Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH AGAMA

“BERLIMPAH NAMUN GERSANG”


(Melacak Makna Kehidupan)

Nama : Jessica Ola


Kelas : XII-MIPA 2/10

SMA BUNDA HATI KUDUS


JAKARTA 2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Alasan utama penyusun membuat makalah ini adalah sebagai pemenuhan
syarat untuk mengikuti ujian praktik mata pelajaran agama. Selain itu, makalah ini
juga dibuat untuk membagi nilai berharga yang didapat penyusun setelah membaca
buku ini. Buku ini sangatlah menarik. Bagi penyusun, buku ini memberi arti tersendiri
hingga mungkin penyusun tidak akan melupakannya.
Harold S. Kushner, penulis buku ini mengajak pembacanya untuk mencari dan
menghayati makna kehidupan. Buku ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan
kepada penulis dan pembaca. Pertanyaan itu semacam: “apakah kita ini hidup hanya
untuk beranak-pinak mempertahankan kelestarian keturunan manusia?” dan “apakah
kiranya orang bahagia, kalau ia dapat hidup tanap batas, dapat berbuat apa saja
yang dia inginkan, dapat pergi ke mana-mana dan dapat memerintah siapa saja yang
dia kehendaki?” Dengan itu penulis membantu pembaca menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu berdasarkan pengalamannya atau dari buku-buku yang telah ia baca.
Penyusun pribadi memang sedang merencanakan tujuan yang penyusun ingin
raih, dan tujuan hidup sampai kiranya penyusun sukses. Namun ternyata jelas bagi
penyusun bahwa yang telah penyusun imajinasikan ternyata merupakan konsep
pemikiran yang salah. Dari buku ini, penyusun akhirnya mengetahui bahwa hidup
adalah untuk berbahagia.

B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah adalah:
1. Mengetahui bahwa kesuksesan bukanlah tujuan manusia hidup.
2. Mengetahui alasan kekuasaan tidak memberi kita kebahagiaan.
3. Mengetahui dan menghayati hidup agar dapat bahagia.
4. Mengetahui perjalanan hidup Pengkotbah.
5. Mengetahui bahwa menyiksa diri pun bukan jawaban untuk menghayati hidup
agar menjadi bermakna.
6. Mengerti bahwa makna kehidupan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi
dirasakan dengan hati.
7. Memandang Tuhan dengan cara yang benar.
8. Menjadi manusia sejati.
9. Menghayati hidup dengan cara yang benar.
10. Mengetahui cara yang tepat agar siap menghadapi kematian.
11. Mengetahui alasan manusia harus berbuat baik dan jujur.
12. Mengetahui ukuran yang dipakai Tuhan untuk menilai kesuksesan manusia.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini, antara lain:
1. Apakah sukses adalah tujuan manusia hidup?
2. Mengapa mendapatkan kekuasaan tidak memberi kita kebahagiaan?
3. Apakah dengan menerima keadaan manusia dapat bahagia?
4. Bagaimanakah perjalanan hidup Pengkhotbah?
5. Apakah mendefinisikan hal yang ‘benar’ sebagai hal yang menyenangkan adalah
perilaku yang benar?
6. Apakah makna kehidupan itu harus dijelaskan dengan kata-kata?
7. Bagaimana seharusnya orang beriman memandang Tuhan?
8. Siapakah manusia sejati itu?
9. Bagaimana manusia seharusnya menghayati kehidupan?
10. Apa yang harus dilakukan manusia agar ia tidak takut mati?
11. Mengapa manusia harus berbuat baik dan jujur?
12. Bagaimana Tuhan mengukur kesuksesan manusia?
BAB II

PEMBAHASAN

Pernahkah anda berpikir tentang tujuan hidup anda? Pernahkah anda berpikir apa
makna seseorang itu hidup? Atau berpikir tentang apa yang berarti dari diri anda? Mungkin
beberapa dari anda pernah berpikir demikian. Namun belum mendapatkan jawaban. Maka
dalam makalah inilah, penyusun akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
berdasarkan buku “Berlimpah Namun Gersang” karya Harold S. Kushner ini.

Pada dasarnya, semua manusia akan mengalami kematian. Namun banyak orang yang
mati tanpa meninggalkan suatu makna bagi orang lain yang masih hidup. Dalam hal itu pun,
penulis pernah mengalaminya setelah mendengar keluhan dari salah satu anggota jemaatnya.
Ia pun akhirnya mencari jawaban itu dan menuangkannya dalam buku ini.

A. BAHAGIA

Apa tujuan manusia hidup? Mungkinkah Tuhan menciptakan manusia dan


membuatnya hidup tanpa tujuan? Tentu saja tidak. Dan manusia hidup juga bukan
untuk bereproduksi melestarikan spesies homo sapiens di Bumi. Bukan seperti seekor
ulat yang bertelur dan berubah menjadi gegat yang tidak mempunyai mulut. Serangga
itu akan mati kelaparan karena gegat tidak memiliki mulut. Jadi, ia hanya hidup untuk
bereproduksi. Apakah manusia seperti gegat?

Lalu apa arti sebuah kesuksesan? Mengapa banyak orang mengejarnya?


Banyak orang berpandangan bahwa memiliki kekayaan berlimpah, kesuksesan,
kepuasan, pengetahuan, kesalehan, dan hikmat itulah kebahagiaan. Namun
sesungguhnya, pandangan itu salah besar! Banyak orang sukses dan kaya di luar sana
yang mengeluh tidak bahagia, padahal ia telah mendapatkan segala hal yang
diinginkannya. Mereka selalu merasa ada yang kurang.

Beberapa orang yang telah mencapai impiannya, pada akhirnya akan bertanya
pada dirinya. “Sudahkah ini semuanya? Apa yang akan saya lakukan selanjutnya?” Ia
yang sudah mencapai semuanya itu akhirnya kehilangan tujuan di sisa akhir hidupnya.
Padahal yang manusia butuhkan adalah kebahagiaan, bukan kesuksesan. Kebahagiaan
sesungguhnya hanya ditemukan dengan cara menghayati hidup yang penuh makna.
Dan kesempatan itu dibuang oleh kebanyakan orang yang mengejar kesuksesan. Ia
cenderung melupakan hal-hal kecil yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaannya.

Seorang kepala keluarga boleh saja mengatakan bahwa keluarganya adalah


yang terpenting baginya. Namun seringkali orang sepertinya tanpa sadar tidak
memegang perkataan itu. Saat mereka bekerja dengan keras, berusaha naik pangkat,
menghasilkan uang yang lebih banyak, dan melakukan segala usahanya itu, ia
melupakan keluarganya. Ia cenderung terlalu memandang kesukesan yang mungkin
saja berada jauh di depannya itu, tanpa barangkali melihat keluarganya yang berada
tepat di dekatnya. Kesibukannya mengambil alih segala perhatiannya yang seharusnya
juga ditujukan untuk keluarganya. Sekarang, dimanakah kata-kata itu? Kebahagiaan
yang seharusnya dapat dirasakannya dengan keluarganya hilang begitu saja karna
pekerjaannya. Jika hal itu berlangsung terus menerus, maka ia tidak akan mendapat
kesempatan untuk berbahagia.

Bila bukan kesuksesan, lalu untuk apakah kita hidup? Apakah kekuasan yang
harus kita raih? Kekuasaan juga bukanlah jawabannya! Kekuasaan mungkin akan
menuntun orang kepada kepuasan. Namun orang mempunyai banyak kekuasaan pun
tidak bahagia. Kendatipun ia memiliki kekuasaan atas banyak hal, kepuasan yang
didapatnya bukan kepuasan yang akan berlangsung lama. Orang-orang disekitarnya
hanya dapat membuat dirinya senang sementara. Tapi ia tidak akan mendapatkan
kebahagiaan yang sebenarnya. Bahayanya lagi dalam meraih kekuasaan itu, seringkali
manusia menjadikan orang lain sebagi musuhnya yang menghalagi dia mencapai
kesuksesan. Mengapa hal ini berbahaya?

Penyusun pernah sekali menonton film Barbie in a Christmas Carol. Dalam


cerita itu, Eden adalah tokoh yang membenci natal. Ketika semua orang pergi
berlibur, ia tidak memberikan liburan kepada teman-teman kerjanya. Ia terlalu
terobsesi dengan pekerjaannya, dan ia mau agar ia dapat ‘menang’. Ia bahkan berkata,
“Dunia itu egois, dan di dunia yang egois ini, hanya orang yang egoislah yang
berkuasa.” Malam harinya, Eden dibawa oleh tiga peri untuk menjelajah waktu dan
tempat. Ia akhirnya mengetahui bahwa teman-temannya, bahkan sahabatnya bernama
Cathleen membenci Eden karena keputusannya itu. Berikutnya, ia pun mengetahui
bahwa Cathleen juga membantu sebuah panti asuhan yang terancam tutup. Sebagai
seorang desainer pakaian, ia membuatkan pakaian untuk setiap anak itu. Cathleen
selalu berbohong dan mengatakan bahwa Eden (yang merupakan penyanyi terkenal),
selalu menitipkan salam “Selamat Natal” kepada mereka. Cathleen dengan
pemberiannya itu terlihat sangat bahagia. Sedangkan saat ia melihat masa depannya,
Eden menjadi miskin dan tinggal di tempat yang kecil, tidak punya makanan untuk
dimakan. Maka dengan semua penglihatan itu, ia akhirnya meliburkan semua teman-
temannya, bahkan memberikan mereka hadiah. Dari cerita itu dapat kita ketahui
bahwa berusaha ‘melawan’ orang lain tidak akan membuat kita bahagia, karena
kebahagiaan berasal justru dari kebaikan hati kita untuk memberi.

Menganggap orang lain sebagai musuh membuat kita merasa perlu berjuang
sendirian. Orang yang menganggap orang lain adalah musuh akan hidup dalam
tembok di sekelilingnya. Hal ini akan menghalangi dia bersikap benar-benar ramah
terhadap orang lain. Lalu mengapa ia tidak dapat bahagia? Manusia adalah makhluk
sosial, dan mereka memerlukan orang lain. Jika ia menganggap orang lain musuh,
maka ia tidak dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain, hubungan
yang dibangun tanpa adanya ‘simbiosis mutualisme’. Padahal, kebahagiaan dapat
diraih apabila manusia hidup bersama dengan orang lain. Dengan pandangan itu juga,
ia membiarkan orang lain menyerangnya balik, padahal belum tentu orang lain juga
berpikir begitu terhadapnya. Karena ia selalu ingin menang, maka ia akan
menyingkirkan lawannya, dengan begitu bukan hal yang tidak mungkin apabila ia
menaruh ‘dendam’ kepada semua orang.

Penyusun pernah sekali menonton film Barbie in a Christmas Carol. Dalam


cerita itu, Eden adalah tokoh yang membenci natal. Ketika semua orang pergi
berlibur, ia tidak memberikan liburan kepada teman-teman kerjanya. Ia terlalu
terobsesi dengan pekerjaannya, dan ia mau agar ia dapat ‘menang’. Ia bahkan berkata,
“Dunia itu egois, dan di dunia yang egois ini, hanya orang yang egoislah yang
berkuasa.” Malam harinya, Eden dibawa oleh tiga peri untuk menjelajah waktu dan
tempat. Ia akhirnya mengetahui bahwa teman-temannya, bahkan sahabatnya bernama
Cathleen membenci Eden karena keputusannya itu. Berikutnya, ia pun mengetahui
bahwa Cathleen juga membantu sebuah panti asuhan yang terancam tutup. Sebagai
seorang desainer pakaian, ia membuatkan pakaian untuk setiap anak itu. Cathleen
selalu berbohong dan mengatakan bahwa Eden (yang merupakan penyanyi terkenal),
selalu menitipkan salam “Selamat Natal” kepada mereka. Cathleen dengan
pemberiannya itu terlihat sangat bahagia. Sedangkan saat ia melihat masa depannya,
Eden menjadi miskin dan tinggal di tempat yang kecil, tidak punya makanan untuk
dimakan. Maka dengan semua penglihatan itu, ia akhirnya meliburkan semua teman-
temannya, bahkan memberikan mereka hadiah. Dari cerita itu dapat kita ketahui
bahwa berusaha ‘melawan’ orang lain tidak akan membuat kita bahagia, karena
kebahagiaan berasal justru dari kebaikan hati kita untuk memberi.

Dalam buku ini, Harold sendiri juga menceritakan dua kisah menarik yang
membuat penyusun menjadi sadar bahwa kenyataan itu memang benar-benar terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari, tanpa pernah penyusun sadari. Walaupun penyusun
tidak langsung merasakannya sendiri, namun selalu ada saja hal-hal yang
membuktikan hukum itu. Dia yang ‘menyaingi’ semua orang, cenderung akan
menjauhkan diri dari lingkungan sosialnya dan merasa bahwa semua orang
‘menyerang’ dia, padahal tidak ada satu pun orang yang berusaha mengalahkannya.

Orang yang menganggap kekayaan dan kesuksesan adalah kunci atas


kekuasaan, bahwa asal ia memiliki uang dan pengaruh cukup, hidupnya akan dapat
diatur sekehendak hatinya dan akan menjadi hidup yang baik, adalah orang yang tidak
berpandangan dengan benar. Menurut penulis, ada dua kesalahan cara berpikir orang
yang demikian, yaitu:

1. Berpikir bahwa kita dapat menggenggam kekuasaan demikian banyaknya, dan


2. Memburu kekayaan dan kekuasaan beserta pelaksanaan kekuasaan itu, serta
kecenderungan mendirikan tembok pemisah antara orang-orang.

Dunia adalah tempat yang sangat rumit dan sulit dipegang. Hal yang tidak
mungkin untuk mengendalikannya. Sedangkan memburu kekayaan berakibat
menjerumuskan banyak orang hidup secara bersaing dan tidak mengenal kerja sama.
Dan pelaksanaan kekuasaan oleh mereka yang meraih sukses dapat mengeruhkan
hubungan antarmanusia. Orang yang tunduk di bawah kekuasaan seseorang, akan
berusaha dengan sebisa mungkin untuk menyenangkan pemegang kuasa. Sehingga
timbul hubungan yang tidak sehat. Kalau semua orang dianggap sebagai orang yang
seharusnya menyenangkan hatinya, maka ia tidak akan pernah merasakan cinta
apalagi kebahagiaan.
Menurut penulis, kebahagiaan seseorang yang terletak pada tidak mengikat
diri, tak bertanggung jawab kepada siapa pun, tidak ada seorang pun yang akan
merintanginya dengan keperluan dan masalahnya, akan mengikat orang itu erat-erat.
Hidup tidak memuaskan jika seseorang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ketika
ia mulai menolong dan memperkaya hidup orang lain, barulah hidupnya sendiri mulai
mengandung makna. Dan kaum yang paling bahagia adalah mereka yang berupaya
dengan sungguh-sungguh menjadi orang yang ramah, ringan tangan, dan dapat
dipercaya.

Pada suatu konferensi, penulis mendengar penjelasan temannya yang


beragama Hindu. Ia mengajarkan mereka bagaimana caranya agar manusia tidak
menderita kepedihan, kehilangan, dan kecewa. Disebutkan pada saat itu bahwa Hindu
mengajarkan dia untuk tidak mengingkari rasa sakit dan penderitan atau
mengabaikannya, melainkan mengatasinya sebagai saran bergaul dengannya. Hal ini
dilakukan agar orang itu kebal terhadap rasa sakit, tapi dengan menghayati rasa sakit
itu. Ia juga diajarkan untuk mengatakan kepada pengalaman yang paling pahit yang
dapat diperkirakan: “Tidak saya biarkan anda menyiksa saya. Yang paling parah yang
dapat terjadi pun akan saya tanggapi dan saya kalahkan. Seni melepaskan diri dari
siksaan itu akan saya pelajari dan mengatasi rasa sakit.”

Ia pun mengungkapkan pendapatnya kepada penulis. Ia mengatakan bahwa


penulis adalah orang yang beruntung karena anaknya meninggal semasa ia muda.
Karena temannya itu berpendapat, bahwa dengan begitu penulis dapat belajar untuk
mengalahkan kepedihan dan rasa sakitnya. Penulis seharusnya merasa senang karena
telah tabah dan mencapai tingkat ketenangan batin. Temannya itu melanjutkan, “Jika
seseorang meninggal, itu bukanlah bencana. Jiwanya kembali ke arus kehidupan yang
agung ibarat setetes air yang kembali ke sumbernya, samudera. Meninggal itu tidak
terasa sakit. Sebaliknya hidup itu menyakitkan, sebab dengan hidup itu kita terkucil
dari kehidupan sisanya, dan itu membuat kita mudah tersinggung. Kalau masa hidup
perseorangan kita telah kita jalani sampai selesai, kita bergabung lagi dengan arus
kehidupan. Hidup putra anda penuh dengan rasa sakit dan sedih, dan tidak hanya
sebab ia menderita sakit. Setiap orang menghayati hidup penuh dengan rasa sakit dan
sedih. Tetapi kematiannya tidaklah memilukan hati. Kematiannya membawa
kedamaian dan perassaan sempuna. Andaikata kebiasaan anda untuk menginginlan
hal seperti: kesehatan, anak, kebahagiaan, tidak selalu membawa penderitaan kepada
anda.” Lagi katanya, “Tidak seorang pun di dunia ini menderita kecuali orang-orang
yang menginginkan barang-barang yang tidak dapat mereka peroleh. Kalau anda
belajara tidak berkeinginan lagi anda akan membubung tinggi di atas penderitaan.”

Agamanya pun mengajarkan bahwa menghayati kehidupan yang penuh


kepedihan dan ketidakpastian itu adalah dengan bersikap menerima dan menyerah
saja serta jangan melawan. Manusia juga harus menguragi harapan agar ia bisa
melawan kehidupan yang penuh dengan kesengsaraan terus-menerus. Ia tidak boleh
menganggap sesuatu amat sangat penting, untuk menghindarinya dari rasa takut
kehilangan. Manusia tidak boleh berharap bahwa berjalan lurus, agar hatinya tidak
patah akibat ketidakadilan.

Di dunia ini, kejahatan, korupsi, dan kecelakaan selalu terjadi dan akan terus
terjadi. Karena, hal-hal seperti itu memang sudah menjadi bagian hidup manusia.
Bahkan penulis menambahkan perkataan gurunya katanya, “Janganlah anda kira
bahwa dunia akan memperlakukan anda dengan adil sebab anda seorang yang baik.
Tentunya anda juga tidak mengharap bahwa lembu jantan tidak mau menyerang anda
karena anda berpantang daging, bukan?” Hal ini membuktikan bahwa dunia itu
kejam, tidak peduli kepada siapa ia berbuat jahat.

Uniknya pada pendapat itu dapat kita lihat dalam tindakan Mahatma Gandhi.
Penyusun sebetulnya heran ketika membaca penuturan si perwakilan Hindu itu.
Gandhi adalah sosok beragama Hindu yang patut diteladani perilaku beragamanya.
Dengan ajaran Hindu tadi, tindakan Gandhi membela kaum India untuk merdeka
adalah salah. Tapi, tidak benar juga bahwa tindakan itu tidak membawa perubahan
apa-apa. Buktinya sekarang India adalah bangsa yang merdeka. Dengan pergerakan
hati seseorang lah –dalam hal ini Gandhi, bangsa itu akhirnya merdeka.

Menurutnya, beberapa orang memberi kepada dirinya begitu banyak


penderitaan dan kebingungan, sebab ia tidak melindungi dirinya terhadap
ketidaksempurnaan dunia. Padahal ia tidak perlu merasakan itu, apabila ia belajar
mengangkat bahu dan berkata, “Saya sungguh menyesal bahwa dunia itu demikian
keadaannya, tetapi tidak akan ada perubahan apa pun jika saya tangani, jadi apa
gunanya saya cemas?” Menurutnya, menjaga diri agar tidak ada yang dianggap
penting sekali di hidupnya adalah tindakan yang terbaik. Sehingga ia tidak akan
menjadi takut akan rasa kehilangan.
Dalam pernyataan ini, penulis pun menghargai pemikiran itu. Tapi, ia tidak
menyetujuinya. Pertama, penulis percaya bahwa kehilangan putra itu memang harus
membuat hati pedih menderita. Karena jiwa yang secara rohani mati dapat dipisahkan
dengan jiwa lainnya tanpa meninggalkan rasa sakit. Tapi jiwa yang hidup dengan
perasaan sangatlah peka. Penulis sama sekali tidak bahgia ketika putranya itu mati.
Melainkan ia terus meratapi anaknya itu. Kedua, menurutnya harapan-harapan itu
dikurangi hanya supaya seseorang tidak menjadi kecewa. Tapi, hal itu berarti dia
membiarkan dirinya sendiri kehilangan sebagian citra Tuhan dalam dirinya. Dia
mungkin menjadi kebal terhadap kesengsaraan yang memilukan, tapi lalu dia juga
akan kehilangan harapan-harapan dan kegembiraan yang besar. Dengan tindakan itu,
dia melindungi diri sendiri dari rasa takut dengan cara menghilangkan harapan dan
membiarkan dirinya untuk tidak mendapatkan kebahagiaan. Akibat dari tindakan itu,
perasaaannya akan menjadi tumpul. Dia tidak akan merasa takut dan kecewa, tetapi ia
tidak akan merasa gembira. Apa gunanya hidup tanpa merasakan kegembiraan?
Padahal, manusia sesungguhnya dapat “memperbaiki” dirinya sendiri kalau-kalau ia
mengalami kekecewaaan itu.

Kesimpulannya, bahagia bukan berarti sukses, kaya, atau memiliki kekuasaan.


Kebahagiaan juga tidak dapat diraih dengan cara berusaha menerima keadaan, dengan
melupakan harapan, atau menganggap semuanya sepele (tidak ada yang penting
sekali). Kebahagiaan dapat diraih dengan menikmati hidup, berbuat baik, dan menjadi
ramah, ringan tangan, serta dapat dipercaya. Dalam Talmoed dikatakan, “Siapakah
yang kaya? Dia yang berbahagia dengan apa yang dimilikinya.”

B. PENGKOTBAH

Kehidupan mengenai Pengkotbah ditulis dalam bab 2 buku ini, dengan judul
“Kitab yang Berbahaya”. Seperti kita ketahui, dalam Alkitab terselip sebuah kitab
berjudul “Pengkotbah”. Kitab ini oleh para cendekiawan dianggap berbahaya, karena
dapat menyesatkan dan menggoda banyak orang. Menurut penulis, kitab ini berkisah
mengenai seseorang yang jahat, tidak berperasaan, dan meragukan adanya Tuhan.
Bukan itu saja, kitab Pengkotbah itu sukar dimengerti, tidak ada pokok uraian
yang lambat dan pasti berkembang. Jalan pikirannya loncat-loncat dan kadang
membantah dirinya sendiri.

Kitab ini secara sekilas berisi tentang kasih sayang, penyerangan terhadap
pemikiran sempit, dan pembongkaran kejahatan yang tersembunyi dalam hati orang-
orang munafik. Namun ternyata bila dimengerti lebih dalam, bukan itulah isinya.
Diceritakanlah oleh penulis isi tersembunyi dalam kitab ini. Menurutnya, kitab ini
berkisah tentang perjalanan hidup Pengkotbah dan ketakutannya bahwa ia akan
meninggal tanpa arti.

Pada masa mudanya, Pengkotbah ini adalah seorang yang sukses. Ia hidup
dengan banyak cita-cita indah. Kekayaannya pun dikatakan melampaui kekayaan
siapapun yang hidup di Yerusalem sebelum dia. “Dengan demikian aku menjadi
besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem
sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku.” (Pengkotbah 2:9).
Namun ketika ia sudah mendapatkan semuanya, ia pun mulai berpikir dan mencari
jawaban atas pertanyaannya: “Lambat laun apakah arti semuanya (kesuksesannya)
itu?”. Ia menyadari bahwa kekayaan akan dengan mudahnya hilang. Maka kekayaan
bukanlah jawabannya.

Lagi ia berpikir betapa malangnya orang yang tidak bisa menikmati


kekayaannya. Maka ia pun menyerah kepada kesenangan, ia berfoya-foya dan
menikmati kesenangan yang semu. Setelah itu, tak kunjung ia temukan jawabannya.
Hal ini terbukti dari kata-katanya, “Aku berkata dalam hati: ‘Mari, aku hendak
menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan! Tetapi lihat, juga itu pun sia-sia.’”
(Pengkotbah 2:1)

Ketika ia menjadi tua dan waktu menjadi lebih berharga, ia pun mulai insaf. Ia
merasa bahwa kesenangan itu tidak akan membekaskan sesuatu yang berharga. Maka
ia pun mencari jawaban di dunia pengetahuan dan filsafat, namun tidak ditemukannya
juga. Ia belajar untuk menjadi berhikmat, tapi ia malah melihat lebih banyak lagi hal
yang tidak jujur, tidak adil, dan mengharukan. “Aku berkata dalam hati: ‘Lihatlah,
aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang
memerintah atas Yerusalem sebelum aku, dan hatiku telah memperoleh banyak
hikmat dan pengetahuan.’ Tetapi aku menyadari bahwa hal ini pun adalah usaha
menjaring angin, karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa
memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan.” (Pengkotbah 1:16, 17b, 18).
Ia menyadari bahwa orang yang berhikmat dan yang bodoh pada akhirnya mati juga.
Orang yang hidup saleh dan yang fasik pun bernasib sama. Penyusun teringat pada
perkataan pendeta saat ia sedang berkotbah. Dengan perkataannya itu, ia menyetujui
perkataan Pengkotbah. Kira-kita katanya begini, “Sebenarnya, saya ini serba salah.
Saya sebagai pemimpin yang mengetahui seluk beluk Alkitab dan maksudnya
memiliki beban yang amat berat. Karena saya tahu, saya harus menurutinya. Namun
juga tugas saya adalah untuk membagikannya kepada saudara-saudara. Masalahnya,
semakin banyak anda tahu, semakin banyak yang dituntut dari anda.”

Pengkotbah akhirnya dengan ragu-ragu mencoba jalan terakhir yang


dimilikinya. Seiring dengan ketakutannya yang makin terasa karena waktunya yang
kian menipis. Dan takut bahwa ia akan berakhir pada jalan buntu, dimana ia sampai
pada kesimpulan bahwa hidup itu memang tidak bermakna dan tidak berarti. Dalam
kitabnya ditulis ayat yang seringkali dibacakan saat upacara pemakaman orang yang
meninggal. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada
waktunya. Ada waktu unutk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk
menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk menangis, ada
waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari”
(Pengkotbah 3:1-4) Maka berserahlah ia kepada Tuhan. Ia berusaha untuk hidup
saleh, mengikuti semua ajaran agama yang ada. Ia berpikir bahwa ia akan
mendapatkan ketenangan dan keamanan yang dijanjikan orang berhati bersih.

Lantas apa yang didapatkannya? Ia tetap merasa menderita. Karena agama


juga tidak dapat meluputkan dia dari pemikiran takut akan kematian. Ia pada akhirnya
pun berpikir bahwa orang saleh akan mati seperti orang fasik mati.
Pesan yang sesungguhnya diberikan kitab ini adalah untuk memperingatkan
kita agar waktu kita yang terbatas itu tidak kita boroskan seperti yang dilakukan
Pengkotbah. Ia berpikir bahwa kekayaan, kebijaksaan, penderitaan, dan kesalahannya
tidak kita ulangi.
Kembali lagi pada pertanyaan Pengkotbah: “Apakah arti semuanya itu?”.
Jawaban pertanyaan ini belum ditemukan Pengkotbah, dan tugas kitalah untuk
menemukanya sendiri. Namun, jawaban ini hanya muncul bagi mereka yang telah
mengalami jalan buntu dan kekecewaan juga. Ia harus ‘berbagi’ dengan Pengkotbah.
Dengan begitu, mereka dapat mencoba jalan yang belum ditempuhnya maupun
Pengkotbah dan mencari jalan yang benar. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban
itu.

C. MENYAKITI DIRI
Banyak orang rindu untuk mengetahui bahwa ia telah ‘hidup’. Dan seringkali
mereka menjawabnya dengan, “satu-satunya kehidupan yang layak anda hayati adalah
kehidupan dengan menanggung derita dan pengorbanan diri. Menghayati kehidupan
melulu bagi anda sendiri tidak menghasilkan kepuasan. Kepuasan itu hanyalah anda
temukan kalau anda hidup bagi orang lain.” Lantas apakah itu benar? Apakah pikiran
itu merupakan pikiran yang benar, seiring dengan pernyataan sebelumnya yaitu
“menempuh jalan yang belum ditempuh”?
Orang-orang yang berpikiran demikian berpikir bahwa menyiksa diri adalah
aksi per”imbangan” terhadap keenakan hal-hal yang menyenangkan di hidup mereka.
Sebagai contoh, ada beberapa pemikiran tentang makan dan makanan:
1. Makan bukan sekedar berarti menelan makanan, karena makanan merupakan
bahan bakar untuk badan kita.
2. Menurut beberapa orang yang baru saja menjadi tua, makanan akan dianggap
sebagai lambang cinta. Bahwa ada orang yang menunjujkkan rasa cintanya
dengan memberi makanan.
3. Makanan juga dianggap sebagi ganjaran dan penenang hati. Orang seringkali
menjadikian makanan sebagai pelarian ketika kita sedang marah, galau, atau
kesepian.
4. Namun ada juga yang berpendapat bahwa makanan adalah sebuah godaan. Seperti
Hawa yang jatuh ke dalam dosa oleh makanan, Makan adalah bukti bahwa kita
kekurangan daya kemauan, terlalu meamnjakan diri, dan melemahkan kita,
sehingga kita pantas untuk dicela.

Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, muncullah keambiguan bahwa, “Kalau


kita dikuasai oleh sebagian jiwa kekafiran kita, maka kita terlalu banyak, terlalu
serius, dan terlalu sering menuruti hawa nafsu makan kita. Tapi kalau bagian yang
saleh lebih berkuasa, kita terlalu menghukum diri sendiri.” Jadi menyakiti diri sendiri
dengan berusaha hidup saleh karena kita beranggapan ‘kehidupan yang
menyenangkan dan mudah itu sebuah dosa’ bukanlah cara yang benar untuk
menghayati hidup. Itu sama saja sesatnya dengan jalan pikiran Pengkotbah yang
menganggap kenikmatan sebagai satu-satunya alasan kehadirannya di dunia ini.

Kepuasan abadi adalah hal yang mustahil, kalau kita selalu memerangi diri
sendiri. Kita mencoba menyadari kesungguhan hidup itu dan kemudian kita tahu
bahwa kita menipu diri kita sendiri. Namun lain halnya bila kita memanfaatkan
dengan cara yang tepat. Segala keinginan kita itu tanpa sadar akan kita anggap
sebagai anugrah Tuhan.

D. PIKIRAN DAN PERASAAN


Ahli filsafat sejak dari Aristoteles percaya bahwa pikiran adalah sifat hakiki
yang membedakan manusia dengan hewan. Pikiran adalah mahkota kemanusiaan.
Dengan adanya pikiran, manusia diberi kehormatan untuk menamakan binatang, dan
mengelompokkannya ke berbagai jenis. Di sisi lain, pikiran kita juga memiliki
keterbatasan. Seseorang yang ingin mengetahui anatomi katak harus membedahnya,
maka ia mendapat pengetahuan tentang itu. Namun akibatnya, kita tidak lagi memiliki
katak itu.
Pengkotbah juga telah mencari makna kehidupan dalam ilmu filsafat. Ia tidak
menemukan makna kehidupan disana. Ia merasa bahwa banyak tahu tentang
kehidupan sama saja dengan banyak tahu tentang musik, tapi tidak bisa bermain alat
musik. Ia bahkan tidak pernah mencobanya. Dengan demikian ia pun akhirnya
”mengenal” kehidupan secara teori, tetapi ia tidak menghayatinya. Seperti halnya
orang Vietnam pada masa perang, banyak dari mereka lulus dengan nilai yang tinggi.
Mereka adalah orang-orang yang amat cerdas, dengan teknologi komputer paling
canggih. Namun pada saat mereka diberi kesempatan untuk mengambil keputusan,
mereka cenderung kurang bijaksana.
Menurut penulis, hakikat kebijaksanaan adalah menghormati batas-batas daya
cakup manusiawi dan lingkup luas kenyataan yang gelap dan tidak terjangkau oleh
pikiran. Seseorang tidak boleh melulu menambah pengetahuan, tapi mereka harus
mengimbanginya dengan rasa rendah hati dan hormat. Percuma cerdas, tapi tidak
memiliki hati yang baik. Di era yang modern ini, hal tersebut dapat digambarkan
dengan pekerja yang memiliki skill bagus, tapi tidak berkarakter baik.
Pengkotbah dalam hidupnya berusaha membuktikan pepatah yang
mengatakan, “Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh
berjalan dalam kegelapan.” Padahal, pepatah itu tidak sepenuhnya benar. Kita
mengikuti perasaan yang tidak seluruhnya kita pahami dan tidak kita kendalikan.
Dengan demikian itu, kita dapat hidup senang dalam kegelapan. Kita tahu ada
beberapa orang yang sama takutnya untuk memperlihatkan perasaan mereka secara
terang-terangan, seperti beberapa orang lainnya yang takut akan kegelapan. Perasaan
cinta, gembira, dan marah menakutkan mereka, sebab mereka merasa tidak dapat
mengendalikan diri. Mereka tidak dapat membiarkan diri mereka menjadi marah,
kehilangan cinta, karena hal itu berarti mereka tidak mengendalikan perasaan mereka
lebih lama lagi dan membuat takut. Mereka menghadapi kesulitan dengan perasaan
yang tidak masuk akal.
Pengkotbah menggeluti seluruh ilmu pengetahuan dan filsafat, tapi ia tidak
bisa menemukan apa yang ia cari. Ia tidak pernah menggeluti ilmu mistis, dan tidak
pernah berpikir secara fundamentalisme rohaniah. Tapi ia merasa butuh lebih, ia ingin
lebih banyak lagi. Ia berpikir bahwa yang ia butuhkan adalah semacam kenyataan
yang tidak diketemukan oleh akal. Dia berpikiran sehat, sehingga merasa bahwa hal
itu tidak dapat ditemukan dimana pun.
Sesuatu yang berasal dari hati adalah persembahan yang paling berharga dari
apa pun juga. Kita tentu ingat cerita tentang pesulap dan Bunda Maria. Pesulap
mempersembahkan sebuah sulap di depan Perawan Maria, sedangkan semua orang
mempersembahkan hadiah terbaik dan mahal. Mungkin orang lain hanya memberi
persembahan yang bagus agar dilihat orang. Tapi, persembahan yang paling berkenan
adalah persembahan di pesulap. Karena itu dipersembahkan dari hati nuraninya. Hati
berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Tidak ada yang lebih baik dinyatakan oleh keterbatasan pikiran manusia
kecuali hanya adanya kata: “rasionalisasi”. Seringkali merasionalkan berarti,
“melakukan sesuatu yang salah lalu mencari-cari alasan untuk membenarkan
perbuatan salah itu.” Pikiran itu kemudian membuat pikiran kita tidak kita gunakan
untuk mengetahui bagaimana mestinya tindakan kita yang tepat, melainkan untuk
dengan cara licik membenarkan tindakan kita yang salah itu.
Pengetahuan pada akhirnya menyesatkan kita. Kita tahu cerita mengenai
“Kaum Bodoh bagi Tuhan”. Orang bodoh dengan penuh semangat mengikut Tuhan
tanpa memikirkan hubungannya dengan Yesus sendiri. Dengan bertindak irrasional
mereka memiliki mata, dan menjadi “yang terbaik dan tercerdik” berarti berjalan di
kegelapan.
Jika sebagian hidup kita itu kita hayati dalam kegelapan, hal itu kita lakukan
karena kita tahu bahwa dalam kegelapan itu mengintai berbagai macam bahaya. Atau
kita berjalan sebagai ‘orang-orang bodoh’ karena kita sadar bahwa kita tidak
mengetahui semua jawaban. Sehingga kita tidak bergantung pada pengetahuan kita,
apakah kita tahu jalannya.
Pikiran manusia memang menakjubkan, tetapi ada pertanyaan-pertanyaan dan
bahkan beberapa di antara pertanyaan-pertanyaan yang terpenting, yang kiranya tidak
pernah terjawab oleh pikiran kita. Pascal pernah mengatakan, “Hati memiliki alasan-
alasan yang tidak dapat dipahami oleh pikiran.”
Intinya adalah: menghayati hidup itu bukan dalam kebijakan, atau kedunguan,
melainkan dengan gagah berani tanpa rasa takut. Hidup harus dihayati dengan
perasaan, bukan pemikiran.

E. TUHAN DAN MANUSIA


Tidak dipungkiri bahwa manusia, cepat atau lambat akan mati. Pengkotbah
tentunya menyadari hal itu. Ia mengingat kembali pencapaian yang telah ia raih,
kalau-kalau ia harus menjawab pertanyaan, “Apa yang telah anda perbuat dengan
hidup anda dengan segala kemungkinan dan hak istimewa yang telah anda peroleh?”
Ia pun menyadari bahwa tidak ada hal membanggakan yang bisa ia sebutkan.
Dan seperti yang telah disebutkan pada subbab kedua tadi, bahwa Pengkotbah
pada akhirnya menyerah pada Tuhan. Ia menyadari bahwa hidup itu tidak kekal, tapi
Tuhan itu kekal. Ia pun berandai bahwa jika ia bersandar pada Allah, mengabdi
kepadaNya. Tapi hal itu pun tidak berguna, walaupun tidak pernah diceritakan
alasannya.
Dalam kitabnya, Pengkotbah pernah mengatakan, “Janganlah terlalu saleh,
janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu
sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum
waktumu? Adalah baik kalau engkau memegang yang satu, dan juga tidak
melepaskan yang lain, karena orang yang takut akan Allah akan luput dari kedua-
duanya.” (Pengkotbah 7:16-18). Apakah maksud ayat ini? Apakah Pengkotbah
bemaksud agar kita menjadi saleh sekaligus berdosa?
Pengkotbah mengabdi kepada Tuhan dengan harapan bahwa ia akan
menemukan keamanan dan ketenangan jiwa, berharap bahwa ia akan terbebas dari
rasa takut dan ragu-ragu. Dengan begitu, Pengkotbah beriman dengan alasan yang
salah. Tapi bisa juga kita analisa keunikan Pengkotbah merasa bahwa beriman pun
sia-sia.
Barangkali ia lebih dulu menyadari kesalahan beriman Gereja. Dalam Alkitab
kita dapat menemukan ayat yang berbunyi: “Jikalau kamu hidup menurut ketetapan-
Ku dan tetap berpegang pada perintah-Ku serta melakukannya, maka Aku akan
memberi kamu hujan pada masanya, sehingga tanah itu memberi hasilnya dan pohon-
pohonan di ladangmu akan memberi buahnya. Lamanya musim mengirik bagimu
akan sampai kepada musim memetik buah anggur dan lamanya musim memetik buah
anggur akan sampai kepada musim menabur. Kamu akan makan makananmu sampai
kenyang dan diam di negerimu dengan aman tenteram. Tetapi jikalau kamu tidak
mendengarkan Daku, dan tidak melakukan segala perintah itu. Jikalau kamu menolak
ketetapan-Ku dan hatimu muak mendengar peraturan-Ku, sehingga kamu tidak
melakukan segala perintah-Ku dan kamu mengingkari perjanjian-Ku, maka Akupun
akan berbuat begini kepadamu, yakni Aku akan mendatangkan kekejutan atasmu,
batuk kering serta demam, yang membuat mata rusak dan jiwa merana; kamu akan
sia-sia menabur benihmu, karena hasilnya akan habis dimakan musuhmu.” (Imamat
26:3-5, 14-16). Dan orang-orang pada zamannya –dan mungkin sampai sekarang-
hidup beriman dengan berpegang pada ayat ini. Maka Pengkotbah merasa bahwa
hidup kepatuhan yang bersendikan rasa takut bukanlah yang dicarinya.

Tuhan itu bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihormati dan dikagumi.
Terdapat perbedaan besar antara kata takut dan kagum. Rasa takut itu mencekik dan
mengakibatkan kita melarikan diri dari hal yang ditakutinya atau menghancurkannya.
Kalau kita takut, kita akan menjadi marah dan muram, marah pada yang menakutkan
kita, dan marah terhadap diri kita sendiri yang lemah. Sedangkan rasa kagum adalah
perasaan yang jujur, dimana kita akan takut (ragu-ragu) tapi ingin mendekat. Takut
cenderung membuat kita menjauhi Tuhan dan mengabdi dengan rasa enggan, tapi
kagum cenderung membuat kita mendekat kepadaNya.
Dalam buku ini, penulis menceritakan bahwa pernah ia baca sebuah buku yang
menjelaskan tentang perkembangan psikologi anak. Dalam buku yang ia baca itu,
disimpulkan bahwa anak-anak pada awalnya akan cenderung mentaati peraturan yang
ada. Mereka tidak akan berpikir tentang mengapa peraturannya harus begitu, atau
bagaimana kalau peraturannya diganti. Namun saat mereka memasuki masa akilbaliq,
mereka akan mulai meragukan peraturan itu. Mereka sendirilah yang akan bertanya,
“Mengapa harus begitu cara melakukannya? Mengapa tidak kita buat permainan
sendiri?” Pada tahap itu, mereka akan mulai membuat peraturan sendiri. Dari yang
terlalu mudah, sampai terlalu susah. Mereka kemudian akan mengambil kesimpulan
bahwa peraturan itu tidak dapat dibuat dan diubah sesuka mereka. Peraturan itu harus
adil dan wajar. Pada tahap itulah, mereka memasuki tahapan dewasa. Mereka akan
menyadari bahwa mereka juga bisa membuat peraturan yang adil dan wajar. Tapi hal
itu perlu diukur, diuji, dan disempurnakan.

Demikianlah halnya dengan perkembangan rohani Gereja. Pada zaman dahulu,


Tuhan dianggap sebagai penguasa mutlak, Raja di antara para Raja. Kita hanya
berusaha untuk hidup sesuai dengan sabdaNya. Kemudian, orang-orang juga
meragukan hak ilahi Tuhan. Alkitab mulai mereka pandang sebagai tulisan tangan
manusia yang terilhami, bukan sebagai tulisan tangan yang didiktekan oleh Tuhan.
Orang-orang tidak mau lagi melihat diri mereka sebagai hamba Tuhan yang patuh.

Tahap ‘akilbaliq’ ini amat jelas terlihat pada tradisi keagamaan Amerika. Pada
saat itu, mereka merasa bahwa mereka memiliki kebebasan. Mereka merasa bebas
untuk melanggar batas-batas yang diajarkan oleh para pimpinan gerejawi mereka.
Dan parahnya lagi, mereka tidak menganggap bahwa mereka salah (tidak taat dan
berdosa). Dari tahap itu, masyarakat akhirnya mulai mendapat ilham dalam
menentukan peraturan hidup mereka sendiri. Hal ini juga dibuktikan dengan
pemberontakan terhadap Gereja Katolik, yang menghasilkan perpecahan.

Kesimpulannya dalam hal beragama, kepatuhan itu bukanlah hal yang terbaik
yang sangat perlu. Kepatuhan hanya cocok bagi manusia yang dalam peradaban
kurang maju, seperti berjuta-juta tahun lalu. Alkitab itu bisa saja merupakan Sabda
Tuhan, namun bukan sabdaNya yang terakhir. Bukan karena kemampuanNya
terbatas, tapi kemampuan kita untuk mengungkapkan sesuatu itu terbatas. Perlu
dicatat, iman yang tetap menganggap baik itu sebagai “kepatuhan tanpa syarat” berarti
iman itu untuk selamanya akan mrmuat kita sebagai anak saja.

Anak-anak pada umumnya ingin cepat-cepat tumbuh menjadi besar. Tapi


orang dewasa tentu menginginkan sebaliknya. Dalam lubuk hati setiap orang, ada
keinginan untuk menjadi anak kecil. Tapi dalam hal iman, itu tidak akan membawa
manfaat bagi kita. Imanyang yang sejati bukan memberi kita arahan mengenai apa
yang harus kita lakukan. Sebaliknya, iman yang sejati akan mendorong kita untuk
tumbuh berkembang dan memberikan keberanian untuk menemukan jalan kita
sendiri.

Pengkotbah telah mengabdi pada Tuhan atas dasar takut dan dengan cara
mentaati perintahnya. Ia beriman sebagai anak kecil. Tetapi yang dikehendaki Allah
untuk dikatakan Pengkotbah adalah “Apakah Engkau anggap menyenangkan atau
tidak, tetapi hal itu telah lama saya renungkan, dan justru inilah yang saya hargai.”
Bukan “Saya hanya melakukan apa yang Engkau minta dari saya.”

Sesungguhnya, Allah tidak akan memberi tahu kita apa yang harus kita
lakukan. Melainkan Ia akan berkata kepada kita, “Jelajahilah Bumi ini dan
temukanlah jalannya. Apapun yang terjadi, Aku akan terus menyertai engkau.” Iman
tidak menantang kita untuk menjadi sempurna, tapi iman menantang kita untuk
berwujud utuh dan selalu dalam keadaan yang terbaik.

Iman adalah seperti api pembersih. Api itu menolong manusia melepaskan
dosa kita sehingga manusia menjadi dirinya sendiri, diri yang diinginkannya. Manusia
sesungguhnya adalah menjadi orang yang memikirkan Tuhan ketika Beliau
menciptakan manusia. Manusia bukanlah orang suci atau sempurna, tapi manusia
adalah orang yang seluruh kecurangan dan nafsu mementingkan dirinya juga rasa
benci telah terbakar habis, sehingga yang tersisa adalah pribadi yang telah
dibersihkan. Manusia yang sejati adalah manusia yang utuh dan bersatu dalam
Tuhannya.

Kedamaian itu hasil akhir dari pencarian identitas diri yang telah selesai
dengan bahagia. Orang yang memiliki ukurannya sendiri dalam menjalani hidupnya
akan merasa bahwa hidupnya lebih berkenan pada Tuhan, dibandingkan dengan yang
berusaha untuk tidak melanggar perintah Tuhan.
F. HIDUP

Di akhir kitab Pengkotbah, kita dapat menemukan perkataannya yang


berbunyi, “Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan
hati yang senang,karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.” (Pengkotbah
9:7). Menurut penulis, ini adalah jawaban yang bisa ditemukan Pengkotbah. Ayat ini
bukan bermaksud bahwa kita harus bersenang-senang. Melainkan bermaksud “Setelah
mempelajari seluruh bahan bukti sampailah saya pada kesimpulan bahwa tidak ada
barang satu pun yang bernilai tetap dan bahwa semua itu sama saja. Semua itu fana
belaka.”

Pada tahap ini, penulis mulai merasa bahwa hidup itu tidak bermakna, tapi
sesuatu dalam dirinya tidak membiarkannya untuk meyakini itu. Kendatipun itu
benar, maka penulis menyarankan kepada kita untuk belajar menikmati karena kita
tahu bahwa itu akan hilang dalam sekejap. Maka, hidup itu harus diisi dengan hal-hal
penting. Lalu apa yang penting dalam hidup? Yang penting dalam hidup adalah
memberi dan menerima cinta, merasakan sepenuhnya saat-saat yang telah lewat dan
tidak membiarkan itu berlalu begitu saja.

Saat Pengkotbah sibuk mencari makna kehidupan, ia telah kehilangan hal-hal


kecil yang sesungguhnya jawaban itu. Makna kehidupan itu terletak pada hal-hal
kecil, bukan hal yang besar. Kalau hari ini kita dapat melakukan sesuatu untuk sekali
dan selama-lamanya menjawab makna kehidupan, lalu apa gunanya hari esok? Apa
perlunya Tuhan masih menciptakan hari esok? Jadi, hal-hal kecil yang terjadi setiap
hari adalah makna kehidupan sehari. Kita tidak akan menemukan makna kehidupan
kita pada seumur hidup kita, karena itu berarti sia-sia lah hidup kita ke depannya.
Berusahalah dan berjuanglah agar setiap hari dapat kita buat bermakna sepenuhnya!
Corita Kent menuliskan dalam salah satu posternya, “Hidup itu rangkaian saat. Siapa
yang mengalami setiap saat, berarti menghayati hidup itu.”

Pengkotbah menemukan bahwa sumber kepuasan yang terpenting adalah


pekerjan kita. Karena dengan bekerja, manusia akan memperoleh perasaan bahwa ia
telah menghasilkan sesuatu. Pekerjaan manusia adalah cerminan dari diri masing-
masing. Dengan bekerja, manusia dapat melihat kepada dirinya sebagai pribadi yang
berguna. Dalam melakukan pekerjaannya, dia akan merasa hidup. Maka pekerjaan
adalah sesuatu yang harus dilakukan sampai ia merasa senang melakukannya. Bekerja
dilakukan manusia agar hari-harinya tidak menjadi hampa dan tanpa makna.

Dalam suatu kutipan tertentu dari kalangan kaum bijak dari Talmoed
mengatakan, “Satu jam di dunia ini lebih baik daripada keabadian seluruhnya pada
masa datang.” Kutipan tersebut berarti bahwa: Jika kita telah belajar hidup
sesungguhnya, kita tidak perlu mengharapkan ganjaran dalam hidup selanjutnya.
Makna kehidupan itu bukan waktu yang diberikan untuk memburu upah dan
kenikmatan. Tapi orang yang telah belajar hidup, kehidupan sendiri itu sudah
merupakan ganjaran.

Manusia sesungguhnya tidak takut mati. Manusia takut mati hanya karena ia
takut bahwa ia telah hidup dengan sia-sia, ia tidak pernah tahu untuk apa hidup itu.
Penulis pada bagian ini mengatakan bahwa ia tidak takut untuk mati. Karena ia telah
merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya dalam hidupnya. Penulis merasa
bahwa ia tidak menyia-nyiakan hidupnya. Dalam sebuah kisah yang diceritakan di
buku ini, penulis mengatakan bahwa surga adalah “telah belajar melakukan dan
menghargai hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh manusia.” Sedangkan neraka
adalah, “keinsafan bahwa anda mestinya dapat menjadi manusia dalam arti kata
sepenuhnya dan bahwa hal itu sekarang sudah terlambat.”

“Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan dan siapakah yang boleh
berdiri di tempatNya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya.”
(Mazmur 24:3-4). ‘Mendaki gunung Tuhan’ bukan berarti bahwa dalam kehidupan
kita harus menjadi lengkap, menggunakan waktu dengan baik, dan hidup dengan
tangan bersih dan hati murni, sehingga selama hidup kita merasa ‘berdiri di
tempatNya yamg kudus.’ Orang yang berlaku demikian tidak perlu takut mati. Tuhan
memang tidak akan membebaskan kita dari kematian, namun Ia akan melepaskan kita
dari bayangan maut, sehingga hidup kita tidak menjadi lumpuh karena ketakutan
(Mazmur 23).

Ahli ilmu filsafat bernama Horace Kallen menulis, “Ada orang yang
membiarkan hidupnya ditentukan oleh rasa takut mati, sebaliknya ada orang yang
membiarkan hidupnya ditetapkan oleh kegembiraan hidup dan kepuasan. Yang
disebut pertama hidup sebagai orang mati, sedang yang disebut kemudian mati
sebagai orang hidup. Saya tahu bahwa saya dapat ditetapkan untuk meninggal besok
hari, tetapi kematian itu suatu keadaan tambahan saya. Kalau maut datang saya
rencanakan mati sebagai orang hidup.” Obat terhadap rasa takut mati adalah: menjaga
bahwa kita telah hidup dengan baik.

Menurut penulis, tiga hal yang dapat dipertengahkan dari hidup kita sendiri:

1. Hidup bersama orang lain,


2. Menerima sakit sebagai bagian hidup manusia,
3. Mengetahui bahwa kehadiran manusia itu telah menyelesaikan sesuatu.

Semua dalam hidup kita, semua ‘bangunan’ rumit yang telah kita dirikan
dengan makan waktu dan daya kerja begitu banyaknya, dibangun di atas pasir. Hanya
hubungan kita dengan orang-orang lain yang berlangsung terus. Ketika ‘bangunan’
kita runtuh, kita bisa tertawa bila kita berpegangan tangan dengan orang lain.

Manusia hidup juga harus produktif. Sebagai manusia, kita setidaknya harus
bisa mengajarkan sesuatu kepada sesama hidupnya. Kita tidak boleh hidup dengan
takut akan rasa sakit. Justru alangkah lebih baik jika semasa muda kita telah
merasakan sakit. Karena kita akan menjadi lebih kuat di masa yang akan datang.
Dengan menjadi produktif, kita akan berbangga terhadap hidup kita sendiri.

Hidup itu bermakna sebab hidup kita adalah untuk melaksanakan kehendak
Tuhan. Bagi manusia, berlaku baik adalah moral hidupnya. Mereka akan merasa
bersalah ketika menyalahi moral itu. Mementingkan diri sendiri, tidak berperasaan,
dan kecurigaan terhadap orang lain itu juga bisa berarti menghina Tuhan. Tuhan
adalah jawaban atas pertanyaan, “Mengapa saya harus baik dan jujur, kalau saya lihat
orang-orang di sekeliling saya melakukan pembunuhan dan ternyata bebas dari
hukuman?” Alasannya adalah, karena jiwa manusia telah diciptakanNya demikian
rupa sehingga hanya kehidupan yang baik dan jujur tetap menjaga kesehatan rohani
kita dan membuat tetap manusiawi.

Tuhan itu kekuatan yang menggerakkan manusia untuk mengatasi egoismenya


dan menolong sesama. Begitu juga Tuhan mengilhami orang lain untuk mengatasi
egoisme mereka dan membantu yang lainnya. Pengkotbah pernah bertanya-tanya,
“Apa gunanya semua kebaikan saya, kalau pada akhirnya saya mati dan perbuatan
baik saya itu dilupakan orang?” Jawabannya adalah: perbuatan itu tidak akan sia-sia
dan tidak pernah dilupakan. Dengan ini penulis telah membagikan kabar baik bagi
kita semua, yaitu bahwa Tuhan akan meneruskan segala kebaikan kita. Apa yang
belum tercapai, dan berkat yanang telah kita capai akan diteruskan kepada orang lain.
Sehingga perbuatan baik itu akan tercapai oleh orang lain. Karena Tuhan
menganugrahi ukuran kekekalan kepada perbuatan baik kita.

Beberapa orang pasti ada yang merasa bahwa impiannya dan harapannya tidak
akan pernah tercapai di hidupnya. Orang yang demikian akan merasa bahwa
kehidupan mereka itu gagal. Di tahun-tahunnya yang tersisa, ia tidak memiliki apa
pun yang diharapkan lagi, bahkan yang bisa ia pikirkan adalah kegagalannya. Untuk
apakah orang-orang seperti itu hidup? Jawabannya adalah: “Sebab manusia melihat
apa yang nampak di depan mata, namun Tuhan melihat isi hati seseorang” (1 Samuel
16:7). Maksudnya adalah, mereka itu menilai isi hidupnya dengan impiannya,
hasilnya, padahal Tuhan menilai berdasarkan hati mereka sendiri. Tuhan menilai diri
manusia berdasarkan isi hati kecilnya dan kesetiaannya kepada Tuhan. Sesuatu yang
bahkan tidak bisa kita ukur sendiri! Gagal menurut Tuhan adalah ketika manusia itu
sendiri kehilangan percaya dirinya sendiri, dan kalau ia karena kekalahan itu
kehilangan penglihatannya atas kemenangan. Yang terpenting adalah kita harus tetap
setia pada diri kita sendiri, setia pada kodrat manusiawi kita yang menuntut agar
bersikap jujur danramah dan yang mengendur dan memburuk bentuknya kalau hal itu
tidak dihiraukan.

Pesta Sukkot atau pesta Pondok Daun yang merupakan adat Yahudi adalah
pesta dimana orang-orang Yahudi akan berpesta dan bersyukur kepada Tuhan atas
hasil panen yang baik. Pesta itu dirayakan pada musim rontok dan berintikan pada hal
yang fana. Pesta itu seolah-olah datang dan mengatakan kepada mereka bahwa dunia
penuh dengna hal-hal yang baik dan indah. Maka dari itu, itulah saatnya bagi mereka
untuk menikmati hidup, berbahagia bersama orang-orang yang dicintainya dan untuk
menyadarkan mereka bahwa lebih baik menikmati masa sekarang daripada
mencemaskan hari esok.
BAB III

PESAN

A. KESIMPULAN
Manusia diciptakan oleh Tuhan memiliki tujuan. Manusia memang tidak akan
pernah mengerti alasan itu, tapi manusia bisa menemukan makna hidupnya sendiri.
Dalam hidupnya, manusia seringkali mengejar kesuksesan, kekayaan, dan kekuasaan.
Dimana mereka pikir dengan begitu mereka dapat bahagia. Menjadi sukses bukanlah
suatu kesalahan, bahkan bekerja adalah hal yang penting untuk mengisi hidup
manusia. Tapi hidup itu lebih dari sekedar menjadi sukses dan memiliki segala-
galanya.

Bahagia

Pengkotbah dapat menjadi teladan bagi manusia, bahwa makna hidup itu
terletak pada tiap harinya. Segala usaha manusia untuk mencari makan kehidupan
akan sia-sia, karena dengan itu kita mencari sesuatu yang besar. Padahal, apakah
artinya hidup itu bila manusia sudah mengetahui makna hidupnya sendiri? Lagipula
makna kehidupan itu harus dihayati dengan hati, bukan dengan perkataan yang jelas.

Manusia harus hidup dengan baik dan jujur karena jiwa manusia telah
diciptakan Tuhan demikian rupa sehingga hanya kehidupan yang baik dan jujur tetap
hidup dan membuat manusia tetap manusiawi. Perbuatan baik manusia di dunia tidak
akan pernah sia-sia, karena perbuatan itu akan diteruskan oleh orang lain sehingga hal
baik yang belum tercapai pada akhirnya akan tercapai juga.

Menjadi manusia sejati berarti menumbuhkan iman yang dewasa. Dengan


iman itu manusia dapat membersihkan dirinya dan menjadi pribadi yang
diinginkannya. Dengan begitu ia akan menjadi manusia sejati yang utuh dan bersatu
dalam Tuhannya.
Naskah khotbah Jessica Ola (XII-MIPA2/10)

Ada sebuah ilustrasi sederhana mengenai seorang anak kecil yang hidup pada zaman
Yesus. Ia adalah anak yang memberikan lima roti dan dua ikannya kepada Andreas, salah
satu murid Yesus, kala Yesus memberi makan lima ribu orang. Pada hari kedua Yesus
disalibkan, anak itu pergi ke makam dimana Yesus dimakamkan. Segerombolan prajurit
dengan baju zirahnya sedang bermain dekat situ. Ia dengan diam-diam mendekat kepada
makam tersebut. Dan dengan takut-takut si anak berbisik “Tuhan, keluarlah. Aku takut kalau
mereka akan menangkap aku. Tapi aku sedih melihat ibu dan adik-adikku kelaparan.”
Tanpa sengaja, diinjaknya rumah semut merah. Maka marahlah mereka dan menggigit
anak itu. Ia pun teriak karena panik dan tentu saja itu didengar para prajurit. Singkat cerita,
anak itu mengaku bahwa ia datang untuk memanggil Yesus, agar lima roti dan dua ikan yang
dibawanya itu dapat dilipatgandakan lagi. Sehingga ibu dan adik-adiknya tidak kelaparan
lagi. Tapi prajurit itu tentu saja menertawakannya, karena Yesus bahkan tidak hidup.
Anak itu mengingat kembali mukjizat yang dilakukan Yesus saat ia memberikan lima
roti dan dua ikannya itu. Dia mengingat betul bagaimana Yesus memberkatinya dan teman-
temannya, agar menjadi pandai, sehat, dan sukses. Ia percaya bahwa Yesus akan bangkit dan
menggandakan roti serta ikannya. Sayangnya, Yesus tidak langsung bangkit saat dia
memanggilNya. Akhirnya, salah satu prajurit itu bertaruh dengan dia. Bila Yesus bangkit
keesokan harinya, si prajurit akan membawanya makanan yang banyak jumlahnya ke
rumahnya. Tetapi kalau Yesus tidak bangkit, maka anak itu harus berkata pada semua orang
bahwa Yesus adalah pembohong.
Dengan berani, anak itu pun menyetujuinya. Dan seperti kita ketahui, Yesus bangkit
pada hari ketiga. Dan kebutuhan anak itu serta keluarganya pun terpenuhi. Si prajurit sesuai
dengan janjinya membawakan banyak makanan ke rumahnya. Dan kepercayaan anak itu pun
akhirnya terbukti.
Dari dua kisah ini, kita dapat belajar bahwa Yesus dapat melakukan mukjizat.
Walaupun si anak pada akhirnya tidak melihat langsung pelipatgandaan itu, ia percaya.
Walaupun Yesus tidak bangkit saat ia memangilNya, ia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kepercayaan adalah kunci jawaban atas segala kekhawatiran kita.
Yesus adalah Allah yang Maha Tahu, dan Ia dapat melakukan apa saja. Maka dari itu,
kita tidak perlu takut akan kekurangan. Karena Tuhan akan memberikan apa yang kita
butuhkan, bahkan Ia akan memberi kelimpahan bagi orang yang percaya. Disebutkan dalam
Matius 7:11, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-
anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang
meminta kepada-Nya.” Yesus tidak pernah mengingkari janjiNya. Dan segala sesuatu itu
tepat pada waktunya.
Kita juga ingat ketika Lazarus dibangkitkan. Saat itu, Maria dan Martha meminta
Yesus segera datang untuk menyembuhkan Lazarus yang sakit. Namun, Yesus malah
menunda kedatangannya kesana. Ketika ia datang, semua orang telah berkabung karena
Lazarus sudah mati. Tetapi Yesus berkata bahwa ia hanya tidur, padahal Lazarus sudah mati
selama empat hari. Pada saat itu, terjadi mukjizat yang tidak pernah terjadi –Yesus
membangkitkan Lazarus. Dari kisah ini, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus bersabar
ketika doa kita belum terkabul. Karena bisa saja terjadi mukjizat yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai