Berikut ini adalah ketentuan dalam Pedoman Pastoral Keluarga yang dikeluarkan oleh KWI
(Konferensi WaliGereja Indonesia) yang ditandatangani oleh Mgr. Martinus Situmorang
OFM. Cap, tanggal 15 November 2010, tentang Prokreasi Artifisial:
“63. Yang dimaksud dengan prokreasi artifisial adalah upaya menurunkan anak dengan cara-
cara buatan (tidak alamiah). Berdasarkan metodanya, tindakan ini dapat dibedakan antara
teknik prokreasi yang membantu hubungan seksual dan teknik prokreasi yang menggantikan
hubungan seksual. Kedua jenis ini mempunyai pertimbangan etis yang berbeda.
a. Teknik pertama adalah cara dan sarana yang dilakukan dengan tujuan untuk membantu
hubungan seksual pasangan suami-istri agar mendapatkan keturunan, misalnya cara dan
sarana yang meningkatkan fertilitas hubungan seksual suami-istri. Karena metoda ini tidak
memisahkan sifat unitif dan prokreatif dari hubungan seksual suami-istri, teknik ini sah dan
tidak bertentangan dengan prinsip moral Katolik. Contoh dari cara dan sarana ini adalah
dengan pemberian obat kesuburan kepada suami atau istri.
b. Teknik kedua adalah cara dan sarana yang menggantikan hubungan seksual suami-istri
agar mereka mendapatkan keturunan. Mengingat hubungan seksual suami-sitri
bersifat unitif dan prokreatif dan keduanya tidak boleh dipisahkan maka cara-cara yang
menggantikan hubungan seksual itu tidak dapat diterima secara moral Katolik. Contoh dari
cara dan sarana ini adalah In Vitro Fertilization (pembuahan dalam tabung), baik dari
pasangan suami-istri maupun dari donor.
64. Berikut ini adalah keberatan-keberatan, baik secara umum maupun secara khusus
terhadap teknik kedua ini.
1. Keberatan umum
Hubungan seksual suami-istri harus bersifat unitif dan prokreatif sekaligus. Dalam
prokreasi secara artifisial, adanya anak bukan merupakan buah dari hubungan suami istri,
sehingga di sana prokreasi terlepas dari unifikasi suami-istri. Karena itulah, cara tersebut
ditolak oleh Gereja Katolik.
Pada dasarnya, pembuahan itu terjadi secara kodrati oleh karena hubungan seksual antara
suami istri, sehingga keduanya menjadi “satu daging” (Kej 2:24 dan Mat 19:5 par.) dan
menerima tugas untuk berkembang biak (Kej 1:28). Dengan demikian, hubungan seksual
itu mempunyai dua dimensi penting yang tidak boleh dipisahkan, yakni persatuan suami-
istri dan terbuka kepada keturunan. Oleh karena itu, seturut kehendak Allah, manusia
berkembang biak melalui hubungan seksual. Maka hubungan seksual itu menjadi penting
dalam proses kelahiran anak. Berdasarkan Sabda Allah ini, suatu teknik pembuahan yang
menggantikan hubungan seksual dalam prokreasi tidak dibenarkan dan tidak dapat diterima
oleh Gereja.
Anak adalah anugerah Allah dan bukan hasil produk dari sebuah teknik. Allah mengangkat
suami-istri menjadi rekan kerja-Nya dalam karya penciptaan dengan cara melahirkan
kehidupan baru. Pemberian diri timbal balik antara suami-istri yang terjadi melalui
hubungan seksual itu menghasilkan buah cinta kasih, yaitu anak yang adalah juga mahkota
perkawinan. Maka Gereja selalu menekankan bahwa anak adalah anugerah dari Allah yang
harus disambut dengan sukacita. Banyak orang berpikir bahwa pasangan suami-istri
mempunyai hak untuk mempunyai hak untuk mempunyai anak. Yang benar adalah anak
bukanlah hak, tetapi anugerah Allah, karena Ia menghendaki pasangan suami-istri yang
diberkati untuk melakukan prokreasi (Kej 1:28). Oleh karena itu, mempunyai anak bukan
pertama-tama hak, tetapi suatu perutusan. Jikalau hak, orang boleh menuntutnya. Akan
tetapi, karena ini merupakan perutusan dari Allah maka sejak awal perkawinan suami-istri
harus terbuka pada kelahiran anak.
Reproduksi artifisial, baik yang homolog (sprema atau ovum berasal dari suami-istri itu
sendiri) maupun yang heterolog (sperma atau ovum berasal dari donor dan bukan dari
pasangan suami-istri sendiri) tidak bisa diterima secara moral Katolik karena anak yang
muncul darinya bukan menjadi buah dari hubungan seksual ayah dan ibunya.
2. Keberatan khusus
Berikut ini adalah beberapa praktek reproduksi artifisial yang ditolak oleh Gereja Katolik:
65. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus khusus yang berhubungan erat dengan prokreasi
artifisial dan prinsip moral Katolik, yang juga perlu diketahui oleh umat Katolik:
1. Penyimpanan (bank) ovum, sperma dan zygot
Penyimpanan biasanya dilakukan dengan cara pembekuan baik ovum, sperma maupun zygot
(embrio). Pembekuan embrio bertentangan dengan hakekat dan martabat manusia. Sebab,
embrio itu harus diperlakukan sebagai seorang pribadi manusia dan tidak boleh dibahayakan
hidupnya.
2. Embrio yang tersisa (spared embryo)
Jika ada embrio yang tersisa dari proses prokreasi artifisial, embrio tersebut tidak boleh
dimusnahkan ataupun dipakai sebagai bahan riset atau penelitian. Embrio harus diperlakukan
sebagai seorang pribadi dan harus dijauhkan dari pemusnahan (pembunuhan) ataupun
ancaman yang membahayakan hidupnya.
3. Manipulasi embrio
Manipulasi atau rekayasa embrio hanya bisa dibenarkan sejauh untuk kepentingan terapeutik
atau karena tuntutan korektif bagi embrio itu sendiri, dan bukan untuk kepentingan embrio
yang lain. Contoh: embrio yang cacat genetik boleh dimanipulasi agar cacat genetik itu dapat
diminimalkan atau bahkan ditiadakan.
4. Mengandung dan melahirkan anak untuk dijadikan donor.
Mengandung dan melahirkan anak semata-mata dengan tujuan untuk dijadikan donor berarti
bahwa anak itu dilahirkan bukan demi dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan atau tujuan
lain. Tindakan ini merupakan bentuk instrumentalisasi manusia (manusia hanya dijadikan
sarana saja) maka ditolak oleh Gereja Katolik.
5. Prokreasi artifisial post mortem (sesudah kematian pasangan dari yang masih hidup)
Dengan adanya bank sperma dan bank ovum, seorang suami atau istri dimungkinkan untuk
mempunyai anak, walaupun pasangannya sudah meninggal. Namun, secara moral tindakan
ini tidak dibenarkan. Selain keberatan yang berhubungan dengan cara prokreasi artifisial pada
umumnya, masih ada keberatan lain yang berhubungan dengan masalah etis yang
ditimbulkannya oleh kenyataan bahwa anak itu adalah anak dari orang yang sudah
meninggal, sehingga ia dilahirkan tanpa memiliki ayah atau ibu.
6. Membuat janin melalui In Vitro Fertilization dengan tujuan hanya untuk percobaan
Tindakan ini tidak bisa diterima secara moral sebab janin tersebut sengaja diciptakan untuk
sesuatu yang lain, yang berada di luar dirinya sendiri, bukan demi dirinya sendiri. Tindakan
ini adalah bentuk instrumentalisasi manusia, bahkan sama dengan pembunuhan.
66. Gereja menghimbau pelbagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, yakni tenaga
medis, pasangan suami-istri dan orangtua untuk menghormati hukum Allah yang tersurat di
dalam kodrat manusia.
1. Pasangan suami-istri yang tidak mempunyai anak, hendaknya jangan merasa putus asa.
Tidak mempunyai keturunan bukan berarti gagal dalam perkawinan dan hidup berkeluraga,
sebab perkawinan dan hidup berkeluarga masih mempunyai bermacam-macam nilai dan
tujuan yang lebih banyak lagi selain untuk menurunkan anak.
2. Para tenaga kesehatan yang berkecimpung dalam dunia kesehatan reproduksi hendaknya
menghormati norma-norma moral yang berkaitan dengan prokreasi manusia.
3. Hendaknya semua pihak memahami bahwa penolakan Gereja terhadap prokreasi artifisial
itu bukan hanya karena caranya yang tidak kodrati, tetapi lebih-lebih karena cara prokreasi itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral Katolik, terutama yang berhubungan dengan
harkat dan martabat manusia dan berhubungan dengan Allah sebagai Sang Pemberi
kehidupan.”
Hubungan intim suami istri mengalami transisi dari sekedar pelampiasan hasrat seksual
yang erotis dan manusiawi menjadi konsep yang lebih mulia. Allah menjadi intim dengan
umatnya karena pada saat inilah janji pekawinan terungkap. Ini menggemakan misteri
inkarnasi, Tuhan mengambil wujud manusia.[11]Hubungan intim suami istri
menyempurnakan cinta kasih dan memperkaya tiap pribadi dalam unsur dan tanda-tanda
istimewa persahabatan suami istri.
Lebih lanjut, Yohanes paulus II menegaskan bersatunya tubuh suami dan istri menjadi satu
daging dalam hubungan intim mereka yang sah memperlihatkan hubungan antara Kristus
dan gerejanya.[12] Pernyataan paus ini semakin mempelihatkan keutamaan dan dimensi
sakralitas hubungan intim antara suami dan istri. Penyataan cinta ini menjadi sesuatu yang
tansenden dan memiliki orientasi yang luhur karena bukan saja ditujukan demi kenikmatan
cinta eros dan prokresi. Bersatunya suami istri menjadi satu daging ikut mengambil bagian
dalam pewartaan gereja.
Pada dasarnya, setiap manusia hanya mungkin mewujudkan kepenuhan dirinya lewat relasi
dengan orang lain. Syarat mutlak keutuhan relasi suami istri terungkap dalam pemberian
hak atas tubuh. Seks memberikan kontribusi penyatuan dua persona menjadi satu pribadi
yang utuh. Penyerahan diri total sebagai persona kepada pasangan mewujudkan kesatuan
paling dasariah dua persona dalam kungkungan jalinan cinta kasih yang tulus. Seks
merupakan puncak pemberian diri total untuk saling memiliki sekaligus membuka ruang
antara suami istri untuk saling mengisi kekosongan jiwa yang mebutuhkan belaian intim
cinta pribadi lain.
Pengenalan yang mendalam terhadap pasangan menjamin kekudusan cinta Allah kepada
manusia yang tinggal bersama dengan mereka. Persekutuan suami istri dikuatkan dan
disemangati dalam semangat inkarnasi dan penebusan yang meresapi seluruh bagian
kehidupan suami istri dengn iman, harapan dan cinta kasih.[13]
6 Votes
Oleh Postinus Gulö
1. Pengantar
Dahsyat dan mencengangkan! Itulah kata yang cocok untuk melukiskan bagaimana manusia merekayasa proses kehidupan.
Pada zaman ini sudah begitu gencar perkembangan kecanggihan teknologi kontrasepsi dan reproduksi. Akan tetapi, teknologi
tersebut telah menampilkan dua wajah: memberi solusi sekaligus berpotensi manipulatif. Hasil penemuan tersebut dipandang
positif dan menawarkan solusi jika dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan fungsi normal dan alami
proses prokreasi manusia. Akan tetapi, teknologi itu dipandang negatif-manipulatif jika digunakan untuk menghancurkan dan
mengobjekkan manusia atau dipakai untuk tindakan yang berlawanan dengan kebaikan integral umat manusia.[1] Realitas
menunjukkan bahwa para ahli biomedis milenium ketiga ini bisa melakukan intervensi-determinatif terhadap siklus alami
biologis. Para ilmuwan biomedis mampu mengintervensi, mencegah, dan memanipulasi proses terjadinya pembuahan.
Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan manusia untuk berkembang biak terpisah dari seksual sesuatu yang tidak bisa
diterima secara moral. Umat Allah perlu mengingat bahwa apa yang mungkin secara teknologi belum tentu dapat diterima
dalam moral Katolik.[2] Paus Yohanes Paulus II pernah menyadarkan umat Allah agar jangan terjebak dalam lingkaran sikap
permissif (memperbolehkan segalanya) yang bertentangan dengan hakekat perkawinan dan keluarga.[3]
Dalam paper ini, penulis[4] akan membentangkan deskripsi-analitik mengenai tanggapan moral Gereja Katolik terhadap
teknologi kontrasepsi dan teknologi reproduksi itu. Namun sebelumnya, penulis berusaha untuk mendeskripsikan teknologi
kontrasepsi dan teknologi reproduksi. Penulis berusaha menganalisis alasan-alasan penggunaan alat-alat kontrasepsi dan
teknologi reproduksi serta persoalan-persoalan yang muncul dari kecanggihan teknologi tersebut. Berdasarkan deskripsi dan
analisis inilah penulis mengeksplorasi penilaian moral atas masalah berdasarkan dokumen Gereja. Di bagian akhir paper ini,
penulis berusaha menjabarkan tawaran solusi berdasarkan ajaran Gereja. Selamat membaca!
2. Teknologi Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu tindakan mencegah terjadinya pembuahan (konsepsi). Alat kontrasepsi bisa mengacaukan siklus
dan masa reproduksi pada wanita dan pria. Ada beberapa cara mencegah terjadinya pembuahan, antara lain:
Pertama dengan memakai kontrasepsi. Ada kontrasepsi mekanik seperti kondom (pria), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR
atau IUD), diafragma atau kap seviks yang dipasang dalam vagina, Spermisida (jelly, krim dan pasta atau tablet berbusa) yang
dipasang dalam vagina saat senggama. Ada juga alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntikan, dan susuk.[5] Kontrasepsi
hormonal menggunakan hormon dari progesteron sampai kombinasi estrogen dan progesteron. Alat kontrasepsi berupa pil
sangat berbahaya bagi kesehatan wanita yang mempunyai tekanan darah tinggi, gangguan sirkulasi darah, varises, dan
pendarahan melalui vagina. Efek dari kontrasepsi hormonal yang berkomponen estrogen adalah mudah tersinggung dan
tegang, berat badan bertambah, menimbulkan nyeri kepala, perdarahan banyak saat menstruasi. Sedangkan yang
berkomponen progesteron mengakibatkan payudara tegang, menstruasi berkurang, kaki dan tangan sering kram, dan liang
senggama kering.[6]
Kedua, coitus interuptus (sanggama terputus). Menurut Pastor CB Kusmaryanto, SCJ tindakan ini bisa disebut metode
kontrasepsi. Sebab saat melakukan persetubuhan sperma dibuang keluar bukan di dalam vagina. Akibatnya, tidak terjadi
pembuahan.[7]
Ketiga, mengakhiri kesuburan pada wanita dan pria. Pada wanita dilakukan dengan mengikat atau memotong sel telur
(tubektomi). Sedangkan pada pria, dilakukan dengan memotong saluran mani yang terdapat pada kantung pelir
(vasektomi). [8]
Ada beberapa alasan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Pertama, alasan ekonomis. Hal ini tampak dalam tujuan program
Keluarga Berencana di Indonesia. Ada beberapa tujuan program KB antara lain: (1) untuk menghindari kelahiran yang tidak
diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam
keluarga; (2) untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan
kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; (3) untuk
memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa; (4) untuk mengurangi ledakan penduduk demi
Kedua, alasan psikologis dan etis. Terutama pada saat pacaran. Hamil diluar nikah adalah aib dan melanggar norma
kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Keempat, alasan gaya hidup. Ada yang tidak
mau hamil karena setelah melahirkan yang bersangkutan merasa tidak cantik lagi, tubuhnya melar, tidak seksi. Kelima, alasan
kerja. Ada perusahaan swasta tertentu yang mensyaratkan karyawannya untuk tidak menikah sebelum habis masa kontrak
kerja. Konsekuensinya, kalau yang bersangkutan hamil maka ia kehilangan pekerjaannya. Ada juga karyawan yang tidak mau
3. Teknologi Reproduksi
Teknologi reproduksi adalah ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk
Pertama, In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET). Teknologi IVF membuahkan kehidupan baru dalam sebuah
cawan kaca. Anak-anak yang dibuahkan melalui teknologi ini lebih dikenal sebagai bayi tabung. Cara membuahi bayi tabung
sangat teknis. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan
matangnya banyak telur dalam waktu bersamaan. Sperma diambil dari laki-laki, bisa melalui masturbasi atau dengan cara lain.
Telur dan sperma tersebut disatukan dalam sebuah cawan kaca. Di sinilah terjadi pembuahan dan kehidupan baru dibiarkan
berkembang selama beberapa hari. Dalam IVF, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada kontrol
kualitas (quality control) dan apabila anak tersebut cacat bisa saja dibinasakan.[11] Artinya, anak-anak dibuahkan dalam
“rahim laboratorium” bukan dalam rahim ibu. Cara lain yang sangat terkenal adalah ET. Dalam proses ET, embrio-embrio
ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa salah satu akan bertahan hidup dan berkembang hingga saat persalinan.
Kedua, teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination /AI”. Dalam teknik ini, sperma disuntikkan ke dalam atau ke dekat
leher rahim sang wanita. Artinya, seorang gadis tanpa berhubungan badan dengan pria bisa mengandung dan melahirkan.
Dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam
larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank sperma. Dengan adanya bank sperma ini
banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang
istri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami
tersebut di bank sperma.[12] Akan tetapi kita mesti sadari bahwa kecanggihan teknologi semacam ini tidak serta-merta
diperbolehkan oleh Gereja Katolik karena bertentangan dengan prinsip moralitas.[13] Sudah bisa dibayangkan, anak lahir
Ketiga, Teknologi Kloning. “Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan
bukan lagi sperma tetapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel
somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika organisme dari mana ia diambil. Boleh jadi organisme (individu) yang
dipilih justru bukan manusia. Pada kloning manusia, telur wanita diambil terlebih dahulu sebelum kloning dilakukan. Kemudian,
inti telur wanita dihancurkan dengan zat kimia atau laser dan kemudian “dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang
telah dibuahi itu lalu dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti pembuahan biasa. Jika berhasil,
hasil kloning persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu.[14]
Ada beberapa alasan pengembangan dan penggunaan teknologi reproduksi. Pertama, untuk mendapatkan keturunan terutama
bagi pasutri yang mandul. Kedua, untuk mendapatkan keturunan yang super cerdas atau sesuai keinginan orangtua atau agar
keinginan orangtua memilih genetik anak-anak yang akan mereka lahirkan terpenuhi.[15]Ketiga, untuk memperpanjang hidup
manusia. Keempat, untuk mendapatkan anak walaupun secara alami sudah menopause. Apakah alasan-alasan ini diterima
Dalam Humanae Vitae (HV)[16] sebagaimana diungkap oleh Charles E. Curran, pemakaian metode kontrasepsi merupakan
tindakan yang haram (illicit).[17] Ensiklik Humanae Vitaemelarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah
bahwa setiap persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru.[18] Ajaran HV ini berdasarkan pada
kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual yang menyatukan (unitif), relasional (saling menyerahkan
diri) dan terbuka pada keturunan (prokreatif) tidak dipisahkan.[19] Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan
ketiga makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan wanita. Ketiga sifat hubungan
seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta
kasih antara suami istri. Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta manusia
seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak
terpisahkan.[20] Kontrasepsi dengan sengaja memisahkan makna hubungan seksual yang unitif, relasional dan prokreatif.
Ensiklik Humanae Vitae menegaskan bahwa pengendalian kelahiran dengan alasan untuk mengatur jarak kelahiran
Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ mengutip HV yang menyatakan: “Penghentian langsung proses generatif yang sudah
dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar
tidak bisa digolongkan sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula sterilisasi langsung (pengakhiri
kesuburan), baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik
sebelum atau dalam pelaksanaan hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan
prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya tidak bisa diklaim sebagai cara yang sah.”[22]
Pokoknya, mencegah terjadinya kelahiran anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran moral
Katolik.[23] Gereja berpegang teguh pada prinsip bahwa persetubuhan (consumatum) antara suami-istri yang sah pada dirinya
sendiri terbuka untuk kelahiran anak.[24] Kontrasepsi merupakan tindakan sengaja menghalangi keterbukaan suami-istri untuk
kelahiran anak. Oleh karena itulah, kontrasepsi melanggar prinsip perkawinan Katolik. Penegasan semacam ini tampak dalam
“Contraception deliberately deprives the conjugal act of its openness to procreation and in this way brings about a voluntary
dissociation of the ends of marriage. Homologous artificial fertilization, in seeking a procreation which is not the fruit of a
specific act of conjugal union, objectively effects an analogous separation between the goods and the meanings of
marriage.”[25]
Pemakaian alat-alat kontrasepsi telah merendahkan martabat luhur dari tindakan seksualitas suami istri itu sendiri. Paus
Yohanes Paulus II dalam Sinode para Uskup Oktober 1980 pernah mengeluarkan Himbauan Apostolik Familiaris
Consortio (FC) yang memberi pelajaran berharga mengenai seksualitas suami istri. Dalam dokumen ini Yohanes Paulus II
mengajarkan bahwa seksualitas pria-wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan
eksklusif bagi suami istri. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi bila merupakan suatu unsur integral
dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.[26]
Dalam dokumen Donum Vitae, Kongregasi Doktrin Iman menegaskan kembali apa yang pernah ditulis di dalam Konstitusi
Pastoral Gadium et Spes (GS) bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mesti menghormati kriteria dasar moralitas tanpa
syarat yakni harus melayani pribadi manusia, hak-hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable) dan kebenaran dan
kebaikan integral sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Hal ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae berikut:
“Thus science and technology require, for their own intrinsic meaning, an unconditional respect for the fundamental criteria of
the moral law: that is to say, they must be at the service of the human person, of his inalienable rights and his true and integral
Pada saat bertemunya sperma dan sel telur pada saat itulah awal kehidupan. Oleh karena itu, sejak konsepsi kehidupan
manusia sudah harus dihormati.[28] Setiap manusia adalah citra Ilahi (Kej 1: 27). Kelahiran manusia melibatkan tindakan
kreatif Allah (the creative action of God). Itu sebabnya, kehidupan manusia kudus adanya. Allah adalah Tuhan kehidupan. Oleh
karena itu, manusia bukanlah tuan atas dirinya. Prokreasi manusia mengandaikan kolabroasi suami-istri yang bertanggung
jawab terhadap kepenuhan cinta Allah.[29] “Human procreation requires on the part of the spouses responsible collaboration
with the fruitful love of God; the gift of human life must be actualized in marriage through the specific and exclusive acts of
husband and wife, in accordance with the laws inscribed in their persons and in their union.” [30]
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa persatuan seksual yang menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri
secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang
secara obyektif ambivalen. Artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa pada penolakan
positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada
penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut
dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.”[31]
Gereja menegaskan bahwa pemakaian metode fertilisasi in vitro atau In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo
Transfer (ET)[32] untuk mengatasi ketidaksuburan merupakan tindakan amoral! Bahkan Donum Vitae menyatakan dengan
keras: “It is immoral to produce human embryos destined to be exploited as disposable “biological
Pertama, alasan moral dan hukum perkawinan. Pemakaian teknologi IVF dan ET jelas menjadikan manusia sebagai objek
teknologi biologis semata. Instruksi Dignitas Personae menegaskan kembali pengajaran Evangelium Vitae yang menyatakan:
“Penggunaan embrio manusia dan janin sebagai objek eksperimen merupakan kejahatan terhadap martabat mereka sebagai
manusia yang berhak atas penghargaan yang sama sebagai anak lahir hanya sekali, sama seperti setiap orang.”[34]
Menurut Instruksi Donum Vitae, prokreasi manusia mesti terjadi dalam hubungan perkawinan bukan dengan intervensi
manusia. Argumen Donum Vitae sangat teologis: “Every human being is always to be accepted as a gift and blessing of God.
However, from the moral point of view a truly responsible procreation vis-à-vis the unborn child must be the fruit of
marriage.”[35] Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Dignitas Personae: “The origin of human life has its authentic context in
marriage and in the family, where it is generated through an act which expresses the reciprocal love between a man and a
woman. Procreation which is truly responsible vis-à-vis the child to be born must be the fruit of marriage.”[36]
Teknik-teknik IVF memberi peluang untuk melakukan manipulasi biologis dan genetik pada embrio manusia, seperti upaya
untuk melakukan fertilisasi antara manusia dan hewan. Bahkan bisa saja embrio manusia dikandung dalam rahim hewan.
Teknik-teknik ini bertentangan dengan martabat manusia yang secara alami dilahirkan dalam perkawinan dan dari pernikahan
(born within marriage and from marriage). Bahkan teknik semacam ini potensial untuk meremehkan ketubuhan manusia
(“…disdain human bodiliness”). Seharusnya kita mengangkat martabat ketubuhan manusia itu seperti Yesus yang telah
memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah bahkan mengambil bagian dari kodrat Ilahi (Yoh. 1: 12; 2 Pet 1: 4).[37]
Dalam Instruksi Dignitas Personae, Kongregasi Ajaran iman mengajarkan kepada umat Katolik dan pencari kebenaran bahwa
perkawinan yang terjadi sepanjang masa dan di semua kebudayaan diinstitusikan oleh Sang Pencipta untuk membawa
rencana-Nya yang dijiwai cinta kepada manusia. Perkawinan itu merupakan ekspresi dan kesediaan untuk
membentuk communio yang bersifat eksklusif serta saling melengkapi. Ciri kodrati perkawinan adalah keterbukaan pada
kehidupan baru akan tetapi dengan cara dan proses yang alami yang dinyatakan dalam hubungan timbal-balik antara pria dan
wanita yang telah menikah secara sah. Transmisi kehidupan digoreskan oleh hukum alam dan hukum tersebut tak tertulis
Di dalam metode IVF sering dipakai teknik pembekuan embrio untuk meningkatkan keberhasilan IVF. Tindakan membekukan
embrio bisa dianggap sebagai tindakan yang menggunakan embrio sebagai tujuan terapeutik atau kegiatan penelitian. Oleh
karena itu tindakan ini harus ditolak.[39] Pembekuan embrio, bahkan ketika dilakukan untuk melestarikan kehidupan embrio
merupakan pelanggaran terhadap rasa hormat kepada manusia. Sebab embrio-embrio itu menghadapi risiko yang serius dari
kematian atau membahayakan integritas fisik mereka. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada personal kehidupan
yang memiliki hak untuk hidup.[40] Dalam proses IVF (dan ET) embrio-embrio itu dengan sengaja dipisahkan dari kasih dan
proses kehamilan seorang ibu dan menempatkan mereka dalam situasi yang penuh manipulasi.[41] Proses IVF sangat
Teknik IVF dan ET menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilah. Tidak dapat diterima oleh
Gereja tindakan apapun yang memisahkan proses prokreasi dari konteks pribadi yang integral dari tindakan suami-istri
(hubungan seksual). Prokreasi adalah tindakan personal suami istri yang tidak dapat digantikan.[43] Lebih jauh, Dignitas
Personae menyatakan:
“Gereja mengakui keabsahan keinginan orangtua untuk memiliki anak dan memahami penderitaan pasangan-pasangan yang
mengalami ketidaksuburan. Namun, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan “produksi” anak
(seperti metode pembuahan buatan yang terpisah dari persetubuhan). Begitu juga keinginan untuk tidak memiliki anak tidak
bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan meninggalkan atau menghancurkan seorang anak (embrio atau janin).”[44]
Teknik IVF bukan membantu tindakan kasih suami istri untuk mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan
melalui tindakan kasih antara suami istri melainkan melalui prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para ahli biomedis.
Suami dan istri hanya sekadar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli
sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Dalam metode IVF bisa juga digunakan telur dan sperma dari pendonor.
Dengan kata lain, ayah dan ibu genetik dari anak bisa saja orang lain dari luar perkawinan. Hal ini bertentangan dengan
Hukum Gereja yang menyatakan bahwa perkawinan itu eksklusif.[45] Bahkan hal ini dapat menimbulkan masalah psikologis
bagi anak. Terutama jika ia tahu bahwa orangtua biologisnya tidak jelas.
Hal yang sangat fatal adalah jika kelak anak-anak yang lahir itu sudah dewasa bisa saja mereka saling menikahi saudara
sendiri. Sebab mereka tidak tahu bahwa sperma atau sel telur yang membuahkan hidup mereka berasal dari pendonor yang
sama. Sedangkan di dalam Hukum Gereja dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan sedarah tidak pernah diperbolehkan.
Hal ini adalah sesuai hukum Ilahi dan tidak ada dispensasi atasnya.[46] Artinya, seseorang yang memakai metode IVF dengan
memakai sperma dan telur pendonor telah dengan sengaja menjerumuskan anak-anak tersebut untuk melanggar hukum
Jika diteliti secara detail ternyata lebih 90 % embrio yang dibuahkan melalui proses teknik IVF justru binasa. Bahkan jika
pengguna IVF tidak menghendaki semua embrio yang ditanamkan dalam rahim ibu titipan, bisa melakukan tindakan reduksi
fetus (reduksi selektif).[47] Pengguna leluasa memonitor bayi-bayi dalam rahim. Jika bayi tersebut cacat atau dinilai tidak
sesehat yang lainnya, bisa saja mereka menyingkirkannya dengan membunuh bayi itu. Caranya sangat gampang. Kalium
khlorida dimasukan dalam suntik dan jarumnya diarahkan ke bayi yang dipilih dengan bantuan ultrasound, kemudian jarum
suntik ditusukkan ke jantung bayi. Kalium khlorida mampu membunuh bayi dalam beberapa menit saja.[48] Tindakan ini
merupakan tindakan yang pro pada budaya kematian daripada budaya kehidupan. Sebab, tindakan semacam ini teramasuk
tindakan aborsi, sesuatu yang ditentang habis-habisan oleh Gereja Katolik.[49] Dalam Kitab Keluaran 21:22-25 jelas
dinyatakan bahwa orang yang mengakitabtkan kematian bayi dalam kandungan akan dihukum oleh Allah.
Kedua, alasan medis (kesehatan). Biasanya identitas pendonor telur dan sperma tidak diketahui oleh si anak. Akibatnya anak
tidak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini membuat anak kurang pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan
Ketiga, alasan antropologi. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada kehidupan manusia secara pribadi yang memiliki
status antropologis dan perlu diperlakukan sebagai pribadi manusia.[50] Dari argumen ajaran Gereja ini, proses IVF dan TE
(Transfer Embrio) yang cenderung memanipulasi, mengeksploitasi, mengobjekkan dan menghancurkan embrio adalah
Sebenarnya Gereja Katolik sangat bijak dalam menanggapi kecanggihan teknologi reproduksi. Di dalam dokumen Donum
Vitae (Anugrah Hidup) mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan
kasih suami isteri agar membuahkan kehamilan secara alami, maka intervensi itu dapat diterima secara moral. Akan tetapi, jika
intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah
amoral.[51]
Hubungan antara pembuahan in vitro dan penghancuran embrio-embrio insani yang disengaja paling sering terjadi. Tindakan
ini perlu mendapat perhatian signifikan. Sebab dengan prosedur ini tujuannya rupanya berseberangan: kehidupan dan
kematian diserahkan kepada keputusan manusia yang dengan demikian membuat manusia sesukanya menjadi tuan atas
“The connection between in vitro fertilization and the voluntary destruction of human embryos occurs too often. This is
significant: through these procedures, with apparently contrary purposes, life and death are subjected to the decision of man,
who thus sets himself up as the giver of life and death by decree. This dynamic of violence and domination may remain
unnoticed by those very individuals who, in wishing to utilize this procedure, become subject to it themselves.” [52]
Kutipan Donum Vitae ini berbicara mengenai hak setiap orang untuk dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui
perkawinan. Dalam dan dari perkawinan, pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan yang oleh kodratnya ditujukan
kepada keterbukan penuh kasih kepada kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis. Dokumen Donum Vitae
secara gamplang menyatakan bahwa penghancuran embrio yang disengaja merupakan tindakan aborsi yang notabene
bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Hal itu tampak dalam pernyataan Donum Vitae yang sebenarnya menegaskan
kembali Gadium et Spes artikel 51: “…abortion and infanticide are abominable crimes”. Lebih jauh Donum Vitae: “Such
deliberate destruction of human beings or their utilization for different purposes to the detriment of their integrity and life is
Donum Vitae mengajarkan bahwa metode artificial fertilization daninseminación artificial entre los esposos. inseminasi
buatan/pembuahan buatan antara pasangan tidak bisa dibenarkan secara moral. Pembuahan buatan tidak didasarkan pada
tindakan kasih “persetubuhan” suami-istri. Persetubuhan merupakan ekspresi cinta pasutri yang menyempurnakan mereka
menjadi satu daging (Ef 5: 25.28-29. 32-33; Kej 1: 28 dan 2: 18). Tindakan konjugal suami-istri mesti saling mengekspresikan
diri mereka sebagai hadiah satu sama lain. Tindakan badaniah dan spiritual pasutri adalah kesadaran akan keterbukaan pada
karunia hidup (gift of life). Tindakan konsumasi pasutri menyempurnakan peran mereka sebagai ayah dan ibu.[54]
2. Teknologi Kloning
Gereja menolak teknologi kloning.[55] Ada beberapa alasan antara lain: (1) teknik kloning aseksual. (2) Memproduksi anak
dengan cara mengkopinya. Hal ini tidak memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik melainkan sebagai kelanjutan dari
suatu pribadi lain. (3) Anak bukan dilahirkan melainkan dibuat/diproduksi. Anak bukan lagi rencana dan ciptaan Allah (“made in
God”) melainkan rencana dan buatan manusia (“made in man”). Secara antropologis, martabat manusia direndahkan menjadi
sama dengan barang. (4) Teknik ini semakin menegaskan dominasi manusia atas manusia (“domination of man over man”). (5)
Teknik kloning potensial untuk mengekploitasi dan menghancurkan embrio.[56] (6) Metode ini seolah-olah untuk memberi
solusi kepada pasangan sejenis. Seperti kita ketahui bahwa sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning
akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan
jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu alami.
Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas
dan hebat sehingga seorang anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat.
Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu.
Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga
percobaan dan hipotesa yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui apa yang disebut
`pembelahan anak kembar’, kloning atau parthenogenese harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena
Menurut John M. Haas, yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak mempergunakan kloning untuk
membuat manusia semata-mata demi eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-
jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio
manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi suplai “spare part” mereka.
Sebagian bahkan berbicara mengenai mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau
“tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi
demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai “pribadi”.[58]
5. Solusi yang Ditawarkan
Pada bagian terakhir ini marilah kita melihat tawaran solusi yang perlu diperhatikan oleh umat Katolik dan juga para hirarkhis
Pertama, perlu adanya katekese perkawinan yang komprehensif untuk memberikan pemahaman perkawinan Katolik
kepada keluarga-keluarga Katolik. Diberi pemahaman bahwa salah satu ciri kodrati dari perkawinan Katolik adalah
keterbukaan pada kelahiran anak (prokreasi). Akan tetapi, bukan hak akan kelahiran anak itu sendiri.[59] Perkawinan mesti
dipahami sebagai perjanjian (foedus) sehingga pasutri saling menerima dan menyerahkan diri untuk berpartisipasi dalam
rencana Ilahi.[60] Pasutri adalah rekan Allah dalam proses melahirkan manusia baru (Co-Creator).[61] Oleh karena
itu, consumatum (pesetubuhan) bukan sarana rekreasi. Dengan kata lain, perlu ada pendampingan pasutri agar pemahaman
mereka tentang perkawinan semakin hari semakin komprehensif dan mendalam yang diterangi dengan iman, harapan dan
Kedua, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian kontrasepsi dipanggil
untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum mengetahui bahwa alat-alat kontrasepsi dilarang
Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat yang kompeten.
Ketiga, Gereja perlu bertindak secara persuasif dalam mendampingi pasutri yang pernah memakai alat-alat kontrasepsi
dengan alasan mencegah prokreasi, alasan ekonomi dan alasan gaya hidup agar mereka kembali bertobat untuk menyesali
perbuatan mereka.
Keempat, perlu diberi pemahaman komprehensif kepada umat tentang metode pengaturan Kelahiran Alamiah tanpa memakai
alat-alat kontrasepsi.[62] Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang biasa disebut KBA (Kelaurga
Berencana Alami) kita hanya mempergunakan apa yang sudah ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau
sarana tertentu untuk mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan kalau ingin
mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur, sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka
jangan berhubungan seksual pada masa subur itu. Dalam metode ini sangat penting untuk mengetahui masa subur
perempuan, khususnya saat ovulasi, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak. Ada beberapa cara untuk
mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir kesuburan (mucus) dan suhu basal. Hanya hubungan seks yang
dilakukan pada masa subur yang akan menghasilkan anak. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak subur,
tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada ovum yang matang yang siap dibuahi.
Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi
(pembuahan). Maka pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan konsepsi (=
yang seharusnya ada menjadi tidak ada). KBA disetujui oleh Gereja bukan karena pertama-tama oleh karena tidak memakai
alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu bukan kontrasepsi. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama
terputus), meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak disetujui oleh Allah (bdk.
Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan seks yang dilakukan pada masa subur dan
melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi
pembuahan.
Kelima, keputusan untuk memakai alat-alat kontrasepsi sangat menuntut kesadaran dan hati nurani seseorang. Dalam
menanggapi Ensiklik Humanae Vitae, Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1972 menyatakan bahwa penggunaan
Keenam, umat Katolik dipanggil untuk menghayati perkawinan eksklusif. Mereka yang belum menikah secara sah dipanggil
untuk tidak menjadikan aktivitas seksual sebagai sarana rekreasi. Semakin merebaknya penyakit AID dan HIV justru karena
Pertama, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian teknologi reproduksi
untuk memanipulasi proses pembuahan dipanggil untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum
mengetahui bahwa tindakan memanipulasi proses pembuahan dilarang Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat
yang kompeten.
Kedua, perlu ada komisi atau ahli yang kompeten untuk mendampingi para calon dokter dan perawat atau ahli biomedis Katolik
dan rumah sakit Katolik agar tidak tergiur untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moralitas Katolik seperti
fertilisasi artifisial, kloning dan inseminasi buatan. Para ahli biomedis Katolik mesti tunduk pada kodek etik kedokteran yang
Ketiga, umat Katolik yang melakukan pembunuhan terhadap embrio perlu diberi sanksi tegas seperti ekskomunikasi. Hanya
saja tindakan ini lebih baik pilihan terakhir. Gereja sebaiknya melakukan pendekatan persuasif dan jangan represif. Gereja
Katolik mengajarkan bahwa sejak bertemunya sel sperma dan sel telur, sejak itu sudah mulai ada kehidupan yang perlu
diperlakukan sebagai pribadi manusia.[64] Akan tetapi, dari segi hukum positif (hukum negara) belum tentu mengafirmasi
hukum Gereja semacam ini. Di Indonesia misalnya, hanya mengakui kehidupan setelah beberapa minggu terjadinya konsepsi.
Keempat, negara perlu mengindahkan himbauan dan ajaran moral Gereja. Perkembangan teknologi biologi dewasa ini
menuntut intervensi para pejabat politik dan pembuat hukum, karena pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik
semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat.
Kelima, umat Katolik dipanggil untuk dengan rendah hati menghidupi ajaran Gereja bahwa yang diperbolehkan dalam proses
reproduski adalah pemeriksaan prenatal (sebelum lahir) untuk (1) menentukan jenis kelamin anak (2) mengetahui penyakit bayi
sehingga bisa diobati. Hal inipun bukan semata-mata untuk menjadikan manusia sebagai objek. Akan tetapi, Donum Vitae
menegaskan bahwa jika hasil diagnosis menyatakan bahwa anak itu sakit tidak moralis jika berujung pada aborsi.[65] Artinya,
Donum Vitae menyerukan agar tenologi diagnosa prenatal tidak dipakai untuk tujuan aborsi dan pengguguran.[66]
Keenam, Umat Katolik dipanggil untuk rendah hati mengakui ajaran Gereja untuk mengatasi ketidaksuburan.[67]Gereja
menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang diperbolehkan secara moral dalam mengatasi
ketidaksuburan. Pertama, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau
perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan
bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali ritme
reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di
Omaha, Nebraska telah berhasil gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan dengan
mempergunakan metode-metode alami. Paus Yohanes II mengajarkan bahwa intervensi yang diperbolehkan secara moral
adalah intervensi untuk penyembuhan dari berbagai penyakit yang berasal dari kerusakan kromosom tanpa merusak integritas
individu.[68]
Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT (Lower Tubal Ovum Transfer), secara moral
diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga
tindakan perkawinan dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metode lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut GIFT
(Gamete Intra-Fallopian Transfer). GIFT menyangkut mendapatkan sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil
sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu
gelembung udara. Isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi pembuahan.
Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya
menganggap GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena otoritas
mengajar Gereja – Paus dan para uskup – belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik
bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian
hari otoritas mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi dipergunakan.
Para ahli biologi-medis Amerika memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa mereka dapat mengatasi segala masalah
dengan “teknologi” yang tepat. Tetapi, anak-anak tidak dihasilkan oleh teknologi atau diproduksi oleh suatu industri. Anak
haruslah berasal dari tindakan kasih antara suami dan isteri, dalam kerjasama dengan Tuhan. Tak seorang manusia pun dapat
“menciptakan” gambar dan citra Allah. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan bahwa manusia adalah “rekan kerjasama”
Allah dalam penciptaan. Anak adalah buah dari tindakan kerjasama di antara suami, isteri, dan Tuhan sendiri. Sebagai
Kedua, gene therapy (terapi gen). Namun yang diperbolehkan adalah terapi gen somatic cells. Tujuan penggunaan teknik ini
adalah untuk memulihkan konfigurasi normal (alami) atau penghapusan krusakan genetik manusia yang disebabkan oleh
kelainan genetik dan patologi lainnya. Akan tetapi, terapi gen “germ line cell theraphy” secara moral tidak dapat diakui. Terapi
gen ini ditolak karena hanya dapat digunakan dalam metode IVF sehingga sangat potensial untuk memanipulasi genetik.[69]
6. Penutup
Proses pembuahan seharusnya alami dalam hubungan pasangan suami istri (pasutri). Proses pembuahan bersifat kudus dan
Ilahi. Tindakan kreatif Allah (the creative action of God) dan bukan tindakan kreatif manusia (the creative action of man) yang
menentukan proses terjadinya pembuahan.[70] Munculnya manusia di dunia ini bukan hanya melalui proses hukum biologis
tetapi berhubungan dengan kehendak Allah.[71] Allahlah yang menjadi Tuhan atas manusia dan bukan manusia yang menjadi
tuan atas dirinya sendiri. Itu sebabnya Gereja Katolik menegaskan bahwa tidak ada ahli biologis dan dokter yang berhak
menentukan asal muasal dan takdir manusia berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Pria dan wanita dipanggil untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai fundamental cinta dan hidup dalam seksualitas dan prokreasi. Allah yang adalah kasih dan hidup
telah mengukir dalam diri pria dan wanita panggilan khusus untuk saling berbagi dalam misteri persekutuan personal dan
Mencegah dan mengintervensi terjadinya pembuahan menjadi permasalahan moral dalam Gereja Katolik. Alasannya sangat
masuk akal, sangat teologis-biblis dan spiritualis. Tindakan mencegah prokreasi dan memanipulasi pembuahan dan siklus
reproduksi adalah tindakan yang contra naturam. Tindakan semacam ini telah mereduksi manusia sebagai objek teknologi
biologis dan medis semata. Apa yang secara teknis mungkin, bukanlah alasan untuk secara moral diterima begitu
saja.[73] Gereja Katolik meyakini bahwa makhluk dalam rahim haruslah buah dari kasih orang tua. Anak harus dikandung
dalam rahim ibu bukan dalam rahim laboratorium. Anak dilahirkan bukan dibuat! Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai
hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Mencermati analisis-analisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Gereja
menolak teknologi yang (1) mencegah terjadinya prokreasi; (2) pembuahan tanpa persetubuhan; (3) penghancuran embrio dan
pengobjekan manusia.
Daftar Pustaka
KESETIAAN