Anda di halaman 1dari 23

TUTOR KIMIA KLINIK PUTARAN I

DELTA CHECK

CHECK

Oleh

Evelyn Diantika Maranantan, dr.

Pembimbing

dr. Ferdy Royland Marpaung Sp.PK (K)

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RUMAH SAKIT UMUM DR SOETOMO SURABAYA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan laboratorium merupakan suatu upaya yang dilakukan klinisi


untuk memperoleh informasi tentang perubahan keadaan pasien. Biasanya hasil
pemeriksaan laboratorium tersebut akan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
sebelumnya pada pasien yang sama(1)(2). Bila terdapat perubahan yang signifikan
antara dua hasil pemeriksaan pada parameter yang sama dalam interval waktu
tertentu, maka harus dapat dipastikan, apakah perubahan tersebut disebabkan oleh
perubahan keadaan pasien yang sesungguhnya atau karena faktor yang lain (3)(4). Bila
digali lebih lanjut, perubahan hasil uji laboratorium dapat disebabkan karena
variabilitas biologis, faktor patofisiologis, dan kesalahan (error). Kesalahan atau
error dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik dalam tahapan pre-analitik, analitik,
maupun paska-analitik

Metode Quality Control (QC) yang rutin dilakukan di laboratorium saat ini
mengedepankan pencegahan kesalahan pada fase analitik, padahal menurut data yang
ada sebagian besar kesalahan laboratorium terjadi pada fase pre-analitik, dan hampir
50% diantaranya terkait dengan koleksi spesimen dan kesalahan pelabelan (1).
Kesalahan laboratorium ini memberikan dampak yang buruk bagi pasien, terutama
berhubungan dengan penurunan kualitas pelayanan dan patien safety, serta
meningkatnya biaya layanan(1). Oleh sebab itu diperlukan suatu metode verifikasi
tambahan untuk meminimalisir potensi kesalahan pada hasil pemeriksaan
laboratorium.

Kesalahan pre-analitik yang paling sering terjadi adalah kesalahan identifikasi


pasien, namun sejalan dengan berkembangnya penggunaan label pasien dengan
barcode, kesalahan tersebut semakin berkurang. Kesalahan fase analitik umum
dijumpai karena permasalahan pada preparasi sampel, instrumen, dan reagen.
Kesalahan fase paska-analitik biasanya berhubungan dengan kesalahan transkripsi
hasil dan kesalahan faktor dilusi. Berbagai kesalahan tersebut tentunya membawa
dampak buruk baik bagi pasien maupun bagi penyelenggara layanan kesehatan.
Sebagai contoh hasil laboratorium yang tertukar karena kesalahan identifikasi pasien,
atau pengeluaran hasil yang tidak tepat karena kesalahan memindahkan hasil dari alat
ke LIS dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan yang keliru. Bila kemudian hal
ini diketahui sebelum hasil diterima oleh pasien, akan dibutuhkan waktu untuk
pengambilan sampel ulang, analisis ulang terhadap sampel, dimana kesemuanya ini
membutuhkan waktu yang lebih panjang dan ketidaknyamanan bagi pasien.
Sedangkan bagi penyelenggara layanan kesehatan hal ini dapat berakibat
memanjangnya length of stay pasien, penundaan tindakan, dan meningkatnya beban
kerja tenaga kesehatan(1)(5)(6).

Delta check merupakan suatu cara verifikasi pada fase paska-analitik yang
dapat digunakan untuk mendeteksi kesalahan dalam fase pre-analitik, analitik,
maupun paska-analitik, terutama pada fase pre-analitik. Delta check membandingkan
hasil pemeriksaan laboratorium saat ini dengan hasil sebelumnya pada pasien yang
sama, dan mendeteksi apakah perbedaan antara kedua hasil tersebut melebihi kriteria
yang telah ditentukan sebelumnya (predefine criteria)(5)(6). Bila selisih antara kedua
hasil test lebih rendah daripada kriteria yang ditentukan sebelumnya, maka hasil
dilaporkan secara otomatis. Bila selisih antara kedua hasil test lebih tinggi daripada
kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, hasil membutuhkan konfirmasi manual
oleh petugas sebelum dapat dikeluarkan(5)(3).

Ada empat metode penghitungan delta check yang umum digunakan yaitu
delta difference, delta persent change, rate difference, dan rate percent change.
Sedangkan predefine criteria ditentukan berdasarkan variabilitas biologis dan data
pasien(3). Sampai saat ini belum ada konsensus yang pasti mengenai metode delta
check mana yang paling baik digunakan untuk jenis analit tertentu. Oleh sebab itu
setiap laboratorium hendaknya menetapkan dengan bijaksana penggunaan metode
delta check ini sesuai dengan kebutuhan(5). Penggunaan metode delta check yang
berlebihan akan menguras sumberdaya baik uang, tenaga maupun waktu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Delta Check

Delta check, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 oleh Lindberg.
Kemudian pada tahun 1974 Nosanchuk dan Gottman memperkenalkan suatu
desain sistem operasi yang secara efektif mampu mengenali kesalahan
laboratorium yang berasal dari berbagai fase(1)(2)(4). Setiap tahap proses
pemeriksaan ini dilakukan secara manual pada awal penggunaan delta check.
Selanjutnya, pada tahun 1975 Ladenson mengembangkan suatu sistem quality
control berbasis komputer yang menempatkan pasien sebagai kontrol untuk
mendeteksi kesalahan laboratorium yang kemudian disebut sebagai delta check
system yang kita kenal saat ini(1)(2).

Delta check didefinisikan sebagai alat bantu quality control berbasis


pasien yang mendeteksi kesalahan dengan membandingkan hasil laboratorium
saat ini dengan hasil sebelumnya pada satu pasien(5). Bila perbedaan antara kedua
hasil dibawah kriteria yang telah ditentukan (predefine criteria), maka hasil akan
dikeluarkan secara otomatis, namun bila perbedaan antara kedua hasil tersebut
melebihi predefine criteria, diperlukan konfirmasi oleh petugas laboratorium
sebelum hasil tersebut dapat dikeluarkan (5)(3).Faktor yang dikonfirmasi meliputi
specimen mix-up, data QC alat, kualitas spesimen, volume spesimen, integritas
spesimen, dan review data rekam medis pasien. Awal penggunaan delta check
sangat bermanfaat untuk mendeteksi specimen mix-up error seperti kesalahan
identifikasi spesimen dan pelabelan. Seiring dengan kemajuan teknologi yang
berhasil meminimalkan kesalahan tersebut, saat ini delta check lebih bermanfaat
untuk mengenali perubahan pada kondisi klinis pasien(3).

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai metode delta check mana
yang terbaik untuk tiap analit dan batasan mana yang digunakan. Setiap
laboratorium memiliki aturan delta check yang berbeda sesuai kebutuhan masing-
masing(3).
B. Metode Delta Check

Secara umum terdapat 4 metode perhitungan delta check yang lazim


digunakan, yaitu(1):

a) Absolute Delta Difference

Absolute Delta difference didefinisikan sebagai perbedaan absolut antara


hasil tes saat ini dengan hasil tes sebelumnya.

b) Delta Percent Change

Delta percent change didefinisikan sebagai persentase dari perbedaan antara


hasil tes saat ini dengan hasil tes sebelumnya, dibagi hasil tes sebelumnya.

c) Rate Difference

Rate difference didefinisikan sebagai delta difference dibagi interval waktu


antara pemeriksaan saat ini dengan pemeriksaan sebelumnya.

d) Rate Percent Change

Rate percent change didefinisikan sebagai delta percent change dibagi


interval waktu antara pemeriksaan saat ini dengan pemeriksaan sebelumnya.

Gambar 1. Rumus Perhitungan Delta Check(1)

C. Batasan Delta Check


Setelah melakukan perhitungan delta check, langkah selanjutnya adalah
menentukan apakah perbedaan tersebut melebihi batasan yang telah ditentukan
sebelumnya (predefine criteria) atau tidak(5)(3). Ada tiga strategi untuk
menentukan batasan delta check. Cara yang pertama adalah menetapkan batasan
delta check secara empiris berdasarkan pengalaman ahli dalam bidang
laboratorium ataupun dengan konsultasi bersama klinisi, atau berdasarkan
literatur(1). Strategi lain adalah berdasarkan persentil dari data pasien yang ada.
Dan yang ketiga berdasarkan Reference Change Value. Reference Change Value
(RCV) didefinisikan sebagai perbedaan minimum pengukuran dari nilai referensi
yang dianggap dapat dibedakan dari uncertainty pengukuran, variasi biologis dan
impresisi analitik. RCV dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut(1)(3).

% RCV =√ 2 x Z x √ CVa +CVi


2 2

Keterangan:

Z untuk 2 tailed analyses:

 CI 95% = 1,96

 CI 99% = 2,58

CVa = variabilitas analitik

CVi = Variabilitas Intraindividual

Gambar 2. Rumus Perhitungan RCV(1)

D. Matrik Kinerja Delta Check

Sampai saat ini, tidak ada konsensus yang mengatur mengenai metode
perhitungan delta check mana yang terbaik untuk analit tertentu dan cut-off mana
yang sebaiknya digunakan untuk setiap metode perhitungan. Setiap institusi
memiliki aturan delta check yang berbeda(5,6). Batasan delta check harus
ditetapkan secara bijak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap institusi.
Bila batasan delta check ditetapkan terlalu rendah dibandingkan variasi biologis
dan variasi analitik maka jumlah tes yang melebihi batasan delta check akan
meningkat dan mengakibatkan angka positif palsu yang tinggi. Sebaliknya bila
batasan delta check ditetapkan terlalu tinggi maka akan mengakibatkan angka
negatif palsu yang tinggi. Oleh sebab itu sebelum menetapkan batasan delta
check harus dipahami beberapa Matrix Kinerja dalam pemeriksaan delta check(6).

a) Kasus Positif (True Positive/TP)

Kasus positif didefinisikan sebagai terlampauinya batasan delta check karena


adanya kesalahan laboratorium.

b) Positif Palsu (False Positive/FP)

Positif Palsu didefinisikan sebagai terlampauinya batasan delta check tanpa


adanya kesalahan laboratorium.

c) Kasus Negatif (True Nagative/TN)

Kasus negatif didefinisikan sebagai tidak terlampauinya batasan delta check


dan tidak terdapat kesalahan laboratorium.

d) Negatif Palsu (False Negative/FN)

Negatif palsu didefinisikan sebagai tidak terlampauinya batasan delta check


pada kondisi adanya kesalahan laboratorium.

e) Sensitifitas Klinis (True Positive Rate)

Sensitifitas klinis dihitung dengan rumus:

TP
(TP+ FN )

f) Spesifisitas Klinis (True Negative Rate)

Spesifisitas Klinis dihitung dengan rumus:

TN
(TN + FP)

g) Akurasi Klinis

Akurasi Klinis dihitung dengan rumus:

(TP+TN )
(TP+TN + FP + FN )
E. Tujuan Penggunaan Delta Check

Tujuan penggunaan delta check adalah(1,6):

a) Untuk mengetahui kesalahan yang berkaitan dengan pengumpulan dan


identifikasi spesimen, baik dalam tahap pre-analitik, analitik, maupun paska-
analitik yang tidak dapat diidentifikasi dengan metode quality control (QC)
yang ada.

Contoh:

1. Kesalahan fase pre-analitik: kesalahan identifikasi spesimen


(pelabelan spesimen); kesalahan yang berhubungan dengan integritas
spesimen, misalnya kontaminasi spesimen oleh cairan infus, adanya
interference berupa hemolitik, ikterik, lipemia (HIL), penggunaan
antikoagulan yang tidak sesuai.

2. Kesalahan fase analitik: kesalahan preparasi sampel, instrumen dan


reagen; malfungsi probe; adanya klot/fibrin.

3. Kesalahan fase paska-analitik: kesalahan transkripsi; kesalahan


perhitungan faktor dilusi.

b) Untuk membantu klinisi mengidentifikasi suatu penyakit dan mengenali


secara dini perubahan yang signifikan pada kondisi klinis pasien.

F. Aplikasi Delta Check

Langkah-langkah penerapan delta check adalah sebagai berikut(1,3,5,7):

a) Menetapkan analit yang digunakan sebagai indikator delta check.

b) Menetapkan metode yang digunakan untuk menetapkan batasan yang


digunakan (predefine criteria)

c) Menetapkan metode penghitungan delta check yang digunakan untuk tiap


analit.

d) Menetapkan penggolongan kelompok delta check berdasarkan asal populasi


(rawat jalan, rawat inap, tindakan khusus).

e) Menetapkan batasan interval waktu antar-spesimen.


f) Melakukan perhitungan dan evaluasi delta check.

Berikut akan dijelaskan secara lebih mendetail tentang setiap


tahapannya.

a) Menetapkan analit yang digunakan sebagai indikator delta check.

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai penentuan jenis dan
jumlah analit mana direkomendasikan dalam aplikasi delta check. Scifman,
dalam suatu Q-probe study yang dilakukan pada tahun 2014 dengan
melibatkan 49 Fasilitas pelayanan kesehatan, mendapatkan data rentang
jumlah analit yang direkomendasikan sebanyak 6-32 analit, dengan nilai
median 15 analit(8). Analit yang dipilih adalah analit yang frekensi
pemeriksaannya tinggi dan memiliki variabilitas intra-individual yang
rendah. Indeks individualitas dirumuskan sebagai berikut(1):

¿
√CVi2 +CVa2
CVg

Keterangan:
CVi : Variabilitas intraindividual
CVg : Variabilitas interindividual
CVi dan CVg diperoleh dari database (contoh: Westgard Biological
Variation Database
CVa : Variabilitas analitik = impresisi analitik
CVa didapatkan dari data QC dengan Rumus :

SD
CVa= x 100 %
Mean

Gambar 3. Index Individualitas

Analit dengan indeks individualitas rendah (<0,6) dikatakan memiliki


performa yang lebih baik dalam mendeteksi perbedaan antar individual,
sehingga lebih efektif digunakan untuk mengenali kesalahan identifikasi
spesimen. Contoh analit yang memiliki indeks individualitas rendah adalah
ALP, MCV, MCH, Protrombin Time dan Kreatinin(1,7).
Analit yang paling sering digunakan dalam skema delta check adalah
MCV, hemoglobin, trombosit, natrium, kalsium, kalium, kreatinin, urea,
albumin, dan protein. Analit dengan variabilitas intra-individual yang tinggi
seperti glukosa dan kolesterol jarang digunakan karena akan memberikan
angka false positif yang tinggi(1,7). Dari beberapa studi dikatakan MCV
adalah analit dalam pemeriksaan hematologi yang memiliki Nilai Ramal
Positif yang tertinggi, sedangkan kreatinin dan urea adalah analit
pemeriksaan kimia klinik yang terbaik. Jumlah dan jenis analit yang
digunakan dalam skema delta check dapat disesuaikan dengan karakteristik
laboratorium. Kombinasi beberapa analit memiliki kemampuan deteksi
kesalahan yang lebih tinggi daripada analit tunggal dalam mengenali
kesalahan laboratorium(1).

b) Menetapkan metode yang digunakan untuk menetapkan batasan yang


digunakan (predifine criteria)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya ada tiga strategi untuk


menetapkan batasan delta check, yakni berdasarkan pengalaman empiris dari
ahli laboratorium dan klinisi atau dari literatur, dengan menggunakan
persentil data pasien pada populasi tertentu, dan berdasarkan Reference
Change Value(1). Batasan delta check ditentukan sesuai kebutuhan
laboratorium dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup untuk
mengenali kesalahan yang terjadi, tanpa menimbulkan positif palsu yang
berlebihan.

Penetapan batasan delta check berdasarkan data pasien, maka


diasumsikan bahwa data memiliki persebaran distribusi frekuensi yang
normal, kemudian ditentukan batasan berdasakan persentil dari data tersebut,
dan diasumsikan data diluar distribusi normal merupakan hasil dari
kesalahan, perubahan patofisiologis, atau akibat dari intervensi klinis(1).

Kelebihan dari strategi penetapan batasan delta check dengan


perhitungan RCV dibanding dengan dua strategi sebelumnya adalah peranan
variabilitas biologis intra individual pada perhitungan RCV. Ada beberapa
pendekatan dalam menghitung RCV, namun disini hanya akan dijelaskan
cara yang paling sederhana dalam menghitung RCV dengan rumus seperti
yang telah dijelaskan diatas(3). Secara umum perhitungan RCV harus
mempertimbangkan impresisi analitik dan variabilitas intraindividual.
Sebagai baseline, dapat digunakan data quality control internal selama satu
tahun dengan lot yang sama untuk menghitung uncertainty dan impresisi
analitik (CVa), sedangkan variabilitas intra individual (CVi) diperoleh dari
database yang ada, misalnya dari Westgard Biological Variation database(3).

Berikut contoh perhitungan CVa, RCV, dan Indeks individualitas


pada pemeriksaan kimia klinik yang diambil dari alat Alinity selama periode
8 November 2022 sampai dengan 8 Februari 2023.

Tabel 1. Perhitungan CVa di alat Alinity

Table 2. Perhitungan RCV dan Index Individualitas di alat Alinity


c) Menetapkan metode penghitungan delta check yang digunakan untuk tiap
analit

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai metode delta check
yang direkomendasikan untuk tiap analit. Cara penghitungan delta check
yang paling banyak digunakan adalah absolute delta difference dan delta
percent change. Perhitungan dengan metode absolute delta difference cocok
diterapkan pada analit yang memiliki rentang homeostatik yang sempit baik
interindividual maupun intraindividual, contohnya natrium, klorida, kalium
dan kalsium. Sedangkan untuk analit dengan rentang yang lebih lebar
biasanya metode delta percent change atau rate percent change lebih
disukai(1).

Beberapa literatur menyebutkan kriteria pengambilan keputusan


untuk pemilihan metode delta check. Kriteria pengambilan keputusan yang
umum dipakai adalah berdasarkan CV % dari Absolute Delta Difference
(ADD). Sedangkan kriteria yang baru menggunakan pendekatan rasio Delta
Difference terhadap Reference Range (DD/RR)(5).

Park dalam studinya di tahun 2012 membandingkan kedua kriteria


diatas untuk menentukan metode delta check yang paling tepat untuk setiap
analit(5). Berdasarkan median CV% dari ADD dan median korelasi koefisien
Pearson antara ADD dan interval waktu antar test berpasangan, untuk kasus
rawat inap, metode absolute delta difference dapat digunakan pada analit
kalsium, posfat, natrium, kalium, klorida, magnesium dan protein (albumin).
Metode delta percent change dapat digunakan untuk analit glukosa,
kreatinin, total bilirubin, amilase, lipase, dan kreatinin kinase. Metode rate
difference digunakan pada analit asam urat, bilirubin direct, total CO 2, serum
iron, TIBC, dan kolesterol LDL. Metode Rate Percent change digunakan
pada analit kolesterol, AST,ALT, ALP, BUN, trigliserida, dan kolesterol-
HDL(5) (Tabel 3). Sedangkan pada kriteria pasien rawat jalan metode
absoulte delta difference diterapkan pada analit elektrolit seperti kalsium,
natrium, kalium, klorida dan magnesium. Metode delta percent change
diterapkan pada analit glukosa, kreatinin, AST, ALT, total bilirubin, amilase,
lipase, dan kreatinin kinase. Metode rate difference diterapkan pada analit
asam urat, kolesterol, protein, albumin, phosphat, total CO2, serum iron,
TIBC, dan HDL kolesterol. Metode rate percent change diterapkan pada
analit ALP, BUN, bilirubin direct, trigliserida, dan kolesterol LDL (Tabel 4)
.
(5)

Table 3. Metode Delta Check untuk pasien rawat inap berdasarkan CV% of ADD
Table 4. Metode Delta Check untuk pasien rawat jalan berdasarkan CV% of ADD
Sedangkan pada kriteria pengambilan keputusan pemilihan metode
delta check berdasarkan ratio DD/RR untuk pasien rawat jalan dan rawat
inap dihitung nilai potong dari rasio DD/RR. Nilai ini digunakan untuk
membedakan metode absolute delta difference dari metode delta percent
change. Sedangkan nilai median dari koefisien korelasi Pearson antara
ADD dan interval waktu antar test berpasangan digunakan untuk
membedakan metode delta dengan metode rate. Secara lebih detail, metode
delta check berdasarkan rasio DD/RR dapat dilihat pada Tabel 5(5).
d) Menetapkan penggolongan kelompok delta check berdasarkan asal populasi
(rawat jalan, rawat inap, tindakan khusus)

Efektifitas delta check dalam mendeteksi kesalahan dapat


ditingkatkan dengan mengontrol faktor lain yang berkontribusi terhadap
variabilitas dari suatu analit, contohnya: umur, jenis kelamin, pasien rawat
jalan atau rawat inap, unit perawatan atau tindakan tertentu seperti
hemodialisis, TACE, dll. Sebagai contoh bila batasan delta check untuk
analit kreatinin pada pasien hemodialisa dan pasien rawat jalan ditentukan
dengan nilai yang sama, maka akan menimbulkan false positif yang tinggi
dan menambah beban kerja dari petugas laboratorium, sehingga efektifitas
delta check menjadi rendah. Namun bila batasan delta check tersebut
dibedakan sesuai dengan penggolongan populasi pasien, maka aplikasi delta
check menjadi lebih efektif(1).

Tabel 6. Batasan Delta Check berdasarkan karakteristik pasien


Karakteristik Pasien Keterangan
Umur anak, dewasa, lansia
Jenis kelamin pria, wanita
Lokasi/Status Pasien rawat jalan, rawat inap, IGD
Tindakan tranfusi, hemodialisa, dll

e) Menetapkan batasan interval waktu antar-spesimen

CLSI EP 33 tidak menyebutkan batasan interval waktu yang pasti


dalam perhitungan delta check. Beberapa literatur seperti Park et al 2012
merekomendasikan median interval 1-2 hari untuk pemeriksaan rutin kimia
klinis. Sampson et al, 2007 merekomendasikan interval waktu 2-5 hari
berdasarkan skoring pada analit. Scifman et al, 2017 melaporkan interval 3-
7 hari untuk pemeriksaan kimia klinis dan hematologi. Namun demikian
interval lebih dari 7 hari tidak umum dijumpai(1,6).

f) Perhitungan dan evaluasi delta check

Metode delta check yang digunakan harus disesuaikan dengan


karakteristik masing-masing laboratorium. Sensitifitas dan spesifisitas delta
check yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan secara seimbang
dan bijaksana(1,5,6). Penentuan sensitivitas yang terlalu tinggi akan
meningkatkan nilai positif palsu sehingga meningkatkan beban kerja
laboratorium, memperpanjang waktu keluarnya hasil pemeriksaan
laboratorium, mengurangi kenyamanan pasien dengan adanya pengambilan
ulang sampel, dan meningkatkan biaya laboratorium. Disisi lain penentuan
spesifisitas yang tinggi, dengan sensitifitas yang rendah juga akan
berdampak pada kegagalan mengenali kesalahan yang terjadi(5,6).

G. Workflow dalam Investigasi Peringatan Delta Check

Bila batasan delta check terlampaui, maka sistem peringatan delta check
akan diaktifkan. Saat ini klinisi laboratorium bertugas mengevaluasi secara
menyeluruh apakah kesalahan yang terjadi tersebut merupakan kesalahan
identifikasi spesimen, gangguan integritas spesimen atau murni terjadi karena
perubahan kondisi klinis pasien. Berikut digambarkan alur workflow dalam
investigasi Peringatan delta check pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Workflow Dalam Investigasi Peringatan Delta Check1
Bila terdapat peringatan delta check, banyak aspek yang harus dianalisi mulai dari
spesimen, LIS, Rekam medis pasien, data QC alat, bahkan bila diperlukan dapat
dilakukan diskusi dengan klinisi yang terkait untuk mendapatkan penjelasan yang masuk
akal. Tabel 6 menjelaskan apa saja yang harus diinvestigasi bila terjadi peringatan delta
check.

Tabel 6. Investigasi dan Respon Terhadap Peringatan Delta Check(1)


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Terdapat empat metode delta check yakni absolute delta difference, delta
percent change, rate difference dan rate percent change.

2) Penetapan analit yang digunakan sebagai indkator delta check, batasan delta
check (predifine creiteria), interval waktu antar-spesimen, dan metode
pemeriksaan delta check dilakukan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik
setiap laboratorium.

3) Belum ada konsensus yang jelas mengenai aplikasi metode delta check.

4) Setiap peringatan delta check, harus diinvestigasi secara menyeluruh apakah


kesalahan yang terjadi tersebut merupakan kesalahan identifikasi spesimen,
gangguan integritas spesimen atau murni terjadi karena perubahan kondisi
klinis pasien.

5) Sensitifitas dan spesifisitas delta check yang digunakan harus disesuaikan


dengan kebutuhan secara seimbang dan bijaksana.

6) Penentuan sensitivitas yang terlalu tinggi akan meningkatkan nilai positif


palsu sehingga meningkatkan beban kerja laboratorium, memperpanjang
waktu keluarnya hasil pemeriksaan laboratorium, mengurangi kenyamanan
pasien dengan adanya pengambilan ulang sampel, dan meningkatkan biaya
laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA

1. Randell EW, Yenice S. Delta Checks in the clinical laboratory. Crit Rev Clin Lab Sci. 201
9 Feb 17;56(2):75–97.
2. Sianipar O. Role of Delta Check in Clinical Laboratory Services. Indones J Clin Pathol M
ed Lab. 2018;25 No. 1 N:111–4.
3. Hong J, Cho EJ, Kim HK, Lee W, Chun S, Min WK. Application and optimization of refer
ence change values for Delta Checks in clinical laboratory. J Clin Lab Anal. 2020 Dec 1;
34(12).
4. Karger AB. To Delta Check or Not to Delta Check? That Is the Question. J Appl Lab Me
d. 2017;1(4):457–9.
5. Park SH, Kim SY, Lee W, Chun S, Min WK. New decision criteria for selecting delta che
ck methods based on the ratio of the delta difference to the width of the reference ra
nge can be generally applicable for each clinical chemistry test item. Ann Lab Med. 20
12 Sep;32(5):345–54.
6. Markus C, Tan RZ, Loh TP. Evidence-based approach to setting delta check rules. Vol.
58, Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences. Taylor and Francis Ltd.; 2021. p. 4
9–59.
7. Castro-Castro MJ, Sánchez-Navarro L. Estimation of change limits (deltacheck) in clini
cal laboratory. Adv Lab Med. 2021;2(3):417–23.
8. Schifman RB, Talbert M, Souers RJ. Delta check practices and outcomes a q-probes st
udy involving 49 health care facilities and 6541 delta check alerts. Arch Pathol Lab Me
d. 2017;141(6):813–23.

Anda mungkin juga menyukai