lipase
pankreas) ke dalam usus halus untuk mencerna lemak.
Lambung juga mensekresikan renin yang penting dalam mencerna susu. Renin dan Ca
bereaksi pada susu untuk memproduksi curd. Penggumpalan mencegah terlalu seringnya
lewatnya susu dari lambung menuju ke duodenum (bagian pertama dari usus halus). Rennin
tidak terdapat pada sekresi lambung pada orang dewasa.
PENGOSONGAN LAMBUNG
Pengosongan lambung terjadi bila adanya faktor berikut ini :
Impuls syaraf yang menyebabkan terjadinya distensi lambung (penggelembungan).
Diproduksinya hormon gastrin pada saat makanan berada dalam lambung. Saat makanan
berada dalam lambung, setelah mencapai kapasitas maksimum maka akan terjadi distensi
lambung oleh impuls saraf (nervus vagus). Disaat bersamaan, kehadiran makanan terutama
yang mengandung protein merangsang diproduksinya hormone gastrin. Dengan
dikeluarkannya hormone gastrin akan merangsang esophageal sphincter bawah untuk
berkontraksi, motilitas lambung meningkat, dan pyloric sphincter berelaksasi. Efek dari
serangkaian aktivitas tersebut adalah pengosongan lambung.Lambung mengosongkan semua
isinya menuju ke duodenum dalam 2-6 jam setelah makanan tersebut dicerna di dalam
lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat menghabiskan waktu yang paling
sedikit di dalam lambung atau dengan kata lain lebih cepat dikosongkan menuju duodenum.
Makanan yang mengandung protein lebih lambat, dan pengosongan yang paling lambat terjadi
setelah kita memakan makanan yang mengandung lemak dalam jumlah besar.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEPATAN PENGOSONGAN
LAMBUNG
A. Pompa Pilorus dan Gelombang Peristaltik
Pada dasarnya, pengosongan lambung dipermudah oleh gelombang peristaltik pada antrum
lambung, dan dihambat oleh resistensi pilorus terhadap jalan makanan. Dalam keadaan
normal pilorus hampir tetap, tetapi tidak menutup dengan sempurna, karena adanya
kontraksi tonik ringan. Tekanan sekitar 5 cm, air dalam keadaan normal terdapat pada
lumen pilorus akibat pyloric sphincter. Ini merupakan penutup yang sangat lemah, tetapi,
walaupun demikian biasanya cukup besar untuk mencegah aliran chyme ke duodenum
kecuali bila terdapat gelombang peristaltik antrum yang mendorongnya. Oleh karena itu,
untuk tujuan praktisnya kecepatan pengosongan lambung pada dasarnya ditentukan oleh
derajat aktivitas gelombang peristaltik antrum.
Gelombang peristaltik pada antrum, bila aktif, secara khas terjadi hampir pasti tiga kali per
menit, menjadi sangat kuat dekat insisura angularis, dan berjalan ke antrum, kemudian ke
pilorus dan akhirnya ke duodenum. Ketika gelombang berjalan ke depan, pyloric sphincter
dan bagian proksimal duodenum dihambat, yang merupakan relaksasi reseptif. Pada setiap
gelombang peristaltik, beberapa millimeter chyme didorong masuk ke duodenum. Daya
pompa bagian antrum lambung ini kadang-kadang dinamakan pompa pilorus.
Derajat aktivitas pompa pilorus diatur oleh sinyal dari lambung sendiri dan juga oleh sinyal
dari duodenum. Sinyal dari lambung adalah :
1. Derajat peregangan lambung oleh makanan, dan
2. Adanya hormon gastrin yang dikeluarkan dari antrum lambung akibat respon
regangan.
Kedua sinyal tersebut mempunyai efek positif meningkatkan daya pompa pilorus dan
karena itu mempermudah pengosongan lambung. Sebaliknya, sinyal dari duodenum
menekan aktivitas pompa pilorus. Pada umumnya, bila volume chyme berlebihan atau
chyme tertentu berlebihan telah masuk duodenum. Sinyal umpan balik negatif yang kuat,
baik syaraf maupun hormonal dihantarkan ke lambung untuk menekan pompa pilorus.
Jadi, mekanisme ini memungkinkan chyme masuk ke duodenum hanya secepat ia dapat
diproses oleh usus halus.
B. Volume Makanan
Sangat mudah dilihat bagaimana volume makanan dalam lambung yang bertambah dapat
meningkatkan pengosongan dari lambung. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi karena alasan
yang diharapkan. Tekanan yang meningkat dalam lambung bukan penyebab peningkatan
pengosongan karena pada batas-batas volume normal, peningkatan volume tidak
menambah peningkatan tekanan dengan bermakna,. Sebagai gantinya, peregangan dinding
lambung menimbulkan refleks mienterik lokal dan refleks vagus pada dinding lambung
yang meningkatkan aktivitas pompa pilorus. Pada umumnya, kecepatan pengosongan
makanan dari lambung kira-kira sebanding dengan akar kuadrat volume makanan yang
tertinggal dalam lambung pada waktu tertentu.
C. Hormon Gastrin
Peregangan serta adanya jenis makanan tertentu dalam lambung menimbulkan
dikeluarkannya hormon gastrin dari bagian mukosa antrum. Hormon ini mempunyai efek
yang kuat menyebabkan sekresi getah lambung yang sangat asam oleh bagian fundus
lambung. Akan tetapi, gastrin juga mempunyai efek perangsangan yang kuat pada fungsi
motorik lambung. Yang paling penting, gastrin meningkatkan aktivitas pompa pilorus
sedangkan pada saat yang sama melepaskan pilorus itu sendiri. Jadi, gastrin kuat
pengaruhnya dalam mempermudah pengosongan lambung. Gastrin mempunyai efek
konstriktor pada ujung bawah esofagus untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam
esofagus selama peningkatan aktivitas lambung.
D. Refleks Enterogastrik
Sinyal syaraf yang dihantarkan dari duodenum kembali ke lambung setiap saat, khususnya
bila lambung mengosongkan makanan ke duodenum. Sinyal ini mungkin memegang
peranan paling penting dalam menentukan derajat aktivitas pompa pilorus, oleh karena itu,
juga menentukan kecepatan pengosongan lambung. Refleks syaraf terutama dihantarkan
melalui serabut syaraf aferen dalam nervus vagus ke batang otak dan kemudian kembali
melalui serabut syaraf eferen ke lambung, juga melalui nervus vagus. Akan tetapi,
sebagian sinyal mungkin dihantarkan langsung melalui pleksus mienterikus.
Jenis-jenis faktor yang secara terus menerus ditemukan dalam duodenum dan kemudian
dapat menimbulkan refleks enterogastrik adalah :
1. Derajat peregangan lambung
2. Adanya iritasi pada mukosa duodenum
3. Derajat keasaman chyme duodenum
4. Derajat osmolaritas duodenum, dan
5. Adanya hasil-hasil pemecahan tertentu dalam chyme, khususnya hasil pemecahan
protein dan lemak.
Refleks enterogastrik khususnya peka terhadap adanya zat pengiritasi dan asam dalam
chyme duodenum. Misalnya, setiap saat dimana pH chyme dalam duodenum turun di
bawah kira-kira 3.5 sampai 4, refleks enterogastrik segera dibentuk, yang menghambat
pompa pilorus dan mengurangi atau menghambat pengeluaran lebih lanjut isi lambung
yang asam ke dalam duodenum sampai chyme duodenum dapat dinetralkan oleh sekret
pankreas dan sekret lainnya. Hasil pemecahan pencernaan protein juga akan menimbulkan
refleks ini, dengan memperlambat kecepatan pengosongan lambung, cukup waktu untuk
pencernaan protein pada usus halus bagian atas.
Cairan hipotonik atau hipertonik (khususnya hipertonik) juga akan menimbulkan refleks
enterogastrik. Efek ini mencegah pengaliran cairan nonisotonik terlalu cepat ke dalam usus
halus, karena dapat mencegah perubahan keseimbangan elektrolit yang cepat dari cairan
tubuh selama absorpsi isi usus.
Kontraksi Pyloric Sphincter
Biasanya, derajat kontraksi pyloric sphincter tidak sangat besar, dan kontraksi yang terjadi
biasanya dihambat waktu gelombang peristaltik pompa pilorus mencapai pilorus. Akan tetapi,
banyak faktor duodenum yang sama, yang menghambat kontraksi lambung, dapat secara
serentak meningkatkan derajat kontraksi dari pyloric sphincter. Faktor ini menghambat atau
mengurangi pengosongan lambung, dan oleh karena itu menambah proses pengaturan
pengosongan lambung. Misalnya, adanya asam yang berlebihan atau iritasi yang berlebihan
dalam bulbus duodeni menimbulkan kontraksi pilorus derajat sedang.
Keenceran Chyme
Semakin encer chyme pada lambung maka semakin mudah unruk dikosongkan. Oleh karena
itu, cairan murni yang dimakan, dalam lambung dengan cepat masuk ke dalam duodenum,
sedangkan makanan yang lebih padat harus menunggu dicampur dengan sekret lambung serta
zat padat mulai diencerkan oleh proses pencernaan lambung.
Selain itu pengosongan lambung juga dipengaruhi oleh :
a. Pemotongan nervus vagus dapat memperlambat pengosongan lambung.
b. Vagotomi menyebabkan atoni dan peregangan lambung yang relatif hebat.
c. Keadaan emosi, kegembiraan dapat mempercepat pengosongan lambung dan sebaliknya
ketakutan dapat memperlambat pengosongan lambung.
SEKRESI ASAM LAMBUNG
Sekresi dari getah lambung diatur oleh mekanisme syaraf dan hormonal. Impuls parasimpatis
yang terdapat pada medulla dihantarkan melalui syaraf vagus dan merangsang gastric glands
untuk mensekresikan pepsinogen, asam klorida, mukus, dan hormon gastrin.
Ada tiga faktor yang merangsang sekresi lambung, yaitu : fase sefalik, fase gastrik, dan fase
intestinal.
1. Fase (refleks) sefalik
Fase ini muncul sebelum makanan masuk ke lambung dan mempersiapkan lambung untuk
mencerna. Penglihatan, bau, rasa dan pikiran tentang makanan merangsang refleks ini. Impuls
syaraf dari cerebral korteks atau feeding centre di hipotalamus mengirimkan impuls ke medulla
oblongata di otak kemudian medulla oblongata menyampaikan impuls melalui serabut
parasimpatis pada syaraf vagus untuk merangsang sekresi dari kelenjar.
2. Fase Gastrik
Terjadi ketika makanan memasuki lambung. Semua jenis makanan menyebabkan
penggelembungan (distension) dan merangsang reseptor yang terdapat pada dinding lambung.
Reseptor mengirim impuls ke medulla kelenjar lambung merangsang sekresi dari getah
lambung. Protein dan kafein yang tercerna sebagian merangsang mukosa pilorus untuk
mensekresikan hormon gastrin, selanjutnya hormon gastrin merangsang kelenjar lambung
untuk mensekresikan getah lambung. Kelenjar lambung yang merangsang sekresi sejumlah
besar getah lambung, juga menimbulkan kontraksi lower esophageal spinchter dan ileocecal
spinchter. Sekresi gastrin terhalang saat pH cairan lambung (HCl) mencapai 2.0. Mekanisme
negative feedback ini membantu menyediakan pH optimal untuk memfungsikan enzim-enzim
di perut.
3. Fase Intestinalis
Fase ini terjadi saat makanan meninggalkan lambung dan memasuki usus halus. Saat protein
yang telah tercerna sebagian memasuki duodenum, protein ini merangsang lapisan mukosa
pada dinding duodenum untuk melepaskan enteric gastrin, hormon yang merangsang kelenjar
gastrik untuk melanjutkan sekresi.
a. Dispepsia organik, dyspepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organic dikategorikan menjadi :
1. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia).
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering
terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi
dan radiologi dapat menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.
2. Dispepsia bukan tukak.
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada gastritis,
duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
3. Refluks gastroesofageal.
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi
asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut disertai
dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut sindroma dispepsia
refluks gastroesofageal.
4. Penyakit saluran empedu.
Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri
dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu
kanan.
5. Karsinoma.
Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsia.
Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah berkaitan
dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
6. Pankreatitis.
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa makin
tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.
7. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi.
Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok ialah
timbulnya diare profus yang berlendir.
8. Dispepsia akibat obat-obatan.
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu
hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non
steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin,
eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan obat yang
dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia.
9. Gangguan metabolisme.
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung
yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.
Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan
hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin
disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.
b. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 sub grup yaitu:
1. Dispepsia mirip ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu
hati;
2. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala dominan adalah
kembung, mual, cepat kenyang
3. Dyspepsia non-spesific yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b)
LO. 4.5. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin
dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga
lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat
gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan
produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga
rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.
Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori,
dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
a. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
b. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima.
c. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus
dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal
tersebut.
d. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk
reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus
dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di gaster atau
duodenum.
e. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal
ini bersifat inkonsisten.
g. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi
pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
i. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara
faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia
fungsional ini, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa
kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada
kasus dispepsia fungsional.
LO. 4.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Sindroma Dispepsia
Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu :
ANAMNESIS
Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik
dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa bersifat lokal atau bisa sebagai
manifestasi dari gangguan sistemik. Harus menyamakan persepsi antara dokter dengan pasien
untuk menginterpretasikan keluhan tersebut.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat
misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsangan
peritoneal/peritonitis.
PEMERIKSAAN LAB
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi seperti lekositosis,
pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran cerna.
2. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan seperti: batu
kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
3. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila dispepsia itu
disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu adanya penurunan berat badan,
anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau
keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini
sangat mengarah pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga memerlukan
eksplorasi diagnosis secepatnya. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat
adanya kelainan struktural atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak/ulkus, tumor dan sebagainya, juga dapat disertai pengambilan contoh
jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh gambaran
histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman
Helicobacter pylori.
4. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran yang mengarah ke tumor.
Pemeriksaan ini bermanfaat terutama pada kelainan yang bersifat
penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.
5. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini
makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit,
apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada
kondisi pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada
sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan
di tiroid, bahkan juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada, perut kembung,
perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering memberikan
keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai
keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.
Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus, akan sering
memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE,
terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
LO. 4.8. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Sindroma dispepsi
TERAPI FARMAKOLOGIS
a. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Karbon
dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat
terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini
dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan
sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan
pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu
gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram.
Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan tukak
peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)
b. Antasid Non-sistemik
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang. Al(OH)3
bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya.
Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat membentuk
aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin
berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein
sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorsi
makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah.
Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan memberikan
antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat dapat terjadi
sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3 dapat
mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih sering
menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben
pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel yang mengandung
3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet Al(OH)3 yang
mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal
yang dianjurkan 0,6 gram.
Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka daya
kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna dan
disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan daya
netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin
yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada
malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang
dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi
pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali
syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan
pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang. Kalsium karbonat tersedia dalam
bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq
asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.
Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak larut, dan
tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium
hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan
natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal ini
akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorbi
akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria, tetapi jarang
alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek katartiknya,
sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam usus dan akan menarik
air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik,
neuromuskular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55 Mg(OH).
Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-30 ml.
Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat dinetralkan 11,1 mEq
asam.
Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam lambung
sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak.
Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan dieksresi dalam
urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya
mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium
trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan
untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu silikat
setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan
potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan mengunakan obat
ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4 gram.
Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-kurangnya 20%
MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat menetralkan 13-17 mEq
asam.
c. Obat Penghambat Sekresi Lambung
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan metiamid
merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak
digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada saat ini adalah simetidin, ranitidin,
famotidin, dan nizatidin.
Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien dengan
hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak lambung.
Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan pemberian yang lebih
sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi pasien yang menggunakan obat
lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman menggunakan ranitidin, famotidin, atau
nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya dibandingkan simetidin untuk mengadakan
interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan
simetidin, kemungkinan efek samping ranitidin, famotidin, dan nizatidin nampaknya lebih
kecil, termasuk kemungkinan di antaranya kemungkinan impotensi dan ginekomastia karena
ketiga obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.
e. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon, cisapride.
Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai untuk
mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak turun, transit
oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya cukup banyak,
terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala, mata kabur, kejang
perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh karena itu, obat ini mulai
tidak digunakan lagi.
Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek anti-
dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer. Khasiat
metoklopramid antara lain:
1. meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion kolinergik,
2. merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
3. merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran cerna dan
mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas atau sedasi,
dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral dari
metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis dan kejang.
Domperidon
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang mempunyai
khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai spektrum yang luas.
Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas pada saluran cerna
bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal ini disebabkan karena cisapride
meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah, peristaltik oesophagus, dan
pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan meningkatkan peristaltik antrum, memperbaiki
koordinasi gastro-duodenum dan mempercepat pengosongan lambung. Manfaat cisapride pada
saluran cerna bagian bawah yaitu akan merangsang aktivitas motorik usus halus dan kolon
sehingga mempercepat transit di sini. Jadi, obat ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus
kronis idiopatik, pada penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai obat laxatif yang
menahun.
Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di perut yang
sifatnya sementar.
TERAPI NONFARMAKOLOGIS
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya dalam
porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.
LO. 4.9. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa
lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat mengakibatkan kanker pada lambung
LO. 4.10. Memahami dan Menjelaskan Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat
mempunyai prognosis yang baik.
LO. 4.11. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu
yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi
kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat mengenai :
1) Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
2) Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan
penyediaan air bersih.
3) Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan harus
diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga diperhatikan
porsi pemberiannya.
4) Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi serta
merokok.
Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera (Early
Diagmosis and Prompt Treatment).
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik meliputi
anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang
diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang,
pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah
berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk
memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan pemeriksaan yaitu :
laboraturium, radiologis, endoskopi, USG, prompt treatment.