Anda di halaman 1dari 10

ABSTRAK

Nilai kritis adalah hasil laboratorium yang mewakili keadaan patofisiologis


yang menimbulkan risiko pada keselamatan pasien. Komunikasi hasil ini adalah
tanggung jawab laboratorium dan menurut literatur, 95% dokter menganggapnya
bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan manajemen pasien. Dua pertiga
hasil nilai kritis menyebabkan beberapa perubahan dalam pendekatan terapeutik
pasien.
Pelaporan nilai kritis menjadi prosedur wajib dalam operasional
laboratorium klinik. Komunikasi hasil kritis adalah persyaratan untuk program
akreditasi suatu laboratorium. Dengan demikian laboratorium harus membuat
daftar tes, nilai kritisnya, dan prosedur yang menjelaskan alur komunikasi.
Indikator kinerja untuk pelaporan nilai kritis harus mencakup waktu antara hasil
dikeluarkan, alur komunikasi efektif mengenai informasi nilai kritis, dan
persentase komunikasi yang berhasil.
Tidak ada standarisasi parameter tes laboratorium yang perlu memiliki
nilai kritis yang ditetapkan. Pembaruan daftar tes dan rentang nilai kritis yang
sering dilakukan berdasarkan tinjauan literatur dan pertukaran pengalaman di
antara laboratorium klinik untuk memastikan proses perbaikan berkelanjutan
untuk prosedur pelaporan nilai kritis dan keselamatan pasien.

Kata kunci : laboratorim klinik, keselamatan pasien, manajemen nilai kritis


PELAPORAN HASIL DIAGNOSTIK LABORATORIUM YANG KRITIS
(CRITICAL VALUE)
Joko Widodo
( Kolegium Teknologi Laboratorium Medik, Laboratorium Klinik Prodia)

PENDAHULUAN

Laboratorium klinik memegang peranan penting dalam menunjang


diagnosa dalam medis dan pengelolaan penyakit sehingga klinisi dapat
mengambil tindakan yang tepat. Salah satu fungsi laboratorium klinis yang paling
penting adalah komunikasi yang jelas, akurat, dan cepat dari nilai kritis bagi
penyedia perawatan pasien (1)
Sebagian besar hasil tes laboratorium memiliki implikasi diagnostik dan
terapeutik yang tidak memerlukan tindakan segera. Namun, hasil laboratorium
terkadang berada jauh diluar nilai rujukannya dan mungkin mengindikasikan
situasi yang berpotensi fatal terhadap pasien.(2) Hal inilah yang disebut dengan
nilai kritis.
Istilah "nilai laboratorium kritis", yang juga dikenal sebagai nilai kritis, nilai
panik, atau nilai peringatan, didefinisikan oleh George D. Lundberg pada tahun
1972 sebagai akibat yang mewakili keadaan patofisiologis yang berbeda dari
normal, yang memiliki risiko terhadap kehidupan pasien kecuali jika segera
diambil tindakan.(3)
Sebuah studi yang melibatkan 623 institusi kesehatan mengungkapkan
bahwa 95% dokter menganggap komunikasi hasil kritis berguna dalam
pengelolaan pasien, dan 75% mendokumentasikan nilai-nilai dalam rekam
medis. Dua pertiga hasil kritis menyebabkan beberapa perubahan dalam
pendekatan terapeutik.(4)
Pelaporan nilai kritis diwajibkan oleh beberapa undang-undang, peraturan
dan program akreditasi misalnya Organization for Standardization(ISO) 15189 of
2007, The Joint Commission(TJC) at the National Patient Safety Goals (NPSG)
02.03.01, the College of American Pathologists(CAP) GEN.41320, GEN.41330,
and GEN.41340.(5,6,7) Di Indonesia salah satunya diatur dalam Permenkes
Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(8) Dan karena sejauh ini tidak ada daftar standar nilai kritis dalam literatur
medis, masing-masing institusi diharapkan menyusun daftar sendiri.
PROSES PENETAPAN KEBIJAKAN NILAI KRITIS

Bagaimana seharusnya laboratorium menetapkan tes mana yang harus


dimasukkan dalam daftar nilai kritis? Terlebih lagi, bagaimana nilai batas kritis
dan rendah yang penting harus ditetapkan? Penentuan ini adalah tanggung
jawab pimpinan laboratorium, hal itu harus dilakukan komunikasi dan koordinasi
dengan dokter yang menggunakan layanan laboratorium, dan juga dengan
dewan peninjau medis dari institusi tersebut.
Perumusan daftar ujian dan nilai kritis masing-masing harus
dikoordinasikan oleh pimpinan atau orang yang bertanggung jawab atas
laboratorium, berdasarkan jenis pasien yang dilihat oleh layanan tersebut,
penyakit yang paling umum dan patofisiologinya, berdasarkan konsensus di
antara Tim Klinis pada institusi kesehatan tersebut.(9)
Hal penting untuk diingat dalam penetapan daftar nilai kritis adalah
penetapan batas nilai kritis. Batasan yang sangat luas atau nilai kritis yang tidak
tepat mengenai nilai batas menyebabkan pemberitahuan yang berlebihan dapat
mengakibatkan kelebihan informasi dan pekerjaan yang tidak perlu oleh staf
laboratorium. Pada akhirnya, daftar nilai dengan ambang terlalu tinggi atau
terlalu rendah mungkin tidak merubah outcome klinis yang membahayakan dan
penundaan pengambilan keputusan terhadap pasien. Hal ini dapat dihindari
dengan melakukan revisi dan updating berkala dari daftar nilai kritis.(9)
Penting untuk memastikan untuk menentukan perbedaan nilai cut-off dan analit
yang dipilih oleh institusi laboratorium terkait dengan karakteristik pasien yang
diobati, tingkat risiko dan metode pemeriksaan yang dikerjakan di laboratorium.
Untuk pembuatan daftar nilai kritis, penting juga untuk merujuk pada
review artikel, daftar yang diterbitkan sebelumnya, atau daftar yang tersedia di
internet dari beberapa referensi layanan kesehatan misalnya Mayo Clinic (http://
www.mayomedicallaboratories.com) dan Mount Sinai Hospital(http://
icahn.mssm.edu/)(10,11)
PROSEDUR PELAPORAN NILAI KRITIS

Setelah menetapkan daftar nilai kritis, perlu untuk menggambarkan


prosedur pelaporan kritis. Saat ini prosedurnya tidak terstandarisasi dengan baik,
dengan variabilitas yang besar antar institusi laboratorium.(12)
Langkah pertama adalah mengidentifikasi nilai kritis oleh analis
laboratorium, baik dari sinyal peringatan yang sudah diprogramkan dalam
intrumen laboratorium atau dari sistem informasi laboratorium itu sendiri. Dalam
prosedur tertulis, harus ditunjukkan dengan jelas apakah akan ada pengulangan
atau beberapa jenis verifikasi hasil sebelum melaporkan, termasuk tindakan
yang harus dilakukan dalam tes manual yang tidak dapat diulang, seperti,
misalnya tes kultur mikrobiologi.(1)
Langkah berikutnya adalah pelaporan nilai kritis, yang mungkin dilakukan
melalui telepon atau sistem peringatan komputer. Adanya kontroversi mengenai
bagaimana metode pelaporan nilai kritis yang terbaik. Di beberapa institusi
laboratorium, model standar untuk pemberitahuan nilai kritis mencakup proses
kontak manual, baik melalui telepon atau informasi langsung kepada dokter yang
merawat pasien. Hal Ini adalah tugas yang memakan waktu, yang menunda
kegiatan laboratorium lainnya, selain mengakibatkan panjangnya prosedur
pelaporan nilai kritis, dan meningkatkan probabilitas kesalahan dan penundaan
dalam proses informasi nilai kritis.(13) Penggunaan sistem peringatan komputer
untuk menghindari potensi terjadinya kesalahan komunikasi, meningkatkan
tingkat keberhasilan dan mempersingkat waktu pelaporan nilai kritis.(14)
Hal penting adalah menentukan siapa yang akan bertanggung jawab
melaporkan nilai kritis. Idealnya adalah pemberitahuan itu dilakukan oleh ahli
patologi klinis, karena akan ada kesempatan yang lebih rasional untuk
menganalisa dan mendiskusikan kasus tersebut.(1) Meskipun ditetapkan bahwa
nilai kritis harus dilaporkan kepada seorang profesional yang mampu bertindak
sesuai dengan informasi yang diterima, kurangnya konsensus umum alur
penanganan nilai kritis yang mendapat informasi langsung (dokter, perawat)
menyebabkan variasi yang signifikan dalam prosedur pelaporan nilai kritis pada
beragam institusi laboratorium.(15)
Penerapan sistem pelaporan nilai kritis yang efektif secara bersamaan
merupakan proses yang komplek. Alur umum proses penanganan nilai kritis
dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Alur Umum Dalam Pelaporan Nilai Kritis (13)

Serangkaian keputusan dan proses yang saling bersinergi harus


dipertimbangkan: Apa itu nilai kritis? Seberapa cepat hasil yang diverifikasi perlu
dilaporkan? Siapa yang bertanggung jawab untuk memulai notifikasi dan
kompetensi dan pengetahuan apa yang mereka butuhkan? Saluran komunikasi
apa yang akan digunakan (mis., Panggilan telepon, pesan teks SMS, electronic
health record [EHR] alert, pager) untuk memastikan laporan yang akurat
diarahkan ke orang yang tepat? Bagaimana verifikasi "baca kembali"
didokumentasikan dengan media spesifik yang dipilih? Apa rantai tanggung
jawab dalam menerima peringatan (dokter yang hadir, dokter yang bertanggung
jawab atau dokter yang merespon)? Berapa waktu respon yang ditentukan
sebelum eskalasi diputuskan dan jika eskalasi telah diputuskan, bentuk
dokumentasi apa yang harus dilakukan? Bagaimana keterkaitan ini ditujukan
untuk peringatan internal laboratorium dan keseluruhan instansi?(13)
PENGULANGAN PEMERIKSAAN PADA NILAI KRITIS

Ada beberapa literatur tentang pengulangan pemeriksaan yang masuk


nilai kritis untuk setiap analit atau pada pasien yang sama. Penelitian yang
dilakukan Howanitz (2006,2007) menerangkan bahwa analit seperti Natrium dan
Kalsium dapat diulang lebih dari satu kali pada pasien yang sama,
meskipun,tidak ada konsensus pengulangan tes laboratorium terhadap
pengulangan nilai kritis analit tersebut.(16,17)
Yang dkk (2013) melaporkan distribusi pengulangan nilai kritis, dan
hubungan antara frekuensi nilai kritis dengan outcome pasien memberikan
informasi kepada rumah sakit mengenai perbaikan kebijakan pengulangan
pemeriksaan pada nilai kritis. Mereka memverifikasi analit yang dinilai rentan
terhadap pengulangan, rata-rata setiap pasien memiliki dua pengulangan hasil,
dengan interval waktu rata-rata 8 jam. Pasien-pasien dengan pengulangan
pemeriksaan kalium dan trombosit menunjukkan periode rawat inap yang lebih
lama dan outcome yang lebih buruk.(18)
Menurut standar ISO 15189: 2007 dan program akreditasi College of
American Pathologists (CAP 41330), nilai kritis yang dilaporkan harus
didokumentasikan, dengan tanggal, jam, TLM, pemberitahuan dan hasil yang
dilaporkan. Setiap akhir bulan harus melaporkan semua nilai kritis yang terjadi
dan tindakan perbaikan untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat
kinerja komunikasi hasil kritis.(5,7)
Persyaratan penting lainnya, menurut Joint Commission on Accreditation
of Healthcare Organizations yaitu bagi penerima informasi nilai kritis harus
membaca kembali hasil tesnya, yaitu mengkonfirmasi hasil yang telah diterima
dan menginformasikan identitias pasien.(12)
Pada Permenkes no 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan
Pasien Rumah Sakit, harus terdapat komunikasi efektif, yang tepat waktu,
akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan,
dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat
berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.(8)

Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/
atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau
memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh
penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read
back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang
sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur
pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan
pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkin.(8)

PENILAIAN PELAPORAN NILAI KRITIS

Laboratorium bertanggung jawab untuk mendeteksi nilai kritis yang


mengancam jiwa pasien, melaporkannya ke penyedia layanan kesehatan, serta
memantau dan memperbaiki waktu pelaporan nilai-nilai kritis.(19) Indikator
keberhasilan pelaporan nilai kritis (fase post-analitik) adalah jumlah dan waktu
respon, yang didefinisikan sebagai total waktu yang diperlukan antara saat
laboratorium mengidentifikasi hasil pengujian dengan nilai kritis, menghubungi
dokter yang merawat atau tim yang bertanggung jawab untuk mengambil
tindakan yang tepat.(20)
Setiap laboratorium harus menentukan waktu pelaporannya sendiri,
karena adanya variasi baik di antara institusi maupun dalam literatur. Penelitian
CAP Q-Track Studi terhadap 180 institusi yang dilakukan pada tahun 2007,
memperoleh waktu rata-rata pelaporan nilai kritis sekitar 6,1 menit untuk pasien
rawat inap dan 13,7 menit untuk pasien rawat jalan.(12) Penelitian lain yang
dilakukan CAP tahun 2008 terhadap 121 institusi, memperoleh waktu rata-rata 4
menit untuk melaporkan nilai kritis dan 96% diantaranya termasuk pembacaan
kembali(read back).(21) Menurut CAP, pelaporan nilai kritis dalam 15-30 menit
setelah pengujian akan menjadi target yang realistis untuk pasien rawat inap.(12)
Untuk mengurangi tingkat ketidakberhasilan pelaporan nilai kritis, penting
untuk memastikan pengendalian waktu pelaporan, prosedur yang lebih cepat,
menghindari kesalahan komunikasi (tidak adanya pembacaan kembali), dan
mengurangi hambatan pelaporan dan kesulitan dalam menemukan atau
menghubungi klinisi yang bertanggung jawab.(12)
KESIMPULAN
Penetapan kebijakan pelaporan nilai kritis yang efektif menjadi dasar
untuk perawatan dan keselamatan pasien. Melalui komunikasi yang efektif mulai
tingkat laboratorium sampai klinisi yang bertanggungjawab menangani pasien
dengan indikator keberhasilan adalah jumlah dan waktu respon mulai
teridentifikasinya nilai kritis sampai informasi kepada dokter yang merawat atau
tim yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan untuk pasien.
Dengan berkembangnya metode pelaporan berbasis komputerisasi,
prosedur komunikasi baru akan muncul dan waktu pelaporan nilai kritis akan
menjadi lebih cepat dan akurat. Untuk saat ini diperlukan standarisasi prosedur
pelaporan nilai kritis untuk meminimalisasi perbedaan antara laboratorium klinik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Genzen JR, Tormey CA. Pathology Consultation on Reporting of Critical
Values. Am J Clin Pathol. 2011 Apr.1;135(4):505–13.
2. Lippi G, Giavarina D, Montagnana M, Luca Salvagno G, Cappelletti P, Plebani
M, et al. National survey on critical values reporting in a cohort of Italian
laboratories. Clinical Chemical Laboratory Medicine. 45(10).
3. Lundberg GD. When to panic over abnormal values. MLO Med Lab Obs
1972;4:47–54
4. Howanitz PJ, Steindel SJ, Heard NV. Laboratory critical values policies and
procedures: a College of American Pathologists Q-Probes Study in 623
institutions. Arch Pathol Lab Med. 2002; 126: 663-9
5. International Organization for Standardization. ISO 15189:2007: medical
laboratories: particular requirements for quality and competence [items 5.5.3;
5.8.7, and 5.8.8] [Internet]. Available at: www.iso.org
6. The Joint Commission Accreditation Program. Laboratory, national patient
safety goals (NPSG.02.03.01) [Internet]. Available at: http://www.
jointcommission.org/
7. College of American Pathologists. Laboratory general checklist [components
GEN.41320, GEN.41330, and GEN.41340] [Internet]. Available at:
www.cap.org
8. Permenkes Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
9. Doering TA, Plapp F, Crawford JM. Establishing an Evidence Base for Critical
Laboratory Value Thresholds. Am J Clin Pathol. 2014 Oct.15;142(5):617–28.
10. Mayo Foundation for Medical Education and Research. DLMP critical values/
c r i t i c a l r e s u l t s l i s t [ I n t e r n e t ] . Av a i l a b l e a t : h t t p : / / w w w.
mayomedicallaboratories.com/articles/criticalvalues/view.php?name=Critical
+Values%2FCritical+Results+List.
11.Icahn School of Medicine at Mount Sinai. Critical value notification list
[Internet]. Available at: http://icahn.mssm.edu/static_files/ MSSM/Files/
Research/Labs/Clinical%20Pathology%20Laboratory/ CriticalValuesTable.pdf
12. Wagar EA, Stankovic AK, Wilkinson DS, Walsh M, Souers RJ. Assessment
monitoring of laboratory critical values: a College of American Pathologists Q-
Tracks Study of 180 institutions. Arch Pathol Lab Med. 2007; 131: 44-9
13. Liebow EB, Derzon JH, Fontanesi J, Favoretto AM, Baetz RA, Shaw C, et al.
Effectiveness of automated notification and customer service call centers for
timely and accurate reporting of critical values: A laboratory medicine best
practices systematic review and meta-analysis. Clinical Biochemistry. 2012
Sep.;45(13-14):979–87.
14. Piva E, Plebani M. Interpretative reports and critical values. Clin Chim Acta.
2009; 404: 52-8
15. McPherson RA, Pincus MR. Postanalysis: medical decision making. In:
Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods. Elsevier
Saunders. 2011; 7: 81-90
16. Howanitz JH, Howanitz PJ. Evaluation of total serum calcium critical values.
Arch Pathol Lab Med. 2006; 130: 828-30
17. Howanitz JH, Howanitz PJ. Evaluation of Serum and Whole Blood Sodium
Critical Values. Am J Clin Pathol. 2007 Jan.1;127(1):56–9.
18. Yang D, Zhou Y, Yang C. Analysis of Laboratory Repeat Critical Values at a
Large Tertiary Teaching Hospital in China. Willson RC, editor. PLoS ONE. 2013
Mar.14;8(3):e59518.
19. Piva E, Sciacovelli L, Zaninotto M, Laposata M, Plebani M. Evaluation of
Effectiveness of a Computerized Notification System for Reporting Critical
Values. Am J Clin Pathol. 2009 Mar.1;131(3):432–41.
20.Plebani M, Sciacovelli L, Marinova M, Marcuccitti J, Chiozza ML. Quality
indicators in laboratory medicine: A fundamental tool for quality and patient
safety. Clinical Biochemistry. 2013Sep.;46(13-14):1170–4.
21.Valenstein PN, Wagar EA, Stankovic AK, Walsh MK, Schneider F. Notification
of critical results: a College of American Pathologists Q-Probes Study of 121
institutions. Arch Pathol Lab Med. 2008; 132: 1862-7

Anda mungkin juga menyukai