Kualitas Batubara Dan Stockpile Management PDF
Kualitas Batubara Dan Stockpile Management PDF
GEOSERVICES, LTD
I. GEOLOGY BATUBARA
Tumbuhan atau pohon yang telah mati berjuta tahun yang lalu,
kemudian membusuk atau mengurai secara tidak sempurna karena kondisi tertentu,
sehingga membentuk suatu fossil tumbuhan yang selanjutnya dipengaruhi oleh
waktu, temperature, dan tekanan, maka terbentuklah suatu sedimen organik yang
disebut BATUBARA
I. Pembentukan Batubara
Apabila ada suatu tumbuhan atau pohon yang mati, kemudian jatuh ke tanah yang
kering, maka tumbuhan tersebut akan membusuk dan akhirnya hilang tidak meninggalkan
sisa organik, karena diuraikan oleh bakteri pengurai.
Akan tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah mati kemudian jatuh di
daerah yang berair seperti rawa, sungai, atau danau, maka tumbuhan tersebut tidak akan
mengalami pembusukan secara sempurna, karena pada kedalaman tertentu bakteri tidak
lagi bisa menguraikan tumbuhan tersebut baik bakteri aerob maupun anaerob. Akibatnya
sisa tumbuhan tersebut akan terus mengendap membentuk suatu sediment fossil
tumbuhan yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan biokimia serta dipengaruhi oleh
waktu , tekanan, dan temperature, sehingga membentuk suatu sediment atau batuan
organik yang sekarang disebut BATUBARA.
Proses pembentukan batubara terjadi beberapa tahap, dan tahapan-tahapan tersebut
disebut Coalification. Proses coalification tersebut dimulai dari Peat sampai Antrasit.
terbentuk dengan teori insitu hanya terjadi di hutan basah atau daerah hutan yang berawa
karena di daerah seperti ini beberapa jenis bakteri pengurai tidak aktif, bahkan mati.
Sedangkan di daerah hutan kering, pembusukan terjadi sempurna sehingga tidak ada
material organik yang tersisa kecuali mineral yang kembali ke tanah dan pada kondisi ini
tumbuhan yang mati tersebut tidak akan menjadi batubara.
Teori DRIFT menjelaskan bahwa batubara terbentuk didaerah yang bukan merupakan
daerah dimana tumbuhan pembentuk batubara tersebut berasal. Tumbuhan atau pohon
yang sudah mati, kemudian terbawa oleh air (banjir), kemudian terendapkan di delta-delta
sungai atau didalam danau purba sehingga pembusukan tumbuhan tersebut tidak
sempurna dan akhirnya membentuk fossil tumbuhan yang kemudian menjadi batubara
dengan teori DRIFT.
Volatile matter secara prinsip berasal dari struktur carbon dan hidrogen dengan
struktur alifatik, karena salah satu sifat dari struktur alifatik ini adalah mudah terputus dan
tervolatilisasi sebagai gas hidrokarbon seperti gas methan. Semakin rendah kandungan
hidrokarbon alifatik dari suatu batubara maka semakin rendah nilai volatile matter batubara
tersebut. Apabila suatu batubara mengandung struktur hidrokarbon alifatik lebih banyak
maka nilai volatile matter dari batubara tersebut akan semakin tinggi. Gambar-1 dibawah
ini menggambarkan dua struktur hidrokarbon dalam batubara.
H2C-CH2
-CH2-CH-CH2-CH2
Vitrinite reflectant yang memiliki korelasi yang bagus dengan volatile matter (daf) pada
kelas batubara bituminous merupakan ukuran dari derajat aromatisasi yang telah terjadi
dalam batubara.
Tahap akhir dari coalification adalah transisi dari bituminouse ke antrasit. Ditandai
dengan turunnya kandungan hidrogen secara drastis dan juga rasio H/C. Pada transisi ini
menghasilkan gas methan yang merupakan produk utama dari pelepasan hidrogen yang
dimulai pada kira-kira level volatile matter 29% (daf) dan 87% carbon(daf). Diperkirakan
sekitar 200 lier gas methan dilepaskan dari setiap 1 kg batubara pada transisi dari
bituminous ke antrasit.
TABEL –1
Simplified Geological
Time scale
Periode Tertiary dapat dibagi menjadi 6 epoch seperti tabel dibawah ini :
TABEL - 2
Pembagian Epoch
Paleocene 65 59 6
Eocene 59 34 25
Oligocene 34 25 9
Miocene 25 12 13
Pliocene 12 2.5 9.5
Batubara yang terbentuk pada masa Tertiary kebanyakan berada pada epoch Eocene
(Mayoritas di Kalimantan Selatan) dan Miocene (Mayoritas di Kalimantan Timur).
Efek faktor umur hanya berarti apabila temperature cukup tinggi. Sebagai
contoh; di Amerika ditemukan ada coal bed yang sudah terkubur sampai kedalaman
5400 m, dimana temperature pada kedalaman tersebut sudah mencapai 140 oC.
Setelah 17 juta tahun batubara tersebut termasuk kedalam rank High Volatile
Bituminous. Sedangkan di Jerman ditemukan batubara dengan kedalaman dan
temperature yang sama, setelah 270 juta tahun, batubara tersebut telah tertranformasi
kedalam rank Low Volatile Bituminous. Contoh lain; di Rusia ditemukan batubara yang
terbentuk pada periode Carboniferous (275-350juta tahun yang lalu), tapi batubara
tersebut masuk kedalam rank Lignite. Hal ini dikarenakan batubara tersebut tidak
pernah terekspose pada temperature lebih dari 30 oC.
1. Geothermal Gradient
Semakin dalam ke perut bumi, maka semakin panas juga temperaturenya.
Penambahan temperature yang normal adalah 3-4 oC untuk setiap kedalaman
100m. Namun dibagian daerah Meksiko ada Geothermal Gradient mencapai 16 oC
setiap penambahan kedalaman 100 m. Apabila hanya geothermal gradient
sebagai sumber panas yang mempengaruhi batubara, maka batubara perlu
terkubur sampai kedalaman 1500 m sebelum kelas Bituminous tercapai.
2. Igneous Intrusion
Adalah kontak antara lelehan magma dengan batubara sebagai akibat dari
o
aktifitas vulkanik. Intrusi ini dapat mencapai temperature lebih dari 1000 C.
Apabila kontak langsung dengan batubara, dapat menyebabkan perubahan
bentuk yang signifikan, namun biasanya intrusi tersebut tidak langsung contact
dengan batubara. Apabila batuan penghalang antara magma dengan batubara
merupakan penghantar panas yang cukup baik, maka batubara tersebut masih
dapat terpengaruhi oleh intrusi tersebut. Tingkat pengaruh dari intrusi tersebut
tergantung dari besarnya dan tingkat intrusi tersebut. Intrusi yang memotong atau
menyilang dengan arah vertikal terhadap coal seam disebut dyke. Sedangkan
intrusi yang menyilang dengan arah horisontal terhadap coal seam baik dari
bawah maupun dari atas seam disebut Sill.
Diantara sistem klasifikasi diatas yang paling sering digunakan adalah sistem klasifikasi
ASTM. Dimana sistem ini membagi rank atau golongan batubara menjadi beberapa
kelas seperti dibawah ini:
ANTHRACITE :
1. Meta-anthracite
2. Anthracite
3. Semi anthracite
BITUMINOUS :
1. Low volatile bituminous
2. Medium volatile bituminous
3. High volatile-A bituminous
4. High volatile-B bituminous
IV Substansi Batubara
Komponen batubara secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
Moisture/air, Mineral Matter, dan Organik. Lihat ilustrasi gambar dibawah ini :
Kalau Batubara dimisalkan sebagi batang atau tabung, maka bagian –bagian
komponen batubara adalah seabagi berikut :
Total Moisture
EQM
Moisture
Inherent moisture
M
Dan Lain -lain
MM
Mineral Matter Ash Analayis
Ash Fusion Temperature
B`A`T`U`B`A`R`A
Trace element
Calorific Value
Volatile matter
Organic batubara Sulfur
Fixed carbon
Dan Lain-lain
Substansi batubara selain seperti yang diilustrasikan diatas, juga dapat digolongkan lagi
M M M
Moisture Moisture Moisture
MM MM MM
Ash / Mineral matter Ash / Mineral matter Ash / Mineral matter
Carbon Vitrinite
Volatile Matter
VM Hydrogen
Sulfur
FC Fixed Carbon
Oksigen Inertinite
Coal Proximate
Batubara dapat dibagi menjadi 4 bagian dalam proximate, dimana pada bagian organik
batubara dibagi lagi menjadi 2 berdasarkan sifat penguapan atau keteruraian dengan
pemanasan pada suhu tertentu dan waktu tertentu. Bagian Organik yang menguap atau
terurai ketika batubara dipanaskan tanpa oksigen pada temperature 900o Celsius
digolongkan sebagai Volatile Matter. Sedangkan bagian organik batubara yang tetap
pada pemanasan tersebut digolongkan sebagai Fixed Carbon atau karbon tetap.
Volatile matter biasanya berasal dari struktur alifatik carbon yang mudah putus dengan
thermal dekomposisi, sedangkan fixed carbon berasal dari gugus rantai carbon yang
kuat seperti gugus aromatik. Semakin tinggi peringkat batubara semakin besar jumlah
carbon yang membentuk aromatik, dan semakin tinggi juga fixed carbon dan semakin
rendah Volatile Matter yang diperoleh.Oleh karena itu peringkat batubara dapat dilihat
dengan penurunan Volatile matter.Lihat illustrasi gambar struktur batubara di bawah ini
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi peringkat batubara semakin
banyak struktur aromatiknya pada setiap cluster. Hal ini menunjukan bahwa semakin
tinggi peringkat semakin padat batubara tersebut dan semakin tinggi fixed carbonnya.
Coal Ultimate
Pada penggolongan batubara ultimate, unsur moisture dan mineral matter tetap, tetapi
unsur organiknya dibagi berdasarkan unsur pembentuk organik tersebut. Unsur- unsur
pembentuk organik batubara terdiri dari Total Carbon, baik yang berasal gugus alifatik
maupun yang berasal dari gugus aromatik, Kemudian Hidrogen (tidak termasuk
hidrogen yang berasal dari air atau moisture. Kemudian Nitrogen, Sulfur, dan Oksigen.
Dalam penentuannya Oksigen tidak secara langsung ditentukan melainkan dengan
cara mengurangkan unsur organik yang 100% dikurangi dengan Carbon, Hidrogen,
Nitrogen dan Sulfur.
Coal Maceral
Pada penggolongan Coal Maceral, unsur moisture dan mineral matter tetap, akan tetapi
unsur organiknya dibagi berdasarkan substansi pembentuk batubara yang terdiri dari 3
golongan atau grup maceral yaitu: Vitrinite, Exinite atau liptinite, dan Inertinite. Grup
maceral ini didasarkan pada fosil atau bahan pembentuk batubara seperti daun, akar,
batang, cutikula, spora, dan lain-lain.
Grup maceral dan maceral yang terkandung dalam batubara dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Maceral Dalam Batubara
Grup Maceral Maceral
Telinite
Vitrinite Collinite
Vitrodetrinite
Sporinite
Cutinite
Exinite / Liptinite Resinite
Alginite
Liptodetrinite
Micrinite
Macrinite
Semifusinite
Inertinite
Fusinite
Sclerotinite
Inertodetrinite
Vitrinite
Vitrinite adalah maceral yang paling domonant dalam batubara. Maceral ini berasal dari
batang pohon, cabang, atau dahan, tangkai, daun, dan akar tumbuhan pembentuk
batubara. Nilai reflectan dari Vitrinite dijadikan penentu peringkat batubara, dan sering
dikorelasikan dengan nilai volatile matter seperti yang terdapat pada ASTM standard.
Liptinite
Seperti namanya, Liptinite berasal dari spora, resin, alga, cutikula (yang terdapat pada
permukaan daun) lilin/parafin, lemak dan minyak.
Suberinite, tidak tercantum diatas, hanya terdapat pada batubara tersier. Maceral ini
berasal dari substansi semacam gabus yang terdapat pada kulit kayu, dan pada
permukaan akar, batang dan buah buahan. Fungsi dari maceral ini sebenarnya untuk
mencegah pengeringan pada tanaman.
Inertinite
Material pembentuk inertinite sebenarnya sama dengan pembentuk Vitrinite. Yang
membedakannya adalah historikal pembentukannya yang disebut fusination . Charring
atau oksidasi pada saat proses pembentukan batubara berlangsung merupakan proses
yang membedakan substansi Vitrinite dan Inertinite. Inertinite ini biasanya memiliki
kadar carbon yang tinggi, hydrogen yang rendah serta derajat aromatisisty yang tinggi.
Fusinite sering juga disebut sebagai “mother of charcoal” karena diidentikan dengan
terjadinya forest fire pda saat dekomposisi batubara.
Pada batubara Indonesia Maseral dari grup inertinite seperti sclerotinite banyak
ditemukan dan biasanya berasal dari sisa-sisa atau fosil fungi.
Grup tersebut terdiri dari sub-sub maceral yang lebih kecil lagi seperti terlihat pada tabel
di bawah ini.
Coal Maceral
1.0 PENGANTAR
Hasil dari analisa dan pengujian contoh batubara digunakan oleh Geologis
eksplorasi untuk mengevaluasi apakah deposit batubara memiliki potensi untuk
mensuplai pasar yang telah ada dan yang akan datang , dan feasibility study apakah
layak untuk melakukan operasi penambangan pada cadangan batubara tersebut.
Jika tambang batubara telah beroperasi, diperlukan pengendalian mutu dari
produksi, untuk memonitor mutu produksi, dan untuk batubara yang dikapalkan apakah
sesuai dengan persyaratan kontrak yang diminta.
Pengujian yang dilakukan digunakan untuk menentukan karakteristik batubara
sesuai dengan peringkat (rank) dan potensi pemanfaatannya, yang dapat terdiri dari ;
Pengujian fisik, seperti Hardgrove Grindability Index, Relative Density, Sizing
Analysis, Handling, Float & Sink Test.
Pengujian kimia, seperti analisa proksimat, analisa ultimat, nilai kalori
Pengujian pemanfaatan batubara thermal, seperti ash fusion, ash analysis
untuk elemen mayor dan elemen mikro, trace element, fly ash properties.
Evaluasi Petrografik.
Relative density
Hardgrove grindability index
Abrasion index
Ash analysis – major element
Trace element
Ash fusion
Dekomposisi pirit,
4FeS2 + 15 O2 ----------- 2 Fe2O3 + 8 SO3
Dekomposisi karbonat,
CaCO3 + panas ------------ CaO + CO2
Fiksasi sulfur,
CaO + SO3 -------------- CaSO4
Na2O + SO3 ------------- Na2SO4
tinggi sodium dari batubara tersebut merupakan bagian dari struktur molekul
batubara dan bukan merupakan bagian dari kandungan mineralnya. Pada
aplikasi industri, sodium tersebut akan terbuang dari furnace dan tidak termasuk
dalam reaksi. Dalam pengujian batubara sodium terfiksasi ke dalam abu. Metode
khusus telah dikembangkan yaitu dengan merendam batubara dalam larutan
asam untuk menghilangan kandungan larut asamnya, dan kadar abu ditentukan
dari batubara yang telah direndam tersebut. Larutan asam yang digunakan untuk
merendam batubara tersebut kemudian di analisa dan kadar abunya dilaporkan
sebagai penjumlahan dari kadar kandungan mineral larut asam dan material
yang tak terbakar setelah batubara direndam. Hasil ini sesuai dengan kadar abu
dari pembakaran batubara dalam pembangkit listrik tersebut.
2. Di Thailand terdapat batubara dengan hasil analisa sebagai berikut :
Moisture (ar) 32 %
Ash (ad) 22 %
Total Sulphur (ad) 4%
Calcium in ash 40 %
On line anayser menunjukkan kadar abu 5 % lebih rendah dari kadar abu yang
ditentukan menggunakan metode standard. Perbedaan terjadi karena fiksasi sulfur oleh
kalsium dalam pengujian laboratorium.
Untuk penentuan kadar volatile matter, apa yang ditentukan adalah berat yang
hilang dari contoh ketika dipanaskan pada suhu dan waktu yang tertentu. Jika waktu
dan suhu tidak diikuti dengan tepat, maka hasil analisa akan tidak sesuai dengan hasil
jika persyaratan dalam metode standard diikuti.
Dikarenakan metode standard ISO dan ASTM untuk analisa proksimat dapat
memberikan hasil analisa yang berbeda secara signifikan, maka laporan analisa harus
mencantumkan metode standard yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut.
Jika sebagian dari contoh batubara, diperoleh dari pembagian contoh gross (gross
sample) pada tahap terakhir preparasi contoh akan dikirim ke laboratorium lain, baik
sebagai contoh uji profisiensi (round robin sample) atau sebagai contoh referee
analysis, terdapat 95 % kemungkinan bahwa hasil analisa yang diperoleh akan berada
dalam toleransi antar laboratorium jika kedua laboratorium tersebut menggunakan
metode yang sama dan mengikuti secara tepat metode standard yang telah
dipublikasikan tersebut.
Dry ash free basis , (daf) dihitung dengan mengkalikan hasil analisa dalam adb
dengan faktor :
100 / {100 – (M ad + A ad)}
dimana M adalah moisture (%) dan A adalah kadar abu (%).
Nilai kalori, volatile matter dan ultimat juga dapat dilaporkan dalam basis ini.
Dry ash free basis (daf) digunakan dalam evaluasi peringkat batubara dan
sebagai indikator dari kemungkinan oksidasi. Di Indonesia, nilai kalori (daf) dan volatile
matter (daf) yang sangat tinggi dan sangat tidak sesuai menunjukkan kandungan
maseral liptinite yang besar.
Dry mineral matter free basis (dmmf) memberikan hasil pengukuran yang lebih
presisi daf basis karena mineral matter (kandungan mineral) merupakan bagian yang
substansial dari batubara. kandungan mineral dapat dihitung dengan rumus Parr ;
MM = 1.08 A + 0.55 S
Dimana : MM : Mineral matter (%), A : ash (kadar abu, %), S : Sulphur (%).
Basis dihitung dengan menggunakan faktor :
100 / {100 – ( MM + M)}.
Standard ISO tidak mengijinkan perhitungan dmmf jika kadar abu di atas 10 %.
Catatan : adalah memungkinkan untuk menentukan kandungan mineral batubara
secara langsung dengan menggunakan gelombang radio frekwensi.
Moist and mineral matter free basis (mmmf), adalah basis yang digunakan untuk
menentukan peringkat batubara dalam sistem klasifikasi ASTM. Moisture yang
termasuk di dalamnya adalah equilibrium moisture (EQM) atau juga dkenal dengan
moisture holding capacity (MHC) atau bed moisture. Hasil yang dilaporkan dalam basis
ini sebagai equilibrium moisture adalah atas dasar sebagai bagian dari material organik
pada tahap awal proses pembatubaraan (coalification).
Karbon harus dikoreksi terhadap CO2 yang diturunkan dari mineral – mineral
yang terkandung dalam batubara tersebut. Ini biasanya untuk batubara peringkat
rendah.
Hidrogen harus dikoreksi terhadap kadar air hidrat dari kandungan mineral
(mineral matter).
Volatile Matter harus dikoreksi terhadap CO2 dan kadar air hidrat dari mineral
matter.
Total sulfur harus dikoreksi terhadap piritik sulfur dan sulfat sulfur. (ini adalah
alasan mengapa faktor 0.55 S dimasukkan ke dalam rumus Parr).
Definisi ini adalah untuk semua jenis batubara lignit dan sub – bituminus yang di dalam
sistem klasifikasi ASTM termasuk dalam batubara peringkat rendah.
Batubara peringkat rendah dikarakterisasi dari tingginya struktur porus.
Pengeringan batubara jenis ini untuk keperluan analisa akan mengecilkan volumenya
dan bersifat ireversibel, dan mengakibatkan perubahan struktur batubara. Perubahan ini
dapat menimbulkan komplikasi dalam pengujian batubara peringkat rendah.
Pembahasan berikut ini menggambarkan analisa – analisa yang dapat dilakukan untuk
batubara thermal, dan keterbatasan hasil yang dapat diperoleh.
Dalam metode ISO, contoh total moisture diekstrak dari contoh utamanya, dan
pengeringan contoh untuk analisa dasar dengan oven diizinkan dalam waktu yang
terbatas. Dalam ISO tidak tercantum nilai reprodusibilitas untuk analisa moisture in the
analysis sample, karena hasil analisa ini hanya digunakan untuk keperluan perhitungan
dari satu basis ke basis lainnya.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa metode ASTM tidak sesuai
untuk batubara peringkat rendah :
Inherent Moisture : Istilah ini secara luas diaplikasikan sebagai alternatif dari air dried
moisture. Metode ASTM (DE388) mendefinisikan inherent moisture sebagai moisture
holding capacity dari batubara. Australian Standard (AS 2418) mendefinisikan inherent
moisture sebagai istilah yang tidak baku dalam analisa contoh batubara.
EQM merupakan basis untuk klasifikasi batubara dalam sistem klasifikasi ASTM.
EQM telah diteliti secara mendalam oleh Biro Pertambangan Amerika Serikat,
dan laporan Investigasi RI 5695 meringkas hasil penemuannya. Gambar A.1,
menunjukkan hubungan antara total moisture dan EQM dari 53 contoh batubara run-of
mine (ROM). Diperoleh hubungan yang linier kecuali untuk batubara nomor. 13, 14, dan
15, dimana nilai total moisturenya (ash-free basis) lebih tinggi dari 40%. EQM dapat
digunakan untuk mengestimasi total moisture batubara ROM dari analisa contoh
borecore. Hasil penelitian dari CSIRO (Australia) menunjukkan bahwa hubungan
tersebut tidak berlaku jika batubara memiliki kandungan sodium (sebagai NaCl) yang
tinggi,. Atau sodium tersebut menyatu dengan struktur molekul batubara.
Gambar A.3 juga dari USBM RI 5695 menunjukkan hubungan antara EQM (ash-
free basis) dan Nilai Kalori dalam BTU/lg (moist ash-free basis).
Dengan tujuan untuk memperoleh nilai yang valid, adalah penting bahwa
batubara sebaiknya tidak dikeringkan dibawah nilai EQM nya, sebelum dilakukan
proses pengujian. Jika batubara peringkat rendah dikeringkan, batubara tersebut tidak
dapat “dibasahkan” kembali ke level moisture awal ketika batubara tersebut belum
malalui proses pengeringan. Gejala tersebut dapat ditunjukkan pada gambar A.4.
USBM mempublikasikan data untuk penentuan EQM batubara dalam “as
received basis” dan “air dried basis”. Ringkasan hasil tersebut adalah sebagai berikut :
Gross valorific value, dikenal juga sebagai Gross Specific Energy, pada volume
konstan ditentukan dengan mengukur jumlah panas yang dikeluarkan ketika sebuah
masa batubara yang telah diketahui dipanaskan sesuai dengan kondisi standar.
Faktor konversi untuk unit yang dipakai sebagai lambang dari hasil adalah :
1.8 cal/g = 1 BTU/lb
429.923 MJ/kg = 1 BTU/lb
238.85 MJ/kg = 1 cal/g
0.556 BTU/lb = 1 cal/g
cal/g adalah kalori per gram; atau kcal/kg adalah kilo kalori per kilogram
MJ/kg adalah Megajoules per kilogram
BTU/lb adalah British thermal units per pound
Batubara 2
Vitrinite 28.4 8342
Liptinite 37.1 8619
Inertinite 19.2 8343
Catatan ini berdasarkan pada bahan yang terdapat dalam manual training Shell
“Coal Quality Parameters dan Their Influences in Coal Utilisation”.
Ketika Gross Calorific Value ditentukan, setiap uap air yang dihasilkan baik dari
perkembangan air dalam contoh batubara atau yang terbentuk oleh pembakaran
hidrogen, dikonversikan menjadi cairan moisture dan panas yang terpendam dari
penguapan telah diperoleh kembali. Dalam pembakaran batubara industri, air tetap
sebagai uap dan panas dari penguapan hilang.
Net Calorific Value dihitung dari Gross Calorific Value dan itu adalah panas yang
dihasilkan dalam pembakaran batubara pada atmosfir yang konstan dengan kondisi
semua air yang ada dalam sisa-sisa batubara sebagai bentuk uap air.
Persamaan untuk menghitung net Calorific Value adalah :
(i) ISO : Net CV (constant pressure) (MJ/kg) =
Gross CV (constant volume) – 0.212 (H) – 0.0008 (O) – 0.0245 (M)
(ii) British Standard (BS) : Net CV (constant pressure) (MJ/kg) =
Gross CV (constant volume) – 0.212 (H) – 0.0007 (O) – 0.0244 (M)
(iii) ASTM : Net CV (constant pressure) (MJ/kg) =
Gross CV (constant volume) – 0.024 9(H) + (M)
dimana : H adalah % Hidrogen
O adalah % Oksigen
M adalah % Moisture
Figure A.5 adalah nomogram yang dapat mengkonversikan Gross CV menjadi
Net CV.
Adalah hal yang mendasar jika menggunakan nomogram atau persamaan untuk
menghitung net CV, seluruh analisis dikonversikan pada basis yang sama seperti yang
dibutuhkan untuk net CV.
Net CV dengan basis as received, sering ditetapkan dalam kontrak batubara,
terutama untuk batubara peringkat rendah (lower rank coal). Tabel 1 memperlihatkan
variasi antara net CV dan gross CV untuk batubara dari berbagai peringkat. Batubara
peringkat rendah kehilangan presentase gross CV yang lebih besar.
TABEL 1
NET CALORIFIC VALUE (RUMUS ISO)
Lignite Bitum.
Anthr.
Total Moisture ar % 30.0 12.0 4.0
Air dried moisture ad % 20.0 8.0 1.0
Mineral matter ad % 8.0 8.0 8.0
Volatile Matter ad % 50.0 35.0 5.0
Hidrogen dmmf % 5.5 5.0 3.0
Oksigen dmmf % 23.0 12.0 1.5
Gross CV dmmf MJ/kg 27.00 31.00 36.00
Db MJ/kg 24.30 28.30 33.09
Ad MJ/kg 19.44 26.04 32.76
Ar MJ/kg 17.01 24.91 31.77
Net CV ad MJ/kg 18.10 24.95 32.16
Reduction GCV to NCV ad 6.90 4.16 1.83
As % dari GCV
pengeringan dan tingkat moisture dari material yang digunakan untuk pengujian
tersebut.
Metoda yang dianjurkan, sejak dihilangkan dari standar ASTM dianjurkan
melakukan serangkaian pengujian HGI pada tingkat moisture yang berbeda dan
pembuatan grafik yang menghubungkan HGI dan moisture.
Tidak semua batubara Indonesia merupakan batubara sub-bituminous atau
lignite. Rentangan hasil-hasil yang lebih rendah pada batubara Kalimantan Selatan
dikarenakan lithotypes batubara makro.
TABEL 2
PERKIRAAN PARAMETER SLAGGING DAN FOULING
DALAM BOILER PEMANAS BATUBARA
Parameter Rumus
1. Total Coal Alkali (Na2O + 0.658 K2O) X Ash %/ 100
2. Total Ash Alkali Na2O + 0.658 K2O
3. Total Acid SiO2 + TiO2 + Al2O3
4. Total Base Fe2O3 + CaO + MgO + K2O + Na2O
5. Base/Acid Ratio (Fe2O3+CaO+MgO+K2O+Na2O)/ (SiO2+TiO2+Al2O3)
6. Ferric/Lime Ratio Fe2O3 / CaO
7. Dolomite Percent (CaO+MgO)X100/(Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+ K2O)
8. Ferric Dolomite Ratio Fe2O3 / (CaO + MgO)
9. Silica Alumina Ratio SiO2/Al2O3
10. Silica ratio SiO2/ (SiO2 + Fe2O3 + CaO + MgO)
11. Slagging Factor (Asam/Basa) X % Sulphur dalam batubara
12. Fouling Factor (Asam Basa) X Na2O dalam abu
TABEL 3
RANGKUMAN PARAMETER YANG SECARA SIGNIFIKAN
MEMPENGARUHI FOULING AND SLAGGING
JENIS FOULING
JENIS SLAGGING
Parameter Low Medium High Severe
Rs = (Asam/Basa)X % S < 0.6 0.6 – 2.0 2.0 – 2.6 > 2.6
dalam batubara
Catatan : Terdapat dua jenis abu batubara : bituminous dan lignitic. Istilah ini mengacu
pada komposisi abu. Abu lignitic memiliki SiO2 kurang dari jumlah CaO% + Fe2O3% +
Na2O%.
Dalam abu jenis lignitic fouling factor-nya ditentukan sebagai % Na2O yang dimodifikasi
menjadi :
Low Medium High Severe
Na2O% <2.0 2–6 6–8 >8
TABEL 4
KECENDERUNGAN SLAGGING
SI °C Kecenderungan Slagging
10.2 SULPHUR
Total Sulphur benar-benar bervariasi pada batubara Indonesia, mulai dari kurang
dari 0.05% sampai lebih dari 2.0%. Hasil ini tergantung dari endapan dan lingkungan di
endapan dalam rawa yang membentuk batubara. Nilai abu dan sulphur batubara yang
rendah awalnya seperti gambut air tawar yang didasari oleh sedimen klastik air tawar
yang tidak mengandung batu gamping. Nilai abu dan sulphur yang tinggi berhubungan
dengan sedimentasi dalam payau atau lingkungan laut. Ketika air laut masuk ke rawa
sulphate ion dalam air laut bercampur menjadi sulphide ion yang masuk ke dalam
molekul batubara sebagai organic sulphur. Gambut tak perlu secara langsung
bercampur dengan air laut, pergerakannya pada strata yang berdekatan dapat
mempengaruhi sulphur dalam gambut. Dengan kondisi ini penyebaran sulphur tidak
akan sama pada lapisan batubara dengan lapisan sulphur tinggi yang ditemukan
bersebelahan pada roof and floor dari lapisan batubara. Pyritic sulphur yang tinggi
banyak terdapat dalam gambut laut. Lingkungan endapan yang kaya kalsium dengan
pH yang tinggi mendorong aktivitas dari sulphur yang mengurangi bakteri yang
mendukung pembentukan iron pyrite. Keasaman tinggi, pH rendah, mendukung
pembentukan abu yang rendah/batubara bersulphur rendah.
Total Sulphur lebih sering ditentukan daripada unsur lainnya dalam ultimate
analysis jika nilainya kurang dari 1%.
Di bawah ini adalah tiga metoda untuk penetapan Total Sulphur :
- Metoda Eschka dimana Sulphur ditentukan secara gravimetric sebagai barium
sulphate.
- Metoda pembakaran temperatur tinggi, dimana sulphur oxides dari pembakaran
diserap ke dalam larutan hydrogen peroxide dan asam yang dihasilkan dititrasi
dengan borate yang telah distandarisasi. Metoda ini tidak dipakai lagi dalam
menentukan keasaman total dari uap yang terserap dan chlorine dilaporkan
sebagai hydrochloric acid dalam penyerap. Penggunaan mercury oxycyanide
untuk menutupi chlorine tidak lagi dilakukan. Untunglah, seluruh batubara
Indonesia yang ditemukan memperlihatkan nilai chlorine kurang dari 0.01%
sehingga metoda tersebut tetap dapat dipakai. Jika contoh yang telah di float/
sink diuji dalam bahan pelarut halogenated organic seperti perchloro ethylene
atau bromoform, contoh-contoh tersebut menjadi terkontaminasi dengan chlorine
berlevel tinggi yang tidak dapat dihilangkan dan metoda suhu tinggi titrasi
asam/basa tak dapat dilakukan.
- Metoda suhu tinggi dimana gas-gas pembakaran dianalisis dengan teknik infra-
red.
Sulphur dalam coking coal. Maksimal hanya 1% yang ditentukan. 85% sulphur yang
ada pada batubara. Ada dua efek yang mengganggu pada kokas ber-sulphur tinggi :
a. Menaikkan kebutuhan batu gamping pada beban tanur tinggi. Penelitian ACIRL
memperlihatkan sebuah peningkatan sebesar 0.1% dalam sulphur kokas yang
menaikkan pemakaian kokas sampai 7 kg setiap ton dari besi gubal (pig iron) yang
diproduksi.
b. Penghilangan konversi besi menjadi baja benar-benar mahal dan memakan waktu
lama, meskipun ada tehnik modern untuk memindahkan sulphur dari metal panas
dengan external desulphurisation.
Standar emisi untuk SOx pada negara-negara APEC terangkum dalam Tabel 5.
TABEL 5
STANDAR EMISI SOx (APEC: January 1997)
Negara SOx
Canada 260g/GJ
China < 1% S: 1960 mg/(N) m3
> 1%S : 1120mg/(N) m3
Sulphur dalam batubara untuk pembuatan semen. Pada pabrik semen konvensional
nilai Sulphur yang tinggi dapat ditolerir karena SOx bereaksi dengan komponen lain dan
tidak mengeluarkan pembakaran dalam bentuk gas. Nilai SOx yang tinggi dapat
bereaksi dengan unsur alkalin dan menyebabkan masalah endapan suhu rendah, yang
dapat menyumbat jalan keluar dari calciner.
Slagging suhu rendah. Dalam Tabel 2 dan 3, beberapa faktor slagging yang
dicantumkan mencakup sulphur dalam perhitungannya. Batubara ber-sulphur tinggi
dengan unsur abu yang mengandung besi dan sodium oksida yang tinggi,
menyebabkan slagging suhu rendah, yang membentuk garam ganda FeSO4.Na2SO4,
yang meleleh pada 600-900C.
reaksi hidrolisisi tidak cukup untuk menaikkan suhu batubara agar membuat percepatan
oksidasi batubara, mekanisme yang diterima adalah reaksi hidrolis yang menyebabkan
partikel pyrite mengembang dan mematahkan partikel batubara. Panas oksidasi dari
permukaan yang benar-benar terpapar yang menyebabkan masalah spontaneous
combustion dalam batubara yang mengandung pyrite.
10.3 NITROGEN
Nitrogen ada pada batubara peringkat tinggi karena pyridine bergabung dengan
struktur aromatik. Pada batubara peringkat rendah nitrogen dapat menjadi amines yang
bercampur dengan fraksi aliphatic. Berasal dari bagian struktur tanaman atau dari
bakteri yang ada di rawa gambut.
Selama pembakaran terbentuk oksida dari nitrogen (NOx). Jika keluar dari boiler
dapat menyebabkan hujan asam atau kabut fotosintesis. Untuk keamanan lingkungan
ada batas yang diperbolehkan untuk jumlah NOx yang dapat dikeluarkan.
Penetapan laboratoriumnya mencakup penentuan nitrogen secara katalis
sebagai ammonia dan destilasi uap ammonia yang terserap ke dalam sebuah larutan
asam standar. Penetapan titrimetrik dari asam yang tak bereaksi membolehkan
kalkulasi nitrogen dalam batubara.
Spero menyatakan :”Produksi NOx selama pembakaran batubara merupakan
fenomena kompleks dalam karakteristik kimia batubara, tetapi lebih khususnya, pada
karakteristik pembakar dari boiler. NOx yang dihasilkan pada pembakaran berasal dari
oksidasi nitrogen dalam udara, sebagai NOx thermal. Faktor yang paling penting dalam
pembakaran batubara yang mempengaruhi NOx adalah kondisi api dalam burner,
terutama konsentrasi oksigen dan suhu api. Sekitar 95% dari seluruh NOx terdiri dari
nitric oxide (NO), sisanya terdiri dari nitrogen dioksida (NO2) dengan trace nitrous
oxides (N2O).
Pekerjaan yang dilaporkan oleh ACIRL menyimpulkan bahwa untuk satu set kondisi
pembakaran :
- NOx cenderung naik seiring dengan meningkatnya ratio bahan bakar.
- Tak ada hubungan antara NOx dan kandungan nitrogen dari batubara.
TABEL 6
STANDAR EMISI NOx (APEC January 1997)
Dalam penentuan RD, contoh batubara yang sudah digerus ditaruh di dalam
sebuah piknometer dengan sedikit air dan wetting agent. Botol RD lalu dipindahkan ke
dalam sebuah vacuum desiccator dengan tekanan rendah sampai pori-pori batubara
tidak mengandung udara.
Catatan : Nilai yang ditentukan bukanlah nilai RD yang sesungguhnya karena ada
kapilaritas dalam batubara yang secara fisik terlalu kecil untuk dapat dimasuki wetting
agent. RD yang sesungguhnya dapat ditentukan dalam media helium dengan
menggunakan porosimeter.
Untuk nilai abu kurang dari 40% ada regresi linier antara abu dan RD dalam bentuk :
RD = k + abu/100
Nilai k adalah tergantung tingkatan batubara. Untuk batubara peringkat rendah dari
Kalimantan Timur, nilainya adalah 1.28. Untuk lignites, nilainya adalah 1.33. Untuk
batubara peringkat tinggi dari Kalimantan Selatan nilainya adalah 1.26. Batubara
bituminous dengan volatile tinggi memperlihatkan nilai k = 1.22, meningkat sampai
1.29 dalam batubara bituminous volatile medium. Untuk anthracites nilainya adalah
1.65 sampai 1.70.
Hubungannya tidak termasuk untuk batubara yang banyak mengandung pyrite,
yang memiliki nilai RD rata-rata. Jadi batubara ini memiliki RD yang lebih tinggi
daripada yang ditunjukkan dengan pertimbangan hanya tingkat abu. Hubungan ini tidak
termasuk bagi batubara dengan konsentrasi resinite yang tinggi. Nilai yang lebih rendah
daripada yang diperkirakan dicapai. Jika abu melebihi 45% (perkiraan) grafik % abu vs
Rd menjadi curvilinear. Jika % abu diplotkan dengan 1/RD, grafik yang dihasilkan tetap
linear.
RD digunakan dalam perhitungan borecore dengan penggunaan faktor (panjang
lapisan dikalikan dengan RD) untuk memberikan proporsi masa relatif dari setiap
lapisan dalam seluruh lapisan. Sanders menyediakan persamaan berikut untuk
mengkonversikan RD yang ditentukan pada batubara air dried menjadi RD in-situ :
Perbedaan ini tidak memiliki arti untuk batubara sub-bituminous atau batubara
bituminous, tetapi untuk lignite perbedaan ini dapat memiliki arti. Oleh karena itu
perhitungan lignite borecore didasarkan hanya pada panjangnya untuk
menggambarkan proporsi masa dari tiap lapisan.
Minor element yang penting secara rutin ditentukan pada batubara thermal
termasuk phosphorus, chlorine, fluorine dan trace elements.
12.1 PHOSPHORUS
12.2 CHLORINE
12.3 FLUORINE
Trace element dapat dikaitkan dengan unsur batubara atau dengan mineral
matter yang ada. Dengan meningkatkan penekanan terhadap dampak lingkungan dari
perkembangan industri penetapan nilai-nilai konsentrasi trace element saat ini rutin
dikerjakan.
Jenis elemen yang ditetapkan adalah :
- Beryllium, cadmium, cobalt, silver, lead, lithium: ditetapkan pada abu dengan
menggunakan AAS.
- Barium, vanadium, strontium, zirconium, zinc, nickel, rubidium, copper, chromium :
ditetapkan pada abu dengan menggunakan XRF.
- Arsenic, selenium : ditetapkan pada batubara dengan menggunakan hydride
generation dan AAS.
- Mercury, ditetapkan pada batubara dengan menggunakan vapour generation, AAS.
yang lebih besar karena apabila batubara di stockpile habis, kemungkinannya hanya
shut down boiler atau mengganti bahan bakar dengan minyak atau gas. Selain itu
blending system yang dilaksanakan lebih bertujuan bagaimana mengatur kualitas
batubara yang diumpankan ke boiler sesuai dengan design kualitas batubara untuk
boiler yang bersangkutan. Blending system di end user seperti di power plant sangat
penting, karena biasanya untuk menjaga keamanan supplai batubara, perusahaan
seperti power plant tidak mengambil batubara dari satu pemasok saja melainkan
biasanya diambil dari beberapa pemasok. Resikonya adalah bahwa kualitas batubara
dari satu pemasok yang satu dengan yang lainnya kadang kadang berbeda dan
bervariasi. Apalagi kualitas yang menjadi target bagi suatu power plant tidak hanya
sebatas kalori melainkan juga karakteristik abu yang sangat penting untuk diketahui,
karena biasanya masalah yang timbul dari suatu boiler sering akibat dari sifat-sifat abu
yang kurang baik, seperti misalnya terjadinya slagging dan fouling. Oleh karena itu
management blending di suatu power plant sangat penting untuk menjaga kuntinuitas
operasional boiler tetap terjaga.
Namun walaupun demikian secara umum tujuan dan target yang ingin dicapai dari
suatu stockpile management baik di pemasok batubara atau di end user pada
prinsipnya sama yaitu untuk memelihara dan mengontrol kuantitas dan kualitas
batubara di stockpile.
I. Storage Management
Pengaturan penyimpanan batubara sangat penting karena hal ini terkait dengan
masalah pemeliharaan kuanitias dan kualitas batubara yang ditumpuk di stockpile.
Manajemen penumpukan dimulai dari pembuatan desain stockpile yang sesuai
yaitu desain stockpile yang berorientasi pada pemeliharaan kuantitas, dan kualitas
serta pada lingkungan. Berorientasi pada pemeliharaan kuantitas karena suatu
storage management harus mempertimbangkan factor kapasitas stockpile yang
dapat semaksimum mungkin pada area yang tersedia tetapi tetap memperhatikan
faktor kualitas dan lingkungan. Sedangkan berorientasi pada pemeliharaan
kualitas karena desain suatu stockpile harus mempertimbangkan factor
pengaturan kualitas yang efisien sehingga keperluan untuk pengaturan kualitas
Permukaan dasar dari suatu stockpile harus dibuat stabil dan di buat bedding
dengan menggunakan material yang cukup kuat untuk menopang berat tumpukan
batubara. Selain itu permukaan dasar stockpile harus dibuat agak agak cembung agar
drainage stockpile lancar. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi genangan air yang
terjebak di tengah stockpile pada saat hujan. Pada penumpukan batubara yang
menyerupai kerucut, titik berat akan berada di sekitar pusat lingkaran. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan dasar stockpile. Perhatikan ilustrasi gambar
dibawah ini:
Tumpukan Batubara
Apabila terjadi penurunan dasar stockpile seperti pada gambar 1, maka akan
menyebabkan air terjebak dalam cekungan tersebut yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan humiditas dalam tumpukan batubara tersebut yang dalam
jangka panjang akan memicu terjadinya self heating atau menjadi akselerator
pada saat batubara bagian atas mengalami kenaikan temperature. Selain itu
cekungan tersebut semakin lama akan semakin dalam dengan kegiatan
operasional di stockpile yang pada akhirnya akan menimbun sebagian batubara
kedalam tanah. Pada saat pengambilan batubara atau reclaiming, yang dijadikan
dasar permukaan adalah level disekitar pinggiran stockpile yang belum turun.
Sehingga pada saat pengambilan batubara dibagian tengah tumpukan, batubara
dalam cekungan yang diakibatkan dari beban batubara tersebut akan tertinggal
dan semakin lama semakin banyak lihat ilustrasi pada gambar-2. Apabila hal ini
terjadi maka kita seolah olah kehilangan batubara pada saat dilakukan
pengukuran stock inventory yang biasanya diukur secara berkala baik bulanan
atau tahunan. Dengan membuat dasar stockpile cukup kuat dan relative
Desain permukaan dasar dapat dibuat seperti terlihat pada gambar 3 di bawah
ini :
permukaan bagian pusat stockpile kira-kira 50 cm. Namun hal ini tergantung
luasan stockpile itu sendiri. Setelah dilakukan bedding dengan material yang
cukup keras, kemudian ditambahkan lagi bedding dengan batubara dengan
mengikuti contur permukaan bedding pertama, yaitu membentuk permukaan
yang cembung. Penambahan lapisan batubara ini dimaksudkan agar pada saat
pengambilan batubara di stockpile, material bedding tidak terambil. Karena kalau
hal itu terjadi maka akan mengakibatkan terjadinya pengotoran pada batubara
tersebut. Penambahan bedding batubara juga harus dipadatkan agar permukaan
stockpile tersebut tetap stabil dan tahan menopang beban yang cukup besar
tersebut. Tebal bedding batubara kira-kira 25 cm compact dalam keadaan padat.
Untuk mengalirkan air yang berasal dari tumpukan batubara baik yang
berasal dari air hujan, maupun yang berasal dari penyemprotan air, disekeliling
areal stockpile tersebut harus dibuatkan paritan atau saluran air yang akhirnya
dialirkan ke settleing pond atau kolam pengendap. Air yang melewati tumpukan
batubara akan melarutkan batubara halus dari tumpukan batubara, sehingga
partikel batubara yang halus tersebut akan terbawa oleh aliran air. Oleh karena
itu sebelum air tersebut dialirkan ke sungai, perlu ada pengolahan air stockpile
tersebut, atau paling tidak dibuatkan kolam pengendap. Dengan demikian
partikel batubara yang terbawa oleh aliran air dari stockpile tersebut tidak
mencemari lingkungan khususnya tidak mencemari sungai. Selain settling pond,
apabila terbukti dari pengukuran bahwa air yang berasal dari stockpile tersebut
bersifat asam, maka perlu juga dilakukan netralisasi. Netralisasi air asam dari
batubara dapat menggunakan capur. Proses netralisasi dilakukan setelah air
tersebut melewati settling pond, atau dilakukan sebelum air dibuang ke sungai
atau ke laut.
Angin yang bertiup ke dan dari stockpile dapat mengakibatkan kerusakan pada
batubara dan berakibat buruk bagi lingkungan.
Angin yang bertipu kearah tumpukan batubara akan mempercepat terjadinya
oksidasi batubara, yang berlanjut pada terjadinya self heating atau pemanasan
pada tumpukan batubara tersebut. Apabila hal ini tidak dapat dikendalikan maka
akan berakhir dengan terjadinya pembakaran spontan atau spontaneous
combustion. Tentunya hal ini akan merugikan, baik akibat hilangnya kuantitas
batubara maupun biaya untuk merelokasi batubara yang terbakar. Selain itu
angin yang bertiup dari arah stockpile ke luar akan membawa fine coal atau
batubara dengan ukuran partikel halus sehingga mengakibatkan debu di udara
dan dapat berpengaruh pada lingkungan. Masalah debu ini akan semakin besar
pengaruhnya apabila lokasi stockpile berada dekat dengan pemukiman
penduduk. Untuk mencegah kedua hal tersebut diatas perlu dibuatkan semacam
green belt disekitar stockpile, atau paling tidak di daerah dimana biasanya angin
berhembus atau prevailing wind. Green belt tersebut biasanya dapat dibuat
dengan membuat jarring pepohonan disekitar stockpile, sehingga pada saat
angina berhembus ke arah stockpile dapat dipecahkan atau dihalagi oleh
pepohonan tersebut. Selain itu juga debu batubara yang berasal dari stockpile
juga dapat dicegah atau dihalangi oleh pepohonan tersebut. Untuk lokasi
stockpile yang berada disekitar bukit, maka dinding bukit tersebut dapat
berfungsi sebagai wind sield. Di beberapa daerah di luar negeri, stockpile ada
yang dibuat dengan memotong bukit, sehingga seolah olah stockpile tersebut
berada di dalam tanah dan terlindung dari angin.
Sistem penumpukan batubara harus diatur sedmikian rupa agar segregasi atau
pemisahan stock berdasarkan perbedaan kualitas dapat dilakukan dengan baik,
juga tumpukan tersebut dapat meminimalkan resiko terjadinya pembakaran
spontan di stockpile. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumpuk batubara
Tumpukan batubara
Tumpukan batubara
Akses jalan
Akses jalan
Akses jalan
Quality dan quantity dalam stockpile management adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan karena kualitas dapat dimonitor dan dikalkulasi hanya dengan adanya
data kuantitas.
Di Perusahaan tambang batubara, Quality Control dilakukan dari hulu ke hilir yaitu
dari mulai data geology sampai ke pengapalan. Hal ini dilakukan selain untuk
memonitor dan mengatur kualitas batubara yang diproduksi juga untuk evaluasi
apakah plan yang sudah dibuat sudah sesuai dengan actualnya. Dari evaluasi
tersebut dapat diambil langkah-langkah atau perbaikan sytem planning dan
3. Marketing
Dengan data mine plan baik longterm maupun shorterm, marketing sudah
mulai bisa mulai menawarkan batubara sesuai dengan kualitas dan
kuantitas dari data mine plan tersebut. Dalam hal ini kadang-kadang
permintaan pasar tidak sesuai dengan data yang dimiliki secara general
dalam mine plan. Namun kualitas tersebut masih dapat disuplai dengan
membuat block tertentu yang memiliki kualitas yang sesuai dengan
permintaan pasar tersebut. Permintaan tersebut biasanya diteruskan
kepada mine plan untuk melihat kemungkinannya apakah bisa dibuat
scheduling atau blending untuk keperluan suplai kepada customer
tersebut. Apabila memungkinkan maka mine plan akan membuat
scheduling dan blok blok tertentu yang pembuatannya berdasarkan
spesifikasi kualitas masing-masing customer. Bahkan nama-nama blok
tersebut sering dibuat dengan nama customer tersebut.
Dari data table tersebut Quality Control mulai melakukan pengaturan penumpukan
batubara berdasarkan blok atau kualitas termasuk pemisahan yang dilakukan
berdasarkan customer yang akan dipasok batubaranya. Pemisahan stock ini tetap
Floor
Coal Exposed
Overburden
Seam batubara
Pada kondisi seperti pada gambar, bagian floor yang merupakan bench yang
miring sekali-kali dapat longsor dan material floor tersebut jatuh ke atas seam
batubara yang sedang ditambang sehingga menjadi dilusi untuk batubara yang
sedang ditambang tersebut sehingga kadar ash lebih tinggi dari forecast kualitas
yang diambil dari data bor atau channel sample. Selain itu procedure
penambangan dan keahlian dan pengalaman operator penambang juga
menentukan dalam kebersihan penambangan. Hal inilah yang harus dipantau dan
dievaluasi melalui perbandingan kualitas batubara yang sudah diproduksi dengan
forecast kualitas dari data geologi. Sehingga apabila terjadi perbedaan yang
signifikan kita mengetahui penyebabnya dan dapat melakukan preventif atau
antisipasi untuk mengurangi perbedaan tersebut agar semua kualitas batubara
yang diproduksi dan dikirim ke customer dapat terkontrol dengan baik.
Biasanya kontrak penjualan batubara adalah diterima dikapal (FOB Vessel), ada
juga yang CNF yaitu diterima di discharge port atau tujuan akhir batubara tersebut.
Oleh karena itu ukuran kuantitas dan kualitasnya ditentukan sesuai dengan
kontrak tersebut. Untuk FOB Vessel, pengukuran tonase batubara dilakukan pada
saat semua batubara dimuat ke kapal, dan draft survey tersebut dilakukan pada
kapal tersebut. Walaupun pengukuran sudah dilakukan selama barging baik
kuantitas maupun kuantitas, akan tetapi yang dijadikan patokan pembayaran
adalah hasil pengukuran draft survey di kapal dan kualitas dari sample yang
diambil di kapal. Karena kondisi terakhir di kapal itulah yang benar-benar dikirim ke
customer. Penentuan kualitas pada kontrak FOB dapat dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu,
1. Pengambilan sample di kapal hanya untuk menentukan Total moisture saja,
sedangkan untuk General Analysis dilakukan selama loading di tongkang.
2. Pengambilan sample di kapal dilakukan untuk semua parameter analisa,
sedangkan hasil analisa selama loading ke tongkang hanya dijadikan kontrol
kualitas bagi Shipper saja.
Kedua kategori tersebut berlaku untuk system pemuatan transshipment, dimana
pemuatan batubara dilakukan melalui pemindahan dari tongkang ke kapal.
Untuk pemuatan batubara yang langsung dilakukan dari Stockpile ke kapal melalui belt
conveyor, semua pengukuran baik kuantitas maupun kualitas langsung dilakukan
selama pemuatan batubara tersebut. Sample biasanya diambil dari belt conveyor
dengan menggunakan mechanical sampler. Sistem pemuatan seperti ini biasanya
dilakukan di terminal-terminal batubara.
Untuk kategori 1 pada system transhipment, kontrol hanya dilakukan untuk Total
moisture saja, yang pada akhirnya akan dijadikan basis terakhir dari general analysis
pada as received di kapal dan sebagai acuan actual berat batubara. Perubahan kadar
total moisture bisa terjadi, hal ini disebabkan beberapa hal di bawah ini.
1. Selama perjalanan dari Jetty, ke transshipment point muatan batubara
tersebut terkena hujan.
2. Terjadi bias pengambilan sample antara di Jetty dan di transshipment.
Untuk point satu, pengaruh hujan terhadap total moisture tergantung pada besarnya
hujan yang terjadi serta lamanya cargo tersebut terkena hujan atau dengan kata lain
tergantung besarnya penambahan air terhadap cargo tersebut. Pengaruh dari air hujan
ini akan diperburuk dengan kondisi tongkang yang tidak memiliki lubang drainase,
sehingga air hujan tersebut akan tertampung dan tergenang dibagian bawah tumpukan
batubara. Pada saat dilakukan pemuatan air tersebut akan tersampling sehingga akan
menambah kadar Total moisture batubara. Padahal air tersebut seharusnya tidak
termasuk kedalam kategori total moisture. Melainkan kelebihan air atau excess water
yang tersampling. Hal inilah yang sering menjadi masalah bagi shipper dan juga
surveyor. Kenaikan Total moisture karena hal tersebut diatas terkadang tidak masuk
akal. Dan hal ini sering menjadi perdebatan.
Untuk penyebab point 2 atau karena terjadinya bias pengambilan sample, hal ini sangat
sulit ditentukan karena sifatnya probability atau kemungkinan. Faktor yang berpengaruh
terhadap nilai Total moisture adalah perbedaan distribusi size sample yang terambil.
Semakin halus sizenya akan semakin besar kemungkinan kadar Total moisturenya
karena semakin tinggi surface moisturenya. Hal ini biasanya disebabkan karena kondisi
sampling yang relative sulit karena diambil di grab yang menggantung. Sehingga
pengambilan sample harus dilakukan secepat mungkin dan diambil pada permukaan
yang termudah untuk diambil. Perbedaan nilai total moisture yang disebabkan karena
terjadinya bias pada sampling kemungkinannya 50:50, artinya bisa menguntungkan
shipper, juga bisa menguntungkan buyer.
Dari kedua factor tersebut diatas, yang paling penting untuk di kontrol adalah factor
yang pertama. Karena hal tersebut masih bisa dicegah dengan mengurangi kondisi-
kondisi yang memungkinkan hal tersebut terjadi.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah atau paling tidak mengurangi
pengaruh air hujan terhadap total moisture adalah sebagai berikut :
1. Pastikan bahwa semua tongkang yang digunakan untuk memuat batubara
memiliki lubang drainase pada setiap side boardnya.
2. Pada saat tongkang tersebut telah dimuat dan tongkang tersebut terkena
hujan, check dan pastikan lubang-lubang drainase tersebut tidak tersumbat.
3. Untuk spesifikasi Total moisture yang sangat riskan atau berada pada
marginal rejection limit, Penutupan cargo dengan menggunakan terpal diatas
tongkang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh air hujan tersebut
terhadap total moisture. Hal ini paling tidak dapat mengurangi resiko naiknya
total moisture yang disebabkan oleh hujan selama perjalanan dari jetty ke
transshipment point atau pada saat menunggu pemuatan ke kapal.
Alur data yang diperoleh dari suatu quality Control dapat dilihat pada flowchart di
bawah ini :
Coal Resources
Geological data
Quality Resources
Marrketing
Coal Reserve
Mine Planning
Quality Reserve
Quantity & Quality
Specification
Mine Block
Mine scheduling
EVALUATION
Actual Block Mine out
Coal Production
ION
Production Quantity
Production Quality
Coal Shipment
Shipment Quality
Secara prinsip, quality dan quantity control yang dilakukan di perusahaan tambang
batubara dengan yang dilakukan di end user adalah sama yaitu bertujuan untuk
mencapai target kualitas dan kuantitas yang sudah ditentukan. Perbedaannya
adalah kalau di perusahaan tambang batubara variasi kualitas berasal dari
perbedaan pit tambang atau seam-seam yang berbeda. Sedangkan di end user
sumber perbedaan kualitas berasal dari supplier yang berbeda.
Di end user pengambilan pasokan batubara dari beberapa pemasok biasanya
dikarenan alasan untuk keamanan pasokan, sehingga apabila terjadi sesuatu pada
satu pemasok sehingga tidak dapat memasok batubara, maka pemasok lainnya
menjadi back up. Apabila suatu end user mengambil hanya satu pemasok,
dikhawatirkan apabila terjadi sesuatu pada pemasok tersebut, maka akan sulit
untuk membackupnya. Walaupun spot pengambilan batubara dapat dilakukan,
akan tetapi perlu waktu untuk penyesuaian kualitasnya atau untuk menentukan
apakah kualitas batubara tersebut sudah sesuai dengan alat yang digunakan.
Karena apabila kualitas tersebut tidak sesuai atau bahkan menyebabkan masalah
diperalatan, kerugian yang timbul akibat ketidak sesuaian kualitas batubara
dengan peralatan tersebut boleh jadi lebih besar. Oleh karena itu pengambilan
batubara lebih dari satu pemasok dianggap lebih aman.
Quality Control yang dilakukan di end user secara garis besar terdiri dari :
1. Control Kualitas batubara yang masuk.
2. Control kuantitas dan kualitas batubara di stockpile
3. Melakukan management penumpukan
4. Melakukan Pengaturan blending
Untuk end user seperti di Power plant misalnya, biasanya menyetok batubara dalam
cukup besar. Hal ini agar stock batubara cukup untuk beberapa hari atau beberapa
minggu operasional. Besar kecilnya minimum stock tergantung konsumsi batubara per
harinya yang ditentukan besar kecilnya power plant tersebut. Oleh karena itu di
stockpile akan selalu ada batubara yang harus dijaga kualitas dan kuantitasnya. Untuk
batubara golongan rendah, biasanya masalah yang sering muncul adalah terbakar
dengan sendirinya di stockpile. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan kuantitas di
stockpile karena batubara yang sudah terbakar tidak boleh dibunkering karena
dikhawatirkan akan menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan dan menyebabkan
kerugian yang lebih besar.
Untuk mengurangi resiko self combustion tersebut ada beberapa yang harus dilakukan
yaitu :
1. Mengurangi ketinggian stockpile
2. Mengurangi sudut slope tumpukan
3. Memadatkan bagian permukaan yang menghadap ke arah angin
4. Menambahkan additive pada saat pembongkaran
5. Memonitor temperature stockpile secara reguler
6. Melakukan management FiFo (First in –First out)
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi impact angin yang menerpa tumpukan
batubara. Dengan melandaikan bagian permukaan yang menghadap ke arah
angin, berarti juga mengurangi penetrasi angin atau oksigen masuk kedalam
tumpukan. Karena dengan sudut aoerodinamis angin yang menerpa pada
tumpukan batubara seolah olah dibelokan ke atas sehingga tidak terjadi turbulensi
angin disekitar tumpukan batubara. Hal ini akan mengurangi tingkat oksidasi yang
terjadi terhadap batubara.
Untuk penyimpanan batubara yang relatif lama, baik batubara golongan rendah
maupun batubara golongan tinggi, sebaiknya setiap slope tumpukan dipadatkan,
khususnya yang menghadap ke arah angin. Seperti yang sudah dijelaskan diatas,
bahwa pemadatan permukaan berarti mengurangi penetrasi oksigen kedalam
tumpukan batubara yang juga akan mengurangi tingkat oksidasi batubara dalam
tumpukan tersebut. Dengan pemadatan setiap slope tumpukan berarti mengurangi
tingkat resiko terjadinya pembakaran spontan di stockpile.
Dengan demikian batubara akan terlindungi dari oksidasi atau paling tidak
mengurangi tingkat oksidasi yang terjadi pada batubara di stockpile. Additive dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu wetting type dan coating type. Wetting type biasanya
mengandung surfatctan yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan
antara batubara dan air, sehingga air dapat membasahi partikel batubara dan
mencegah debu beterbangan ke udara. Additive jenis ini biasanya juga ditambah
zat polimer sebagai pengikat partikel halus menjadi partikel yang lebih besar
sehingga densitynya juga menjadi besar. Zat ini berfungsi pada saat air yang
membasahi partkel batubara sudah mengering dengan penguapan. Jadi zat ini
mencegah disintegrasi kembali partikel yang halus pada saat partikel tersebut
mengering. Jenis yang kedua adalah coating type. Jenis ini biasanya mengandung
polimer yang berfungsi sebagai pelindung. Additive jenis ini pada saat diseprotkan
ke permukaan batubara adalah cair, namun beberapa saat setelah berada di
permukaan batubara polimer ini mengering dan membentuk lapisan pelindung
yang menyerupai plastik. Lapisan polimer ini berfungsi untuk mengikat partikel
halus menjadi partikel yang lebih besar, juga berfungsi sebagai oxygen shield atau
menahan kontak antara oksigen dan batubara sehingga oksidasi dapat dicegah.
Additive jenis ini juga sering digunakan pada statis stockpile dimana penyemprotan
dilakukan pada saat tumpukan batubara telah di trimming. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah longsoran tumpukan dan juga berfungsi sebagai pelindung slope
yang terterpa angin dan mngurangi penetrasi oksigen kedalam tumpukan
batubara.
Pada saat penggunaan additive ini yang perlu diperhatikan adalah sistem
sprayingnya. Karena efektifitas additive ini juga tergantung baik buruknya sistem
penyemprotannya. Intinya adalah bahwa additive tersebut harus mengenai semua
partikel batubara, terlebih lagi mengenai partikel batubara yang halus.
panas dalam tumpukan tidak akan mencegah tumpukan batubara tersebut untuk
terus naik temperaturenya, bahkan penyemprotan batubara panas dengan air
bahkan dapat mengakselerasi oksidasi yang terjadi. Jadi penanggulangan
batubara di dalam tumpukan hanya dengan pembongkaran tumpukan tersebut
untuk menurunkan temperaturnya. Setelah temperaturenya turun baru bisa
dilakukanpenyemprotan baik dengan air maupun additive untuk mencegah
terjadinya kembali self heating. Dengan demikian resiko terjadinya pembakaran
spontan dapat dikurangi dengan memonitor temperature stockpile secara reguler.
Managemen FIFO atau first in first out di setiap stockpile baik di perusahaan
tambang batubara maupun di end user harus diusahakan terlaksana. Karena hal
ini juga akan mencegah resiko terjadinya pembakaran spontan di stockpile. Hal ini
dikarenakan semakin lama batubara terekspose diudara semakin besar
kemungkinannya batubara tersebut mengalami oksidasi yang berarti pula semakin
besar kemungkinan terjadinya self heating sampai terjadinya pembakaran
spontan. Biasanya managemen FIFO ini terkendala dengan masalah kualitas. Ada
kalanya batubara yang sudah ditumpuk pertama kali di stockpile tidak dapat di
muat atau dibunkering karena alasan kualitas yang tidak masuk. Namun demikian
setiap kesempatan management FiFo ini tetap harus prioritas dilakukan pada saat
tidak ada alasan kualitas. Karena diantara keenam langkah pencegahan seperti
tersebut diatas, management FiFO adalah yang paling murah.
ada juga yang menjadikan kalori sebagai acuan target yang ingin dicapai.
Terkadang dalam suatu blending ada beberapa parameter yang dijadikan acuan
target. Dalam hal ini tidak selalu dapat tercapai karena perhitungan blending hanya
satu parameter yang benar-benar dapat dicapai dengan proporsi blending tertentu.
Memang pada kualitas tertentu kadang-kadang beberapa parameter target
terpenuhi, namun hal ini lebih disebabkan karena parameter kualitas batubara
yang dijadikan target sejalan dengan target utama. Sebagi contoh adalah sebagai
berikut:
Batubara A memiliki Sulfur 1 % dan kalori 5500.
Batubara B memilki Sulfur 0.5 % dan kalori 6000.
Batubara A dan B diblending agar kualitas hasil blending memilki kadar sulfur 0.75
dan kalorinya 5750. Dalam hal ini kedua parameter tersebut sejalan, yaitu dengan
blending 1:1 maka kedua target tersebut akan tercapai secara sekaligus. Lain
halnya dengan dua batubara sebagai berikut :
Batubara A memiliki Sulfur 1 % dan kalri 5500.
Batubara B memilki Sulfur 0.5 % dan kalori 5000
Misalkan target untuk sulfur 0.75 % dan kalori harus minimum 5500.
Hal ini tidak dapat dicapai karena untuk keperluan sulfur maka batubara B harus
ditambahkan terhadap batubara A, namuan dalam waktu yang sama penambahan
batubara B akan mengurangi nilai kalorinya karena batubara B memiliki kalori yang
lebih rendah. Dalam hal ini kedua batubara tersebut memiliki kualitas yang tidak
sejalan dengan beberapa target parameter.
Yang harus diperhatikan dalam menghitung dan mengkalkulasi blending, adalah
bahwa hanya kualitas yang bersifat kuantitatif yang bisa langsung dihitung
dengan cumulatif. Sedangkan kualitas yang kualitataif tidak bisa dihitung secara
matematika. Perhitungan hasil pencampurannya lebih bersifat probablilty atau
kemungkinan saja, dan tidak dapat dipastikan. Parameter kuantitatif adalah
parameter yang dalam satuannya terdapat unsur berat seperti Kalorific Value
(Kcal/kg), TM,IM,Ash,VM, dan ultimate semuanya dinyatakan dalam % berat, dan
lain-lain. Sedangkan parameter yang kualitataif misalnya adalah AFT, HGI,
Sweeling index, dan lain-lain.
Ada pula parameter yang kuantitatif tetapi tidak bisa langsung dihitung dengan
kumulatif berat batubara yang dicampurkan. Dalam hal ini parameter tersebut
dapat dikatakan indirect kuantitatif. Untuk parameter jenis ini harus dikalkulasi dulu
agar parameter tersebut dapat dinyatakan sebagai % berat atau satuan berat
dalam in coal. Parameter ini biasanya dinyatakan bukan dalam in coal melainkan
dalam kondisi yang lain. Contoh parameter ini dalah Ash Analysis. Dimana %
masing-masing parameter komponen abu tersebut dinyatakan dalam % in ash.
Oleh karena itu, persen tersebut terlebih dahulu harus dikonversi ke dalam % in
coal, baru dapat dikalkulasi dengan kumulatif. Namun demikian apabila batubara
yang diblending memiliki kadar abu yang sama, maka perhitungan ash analysis
tersebut dapat dihitung dengan kumulatif langsung.
Selain kualitas, yang sangat penting dalam blending adalah sistem blending itu
sendiri. Kesempurnaan batubara hasil blending tergantung pada homogenitas
pencampurannya. Dalam suatu blending semakin kecil proporsi pencampuran
semakin homogen hasil blending tersebut. Misalnya proporsi blending batubara A
dan batubara B adalah 2 : 3 maka homogenitas sistem pencampuran dibawah ini
secara berurutan semakin besar atau semakin homogen :
Dari sini jelas bahwa semakin kecil satuan berat pencampuran semakin homogen hasil
pencampuran tersebut. Homogenitas pencampuran atau blending batubara ini sangat
penting khususnya bagi end user. Karena hal ini menyangkut setting peralatan dan
perhitungan feeding batubara yang diumpankan pada peralatan tersebut. Hasil analisa
saja tidak cukup sebagai indikasi pencampuran kualitas. Karena kalau
pencampurannya tidak homogen maka prediksi kualitas pada saat batubara tersebut
digunakan akan keliru. Sebagai contoh, suatu blending batubara dengan tonase total
25,000 MT terdiri dari 2 bagian batubara A dengan HGI 40, dan 3 bagian batubara B
dengan HGI 65. Sistem pencampuran dilakukan dengan sistem blending tongkang
seperti contoh pada nomor satu di atas. Pada saat dimuat ke kapal, tentu saja tidak
dapat homogen karena setiap tongkang dimuat satu per satu kedalam palka kapal.
Walaupun pemuatan dua tongkang dilakukan bersama-sama, tapi biasanya masing-
masing tongkang dimuat pada palka yang berbeda. Sesampai di end user, batubara
tersebut dimuat langsung ke bunker yang berkapasitas masing-masing bunker adalah
1,000 MT. Kalau melihat sistem blending perbandingan beratnya seolah-olah 10,000
MT berbanding 15,000 MT. Bandingkan dengan kapasitas bunker, yang hanya 1,000
MT. Dengan melihat kondisi tersebut kita bisa memprediksikan bahwa ada
kemungkinan yang cukup besar bahwa salah satu bunker atau lebih akan terisi secara
individual batubara yang memiliki HGI 65, dan terisi secara individual batubara yang
memiliki nilai HGI 40. Padahal mungkin kalau melihat hasil analisa kapal tersebut, nilai
HGI kumulatifnya adalah 55 walaupun sebenarnya HGI tidak dapat dikalkulasi. Pada
saat di mill dengan milling yang sama kedua jenis batubara tersebut akan menghasilkan
performance yang berbeda. Bahkan lebih buruk lagi setting mill tersebut tidak sesuai
dengan jenis batubaranya, dan hal ini akan mengurangi performance operasional power
plant tersebut secara keseluruhan. Dalam contoh ini misalnya memungkinkan terjadinya
overload mill tersebut karena setting mill tension dan classifiernya diperuntukan untuk
HGI tinggi. Padahal batubara yang sebenarnya masuk memiliki HGI 40. Hal ini sangat
tidak diinginkan oleh operator power plant tersebut khususnya operator Mill. Karena
dampak dari kesalahan setting mill tersebut juga akan mngekibatkan ke bagian yang
lain. Sebagai contoh dalam kasus ini, Karena mill overload, maka ada kemungkinan
Classifier dibuka lebih besar, sehingga menghasilkan size distribusi semakin besar,
bahkan ukuran -75 mikron < 70 %. Hal ini dapat menyebabkan burn out time batubara
di furnace naik. Bhakan mungkin ada partikel batubara yang habis terbakar setelah
melewati FEGTnya. Kalau ini terjadi maka FEGT overheating akan terjadi dan sangat
potensial untuk terjadinya fouling di daerah Conveksi. Dan yang sudah pasti inefisiensi
karena temperature di stack pun akan naik, sehingga lebih banyak energi yang
terbuang.
Contoh diatas merupakan contoh kecil yang diakibatkan oleh mis prediksi terhadap
kualitas, namun dapat berdampak begitu besar bagi pengguna batubara. Bagaimana
dengan mis prediksi dari perbedaan kualitas batubara yang lain seperti sulfur, kalori,
atau moisture??. Mungkin akibat yang ditimbulkan akan semakin besar.
Oleh karena itu sistem blending sangat menentukan keberhasilan dari suatu blending.
Bagi pemasok batubara yang memiliki beberapa sumber batubara yang memiliki
kualitas yang jauh berbeda, tapi dijual sebagai single product sebaiknya memiliki
fasilitas blending yang memadai. Karena performance pemasokan batubara bukan
hanya dilihat dari sertifikat semata melainkan dilihat juga dari peformance pada saat
batubara digunakan. Terlebih lagi untuk end user yang membeli batubara dari berbagai
pemasok dengan kualitas batubara yang berbeda wajib memiliki fasilitas blending yang
memadai untuk menjaga kelangsungan operasional power plant. Bahkan blending di
end user jauh lebih rumit, karena bukan hanya memperhatikan kualitas yang biasa
seperti total moisture, kalori dan sulfur, melainkan juga harus memperhatikan parameter
yang lain seperti ash fusion temperature, ash analysis dan lain-lain, karena paramter-
parameter tersebut dijadikan acuan untuk menghitung kemungkinan terjadinya masalah
di dalam furnace yang diakibatkan oleh karakteristik abu batubara tersebut. Fasilitas
blending yang harus dimiliki oleh end user adalah fasilitas blending dengan tingkat
homogenitas pencampuran yang maksimum, karena hasil blending tersebut akan
dimasukan kedalam bunker yang berkapasitas relatif kecil. Peralatan yang ideal dimiliki
oleh end user adalah jenis Stacker –Reclaimer. Alat ini selain digunakan untuk
pengaturan penyimpanan batubara dan pengambilan batubara juga dapat digunakan
untuk melakukan blending.
Kalau disimpulkan yang menentukan kualitas blending tersebut adalah :
1. Proporsi Blending yang akurat
2. Sistem Pencampuran yang baik dan terkontrol
3. Perhitungan kualitas hasil blending yang comprehensif sesuai dengan
typical parameter yang benar.