Anda di halaman 1dari 19

Apa Tanggapan KWI terhadap Prokreasi Artifisial?

Berikut ini adalah ketentuan dalam Pedoman Pastoral Keluarga yang dikeluarkan oleh KWI
(Konferensi WaliGereja Indonesia) yang ditandatangani oleh Mgr. Martinus Situmorang
OFM. Cap, tanggal 15 November 2010, tentang Prokreasi Artifisial:
“63. Yang dimaksud dengan prokreasi artifisial adalah upaya menurunkan anak dengan cara-
cara buatan (tidak alamiah). Berdasarkan metodanya, tindakan ini dapat dibedakan antara
teknik prokreasi yang membantu hubungan seksual dan teknik prokreasi yang menggantikan
hubungan seksual. Kedua jenis ini mempunyai pertimbangan etis yang berbeda.
a. Teknik pertama adalah cara dan sarana yang dilakukan dengan tujuan untuk membantu
hubungan seksual pasangan suami-istri agar mendapatkan keturunan, misalnya cara dan
sarana yang meningkatkan fertilitas hubungan seksual suami-istri. Karena metoda ini tidak
memisahkan sifat unitif dan prokreatif dari hubungan seksual suami-istri, teknik ini sah dan
tidak bertentangan dengan prinsip moral Katolik. Contoh dari cara dan sarana ini adalah
dengan pemberian obat kesuburan kepada suami atau istri.
b. Teknik kedua adalah cara dan sarana yang menggantikan hubungan seksual suami-istri
agar mereka mendapatkan keturunan. Mengingat hubungan seksual suami-sitri
bersifat unitif dan prokreatif dan keduanya tidak boleh dipisahkan maka cara-cara yang
menggantikan hubungan seksual itu tidak dapat diterima secara moral Katolik. Contoh dari
cara dan sarana ini adalah In Vitro Fertilization (pembuahan dalam tabung), baik dari
pasangan suami-istri maupun dari donor.
64. Berikut ini adalah keberatan-keberatan, baik secara umum maupun secara khusus
terhadap teknik kedua ini.
1. Keberatan umum

 Hubungan seksual suami-istri harus bersifat unitif dan prokreatif sekaligus. Dalam
prokreasi secara artifisial, adanya anak bukan merupakan buah dari hubungan suami istri,
sehingga di sana prokreasi terlepas dari unifikasi suami-istri. Karena itulah, cara tersebut
ditolak oleh Gereja Katolik.
 Pada dasarnya, pembuahan itu terjadi secara kodrati oleh karena hubungan seksual antara
suami istri, sehingga keduanya menjadi “satu daging” (Kej 2:24 dan Mat 19:5 par.) dan
menerima tugas untuk berkembang biak (Kej 1:28). Dengan demikian, hubungan seksual
itu mempunyai dua dimensi penting yang tidak boleh dipisahkan, yakni persatuan suami-
istri dan terbuka kepada keturunan. Oleh karena itu, seturut kehendak Allah, manusia
berkembang biak melalui hubungan seksual. Maka hubungan seksual itu menjadi penting
dalam proses kelahiran anak. Berdasarkan Sabda Allah ini, suatu teknik pembuahan yang
menggantikan hubungan seksual dalam prokreasi tidak dibenarkan dan tidak dapat diterima
oleh Gereja.
 Anak adalah anugerah Allah dan bukan hasil produk dari sebuah teknik. Allah mengangkat
suami-istri menjadi rekan kerja-Nya dalam karya penciptaan dengan cara melahirkan
kehidupan baru. Pemberian diri timbal balik antara suami-istri yang terjadi melalui
hubungan seksual itu menghasilkan buah cinta kasih, yaitu anak yang adalah juga mahkota
perkawinan. Maka Gereja selalu menekankan bahwa anak adalah anugerah dari Allah yang
harus disambut dengan sukacita. Banyak orang berpikir bahwa pasangan suami-istri
mempunyai hak untuk mempunyai hak untuk mempunyai anak. Yang benar adalah anak
bukanlah hak, tetapi anugerah Allah, karena Ia menghendaki pasangan suami-istri yang
diberkati untuk melakukan prokreasi (Kej 1:28). Oleh karena itu, mempunyai anak bukan
pertama-tama hak, tetapi suatu perutusan. Jikalau hak, orang boleh menuntutnya. Akan
tetapi, karena ini merupakan perutusan dari Allah maka sejak awal perkawinan suami-istri
harus terbuka pada kelahiran anak.
 Reproduksi artifisial, baik yang homolog (sprema atau ovum berasal dari suami-istri itu
sendiri) maupun yang heterolog (sperma atau ovum berasal dari donor dan bukan dari
pasangan suami-istri sendiri) tidak bisa diterima secara moral Katolik karena anak yang
muncul darinya bukan menjadi buah dari hubungan seksual ayah dan ibunya.

2. Keberatan khusus
Berikut ini adalah beberapa praktek reproduksi artifisial yang ditolak oleh Gereja Katolik:

 Inseminasi buatan homolog :ditolak karena bersifat menggantikan hubungan suami-istri.


 Inseminasi buatan heterolog: ditolak karena selain bersifat menggantikan hubungan suami-
istri juga mengaburkan genealogi (garis keturunan) dari anak yang lahir.
 In Vitro Fertilization (IVF– pembuahan dalam tabung) dan Embryo Transfer (ET–
pemindahan embrio) adalah teknik pembuahan di dalam cawan (petri disk) yang
dilanjutkan dengan pemindaha embrio ke dalam rahim: ditolak karena selain menggantikan
hubungan seksual suami istri juga memuat seleksi embrio berdasarkan kriteria manusia dan
memungkinkan kematian banyak embrio.
 In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET) ke dalam rahim surrogate
mother (ibu yang meminjamkan atau menyewakan rahim) ditolak karena selain
menggantikan hubungan seksual suami-istri dan memuat seleksi embrio berdasarkan
kriteria manusia serta memungkinkan kematian banyak embrio, juga mengaburkan
identitas dan peran ibu dari anak yang lahir. Namun, menghadapi surrogate mother yang
bertindak dalam rangka menyelamatkan janin yang sudah ada dan beresiko gugur, melihat
nilai moral dari tindakan tersebut, Gereja dapat menerimanya.

65. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus khusus yang berhubungan erat dengan prokreasi
artifisial dan prinsip moral Katolik, yang juga perlu diketahui oleh umat Katolik:
1. Penyimpanan (bank) ovum, sperma dan zygot
Penyimpanan biasanya dilakukan dengan cara pembekuan baik ovum, sperma maupun zygot
(embrio). Pembekuan embrio bertentangan dengan hakekat dan martabat manusia. Sebab,
embrio itu harus diperlakukan sebagai seorang pribadi manusia dan tidak boleh dibahayakan
hidupnya.
2. Embrio yang tersisa (spared embryo)
Jika ada embrio yang tersisa dari proses prokreasi artifisial, embrio tersebut tidak boleh
dimusnahkan ataupun dipakai sebagai bahan riset atau penelitian. Embrio harus diperlakukan
sebagai seorang pribadi dan harus dijauhkan dari pemusnahan (pembunuhan) ataupun
ancaman yang membahayakan hidupnya.
3. Manipulasi embrio
Manipulasi atau rekayasa embrio hanya bisa dibenarkan sejauh untuk kepentingan terapeutik
atau karena tuntutan korektif bagi embrio itu sendiri, dan bukan untuk kepentingan embrio
yang lain. Contoh: embrio yang cacat genetik boleh dimanipulasi agar cacat genetik itu dapat
diminimalkan atau bahkan ditiadakan.
4. Mengandung dan melahirkan anak untuk dijadikan donor.
Mengandung dan melahirkan anak semata-mata dengan tujuan untuk dijadikan donor berarti
bahwa anak itu dilahirkan bukan demi dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan atau tujuan
lain. Tindakan ini merupakan bentuk instrumentalisasi manusia (manusia hanya dijadikan
sarana saja) maka ditolak oleh Gereja Katolik.
5. Prokreasi artifisial post mortem (sesudah kematian pasangan dari yang masih hidup)
Dengan adanya bank sperma dan bank ovum, seorang suami atau istri dimungkinkan untuk
mempunyai anak, walaupun pasangannya sudah meninggal. Namun, secara moral tindakan
ini tidak dibenarkan. Selain keberatan yang berhubungan dengan cara prokreasi artifisial pada
umumnya, masih ada keberatan lain yang berhubungan dengan masalah etis yang
ditimbulkannya oleh kenyataan bahwa anak itu adalah anak dari orang yang sudah
meninggal, sehingga ia dilahirkan tanpa memiliki ayah atau ibu.
6. Membuat janin melalui In Vitro Fertilization dengan tujuan hanya untuk percobaan
Tindakan ini tidak bisa diterima secara moral sebab janin tersebut sengaja diciptakan untuk
sesuatu yang lain, yang berada di luar dirinya sendiri, bukan demi dirinya sendiri. Tindakan
ini adalah bentuk instrumentalisasi manusia, bahkan sama dengan pembunuhan.
66. Gereja menghimbau pelbagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, yakni tenaga
medis, pasangan suami-istri dan orangtua untuk menghormati hukum Allah yang tersurat di
dalam kodrat manusia.
1. Pasangan suami-istri yang tidak mempunyai anak, hendaknya jangan merasa putus asa.
Tidak mempunyai keturunan bukan berarti gagal dalam perkawinan dan hidup berkeluraga,
sebab perkawinan dan hidup berkeluarga masih mempunyai bermacam-macam nilai dan
tujuan yang lebih banyak lagi selain untuk menurunkan anak.
2. Para tenaga kesehatan yang berkecimpung dalam dunia kesehatan reproduksi hendaknya
menghormati norma-norma moral yang berkaitan dengan prokreasi manusia.
3. Hendaknya semua pihak memahami bahwa penolakan Gereja terhadap prokreasi artifisial
itu bukan hanya karena caranya yang tidak kodrati, tetapi lebih-lebih karena cara prokreasi itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral Katolik, terutama yang berhubungan dengan
harkat dan martabat manusia dan berhubungan dengan Allah sebagai Sang Pemberi
kehidupan.”

1. Seks: Media Cinta Kasih Suami Istri

3.1. Sakralitas Seks

Hubungan intim suami istri mengalami transisi dari sekedar pelampiasan hasrat seksual
yang erotis dan manusiawi menjadi konsep yang lebih mulia. Allah menjadi intim dengan
umatnya karena pada saat inilah janji pekawinan terungkap. Ini menggemakan misteri
inkarnasi, Tuhan mengambil wujud manusia.[11]Hubungan intim suami istri
menyempurnakan cinta kasih dan memperkaya tiap pribadi dalam unsur dan tanda-tanda
istimewa persahabatan suami istri.
Lebih lanjut, Yohanes paulus II menegaskan bersatunya tubuh suami dan istri menjadi satu
daging dalam hubungan intim mereka yang sah memperlihatkan hubungan antara Kristus
dan gerejanya.[12] Pernyataan paus ini semakin mempelihatkan keutamaan dan dimensi
sakralitas hubungan intim antara suami dan istri. Penyataan cinta ini menjadi sesuatu yang
tansenden dan memiliki orientasi yang luhur karena bukan saja ditujukan demi kenikmatan
cinta eros dan prokresi. Bersatunya suami istri menjadi satu daging ikut mengambil bagian
dalam pewartaan gereja.

3.2. Penyerahan Diri Total dan Saling Memiliki

Pada dasarnya, setiap manusia hanya mungkin mewujudkan kepenuhan dirinya lewat relasi
dengan orang lain. Syarat mutlak keutuhan relasi suami istri terungkap dalam pemberian
hak atas tubuh. Seks memberikan kontribusi penyatuan dua persona menjadi satu pribadi
yang utuh. Penyerahan diri total sebagai persona kepada pasangan mewujudkan kesatuan
paling dasariah dua persona dalam kungkungan jalinan cinta kasih yang tulus. Seks
merupakan puncak pemberian diri total untuk saling memiliki sekaligus membuka ruang
antara suami istri untuk saling mengisi kekosongan jiwa yang mebutuhkan belaian intim
cinta pribadi lain.

Pengenalan yang mendalam terhadap pasangan menjamin kekudusan cinta Allah kepada
manusia yang tinggal bersama dengan mereka. Persekutuan suami istri dikuatkan dan
disemangati dalam semangat inkarnasi dan penebusan yang meresapi seluruh bagian
kehidupan suami istri dengn iman, harapan dan cinta kasih.[13]

Tanggapan Gereja Katolik Terhadap Teknologi


Kontrasepsi dan Teknologi Reproduksi
Posted by postinus pada Oktober 5, 2010

6 Votes
Oleh Postinus Gulö

1. Pengantar

Dahsyat dan mencengangkan! Itulah kata yang cocok untuk melukiskan bagaimana manusia merekayasa proses kehidupan.

Pada zaman ini sudah begitu gencar perkembangan kecanggihan teknologi kontrasepsi dan reproduksi. Akan tetapi, teknologi

tersebut telah menampilkan dua wajah: memberi solusi sekaligus berpotensi manipulatif. Hasil penemuan tersebut dipandang

positif dan menawarkan solusi jika dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan fungsi normal dan alami

proses prokreasi manusia. Akan tetapi, teknologi itu dipandang negatif-manipulatif jika digunakan untuk menghancurkan dan

mengobjekkan manusia atau dipakai untuk tindakan yang berlawanan dengan kebaikan integral umat manusia.[1] Realitas

menunjukkan bahwa para ahli biomedis milenium ketiga ini bisa melakukan intervensi-determinatif terhadap siklus alami

biologis. Para ilmuwan biomedis mampu mengintervensi, mencegah, dan memanipulasi proses terjadinya pembuahan.

Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan manusia untuk berkembang biak terpisah dari seksual sesuatu yang tidak bisa

diterima secara moral. Umat Allah perlu mengingat bahwa apa yang mungkin secara teknologi belum tentu dapat diterima

dalam moral Katolik.[2] Paus Yohanes Paulus II pernah menyadarkan umat Allah agar jangan terjebak dalam lingkaran sikap

permissif (memperbolehkan segalanya) yang bertentangan dengan hakekat perkawinan dan keluarga.[3]

Dalam paper ini, penulis[4] akan membentangkan deskripsi-analitik mengenai tanggapan moral Gereja Katolik terhadap

teknologi kontrasepsi dan teknologi reproduksi itu. Namun sebelumnya, penulis berusaha untuk mendeskripsikan teknologi

kontrasepsi dan teknologi reproduksi. Penulis berusaha menganalisis alasan-alasan penggunaan alat-alat kontrasepsi dan

teknologi reproduksi serta persoalan-persoalan yang muncul dari kecanggihan teknologi tersebut. Berdasarkan deskripsi dan

analisis inilah penulis mengeksplorasi penilaian moral atas masalah berdasarkan dokumen Gereja. Di bagian akhir paper ini,

penulis berusaha menjabarkan tawaran solusi berdasarkan ajaran Gereja. Selamat membaca!

2. Teknologi Kontrasepsi

Kontrasepsi adalah suatu tindakan mencegah terjadinya pembuahan (konsepsi). Alat kontrasepsi bisa mengacaukan siklus

dan masa reproduksi pada wanita dan pria. Ada beberapa cara mencegah terjadinya pembuahan, antara lain:

Pertama dengan memakai kontrasepsi. Ada kontrasepsi mekanik seperti kondom (pria), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR

atau IUD), diafragma atau kap seviks yang dipasang dalam vagina, Spermisida (jelly, krim dan pasta atau tablet berbusa) yang

dipasang dalam vagina saat senggama. Ada juga alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntikan, dan susuk.[5] Kontrasepsi

hormonal menggunakan hormon dari progesteron sampai kombinasi estrogen dan progesteron. Alat kontrasepsi berupa pil

sangat berbahaya bagi kesehatan wanita yang mempunyai tekanan darah tinggi, gangguan sirkulasi darah, varises, dan

pendarahan melalui vagina. Efek dari kontrasepsi hormonal yang berkomponen estrogen adalah mudah tersinggung dan

tegang, berat badan bertambah, menimbulkan nyeri kepala, perdarahan banyak saat menstruasi. Sedangkan yang

berkomponen progesteron mengakibatkan payudara tegang, menstruasi berkurang, kaki dan tangan sering kram, dan liang

senggama kering.[6]
Kedua, coitus interuptus (sanggama terputus). Menurut Pastor CB Kusmaryanto, SCJ tindakan ini bisa disebut metode

kontrasepsi. Sebab saat melakukan persetubuhan sperma dibuang keluar bukan di dalam vagina. Akibatnya, tidak terjadi

pembuahan.[7]

Ketiga, mengakhiri kesuburan pada wanita dan pria. Pada wanita dilakukan dengan mengikat atau memotong sel telur

(tubektomi). Sedangkan pada pria, dilakukan dengan memotong saluran mani yang terdapat pada kantung pelir

(vasektomi). [8]

Ada beberapa alasan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Pertama, alasan ekonomis. Hal ini tampak dalam tujuan program

Keluarga Berencana di Indonesia. Ada beberapa tujuan program KB antara lain: (1) untuk menghindari kelahiran yang tidak

diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam

keluarga; (2) untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan

kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; (3) untuk

memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa; (4) untuk mengurangi ledakan penduduk demi

menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa.[9]

Kedua, alasan psikologis dan etis. Terutama pada saat pacaran. Hamil diluar nikah adalah aib dan melanggar norma

kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka

kematian ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Keempat, alasan gaya hidup. Ada yang tidak

mau hamil karena setelah melahirkan yang bersangkutan merasa tidak cantik lagi, tubuhnya melar, tidak seksi. Kelima, alasan

kerja. Ada perusahaan swasta tertentu yang mensyaratkan karyawannya untuk tidak menikah sebelum habis masa kontrak

kerja. Konsekuensinya, kalau yang bersangkutan hamil maka ia kehilangan pekerjaannya. Ada juga karyawan yang tidak mau

punya anak karena mengganggu dia untuk bekerja.

3. Teknologi Reproduksi

Teknologi reproduksi adalah ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk

menghasilkan suatu keturunan.[10] Ada beberapa teknologi reproduki, antara lain:

Pertama, In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET). Teknologi IVF membuahkan kehidupan baru dalam sebuah

cawan kaca. Anak-anak yang dibuahkan melalui teknologi ini lebih dikenal sebagai bayi tabung. Cara membuahi bayi tabung

sangat teknis. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan

matangnya banyak telur dalam waktu bersamaan. Sperma diambil dari laki-laki, bisa melalui masturbasi atau dengan cara lain.

Telur dan sperma tersebut disatukan dalam sebuah cawan kaca. Di sinilah terjadi pembuahan dan kehidupan baru dibiarkan

berkembang selama beberapa hari. Dalam IVF, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada kontrol

kualitas (quality control) dan apabila anak tersebut cacat bisa saja dibinasakan.[11] Artinya, anak-anak dibuahkan dalam
“rahim laboratorium” bukan dalam rahim ibu. Cara lain yang sangat terkenal adalah ET. Dalam proses ET, embrio-embrio

ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa salah satu akan bertahan hidup dan berkembang hingga saat persalinan.

Kedua, teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination /AI”. Dalam teknik ini, sperma disuntikkan ke dalam atau ke dekat

leher rahim sang wanita. Artinya, seorang gadis tanpa berhubungan badan dengan pria bisa mengandung dan melahirkan.

Dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam

larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank sperma. Dengan adanya bank sperma ini

banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang

istri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami

tersebut di bank sperma.[12] Akan tetapi kita mesti sadari bahwa kecanggihan teknologi semacam ini tidak serta-merta

diperbolehkan oleh Gereja Katolik karena bertentangan dengan prinsip moralitas.[13] Sudah bisa dibayangkan, anak lahir

bukan lagi dalam rahim manusia tetapi dalam rahim laboratorium!

Ketiga, Teknologi Kloning. “Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan

bukan lagi sperma tetapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel

somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika organisme dari mana ia diambil. Boleh jadi organisme (individu) yang

dipilih justru bukan manusia. Pada kloning manusia, telur wanita diambil terlebih dahulu sebelum kloning dilakukan. Kemudian,

inti telur wanita dihancurkan dengan zat kimia atau laser dan kemudian “dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang

telah dibuahi itu lalu dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti pembuahan biasa. Jika berhasil,

hasil kloning persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu.[14]

Ada beberapa alasan pengembangan dan penggunaan teknologi reproduksi. Pertama, untuk mendapatkan keturunan terutama

bagi pasutri yang mandul. Kedua, untuk mendapatkan keturunan yang super cerdas atau sesuai keinginan orangtua atau agar

keinginan orangtua memilih genetik anak-anak yang akan mereka lahirkan terpenuhi.[15]Ketiga, untuk memperpanjang hidup

manusia. Keempat, untuk mendapatkan anak walaupun secara alami sudah menopause. Apakah alasan-alasan ini diterima

Gereja Katolik? Marilah kita lihat berikut ini.

4. Pandangan dan Tanggapan Gereja Katolik

1. Tanggapan terhadap Teknologi Kontrasepsi

Dalam Humanae Vitae (HV)[16] sebagaimana diungkap oleh Charles E. Curran, pemakaian metode kontrasepsi merupakan

tindakan yang haram (illicit).[17] Ensiklik Humanae Vitaemelarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah

bahwa setiap persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru.[18] Ajaran HV ini berdasarkan pada

kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual yang menyatukan (unitif), relasional (saling menyerahkan

diri) dan terbuka pada keturunan (prokreatif) tidak dipisahkan.[19] Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan

ketiga makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan wanita. Ketiga sifat hubungan

seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta

kasih antara suami istri. Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta manusia
seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak

terpisahkan.[20] Kontrasepsi dengan sengaja memisahkan makna hubungan seksual yang unitif, relasional dan prokreatif.

Ensiklik Humanae Vitae menegaskan bahwa pengendalian kelahiran dengan alasan untuk mengatur jarak kelahiran

merupakan tidakan yang tidak dapat diterima.[21]

Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ mengutip HV yang menyatakan: “Penghentian langsung proses generatif yang sudah

dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar

tidak bisa digolongkan sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula sterilisasi langsung (pengakhiri

kesuburan), baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik

sebelum atau dalam pelaksanaan hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan

prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya tidak bisa diklaim sebagai cara yang sah.”[22]

Pokoknya, mencegah terjadinya kelahiran anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran moral

Katolik.[23] Gereja berpegang teguh pada prinsip bahwa persetubuhan (consumatum) antara suami-istri yang sah pada dirinya

sendiri terbuka untuk kelahiran anak.[24] Kontrasepsi merupakan tindakan sengaja menghalangi keterbukaan suami-istri untuk

kelahiran anak. Oleh karena itulah, kontrasepsi melanggar prinsip perkawinan Katolik. Penegasan semacam ini tampak dalam

pernyataan Donum Vitae:

“Contraception deliberately deprives the conjugal act of its openness to procreation and in this way brings about a voluntary

dissociation of the ends of marriage. Homologous artificial fertilization, in seeking a procreation which is not the fruit of a

specific act of conjugal union, objectively effects an analogous separation between the goods and the meanings of

marriage.”[25]

Pemakaian alat-alat kontrasepsi telah merendahkan martabat luhur dari tindakan seksualitas suami istri itu sendiri. Paus

Yohanes Paulus II dalam Sinode para Uskup Oktober 1980 pernah mengeluarkan Himbauan Apostolik Familiaris

Consortio (FC) yang memberi pelajaran berharga mengenai seksualitas suami istri. Dalam dokumen ini Yohanes Paulus II

mengajarkan bahwa seksualitas pria-wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan

eksklusif bagi suami istri. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi bila merupakan suatu unsur integral

dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.[26]

Dalam dokumen Donum Vitae, Kongregasi Doktrin Iman menegaskan kembali apa yang pernah ditulis di dalam Konstitusi

Pastoral Gadium et Spes (GS) bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mesti menghormati kriteria dasar moralitas tanpa

syarat yakni harus melayani pribadi manusia, hak-hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable) dan kebenaran dan

kebaikan integral sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Hal ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae berikut:

“Thus science and technology require, for their own intrinsic meaning, an unconditional respect for the fundamental criteria of

the moral law: that is to say, they must be at the service of the human person, of his inalienable rights and his true and integral

good according to the design and will of God.”[27]

Pada saat bertemunya sperma dan sel telur pada saat itulah awal kehidupan. Oleh karena itu, sejak konsepsi kehidupan

manusia sudah harus dihormati.[28] Setiap manusia adalah citra Ilahi (Kej 1: 27). Kelahiran manusia melibatkan tindakan
kreatif Allah (the creative action of God). Itu sebabnya, kehidupan manusia kudus adanya. Allah adalah Tuhan kehidupan. Oleh

karena itu, manusia bukanlah tuan atas dirinya. Prokreasi manusia mengandaikan kolabroasi suami-istri yang bertanggung

jawab terhadap kepenuhan cinta Allah.[29] “Human procreation requires on the part of the spouses responsible collaboration

with the fruitful love of God; the gift of human life must be actualized in marriage through the specific and exclusive acts of

husband and wife, in accordance with the laws inscribed in their persons and in their union.” [30]

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa persatuan seksual yang menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri

secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang

secara obyektif ambivalen. Artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa pada penolakan

positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada

penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut

dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.”[31]

B. Tanggapan Terhadap Teknologi Reproduksi

1. Fertilisasi Artifisial: fertilisasi in vitro, transfer embrio, dan inseminasi buatan

Gereja menegaskan bahwa pemakaian metode fertilisasi in vitro atau In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo

Transfer (ET)[32] untuk mengatasi ketidaksuburan merupakan tindakan amoral! Bahkan Donum Vitae menyatakan dengan

keras: “It is immoral to produce human embryos destined to be exploited as disposable “biological

material”.” [33] Mengapa fertilisasi in vitro amoral? Ada beberapa alasan.

Pertama, alasan moral dan hukum perkawinan. Pemakaian teknologi IVF dan ET jelas menjadikan manusia sebagai objek

teknologi biologis semata. Instruksi Dignitas Personae menegaskan kembali pengajaran Evangelium Vitae yang menyatakan:

“Penggunaan embrio manusia dan janin sebagai objek eksperimen merupakan kejahatan terhadap martabat mereka sebagai

manusia yang berhak atas penghargaan yang sama sebagai anak lahir hanya sekali, sama seperti setiap orang.”[34]

Menurut Instruksi Donum Vitae, prokreasi manusia mesti terjadi dalam hubungan perkawinan bukan dengan intervensi

manusia. Argumen Donum Vitae sangat teologis: “Every human being is always to be accepted as a gift and blessing of God.

However, from the moral point of view a truly responsible procreation vis-à-vis the unborn child must be the fruit of

marriage.”[35] Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Dignitas Personae: “The origin of human life has its authentic context in

marriage and in the family, where it is generated through an act which expresses the reciprocal love between a man and a

woman. Procreation which is truly responsible vis-à-vis the child to be born must be the fruit of marriage.”[36]

Teknik-teknik IVF memberi peluang untuk melakukan manipulasi biologis dan genetik pada embrio manusia, seperti upaya

untuk melakukan fertilisasi antara manusia dan hewan. Bahkan bisa saja embrio manusia dikandung dalam rahim hewan.

Teknik-teknik ini bertentangan dengan martabat manusia yang secara alami dilahirkan dalam perkawinan dan dari pernikahan

(born within marriage and from marriage). Bahkan teknik semacam ini potensial untuk meremehkan ketubuhan manusia

(“…disdain human bodiliness”). Seharusnya kita mengangkat martabat ketubuhan manusia itu seperti Yesus yang telah

memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah bahkan mengambil bagian dari kodrat Ilahi (Yoh. 1: 12; 2 Pet 1: 4).[37]
Dalam Instruksi Dignitas Personae, Kongregasi Ajaran iman mengajarkan kepada umat Katolik dan pencari kebenaran bahwa

perkawinan yang terjadi sepanjang masa dan di semua kebudayaan diinstitusikan oleh Sang Pencipta untuk membawa

rencana-Nya yang dijiwai cinta kepada manusia. Perkawinan itu merupakan ekspresi dan kesediaan untuk

membentuk communio yang bersifat eksklusif serta saling melengkapi. Ciri kodrati perkawinan adalah keterbukaan pada

kehidupan baru akan tetapi dengan cara dan proses yang alami yang dinyatakan dalam hubungan timbal-balik antara pria dan

wanita yang telah menikah secara sah. Transmisi kehidupan digoreskan oleh hukum alam dan hukum tersebut tak tertulis

tetapi semua orang perlu mengacu padanya.[38]

Di dalam metode IVF sering dipakai teknik pembekuan embrio untuk meningkatkan keberhasilan IVF. Tindakan membekukan

embrio bisa dianggap sebagai tindakan yang menggunakan embrio sebagai tujuan terapeutik atau kegiatan penelitian. Oleh

karena itu tindakan ini harus ditolak.[39] Pembekuan embrio, bahkan ketika dilakukan untuk melestarikan kehidupan embrio

merupakan pelanggaran terhadap rasa hormat kepada manusia. Sebab embrio-embrio itu menghadapi risiko yang serius dari

kematian atau membahayakan integritas fisik mereka. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada personal kehidupan

yang memiliki hak untuk hidup.[40] Dalam proses IVF (dan ET) embrio-embrio itu dengan sengaja dipisahkan dari kasih dan

proses kehamilan seorang ibu dan menempatkan mereka dalam situasi yang penuh manipulasi.[41] Proses IVF sangat

potensial untuk merusak embrio secara terencana dan sengaja.[42]

Teknik IVF dan ET menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilah. Tidak dapat diterima oleh

Gereja tindakan apapun yang memisahkan proses prokreasi dari konteks pribadi yang integral dari tindakan suami-istri

(hubungan seksual). Prokreasi adalah tindakan personal suami istri yang tidak dapat digantikan.[43] Lebih jauh, Dignitas

Personae menyatakan:

“Gereja mengakui keabsahan keinginan orangtua untuk memiliki anak dan memahami penderitaan pasangan-pasangan yang

mengalami ketidaksuburan. Namun, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan “produksi” anak

(seperti metode pembuahan buatan yang terpisah dari persetubuhan). Begitu juga keinginan untuk tidak memiliki anak tidak

bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan meninggalkan atau menghancurkan seorang anak (embrio atau janin).”[44]

Teknik IVF bukan membantu tindakan kasih suami istri untuk mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan

melalui tindakan kasih antara suami istri melainkan melalui prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para ahli biomedis.

Suami dan istri hanya sekadar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli

sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Dalam metode IVF bisa juga digunakan telur dan sperma dari pendonor.

Dengan kata lain, ayah dan ibu genetik dari anak bisa saja orang lain dari luar perkawinan. Hal ini bertentangan dengan

Hukum Gereja yang menyatakan bahwa perkawinan itu eksklusif.[45] Bahkan hal ini dapat menimbulkan masalah psikologis

bagi anak. Terutama jika ia tahu bahwa orangtua biologisnya tidak jelas.

Hal yang sangat fatal adalah jika kelak anak-anak yang lahir itu sudah dewasa bisa saja mereka saling menikahi saudara

sendiri. Sebab mereka tidak tahu bahwa sperma atau sel telur yang membuahkan hidup mereka berasal dari pendonor yang

sama. Sedangkan di dalam Hukum Gereja dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan sedarah tidak pernah diperbolehkan.

Hal ini adalah sesuai hukum Ilahi dan tidak ada dispensasi atasnya.[46] Artinya, seseorang yang memakai metode IVF dengan
memakai sperma dan telur pendonor telah dengan sengaja menjerumuskan anak-anak tersebut untuk melanggar hukum

gereja itu sendiri. Inilah tindakan tragis!

Jika diteliti secara detail ternyata lebih 90 % embrio yang dibuahkan melalui proses teknik IVF justru binasa. Bahkan jika

pengguna IVF tidak menghendaki semua embrio yang ditanamkan dalam rahim ibu titipan, bisa melakukan tindakan reduksi

fetus (reduksi selektif).[47] Pengguna leluasa memonitor bayi-bayi dalam rahim. Jika bayi tersebut cacat atau dinilai tidak

sesehat yang lainnya, bisa saja mereka menyingkirkannya dengan membunuh bayi itu. Caranya sangat gampang. Kalium

khlorida dimasukan dalam suntik dan jarumnya diarahkan ke bayi yang dipilih dengan bantuan ultrasound, kemudian jarum

suntik ditusukkan ke jantung bayi. Kalium khlorida mampu membunuh bayi dalam beberapa menit saja.[48] Tindakan ini

merupakan tindakan yang pro pada budaya kematian daripada budaya kehidupan. Sebab, tindakan semacam ini teramasuk

tindakan aborsi, sesuatu yang ditentang habis-habisan oleh Gereja Katolik.[49] Dalam Kitab Keluaran 21:22-25 jelas

dinyatakan bahwa orang yang mengakitabtkan kematian bayi dalam kandungan akan dihukum oleh Allah.

Kedua, alasan medis (kesehatan). Biasanya identitas pendonor telur dan sperma tidak diketahui oleh si anak. Akibatnya anak

tidak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini membuat anak kurang pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan

kesehatan turunan yang diwariskan oleh ayah-ibunya.

Ketiga, alasan antropologi. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada kehidupan manusia secara pribadi yang memiliki

status antropologis dan perlu diperlakukan sebagai pribadi manusia.[50] Dari argumen ajaran Gereja ini, proses IVF dan TE

(Transfer Embrio) yang cenderung memanipulasi, mengeksploitasi, mengobjekkan dan menghancurkan embrio adalah

tindakan yang salah!

Sebenarnya Gereja Katolik sangat bijak dalam menanggapi kecanggihan teknologi reproduksi. Di dalam dokumen Donum

Vitae (Anugrah Hidup) mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan

kasih suami isteri agar membuahkan kehamilan secara alami, maka intervensi itu dapat diterima secara moral. Akan tetapi, jika

intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah

amoral.[51]

Hubungan antara pembuahan in vitro dan penghancuran embrio-embrio insani yang disengaja paling sering terjadi. Tindakan

ini perlu mendapat perhatian signifikan. Sebab dengan prosedur ini tujuannya rupanya berseberangan: kehidupan dan

kematian diserahkan kepada keputusan manusia yang dengan demikian membuat manusia sesukanya menjadi tuan atas

hidup dan mati.

“The connection between in vitro fertilization and the voluntary destruction of human embryos occurs too often. This is

significant: through these procedures, with apparently contrary purposes, life and death are subjected to the decision of man,

who thus sets himself up as the giver of life and death by decree. This dynamic of violence and domination may remain

unnoticed by those very individuals who, in wishing to utilize this procedure, become subject to it themselves.” [52]

Kutipan Donum Vitae ini berbicara mengenai hak setiap orang untuk dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui

perkawinan. Dalam dan dari perkawinan, pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan yang oleh kodratnya ditujukan

kepada keterbukan penuh kasih kepada kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis. Dokumen Donum Vitae
secara gamplang menyatakan bahwa penghancuran embrio yang disengaja merupakan tindakan aborsi yang notabene

bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Hal itu tampak dalam pernyataan Donum Vitae yang sebenarnya menegaskan

kembali Gadium et Spes artikel 51: “…abortion and infanticide are abominable crimes”. Lebih jauh Donum Vitae: “Such

deliberate destruction of human beings or their utilization for different purposes to the detriment of their integrity and life is

contrary to the doctrine on procured abortion already recalled.”[53]

Donum Vitae mengajarkan bahwa metode artificial fertilization daninseminación artificial entre los esposos. inseminasi

buatan/pembuahan buatan antara pasangan tidak bisa dibenarkan secara moral. Pembuahan buatan tidak didasarkan pada

tindakan kasih “persetubuhan” suami-istri. Persetubuhan merupakan ekspresi cinta pasutri yang menyempurnakan mereka

menjadi satu daging (Ef 5: 25.28-29. 32-33; Kej 1: 28 dan 2: 18). Tindakan konjugal suami-istri mesti saling mengekspresikan

diri mereka sebagai hadiah satu sama lain. Tindakan badaniah dan spiritual pasutri adalah kesadaran akan keterbukaan pada

karunia hidup (gift of life). Tindakan konsumasi pasutri menyempurnakan peran mereka sebagai ayah dan ibu.[54]

2. Teknologi Kloning

Gereja menolak teknologi kloning.[55] Ada beberapa alasan antara lain: (1) teknik kloning aseksual. (2) Memproduksi anak

dengan cara mengkopinya. Hal ini tidak memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik melainkan sebagai kelanjutan dari

suatu pribadi lain. (3) Anak bukan dilahirkan melainkan dibuat/diproduksi. Anak bukan lagi rencana dan ciptaan Allah (“made in

God”) melainkan rencana dan buatan manusia (“made in man”). Secara antropologis, martabat manusia direndahkan menjadi

sama dengan barang. (4) Teknik ini semakin menegaskan dominasi manusia atas manusia (“domination of man over man”). (5)

Teknik kloning potensial untuk mengekploitasi dan menghancurkan embrio.[56] (6) Metode ini seolah-olah untuk memberi

solusi kepada pasangan sejenis. Seperti kita ketahui bahwa sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning

akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan

jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu alami.

Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas

dan hebat sehingga seorang anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat.

Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu.

Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga

percobaan dan hipotesa yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui apa yang disebut

`pembelahan anak kembar’, kloning atau parthenogenese harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena

bertentangan dengan martabat prokreasi insani dan sanggama.” [57]

Menurut John M. Haas, yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak mempergunakan kloning untuk

membuat manusia semata-mata demi eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-

jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio

manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi suplai “spare part” mereka.

Sebagian bahkan berbicara mengenai mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau

“tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi

demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai “pribadi”.[58]
5. Solusi yang Ditawarkan

Pada bagian terakhir ini marilah kita melihat tawaran solusi yang perlu diperhatikan oleh umat Katolik dan juga para hirarkhis

Gereja terutama mereka yang terlibat dalam pendampingan keluarga-keluarga.

a. Bagi Pemakai Kontrasepsi

Pertama, perlu adanya katekese perkawinan yang komprehensif untuk memberikan pemahaman perkawinan Katolik

kepada keluarga-keluarga Katolik. Diberi pemahaman bahwa salah satu ciri kodrati dari perkawinan Katolik adalah

keterbukaan pada kelahiran anak (prokreasi). Akan tetapi, bukan hak akan kelahiran anak itu sendiri.[59] Perkawinan mesti

dipahami sebagai perjanjian (foedus) sehingga pasutri saling menerima dan menyerahkan diri untuk berpartisipasi dalam

rencana Ilahi.[60] Pasutri adalah rekan Allah dalam proses melahirkan manusia baru (Co-Creator).[61] Oleh karena

itu, consumatum (pesetubuhan) bukan sarana rekreasi. Dengan kata lain, perlu ada pendampingan pasutri agar pemahaman

mereka tentang perkawinan semakin hari semakin komprehensif dan mendalam yang diterangi dengan iman, harapan dan

kasih serta kerendahan hati menuruti ajaran moral Gerejawi.

Kedua, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian kontrasepsi dipanggil

untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum mengetahui bahwa alat-alat kontrasepsi dilarang

Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat yang kompeten.

Ketiga, Gereja perlu bertindak secara persuasif dalam mendampingi pasutri yang pernah memakai alat-alat kontrasepsi

dengan alasan mencegah prokreasi, alasan ekonomi dan alasan gaya hidup agar mereka kembali bertobat untuk menyesali

perbuatan mereka.

Keempat, perlu diberi pemahaman komprehensif kepada umat tentang metode pengaturan Kelahiran Alamiah tanpa memakai

alat-alat kontrasepsi.[62] Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang biasa disebut KBA (Kelaurga

Berencana Alami) kita hanya mempergunakan apa yang sudah ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau

sarana tertentu untuk mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan kalau ingin

mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur, sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka

jangan berhubungan seksual pada masa subur itu. Dalam metode ini sangat penting untuk mengetahui masa subur

perempuan, khususnya saat ovulasi, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak. Ada beberapa cara untuk

mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir kesuburan (mucus) dan suhu basal. Hanya hubungan seks yang

dilakukan pada masa subur yang akan menghasilkan anak. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak subur,

tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada ovum yang matang yang siap dibuahi.

Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi

(pembuahan). Maka pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan konsepsi (=

yang seharusnya ada menjadi tidak ada). KBA disetujui oleh Gereja bukan karena pertama-tama oleh karena tidak memakai

alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu bukan kontrasepsi. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama

terputus), meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak disetujui oleh Allah (bdk.

Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan seks yang dilakukan pada masa subur dan
melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi

pembuahan.

Kelima, keputusan untuk memakai alat-alat kontrasepsi sangat menuntut kesadaran dan hati nurani seseorang. Dalam

menanggapi Ensiklik Humanae Vitae, Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1972 menyatakan bahwa penggunaan

kontrasepsi diserahkan kepada masing-masing pasangan sesuai dengan suara hatinya.[63]

Keenam, umat Katolik dipanggil untuk menghayati perkawinan eksklusif. Mereka yang belum menikah secara sah dipanggil

untuk tidak menjadikan aktivitas seksual sebagai sarana rekreasi. Semakin merebaknya penyakit AID dan HIV justru karena

terbenamnya orang pada seks bebas.

b. Bagi Pengguna dan Pembuat Teknologi Reproduksi

Pertama, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian teknologi reproduksi

untuk memanipulasi proses pembuahan dipanggil untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum

mengetahui bahwa tindakan memanipulasi proses pembuahan dilarang Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat

yang kompeten.

Kedua, perlu ada komisi atau ahli yang kompeten untuk mendampingi para calon dokter dan perawat atau ahli biomedis Katolik

dan rumah sakit Katolik agar tidak tergiur untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moralitas Katolik seperti

fertilisasi artifisial, kloning dan inseminasi buatan. Para ahli biomedis Katolik mesti tunduk pada kodek etik kedokteran yang

mengafirmasi ajaran dan keyakinan Gereja Katolik.

Ketiga, umat Katolik yang melakukan pembunuhan terhadap embrio perlu diberi sanksi tegas seperti ekskomunikasi. Hanya

saja tindakan ini lebih baik pilihan terakhir. Gereja sebaiknya melakukan pendekatan persuasif dan jangan represif. Gereja

Katolik mengajarkan bahwa sejak bertemunya sel sperma dan sel telur, sejak itu sudah mulai ada kehidupan yang perlu

diperlakukan sebagai pribadi manusia.[64] Akan tetapi, dari segi hukum positif (hukum negara) belum tentu mengafirmasi

hukum Gereja semacam ini. Di Indonesia misalnya, hanya mengakui kehidupan setelah beberapa minggu terjadinya konsepsi.

Keempat, negara perlu mengindahkan himbauan dan ajaran moral Gereja. Perkembangan teknologi biologi dewasa ini

menuntut intervensi para pejabat politik dan pembuat hukum, karena pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik

semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat.

Kelima, umat Katolik dipanggil untuk dengan rendah hati menghidupi ajaran Gereja bahwa yang diperbolehkan dalam proses

reproduski adalah pemeriksaan prenatal (sebelum lahir) untuk (1) menentukan jenis kelamin anak (2) mengetahui penyakit bayi

sehingga bisa diobati. Hal inipun bukan semata-mata untuk menjadikan manusia sebagai objek. Akan tetapi, Donum Vitae

menegaskan bahwa jika hasil diagnosis menyatakan bahwa anak itu sakit tidak moralis jika berujung pada aborsi.[65] Artinya,

Donum Vitae menyerukan agar tenologi diagnosa prenatal tidak dipakai untuk tujuan aborsi dan pengguguran.[66]
Keenam, Umat Katolik dipanggil untuk rendah hati mengakui ajaran Gereja untuk mengatasi ketidaksuburan.[67]Gereja

menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang diperbolehkan secara moral dalam mengatasi

ketidaksuburan. Pertama, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau

perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan

bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali ritme

reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di

Omaha, Nebraska telah berhasil gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan dengan

mempergunakan metode-metode alami. Paus Yohanes II mengajarkan bahwa intervensi yang diperbolehkan secara moral

adalah intervensi untuk penyembuhan dari berbagai penyakit yang berasal dari kerusakan kromosom tanpa merusak integritas

individu.[68]

Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT (Lower Tubal Ovum Transfer), secara moral

diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga

tindakan perkawinan dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metode lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut GIFT

(Gamete Intra-Fallopian Transfer). GIFT menyangkut mendapatkan sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil

sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu

gelembung udara. Isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi pembuahan.

Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya

menganggap GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena otoritas

mengajar Gereja – Paus dan para uskup – belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik

bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian

hari otoritas mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi dipergunakan.

Para ahli biologi-medis Amerika memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa mereka dapat mengatasi segala masalah

dengan “teknologi” yang tepat. Tetapi, anak-anak tidak dihasilkan oleh teknologi atau diproduksi oleh suatu industri. Anak

haruslah berasal dari tindakan kasih antara suami dan isteri, dalam kerjasama dengan Tuhan. Tak seorang manusia pun dapat

“menciptakan” gambar dan citra Allah. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan bahwa manusia adalah “rekan kerjasama”

Allah dalam penciptaan. Anak adalah buah dari tindakan kerjasama di antara suami, isteri, dan Tuhan sendiri. Sebagai

kesimpulan akhir, anak-anak seharusnyalah diperanakkan, bukan dibuat.

Kedua, gene therapy (terapi gen). Namun yang diperbolehkan adalah terapi gen somatic cells. Tujuan penggunaan teknik ini

adalah untuk memulihkan konfigurasi normal (alami) atau penghapusan krusakan genetik manusia yang disebabkan oleh

kelainan genetik dan patologi lainnya. Akan tetapi, terapi gen “germ line cell theraphy” secara moral tidak dapat diakui. Terapi

gen ini ditolak karena hanya dapat digunakan dalam metode IVF sehingga sangat potensial untuk memanipulasi genetik.[69]

6. Penutup

Proses pembuahan seharusnya alami dalam hubungan pasangan suami istri (pasutri). Proses pembuahan bersifat kudus dan

Ilahi. Tindakan kreatif Allah (the creative action of God) dan bukan tindakan kreatif manusia (the creative action of man) yang

menentukan proses terjadinya pembuahan.[70] Munculnya manusia di dunia ini bukan hanya melalui proses hukum biologis
tetapi berhubungan dengan kehendak Allah.[71] Allahlah yang menjadi Tuhan atas manusia dan bukan manusia yang menjadi

tuan atas dirinya sendiri. Itu sebabnya Gereja Katolik menegaskan bahwa tidak ada ahli biologis dan dokter yang berhak

menentukan asal muasal dan takdir manusia berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Pria dan wanita dipanggil untuk

mengaktualisasikan nilai-nilai fundamental cinta dan hidup dalam seksualitas dan prokreasi. Allah yang adalah kasih dan hidup

telah mengukir dalam diri pria dan wanita panggilan khusus untuk saling berbagi dalam misteri persekutuan personal dan

karya-Nya sebagai Pencipta dan Bapa.[72]

Mencegah dan mengintervensi terjadinya pembuahan menjadi permasalahan moral dalam Gereja Katolik. Alasannya sangat

masuk akal, sangat teologis-biblis dan spiritualis. Tindakan mencegah prokreasi dan memanipulasi pembuahan dan siklus

reproduksi adalah tindakan yang contra naturam. Tindakan semacam ini telah mereduksi manusia sebagai objek teknologi

biologis dan medis semata. Apa yang secara teknis mungkin, bukanlah alasan untuk secara moral diterima begitu

saja.[73] Gereja Katolik meyakini bahwa makhluk dalam rahim haruslah buah dari kasih orang tua. Anak harus dikandung

dalam rahim ibu bukan dalam rahim laboratorium. Anak dilahirkan bukan dibuat! Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai

hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Mencermati analisis-analisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Gereja

menolak teknologi yang (1) mencegah terjadinya prokreasi; (2) pembuahan tanpa persetubuhan; (3) penghancuran embrio dan

pengobjekan manusia.

Daftar Pustaka

KESETIAAN

Kesetiaan Kasih dan


Kesejahteraan Anak
February 28, 2013 Hidup dan Pandangan Hidup
Anak, Hormat, Hubungan, Kasih,Kesejahteraan, Kesetiaan, Moral, Perkawinan, Pria-
Wanita, Sepuluh Firman Allah

Dengan menekankan hubungan pribadi antar-suami-istri, Konsili


Vatikan II mengoreksi pandangan dari masa lampau, yang
menganggap keturunan sebagai tujuan utama dalam perkawinan:
“Perkawinan diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja.”
(GS 50) Hubungan seksual antara suami-istri mempunyai nilai yang
tidak hanya berkaitan dengan prokreasi (untuk menurunkan anak).
“Tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan
suami-istri, harus dipandang luhur dan terhormat. Bila dijalankan
secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan
serta memupuk penyerahan timbal-balik, cara mereka saling
memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (lih. GS 49).
Namun demikian, “anak-anak merupakan karunia perkawinan yang
paling luhur …. Oleh karena itu pengembangan kasih suami-istri
sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu
padanya … bertujuan supaya suami-istri bersedia penuh keberanian
bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat,
yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-
Nya” (lih. GS 50).
Prokreasi bukan tujuan tunggal atau utama perkawinan, namun
tetap merupakan suatu tugas luhur. Maka prokreasi pun bukan
peristiwa alam, melainkan peristiwa pribadi, yang dijalankan dengan
“tanggung jawab manusiawi dan Kristiani serta penuh hormat dan
patuh-taat kepada Allah. Di sini orang perlu berembug dan berusaha
bersama guna membentuk pendirian yang sehat, sambil
mengindahkan baik kesejahteraan mereka sendiri maupun
kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang
diperkirakan masih akan ada. Sementara itu hendaknya mereka
mempertimbangkan juga kondisi-kondisi zaman dan status hidup
mereka yang bersifat jasmani maupun rohani. Akhirnya mereka
perlu memperhitungkan juga kesejahteraan dan kerukunan
keluarga, masyarakat serta Gereja sendiri” (GS 50). Dalam
mempertimbangkan semua kepentingan itu, mungkin akan timbul
konflik lagi antara keinginan mempunyai anak di satu pihak, dan
kemampuan ekonomi keluarga, kesehatan dan kekuatan psikis ibu
serta keadaan masyarakat di pihak lain. Lebih lagi, dapat timbul
konflik antara keinginan mengungkapkan kemesraan kasih dalam
perkawinan dan tanggung jawab untuk tidak menambah jumlah
anak (bdk. GS 51).
Banyak orang mencari jalan keluar dengan memakai alat atau obat
yang mencegah kehamilan. Konsili Vatikan II yakin, bahwa dalam
penggunaan alat atau obat kontrasepsi (pencegah kehamilan) masih
diperlukan pemikiran dan pengarahan yang baru.

Ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae dari tahun 1968,


mengajarkan “bahwa setiap tindakan perkawinan (maksudnya
terutama sanggama) harus terbuka untuk penurunan hidup”.
Berpangkal dari situ, ditolak sterilisasi dan semua alat dan obat, yang
mencegah kehamilan. Diusulkan dan dianjurkan cara “Keluarga
Berencana Alamiah”. Banyak warga umat mengalami konflik batin
dengan metode ini. Maka dalam Penjelasan Pastoral Tahun 1972,
Majelis Agung Waligereja Indonesia memberi nasihat kepada
“suami-istri yang bingung karena merasa dari satu pihak harus
mengatur kelahiran, tetapi dari pihak lain tidak dapat
melaksanakannya dengan cara pantang mutlak atau pantang
berkala. Dalam keadaan demikian, mereka bertindak secara
bertanggung jawab dan karena itu tidak perlu merasa berdosa,
apabila mereka menggunakan cara lain (dari cara yang
oleh Humanae Vitae disebut halal), asal cara itu tidak merendahkan
martabat istri atau suami, tidak berlawanan dengan hidup
manusiawi (misalnya pengguguran dan pemandul-an tetap) dan
dapat dipertanggungjawabkan secara medis.” Surat Apostolik Paus
Yohanes Paulus II Familiaris Consortia, tahun 1981, berbicara
dengan lebih hati-hati daripada Humanae Vitae. Surat Apostolik itu
memang menunjuk pada pernyataan Humanae Vitae tersebut tetapi
kemudian juga mengutip pendapat Sinode Uskup-uskup
Sedunia tahun 1980: “Cinta kasih antara suami dan istri harus
bersifat sepenuhnya manusiawi, eksklusif dan terbuka pada hidup
yang baru”.
Paus dan para uskup seluruh dunia masih menambahkan banyak
pernyataan lain. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Pedoman
Pastoral Keluarga tahun 1975 dari Majelis Agung Waligereja
Indonesia. Para ahli teologi moral pun memberi banyak keterangan
dan nasihat. Semua bicara mengenai hormat terhadap hidup dan
mengenai kesetiaan antar-suami-istri, terutama dalam kesatuan
mereka yang paling intim, hendaknya dijaga jangan sampai terjadi
saling memanipulasi. Dalam Gereja Katolik semua pernyataan dan
penjelasan itu belum berhasil membentuk suatu keyakinan bersama
mengenai cara dan sarana mengatur kelahiran secara jelas.
Sementara itu, masalah pengaturan kelahiran makin mendesak,
karena merupakan salah satu unsur dalam tugas raksasa untuk
memelihara bumi, untuk menguasai pertambahan penduduk dunia
yang makin pesat, untuk mengembangkan tempat hidup bagi setiap
orang yang lahir. Maka kesetiaan antar-suami-istri dan kasih antara
pria dan wanita itu sebenarnya merupakan suatu usaha yang ter-
pokok dan terpenting untuk menghormati hidup.

Anda mungkin juga menyukai