Anda di halaman 1dari 6

Tension Leg Platform (TLP)

Apa itu Tension Leg Platform? Jenis struktur terpancang seperti jacket steel structure dan gravity
base structure hanya mampu digunakan dalam batas kedalaman sedang, yaitu hingga sekitar 400
m. Demikian juga dengan beberapa struktur turunannya, yaitu yang berada dalam kategori
bottom-supported compliant structures seperti jenis Articulated dan Guyed Towers, hanya bisa
diaplikasikan pada perairan dengan kedalaman beberapa ratus meter lebih dalam. Jika
perairannya semakin dalam (lebih dari 1000 m), maka hanya jenis sistem terapung seperti FPSO,
FPF, TLP dan SPAR/DDCV, atau sistem bawah laut sajalah yang secara teknis maupun
ekonomis layak untuk dioperasikan.

Selain teknologi struktur terapung itu sendiri, beberapa teknologi lainnya yang terkait dengan
sistim terapung tersebut antara lain adalah catenary mooring, taut mooring dan tension leg
mooring, flexible risers serta control umbilicals. Teknologi seperti itulah yang akan sangat
mempengaruhi efektifitas biaya dalam pengembangan ladang di laut-dalam, dan juga nantinya
akan sangat memegang peranan dalam pengembangan ladang minyak dan gas di area perairan
sangat-dalam (ultra deepwater fields) yaitu yang mencapai lebih dari 2000 m. (Hirayama dkk,
2002).

Sebagaimana dijelaskan di atas, Tension Leg Platform (TLP) adalah salah satu jenis struktur
lepas pantai yang dapat dikelompokkan ke dalam golongan compliant structures yang mana jenis
ini sangat cocok dipakai di perairan dalam. Karakteristik utama TLP yang berbeda dengan jenis
struktur terpancang (fixed jacket type) adalah sifat respon TLP yang sangat lentur terhadap gaya-
gaya luarnya. Dengan kata lain, responnya cenderung bersifat “ikut bergerak” bersama
gelombang dari pada harus “menahan gelombang” secara kaku. Dengan demikian, keadaannya
akan menjadi lebih baik jika harus berada di perairan dalam yang mana kondisi lingkungan yang
lebih berat.

Gambar 4. Sket dari bagian-bagian penyusun sebuah anjungan Tension Leg Platfom. (API
RP 2T, 1997).

Secara struktural, struktur utama TLP tersusun dari komponen-komponen platform, tendon
(tether) dan template seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Platform merupakan struktur
pengapung yang di atasnya terdapat geladak (deck) tempat dimana fasilitas produksi dan tempat
tinggal pekerja berada. Platform tersusun dari ponton dan kolom yang bisa memberikan daya
apung yang cukup untuk menjaga agar deck selalu berada di atas permukaan air bagaimanapun
kondisi lautnya. Kolom ini diikat ke dasar laut dengan tendon dan dipancangkan dengan
template. Daya apung platform inilah yang memberikan gaya-tarik (tension) pada tendon, yang
selanjutnya berfungsi sebagai gaya pengembali (restoring force) bagi struktur TLP terhadap
beban-beban luar.

Dalam masa operasinya, draft dari platform relatif tinggi (sekitar dua kali) dari hull apungnya.
Sistem penambatannya yang kaku menyebabkan gerakan platform pada saat terkena gelombang
menjadi terbatas dalam arah heave, pitch dan roll. Kekakuan tendon yang tinggi juga
menyebabkan periode natural dalam arah gerakan tersebut sangat kecil. Geometri dari hull dan
penempatan tendon biasanya dibuat simetris agar periode roll dan pitch-nya sama. Biasanya
periode natural TLP dalam arah heave dan pitch untuk aplikasi perairan dalam (lebih dari 1000
ft) adalah antara 1 sampai 5 detik. Sebaliknya, struktur TLP cukup lentur dalam arah surge
karena gaya pengembali pada tendon dalam arah ini umumnya kecil. Periode natural TLP dalam
arah surge (atau sway) adalah cukup besar yaitu dalam orde 100 detik atau lebih.

Gambar 5. Skema gaya-gaya yang bekerja pada TLP

Secara umum, gaya lingkungan yang bekerja pada struktur lepas pantai, termasuk TLP, adalah
berupa gaya gelombang, arus, angin dan gaya akibat pasang surut air laut sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 5. Beban-beban lingkungan tersebut selengkapnya terdiri dari (i)
Gaya Gelombang (Wave Forces), meliputi : Wave frequency forces, Low frequency forces (First
and second-order drift force dan Wave drag force), Hight frequency forces (Second order
potential flow force, Vortex shedding force dan Drag force); (ii) Gaya Arus (Current Forces)
yang mencakup : Current drag force dan Coexisting wave and current drag force; (iii) Gaya
Angin (Wind Forces), meliputi : Fluctuating wind force dan Steady wind force (Faltinsen dan
Demirbilek, 1989). Disamping itu dalam kondisi tertentu bisa terjadi beban gempa bumi
(earthquake force). Dalam kondisi yang sesungguhnya, semua gaya-gaya di atas cenderung
terjadi secara simultan, sehingga untuk suatu analisis dan perancangan yang komprehensif, maka
sebaiknya semua gaya-gaya yang mungkin terjadi di atas harus dipertimbangkan. Namun
biasanya, untuk tujuan-tujuan analisis tertentu, hanya gaya-gaya tertentu saja yang dianggap
paling dominan yang dipertimbangkan.

Angin, gelombang dan arus menyebabkan TLP cenderung berosilasi terhadap suatu posisi offset-
nya dari pada terhadap posisi vertikalnya. Offset dalam arah surge terkait dengan “set down”
yaitu turunnya TLP dalam arah heave yang berakibat bertambahnya daya apung sehingga gaya-
tarik pada tendon menjadi lebih besar dari pada dalam posisi vertikalnya. Sementara itu efek
orde yang lebih tinggi akibat sifat non-linier alami dari gelombang dan strukturnya akan
mempengaruhi respon dinamisnya (Bar-Avi, 1999).

Era Teknologi Laut-dalam Indonesia

Dalam skala dunia, pengembangan ladang minyak dan gas lepas pantai di perairan-dalam
sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1990-an. Data dalam Gambar 6 memperlihatkan
pengembangan ladang produksi di perairan dengan kedalaman lebih dari 300 m. Dalam grafik
tersebut terlihat dengan jelas laju pertambahannya yang sangat pesat. Sementara sebaran instalasi
TLP diseluruh dunia dapat dilihat dalam Gambar 7.

Gambar 6. Pertumbuhan ladang minyak dan gas bumi di perairan-dalam


Gambar 7. Sebaran instalasi TLP di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Majalah Offshore
Engineering)

Dalam konteks Indonesia, barangkali tren “Teknologi Laut-dalam” ini makin keras gaungnya
segera setelah diinstalnya anjungan TLP-A pada tahun 2003 oleh sebuah perusahaan minyak
asing yang beroperasi di Indonesia, di ladang West Seno di perairan Selat Makasar pada
kedalaman laut sekitar 1000 m. Anjungan ini menjadi anjungan TLP pertama yang diinstall dan
dioperasikan di Indonesia. Momentum ini menjadi sangat monumental bagi bangsa Indonesia,
yaitu dapat dijadikan sebagai pintu gerbang mulai masuknya komunitas lepas-pantai Indonesia
ke dalam era baru, “Era Teknologi Laut-dalam”. Hal ini akan semakin terasa dengan mulai
dioperasikannya juga beberapa jenis FPSO dan FPU di perairan lainnya di Indonesia.

Tentunya kondisi ini sangat menggembirakan bagi perkembangan teknologi kelautan di


Ibndonesia pada umumnya dan teknologi bangunan lepas pantai pada khususnya. Namun disisi
lain, mulai saat itu juga, dan di masa mendatang, terbentang tantangan yang tidak ringan bagi
segenap pihak yang terlibat sekaligus menaruh perhatian, baik dari kalangan akademisi, industri
migas maupun industri lainnya yang terkait, terhadap perkembangan teknologi dan industri
lepas-pantai di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, untuk sampai pada taraf “kemandirian
teknologi” dalam bidang kelautan, maka tak dapat dipungkiri lagi, tenaga-tenaga ahli/SDM
Indonesia harus dituntut secara aktif untuk semakin banyak lagi melibatkan diri di dalamnya. Di
sisi lain, pemerintah sendiripun harus senantiasa menyadari peran aktifnya yang sinergis dan
kondusif dalam menelurkan regulasi-regulasinya yang tepat bagi perkembangan teknologi dan
industri kelautan Indonesia.

Daftar Pustaka

(1) API (1997), “Recommended Practice for Planning, Designing, and Constructing Tension Leg
Platforms“, API RP 2T, 2nd Edition, USA.
(2) Bar-Avi, P., 1999, “Nonlinear Dynamic Response of a Tension Leg Platform“, Journal of
Offshore Mechanics and Arctic Engineering, November, Vol. 121, ASME., hal. 219-226.
(3) Faltinsen, O. M. dan Demirbilek, Z., 1989, “Hydrodynamic Analysis of TLPs“, dalam
“Tension Leg Platform (a State of The Art Review)”, Demirbilek, Z.,ASCE.
(4) Hirayama, H., Sao, K. dan Capanoglu, C. C., 2002, “Experience-Based Assessment of Field
Development Options and Costs“, Proceeding of the 12th (2002) International Offshore and
Polar Engineering Conference (ISOPE), Kitakyushu, Japan, May 26-31, 2002.
(5) Litton, R. W., 1989, “TLPs and Other Deepwater Platforms“, Tension Leg Platform (a State
of The Art Review), Demirbilek, Z.,ASCE.
(6) Majalah Offshore Engineering, suplemen
(7) McClelland, B. dan Reifel, M. D., 1986, Planning and Design of Fixed Offshore Platforms,
Van Nostrand Reinhold Comp. Inc., New York, pp. 6-7.

Disadur dari paper seorang offshore engineer :


Rudi Walujo Prastianto, mahasiswa program doktor di Graduate School of Engineering,
Department of Marine System Engineering, Osaka Prefecture University, JAPAN, email:
rudiwp@marine.osakafu-u.ac.jp

Anda mungkin juga menyukai