PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alasan utama penyusun membuat makalah ini adalah sebagai pemenuhan
syarat untuk mengikuti ujian praktik mata pelajaran agama. Selain itu, makalah ini
juga dibuat untuk membagi nilai berharga yang didapat penyusun setelah membaca
buku ini. Buku ini sangatlah menarik. Bagi penyusun, buku ini memberi arti tersendiri
hingga mungkin penyusun tidak akan melupakannya.
Harold S. Kushner, penulis buku ini mengajak pembacanya untuk mencari dan
menghayati makna kehidupan. Buku ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan
kepada penulis dan pembaca. Pertanyaan itu semacam: “apakah kita ini hidup hanya
untuk beranak-pinak mempertahankan kelestarian keturunan manusia?” dan “apakah
kiranya orang bahagia, kalau ia dapat hidup tanap batas, dapat berbuat apa saja
yang dia inginkan, dapat pergi ke mana-mana dan dapat memerintah siapa saja yang
dia kehendaki?” Dengan itu penulis membantu pembaca menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu berdasarkan pengalamannya atau dari buku-buku yang telah ia baca.
Penyusun pribadi memang sedang merencanakan tujuan yang penyusun ingin
raih, dan tujuan hidup sampai kiranya penyusun sukses. Namun ternyata jelas bagi
penyusun bahwa yang telah penyusun imajinasikan ternyata merupakan konsep
pemikiran yang salah. Dari buku ini, penyusun akhirnya mengetahui bahwa hidup
adalah untuk berbahagia.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah adalah:
1. Mengetahui bahwa kesuksesan bukanlah tujuan manusia hidup.
2. Mengetahui alasan kekuasaan tidak memberi kita kebahagiaan.
3. Mengetahui dan menghayati hidup agar dapat bahagia.
4. Mengetahui perjalanan hidup Pengkotbah.
5. Mengetahui bahwa menyiksa diri pun bukan jawaban untuk menghayati hidup
agar menjadi bermakna.
6. Mengerti bahwa makna kehidupan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi
dirasakan dengan hati.
7. Memandang Tuhan dengan cara yang benar.
8. Menjadi manusia sejati.
9. Menghayati hidup dengan cara yang benar.
10. Mengetahui cara yang tepat agar siap menghadapi kematian.
11. Mengetahui alasan manusia harus berbuat baik dan jujur.
12. Mengetahui ukuran yang dipakai Tuhan untuk menilai kesuksesan manusia.
C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini, antara lain:
1. Apakah sukses adalah tujuan manusia hidup?
2. Mengapa mendapatkan kekuasaan tidak memberi kita kebahagiaan?
3. Apakah dengan menerima keadaan manusia dapat bahagia?
4. Bagaimanakah perjalanan hidup Pengkhotbah?
5. Apakah mendefinisikan hal yang ‘benar’ sebagai hal yang menyenangkan adalah
perilaku yang benar?
6. Apakah makna kehidupan itu harus dijelaskan dengan kata-kata?
7. Bagaimana seharusnya orang beriman memandang Tuhan?
8. Siapakah manusia sejati itu?
9. Bagaimana manusia seharusnya menghayati kehidupan?
10. Apa yang harus dilakukan manusia agar ia tidak takut mati?
11. Mengapa manusia harus berbuat baik dan jujur?
12. Bagaimana Tuhan mengukur kesuksesan manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
Pernahkah anda berpikir tentang tujuan hidup anda? Pernahkah anda berpikir apa
makna seseorang itu hidup? Atau berpikir tentang apa yang berarti dari diri anda? Mungkin
beberapa dari anda pernah berpikir demikian. Namun belum mendapatkan jawaban. Maka
dalam makalah inilah, penyusun akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
berdasarkan buku “Berlimpah Namun Gersang” karya Harold S. Kushner ini.
Pada dasarnya, semua manusia akan mengalami kematian. Namun banyak orang yang
mati tanpa meninggalkan suatu makna bagi orang lain yang masih hidup. Dalam hal itu pun,
penulis pernah mengalaminya setelah mendengar keluhan dari salah satu anggota jemaatnya.
Ia pun akhirnya mencari jawaban itu dan menuangkannya dalam buku ini.
A. BAHAGIA
Beberapa orang yang telah mencapai impiannya, pada akhirnya akan bertanya
pada dirinya. “Sudahkah ini semuanya? Apa yang akan saya lakukan selanjutnya?” Ia
yang sudah mencapai semuanya itu akhirnya kehilangan tujuan di sisa akhir hidupnya.
Padahal yang manusia butuhkan adalah kebahagiaan, bukan kesuksesan. Kebahagiaan
sesungguhnya hanya ditemukan dengan cara menghayati hidup yang penuh makna.
Dan kesempatan itu dibuang oleh kebanyakan orang yang mengejar kesuksesan. Ia
cenderung melupakan hal-hal kecil yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaannya.
Bila bukan kesuksesan, lalu untuk apakah kita hidup? Apakah kekuasan yang
harus kita raih? Kekuasaan juga bukanlah jawabannya! Kekuasaan mungkin akan
menuntun orang kepada kepuasan. Namun orang mempunyai banyak kekuasaan pun
tidak bahagia. Kendatipun ia memiliki kekuasaan atas banyak hal, kepuasan yang
didapatnya bukan kepuasan yang akan berlangsung lama. Orang-orang disekitarnya
hanya dapat membuat dirinya senang sementara. Tapi ia tidak akan mendapatkan
kebahagiaan yang sebenarnya. Bahayanya lagi dalam meraih kekuasaan itu, seringkali
manusia menjadikan orang lain sebagi musuhnya yang menghalagi dia mencapai
kesuksesan. Mengapa hal ini berbahaya?
Menganggap orang lain sebagai musuh membuat kita merasa perlu berjuang
sendirian. Orang yang menganggap orang lain adalah musuh akan hidup dalam
tembok di sekelilingnya. Hal ini akan menghalangi dia bersikap benar-benar ramah
terhadap orang lain. Lalu mengapa ia tidak dapat bahagia? Manusia adalah makhluk
sosial, dan mereka memerlukan orang lain. Jika ia menganggap orang lain musuh,
maka ia tidak dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain, hubungan
yang dibangun tanpa adanya ‘simbiosis mutualisme’. Padahal, kebahagiaan dapat
diraih apabila manusia hidup bersama dengan orang lain. Dengan pandangan itu juga,
ia membiarkan orang lain menyerangnya balik, padahal belum tentu orang lain juga
berpikir begitu terhadapnya. Karena ia selalu ingin menang, maka ia akan
menyingkirkan lawannya, dengan begitu bukan hal yang tidak mungkin apabila ia
menaruh ‘dendam’ kepada semua orang.
Dalam buku ini, Harold sendiri juga menceritakan dua kisah menarik yang
membuat penyusun menjadi sadar bahwa kenyataan itu memang benar-benar terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari, tanpa pernah penyusun sadari. Walaupun penyusun
tidak langsung merasakannya sendiri, namun selalu ada saja hal-hal yang
membuktikan hukum itu. Dia yang ‘menyaingi’ semua orang, cenderung akan
menjauhkan diri dari lingkungan sosialnya dan merasa bahwa semua orang
‘menyerang’ dia, padahal tidak ada satu pun orang yang berusaha mengalahkannya.
Dunia adalah tempat yang sangat rumit dan sulit dipegang. Hal yang tidak
mungkin untuk mengendalikannya. Sedangkan memburu kekayaan berakibat
menjerumuskan banyak orang hidup secara bersaing dan tidak mengenal kerja sama.
Dan pelaksanaan kekuasaan oleh mereka yang meraih sukses dapat mengeruhkan
hubungan antarmanusia. Orang yang tunduk di bawah kekuasaan seseorang, akan
berusaha dengan sebisa mungkin untuk menyenangkan pemegang kuasa. Sehingga
timbul hubungan yang tidak sehat. Kalau semua orang dianggap sebagai orang yang
seharusnya menyenangkan hatinya, maka ia tidak akan pernah merasakan cinta
apalagi kebahagiaan.
Menurut penulis, kebahagiaan seseorang yang terletak pada tidak mengikat
diri, tak bertanggung jawab kepada siapa pun, tidak ada seorang pun yang akan
merintanginya dengan keperluan dan masalahnya, akan mengikat orang itu erat-erat.
Hidup tidak memuaskan jika seseorang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ketika
ia mulai menolong dan memperkaya hidup orang lain, barulah hidupnya sendiri mulai
mengandung makna. Dan kaum yang paling bahagia adalah mereka yang berupaya
dengan sungguh-sungguh menjadi orang yang ramah, ringan tangan, dan dapat
dipercaya.
Di dunia ini, kejahatan, korupsi, dan kecelakaan selalu terjadi dan akan terus
terjadi. Karena, hal-hal seperti itu memang sudah menjadi bagian hidup manusia.
Bahkan penulis menambahkan perkataan gurunya katanya, “Janganlah anda kira
bahwa dunia akan memperlakukan anda dengan adil sebab anda seorang yang baik.
Tentunya anda juga tidak mengharap bahwa lembu jantan tidak mau menyerang anda
karena anda berpantang daging, bukan?” Hal ini membuktikan bahwa dunia itu
kejam, tidak peduli kepada siapa ia berbuat jahat.
Uniknya pada pendapat itu dapat kita lihat dalam tindakan Mahatma Gandhi.
Penyusun sebetulnya heran ketika membaca penuturan si perwakilan Hindu itu.
Gandhi adalah sosok beragama Hindu yang patut diteladani perilaku beragamanya.
Dengan ajaran Hindu tadi, tindakan Gandhi membela kaum India untuk merdeka
adalah salah. Tapi, tidak benar juga bahwa tindakan itu tidak membawa perubahan
apa-apa. Buktinya sekarang India adalah bangsa yang merdeka. Dengan pergerakan
hati seseorang lah –dalam hal ini Gandhi, bangsa itu akhirnya merdeka.
B. PENGKOTBAH
Kehidupan mengenai Pengkotbah ditulis dalam bab 2 buku ini, dengan judul
“Kitab yang Berbahaya”. Seperti kita ketahui, dalam Alkitab terselip sebuah kitab
berjudul “Pengkotbah”. Kitab ini oleh para cendekiawan dianggap berbahaya, karena
dapat menyesatkan dan menggoda banyak orang. Menurut penulis, kitab ini berkisah
mengenai seseorang yang jahat, tidak berperasaan, dan meragukan adanya Tuhan.
Bukan itu saja, kitab Pengkotbah itu sukar dimengerti, tidak ada pokok uraian
yang lambat dan pasti berkembang. Jalan pikirannya loncat-loncat dan kadang
membantah dirinya sendiri.
Kitab ini secara sekilas berisi tentang kasih sayang, penyerangan terhadap
pemikiran sempit, dan pembongkaran kejahatan yang tersembunyi dalam hati orang-
orang munafik. Namun ternyata bila dimengerti lebih dalam, bukan itulah isinya.
Diceritakanlah oleh penulis isi tersembunyi dalam kitab ini. Menurutnya, kitab ini
berkisah tentang perjalanan hidup Pengkotbah dan ketakutannya bahwa ia akan
meninggal tanpa arti.
Pada masa mudanya, Pengkotbah ini adalah seorang yang sukses. Ia hidup
dengan banyak cita-cita indah. Kekayaannya pun dikatakan melampaui kekayaan
siapapun yang hidup di Yerusalem sebelum dia. “Dengan demikian aku menjadi
besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem
sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku.” (Pengkotbah 2:9).
Namun ketika ia sudah mendapatkan semuanya, ia pun mulai berpikir dan mencari
jawaban atas pertanyaannya: “Lambat laun apakah arti semuanya (kesuksesannya)
itu?”. Ia menyadari bahwa kekayaan akan dengan mudahnya hilang. Maka kekayaan
bukanlah jawabannya.
Ketika ia menjadi tua dan waktu menjadi lebih berharga, ia pun mulai insaf. Ia
merasa bahwa kesenangan itu tidak akan membekaskan sesuatu yang berharga. Maka
ia pun mencari jawaban di dunia pengetahuan dan filsafat, namun tidak ditemukannya
juga. Ia belajar untuk menjadi berhikmat, tapi ia malah melihat lebih banyak lagi hal
yang tidak jujur, tidak adil, dan mengharukan. “Aku berkata dalam hati: ‘Lihatlah,
aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang
memerintah atas Yerusalem sebelum aku, dan hatiku telah memperoleh banyak
hikmat dan pengetahuan.’ Tetapi aku menyadari bahwa hal ini pun adalah usaha
menjaring angin, karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa
memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan.” (Pengkotbah 1:16, 17b, 18).
Ia menyadari bahwa orang yang berhikmat dan yang bodoh pada akhirnya mati juga.
Orang yang hidup saleh dan yang fasik pun bernasib sama. Penyusun teringat pada
perkataan pendeta saat ia sedang berkotbah. Dengan perkataannya itu, ia menyetujui
perkataan Pengkotbah. Kira-kita katanya begini, “Sebenarnya, saya ini serba salah.
Saya sebagai pemimpin yang mengetahui seluk beluk Alkitab dan maksudnya
memiliki beban yang amat berat. Karena saya tahu, saya harus menurutinya. Namun
juga tugas saya adalah untuk membagikannya kepada saudara-saudara. Masalahnya,
semakin banyak anda tahu, semakin banyak yang dituntut dari anda.”
C. MENYAKITI DIRI
Banyak orang rindu untuk mengetahui bahwa ia telah ‘hidup’. Dan seringkali
mereka menjawabnya dengan, “satu-satunya kehidupan yang layak anda hayati adalah
kehidupan dengan menanggung derita dan pengorbanan diri. Menghayati kehidupan
melulu bagi anda sendiri tidak menghasilkan kepuasan. Kepuasan itu hanyalah anda
temukan kalau anda hidup bagi orang lain.” Lantas apakah itu benar? Apakah pikiran
itu merupakan pikiran yang benar, seiring dengan pernyataan sebelumnya yaitu
“menempuh jalan yang belum ditempuh”?
Orang-orang yang berpikiran demikian berpikir bahwa menyiksa diri adalah
aksi per”imbangan” terhadap keenakan hal-hal yang menyenangkan di hidup mereka.
Sebagai contoh, ada beberapa pemikiran tentang makan dan makanan:
1. Makan bukan sekedar berarti menelan makanan, karena makanan merupakan
bahan bakar untuk badan kita.
2. Menurut beberapa orang yang baru saja menjadi tua, makanan akan dianggap
sebagai lambang cinta. Bahwa ada orang yang menunjujkkan rasa cintanya
dengan memberi makanan.
3. Makanan juga dianggap sebagi ganjaran dan penenang hati. Orang seringkali
menjadikian makanan sebagai pelarian ketika kita sedang marah, galau, atau
kesepian.
4. Namun ada juga yang berpendapat bahwa makanan adalah sebuah godaan. Seperti
Hawa yang jatuh ke dalam dosa oleh makanan, Makan adalah bukti bahwa kita
kekurangan daya kemauan, terlalu meamnjakan diri, dan melemahkan kita,
sehingga kita pantas untuk dicela.
Kepuasan abadi adalah hal yang mustahil, kalau kita selalu memerangi diri
sendiri. Kita mencoba menyadari kesungguhan hidup itu dan kemudian kita tahu
bahwa kita menipu diri kita sendiri. Namun lain halnya bila kita memanfaatkan
dengan cara yang tepat. Segala keinginan kita itu tanpa sadar akan kita anggap
sebagai anugrah Tuhan.
Tuhan itu bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihormati dan dikagumi.
Terdapat perbedaan besar antara kata takut dan kagum. Rasa takut itu mencekik dan
mengakibatkan kita melarikan diri dari hal yang ditakutinya atau menghancurkannya.
Kalau kita takut, kita akan menjadi marah dan muram, marah pada yang menakutkan
kita, dan marah terhadap diri kita sendiri yang lemah. Sedangkan rasa kagum adalah
perasaan yang jujur, dimana kita akan takut (ragu-ragu) tapi ingin mendekat. Takut
cenderung membuat kita menjauhi Tuhan dan mengabdi dengan rasa enggan, tapi
kagum cenderung membuat kita mendekat kepadaNya.
Dalam buku ini, penulis menceritakan bahwa pernah ia baca sebuah buku yang
menjelaskan tentang perkembangan psikologi anak. Dalam buku yang ia baca itu,
disimpulkan bahwa anak-anak pada awalnya akan cenderung mentaati peraturan yang
ada. Mereka tidak akan berpikir tentang mengapa peraturannya harus begitu, atau
bagaimana kalau peraturannya diganti. Namun saat mereka memasuki masa akilbaliq,
mereka akan mulai meragukan peraturan itu. Mereka sendirilah yang akan bertanya,
“Mengapa harus begitu cara melakukannya? Mengapa tidak kita buat permainan
sendiri?” Pada tahap itu, mereka akan mulai membuat peraturan sendiri. Dari yang
terlalu mudah, sampai terlalu susah. Mereka kemudian akan mengambil kesimpulan
bahwa peraturan itu tidak dapat dibuat dan diubah sesuka mereka. Peraturan itu harus
adil dan wajar. Pada tahap itulah, mereka memasuki tahapan dewasa. Mereka akan
menyadari bahwa mereka juga bisa membuat peraturan yang adil dan wajar. Tapi hal
itu perlu diukur, diuji, dan disempurnakan.
Tahap ‘akilbaliq’ ini amat jelas terlihat pada tradisi keagamaan Amerika. Pada
saat itu, mereka merasa bahwa mereka memiliki kebebasan. Mereka merasa bebas
untuk melanggar batas-batas yang diajarkan oleh para pimpinan gerejawi mereka.
Dan parahnya lagi, mereka tidak menganggap bahwa mereka salah (tidak taat dan
berdosa). Dari tahap itu, masyarakat akhirnya mulai mendapat ilham dalam
menentukan peraturan hidup mereka sendiri. Hal ini juga dibuktikan dengan
pemberontakan terhadap Gereja Katolik, yang menghasilkan perpecahan.
Kesimpulannya dalam hal beragama, kepatuhan itu bukanlah hal yang terbaik
yang sangat perlu. Kepatuhan hanya cocok bagi manusia yang dalam peradaban
kurang maju, seperti berjuta-juta tahun lalu. Alkitab itu bisa saja merupakan Sabda
Tuhan, namun bukan sabdaNya yang terakhir. Bukan karena kemampuanNya
terbatas, tapi kemampuan kita untuk mengungkapkan sesuatu itu terbatas. Perlu
dicatat, iman yang tetap menganggap baik itu sebagai “kepatuhan tanpa syarat” berarti
iman itu untuk selamanya akan mrmuat kita sebagai anak saja.
Pengkotbah telah mengabdi pada Tuhan atas dasar takut dan dengan cara
mentaati perintahnya. Ia beriman sebagai anak kecil. Tetapi yang dikehendaki Allah
untuk dikatakan Pengkotbah adalah “Apakah Engkau anggap menyenangkan atau
tidak, tetapi hal itu telah lama saya renungkan, dan justru inilah yang saya hargai.”
Bukan “Saya hanya melakukan apa yang Engkau minta dari saya.”
Sesungguhnya, Allah tidak akan memberi tahu kita apa yang harus kita
lakukan. Melainkan Ia akan berkata kepada kita, “Jelajahilah Bumi ini dan
temukanlah jalannya. Apapun yang terjadi, Aku akan terus menyertai engkau.” Iman
tidak menantang kita untuk menjadi sempurna, tapi iman menantang kita untuk
berwujud utuh dan selalu dalam keadaan yang terbaik.
Iman adalah seperti api pembersih. Api itu menolong manusia melepaskan
dosa kita sehingga manusia menjadi dirinya sendiri, diri yang diinginkannya. Manusia
sesungguhnya adalah menjadi orang yang memikirkan Tuhan ketika Beliau
menciptakan manusia. Manusia bukanlah orang suci atau sempurna, tapi manusia
adalah orang yang seluruh kecurangan dan nafsu mementingkan dirinya juga rasa
benci telah terbakar habis, sehingga yang tersisa adalah pribadi yang telah
dibersihkan. Manusia yang sejati adalah manusia yang utuh dan bersatu dalam
Tuhannya.
Kedamaian itu hasil akhir dari pencarian identitas diri yang telah selesai
dengan bahagia. Orang yang memiliki ukurannya sendiri dalam menjalani hidupnya
akan merasa bahwa hidupnya lebih berkenan pada Tuhan, dibandingkan dengan yang
berusaha untuk tidak melanggar perintah Tuhan.
F. HIDUP
Pada tahap ini, penulis mulai merasa bahwa hidup itu tidak bermakna, tapi
sesuatu dalam dirinya tidak membiarkannya untuk meyakini itu. Kendatipun itu
benar, maka penulis menyarankan kepada kita untuk belajar menikmati karena kita
tahu bahwa itu akan hilang dalam sekejap. Maka, hidup itu harus diisi dengan hal-hal
penting. Lalu apa yang penting dalam hidup? Yang penting dalam hidup adalah
memberi dan menerima cinta, merasakan sepenuhnya saat-saat yang telah lewat dan
tidak membiarkan itu berlalu begitu saja.
Dalam suatu kutipan tertentu dari kalangan kaum bijak dari Talmoed
mengatakan, “Satu jam di dunia ini lebih baik daripada keabadian seluruhnya pada
masa datang.” Kutipan tersebut berarti bahwa: Jika kita telah belajar hidup
sesungguhnya, kita tidak perlu mengharapkan ganjaran dalam hidup selanjutnya.
Makna kehidupan itu bukan waktu yang diberikan untuk memburu upah dan
kenikmatan. Tapi orang yang telah belajar hidup, kehidupan sendiri itu sudah
merupakan ganjaran.
Manusia sesungguhnya tidak takut mati. Manusia takut mati hanya karena ia
takut bahwa ia telah hidup dengan sia-sia, ia tidak pernah tahu untuk apa hidup itu.
Penulis pada bagian ini mengatakan bahwa ia tidak takut untuk mati. Karena ia telah
merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya dalam hidupnya. Penulis merasa
bahwa ia tidak menyia-nyiakan hidupnya. Dalam sebuah kisah yang diceritakan di
buku ini, penulis mengatakan bahwa surga adalah “telah belajar melakukan dan
menghargai hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh manusia.” Sedangkan neraka
adalah, “keinsafan bahwa anda mestinya dapat menjadi manusia dalam arti kata
sepenuhnya dan bahwa hal itu sekarang sudah terlambat.”
“Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan dan siapakah yang boleh
berdiri di tempatNya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya.”
(Mazmur 24:3-4). ‘Mendaki gunung Tuhan’ bukan berarti bahwa dalam kehidupan
kita harus menjadi lengkap, menggunakan waktu dengan baik, dan hidup dengan
tangan bersih dan hati murni, sehingga selama hidup kita merasa ‘berdiri di
tempatNya yamg kudus.’ Orang yang berlaku demikian tidak perlu takut mati. Tuhan
memang tidak akan membebaskan kita dari kematian, namun Ia akan melepaskan kita
dari bayangan maut, sehingga hidup kita tidak menjadi lumpuh karena ketakutan
(Mazmur 23).
Ahli ilmu filsafat bernama Horace Kallen menulis, “Ada orang yang
membiarkan hidupnya ditentukan oleh rasa takut mati, sebaliknya ada orang yang
membiarkan hidupnya ditetapkan oleh kegembiraan hidup dan kepuasan. Yang
disebut pertama hidup sebagai orang mati, sedang yang disebut kemudian mati
sebagai orang hidup. Saya tahu bahwa saya dapat ditetapkan untuk meninggal besok
hari, tetapi kematian itu suatu keadaan tambahan saya. Kalau maut datang saya
rencanakan mati sebagai orang hidup.” Obat terhadap rasa takut mati adalah: menjaga
bahwa kita telah hidup dengan baik.
Menurut penulis, tiga hal yang dapat dipertengahkan dari hidup kita sendiri:
Semua dalam hidup kita, semua ‘bangunan’ rumit yang telah kita dirikan
dengan makan waktu dan daya kerja begitu banyaknya, dibangun di atas pasir. Hanya
hubungan kita dengan orang-orang lain yang berlangsung terus. Ketika ‘bangunan’
kita runtuh, kita bisa tertawa bila kita berpegangan tangan dengan orang lain.
Manusia hidup juga harus produktif. Sebagai manusia, kita setidaknya harus
bisa mengajarkan sesuatu kepada sesama hidupnya. Kita tidak boleh hidup dengan
takut akan rasa sakit. Justru alangkah lebih baik jika semasa muda kita telah
merasakan sakit. Karena kita akan menjadi lebih kuat di masa yang akan datang.
Dengan menjadi produktif, kita akan berbangga terhadap hidup kita sendiri.
Hidup itu bermakna sebab hidup kita adalah untuk melaksanakan kehendak
Tuhan. Bagi manusia, berlaku baik adalah moral hidupnya. Mereka akan merasa
bersalah ketika menyalahi moral itu. Mementingkan diri sendiri, tidak berperasaan,
dan kecurigaan terhadap orang lain itu juga bisa berarti menghina Tuhan. Tuhan
adalah jawaban atas pertanyaan, “Mengapa saya harus baik dan jujur, kalau saya lihat
orang-orang di sekeliling saya melakukan pembunuhan dan ternyata bebas dari
hukuman?” Alasannya adalah, karena jiwa manusia telah diciptakanNya demikian
rupa sehingga hanya kehidupan yang baik dan jujur tetap menjaga kesehatan rohani
kita dan membuat tetap manusiawi.
Beberapa orang pasti ada yang merasa bahwa impiannya dan harapannya tidak
akan pernah tercapai di hidupnya. Orang yang demikian akan merasa bahwa
kehidupan mereka itu gagal. Di tahun-tahunnya yang tersisa, ia tidak memiliki apa
pun yang diharapkan lagi, bahkan yang bisa ia pikirkan adalah kegagalannya. Untuk
apakah orang-orang seperti itu hidup? Jawabannya adalah: “Sebab manusia melihat
apa yang nampak di depan mata, namun Tuhan melihat isi hati seseorang” (1 Samuel
16:7). Maksudnya adalah, mereka itu menilai isi hidupnya dengan impiannya,
hasilnya, padahal Tuhan menilai berdasarkan hati mereka sendiri. Tuhan menilai diri
manusia berdasarkan isi hati kecilnya dan kesetiaannya kepada Tuhan. Sesuatu yang
bahkan tidak bisa kita ukur sendiri! Gagal menurut Tuhan adalah ketika manusia itu
sendiri kehilangan percaya dirinya sendiri, dan kalau ia karena kekalahan itu
kehilangan penglihatannya atas kemenangan. Yang terpenting adalah kita harus tetap
setia pada diri kita sendiri, setia pada kodrat manusiawi kita yang menuntut agar
bersikap jujur danramah dan yang mengendur dan memburuk bentuknya kalau hal itu
tidak dihiraukan.
Pesta Sukkot atau pesta Pondok Daun yang merupakan adat Yahudi adalah
pesta dimana orang-orang Yahudi akan berpesta dan bersyukur kepada Tuhan atas
hasil panen yang baik. Pesta itu dirayakan pada musim rontok dan berintikan pada hal
yang fana. Pesta itu seolah-olah datang dan mengatakan kepada mereka bahwa dunia
penuh dengna hal-hal yang baik dan indah. Maka dari itu, itulah saatnya bagi mereka
untuk menikmati hidup, berbahagia bersama orang-orang yang dicintainya dan untuk
menyadarkan mereka bahwa lebih baik menikmati masa sekarang daripada
mencemaskan hari esok.
BAB III
PESAN
A. KESIMPULAN
Manusia diciptakan oleh Tuhan memiliki tujuan. Manusia memang tidak akan
pernah mengerti alasan itu, tapi manusia bisa menemukan makna hidupnya sendiri.
Dalam hidupnya, manusia seringkali mengejar kesuksesan, kekayaan, dan kekuasaan.
Dimana mereka pikir dengan begitu mereka dapat bahagia. Menjadi sukses bukanlah
suatu kesalahan, bahkan bekerja adalah hal yang penting untuk mengisi hidup
manusia. Tapi hidup itu lebih dari sekedar menjadi sukses dan memiliki segala-
galanya.
Bahagia
Pengkotbah dapat menjadi teladan bagi manusia, bahwa makna hidup itu
terletak pada tiap harinya. Segala usaha manusia untuk mencari makan kehidupan
akan sia-sia, karena dengan itu kita mencari sesuatu yang besar. Padahal, apakah
artinya hidup itu bila manusia sudah mengetahui makna hidupnya sendiri? Lagipula
makna kehidupan itu harus dihayati dengan hati, bukan dengan perkataan yang jelas.
Manusia harus hidup dengan baik dan jujur karena jiwa manusia telah
diciptakan Tuhan demikian rupa sehingga hanya kehidupan yang baik dan jujur tetap
hidup dan membuat manusia tetap manusiawi. Perbuatan baik manusia di dunia tidak
akan pernah sia-sia, karena perbuatan itu akan diteruskan oleh orang lain sehingga hal
baik yang belum tercapai pada akhirnya akan tercapai juga.
Ada sebuah ilustrasi sederhana mengenai seorang anak kecil yang hidup pada zaman
Yesus. Ia adalah anak yang memberikan lima roti dan dua ikannya kepada Andreas, salah
satu murid Yesus, kala Yesus memberi makan lima ribu orang. Pada hari kedua Yesus
disalibkan, anak itu pergi ke makam dimana Yesus dimakamkan. Segerombolan prajurit
dengan baju zirahnya sedang bermain dekat situ. Ia dengan diam-diam mendekat kepada
makam tersebut. Dan dengan takut-takut si anak berbisik “Tuhan, keluarlah. Aku takut kalau
mereka akan menangkap aku. Tapi aku sedih melihat ibu dan adik-adikku kelaparan.”
Tanpa sengaja, diinjaknya rumah semut merah. Maka marahlah mereka dan menggigit
anak itu. Ia pun teriak karena panik dan tentu saja itu didengar para prajurit. Singkat cerita,
anak itu mengaku bahwa ia datang untuk memanggil Yesus, agar lima roti dan dua ikan yang
dibawanya itu dapat dilipatgandakan lagi. Sehingga ibu dan adik-adiknya tidak kelaparan
lagi. Tapi prajurit itu tentu saja menertawakannya, karena Yesus bahkan tidak hidup.
Anak itu mengingat kembali mukjizat yang dilakukan Yesus saat ia memberikan lima
roti dan dua ikannya itu. Dia mengingat betul bagaimana Yesus memberkatinya dan teman-
temannya, agar menjadi pandai, sehat, dan sukses. Ia percaya bahwa Yesus akan bangkit dan
menggandakan roti serta ikannya. Sayangnya, Yesus tidak langsung bangkit saat dia
memanggilNya. Akhirnya, salah satu prajurit itu bertaruh dengan dia. Bila Yesus bangkit
keesokan harinya, si prajurit akan membawanya makanan yang banyak jumlahnya ke
rumahnya. Tetapi kalau Yesus tidak bangkit, maka anak itu harus berkata pada semua orang
bahwa Yesus adalah pembohong.
Dengan berani, anak itu pun menyetujuinya. Dan seperti kita ketahui, Yesus bangkit
pada hari ketiga. Dan kebutuhan anak itu serta keluarganya pun terpenuhi. Si prajurit sesuai
dengan janjinya membawakan banyak makanan ke rumahnya. Dan kepercayaan anak itu pun
akhirnya terbukti.
Dari dua kisah ini, kita dapat belajar bahwa Yesus dapat melakukan mukjizat.
Walaupun si anak pada akhirnya tidak melihat langsung pelipatgandaan itu, ia percaya.
Walaupun Yesus tidak bangkit saat ia memangilNya, ia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kepercayaan adalah kunci jawaban atas segala kekhawatiran kita.
Yesus adalah Allah yang Maha Tahu, dan Ia dapat melakukan apa saja. Maka dari itu,
kita tidak perlu takut akan kekurangan. Karena Tuhan akan memberikan apa yang kita
butuhkan, bahkan Ia akan memberi kelimpahan bagi orang yang percaya. Disebutkan dalam
Matius 7:11, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-
anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang
meminta kepada-Nya.” Yesus tidak pernah mengingkari janjiNya. Dan segala sesuatu itu
tepat pada waktunya.
Kita juga ingat ketika Lazarus dibangkitkan. Saat itu, Maria dan Martha meminta
Yesus segera datang untuk menyembuhkan Lazarus yang sakit. Namun, Yesus malah
menunda kedatangannya kesana. Ketika ia datang, semua orang telah berkabung karena
Lazarus sudah mati. Tetapi Yesus berkata bahwa ia hanya tidur, padahal Lazarus sudah mati
selama empat hari. Pada saat itu, terjadi mukjizat yang tidak pernah terjadi –Yesus
membangkitkan Lazarus. Dari kisah ini, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus bersabar
ketika doa kita belum terkabul. Karena bisa saja terjadi mukjizat yang lebih besar.