Anda di halaman 1dari 239

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317104254

Manajemen Obat di Rumah Sakit

Book · May 2015

CITATIONS READS

0 4,388

1 author:

Satibi Ali Kusnadi


Gadjah Mada University
10 PUBLICATIONS 2 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Satibi Ali Kusnadi on 25 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MANAJEMEN OBAT DI
RUMAH SAKIT

Disusun oleh:
Dr. Satibi, M.Si., Apt

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan buku yang berjudul
“Manajemen Obat di Rumah Sakit sebagai salah satu upaya memberikan
kontribusi bagi masyarakat khususnya rumah sakit dalam mendukung manajemen
obatnya.
Dalam penulisan buku ini penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Gadjah Mada, yang memberikan insentif dana dalam
penulisan naskah buku ini
2. Prof. Dr. Subagus Wahyuono., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada yang memberikan kesempatan untuk menulis
buku ini
3. Prof. Dr. Achmad Fudoli, DEA., Apt. Selaku pendamping penulisan buku
ini, sehingga atas kesabaran dan ketelatenannya memberikan saran,
masukan dan rekomendasi untuk pembuatan buku ini.
4. Semua pihak dan teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
semoga kebaikan kalian dibalas oleh-Nya.

Penulis menyadari karya ini masih jauh sempurna, sehingga penulis


mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan dalam penyusunan karya selanjutnya.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini berguna bagi penelitian selanjutnya dan
dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, Oktober 2014
Penulis

Dr. Satibi, M.Si., Apt

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I. RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT ................................. 1
Klasifikasi Rumah sakit ...................................................................................... 2
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit........................................................................... 4
Visi dan Misi Rumah sakit .................................................................................. 5
Farmasi Rumah Sakit .......................................................................................... 6
Standar Pelayanan minimal IFRS ....................................................................... 9

BAB II. PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT...................................... 13


BAB III. SELEKSI OBAT ................................................................................ 19
A. Seleksi Obat ........................................................................................ 19
1. Sistem Formularium ......................................................................... 24
2. Panitia Farmasi dan Terapi.................................................................
25
3. Standar Terapi...................... ............................................................. 29

BAB IV. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT.................................... 34


A. Perencanaan Obat..................................................................................... 34
B. Pengadaan Obat di Rumah Sakit .................................................................... 44
C. Metode Pengadaan Obat. ................................................................................ 47
D. Persiapan Pengadaan ...................................................................................... 52
BAB V. PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT .............. 53
A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat ........................................................ 54
B. Masalah Pengendalian Persediaan .................................................................. 54

3
C. Model-Model Pengendalian Persediaan.................................................. 55
Contoh Kasus Pengadaan Persediaan obat di Rumah Sakit ................................ 81
Contoh Kasus Pengendalian Persediaan di Rumah Sakit ................................... 87
BAB VI. SISITEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT. ........................ 90
A. Sistem Penyimpanan Obat ............................................................................. 92
1. Standar Penyimpanan ................................................................................ 93

2. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan di dalam Penyimpanan Obat ...... 96


3. Sarana Prasarana Penyimpanan ................................................................ 97
4. Cara Penenmpatan Persediaan Dalam Gudang ......................................... 99
5. Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan ...................................................... 103
6. Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory.................................. 103
B. Sistem Distribusi Obat .................................................................................... 105
1. Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi ......................................... 105
2. Sistem Obat Persediaan lengkap di Ruang (Floor Stock) ............................... 107
3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang 109
4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS).................................................... 110
5. Sistem Farmasi Satu Pintu .............................................................................. 121
BAB VII. PENGGUNAAN OBAT ..........................................……………. 130
Dampak Negatif Penggunaan Obat yang Tidak Rasional ........................ 131
Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional ................................................. 134
Indikator Penggunaan Obat ........................................................................ 138
Keselamatan Pasien ............................................................................................. 141
Pengertian patient safety ............................................................................. 143
Tujuan Patient Safety ................................................................................... 146
Manajemen Patient Safety........................................................................... 170
BAB VIII. INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT ...................................... 172
Indikator Pengelolaan Obat Menurut DepKes ............................................. 172
Indikator Pengelolaan Obat Menurut WHO ............................................. 183

4
BAB IX. MANAJEMEN SUPPORT DALAM MANAJEMEN OBAT ........ 186
A. Human Capital .............................................................................................. 186
B. Information Capital ....................................................................................... 188
C. Organizational Capital... ……………………………………………. 191
D. Manajemen Keuangan.. ………………………………………………. 201
DAFTAR PUSTAKA ......................………………………………………. 228
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... 233

5
BAB I
RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT

Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit menurut Robert Maxwell dari


WHO Hospital Advisor Group (1994) memiliki 6 dimensi, yaitu: equity,
appropriateness, accesibility, acceptability, efficiency dan effectiveness, dengan
penekanan pada tiga dimensi terakhir. Acceptability artinya bahwa suatu pelayanan
harus berorientasi kepada pasien. Efficiency artinya bahwa rumah sakit melakukan
segala sesuatu dengan benar (doing things right), menggunakan sumber daya dengan
seksama dan dengan standar profesi yang jelas. Effectiveness artinya bahwa rumah
sakit dalam melakukan segala sesuatunya benar (doing right things). Maxwell juga
menambahkan bahwa kualitas merupakan keluaran dari suatu teknis, kualitas
hubungan interpersonal antara staf rumah sakit dengan pelanggan dan kondisi
lingkungan dimana pelayanan itu diberikan (Maxwell, 1994).
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan
penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif, yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini
menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk
rumah sakit.
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Rumah Sakit harus tetap mampu meningkatkan pelayanan kesehatan
yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan

6
perorangan secara paripurna, menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat, melakukan upaya kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat (Depkes RI, 2009).
Rumah sakit diselenggarakan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika,
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit, sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu,
mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, memberikan kepastian hukum
kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit
(Depkes RI, 2009).
Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan
rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien (DeKes RI, 2004).
Pelayanan kesehatan yang diselengarakan rumah sakit meliputi: pelayanan medis,
pelayanan penunjang medis, pelayanan rehabilitasi dan peningkatan kesehatan,
pendidikan dan pelatihan serta pengembangan bidang kesehatan.
Menurut SK Menkes RI No.983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman
organisasi rumah sakit umum, rumah sakit umum adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik,
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melaksanakan upaya
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Aditama, 2010).
Klasifikasi Rumah Sakit

7
10
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit,
rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.
a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan menjadi
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, sebagai berikut :
1) Rumah Sakit Umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit.
2) Rumah Sakit Khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
b. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit publik dan
rumah sakit privat, sebagai berikut :
1) Rumah Sakit Publik yaitu rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit
pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelola
badan layanan umum (BLU) atau badan layanan umum daerah (BLUD)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, contoh : Rumah
Sakit Departemen Kesehatan, Rumah Sakit Pemerintah Daerah Provinsi,
Rumah Sakit Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Rumah Sakit TNI, Rumah
Sakit Polri, dan Rumah Sakit Pertamina.
2) Rumah Sakit Privat yaitu rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero, contoh :
Rumah Sakit Yayasan, Rumah Sakit Perusahaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan rumah sakit.
a. Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas :

8
1) Rumah Sakit Umum kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12
spesialis lain, dan 13 subspesialis dasar.
2) Rumah Sakit Umum kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8
spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar.
3) Rumah Sakit Umum kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, dan 4 spesialis penunjang medik.
4) Rumah Sakit Umum kelas D, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 2 spesialis dasar.
b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas :
1) Rumah Sakit Khusus kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang
lengkap.
2) Rumah Sakit Khusus kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang
terbatas.
3) Rumah Sakit Khusus kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang
minimal.

Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Berdasarkan SK Menkes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar
pelayanan farmasi di rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut,
rumah sakit mempunyai fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.

9
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Visi dan Misi Rumah Sakit


Untuk berhasil dalam pelayanan secara menyeluruh, maka pimpinan rumah
sakit perlu melakukan perencanaan strategi dengan mengembangkan visi, misi,
menetapkan tujuan, pengembangan program, penetapan prioritas, rencana tindakan
terpadu, dan penerapan.
Visi rumah sakit merupakan kekuatan memandu rumah sakit. Suatu inspirasi
yang cukup jelas, sangat kuat menimbulkan dan mendukung tindakan yang perlu
untuk mencapai status masa depan. Visi merupakan pernyataan tetap (permanen)
untuk mengkomunikasikan sifat dari keberadaan rumah sakit, berkenaan dengan
maksud, lingkup usaha/kegiatan, kepemimpinan kompetitif, memberikan kerangka
kerja yang mengatur hubungan antara rumah sakit dan “stakeholders” utamanya, dan
menyatakan tujuan luas dari unjuk kerja rumah sakit. Fokus visi adalah eksternal
untuk stakeholders (Siregar dan Amalia, 2004).
Misi rumah sakit merupakan suatu pernyataan singkat dan jelas tentang alasan
keberadaan rumah sakit, maksud, fungsi yang diinginkan untuk memenuhi harapan
dan kepuasan konsumen. Misi sebagai metode utama untuk mencapai maksud
tersebut, memformulasi berbagai jenis kegiatan tertentu dari semua upaya yang
dilakukan rumah sakit dan strategi yang digunakan dalam beroperasi, menetapkan
cara sumber dialokasikan oleh rumah sakit dan pola umum pertumbuhan serta arah
masa depan. Fokus misi harus internal rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004).

10
Farmasi Rumah Sakit
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit. Disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang
berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan
masyarakat dan pasien akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya
perubahan pelayanan dari drug oriented ke patient oriented dengan filosofi
Pharmaceutical Care. Praktik Pelayanan Kefarmasian merupakan hal yang terpadu
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat
dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (DepKes RI, 2004).
Pharmaceutical care berkembang sebagai kelanjutan dari sejarah
perkembangan obat yang mengakibatkan makin banyaknya drug adverse reaction.
Terlihat dari catatan sejarah bahwa di USA, tahun 1971, 140.000 kematian dan 1 juta
dirawat di rumah sakit karena adanya drug adverse reaction dari obat yang
diresepkan. Pada tahun 1987 FDA mencatat 12.000 kematian dan 15.000 dirawat di
rumah sakit yang berkaitan dengan drug adverse reaction dari obat yang diresepkan.
Morse mengestimasikan bahwa di USA biaya penyakit yang berkaitan dengan obat
diresepkan adalah $ 7 bilion setiap tahun (Strand dkk, 1998). Dilaporkan juga oleh
McDonnell (2006) bahwa kejadian medication error di rumah sakit 10-30 % akibat
dari adverse drug event (ADE), dan setiap kejadian ADE biayanya mencapai 5.000
dollar amerika tiap pasien di rumah sakit. Dari kejadian tersebut sebenarnya dapat
dicegah 30-50 %.
Mengacu pada SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk

11
pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi
rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di
rumah sakit tersebut. Hal ini mendorong pelayanan farmasi satu pintu harus
ditegakkan dalam sistem pelayanan farmasi rumah sakit (sesuai dengan undang-
undang rumah sakit no 44 tahun 2009, pasal 15 ayat 3).
Adapun tujuan pelayanan farmasi adalah (DepKes RI, 2004) sebagai berikut:
a Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas
yang tersedia.
b Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etika profesi.
c Melaksanakan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai obat,
d Menjalankan pengelolan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku,
e Mengevaluasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
f Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
g Mengadakan penelitian dan pengembangan dibidang farmasi dan peningkatan
metode.
h Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
rumah sakit.
Farmasi Rumah sakit, selain mempunyai tujuan umum pelayanan farmasi,
juga mempunyai fungsi. Fungsi Farmasi Rumah Sakit antara lain: (DepKes RI,
2004)
A. Pengelolaan perbekalan farmasi
1) Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit
2) Merencanakan kebutuhan farmasi secara optimal
3) Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang
telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku

12
4) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit
5) Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku
6) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
persyaratan kefarmasian
7) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah
sakit.
B. Pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan: (DepKes RI,
2004)
1) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien
2) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
alat kesehatan
3) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan
4) Memantau keefektifan dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan
5) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga
6) Memberikan konselling kepada pasien/keluarga
7) Melakukan pencampuran obat suntik
8) Melakukan penyiapan nutrisi parenteral
9) Melakukan penanganan obat kanker
10) Melakukan penentuan kadar obat dalam darah
11) Melakukan pencatatan setiap saat
12) Melaporkan setiap kegiatan.
Farmasi rumah sakit mempunyai arti penting dalam Rumah Sakit. Dalam
Undang-undang Rumah Sakit no. 44 tahun 2009 disebutkan bahwa salah satu
persyaratan RS harus memenuhi persyaratan kefarmasian. Di bagian keenam pasal 15
tentang kefarmasian menyebutkan bahwa: (DepKes RI, 2009)

13
1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1
harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
2) Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar
pelayanan kefarmasian
3) Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai di
Rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu
4) Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit
harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan
pemerintah
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian
sebagaiamana dimaksud dalam ayat 2) diatur dengan peraturan
menteri.
Standar Pelayanan Minimal IFRS
Rumah Sakit harus memelihara dan mengembangkan IFRS serta fungsi
pelayanannya yang dilakukan sesuai dengan praktik profesional dan etika yang dapat
diterima dan semua persyaratan perundang – undangan yang berlaku. Fungsi
pelayanan kefarmasian di rumah sakit mempunyai berbagai komponen, yang
semuanya digolongkan menjadi pelayanan non klinik dan klinik.
Dibawah ini diuraikan berbagai standar kegiatan atau pelayanan IFRS.
Standar adalah suatu dokumen yang ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh
suatu badan yang diakui, yang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik dari
kegiatan atau hasil kegiatan, disediakan untuk penggunaan umum dan berulang,
ditujukan untuk pencapaian derajat optimal keberaturan dalam suasana tertentu. Jadi,
standar minimal kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang
harus dilakukan IFRS secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan
hasil yang baik (Siregar dan Amalia, 2004).

14
Standar 1: manajerial dimana IFRS harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang
secara profesional kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan
IFRS harus berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan Staf Medik
Fungsional (SMF) dalam struktur rumah sakit.
Standar II : Fasilitas yaitu ruangan, peralatan dan perbekalan harus disediakan untuk
fungsi profesional dan administratif IFRS sebagaimana dipersyaratkan. IFRS harus
dilengkapi dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan
administratif.
Standar III : Distribusi dan Pengendalian Obat yaitu kebijakan dan prosedur
terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus
dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama – sama Panitia Farmasi dan Terapi
(PFT), staf medik, perawat dan dewan perwakilan disiplin lain. IFRS adalah suatu
unit atau bagian yang harus bertanggung jawab dalam pengelolaan menyeluruh mulai
dari perencanaan, pengadaan (pembelian, manufaktur), pengendalian mutu,
penyimpanan dan peracikan, pelayanan resep/order, distribusi sampai dengan
pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah
sakit termasuk pelayanan yang berkaitan dengan obat kepada penderita ambulatori.
Kebijakan dan prosedur yang menguasai sebagai fungsi tersebut harus
dikembangkan oleh apoteker dengan masukan dari PFT, staf rumah sakit yang
terlibat, seperti pimpinan rumah sakit, perawat, dokter dan komite atau panitia lain
(Siregar dan Amalia, 2003).
Standar IV : Informasi obat yaitu IFRS bertugas dan bertanggung jawab
menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan komprehensif bagi staf medik,
profesional kesehatan lain, dan penderita serta harus membuat IFRS sebagai sentra
informasi obat.
Standar V : jaminan terapi yang rasional yaitu terkait dengan penggunaan obat
secara rasional. Penggunaan obat yang rasional mensyaratkan bahwa penderita
memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang memenuhi
kebutuhan individual, untuk periode waktu yang memadai dan harga yang terendah

15
bagi mereka dan komunitas mereka. Istilah penggunaan obat yang rasional dalam
lingkungan biomedik mencangkup kriteria seperti obat yang benar, indikasi yang
tepat, yaitu alasan bahwa penulisannya didasarkan pada pertimbangan medik yang
baik (tanpa cacat), obat yang tepat, berkaitan dengan manfaat, keamanan, kesesuaian
bagi penderita yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan terjadinya
reaksi merugikan adalah minimal. Dispensing yang benar termasuk informasi yang
tepat bagi penderita tentang obat yang ditulis dokter, dan kepatuhan penderita pada
pengobatannya.
Standar VI : Penelitian yaitu praktik kefarmasian didasari oleh berbagai ilmu, seperti
fisikokimia, biologi, farmasetik, biomedik dan sosioekonomi. Jadi keberhasilan masa
depan dan berkelanjutan serta rasa harga diri profesi tergantung pada dasar
pengetahuan yang diperluas dan yang dapat dihasilkan melalui penelitian serta
pengembangan ilmiah yang giat dan dinamis agar penelitian ini mempunyai arti dan
produktif sesuai dengan kebutuhan IFRS dalam rumah sakit, apoteker rumah sakit
harus berpatisipasi aktif. Apoteker rumah sakit harus dapat berfungsi baik dalam
penelitian dengan bekerja sama dengan profesional pelayanan kesehatan lainnya.
Apoteker memberikan kontribusi keahlian yang khas pada aspek yang berkaitan
dengan obat pada pelayanan penderita dan memikul tanggung jawab pribadi pada
hasil dari pelayanan kefarmasian yang mereka berikan pada penderita.
Standar VII : pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman yaitu
kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang menguasai pemberian/konsumsi obat
dan produk biologik yang aman harus dikembangkan oleh PFT bekerjasama dengan
IFRS, perawat, dan jika perlu perwakilan disiplin lain.
Standar VIII : Mutu dalam pelayanan perawatan penderita yang diberikan oleh IFRS
yaitu sebagai bagian dari program jaminan mutu rumah sakit, mutu dan ketepatan
pelayanan, perawatan dan penderita yang diberikan IFRS harus dipantau, dievaluasi
dan masalah yang diidentifikasi diadakan solusinya, IFRS adalah suatu organisasi
pelayanan yang merupakan suatu sistem terorganisasi dari keterampilan dan fasilitas
khusus. IFRS yang merupakan pemasok pelayanan, menghendaki agar pelayanannya

16
cocok digunakan atau memuaskan konsumen, sama seperti yang dikehendaki
pemasok produk industrial. Banyak kemiripan teknik jaminan mutu lembaga
pelayanan dan lembaga manufaktur, tetapi pelayanan memerlukan suatu pendekatan
khusus (Siregar dan Amalia, 2004).

17
BAB II
PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT

Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan


sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan suatu cara yang dapat
memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan ekonomis dalam
penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat.
Dimana keduanya merupakan konsep utama yang digunakan untuk mengukur prestasi
kerja manajemen. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi
farmasi rumah sakit (Jokosusilo, 2004)
Menurut Trisnantoro (2003), obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat yang sakit. Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan
konsekuensi yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit
untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari
seluruh anggaran rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan
dari obat yang dijual di rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan
dibandingkan dengan keuntungan dari jasa yang lain, misalnya radiologi, pelayanan
rawat inap ataupun pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, maka manajemen obat
di rumah sakit sangat penting untuk dilakukan.
Pengelolaan obat berhubungan erat dengan anggaran dan belanja rumah sakit.
Mengenai biaya obat di rumah sakit dapat sebesar 40% dari total biaya kesehatan.
Menurut Depkes RI secara nasional biaya obat sebesar 40%-50% dari jumlah
operasional pelayanan kesehatan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan
obat bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan
efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan
rumah sakit. Pengelolaan tersebut meliputi seleksi dan perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, distribusi dan penggunaan.
Manajemen obat yang baik menjamin selalu tersedianya obat setiap saat
diperlukan, dalam jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin, untuk mendukung

18
pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Obat yang diperlukan adalah obat-obat yang
secara medis memang diperlukan sesuai dengan keadaan pola penyakit setempat,
telah terbukti secara ilmiah bahwa obat tersebut bermanfaat dan aman untuk dipakai
di rumah sakit yang bersangkutan. Manajemen obat menyangkut berbagai tahap dan
kegiatan yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara
masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak efisiennya
sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja rumah sakit baik
secara medik, ekonomi dan sosial. Dampak negatif lainnya akan mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit.
Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam
fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan
memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara
ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan
tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan
harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Dalam sistem
manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi
sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya (Liliek, 1998).
Menurut Quick, dkk (2012), siklus manajemen obat mencakup empat tahap
yaitu: 1) selection (seleksi), 2) procurement (pengadaan), 3) distribution (distribusi),
dan 4) use (penggunaan). Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling
terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-masing dapat dikelola
secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut
diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik dan
saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung
pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan rumah sakit yang potensial.
Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen
(management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, Sistem
Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Setiap tahapan
siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat management support

19
tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Siklus manajemen obat dapat digambarkan pada Gambar 1

SELECTION

Management Support
 Organization Management
 Human Resources Management
PROCUREMENT
USE
 Administration and Finance Management
 Management Information Sistem

DISTRIBUTION
Policy and legal framework

Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quick dkk., 2012)

Salah satu fungsi pengelolaan obat adalah seleksi terhadap obat yang benar-
benar diperlukan bagi sebagian besar populasi berdasarkan pola penyakit yang ada.
Proses seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat
karena melalui seleksi obat akan tercermin berapa banyak item obat yang akan
dikonsumsi dimasa datang (Quick, dkk, 2012). Pada proses pemilihan obat
seharusnya mengikuti pedoman seleksi obat yang disusun oleh WHO (1993) antara
lain:
1) Memilih obat yang tepat dan terbukti efektif serta merupakan drug of
choice;
2) Memilih seminimal mungkin obat untuk suatu jenis penyakit,
mencegah duplikasi;
3) Melakukan monitoring kontra indikasi dan efek samping obat secara
cermat untuk mempertimbangkan penggunaannya;
4) Biaya obat, yang secara klinik sama harus dipilih yang termurah
5) Menggunakan obat dengan nama generik.
Setelah dilakukan seleksi, sebaiknya suplai obat sesuai dengan obat yang dipilih.

20
Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah
Sakit. Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan RI
melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu
pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi,
Formularium dan Pedoman Pengobatan. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi
yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi,
sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang
ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga
kesehatan lainnya (DepKes RI, 2004)
Formularium dapat diartikan sebagai daftar produk obat yang digunakan
untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan tertentu. Formularium merupakan
referensi yang berisi informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep,
penyedia/peracik obat dan petugas kesehatan lainnya (www.depkes.go.id).
Pedoman pengobatan yaitu standar pelayanan medis yang merupakan standar
pelayanan rumah sakit yang telah dibakukan bertujuan mengupayakan kesembuhan
pasien secara optimal, melalui prosedur dan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pedoman pengobatan sebagai panduan tenaga medis dalam
memberikan pelayanan medis, yang diharapkan pengobatan menjadi rasional.

Untuk melaksanakan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan


dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yang meliputi;
1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan risiko efek samping yang akan
ditimbulkan;
2) Jumlah obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari
duplikasi dan kesamaan jenis;
3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih
baik;

21
4) Dihindarkan penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi tersebut
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal;
5) Apabila jenis obat banyak, maka kita akan memilih berdasarkan drug of
choice dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
Perencanaan obat merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah,
dan harga obat yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk periode pengadaan
yang akan datang. Perencanaan dipengaruhi berbagai hal seperti beban epidemiologi
penyakit, keefektifan obat terhadap suatu penyakit dan dipertimbangkan pula harga
obat (Budiono dkk, 1999). Dalam pengelolaan obat yang baik, perencanaan sebaiknya
dilakukan dengan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap akhir pengelolaan, yaitu
penggunaan obat periode yang lalu. Gambaran penggunaan obat dapat diperoleh
berdasarkan data riel konsumsi obat (metode konsumsi) atau berdasarkan data riil
pola penyakit (metode morbiditas) dan gabungan dari kedua metode tersebut (Quick
dkk, 1997).
Pengadaan adalah suatu proses untuk mendapatkan barang atau obat yang
dibutuhkan untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Termasuk dalam
pengadaan adalah pengambilan keputusan dan tindakan untuk menentukan jumlah
obat yang spesifik, harga yang harus dibayar, kualitas obat yang diterima, pengiriman
barang tepat waktu, proses berjalan lancar tidak memerlukan waktu dan tenaga
berlebihan. Pemborosan waktu, tenaga dan dana akan meningkatkan biaya obat dan
akan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit. Pengadaan merupakan faktor
terbesar menyebabkan pemborosan maka perlu dilakukan efisiensi dan penghematan
biaya. Agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur diperlukan struktur
komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan,
metode dan prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, serta didukung dengan
dana dan fasilitas yang memadai (Budiono dkk, 1999).
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan obat dengan cara menempatkan
obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman, mengatur obat agar mudah
ditemukan kembali pada saat diperlukan, mengatur kondisi ruang dan penyimpanan

22
agar obat tidak mudah rusak/hilang, serta melakukan pencatatan dan pelaporan obat.
Selain persyaratan fisik, penyimpanan obat juga memerlukan prasyarat yang lebih
spesifik serta pengaturan yang rapi. Hal ini dikarenakan obat memerlukan perlakuan
tersendiri seperti: suhu tertentu, memerlukan pengamanan yang ketat, zat yang
eksplosif dan pencahayaan tertentu. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat
dalam. Obat diatur sesuai sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired
First Out), serta obat yang hampir kadaluwarsa diberi tanda agar bisa selalu
dimonitor (Quick dkk, 1997).
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah
sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat
jalan serta untuk penunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar
kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan antara lain:
efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi,
sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi (DepKes RI,
2004).
Penggunaan adalah suatu tahap masalah pemakaian obat yang rasional serta
dampak penggunaan obat yang tidak rasional. Menurut DepKes RI (DepKes RI,
2004), pengobatan yang rasional adalah jika pengobatan dilakukan secara tepat
(medically appropriate) yaitu tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat
dosis, cara dan lama pemberian, tepat penilaian terhadap kondisi pasien, tepat
penyerahan, tepat informasi, tepat tindak lanjutnya dan waspada terhadap efek
samping obat. Ketidakrasionalan pemakaian obat sangat beragam, mulai dari
pemakaian obat tanpa indikasi, dosis, cara, frekuensi dan lama pemberian yang tidak
tepat, hingga peresepan obat-obat relatif mahal atau peresepan obat-obat yang belum
terbukti secara ilmiah memberi manfaat terapi yang lebih besar dibanding risiko.

23
BAB III
SELEKSI OBAT

Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang


merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat fungsi
dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan satu-satunya unit di Rumah Sakit (RS) yang
bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek yang
berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah sakit
(Quick dkk., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung
manajemen (Management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan
keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM)
(Quick dkk., 2012)

A. Seleksi Obat
Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan

yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,

menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi

sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan

peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan kualitas dan

efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian (Depkes RI, 2004). Pemilihan

obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai

dengan kelas rumah sakit masing-masing, formularium rumah sakit, formularium

jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) Askes

dan Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang

24
baik, meliputi : jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari

kesamaan jenis, hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi

mempunyai efek lebih baik dibanding obat tunggal, apabila jenis obat banyak, maka

kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang

prevalensinya tinggi (Depkes RI, 2008). Seleksi obat bertujuan untuk menghindari

obat yang tidak mempunyai nilai terapetik, mengurangi jumlah jenis obat dan

meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick dkk, 2012).

Menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI no. 1197/SK/Menkes/X/2004


seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah
kesehatan yang terjadi dirumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan criteria pemilihan dengan memprioritaskan obat essensial, standarisasi
sampai menjaga dan memeperbarui standar obat (DepKes, 2004). Menurut WHO,
tahap-tahap seleksi obat, dimulai dengan membuat daftar masalah kesehatan umum
yang dialami (list of common health problems). Setelah itu menentukan terapi standar
untuk memilih obat standar yang digunakan dan terapi non obatnya.Tahap ketiga
melihat daftar obat essensial yang ada untuk kemudian dibuat daftar obat yang
berguna untuk menyusun formularium. Dari terapi standar yang ada dibuat suatu
Guidline terapi untuk menentukan penggunaan obat yang rasional melalui pelatihan,
supervise, dan monitoring. Formularium yang telah disusun digunakan sebagai
sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua tahap
tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat yang lebih
rasional (Quick, et al., 1997).
Seleksi adalah proses memilih sejumlah obat dengan rasional di rumah sakit
dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik,
penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah.
Pedoman seleksi obat yang dikembangkan dari WHO, yaitu:

25
a. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek terapi
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek sampingnya.
b. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang akan diseleksi (boros
biaya), khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk jenis penyakit
yang banyak diderita masyarakat. Agar dihindari duplikasi dan kesamaan
jenis obat yang diseleksi.
c. Jika memasukan obat-obat baru , harus ada bukti yang spesifik bahwa obat
baru yang akan dipilih tersebut memang memberikan terapetik yang lebih
baik dibanding obat pendahulunya.
d. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang memberikan efek terapetik
yang lebih baik daripada sediaan tunggal.
e. Jika alternatif pilihan obat banyak, supaya pilih drug of choice dari penyakit
yang memang relevansinya tinggi.
f. Pertimbangkan administratif dan biaya yang ditimbulkan, misalnya biaya
penyimpanan.
g. Kontra indikasi, peringatan dan efek samping juga harus dipertimbangkan
h. Dipilih obat yang standar mutunya tinggi
i. Didasarkan pada nama generiknya dan disesuaikan dengan formularium
Tujuan seleksi obat yaitu adanya suplai yang menjadi lebih baik, pemakaian
obat lebih rasional, dilihat dari biaya pengobatan lebih terjangkau atau rendah. Dalam
hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas perawatan (Quality of
care) dan biaya pengobatan lebih efektif.
Kriteria seleksi obat pada pengelolaan di rumah sakit :
a. Dibutuhkan oleh sebagian besar populasi
b. Berdasar pola prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar)
c. Aman dan manjur yg didukung dg bukti ilmiah
d. Mempunyai manfaat yg maksimal dg risiko yg minimal termasuk mempunyai
rasio manfaat-biaya yg baik
e. Mutu terjamin

26
f. Sedapat mungkin sediaan tunggal
Sebagai pembanding dalam seleksi obat, pemerintah melakukan seleksi obat
untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), dalam kriteria pemilihan obat esensial.
Pemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut : (Kemenkes, 2011)
1) Mempunyai rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
bagi pasien.
2) Kulaitas harus terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
3) Praktis dan mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan.
4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan sesuai dengan tenaga, sarana dan
fasilitas kesehatan.
5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penggunaan oleh pasien.
6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) (farmakoekonomi) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost).
7) Apabila memiliki lebih dari satu pilihan yang mempunyai efek terapi yang serupa,
maka pilihan dijatuhkan pada :
a. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah;
b. Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;
c. Obat yang memiliki stabilitas lebih baik;
d. Mudah untuk diperoleh;
e. Obat yang telah dikenal.
8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
a. Obat hanya bermanfaat bagi pasien dalam bentuk kombinasi tetap;
b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih
tinggi daripada masing-masing komponen;
c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan
perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang
memerlukan kombinasi tersebut;
d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost
ratio);

27
e. Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya
b. Kriteria Penambahan dan Pengurangan
1) Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk menghapus obat
dengan indikasi yang sama yang tidak lagi merupakan pilihan, kecuali ada
alasan kuat untuk mempertahankannya.
2) Obat program diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria
pemilihan obat esensial.
3) Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada dalam DOEN edisi sebelumnya
dikaji oleh Komite Nasional (KomNas) Penyusunan DOEN, hal ini
memungkinkan untuk mengeluarkan obat-obat yang dianggap sudah tidak
efektif lagi atau sudah ada pengganti yang lebih baik.
4) Untuk obat yang sulit diperoleh di pasaran, tetapi esensial, maka akan tetap
dicantumkan dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan Pemerintah untuk
menjamin ketersediaannya.
5) Obat yang baru diusulkan harus memiliki bukti ilmiah terkini (evidence based
medicine), telah jelas efikasi dan keamanan, serta keterjangkauan harganya.
Dalam hal ini obat yang telah tersedia dalam nama generik menjadi prioritas
pemilihan.
c. Petunjuk Tingkat Pembuktian dan Rekomendasi
Tingkat pembuktian dan rekomendasi diambil dari US Agency for Health Care Policy
and Research, sebagai berikut :
Tingkat pembuktian (statements of evidence) (Kemenkes, 2011)
Ia. Fakta diperoleh dari meta analisis uji klinik acak dengan kontrol.
Ib. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu uji klinik acak dengan kontrol.
IIa. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi dengan kontrol, tanpa acak,
yang dirancang dengan baik.
IIb. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi quasi-eksperimental jenis lain
yang dirancang dengan baik.

28
III. Fakta diperoleh dari studi deskriptif yang dirancang dengan baik, seperti studi
komparatif, studi korelasi, dan studi kasus.
IV. Fakta yang diperoleh dari laporan atau opini Komite Ahli dan/atau pengalaman
klinik dari pakar yang disegani.

1. SISTEM FORMULARIUM
Merupakan suatu metode yang digunakan oleh staf medik rumah sakit yang
bekerja melalui PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), mengevaluasi, menilai, dan
memilih dari berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia,yang dianggap
paling berguna dalam perawatan pasien.
Produk sistem formularium antara lain:
a. Standar Terapi
b. Formulary List
c. Formularium Manual
Evaluasi Formularium
Formularium rumah sakit dapat dievaluasi dengan mengetahui:
a. Tingkat kepatuhan terhadap formularium: Formularium dibuat untuk dipatuhi
staf medik fungsional dan apoteker dalam pelayanan kesehatan. Kepatuhan
terhadap formularium RS akan meningkatkan efisiensi pengelolaan obat dan
mendukung pengobatan yang rasional.
b. Persentase usulan kebijakan PFT yang diakomodasi direktur. Kebijakan obat
merupakan usulan PFT, tetapi harus ditetapkan oleh direktur RS.
c. Evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di RS perlu untuk dilakukan
evaluasi, khusunya dalam mendukung penggunaan obat yang rasional.
d. Evaluasi formularium, dilakukan pada obat-obat yang terdapat di dalam
formularium
e. Penetapkan kriteria seleksi
f. Standarisasi

29
Standarisasi formularium
Dalam proses standarisasi formularium, dapat kita lakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menenentukan manufaktur atau suplier yang memenuhi persyaratan sesuai
kriteria seleksi
b. Melakukan sosialisasi tentang standarisasi obat pada SMF dan staf farmasi
c. Membuat matrik manufaktur atau suplier berdasar kriteria seleksi
d. menentukan cut of point
e. mengambil kesimpulan
f. Dihasilkan formularium rumah sakit

2. PANITIA FARMASI DAN TERAPI


Panitia Farmasi dan Terapi adalah tim yang mewakili hubungan komunikasi antara
para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari
Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan dari PFT adalah:
a) Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat
serta evaluasinya
b) Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan
kebutuhan.

Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan
bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat :
1. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 Dokter,
Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa
lebih dari 3 orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.

30
2. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam
kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik,
maka sebagai ketua adalah dari Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker
dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
3. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya
2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali.
Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam
maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi
pengelolaan PFT.
Menurut WHO dalam suatu rumah sakit fungsi panitia farmasi dan terapi, yaitu :
sebagai komite penasehat bagi staf medis, mengembangkan kebijakan obat, seleksi
dan evaluasi obat-obat untuk daftar formularium, mengembangkan pedoman
pengobatan standar (Standar Treatment Guidelines/STGs), menilai penggunaan obat
untuk mengidentifikasi masalah, mengarahkan intervensi yang efektif pada
penggunaan obat, mengelola (Adverse Drug Relation/ADR), mengelola medication
error, transparansi informasi, dan menjalin kerjasama dengan panitia maupun
institusi kesehatan lain yang sejenis di luar rumah sakit.

Fungsi dan ruang lingkup PFT, yaitu:


a. Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya, pemilihan
obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi
secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga
harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat
yang sama.
b. PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru
atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk dalam kategori khusus.

31
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi,
tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus
penggunaan obat secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis
dan perawat.

Peran PFT adalah mengoptimalkan penggunaan obat yang rasional dengan


jalan mengevaluasi penggunaan obat di klinik, mengembangkan kebijakan
pengelolaan obat, dan mengelola sistem formularium. PFT bertanggung jawab untuk
mempromosikan penggunaan obat yang rasional melalui pendidikan staf profesional,
pasien dan keluarganya.
PFT Mengembangkan kebijakan obat :
a. siklus pengelolaan obat,
b. penambahan obat baru,
c. obat nonformularium,
d. pengurangan obat,
e. penelitian obat,
f. substitusi generik,
g. automatic stop order,
h. form obat baru dan pedomannya,
i. standar terapi,
j. critical pathways,
k. algorithma terapi,
l. mengatur detailer,

32
m. penyediaan literatur.

Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh panitia


farmasi dan terapi sebagai pedoman untuk memberikan petunjuk kepada dokter,
apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam melaksanakan
pelayanan dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Dalam proses
revisi formularium, staf medis, pihak panitia farmasi dan terapi mengadakan evaluasi
dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih
mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
Dalam menerapkan sistem formularium diperlukan kesepakatan antara staf
medis dari berbagai disiplin ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam
menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi, dan ruang lingkup. Staf
medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan
terapi, dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi,
menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia farmasi dan
terapi, menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh panitia farmasi dan
terapi, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi
farmasi, serta membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang
efek terapinya sama (Depkes RI, 2004).
Proses dalam pembentukan formularium mempertimbangkan beberapa hal
antara lain: daftar obat esensial, epidemiologi penyakit, daftar supli obat baik dari
pengadaan, anggaran, distribusi dan produksi. Disamping itu sisitem formularium
diharapkan dapat mendukung penggunaan obat yang rasional termasuk didalamya
adalah informasi obat. Penggunaan obat yang rasional dengan sistem formularium
harus selalu dilakukan evaluasi dan monitoring. Sistem formularium secara rinci
dapat dilihat digambar 2.

33
List of Common Health
Problem

DTC Meeting

List of Drug List


Essential Drugs/
Formulary List Drug Supply
- Procurement
- Donation
- Distribution
Treatment
- Production

Rational Drug
Formulary Manual Use
- Training
- Supervision
- Monitoring

Drug Information

Monitoring dan Evaluation for more Rational Drug Use

Gambar 2. Sistem formularium (Quick, et al, 1997)


3. Standar Terapi
a. Merupakan standar untuk mendiagnosis dan memberi terapi yang tepat;
b. Di Rumah Sakit dicari secara epidemiologi yang merupakan10 penyakit
dengan prevalensi tinggi tiap spesialisasi

34
c. Berisi : Nama penyakit, Patofisiologi, Etiologi, Gejala Klinik, Diagnosis
(anamnesis, Pasien Fisik, Pasien Penunjang), Diagnosis Banding,
Penatalaksanaan (Farmakologi, Non Farmakologi).

Formulary Manual
a. Berisi Info lengkap yang dibutuhkan untuk memakai suatu obat
b. Nama obat dari Formulary List
c. Info dipilih yang benar-benar digunakan di lapangan
d. BNF: British National Formulary
Formulary List
a. Daftar Obat yang direkomendasikan;
b. RS: Formularium RS, DORS;
c. PT.Askes: DPHO (Daftar dan Plafond Harga Obat), DO (Daftar Obat)
d. PT. Jamsostek: DSO (Daftar Standar Obat)
e. Nasional: DOEN Daftar Obat Essensial Nasional, Formularium Nasional
Untuk BPJS Kesehatan
f. Klas Terapi, Nama Generik, Nama Dagang, Pabrik, Keterangan
Adapun keuntungan dari adanya formularium yang efektif adalah:
a. Menjamin keamanan dan keefektifan penggunaan obat
b. Terapi obat yang lebih cost efective
c. Penyediaan obat yang konsisten
Prinsip Menyusun Formularium :
1. Memilih obat berdasar kebutuhan (penyakit dan keadaan yang sedang terjadi di
wilayah setempat).
2. Memilih ”drug of choice”
3. Menghindari duplikasi dan gunakan nama generik
4. Gunakan kombinasi produk hanya pada kondisi spesifik misalnya TB
5. Kriteria pemilihan harus jelas dan mencakup :
a. Efikasi dan effectiveness

35
b. Safety
c. Quality
d. Cost
6. Obat konsisten dengan formularium nasional dan regional dan guidelines terapi
standar.

Tidak efektif dan efisiennya manajemen obat dapat dilihat dari gejala
kekurangan obat yang terlalu sering dan terjadi pada banyak jenis obat, kelebihan
jenis obat tertentu, penyediaan obat tidak merata, perimbangan manfaat biaya (cost
effectiveness) yang tidak baik, pengaturan anggaran obat yang tidak proporsional,
cara peresepan yang tidak rasional dan tidak efektif, penyimpangan dan distorsi
kebutuhan obat (Wambrauw, 2006).
Pedoman Penggunaan Formularium di Indonesia menurut Kepmenkes No 1197
tahun 2004: meliputi membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin
ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. staf medis harus mendukung sistem
formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi, staf medis harus
dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi, staf
medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia
farmasi dan terapi untuk menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh
panitia farmasi dan terapi, nama obat yang tercantum dalam formularium adalah
nama generik, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di
instalasi farmasi, membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik
yang efek terapinya sama, seperti apoteker bertanggung jawab untuk menentukan
jenis obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang
diminta, dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus
didasarkan padapertimbangan farmakologi dan terapi, apoteker bertanggung jawab
terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan
farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.

36
Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah obat sudah efektif dan
aman, biaya yang relatif efisien, pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
farmakokinetik obat atau tersedianya fasilitas pengadaan dan penyimpanan, mutu
terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitas obat selama penyimpanan,
sebaiknya obat memiliki komponen tunggal, bila dalam bentuk kombinasi maka
perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk populasi yang memerlukan kombinasitersebut dan kombinasi tetap terbukti
memiliki kelebihan daripada komponen tunggalnya baik dari segi efek terapi,
keamanan serta kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Apabila seorang dokter
bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib setuju berpraktik sesuai dengan
peraturan sistem formularium rumah sakit tersebut, obat yang akan ditulis, di
dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan sistem formularium
(Siregar dan Amalia, 2004).
Secara garis besar faktor yang mempengaruhi penulisan resep dibagi dua yaitu
faktor medis dan faktor nonmedis. Faktor medis adalah faktor yang berhubungan
dengan status kesehatan pasien yang merupakan faktor utama yang menentukan
apakah seorang pasien akan diberikan resep obat atau tidak. Faktornonmedis terbagi
dua lagi yaitu faktor kondisi peresepan (conditioning factors) dan faktor individu
(individual factors) yaitu semua yang berhubungan dengan individu dokter. Kekuatan
dari industri obat nasional dan kekuasaan dari pihak yang berwenang mengontrol,
merupakan dua faktor kondisi yang penting yang juga mempengaruhi faktor individu
(Yenis, 1999., diacu dalam Wambrauw, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi penulisan resep (Wambrauw, 2006) :
1. Sistem suplai kesehatan (Health Supply System)
Faktor yang mempengaruhi sistem meliputi suplai obat yang tidak dapat dipercaya,
jumlah obat yang terbatas/ tidak mencukupi, obat-obat yang kadaluarsa dan
tersedianya obat-obat yang tidak tepat/tidak sesuai. Inefisiensi dalam sistem tersebut
menimbulkan ketidakpercayaan oleh dokter dan pasien. Padahal pasien membutuhkan

37
pengobatan dan dokter harus memberikan obat apa yang sudah tersedia, walaupun
obat yang tersedia tersebut tidak tepat indikasi.
2. Penulis resep / dokter (Prescriber)
Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep.
Pengetahuan dokter tentang obat dapat mempengaruhi penulisan resep obat,
pengetahuan didapat dari pendidikan dasar yang membentuk sikap. Kurangnya
pendidikan berkelanjutan (Continuing education), keahlian untuk mendapatkan
informasi baru yang lebih banyak didapat dari sales obat bukan berdasarkan evidence
based mempengaruhi penulisan resep obat. Faktor eksternal seperti jumlah pasien
yang banyak, atau tekanan untuk menuliskan resep dari pasien atau salesmen
obat/pabrik obat.

38
BAB IV
PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT

Merupakan proses kegiatan manajemen obat, meliputi : perencanaan dan

pengadaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan dan anggaran rumah sakit.

A. Perencanaan Obat
Perencanaan menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI No.
1197/SK/MenKes/X/2004 merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis , jumlah
dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia. . Pedoman perencanaan, meliputi : DOEN, formularium rumah sakit,
standar terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik,
anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data
pemakaian periode yang lalu, dan rencana pengembangan (Depkes RI, 2004).
Perencanaan merupakan tahap yang penting dalam pengadaan obat di instalasi
farmasi rumah sakit (IFRS). Perencanaan pengadaan obat perlu mempertimbangkan
jenis obat, jumlah yang diperlukan, serta efikasi obat dengan mengacu pada misi
utama yang diemban oleh rumah sakit. Untuk menentukan beberapa macam obat
yang harus direncanakan, fungsi kebijakan rumah sakit sangat diperlukan agar macam
obat dapat dibatasi. Penetapan jumlah obat yang diperlukan dapat dilaksanakan
berdasarkan polulasi yang akan dilayani, jenis pelayanan yang diberikan, atau
berdasarkan data penggunaan obat yang sebelumnya (Dep Kes RI, 2002).
Pedoman perencanaan menurut KepMenKes 1197/SK/MenKes/X/2004 adalah:
a. DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit dan ketentuan
setempat yang berlaku.
b. Data catatan medik

39
c. Anggaran yang tersedia
d. Penetapan prioritas
e. Siklus penyakit
f. Sisa persediaan
g. Data pemakaian periode yang lalu.
h. Rencana pengembangan

Tujuan perencanaan obat:


1. Mendapatkan jenis dan jumlah obat tepat sesuai kebutuhan
2. Menghindari kekosongan obat
3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat

Perencanaan merupakan tahap awal pada pengadaan obat. Ada beberapa macam
metode perencanaan yaitu:
a. Metode morbiditas/epidemiologi:
Metode ini diterapkan berdasarkan jumlah kebutuhan perbekalan
farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity load), yang
didasarkan pada pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu
tunggu (lead time). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam metode
ini, yaitu menentukan jumlah pasien yang akan dilayani dan jumlah
kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit, menyediakan formularium/
standar/ pedoman perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan
perbekalan farmasi, dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
Persyaratan utama dalam metode ini adalah rumah sakit harus sudah memiliki
standar pengobatan, sebagai dasar untuk penetapan obat yang akan digunakan
berdasarkan penyakit.
Langkah-langkah perhitungan metode morbiditas adalah:

40
1) Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur
penyakit.
2) Menyiapkan data populasi penduduk.
3) Menyediakan data masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh
populasi pada kelompok umur yang ada.
4) Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit/tahun untuk
seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
5) Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
menggunakan pedoman pengobatan yang ada.
6) Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang
akan datang (Dep Kes RI, 2008).
Tabel 1. Keunggulaan dan Kelemahan Metode Epidemiologi

Keunggulan Kelemahan
- Perkiraan kebutuhan mendekati - membutuhkan waktu dan tenaga
kebenaran terampil
- standar pengobatan mendukung usaha - data penyakit sulit diperoleh secara
memperbaiki pola penggunaan obat pasti
- perlu pencatatan dan pelaporan yang
baik

b. Metode konsumsi
Metode ini diterapkan berdasarkan data riel konsumsi perbekalan farmasi
periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Hal yang harus
diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan,
yaitu dengan melakukan pengumpulan dan pengolahan data, analisa data untuk
informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan
penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana.
Metode konsumsi ini mempersyaratkan bahwa penggunaan obat periode
sebelumnya harus dipastikan rasional. Hal ini disebabkan metode konsumsi
hanya berdasarkan pada data konsumsi sebelumnya yang tidak
mempertimbangkan epidemiologi penyakit. Kalau penggunaan obat periode

41
sebelumnya tidak rasional, disarankan untuk tidak menggunakan metode ini,
karena kalau tidak justru mendukung pengobatan yang tidak rasional di rumah
sakit.

Berdasarkan pada penggunaan obat tahun sebelumnya (untuk RS yang sudah


berdiri)
Dasar: * analisa data
* konsumsi obat tahun sebelumnya
Sumber data:
1) Pencatatan dan pelaporan ( Kartu stok)
2) Pencatatan dan pelaporan beberapa fasilitas kesehatan
3) Hasil pertemuan beberapa tenaga medis
Jenis data:
Alokasi dana, daftar obat, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa stok,
kadaluwarsa, obat kosong, stok pengaman.
Kelebihan metode konsumsi:
1) Datanya akurat metode paling mudah.
2) Tidak perlu data penyakit dan standar pengobatan
3) Kekurangan dan kelebihan obat sangat kecil
Kekurangan;
1) Data konsumsi, obat dan jumlah kontak pasien sulit.
2) Tidak dapat untuk dasar penggunaan obat dan perbaikan pola peresepan
3) Kekurangan,kelebihan dan kehilangan obat sulit diandalkan
4) Tidak perlu catatan morbiditas yang baik
Rumus yang digunakan adalah:
A = (B+C+D) – E
Ket :
A = Rencana pengadaan
B = Pemakaian rata-rata x 12 bulan
C = Stok Pengaman 10% - 20%atau sesuai
kebijakan RS
D = Waktu tunggu
E = Sisa stok
42
c. Metode Gabungan:
Yaitu gabungan dari mordibitas dan konsumsi. Metode ini untuk menutupi
kelemahan kedua metode tersebut (mordibitas dan konsumsi).
Kelebihan metode gabungan:
Metode gabungan ini untuk menutupi kelemahan metode mordibitas dan
konsumsi (Hassan, 1986)
Dalam melakukan perencanaan dapat menggunakan peramalan (forecasting)
sebagai usaha untuk memprediksi kebutuhan obat dimasa yang akan datang.

Peramalan (Forecasting)
Peramalan (forecating) adalah suatu usaha yang dilakukan perusahaan untuk
bisa meramal, memprediksi keadaan masa datang tentang produknya dengan
mencari tahu limit ketidakpastian masa depan terhadap perusahaan. Banyak faktor
yang mengandung ketidakpastian, maka mustahil untuk melakukan peramalan
yang sempurna, sehingga perlu untuk dicari metode forecasting yang terbaik
untuk digunakan. Sifat data pada umumnya times series dan lengkap, maka data
biasanya dapat diproyeksikan. Berbeda dengan data yang terbatas, maka hanya
dapat diestimasikan. Jangka waktu proyeksi peramalan operasi logistik adalah
satu tahun atau kurang, yang paling populer adalah satu bulan (Bowersox, 2004).
Peramalan menurut jangka waktu dibagi menjadi 3 kategori (Seto, 2001), yaitu:
1. Prediksi/peramalan jangka pendek: prediksi untuk waktu 1-3 bulan.
Biasanya digunakan untuk perencanaan pembelian, penjadwalan
pekerjaan dan tingkat produksi
2. Peramalan jangka menengah: prediksi untuk jangka 3 bulan sampai
dengan 3 tahun, dipakai untuk perencanaan penjualan, anggaran dan
produksi.

43
3. Peramalan jangka panjang: prediksi untuk waktu lebih dari 3 tahun.
Contohnya untuk perencanaan produk baru, ekspansi pabrik, investasi
modal, penelitian dan pengembangan.
Ada dua metode pengendalian, yaitu metode kualitatif (judgmental) dan metode
kuantitatif. Metode kulitatif dilakukan dengan cara pengumpulan pendapat, baik
pendapat ahli, survei pasar dan pengelompokan dalam metode eksploratoris dan
normatif (Delphi) (Gaspersz, 2004); Yamit, 2005). Metode kualitatif ideal untuk
situasi dengan data minimal (Bowersox, et al, 2002).
Beberapa model peramalan yang digolongkan sebagai model kualitatif adalah:
1. Dugaan manajemen (management estimate), dimana persoalan semata-
mata didasarkan pada pertimbangan manajemen, umumnya oleh
manajemen senior. Metode ini akan cocok dalam situasi yang sangat
sensitif terhadap intiusi dari satu atau sekelompok kecil orang yang
karena pengalamannya mampu memberikan opini yang kritis dan
relevan. Metode ini memiliki banyak kelemahan sehingga perlu untuk
dikombinasi dengan metode peramalan yang lain.
2. Riset pasar (market research) merupakan metode pengalaman
berdasrkan hasil-hasil dari survei pasar yang dilakukan oleh tenaga-
tenaga pemasar produk. Metode ini akan menjaring informasi dari
pelanggan atau pelanggan potensial berkaitan dengan rencana pembelian
mereka dimasa mendatang. Riset pasaar tidak hanya akan membantu
untuk peramalan, tetapi juga untuk meningkatkan desain produk dan
perencanaan untuk produk-produk baru, dalam hal ini adalah obat baru
yang diperlukan pasien.
3. Metode kelompok terstruktur (structure Group Methods), merupakan
suatu teknik peramalan berdasarkan pada proses konvergensi dari opini
beberapa orang atau ahli secara interaktif tanpa menyebutkan
identitasnya.

44
4. Analogi historis (historical analogy) merupakan teknik peramalan
berdasarkan pola data masa lalu dari produk-produk yang dapat
disamakan secara analogi.
Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan dan
biaya yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Metode kuantitatif
didasarkan pada prinsip statistik yang memiliki tingkat ketetpatan tinggi atau dapat
meminimalkan kesalahan (error), lebih sistematis dan lebih populer dalam
penggunaannya.
Penggunaan metode kuantitatif harus memiliki tiga kondisi, yaitu (Yamit, 2005):
a. Tersedia informasi masa lalu
b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasi dalam bentuk numerik
c. Diasumsikan bahwa beberapa pola masa lalu akan terus berlanjut.
Teknik kuantitatif memiliki metode kausal dan metode deret berkala (times
series). Metode kausal dibuat berdasrkan analisis regresi multiple atau analisis
ekonometrik lainnya. Metode ini sering dipakai oleh ahli ekonomi , tetapi
penerapannya cukup mahal dan sulit. Metode times series sering kali lebih mudah
diterapkan da terutama berguna bila pola dimasa depan kemungkinan besar akan
dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan yang mempengaruhi pola dimasa lalu
(Indrajit dkk, 2003).
Beberapa macam teknik peramalan kuantitatif antara lain (Yamit, 2005; Subagyo,
2002) yaitu:
1. Metode single moving average (rata-rata bergerak tunggal)
Metode ini diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan beberapa data
masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan teknik ini adalah untuk
mengurangi variasi acak permintaan dalam hubungannya dengan waktu. Tujuan
ini dicapai dengan merata-ratakan beberapa nilai data secara bersama-sama, dan
menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan permintaan untuk periode
yang akan datang. Disebut rata-rata bergerak karena begitu setiap data aktual
permintaan baru deret waktu tersebut tersedia, maka data aktual permintaan yang

45
paling terdahulu akan dikeluarkan dari perhitungan, kemudian suatu nilai rata-rata
baru akan dihitung. Secara matematis, moving average akan dinyatakan dalam
bentuk persamaan sebagai berikut:
At + At-1 + ............ + At-(N-1)
MA = N
Keterangan:
MA = moving average
At = permintaan aktual pada periode t
N = jumlah data permintaan yang dilibatkan dalam perhitungan MA
Untuk menggunakan metode ini diperlukan data historis selam jangka waktu
tertentu. Semakin panjang jangka waktu, dihasilkan moving average yang semakin
halus. Beberapa kelemahan single moving average adalah:
a. Perlu data historis
b. Semua data mendapat bobot sama
c. Tidak bisa mengikuti perubahan yang dratis
d. Tidak cocok untuk meramal data yang ada gejala trend.

2. Metode single exponential smoothing (SES)


Untuk mengatasi kelemahan metode moving averages akan data-data masa lalu
yang cukup banyak dapat diatasi dengan teknik ini. Model matematis teknik SES
adalah:
Ft = Ft-1 + α (At – Ft-1)
Keterangan:
Ft = peramalan permintaan pada periode t
Ft-1 = peramalan permintaan pada periode t-1
α = konstanta pembobotan/eksponensial
At = permintaan aktual pada periode terakhir.

46
Dari persamaan diatas maka terlihat bahwa peramalan dengan teknik SES akan
didasarkan atas pembobotan data permintaan aktual terakhir dengan menggunakan
nilai α yang mempunyai nilai berkisar antara 0 sampai mendekati 1. Jika nilai α
mendekati 1, maka ramalan yang baru akan menyesuaikan kesalahan dengan besar
pada ramalan sebelumnya. Kebalikannya bila α mendekati nol, maka ramalan yang
baru akan menyesuaikan kesalahan dengan kecil.
Penentuan besarnya nilai α harus dipertimbangkan dengan baik. Salah satu
metode yang dapat dipakai adalah memilih nilai α berdasarkan nilai N yang
dilibatkan dalam metode moving average. Metode ini hanya dapat diterapkan oleh
perusahaan yang telah lama menggunakan teknik moving average dengan nilai N
yang cukup memadai. Untuk menghitung nilai α dalam hubungannya dengan N
adalah dengan membuat persamaan sebagai berikut:
α = 2/(N+1)

3. Metode trend projection


Metode peramalan trend projection adalah teknik peramalan yang
mencocokkan garis trend pada serangkaian data masa lalu dan kemudian
memproyeksikan garis pada masa datang untuk peramalan jangka menengah atau
jangka panjang. Adapun persamaan untuk peramalan menggunakan teknik ini
adalah:
Y = a + bX
Keterangan:
Y = peramalan pada periode yang diinginkan
a = persilangan dengan sumbu y
b = kemiringan garis regresi (atau tingkat perubahan pada sumbu y untuk
perubahan yang terjadi di x )
X = variabel bebas (dalam hal ini adalah waktu)

47
4. Metode dekomposisi (times series)
Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa biasanya apa yang telah terjadi akan
berulang dengan pola yang sama. Artinya yang dulu selalu naik, pada waktu yang
akan datang biasanya akan naik demikian juga sebaliknya, yang biasanya berfluktuasi
akan berfluktuasi, dan biasanya yang tidak teratur akan tidak teratur juga. Time series
mempunyai empat komponen yaitu: trend, musim, siklus dan variasi acak.
1) Trend merupakan pergerakan data sedikit demi sedikit meningkat atau
menurun. Perubahan pendapatan, populasi, penyebaran umur atau pandangan
budaya dapat mempengaruhi pergerakan trend.
2) Musim adalah pola data yang berulang pada kurun waktu tertentu seperti hari,
mingguan, bulanan atau kuartal.
3) Siklus adalah pola dalam data yang terjadi setiap beberapa tahun. Siklus ini
biasanya terkait pada siklus bisnis dan merupakan hal penting dalam analisis
dan perencanaan bisnis jangka pendek. Memprediksi siklus bisnis sulit karena
bisa dipengaruhi oleh kejadian politik ataupun kerusuhan internasional.
4) Variasi acak merupakan titik khusus dalam data, yang disebabkan oleh
peluang dan situasi yang tidak biasa. Variasi acak tidak mempunyai pola
khusus, jadi tidak dapat diprediksi.
Untuk dianalisis dan diramal sekaligus sulit, sehingga biasanya dilakukan
dekomposisi (pemecahan) dalam empat komponen (pola) perubahan sebagai
berikut: Trend (T), Fluktuasi musim (M), Fluktuasi siklus (S) dan Random (R).
Masing-masing pola perubahan akan dipelajari dan dicari satu persatu. setelah
ditemukan akan digabung lagi menjadi nilai, taksiran dan ramalan. Cara
penggabungan dapat ditambahkan atau dengan dikalikan. Adapun persamaannya
adalah:
F=TxMxSxR

48
Perbandingan dan Seleksi Metode Peramalan.
Banyaknya pilihan metode peramalan alternatif yang tersedia membutuhkan
kriteria yang bisa digunakan untuk membandingkan dan menyeleksi model yang
bersaing ini (Makridakis dkk, 2000). Kriteria tersebut meliputi keakuratan, pola
data, jenis deret, horizon waktu biaya dan kemudahan aplikasi. Makridaksis dkk,
2000, menyatakan akurasi model dapat ditentukan dengan menggunakan
beberapa ukuran kesalahan peramalan, yaitu mean absolute deviation (MAD),
Mean Square error (MSE), standar deviation of regriation (Sr), mean absolute
percent error (MAPE). Dua metode yang sering digunakan dalam menghitung
kesalahan adalan MAD dan MSE.
MAD adalah ukuran pertama kesalahan keselruhan untuk semua model. Nilai
ini dihitung dengan mengambil nilai absolite dari tiap kesalahan peramalan
dibagi dengan jumlah periode data (n). Adapun persamaan untuk menghitung
MAD adalah:
∑ aktual – peramalan
MAD =
n

MSE merupakan cara kedua untuk mengukur kesalahan pengukuran


keseluruhan. MSE merupakan rata-rata selisih kuadrat antara nilai yang
diramalkan dan yang diamati. Rumusnya adalah:

∑ (kesalahan peramalan)2
MSE =
n

B. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT

Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa
oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh

49
kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa (Anonim, 2012a). Pengadaan merupakan
kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui
melalui pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi, dan sumbangan atau
hibah. Tujuan pengadaan adalah untuk mendapatkan perbekalan farmasi dengan
harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman barang yang terjamin tepat waktu,
proses berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu yang berlebihan.
Secara umum pengadaan obat di rumah sakit dapat dilakukan dengan cara tahunan,
triwulan, mingguan. Dalam menentukan jumlah pengadaan perlu diketahui adanya
stok minimum dan maksimum, stok rata-rata, stok pengaman, reordering level,
economic order quantity, waktu tunggu dan batas kadaluarsa. Beberapa jenis obat dan
bahan aktif yang mempunyai kadaluarsa relatif pendek harus diperhatikan waktu
pengadaannya, untuk itu harus dihindari pengadaan dalam jumlah besar (Depkes RI,
2004).
Pengadaan obat merupakan suatu proses dari penentuan item obat dan jumlah tiap
item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, pemilihan pemasok penulisan surat
pesanan (SP) hingga SP diterima pemasok. Tujuannya adalah memperoleh obat yang
dibutuhkan dengan harga yang layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat
waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan
(Quick et al, 1997)
Menurut WHO (1996), pengadaan obat merupakan bagian terbesar dari anggaran
kesehatan. Di negara maju, biaya obat berkisar 10-15 % dari anggaran kesehatan.
Sementara di negara berkembang, biaya ini lebih besar lagi antara 35-65 %
sedangkan di Indonesia 39 %. Tanggung jawab pengadaan obat esensial untuk
pelayanan kesehatan dasar bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
akan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota.
Tujuan pengadaan obat yakni tersedianya obat dengan jenis jumlah yang cukup
sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dengan mutu yang terjamin serta dapat
diperoleh pada saat yang diperlukan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan pada

50
pengadaan ini adalah kriteria obat, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan
dan kedatangan obat serta penerimaan dan pemeriksaan obat (DepKes RI, 2002).
5. Kriteria/Persyaratan Pemasok
Pemilihan pemasok secara hati-hati adalah penting karena dapat
mempengaruhi baik kualitas maupun biaya obat yang dibutuhkan. Untuk pemilihan
pemasok perlu diperhatikan / dibatasi dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Memilih izin pedagang besar farmasi atau industri farmasi
2. Bagi pedagang besar farmasi (PBF) harus mendapat dukungan dari
industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat
yang Baik) atau c-GMP.
3. Bagi industri farmasi harus yang telah memiliki sertifikat CPOB.
4. Pedagang besar farmasi atau industri farmasi sebagai supplier harus
memilki reputasi yang baik dalam bidang pengadaan obat.
5. Pemilik dan atau apoteker penanggung jawab PBF, apoteker penanggung
jawab produksi dan quality control industri farmasi tidak dalam proses
pengadilan atau tindakan yang berkaitan dengan profesi kefarmasian.

6. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat


Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber anggaran
perlu ditetapkan atau diusulkan oleh Unit Pengelola Obat (UPO)/Gudang
Farmasi, berdasarkan hasil analisis data:
1. Sisa stok
2. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran.
3. Frekuensi pemakaian/indeks musiman
4. Waktu tunggu/lead time
Berdasarkan data tersebut dapat dibuat:
1. Bagan pemakaian/penggunaan obat .
2. Penetapan waktu pesan dan waktu kedatangan obat

51
C. Metode Pengadaan Obat
Dalam proses pengadaan ada 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya
tinggi”.
2. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk
menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya
persyaratan masa kadaluarsa, sertifikat analisa/ standar mutu, harus
mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan
berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of
origin.
3. waktu dan kelancaran bagi semua pihak dan lain-lain.

Pengadaan/pembelian perbekalan farmasi dapat dilakukan melalui beberapa cara


yaitu :
1. Pembelian merupakan rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan
perbekalan farmasi.
Pengadaan adalah proses penyediaan obat yang bertujuan untuk

mendapatkan obat dengan harga yang wajar, mutu yang baik, pengiriman yang

tepat waktu. Menurut Quick, et al., (2012), agar proses pengadaan dapat berjalan

lancar dan teratur maka diperlukan struktur komponen berupa personil yang

terlatih dan menguasai masalah pengadaan, metode dan prosedur yang jelas,

sistim informasi yang baik serta didukung dengan dana dan fasilitas yang

memadai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan adalah penentuan pemasok,

penentuan jumlah item obat, jumlah barang tiap item obat dan kelengkapan surat

pesanan atau kontrak, negoisasi harga, kapan dipesan dan cara pembayaran.

52
Keadaan ini harus diperhatikan karena keluaran dari tahap pengadaan akan dapat

dimonitor pada tahap penyimpanan. Pengadaan persediaan sangat penting karena

diharapkan dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan

biaya-biaya yang ada. Pengadaan obat tahun 2009-2012 diatur dalam Perpres No.

54 tahun 2010, dimana diatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang

sebagian atau seluruhnya dibiayai dari anggaran BLUD. Tujuannya adalah agar

pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai

anggaran BLUD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing,

transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel .

Khusus untuk pengadaan obat, diatur dengan ketentuan-ketentuan dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi pemerintahan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengadaan antara lain

sebagai berikut :

a. Memilih metode pengadaan yang paling menguntungkan

Ada empat metode dalam pengadaan perbekalan farmasi yaitu sebagai

berikut:

i. Open Tender (tender secara terbuka)

Open tender adalah suatu prosedur formal pengadaan obat yang mana

dilakukan dengan cara mengundang berbagai distributor baik nasional

maupun internasional. Metode ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu

misalnya 2-3 kali setahun, hal ini disebabkan karena proses tender

memerlukan waktu yang lama dan harganya lebih murah. Selain itu

53
biasanya metode ini dipakai oleh pemerintah karena khusus sesuai

sistemnya. Jadi untuk nominal tertentu dapat melakukan pengadaan dalam

jumlah tertentu pula.

ii. Restricted tender (tender terbatas)

Metode ini dilakukan pada lingkungan yang terbatas, tidak diumumkan di

Koran, biasanya berdasarkan kenalan, nominalnya tidak banyak, serta

sering ada yang melakukan pengaturan tender yaitu penawaran tertutup

atau selektif, para penyalur yang tertarik harus menerima semua

persyaratan yang diajukan, melalui suatu proses formal pre-kualifikasi

yang mengacu pada good manufacturing practices (GMPS). Performa

supply terdahulu, dan kekuatan financial.

iii. Competitive Negotiation (kontrak)

Pembeli membuat persetujuan dengan pihak supplier untuk mendapatkan

harga khusus atau persetujuan pelayanan dan pembeli dapat membayar

dengan harga termurah. Metode kontrak jauh lebih menguntungkan,

karena pihak Rumah Sakit dapat melakukan negoisasi langsung dengan

pabrik sehingga dapat mengurangi dana (diskon).

iv. Direct Procurement

Merupakan cara yang paling mudah dan sederhana, namun cenderung

lebih mahal karena jarang memperoleh diskon. Ciri dari metode

pengadaan langsung adalah pihak Rumah Sakit secara langsung

54
melakukan pengadaan perbekalan farmasi (setelah barang habis) kepada

pihak PBF.

b. Melakukan negoisasi atas dasar kualitas, jaminan ketersediaan, pelayanan

purna jual, dan harga yang wajar.

c. Membuat kontrak yang spesifik sesuai hasil negoisasi

d. Memonitor surat pesanan yang dibuat

e. Memastikan kesesuaian antara surat pesanan, spesifikasi barang dan dokumen

pendukung yang menyertai

f. Melakukan pembayaran sesuai waktu yang telah disepakati (Quick, et al.,

2012)

Menurut perpres No. 54 tahun 2010 Proses pengadaan dilakukan dengan

beberapa cara, antara lain :

a. Pelelangan Sederhana

Pelelangan sederhana merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa

untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua pnyedia barang/jasa

yang memenuhi syarat yang bernilai antara Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

b. Pelelangan Umum

Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk

pekerjaan yang brnilai paling tinggi Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

c. Pelelangan Terbatas

55
Pelelangan terbatas atau seleksi terbatas adalah metode pemilihan penyedia

barang/jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas melalui media

massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia

barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada

penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

d. Penunjukan langsung

Persyaratan penunjukan langsung adalah :

i. Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan

Konstruksi/Jasa Lainnya dapat dilakukan dalam hal:

(a) Keadaan tertentu; dan/atau

(b) Pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/ Jasa

Lainnya yang bersifat khusus.

ii. Penunjukan Langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) Penyedia

Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang dinilai mampu

melaksanakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi.

iii. Penunjukan Langsung dilakukan dengan negoisasi baik teknis maupun

harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang

berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

iv. Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan Penunjukan

Langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

56
(a)penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan

waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda

untuk:

(i) pertahanan negara;

(ii) keamanan dan ketertiban masyarakat;

(iii)keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan

pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera,

termasuk:

1) akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana

social;

2) dalam rangka pencegahan bencana;dan/atau

3) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan

kegiatan pelayanan public.

(b) Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk

menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh Presiden/Wakil

Presiden;

(c) Kegiatan menyangkut pertahanan Negara yang ditetapkan oleh Menteri

Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban

masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

57
C1. Kegiatan bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen dan/atau

perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan; atau

(d) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat

dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu)

pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat

izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemegang

pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.

v. Kriteria Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang

bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

(a) Barang/Jasa Lainnya berdasarkan tariff resmi yang ditetapkan

pemerintah;

(b) Pekerjaan Konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem

konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan

bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat

direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition);

(c) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks yang

hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan

hanya ada 1 (satu) Penyedia yang mampu;

(d) Pekerjaan Pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan

habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan

58
peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya

telah ditetapkan olh Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan;

(e) Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah

yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat;

(f) Sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat

diakses oleh masyarakat;

(g) Lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau

tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta

penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan; atau

(h) Pekerjaan pengadaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum di

lingkungan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang

dilaksanakan oleh pengembang/developer yang bersangkutan.

e. Pengadaan Langsung

Tata cara pengadaan langsung adalah sebagai berikut :

i. Pengadaan Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan

Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan:

(a) Kebutuhan operasional Kementrian/Lembaga/Departemen/ Instansi

(K/L/D/I);

(b) Teknologi sederhana;

(c) Risiko kecil; dan/atau

59
(d) Dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan

dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket

pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat

dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil.

ii. Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasrkan harga yang berlaku di

pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.

iii. Dihapus.

iv. PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai

alasan untuk memecah paket Pengadaan menjadi beberapa paket

dengan maksud untuk menghindari pelelangan.

f. Kontes/Sayembara

Metode sayembara dapat dipilih dengan persyaratan sebagai berikut :

i. Sayembara digunakan untuk Pengadaan Jasa Lainnya yang memiliki

karakteristik sebagai berikut:

(a) Merupakan proses dan hasil dari gagasan, kreativitas, inovasi,

budaya dan metode pelaksanaan tertentu; dan

(b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.

ii. Kontes digunakan untuk Pengadaan Barang yang memiliki karakteristik

sebagai berikut:

(a) Tidak mempunyai harga pasar; dan

(b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.

60
iii. ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan persyaratan administrative dan

tknis bagi:

(a) Penyedia Barang yang akan mengikuti Kontes;

(b) Penyedia Jasa Lainnya yang akan mengikuti Sayembara.

iv. Dalam menetapkan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), ULP/Pejabat Pengadaan dapat menetapkan syarat yang

lebih mudah dari persyaratan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19.

v. Persyaratan teknis disusun oleh tim yang ahli di bidangnya.

vi. Penyusunan metode evaluasi dan pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh

tim yang ahli di bidangnya.

g. Swakelola

Metode pengadaan lainnya adalah swakelola, adapun ketentuannya

adalah :

i. Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana

pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh

K/L/D/I sebagaimana penanggungjawab anggaran, instansi pemerintah

lain, dan/atau kelompok masyarakat.

ii. Pekerjaan dapat dilakukan dengan Swaklola meliputi:

(a) Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia,

serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I;

61
(b) Pekerjaan operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi

langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I;

(c) Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau

pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa;

(d) Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan

terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia

Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang

besar;

(e) Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau

penyuluhan;

(f) Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survey yang

bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang

belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;

(g) Pekerjaan survey, pemrosesan data, perumusan kebijakan

pemerintah, pengujian di laboratorium, dan pengembangan system

tertentu;

(h) Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;

(i) Pekerjaan Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri;

(j) Penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau

(k) Pekerjaan pengembangan industry pertahanan, industry alutsista,

dan industry almatsus dalam negeri.

62
iii. Prosedur Swakelola meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

penyerahan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pekerjaan.

iv. Pengadaan melalui Swakelola dapat dilakukan oleh:

(a) K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran;

(b) Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola; dan/atau

(c) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola

v. PA/KPA menetapkan jenis pekerjaan serta pihak yang akan

melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara Swakelola.

Metode pemasukan dokumen :

a. Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan

metode pemasukan Dokumen Penawaran.

b. Metode pemasukan Dokumen Penawaran terdiri atas:

i. Metode satu sampul

ii. Metode dua sampul; atau

iii. Metode dua tahap.

c. Metode satu sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang

sederhana, dimana evaluasi teknis tidak dipengaruhi oleh harga dan

memiliki karakteristik sebagai berikut:

i. Pekerjaan yang bersifat sederhana dengan standar harga yang telah

ditetapkan pemerintah;

ii. Pengadaan Jasa Kosultansi dengan KAK yang sederhana; atau

63
iii. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang

spesifikasi teknis atau volumenya dapat dinyatakan secara jelas

dalam Dokumen Pengadaan.

d. Selain Pengadaan Barang/Jasa yang memiliki karakteristik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), metode satu sampul digunakan dalam Penunjukan

Langsung/Pengadaan Langsung/Kontes/Sayembara.

e. Metode dua sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa dimana

evaluasi teknis dipengaruhi oleh penawaran harga, dan digunakan untuk:

i. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang

menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur

ekonomis.

ii. Pengadaan Jasa Konsultansi yang memiliki karakteristik sebagai

berikut:

(a) Dibutuhkan penilaian yang terpisah antara persyaratan teknis

dengan harga penawaran, agar penilaian harga tidak

mempengaruhi penilaian teknis; atau

(b) Pekerjaan bersifat kompleks sehingga diperlukan evaluasi teknis

yang lebih mendalam.

f. Metode dua tahap digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan

Konstruksi/Jasa Lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

i. Pekerjaan bersifat kompleks;

64
ii. Memenuhi criteria kinerja tertentu dari keseluruhan system, termasuk

pertimbangan kemudahan atau efisiensi pengoperasian dan

pemeliharaan peralatannya;

iii. Mempunyai beberapa alternative penggunaan system dan desain

penerapan teknologi yang berbeda;

iv. Membutuhkan waktu evaluasi teknis yang lama; dan/atau

v. Membutuhkan penyetaraan teknis.

2. Produksi/pembuatan sediaan farmasi


Produksi sediaan farmasi dirumah sakit merupakan kegiatan
membuat, mengubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau non-steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
di rumah sakit.
Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi di rumah sakit adalah:
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus.
b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih
murah.
c. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil.
d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran.
e. Sediaan farmasi untuk penelitian.
f. Sediaan nutrisi parenteral.
g. Rekonstruksi sediaan obat kanker.
h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru.

Perbedaan dari berbagai metode pengadaan, kelebihan dan kelemahan dari


masing-masing metode pengadaan dapat dilihat pada tabel 2.

65
Tabel 2. Macam-macam Metode Pengadaan
Metode Deskripsi Lead Beban Evaluasi Kondisi metode
Biaya Supplier
Pengadaan Singkat Time Kerja dipilih
- Ketika pemasok
yang berpartisipasi
Melibatkan mempunyai
Tender Umumnya Sedang-
semua supplier Tinggi Tinggi reputasi baik.
Terbuka rendah panjang
yang tertarik - Jika persyaratan
yang diajukan
tidak terpenuhi.
- Ketika daftar
Partisipasi pemasok yang
supplier terbatas, memenuhi syarat
yaitu yang sudah sudah diketahui.
Tender Sedang –
terdaftar di Favorable Tinggi Tinggi - Ketika ada
Terbatas panjang
pemerintahan pengaturan
atau yang telah prekualifikasi dan
memenuhi syarat monitoring
supplier.
Pembeli - Pengalaman
melakukan pembelian dengan
pendekatan akses yang baik
terhadap terhadap pasar.
sejumlah kecil - Harga barang rendah,
Negosiasi dari supplier Dapat Pendek- jumlah pembelian
Sedang Tinggi
Kompetitif yang potensial Favorable panjang sedikit.
dan menawarkan - Saat spesifikasi yang
harga yang dibutuhkan
spesifik atau pembeli tidak
penataan tersedia secara
pelayanan luas.
- Barang-barang
emergency, item
obat sedikit, dan
jika tidak
Dapat membeli
langsung ke mungkin
Umumnya Pendek-
Langsung Rendah Tinggi dilakukan
supplier tunggal mahal panjang
pada quoted price negosiasi.
- Pembelian sumber
obat tunggal.
- Barang murah atau
jumlahnya sedikit.

Jenis sediaan farmasi yang diproduksi :


a. Produksi steril
Kegiatan sterilisasi alat kesehatan dan lainnya yang berada
dibawah taggung jawab instalasi farmasi. Di bagian ini lakukan

66
sterilisasi terhadap alat kesehatan, pembuatan aquadest, NaCI 0,9
% dengan mengunakan peralatan yang menunjang
pelaksanaannya. Untuk sterilisasi digunakan autoklaf, untuk
pembuatan aquadest digunakan alat destilasi, sedangkan
pembuatan NaCl 0,9 % dibuat dengan menggunakan larutan
aquadest.
Kegiatan produksi dilakukan untuk obat yang diracik atau
recentus paratus (dibuat segar/ baru). Kegiatan farmasi digudang
meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pelaporan. Gudang juga berada di bawah instalasi farmasi yang
dikepalai oleh seorang Apoteker.
Persyaratan teknis untuk produksi steril:
a. Ruangan aseptis
b. Peralatan : contohnya LAF, autoclave, oven, alat pelindung diri
c. SDM : petugas terlatih

b. Produksi non-steril
a. Pembuatan puyer
b. Pembuatan sirup (contoh: OBH, OBP)
c. Pengemasan kembali (contoh: alkohol, H2O2)
d. Pengenceran (contoh: antiseptik, desinfektan)

Persyaratan teknis produksi nonsteril:


a. Ruangan khusus untuk pembuatan
b. Peralatan: peracikan, pengemasan
c. SDM: petugas terlatih.
4. Sumbangan/dropping/hibah
Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah
mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi regular.

67
Sumbangan bisa berasal dari pemerintah atau APBN. Contoh : pada
program pemberantasan penyakit HIV/AIDS dan TB Paru, terdapat
beberapa obat yang di cover oleh pemerintah.

68
BAB V
PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT

Pelayanan farmasi disetiap rumah sakit dimaksudkan untuk memastikan


penggunaan obat yang aman dan tepat. Pemenuhan tanggung jawab ini ditingkatkan
melalui keterlibatan apoteker dalam semua aspek dari penggunaan obat. Keterlibatan
ini juga termasuk keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan evaluasi,
pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pemberian semua obat. Apoteker
bertanggung jawab untuk pengembangan semua kebijakan pengendalian penggunaan
obat dengan berkonsultasi dengan profesional lain, bagian dan interdisiplin yang
sesuai dalam rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004).
Pengawasan terhadap persediaan yang dikenal juga sebagai inventory control
adalah bagaimana fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini dapat
dicapai apabila dapat ditemukan jawaban yang benar atas tiga pertanyaan tersebut:
a. Berapa banyak suatu item obat/barang akan dipesan pada suatu waktu?
b. Kapan dilakukan pesanan ulang terhadp item tersebut?
c. Yang mana dari item-item obat perlu dilakukan pengawasan?
(Seto, 2001)
Inventori adalah suatu sistem untuk menjaga agar persediaan obat selau ada untuk
waktu yang telah ditentukan dan merupakan bagian yang penting dari sistem suplai
obat. Dengan adanya sistem inventori obat menjamin ketika ada pasien membutuhkan
obat akan memperoleh obat yang tepat dan menghindari kerugian akibat kerusakan
obat (Quick et al., 1997). Tujuan inventory control adalah menciptakan
keseimbangan antara persediaan dan permintaan oleh karena itu hasil stock opname
harus seimbang dengan permintaan yang didasarkan atas satu kesatuan waktu tertentu
( Anief, 2001)
Tanggung jawab apoteker untuk pengendalian penggunaan obat meliputi seluruh
bagian /bidang /unit rumah sakit yang dilayani. Apoteker harus bertanggung jawab
atas kebijakan penggunaan obat dan inspeksi rutin terhadap semua persediaan obat di

69
semua lokasi tersebut, bahkan juga di lokasi yang penguasaan dan tidak dilakukan
secara langsung oleh IFRS ( Siregar dan Amalia, 2004).

A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat


Tujuan sistem pengendalian persediaan obat adalah menciptakan keseimbangan
antara persediaan dan permintaan (Anief, 2001). Selain itu sistem pengendalian
persediaan obat mempunyai beberapa tujuan yang sangat penting antara lain :
a. Melindungi dari kerugian
Persediaan dapat melindungi dari berbagai fluktuasi dari permintaan dan
penawaran. Jika distribusi obat dari pemasok terlambat atau permintaan tiba-tiba
meningkat seperti pada kasus penyakit endemik tertentu, maka sistem persediaan
yang baik dapat melindungi persediaan dari stok kosong.
b. Memungkinkan pembelian dalam jumlah yang besar
Harga unit-unit dari obat dengan sistem manufaktur biasanya lebih rendah, dan
hal tersebut dihasilkan dari sistem persediaan yang baik .
c. Meminimalkan waktu tunggu untuk memperoleh obat
Sistem persediaan obat dapat meningkatkan ketersediaan obat secara optimal,
sehingga pelayanan kesehtan dapt ditingkatkan.
d. Meningkatkan efisiensi transportasi
Jika tidak ada sistem persediaan, maka akan terjadi pemesanan obat sacara
berulang-ulang sehingga biaya transportasi meningkat.
e. Untuk mengantisipasi fluktuasi musiman
Fluktuasi akan permintaan sulit untuk diprediksi. Sistem persediaan akan
mengantisipasi kenaikan permintaan yang tidak menentu (Quick et al., 1997).

B. Masalah Pengendalian Persediaan


Masalah Klasik dari pengendalian persediaan adalah bagaiman cara
menyeimbangkan antara pengaturan persediaan dengan biaya –biaya yang
ditimbulkannya (Quick et al., 1997).

70
Dalam mengambil keputusan tentang persediaan baik jumlah maupun waktu
pemesanannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan biaya-biaya variabel
sebagai berikut:
1. Biaya penyimpanan (holding cost/carrying cost)
Biaya variabel yang berhubungan langsung dengan jumlah persediaan, antara
lain: biaya fasilitas penyimpanan, biaya modal, biaya resiko kerusakan, biaya
keuangan, biaya pajak persediaan.
2. Biaya pemesanan (order cost)
Setiap kali suatu bahan/ obat dipesan, akan menanggung biaya pemesanan, antara
lain: biaya telepon, biaya pemrosesan upah biaya pengepakan dan penimbangan,
biaya pemeriksaan penerimaan dan biaya pengiriman ke gudang.
3. Biaya penyiapan
Biaya yang harus ditanggung oleh pabrik dalm memproduksi suatu komponen
apabila bahan-bahan tersebut tidak dibeli tetapi diproduksi sendiri, seperti biaya-
biaya mesin tiadak terpakai, persiapan tenaga kerja langsung, penjadwalan,
ekspedisi.
4. Biaya kehabisan /kekurangan bahan
Biaya ini terjadi apabila persediaan tidak mencukupi terhadap permintaan atas
bahan tersebut, seperti adanya biaya karena pemesanan khusus, biaya kegitan
administrasi, kehilangan pelanggan, dan lain-lain.

C. Model-Model Pengendalian Persediaan


Terdapat 2 model dasar dalam pengendalian persediaan, yaitu:
a. Sistem periodik: sistem ini dikenal juga dengan nama sistem interval pasti
(fixed interval sistem), sistem T (time), atau atau juga sistem EOI (Economic
Order interval). Pengendalian persediaan di dasarkan pada waktu interval
pemesanan.
b. Sistem Perpetual : disebut juga sebagai sistem kuantitas pasti, sistem
kuantitas, atau Economic Order Quantity (EOQ). Level inventori untuk

71
masing-masing item barang dilakukan secara kontinyu dan pada saat stok
turun dibawah level reorder yang telah direncanakan , maka pemensanan
dimulai (Quick et al, 1997)

Ada beberapa sistem pengendalian persediaan , yaitu:

1. Model ABC (Always Better Control)


Pengendalian perusahaan berhubungan dengan aktivitas pengaturan
persediaan bahan agar dapat menjamin persediaan dan pelayanannya kepada
pasien. Salah satu pengendalian persediaan adalah dengan metode ABC atau
analisis pareto. Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang
mempunyai nilai penggunaan yang relatif tinggi atau mahal.
Sistem analisis ABC ini berguna dalam sistem pengelolaan obat, yaitu
dapat menimbulkan frekuensi pemesanan dan menentukan prioritas pemesanan
berdasrkan nilai atau harga obat. Alokasi anggaran ternyata didominasi hanya
oleh sebagian kecil atau beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis
perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya
banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan
farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Analisis ini berguna pada setiap sistem suplai untuk menganalisis pola
penggunaan dan nilai penggunaan total semua item obat. Hal itu memungkinkan
untuk mengklasifikasikan item-item persediaan menjadi 3 kategori (A, B, dan C)
sesuai dengan nilai penggunaannya. Pembagian 3 kategori tersebut adalah sebagai
berikut :

A : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 75-80 % dana


B : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 15-20 % dana
C : merupakan 60-80 % jumlah item menggunakan 5-10 % dana
Langkah-langkah menentukan kelompok A, B dan C:

72
1) Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat
dengan cara kuantum obat x harga obat.
2) Tentukan rankingnya mulai dari dana terbesar sampai terkecil.
3) Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan.
4) Hitung kumulasi persennya.
5) Obat kelompok A termasuk dalam kumulasi 75%.
6) Obat kelompok B termasuk dalam kumulasi > 75% s/d 95%.
7) Obat kelompok C termasuk dalam kumulasi > 95% s.d 100%.

80

75 Klas A

60

50

40

30
Klas B
20

10
Klas C
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Gambar 3. Grafik analisis ABC (% biaya pemakaian vs % item persediaan)

Untuk memudahkan perhitungan analisis ABC, dapat dilihat dalam contoh latihan
analisis ABC dibawah ini.

73
Tabel 3. Contoh Latihan Analisis ABC

No nama obat jumlah obat harga satuan (Rp)

1 Amoxicillin OGB (Kapsul) 34560 183,3


2 Amoxil (Vial) 768 9678,2
3 Asmacare (tablet 2 mg) 38400 660
4 Asmacare (tablet 4 mg) 38400 880
5 Aspilets (tablet 80 mg) 9000 195,83
6 Atrovent (botol larutan inhalasi) 960 76560
7 Aztrin (kapsul) 34560 9716,67
8 Becotide (Rotacap) 76800 825
9 Berotec (botol larutan inhalasi) 96 78650
10 Betablok (tablet 100 mg) 4320 2035
11 Bricasma (Botol sirup) 1440 30600
12 Capoten (tablet 12,5 mg) 4980 1868,3
13 Capoten (tablet 25 mg) 3300 2996,67
14 Cardioaspirin (tablet) 3000 720
15 Cerif (kapsul) 154500 1328,25
16 Depakene (botol sirup) 40 44000
17 Depakote (tablet 250 mg) 5000 2560
18 Dexametason generik (tablet) 231000 24,3
19 Diazepam (ampul) 700 793,25
20 Digoxin OGB (tablet 0,0625 mg) 7900 78
21 Digoxin OGB (tablet 0,25 mg) 4000 89
22 Digoxin Sandos (tablet) 19800 511,5
23 Dilantin (kapsul 100 mg) 2000 2640,15
24 Dopamin HCl (ampul) 3000 9500
25 Dopamin Hcl (vial) 3000 22000
26 Eritromisin OGB (Kapsul) 69120 383,33
27 Erphatrocin (Kapsul) 13824 1375
28 Erphatrocin (Tablet) 13824 1237,5
29 Ethambutol OGB (tablet) 741600 195
30 Extracaine (ampul) 6000 1350
31 Fargoxin (tablet 0,25 mg) 19800 200

74
32 Farnormin (tablet 50 mg) 6000 850
33 Farsorbid (tablet 10 mg) 12000 430
34 Farsorbid (tablet 5mg) 18000 250
35 Fenobarbital (ampul) 1000 201
36 Folic acid (tablet 1 mg) 4000 32
37 Folic acid (tablet 5 mg) 7000 31,45
38 Furosemid OGB (ampul) 1000 1032
39 Furosemid OGB (tablet) 12000 56
40 Furosix (ampul) 330 1540
41 Furosix (tablet) 4000 715
42 Glibenklamid OGB (tablet 5mg) 19800 47
43 Glumin (tablet 600 mg) 39600 460
44 Glumin (tablet 850 mg) 26400 675
45 HCT OGB (tablet) 3000 17
46 Herbesser (tablet SR 90 mg) 6000 4985,4
47 Inderal (tablet 10 mg) 20350 3103
48 Inderal (tablet 40 mg) 5500 4813
49 INH OGB (tablet) 721000 73
50 Inoxin (tablet) 216300 220
51 Kaptopril OGB (tablet 12,5 mg) 14880 125
52 Kaptopril OGB (tablet 25 mg) 9900 211,67
53 Karbamazepin (tablet 200 mg) 6000 286
54 Kutoin (kapsul 100 mg) 3000 950
55 Lantus (vial) 2800 491900
56 Lasix (ampul) 4330 8360
57 Lasix (tablet) 4000 2850
58 Libronil (kaplet 5 mg) 700 176
59 Medinhod (botol sirup) 18025 6520
60 Metformin HCl OGB (tablet 500 mg) 59400 111,5
61 Metformin HCl OGB (tablet 850 mg) 39600 123
62 Monecto (tablet 20 mg) 9000 1000
63 Neotibi (kaplet) 247200 935
64 Nitrocin (ampul) 600 39975
65 Pharozinamida (tablet) 247200 788
66 Phenytoin (ampul) 1000 49500

75
67 Phenytoin (kapsul 100 mg) 8000 600
68 Pirazinamid OGB (tablet) 741600 269
69 Pulmicort (turbuhaler) 192 194700
70 Renabetic (tablet 5mg) 700 385
71 Rifam (botol sirup) 74160 14000
72 Rifampisin OGB (kapsul) 453200 641
73 Salbutamol OGB (tablet 2 mg) 57600 86
74 Salbutamol OGB (tablet 4 mg) 57600 79
75 Scantensin (tablet 12,5 mg) 4980 875
76 Scantensin (tablet 25mg) 3300 1414,17
77 Symbicort (Turbulaher) 320 223950
78 Tegretol (botol suspensi) 50 43,69
79 Tegretol (tablet CR 200 mg) 750 2387
80 Tegretol (tablet kunyah 100 mg) 750 1509,5
81 Terasma (tablet) 28800 154
82 Teril (tablet 200 mg) 2000 1732,5
83 Tibigon (tablet) 164800 418
84 Tibitol (tablet) 247200 350
85 Topcillin (Kaplet) 19200 170
86 Topcillin (Kapsul) 19200 1000
87 Topcillin (Sirup Kering Botol) 5184 12000
88 Zithrax (kapsul) 17280 12500

Tabel 4. Setelah dilakukan dengan analisis ABC, hasilnya adalah seperti tabel dibawah ini:
harga
jumlah satuan %
No nama obat obat (Rp) nilai (Rp) persen kumulatif kelompok

55 Lantus (vial) 2800 491.900 1.377.320.000 24,33 24,33 A

71 Rifam (botol sirup) 74160 14.000 1.038.240.000 18,34 42,67 A

7 Aztrin (kapsul) 34560 9.717 335.808.115 5,93 48,60 A


Rifampisin OGB
72 (kapsul) 453200 641 290.501.200 5,13 53,73 A

63 Neotibi (kaplet) 247200 935 231.132.000 4,08 57,82 A


88 Zithrax (kapsul) 17280 3,82 61,63 A

76
12.500 216.000.000

15 Cerif (kapsul) 154500 1.328 205.214.625 3,62 65,26 A


Pirazinamid OGB
68 (tablet) 741600 269 199.490.400 3,52 68,78 A
Pharozinamida
65 (tablet) 247200 788 194.793.600 3,44 72,22 A
Ethambutol OGB
29 (tablet) 741600 195 144.612.000 2,55 74,78 A
Medinhod (botol
59 sirup) 18025 6.520 117.523.000 2,08 76,85 B

84 Tibitol (tablet) 247200 350 86.520.000 1,53 78,38 B


Atrovent (botol
6 larutan inhalasi) 960 76.560 73.497.600 1,30 79,68 B
Symbicort
77 (Turbulaher) 320 223.950 71.664.000 1,27 80,94 B

83 Tibigon (tablet) 164800 418 68.886.400 1,22 82,16 B

25 Dopamin Hcl (vial) 3000 22.000 66.000.000 1,17 83,33 B

8 Becotide (Rotacap) 76800 825 63.360.000 1,12 84,45 B

47 Inderal (tablet 10 mg) 20350 3.103 63.146.050 1,12 85,56 B


Topcillin (Sirup
87 Kering Botol) 5184 12.000 62.208.000 1,10 86,66 B

49 INH OGB (tablet) 721000 73 52.633.000 0,93 87,59 B

66 Phenytoin (ampul) 1000 49.500 49.500.000 0,87 88,46 B

50 Inoxin (tablet) 216300 220 47.586.000 0,84 89,30 B


Bricasma (Botol
11 sirup) 1440 30.600 44.064.000 0,78 90,08 B
Pulmicort
69 (turbuhaler) 192 194.700 37.382.400 0,66 90,74 B

56 Lasix (ampul) 4330 8.360 36.198.800 0,64 91,38 B


Asmacare (tablet 4
4 mg) 38400 880 33.792.000 0,60 91,98 B
Herbesser (tablet SR
46 90 mg) 6000 4.985 29.912.400 0,53 92,51 B
Dopamin HCl
24 (ampul) 3000 9.500 28.500.000 0,50 93,01 B

77
Eritromisin OGB
26 (Kapsul) 69120 383 26.495.770 0,47 93,48 B

48 Inderal (tablet 40 mg) 5500 4.813 26.471.500 0,47 93,95 B


Asmacare (tablet 2
3 mg) 38400 660 25.344.000 0,45 94,39 B

64 Nitrocin (ampul) 600 39.975 23.985.000 0,42 94,82 B

86 Topcillin (Kapsul) 19200 1.000 19.200.000 0,34 95,16 C

27 Erphatrocin (Kapsul) 13824 1.375 19.008.000 0,34 95,49 C


Glumin (tablet 600
43 mg) 39600 460 18.216.000 0,32 95,82 C
Glumin (tablet 850
44 mg) 26400 675 17.820.000 0,31 96,13 C

28 Erphatrocin (Tablet) 13824 1.238 17.107.200 0,30 96,43 C


Depakote (tablet 250
17 mg) 5000 2.560 12.800.000 0,23 96,66 C

57 Lasix (tablet) 4000 2.850 11.400.000 0,20 96,86 C


Digoxin Sandos
22 (tablet) 19800 512 10.127.700 0,18 97,04 C
Capoten (tablet 25
13 mg) 3300 2.997 9.889.011 0,17 97,21 C
Capoten (tablet 12,5
12 mg) 4980 1.868 9.304.134 0,16 97,38 C
Monecto (tablet 20
62 mg) 9000 1.000 9.000.000 0,16 97,54 C
Betablok (tablet 100
10 mg) 4320 2.035 8.791.200 0,16 97,69 C

30 Extracaine (ampul) 6000 1.350 8.100.000 0,14 97,83 C


Berotec (botol larutan
9 inhalasi) 96 78.650 7.550.400 0,13 97,97 C

2 Amoxil (Vial) 768 9.678 7.432.858 0,13 98,10 C


Metformin HCl OGB
60 (tablet 500 mg) 59400 112 6.623.100 0,12 98,22 C
Amoxicillin OGB
1 (Kapsul) 34560 183 6.334.848 0,11 98,33 C
Dexametason generik
18 (tablet) 231000 24 5.613.300 0,10 98,43 C
Dilantin (kapsul 100
23 mg) 2000 2.640 5.280.300 0,09 98,52 C

78
Farsorbid (tablet 10
33 mg) 12000 430 5.160.000 0,09 98,61 C
Farnormin (tablet 50
32 mg) 6000 850 5.100.000 0,09 98,70 C
Salbutamol OGB
73 (tablet 2 mg) 57600 86 4.953.600 0,09 98,79 C
Metformin HCl OGB
61 (tablet 850 mg) 39600 123 4.870.800 0,09 98,88 C
Phenytoin (kapsul
67 100 mg) 8000 600 4.800.000 0,08 98,96 C
Scantensin (tablet
76 25mg) 3300 1.414 4.666.761 0,08 99,04 C
Salbutamol OGB
74 (tablet 4 mg) 57600 79 4.550.400 0,08 99,12 C
Farsorbid (tablet
34 5mg) 18000 250 4.500.000 0,08 99,20 C

81 Terasma (tablet) 28800 154 4.435.200 0,08 99,28 C


Scantensin (tablet
75 12,5 mg) 4980 875 4.357.500 0,08 99,36 C
Fargoxin (tablet 0,25
31 mg) 19800 200 3.960.000 0,07 99,43 C

82 Teril (tablet 200 mg) 2000 1.733 3.465.000 0,06 99,49 C

85 Topcillin (Kaplet) 19200 170 3.264.000 0,06 99,55 C

41 Furosix (tablet) 4000 715 2.860.000 0,05 99,60 C


Kutoin (kapsul 100
54 mg) 3000 950 2.850.000 0,05 99,65 C

14 Cardioaspirin (tablet) 3000 720 2.160.000 0,04 99,69 C


Kaptopril OGB
52 (tablet 25 mg) 9900 212 2.095.533 0,04 99,72 C
Kaptopril OGB
51 (tablet 12,5 mg) 14880 125 1.860.000 0,03 99,76 C
Tegretol (tablet CR
79 200 mg) 750 2.387 1.790.250 0,03 99,79 C
Aspilets (tablet 80
5 mg) 9000 196 1.762.470 0,03 99,82 C
Depakene (botol
16 sirup) 40 44.000 1.760.000 0,03 99,85 C
Karbamazepin (tablet
53 200 mg) 6000 286 1.716.000 0,03 99,88 C
Tegretol (tablet
80 kunyah 100 mg) 750 1.510 1.132.125 0,02 99,90 C

79
Furosemid OGB
38 (ampul) 1000 1.032 1.032.000 0,02 99,92 C
Glibenklamid OGB
42 (tablet 5mg) 19800 47 930.600 0,02 99,93 C
Furosemid OGB
39 (tablet) 12000 56 672.000 0,01 99,95 C
Digoxin OGB (tablet
20 0,0625 mg) 7900 78 616.200 0,01 99,96 C

19 Diazepam (ampul) 700 793 555.275 0,01 99,97 C

40 Furosix (ampul) 330 1.540 508.200 0,01 99,98 C


Digoxin OGB (tablet
21 0,25 mg) 4000 89 356.000 0,01 99,98 C
Renabetic (tablet
70 5mg) 700 385 269.500 0,00 99,99 C
Folic acid (tablet 5
37 mg) 7000 31 220.150 0,00 99,99 C

35 Fenobarbital (ampul) 1000 201 201.000 0,00 99,99 C


Folic acid (tablet 1
36 mg) 4000 32 128.000 0,00 100,00 C
Libronil (kaplet 5
58 mg) 700 176 123.200 0,00 100,00 C

45 HCT OGB (tablet) 3000 17 51.000 0,00 100,00 C


Tegretol (botol
78 suspensi) 50 44 2.185 0,00 100,00 C

Total 5.661.114.859 100

Berdasarkan analisis ABC ini, maka aktivitas pengadaan persediaan obat


dapat dikendalikan dengan menentukan frekuensi pesanan, yaitu item A dipesan
harus lebih hati-hati, lebih sering, dan dalam jumlah yang lebih sedikit untuk
meminimalkan biaya pengadaan, persediaan pengaman rendah, item B dikendalikan
dengan frekuensi dan jumlah pengadan yang optimal, dan item C usaha
pengendaliannya minimum.

2. Analisis VEN

80
Klasifikasi barang persediaan menjadi golongan VEN (Vital, Esensial dan
Non esensial) ditentukan oleh faktor makro (misalnya peraturan pemerintah atau data
epidemiologi wilayah) dan faktor mikro (misalnya jenis pelayanan kesehatan yang
tersedia di RS yang bersangkutan).
Kategori obat-obat dalam sistem VEN yaitu :
1) V (Vital) adalah obat-obat yang termasuk dalam potensial life-saving drugs.
Mempunyai efek withdrawal secara signifikan atau sangat penting dalam
penyediaan pelayanan kesehatan dasar
2) E (Essensial) adalah obat-obat yang efektif untuk mengurangi kesakitan, namun
demikian sangat signifikan untuk bermacam-macam obat tapi tidak vital untuk
penyediaan sistem kesehatan dasar
3) N (Non Essensial) adalah obat-obat yang digunakan untuk penyakit minor atau
penyakit tertentu yang efikasinya masih diragukan, termasuk terhitung
mempunyai biaya yang tinggi untuk memperoleh keuntungan terapeutik.
Langkah-langkah menentukan VEN: menyusun kriteria menentukan VEN,
menyediakan data pola penyakit, dan merujuk pada pedoman pengobatan.
Tabel 5. Perbedaan kategori obat Vital, Esensial dan Non Esensial.
ristic of dru

- 1

Therapeutic effect of Drug


- Prevent serious disease No
- Cures serious disease No
- Treats minor, self limited, simtom es
and conditions
- Has proven efficacy
- Has unproven efficacy

3. Analisis Kombinasi ABC dan VEN

81
Analisis kombinasi VEN ABC dapat dilakukan dengan analisis PUT (Prioritas,
Utama dan Tambahan), obat yang masuk Prioritas: harus diadakan tanpa
memperdulikan sumber anggaran. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dalam
kelompok AV, BV dan CV. Obat Utama: Dialokasikan pengadaannya dari
sumber dana tertentu. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dlm kelompok AE,
BE, CE, dan obat tambahan: dialokasikan pengadaannya setelah obat prioritas dan
utama terpenuhi. Pada analisis ABC-VEN dlm kelompok AN, BN dan CN.
Analisa kombinasi metode ABC dan VEN yaitu dengan melakukan
pendekatan mana yang paling bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana.
Jenis obat yang termasuk kategori A (dalam analisis ABC) adalah benar-benar
yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit terbanyak, dan obat tersebut
statusnya harus E dan sebagian V (dari analisa VEN). Sebaliknya jenis obat
dengan status N harusnya masuk dalam kategori C.
Pada tabel 3, merupakan tabel yang dapat digunakan untuk menetapkan
prioritas pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai kebutuhan,
dengan metode kombinasi ABC dan VEN.

Tabel 6. Prioritas Pengadaan Obat dengan metode kombinasi ABC dan VEN
A B C

V VA VB VC

E EA EB EC

N NA NB NC

Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat.


Mekanismenya adalah obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas
pertama untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, jika setelah
dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang,
lakukan langkah selanjutnya.

82
Menurut Suciati dkk, 2006 dalam penelitiannya “analisis perencanaan obat
berdasarkan abc indeks kritis di instalasi farmasi” menyebutkan bahwa
pengelompokan obat dengan menggunakan nilai kritis obat dibuat berdasarkan efek
terapi atau manfaat terapetik obat terhadap kesehatan pasien dengan
mempertimbangkan efisiensi penggunaan dana yang ada.
Pemrosesan data dimulai dengan dilakukannya pengumpulan data yang
terbagi menjadi dua, yaitu data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan atau
observasi langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Data tersebut dikumpulkan
dan dilakukan analisis isi. Data sekunder diperoleh dari data di Instalasi Farmasi,
Bagian Keuangan dan Bagian Logistik. Data yang berasal dari Instalasi Farmasi
dikelompokkan berdasarkan analisis ABC Indeks Kritis. Analisis ABC Indeks Kritis
digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana dengan pengelompokkan
obat atau perbekalan farmasi, terutama obat-obatan yang digunakan berdasarkan
dampaknya terhadap kesehatan. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Menghitung nilai pakai
a. Menghitung total pemakaian obat
b. Data pemakaian obat dikelompokkan berdasarkan jumlah pemakaian.
c. Diurutkan dari pemakaian terbesar sampai yang terkecil
d. Kelompok A dengan pemakaian 70% dari keseluruhan pemakaian obat
e. Kelompok B dengan pemakaian 20% dari keseluruhan pemakaian obat
f. Kelompok C dengan pemakaian 10% dari keseluruhan pemakaian
obat.
Dari 1007 items obat di Instalasi Farmasi RS. Karya Husada, dikelompokkan
menurut besarnya jumlah pemakaian dengan sistem 70 – 20 – 10. Pengelompokkan
obat berdasarkan nilai pemakaian obat dalam analisis ABC di Instalasi Farmasi RS.
Karya Husada, didapatkan
hasil sebagai berikut.

83
Kelompok A: 124 item (12,31%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan
jumlah pemakaian 506.214 (69,10%) dari jumlah pemakaian
seluruhnya.
Kelompok B: 176 item (17,48%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan
jumlah pemakaian 154.106 (21,04%) dari jumlah pemakaian
seluruhnya.
Kelompok C: 707 item (70,21%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan
jumlah pemakaian 72.240 (9,86%) dari jumlah pemakaian seluruhnya.
Hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat dalam table berikut:

.
2. Menghitung nilai investasi
a. Menghitung total investasi setiap jenis obat
b. Dikelompokkan berdasarkan nilai investasi obat.
c. Diurutkan dari nilai investasi terbesar sampai yang terkecil
d. Kelompok A dengan nilai investasi 70% dari total investasi
obat
e. Kelompok B dengan nilai investasi 20% dari total investasi
obat
f. Kelompok C dengan nilai investasi 10% dari total investasi
obat.
Untuk pengelompokkan obat berdasarkan nilai investasi obat dalam analisis ABC,
didapatkan hasil sebagai berikut :

84
Kelompok A: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai
investasi sebesar Rp2.782.736.612,00 (70,16%) dari nilai investasi
seluruhnya.
Kelompok B:169 item (16,78%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai
investasi sebesar Rp801.463.078,00 (20,21%) dari nilai investasi
seluruhnya.
Kelompok C: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai
investasi sebesar Rp382.215.061,00 (9,64%) dari nilai investasi
seluruhnya.
Hasil pengelompokkan dapat dilihat pada Tabel 2.

3. Menentukan nilai kritis obat


a. Menyusun kriteria nilai kritis obat
b. Membagikan kuesioner berupa daftar obat kepada dokter untuk
mendapatkan nilai kritis obat, dengan kriteria yang telah ditentukan.
c. Dokter yang mengisi kuesioner tersebut adalah dokter yang
berpengaruh terhadap peresepan dan pemakaian obat.
Kuesioner yang berisi daftar obat dibagikan kepada dokter untuk
mendapat penilaian mengenai nilai kritis. Dari kuesioner tersebut dilakukan analisis
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Lakukan survei tentang kekritisan obat terhadap dokter yang sering menulis
resep.
2. Buat rata-rata skor dari setiap jenis obat.

85
3. Susun tabel obat dari skor tertinggi hingga skor terrendah.
4. Cek persentase (%) kumulatif. Penggolongan pada pemisahan % kumulatif
menjadi 70% untuk kelompok X, 20% kelompok Y, dan 10% kelompok Z.
Kriteria nilai kritis obat adalah :
a. Kelompok X atau kelompok obat vital, adalah kelompok obat yang sangat
essensial atau vital untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi penyakit
penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan. Kelompok ini
tidak boleh terjadi kekosongan.
b. Kelompok Y atau kelompok obat essensial adalah obat yang bekerja kausal
yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, logistik farmasi yang
banyak digunakan dalam pengobatan penyakit terbanyak. Kekosongan obat
kelompok ini dapat ditolerir kurang dari 48 jam.
c. Kelompok Z atau kelompok obat nonessensial, adalah obat penunjang agar
tindakan atau pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan atau untuk
mengatasi keluhan. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir lebih dari
48 jam.

4. Menentukan nilai indeks kritis obat


Untuk mendapat NIK obat dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut.

NIK = Nilai Pakai + Nilai Investasi + (2 x Nilai Kritis)

5. Pengelompokan obat ke dalam kelompok A, B dan C dengan kriteria :


Kelompok A dengan NIK 9.5 - 12

86
Kelompok B dengan NIK 6.5 – 9.4
Kelompok C dengan NIK 4 – 6.4
Kelompok A dengan NIK tertinggi yaitu 12, mempunyai arti bahwa obat
tersebut adalah obat dalam kategori kritis bagi sebagian besar pemakainya, atau bagi
satu atau dua pemakai, tetapi juga mempunyai nilai investasi dan turn over yang
tinggi.

Penggunaan ABC Indek Kritis secara efektif dapat membantu RS dalam


membuat perencanaan obat dengan mempertimbangkan aspek pemakaian, nilai
investasi, kekritisan obat dalam hal penggolongan obat vital, essensial dan
nonessensial. Standar terapi merupakan aspek penting lain dalam perencanaan obat
karena akan menjadi acuan dokter dalam memberikan terapinya.
Bila langkah-langkah dalam analisis ABC Indek Kritis terlalu sulit dilakukan
atau diperlukan atau diperlukan tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar
perencanaan, sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu evaluasi cepat (rapid
evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar perencanaan perbekalan
farmasi. Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu kriterianya , perbekalan
farmasi atau nama dagang apa yang dapaat dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak
hanya dari aspek ekonomik dan medic, tetapi juga dapat berdampak positif dari beban
stok.

EOQ (Economic Order Quantity)

87
Metode ini dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah pesanan persediaan
yang menimimumkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. EOQ merupakan
ukuran pesanan yang memperkecil total biaya (Seto, 2001). Untuk menentukan
jumlah obat yang perlu dipesan maka hitung nilai EOQ dari masing-masing item
obat. Makin besar persediaan berarti resiko penyimpanan semakin besar serta
besarnya fasilitas yang harus dibangun, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan
yang lebih besar, namun dilain pihak biaya pemesanan dan biaya distribusi menjadi
lebih kecil. Ini berarti perlu adanya optimalisasi agar tercapai kesetimbangan antara
membangun persediaan serta biaya distribusi dan pemesanan. Secara matematis
perhitungan tersebut dirumuskan dalam rumus Jumlah pesanan yang ekonomis
(Economic Order Quantity / EOQ EOQ adalah jumlah pemesanan ekonomis untuk
sistem berulang, jumlah order untuk tiap barang bisa dicari dengan formula sebagai
berikut:

2CoS
EOQ=
CmV
Keterangan:
Co : Cost per order (sekali pesan). Termasuk biaya telepon, fax, kertas
dan biaya SDM
Cm: Cost of maintenance atau biaya penyimpanan dari persediaan dalam
setahun
S : jumlah permintaan setahun
V :Cost per unit
Contoh perhitungan EOQ ringer laktat (dari kasus):
Diketahui Co= Rp.5000,- S=640, Cm= 5% V = Rp.7259,- sehingga

2x5000x640
EOQ=  132.9 botol, dibulatkan menjadi 133 botol
0.05x7259
Sehingga dari perhitungan tersebut diketahui bahwa persediaan (untuk sekali pesan)
yang harus dibangun adalah 133 botol

88
EOI (Economic Order Interval)
Obat-obat yang digunakan habis waktu tertentu yang dihitung dengan
pendekatan EOI:

Co
2
EOI=
Cm.V .S
Keterangan:
Co = Cost per order (sekali pesan)
Cm = Cost of maintenance dari persediaan dalam setahun
S = Jumlah permintaan setahun
V = Cost per unit
Untuk Ringer laktat, akan habis dalam waktu:

2x5000
EOI= = 75,73 hari, dibulatkan menjadi 76 hari
0.098x7259x640
Sehingga diketahui bahwa obat yang dipesan akan habis dlam waktu 76 hari,
sehingga interval pemesanan dilakukan setiap 76 hari sekali.
Dari setiap nilai EOI masing-masing item obat dikurangi dengan lead
time, sehingga ditemukan hari dimana rumah sakit harus memesan obat kembali atau
re-order. Untuk mengantisipasi adanya stok out atau stok kosong di rumah sakit
maka perlu adanya persediaan selama lead time atau waktu tunggu yang dinamakan
safety stock. Safety stock secara umum merupakan level pengadaan ulang atau level
persediaan maksimum termasuk dalam persediaan cadangan yang harus dimasukan
dalam perhitungan.
Safety Stock (SS)
SS = (LT x CA)

Keterangan:

89
LT : Lead time (waktu tunggu dari pesan obat sampai obat datang)
CA : Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau
sebulan)
Contoh:
Misalkan lead time 2 hari, penggunaan Ringer laktat per tahun 640. Maka safety stock
dari Ringer laktat dapat dihitung sebagai berikut:
- Menghitung rata-rata penggunaan Ringer laktat perhari:

penggunaaan _ selama _ tahun


=
365 _ hari

640
=
365
=1.75 botol
- Menghitung safety stock = 2x1.75 = 3.51 botol  4 botol
Stok Minimal dan maksimal
Formula stock minimal dan maksimal sering digunakan dalam penjadwalan
pembelian dengan menentukan interval waktu pemesanan. Dengan menggunakan
pendekatan tersebut, dapat didefinisikan secara teoritis stok maksimum untuk tiap
item berarti menyediakan stok yang cukup tapi tidak berlebihan, stok terakhir suatu
pemesanan sampai pemesanan selanjutnya seperti halnya stok minimal, dimana suatu
titik untuk dilakukan pemesanan kembali atau reorder point (ROP) (Quick dkk, 2007)
Dalam inventory control, dasar reorder dengan parameter:
1.Average monthly consumption (CA)
2.Suplier lead time (LT)
3.Procurement period, time until the next order will be place (PP)
4.Stock on hand in inventory (S1)
5.Stock now on order from supplier but not yet received (S0)
6.Quantity of stock back-ordered to lower levels (SB)
Stok minimum

90
Stok minimum merupakan minimal persediaan yang diatur untuk mencegah
persediaan habis. level persediaan minimal harus juga dikendalikan dengan dasar
perhitungan stok minimal dalam upaya keberlanjutan persedianan obat.
Rumus stok minimal:
Smin (Stok minimum) = (LT x CA) + SS
= 2 SS

Stok minimal =2x safety stock


Dari kasus perhitungan diatas nilai safety stock adalah 3,51
Contoh perhitungan stok minimal = 2 x 3,51 = 7.01 botol  7 botol infuse.
Stok Maksimal
Rumus Stok maksimal
Smax (stok maksimum)
Smax = Smin + (PP x CA)
Keterangan:
Smax : Stok maksimum
Smin : Stok minimum
PP : Procurement Period (periode pengadaan)
CA : Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau sebulan)

Contoh perhitungan stok maksimal untuk Asering 500cc, jika diketahui periode
pengadaan setiap 7 hari:
Stok maksimal = Smin + (PP x CA)
7 botol + (7 x 1,75)
= 7 botol + 12,25 botol
= 19,25 botol
= 20 botol
Sistem pengendalian pesediaan lainnya yang sering digunakan antara lain:
1. Model Fixed Order- Period

91
Model Fixed –order-period adalah suatu model dimana pesanan-
pesanan dilakukan setiap periode (missal 2 minggu atau bulan). Kuantitas order
bisa bervariasi, tetapi setiap periode tingkat persediaan ditinjau kembali, dan
pesanan dilakukan untuk mengisi persediaan sebesar optimal (Q). Model ini
banyak dipakai karena perusahaan-perusahaan membeli komponen-komponen
dengan basis periodik (Seto, 2001). Pada sistem ini, ada 2 nilai yang harus
ditentukan yaitu:
a. Interval waktu pemesanan
b. Batas maksimum inventory setiap kali dilakukan pemesanan.
Oleh karena jarak atau interval waktu antara pemesanan tersebut tetap, maka
pengendalian lebih mudah dilakukan, tetapi kalau terjadi ketidaktepatan dalam
penentuan batas maksimum inventori maka akan mengakibatkan inventory
yang berlebihan atau akan terjadi kehabisan inventori.
2. Two bin sistem (two and bag account sistem)
two and bag account sistem menggunakan dua kantung (bin).
Merupakan variasi dari sistem perpetual. Stok dan masing-masing item dibagi
dalam dua bagian/tempat yaitu bagian stok untuk stok kerja dan bagian yang lain
merupakan stok simpanan. Kantung pertama merupakan tempat persediaan yang
jumlahnya sama dengan jumlah inventory pada tingkat reorder point dan
berfungsi sebagai inventory cadangan (reserve inventory). Inventory selebihnya
(sisanya) diletakkan pada kantung kedua. Cara penggunaannya adalah mula-mula
dipakai inventory dikantong kedua samapai habis. Saat inventory dikantung
kedua habis, maka pemesanan ulang harus dilakukan sebelum inventory
diksntung pertama habis. Apabila obat yang dipesan untuk pengisian kantung
kedua telah tiba, kantung pertama diisi kembali sesuai jumlah semula (sebagai
cadangan) dan sisanya dimasukkan dalam kantung pertama (Seto, 2001)
3. One bin sistem
Dengan menggunakan satu kantong persediaan. Didalam kantong
persediaan ini diadakan pembagian terhadap persediaan menjadi dua bagian.

92
a. Bagian 1 : untuk memenuhi kebutuhan rutin
b. Bagian 2 : untuk memenuhi kebutuhan selam periode pengisian kembali.
Cara ini memberikan keuntungan karena mudah dalam pencatatan persediaan.

Syarat untuk pengendalian persediaan dengan 1 atau 2 kantong adalah:


a. Apabila holding cost cukup mahal
b. Apabila obat yang diminta/dipergunakan adalah tertentu dan jenisnya tidak
banyak
c. Apabila kepastian waktu pemesanan tidak jelas
4. Fixed Order Quantity Sistem (Sistem jumlah pesanan tetap)
Fixed Order Quantity Sistem hanya digunakan untuk pemesanan obat tertentu,
jumlah yang dipesan dari pemasok (suplier) adalah tetap pada titik kritis (order
point = OP/reorder point = ROP). Jumlah yang dipesan adalah jumlah paling
ekonomis ditinjau dari biaya-biaya yang yang harus dikeluarkan. Untuk Fixed
Order Quantity Sistem, ada 2 nilai yang harus ditentukan untuk setiap jenis
obat/barang (Seto, 2001):
a. Berapa jumlah yang harus dipesan (Q)
b. Kapan harus dilakukan pemesanan.
5. Kombinasi antara EOQ dengan analisa ABC
Kombinasi ditekankan pada inventory cadangan (safety stock) dan periode
pesanan/frekuensi pesanan per periode tertentu (N kali pesanan), terutama untuk
kelompok A dengan inventori cadangan yang sedikit dengan periode pesanan
sesering mungkin.
6. Safety stock (buffer stock)
Sistem Safety stock adalah inventori tambahan yang diadakan untuk melindungi
atau menjaga kemungkinan terjadi kekurangan inventory (stock out) yang
disebabkan oleh penggunaan yang lebih besar dari perkiraan semula. Hal ini juga
bisa terjadi karena keterlambatan barang/obat yang dipesan sampai digudang

93
penyimpanan (lead time lebih lama dari yang diperkirakan semula). Safety stock
ditentukan besarnya:
SS = L x d
SS = safety Stock
L = lead time
d = rata-rata kebutuhan per hari
Menurut Quick dkk, 1997, model ideal dalam pengelolaan inventori terdiri dari
dua komponen, yaitu: stock kerja (working stock) dan stock pengaman (safety
stock), yang disebut juga inventory cadangan (buffer-stock) (SS). Besarnya stock
kerja berkisar antara 0 sampai sebesar jumlah sekali pembelian (Q) dan
dimaksudkan untuk untuk melayani permintaan selama jangka waktu antara dua
pembelian, sedangkan inventori cadangan berguna untuk mencegah kehabisan stock
apabila pemenuhan permintaan terlambat atau permintaan di pelayanan yang
meningkat luar biasa.
Pada model inventori yang ideal, volume inventori akan menurun menurut garis
miring sampai suatu titik yang menunjukkan harus dilakukan pembelian baru
(reorder point). Jangka waktu antara pemesanan pembelian sampai datangnya
pesanan disebut waktu tunggu (lead time). Pada saat pesanan datang maka volume
inventori akan maksimal kembali yaitu Q + SS.
7. Card file system
Sistem pencatan dengan kartu stok sederhana. Sistem kartu stok ini masih sering
digunakan karena memang manual dan sangat sederhana. Kartu stok ini mencatat
keluar masuhnya sedian farmasi setiap saat.
8. Material Requarement Planning (MRP)
Material Requarement Planning (MRP) digunakan untuk industri/pabrik (termasuk
farmasi) atau perencanaan kebutuhan distribusi (Distribution Requarement
Planning (DRP) misal untuk apotek, PBF dan farmasi rumah sakit. MRP berguna
bagi produk yang terdiri dari bahan/komponen yang harus dirakit, kumpulan bahan,
tahapan waktu pemesanan dan kebutuhan kapasitas yang besar.

94
9. Computerized/ ICT (Information and Communication Tecnology)
Merupakan cakupan segala macam teknologi yang digantikan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mendapatkan kembali, memproses, menganalisa,
dan mengirimkan informasi. Komputerisasi diperlukan terutama dalam
menunjang salah satu fungsi manajemen yakni pengawasan (controlling).
Sistem komputerisasi memungkinkan Farmasi Rumah Sakit melakukan
pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam kartu barang
(setiap ada transaksi barang masuk dan faktur di kartu barang dan computer.
Perhitungan EOQ, maksimum dan minimum level dapat diprogramkan dalam
komputer, juga untuk memantau kualitas pemasok.

Teknik Teknik Pengendalian


1. Teknik manual
2. Buku kebutuhan
Buku kebutuhan adalah daftar barang yang perlu dipesan apotek. Buku
kebutuhan biasanya terdiri dari sebuah buku catatan yang disimpan di tempat
yang mudah dijangkau. Apoteker atau asisten apoteker mencatat nama
produk/obat yang sudah habis/ hampir habis/ mencapai tingkat minimum dari
obat yang bersangkutan dengan melihat kartu induk/ gudang ataupun kartu obat
dibagian peracikan yang dipesan di PBF mana sebagai pemasok juga dapat
dilihat di kartu obat tersebut. Apoteker atau asisten apoteker yang bertanggung
jawab atas persediaan obat kemudian melakukan pemesanan kapada PBF-PBF
dan mencari informasi yang tercatat didalam kartu stok barang yang dimaksud.
3. Stiker harga
Stiker harga dengan warna dapat digunakan untuk menunjukkan masa
ketika suatu produk diterima. Lamanya waktu sebuah barang berada dalam
persediaan memberikan petunjuk secara kasar mengenai jumlah barang yang
dibutuhkan dan apakah barang harus dihentikan. Stiker bertanggal merupakan

95
pengembangan lebih lanjut dengan mencatat tanggal di faktur penerimaan pada
stiker.
4. Tingkat maksimal minimal
Dalam metode ini tingkat persediaan obat minimal dan maksimal ditentukan
dengan mencatatnya pada kartu gudang ataupun kartu dibagian peracikan untuk
setiap obat produk dalam persediaan. Tingkat minimal sebuah produk ditentukan
pada titik pemesanan ulangnya. Tingkat maksimal sebuah produk ditentukan oleh
permintaan atas produk dan tingkat perputaran yang diinginkan.
5. Kartu stok
Beberapa macam kartu stok diperlukan untuk menegendalikan persediaan
barang. Ada beberapa macam kartu stok:
a. Kartu stok induk gudang
Kartu ini untuk mencatat keluar masuknya barang di gudang.
b. Kartu stok peracikan
Kartu untuk mencatat keluar masuknya barang/obat di ruang peracikan
dan pelayanan.
c. Kartu penandaan obat bertanggal kadalu warsa
Untuk barang /obat yang memiliki tanggal kadalu warsa disamping dicatat
di kartu gudang, juga dicatat di kartu penandaan obat bertanggal kadalu
warsanya. Untuk mengetahui obat-obat yang kadalu warsanya, misal 3
bulan lagi dari bulan ini, apoteker tinggal mengambil sebuah kartu yang
kadalu warsanya seperti yang ingin dilihat tersebut, yang selanjutnya
dapat melihat keadaan barang tersebut di gudang maupun di ruang
peracikan dan pelayanan.
d. Kartu inventaris barang = kartu aktiva tetap
Adalah suatu cara untuk mengawasi semua barang inventaris apotek yang
merupakan aktiva tetap
6. komputerisasi

96
Sistem komputerisasi memungkinkan apotek /farmasi rumah sakit
melakukan pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam
sistem kartu barang (setiap ada transaksi barang masuk dan faktur pembelian dan
barang keluar dan hasil penjualan selalu harus dicatat di kartu barang dank).

Indikator Efisiensi Pengendalian


Dalam pengendalian persedian farmasi, parameter keberhasilannya dapat dilihat dari
indikator efisiensi pengendalian, yang meliputi:
a. ketepatan perencanaan: melihat dari satu item obat dalam perencanaan
dengan jumlah barang dan item tersebut dalam kenyataan pemakaian .
b. Kecukupan obat : jumlah bulan yang menunjukan antisipasi lamanya stok
obat yang tersedia.
c. Stok berlebih : stok obat yang kecukupan obatnya lebih dan 18 bulan
d. Stok kosong : jumlah stok akhir adalah 0 (nol)
e. Stok mati: stok obat yang dalam 3 bulan atau lebih tidak dipakai
f. TOR: perputaran modal yang terjadi selama 1 tahun.

Contoh Studi Kasus

Pengadaan Persediaan Obat Di Rumah Sakit


Pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari beberapa tahap. Siklus
pengelolaan obat di rumah sakit akan dilanjutkan dengan suatu tahap pengadaan obat.
Perencanaan pengadaan dapat dilakukan dengan menggunakan metode Economic
Order Quantity (EOQ), Economic Order Interval (EOI), Re Order Point (ROP), dan
ABC. Dengan menghitung EOQ, kita dapat mengetahui jumlah barang yang paling
ekonomis. EOI untuk mengetahui interval pengadaan yang paling ekonomis dalam
satu tahun, ROP untuk mendapatkan gambaran pada posisi barang tinggal berapa
untuk diadakan pengadaan ulang. Metode ABC dikelompokan berdasarkan
penggunaannya, yaitu menjadi kategori Always, Better, dan Control.

97
Pengadaan obat sebagai salah satu bagian dari siklus pengelolaan obat di
rumah sakit diperlukan komponen-komponen, yaitu personel yang terlatih dan
menguasai permasalahan, prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, dan
didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai. Dalam pengadaan obat diperlukan
suatu rencana yang baik agar diharapkan tujuan dari pengadaan perbekalan farmasi
seperti memperoleh obat dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman obat
terjamin, tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan tenaga dan waktu
yang berlebihan dan dapat tercapai.
Langkah proses pengadaan:
1. Mereview daftar obat/ barang farmasi yang akan diadakan
Di dalam tahap ini, dilakukan penataan ulang yang didasarkan dari
perencanaan yang disusun oleh tim perencana sebelumnya. Pendataan ulang
dilakukan dengan menggabungkan jenis obat yang sama, mengetahui jumlah
obat yang akan diadakan, menghitung harga obat persatuan dan total harga
jika semua diadakan.
2. Menyesuaikan dengan situasi keuangan
Dalam rangka menyesuaikan anggaran dana pengadaan (daya beli rumah
sakit) obat yang dibeli, maka idealnya metode yang digunakan metode
Prioritas Utama dan Tambahan (PUT)/ gabungan metode ABC dan VEN
berdasrkan profit yang akan diperoleh dan juga besar nilai barang dari total
barang yang dapat diadakan. Metode gabungan dipilih karena dalam metode
ini didasarkan pada profit oriented dan patient orient
Pada kasus, RS A (tipe C) akan melakukan pengadaan obat untuk periode
2008. Anggaran dana yang tersedia sebesar Rp 99.070.414,- Dana ini hanya
80% dari total dana yang sebenarnya diperlukan untuk pengadaan obat.
Dengan adanya keterbatasan dana, perlu dilakukan penyesuaian dalam
pengadaan obat. Penyesuaian pengadaan dapat dilakukan dengan jalan:
a. Mengurangi jumlah masing-masing item obat yang akan dibeli.
b. Mengurangi jumlah item yang akan dibeli.

98
Dalam kasus ini penyesuaian pengadaan dilakukan dengan
menggunakan pengurangan jumlah item obat dan juga pengurangan jenis item
obat. Dengan anggaran dana yang hanya 80% dari anggaran tahun
sebelumnya, maka tidak semua jenis item diadakan. Untuk kategori prioritas,
semua jenis item tetap diadakan karena untuk obat kategiri ini harus selalu
dijaga ketersediaannya di rumah sakit. Kemudian untuk kategori tambahan,
hanya dipilih 2 jenis item obat untuk diadakan. Sedangkan untuk kategori
utama, dipilih sebanyak 138 jenis item obat.
Obat yang akan dipenuhi berdasarkan data seleksi dan perencanaan
obat, maka obat kategori vital harus dipenuhi sebanyak 35 item obat dengan
biaya sebesar Rp .18.151.213,- . Sedangkan untuk kategori esensial dan non
esensial tidak semua dipenuhi, namun disesuaikan dengan dana anggaran
yang ada. Dana yang digunakan untuk nonesensial sebesar Rp.110740.736,-.
3. Menentukan jumlah masing-masing yang akan dibeli
Karena dana yang tersedia hanya 80% dari total dana yang sebenarnya
diperlukan , maka jumlah item obat menyesuaikan dana yang ada. Komposisi
persentase nilai dan jumlah item yang akan diadakan ini tidak ada aturan
bakunya, lebih cenderung fleksibel tergantung kebijakan dari pihak
manajemennya.
Pada kasus ini terjadi kekurangan danau ntuk obat esensial dan non
esensial, pengurangan dana tersebut tidak berpengaruh terhadap pengadaan
obat, dengan asusmsi bahwa masih ada sisa stok dari persediaan tahun 2007,
dan masih bisa ditanggulanginya kekurangan dana dari perputaran /penjualan
obat sebelumnya.

Tabel 7. Item Obat dan Anggaran


Analisis Total item obat yang akan Total anggaran
diadakan

99
Prioritas 35 Rp. 18.151.213,-
Tambahan 2 Rp. 705.600
Utama 138 Rp. 80.211.735,-
Total 175 Rp. 99.068.548,-

4. Memilih metode pengadaan


Terdapat 4 metode proses pengadaan, yaitu tender terbuka, tender terbatas,
atau lelang tertutup, pembelian melalui kontrak kerja dengan negosiasi, dan
pengadaan langsung. Rumah sakit ‘sehat’ ini merupakan rumah sakit swasta,
maka pemilihan metode pengadaan obat tidak tergantung pemerintah dan
keputusan pemilihan metode dapat dilakukan dengan cara fleksibel oleh pihak
rumah sakit. Karena anggaran dana yang tersedia untuk pengadaan barang hanya
sebesar Rp.99.070.414,-, maka dipilih metode tender terbatas atau lelang tertutup.
Dengan metode ini , harga obat masih bisa dikendalikan, tenaga dan beban kerja
lebih ringan bila dibandingkan denganlelang terbuka.
5. Memilih suplier /rekanan/pemasok
Pemilihan pemasok dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria
pemasok/PBF yang baik. Cara menentukan pemasok yaitu dengan melihat
pabrik-pabrik mana saja yang memproduksi obat tersebut, kemudian mencari
distributor/pemasok/PBF dari pabrik obat. Masing-masing PBF yang
memenuhi criteria mendapatkan undangan yang sifatnya tertutup. Kemudian
dari beberapa PBF tersebut, dipilih PBF yang memenuhi persyaratan hukum
yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar), telah
terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO, mempunyai reputasi
yang baik, serta selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai
pemasok produk obat yang selalu tersedia dengan mutu yang tinggi dan harga
yang rendah. Selainitu diutamakan PBF yang lokasinya mudah terjangkau,
pengiriman tepat waktu dengan lead time yang pendek, memberikan harga
khusus dengan diskon besar, jangka waktu jatuh tempo yang diberikan lama,
serta memberikan kebijakan dalam pengembalian obat yang telah kadaluarsa

100
dan rusak. Penentuan supplier atau PBF yang akan memasok obat untuk
rumah saki A dapat dilakukan dengan mengacu pada rumah sakit lama yang
sudah ada sebelumnya sehingga dapat melihat reputasinya.
6. Membuat syarat kontrak kerja MoU (Memorandum of Understanding)
Setelah penentuan PBF dan terdapat kesepakatan dengannya, dibuat suatu
surat kerja sama yang ditandandatangani oleh kedua pihak. Kesepakatan itu
berlaku sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Didalam kontrak
kerja ini dicantumkan harga, syarat pembayaran dan standar mutu, dokumen
yang dilampirkan, penamaan dan labeling, spesifikasi masing-masing barang,
tanggungan finansial, tanggal pengiriman, hak paten dan pengepakan,
kadaluarsa, dan lain-lain.
7. Memonitor pengiriman barang
Monitor pengiriman barang dilakukan untuk memastikan bahwa barang dapat
datang sesuai dengan waktu yang telah disepakati.
8. Menerima dan memeriksa barang
Memeriksa kesesuaian antara pesanan dengan faktur dan barang yang
diterima. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap nomor batch dan Expired
datenya.
9. Melakukan pembayaran serta menyimpan, kemudian didistribusikan
Pembayaran barang-barang yang telah datang dilakukan pada saat jatuh tempo
dan dilakukan oleh Bagian Keuangan Rumah Sakit sesuai dengan peraturan
yang berlaku dan telah disepakati.
Dalam melakukan pengadaan, harus diperhitungkan pula mengenai biaya
pemesanan dan penyimpanan. Biaya pemesanan meliputi biaya SDM, biaya
telepon biaya penulisan SP, dan lain-lain. Dengan menggunakan rumusEOQ
dan EOI, maka dapat diketahui berapa banyak dan waktu yang paling
ekonomis kapan barang seharusnya dipesan. Nilai rencana pembelian tidak
selalu sama dengan barang yang seharusnya dipesan (EOQ) Karena adanya
faktor-faktor lain dalam pengadaan, seperti persediaan barang yang masih ada

101
pada saat pemesanan (stock Opname), safety stock, dan waktu pengadaan
yang tidak sesuai dengan EOI. Misalnya, ada barang-barang tertentu yang
pemesanannya manggunakan sistem First Order Period (waktu-waktu)
tertentu , dan lain-lain.
Tahap yang dikerjakan setelah berjalannya pengadaan obat adalah tahap
evaluasi. Tahap ini dapat dilakukan tiap enam bulan, tiga bulan , satu bulan,
dan mingguan. Jumlah obat yang direncanakan tetap untuk kebutuhan satu
tahun, tetapi akan dievaluasi tiap tiga bulan untuk mengetahui banyaknya obat
yang dikonsumsi dan jadi dasar untuk pengadaan berikutnya. Pengandalian
pengadaan obat dapat dilihat dari:
a. Kartu Stok
Kartu stok diperlukan memantau junmlah persediaan tiap hari di gudang.
Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipai obat-obat yang termasuk fast
moving sehingga dapat hanis sebelum waktu yang direncanakan.
b. Buffer Stock/safety stock
Untuk mengantisipasi pemakaian obat perhari yang lebih dari perencanaan
maupun kedatangan obat yang melebihi lead time, maka perlu dihitung
hjuga buffer stok yang besarnya setengah dari ROP tiap-tiap obat.
c. EOQ/EOI/ROP
Pengendalian persediaan obat di rumah sakit A dilakukan dengan
menghitung ROP, EOQ, dan EOI. Dengan menghitung ROP, maka dapat
diketahui pada titik berapa perbekalan harus diadakan kembali. EOQ
untuk mengetahui jumlah barang yang paling ekonomis untuk diadakan,
dan EOI untuik mendapatkan gambaran setiap hari dilakukan pengadaan
ulang.
Metode pengendalian EOQ dipilih berdasar asumsi yang berlaku pada
EOQ, diantaranya yang tidak ada potongan harga dalam kasus ini, tidak
ada stock out, lead timenya diketahui dan tetap.

102
(Ringer laktat)
133

7 hari

1 74 76 150 152 226 228


Gambar 4. Contoh Kurva pengadaan obat

EOQ =133 botol


` ROI/EOI = 76 hari
Lead time = 2 hari
ROP = 7 botol
Reorder = 74 hari

Contoh Studi Kasus


Pengendalian Persediaan Obat Di Rumah Sakit
Data yang tersedia adalah data pengadaan obat pada periode 2007 Oleh karena
itu perlu dilakukan pengendalian barang untuk menjaga ketersediaan barang dan
mencegah kerugian. Metode yang digunakan adalah Card File Sistem dengan teknik
pengendaliannya menggunakan kartu stok.:
1. Mengestimasi konsumsi perhari dengan cara menghitung konsumsi tahun
lalu.
2. Melihat lead time pengadaan barang
3. Menghitung ROP, ROI, stok minimum, stok maksimum, safety stock
4. Mendata tiap item barang kedalam kartu stok, berupa nama barang, dosis
dan bentuk sediaan, jumlah stok maksimum dan stok minimum
5. Mencatat jumlah barang disetiap pemakaian dan penerimaan barang
6. Memantau jumlah barang yang tersedia untuk menentukan kapan
dilakukan pemesanan barang.

103
7. Mereview jumlah barang pada akhir bulan sehingga dapat diketahui dan
dianalisa pemakaian barang selama satu tahun.
Langkah-langkah pengendalian barang kadalu warsa menggunakan kartu stok:
1. Mengelompokan barng yang mempunyai waktu kadalu warsa yang sama
bulan dan tahunnya.
2. Mencatat deskripsi barang seperti nama obat, bentuk sediaan, satuan,
nomor faktur, jumlah barang, tempat penyimpanan dan keterangan
3. Memantau bulan kelompok barang yang mempunyai waktu kadalu warsa
3 bulan yang akan datang.
4. Meretur kelompok barang yang akan kadalu warsa 3 bulan yang kan
datang.
Contoh Pengendalian barang :
Ringer laktat
Penggunaan 1 hari = 1.7534
Penggunaan 1 bulan = 43.333
Penggunaan 1 tahun = 639.991
ROP = 2 x SS (Quant. 1th/365)
= 2 x 3,5068
= 7,0136
FOQ = Quantity 1th/EOQ
= 639,991/132,7903
= 4,8196
ROI = 365/FOQ
` = 365/4,8296
= 75,7324
Stok min = 2 x SS
= 2 x 3,5068
= 7,0136
Stok max = SS + (ROI x Quantity per hari) + (Lead time x Quantity perhari)

104
= 2 + (75,7324 x 1,7534) + (2 x 1,7534)
= 138,2958

105
BAB VI
SISTEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT

Pada saat ini, tuntunan terhadap pelayanan kesehatan yang baik semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat Hal
ini juga menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan kefarmasian.
Keberhasilan seorang farmasis sebagai pemberi pelayanan pada pelayanan
kefarmasian dilihat dari hasil pelayanan yang diberikan, bukan dari ketentuan ataupun
persyaratan pelayanan yang disusunnya. Elemen dari program farsamasis yang
penting untuk kesuksesan kinerja secara keseluruhan di rumah sakit adalah:
1. Kepemimpinan dan pengelolaan manajemen
2. Informasi obat dan pendidikan
3. Kegiatan untuk menjamin pengobatan yang rasional
4. Distribusi dan pengawasan obat
5. Sumber fasilitas, peralatan dan informasi
6. Berpartisipasi pada penelitian
Hal ini seluruhnya merupakan elemen minimum pelaksanaan praktek
kefarmasian sehingga seluruh instalasi farmasi harus berusaha melaksanakannya
sebagai pegangan dasar. Elemen ini sangat berhungan dengan hasil, oleh karena itu
kegagalan melaksanakan salah satu diantara elemen tersebut dapat mempengaruhi
mutu pelayanan kefarmasian.
Rumah Sakit sebagai tempat para profesional kesehatan bekerja dalam kapasitas
dan profesinya, juga merupakan lembaga yang menjadi unit industri jasa, meliputi
jasa medik, jasa pengguna peralatan, jasa pengguna barang, consumble farmasi, serta
jasa akomodasi penderita. Indikator untuk menilai kebersilan pelayanannya adalah
(Yusmainita, 1999):
1. Rasionalitas dalam diagnosis dan terapi
2. Efektivitas dan keberhasilan terapi

106
3. Efisien, kehematan biaya, cepat, dan lancar pelayanan
4. Kepuasan pasien, keluarga, dan lancar pelayanan
Hampir IFRS pemerintah di Indonesia belum menerapkan pelayanan farmasi
paripurna, tetapi masih pada pelayanan farmasi non klinik. Bahkan di berbagai rumah
sakit, terutama milik pemerintah, IFRS belum berfungsi sebagaimana seharusnya
karena beberapa swasta telah beroperasi secara penuh di hampir semua RS
pemerintah.
Dengan keadaan pelayanan farmasi di RS pemerintah seperti tersebut di atas
maka IFRS tidak mungkin lagi mengendalikan semua obat yang beredar dan
digunakan di RS tersebut. Namun keamanan, kemanfaatan, dan kerasionalan
penggunaan obat di RS tetap menjadi tanggung jawab apoteker IFRS. Pimpinan RS,
panitia farmasi dan terapi, serta IFRS harus menyadari kekeliruan tersebut dan wajib
memperbaiki keadaan tersebut dengan mengembalikan semua kewajiban serta
tanggung jawab pelayanan farmasi hanya kepada IFRS.
Penyimpanan dan distribusi obat-obatan yang efektif mengandalkan pada
desain sistem yang baik dan manajemen yang baik. Desain dan manajemen sistem
distribusi yang baik harus:
a. Menjaga persediaan obat-obatan secara konstan
b. Menjaga obat-obatan dalam kondisi yang bagus melalui proses penyimpanan
dan distribusi.
c. Meminimalkan kerugian obat-obatan karena produk cacat/rusak dan atau
kadaluwarsa
d. Menjaga pencatatan inventaris yang akurat
e. Menjaga stabilitas dalam penyimpanan obat-obatan dan inventori kontrol pada
titik pemesanan kembali.
f. Menggunakan sumber daya transportasi yang tersedia dengan seefisien
mungkin.
g. Mengurangi pencurian dan penipuan
h. Memberikan informasi mengenai perkiraan kebutuhan obat-obatan

107
Ada empat elemen utama dalam suatu sistem distribusi, yaitu:
a. Desain sistem (cakupan geografis atau populasi, jumlah level dalam sistem,
sistem mendorong versus sistem menarik)
b. Sistem informasi (inventory control, pencatatan dan formulir, laporan
konsumsi, aliran informasi).
c. Penyimpanan (pemilihan lokasi, desain bangunan, sistem penanganan bahan,
pengambilan pesanan).
d. Pengiriman (koleksi versus pengiriman, pemilihan transportasi, pemerolehan
kendaraan, pemeliharaan kendaraan, rute dan jadwal pengiriman

1. Sistem Penyimpanan Obat


Penyimpanan merupakan suatu aspek penting dari sistem pengendalian obat
menyeluruh. Pengendalian lingkungan yang tepat, (yaitu : suhu, cahaya, kelembaban,
kondisi sanitasi, ventilasi, dan pemisahan) harus dipelihara apabila obat-obatan dan
perlengkapan lainnya disimpan di RS. Daerah peyimpanan harus aman, perlengkapan
dan peralatan yang digunakan untuk penyimpanan dibuat sedemikian agar obat-
obatan dapat diperoleh dengan mudah oleh personel yang ditunjuk dan diberi
wewenang. Personel yang demikian harus dipilih dengan teliti dan dibawah
pengawasan. Keamanan juga merupakan faktor penting dan pertimbangan yang tepat
harus diberikan terhadap penyimpanan yang aman untuk senyawa beracun dan mudah
menyala. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat dalam. Obat yang disimpan
dalam satu lemari pendingin mengandung bahan lain selain obat harus disimpan
dalam kompartemen yang terpisah (Siregar dan Amalia, 2004).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan perbekalan farmasi (Dep Kes RI, 2008). Perbekalan farmasi
adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, alat kesehatan, reagensia,
radio farmasi, dan gas medis. Pengelolaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien
merupakan salah satu aspek yang menentukan untuk suksesnya program pengobatan
secara rasional. Pengelolaan Perbekalan farmasi rumah sakit mempunyai arti yang

108
sangat penting karena untuk belanja perbekalan farmasi ini menghabiskan sekitar 40-
50% dari biaya keseluruhan rumah sakit.
Salah satu pengelolaan perbekalan farmasi adalah penyimpanan. Penyimpanan
adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan
perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan dari fisik yang dapat merusak mutu obat (Dep Kes RI, 2008). Penyimpanan
obat/barang farmasi baik digudang farmasi, depo farmasi, apotik, ataupun diruang
perawatan pelayanan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Penyimpanan perbekalan farmasi bertujuan untuk memelihara mutu sediaan
farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga
ketersediaan, dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Menurut Kepmenkes
Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit ruang
penyimpanan harus memperhatikan kondisi, sanitasi, temperatur sinar/cahaya,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan
petugas yang terdiri dari :
Tabel 8. Kondisi umum dan khusus untuk ruang penyimpanan obat.
Kondisi Umum untuk ruang Kondisi Khusus untuk ruang
penyimpanan penyimpanan
Obat jadi Obat termolabil
Obat produksi Alat kesehatan dengan suhu rendah
Bahan baku obat Obat mudah terbakar
Alat kesehatan dan lain-lain. Obat/bahan obat berbahaya
Barang karantina

1. Standar Penyimpanan Obat


Standar penyimpanan obat yang sering digunakan adalah sebagai berikut
(Kemenkes, 2010). :
a. Persyaratan gudang

109
1.) Luas minimal 3 x4 m2
2.) Ruang kering tidak lembab
3.) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab
4.) Cahaya cukup
5.) Lantai dari tegel atau semen
6.) Dinding dibuat licin
7.) Hindari pembuatan sudut lantai atau dinding yang tajam
8.) Ada gudang penyimpanan obat
9.) Ada pintu dilengkapi kunci ganda
10.) Ada lemari khusus untuk narkotika

b. Pengaturan penyimpanan obat


1.) Menurut bentuk sediaan dan alfabetis
2.) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO
First Expire First Out adalah mekanisme penggunaan obat yang
berdasarkan prioritas masa kadaluarsa obat tersebut. Semakin dekat masa
kadaluarsa obat tersebut, maka semakin menjadi prioritas untuk digunakan.
First in First Out mekanisme penggunaan obat yang tidak mempunyai masa
kadaluarsa. Prioritas penggunaan obat berdasarkan waktu kedatangan obat.
Semakin awal kedatangan obat tersebut, maka semakin menjasi prioritas
untuk digunakan.
3.) Menggunakan almari, rak, dan pallet
4.) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika
5.) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan
penyimpanan pada suhu tertentu
6.) Dilengkapi kartu stock obat

c. Tata ruang

110
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan
pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan
baik. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangunan gudang
sebagai berikut:
1.) Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, gudang perlu ditata sebagai berikut:
a.) Gudang menggunakan sistem satu lantai, jangan menggunakan sekat-sekat
karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat,
perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan.
b.) Berdasrkan arah arus penerimaan dan pengeluaran perbekalan farmasi,
ruang gedung dapat ditata berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U,
atau arus L.

2.) Sirkulasi udara yang baik.


Salah satu faktor penting dalam merancang bangunan gudang adalah sirkulasi
udara yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang bhaik akan
memaksimalkan umur hidup dari perbekalan farmasi sekaligus bermanfaat dalam
memperpanjang dan memperbaiki kondisi kerja.
Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan mahal untuk ruang
gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin, apabila kipas
angin belum cukup maka ventilasi melalui atap

3.) Rak dan Pallet


Penempatan rak yang tepat dan menggunakan pallet akan dapat meningkatkan
sirkulasi udara dan perputaran stok perbekalan farmasi.
a.) Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir
b.) Peningkatan efisiensi penangan stok
c.) Dapat menampung perbekalan farmasi lebih banyak
d.) Pallet lebih murah daripada rak

111
4.) Kondisi penyimpanan khusus
a.) Vaksin memerlukan cold chain khusus dan harus dilindungi dari
kemungkinan putusnya aliran listrik
b.) Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan
selalu terkunci
c.) Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam
ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bagunan khusus terpisah dari gudang
induk

5.) Pencegahan kebakaran


Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan mudah terbakar, seperti dus,
karton, dll. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat yang mudah
dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Tabung pemadam kebakaran agar diperiksa
secara berkala, untuk memastikan masih berfungsi atau tidak.

2. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan


gudang
a. Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari
penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah
terbakar.
b. Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah
karyawannya sehingga banyak waktu nganggur yang merupakan biaya.
Demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga menimbulkan antrian di pusat
pelayanan (apotek, pbf, dan lain-lain) yang akan merugikan kedua belah
pihak. Harus dijaga komposisi, jumlah karyawan dan pembagian kerja yang
pas.

112
c. Pergunakan ruang tersedia seefisien mungkin. Baik dari segi besarnya ruangan
dan pembagian ruangan.
d. Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus
barang. Barang yang datang lebih dulu, harus dikeluarkan lebih dulu (metode
FIFO) dan obat dengan expire date lebih dekat harus dikeluarkan lebih dulu
walaupun obat tersebut datangnya belakangan.

3. Sarana Prasarana Penyimpanan


Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk penyimpanan obat ialah untuk
memastikan obat berada dalam keadaan aman dan menghindari kemungkinan obat
rusak. Karena itu penyimpanan harus diatur agar tercapai tujuan tersebut dengan cara:
a. Mendesain struktur fisik gudang
b. Terdapat organisasi pengelola gudang
c. Memiliki prosedur pengeluaran obat dari gudang
d. Pengaturan efisiensi kerja gudang
e. Penyimpanan dan pengontrolan persediaan di unit-unit RS
f.Mengetahui keperluan (jumlah dan jenis obat) untuk setiap unit
g. Adanya penanganan khusus untuk obat yang stabilitasnya dipengaruhi suhu
Dalam menentukan struktur fisik gudang terdapat dua hal yang harus
diperhatikan yaitu jalur distribusi obat dan seleksi letak gudang dalam suatu instalasi
rumah sakit. Adapun jalur distibusi yang diperhatikan ialah jumlah dan penyebaran
unit, jumlah dan kapasitas fasilitas unit manajemen di tiap unit. Sedangkan untuk tata
letak gudang ialah letak gudang memudahkan distribusi obat dari gudang ke unit-unit
lain, jarak antara gudang dan unit-unit di RS, drainage serta ukuran ruangan yang
memadai dan aman.
Sarat desain gudang yang baik ialah jika pemindahan barang dapat dilakukan
dengan mudah, sirkulasi udara baik, lantai mudah dibersihkan, menempatkan obat
menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelayanan atau menurut abjad, obat
ditempatkan pada rak (menghemat tempat dan sirkulasi udara), tempat penyimpanan

113
khusus untuk bahan mudah terbakar, dilengkapi pemadam kebakaran dan sebaiknya
ada penjaga malam untuk menghindari pencurian obat.
Tabel 9. Jenis-jenis Gudang
Dilihat dari bentuknya gudang dibagi atas: Dilihat dari jenisnya gudang dibagi atas:
Gudang terbuka Gudang transit

Gudang semi terbuka Gudang serbaguna

Gudang tertutup Gudang pendingin

Gudang tahan api

Daerah penyimpanan dalam gudang adalah sebagai berikut :


a. Penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol
b. Penyimpanan pada suhu kamar dgn kelembaban terkontrol
c. Penyimpanan pada suhu dingin (0-8oC)
d. Penyimpanan terkunci (narkotik)
e. Penyimpanan utk barang mudah terbakar
Ada beberapa cara untuk mengklasifikasi stock agar memudahkan pencarian obat
yaitu berdasarkan
a. Kategori terapetik/farmakologi
b. Indikasi klinik
c. Alfabetis
d. Bentuk Dosis
e. Random bin
f. Penggunaan
g. Kode komoditas

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan


gudang adalah:

114
Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari
penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar,
sehingga sebaiknya dilengkapi dengan pemadam kebakaran dan penjaga malam.
Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya
sehingga banyak waktu terbuang yang merupakan biaya. Demikian juga sebaliknya,
kekurangan tenaga akan menimbulkan antrian di pusat pelayanan.
Pergunakan ruangan yang tersedia seefisien mungkin, baik dari segi besarnya ruangan
maupun pembagian ruangan.
Memelihara gedung dan peralatannya dengan sebaik mungkin, sirkulasi udaranya
baik, dan lantai mudah dibersihkan.
Penempatan obat menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelyanan, atau menurut
abjad dan obat ditempatkan pada rak (untuk menghem,at tempat dan sirkulasi udara).
Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang.
Barang yang datang lebih dulu harus dikeluarkan lebih dulu (metode FIFO) dan obat
dengan expired date lebih dekat harus dikeluarkan terlebih dulu walaupun obat
tersebut datang terakhir.
Adapun daerah penyimpanan obat dalam gudang dibagi menjadi lima yaitu
penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol, penyimpanan pada suhu kamar dengan
0
kelembaban terkontrol,penyimpanan pada suhu dingin (0-8 C), penyimpanan
terkunci untuk produk narkotika dan psikotropika, dan penyimpanan untuk barang
yang mudah terbakar. Untuk memudahkan petugas dalam mengambil persediaan
obat digudang maka sebaiknya stok obat dalam gudang disusun berdasarkan aturan/
urutan tertentu seperti kategori terapetik, indikasi klinik, alfabetis, bentuk dosis,
random bin, penggunaan, maupun berdasarkan kode komoditas (Quick, dkk.,1997).

4. Cara Penempatan Persediaan dalam Gudang


Terdapat 4 sistem penyimpanan obat dalam gudang yaitu (Quick,dkk.,1997):

115
a. Fixed Location
Fixed location yaitu penempatan Item obat ditempatkan pada tempat yang
tetap/sama, keuntungannya ialah lokasi tidak berpindah-pindah atau tetap, cukup
untuk menempatkan jumlah barang maksimal untuk setiap item, administrasi
persediaan relatif mudah. Akan tetapi kerugian dari fixed location ialah tidak fleksibel
jika ada perubahan jumlah order, jika ada tambahan item baru tidak ada tempat,
pencurian meningkat, kemungkinan ada tempat penyimpanan yang tidak terpakai.

b. Fluid Location
Penempatan persediaan di gudang yang dibagi dalam beberapa lokasi (diberi
tanda). Keuntungannya ialah ruang lebih efisien, lebih kecil 20-25% dari ruangan
fixed location. Diperlukan administrasi stock yang sempurna dan catatan tempat stok
harus selalu up to date.

c. Semifluid location
Adapun cara yang sering digunakan ialah kombinasi dari kedua sistem di atas.
Terdapat empat sistem penyimpanan perbekalan farmasi di dalam gudang yaitu
sebagai berikut :

d. Rak/shelves

116
Gambar 4. Contoh penyimpanan obat dalam rak/shelves
e. Floor pallet

Gambar 5. Contoh penyimpanan obat dalam floor pallet

117
f. Pallet racks

Gambar 6. Contoh penyimpanan obat dalam paallet racks


g. Block-stacked pallets

Gambar 8. Contoh penyimpanan obat dalam block-stacked pallets

118
5. Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan
Untuk dasar pemilihan sistem penyimpanan ialah
a. jumlah total barang yg disimpan
b. volume rata-rata dari masing-masing barang
c. ketinggian bangunan gudang
d. peralatan mekanik yang tersedia untuk mengambil.

6. Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory


Pengaturan tata ruang dan penyusunan inventory:
a. Gudang dapat ditata dengan model garis lurus,huruf U dan huruf L
b. Perhatian jenis/barang yang disimpan
c. Setiap jenis/kelompok disusun sesuai abjad
d. Jangan meletakkan barang langsung diatas lantai(sebaiknya diberi alas)
e. Gunakan lemari khusus untuk barang narkotika dan barang kelompok A
f. Susun barang dalam rak dan berikan nomor kode
g. Pisahkan penyimpanan obat dalam dan obat luar
h. Box/dus bekas dapat digunakan untuk menyimpan
i. Barang yang voluminous dapat disimpan dalam box besar sedang yang kecil
untuk menyimpan barang yang kaleng atau botol
j. Keluarkan barang dari box secekupnya
k. Bila satu box berisi bermacam-macam barang maka buat daftar isi box
tersebut

Setelah diperoleh gudang yang dikehendaki maka seluruh barang yang


disimpan harus dikelompokan dengan memperhatikan hal berikut:
 Kelompok/jenis barang
1. Barang mempunyai fungsi sejenis
2. sifat fisik seperti padat atau cair

119
3. Kondisi yang diperlukan untuk menjaga kualitas barang yang memerlukan
pendinginan selama penyimpanan atau yang mudah terbakar
4. Supplyer yang sama
 Tiap kelompok dibedakan menjadi :
1. Ukurannya berat atau bervolume besar
2. Tingkat pemakain baru atau fast moving,moderat atau slow moving
3. Kemudian dari masing-masing kelompok baru disimpan berdasarkan abjad
4. Lebih ekonomis apabila barang fast moving, berat dan voluminous
diletakkan didekat pintu.

Pengeluaran setiap barang harus memakai konsep first in first out(FIFO) atau
first expire frst out (FEFO). Pada dasarnya 2 konsep dimaksudkan untuk menjaga
sesuatu yang akan disalurkan dengan asumsi:
 Mutu setiap barang akan menurun selama penympanan makin lama barang disimpan
makin besar kemungkianan penurunan mutu
 Barang yang masuk terlebih dahulu tentunya makin cepat umur penyimpanannya

Penyusunan stok perbekalan farmasi


Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk
memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah berikut:
a. Gunakan prinsip FEFO dan FIFO dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu
perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang masa kadaluwarsanya
lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab
umumnya perbeklan farmasi yang datang lebih awal biasanya juga
diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih tua dan masa
kadaluarsanya mungkin lebih awal
b. Susun perbeklan farmasi dalam kemasan besar diatas pallet secara rapi dan
teratur

120
c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika
d. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara,
cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai
e. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan
perbekalan farmasi dalam denhan perbeklan farmasi untuk penggunaan luar.
f. Cantumkan nama masing-masing perbeklan farmasi pada rak dengan rapi
g. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan
perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing.
h. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu dilakukan
rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada dibelakang
sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kaduluwarsa habis.
i. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatktkan pada satu lokasi walaupun
dari sumber anggaran yang berbeda
2. Sistem Distribusi Obat
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel,
prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam
kegiatanpenyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada penderita. Sistem
distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat yang telah di-dispensing IFRS ke
daerah tempatperawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan
penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian dan ketepatan
personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan mutu obat (Siregar, 2004).

- Sistem Distribusi Obat Untuk Pasien Rawat Inap/Tinggal


Pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk penderita rawat
tinggal (PRT), yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individu sentralisasi
Resep individu adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita,
sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut yang disiapkan dan

121
didistribusikan dari IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada resep/order atas
nama PRT tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut (Siregar, 2004).
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispencing
dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian order/resep
tersebut di proses sesuai dengan kaidah “cara dispensingyang baik dan obat disiapkan
untuk didistribusikan kepada penderita tertentu”.
a. Keuntungan (Siregar, 2003)
i. Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi
keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita.
ii. Memberi kesempatan interaksi professional antara apoteker-dokter-perawat-
penderita.
iii. Memungkinakan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan.
iv. Mempermudah penagihan obat penderita.
b. Keterbatasan (Siregar, 2003)
Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada penderita.
Jumlah kebutuhan personil di IFRS meningkat.
Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di
ruang pada waktu konsumsi obat.
Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan
konsumsi.

122
Dokter Penderita

Interpretasi oleh ARS Resep/Order

Dikendalikan oleh ARS Disiapkan/diracik IFRS Konsumsi


Oleh
perawat

Pengendalian Perawat Ruang/ Perawat

Perawat Penyiapan Konsumsi


Kereta obat
Gambar 9. Sistem Distribusi Obat Resep Individual Sentralisasi (Siregar, 2003)

2 Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock)


Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, semua obat yang
dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali obat yang jarang
digunakan otau obat yang sangat mahal. Persediaan obat di ruang dipasok oleh IFRS.
Biasanya sekali seminggu personil IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu
menambah menambah persediaan obat yang persediaannya sudah sampai tanda batas
pengisian kembali . Obat yang di-dispensing dibawah sistem ini terdiri atas obat
penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan
menyeluruh dan order obat yang harus dibayar sebagai biaya obat. Obat penggunaan
umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan oleh
PFTdan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan

123
antiseptik, dan obat tidur. Biasanya obat ini dibayar sebagai bagian dari biaya
pelayanan perawatan. Obat yang harus dibayar tersedia pada tiap unit perawat dan
penderita yang menggunakannya akan membayarnya sebagai biaya obat(Siregar,
2003)
Definisi dari sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan
kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order
obat, yang disiapkan dari persdiaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil
dosis/ unit obat dari persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu
(Siregar, 2003).
Keuntungan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991) :
a. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita.
b.Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS.
c.Pengurangan penyalinan kembali order obat.
d.Pengurangan jumlah personil IFRS diperlukan.
Keterbatasan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991):
a. Kesalahan obat sangat meningkat karena order obat tidak dikaji oleh apoteker.
Di samping itu, penyiapan obat dan konsumsi obat dilakukan oleh perawat
sendiri, tidak ada pemeriksaan ganda.
b. Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat
terbatas. Pengendalian persediaan dan mutu, kurang diperhatikan oleh perawat.
Akibatnya penyimpanan yang tidak teratur, mutu obat cepat merosot, dan
tanggal kadaluarsa kurang diperhatikan sehingga sering terjadi sediaan obat
yang tak terpakai karena telah kadaluarsa.
c. Pencurian obat meningkat.
d. Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
e. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyimpanan obat
yang sesuai disetiap daerah perawatan penderita.
f. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat.
g.Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat.

124
Keterbatasan/kelemahan sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
sangat banyak. Oleh karena itu, sistem ini hendaknya tidak digunakan lagi. Dalam
sistem ini tanggung jawab besar dibebankan pada perawat, yaitu menginterpretasi
order dan penyiapan obat, yang sebetulnya adalah tanggung jawab apoteker.
Sekarang telah diperkenalkan sistem distribusi obat desentralisasi yang melaksanakan
sistem persediaan lengkap di ruang, tetapi dibawah pimpinan seorang apoteker. Jika
sistem desentralisai ini dilakukan, maka banyak kekurangan dari sistem distribusi
obat persediaan lengkap diruang akan dapt diatasi (Siregar, 2003).

Dokter Penderita

Interpretasi Perawat Resep/order Konsumsi oleh


perawat

Pengendalian oleh Perawat Persediaan Persediaan


Di ruang IFRS

Penyiapan Perawat Kereta obat Dikendalikan


Apoteker

Gambar 10. Sistem ditribusi obat persediaan lengkap di ruang (Siregar, 2003)

3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang


Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan distribusi
resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan
yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT
dengan masukan IFRS dan dari pelayanan keprawatan. Sistem kombinasi biasanya
diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan
adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan
biasanya adalah obat yang relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas.

125
Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004):
a. Semua resep/order individual dikaji langsung oleh apoteker.
b. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker – dokter –
perawat – penderita.
c. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita.
d. Beban IFRS dapat berkurang.
Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004):
a. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat
resep individu).
b. Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang).
4.Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS)
Sistem distribusi ini menggunakan istilah dosis unit yang digunakan di rumah
sakit berhubungan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan
kemasan tersebut. Obat dosis unit adalh obat yang diorder oleh dokter untuk
penderita, terdiri atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam
kemasn dosis unit tunggal dalam jumlah yang dikonsumsi saja.
Sistem distribusi obat dosis unit adalh metode dispensing dan pengendalian
obat yang dikoordinasi IFRS dalam rumah sakit. Akan tetapi, unsur berikut adalah
dasar dari semua sistem dosis unit, yaitu obat dikandung dalam kemasan unit tunggal,
di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih
dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan
penderita pada setiap waktu (Siregar dan Amalia, 2004).
Sistem distribusi obat dosis unit dapat dioperasikan dengan salah satu dari 3
metode dibawah ini, yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan kondisi suatu
rumah sakit. Sistem tersebut yaitu (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991):
a. Sistem distribusi obat dosis unit dapat diselenggarakan secara sentralisasi.
Sentralisasi dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita
rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Artinya, dirumah sakit itu

126
mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah
perawatan penderita.
b. Sistem disteribusi obat dosis unit desentralisasi dilakukan oleh beberapa
cabang IFRS di sebuah rumah sakit. Pada dasarnya sistem distribusi obat
desentralisasi ini sama dengan sistem distribusi persediaan lengkap di ruang,
hanya saja sistem distribusi obat desentralisasi ini dikelola seluruhnya oleh
apoteker yang sama dengan pengelola dan pengendalian oleh IFRS sentral.
c. Dalam sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi dan
desentralisasi, biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani
cabang IFRS sentral.
Kalau sistem distribusi obat yang telah diurai sebelumnya dikenal sebagai sistem
tradisional, maka sistem distribusi obat dosis unit ini termasuk sebagai sistem yang
terbaru, meskipun sistem ini telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu.
Kelemahan dari sistem distribusi ini adalah kebanyakan rumah sakit lambat
menerapkannya, karena sistemini memerlukan biaya yang besar dan juga
memerlukan penigkatan jumlah yang radikal daristaf apoteker, apabila dibandingkan
dengan sistem tradisional (Anonim, 1991).
Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991):
1) Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar
hanya obat yang dikonsumsinya saja.
2) Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah disiapkan oleh IFRS,
jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat langsung
penderita.
3) Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/order
dokter dan membuat profil pengobatan penderita (P-3)oleh apoteker, dan
perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsikan. Jadi
sistem ini mengurangi kesalahan obat.
4) Peniadaan duplikasi order obat yang berlebih dan pengurangan pekerjaan
menulis di unit perawat dan IFRS.

127
5) Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita.
6) Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS.
7) Meningkatkan penggunaan personel profesional dan nonprofesional yang
lebih efisien.
8) Mengurangi kehilangan pendapatan.
9) Menghemat ruangan di unit perawat dengan meniadakan persediaan ruah
obat-obatan.
10) Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
11) Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS dirumah sakit secara
keseluruhan. Sejak dari dokter menulis resep/order sampai penderita
menerima dosis unit.
12) Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat,
kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi
penderita. Halini mengurangi kesempatan salah obat, juga membantu dalam
penelususran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat.
13) Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik.
14) Apoteker dapat dtang ke unit perawat/ruang penderita untuk melakukan
konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim sebagai upaya
yang diperlukan untuk perawatan penderita yang lebih baik.
15) Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan denganobat.
16) Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat
menyeluruh.
17) Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan
penjadwalan staf.

128
Dokter Penderita

IFRS: Rersep/Order Konsumsi Perawat


Interpretasi Obat
Apoteker
Profil
Pengobatan
Penderita (P-3)

Apoteker + Kereta
Perawat Cek Obat

Gambar 11. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Sentralisasi (Siregar dan Amalia,
2004)
5. Sistem Distribusi Obat Desentralisasi
Pelayanan Farmasi dessentralisasi terbukti selama ini merupakan suatu
rencana pelaksanaan penting guna mencapai keamanan dan keefektifan penggunaan
obat bagi penderita (Siregar dan Amalia, 2004).
Keuntungan (Siregar dan Amalia,2004)
1) Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsikan pada pasien.
2) Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik.
3) Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat.
4) Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang diterapkan
untuk penyerahan obat kepada penderita melalui perawat.
5) Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan dan dapat berbicara dengan
penderita secara efisien.
6) Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter da perawat.

129
7) Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan
penderita berkurang, karena tugas itu lebih banyak dilakukan oleh personel
IFRS desentralisasi.
8) Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan penderita
dicapai lebih efektif.
9) Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan
diberikan secara efisien.
10) Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik obat dan studi assesment
mutu terapi obat penderita
Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004)
Semua apoteker pratik klinik harus cakap bekerja secara efektif dengan asisten
apoteker dan teknisi.
Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan distribusi dan pelayanan
klinik. Waktu yang digunakan untuk bukan distribusi obat tergantung pada
ketersediaan asisten apoteker bermutu dan berkemampuan teknisi.
Pengendalian inventori obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf
berpraktik dalam lokasi fisik yang banyak.
Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan pustaka informasi obat, ” laminar
air flow”, lemari pendingin, rak obat dan alat untuk meracik.
Jumlah dan keakutan penderita menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat
melebihi kapasitas ruangan dan personil dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.

130
Dokter Penderita

IFRS: Rersep/Order Konsumsi Perawat


Interpretasi Obat +
IFRS Apoteker Apoteker
sentral Profil
Pengobatan
Penderita (P-3)

Apoteker + Kereta Satu wadah


Perawat Cek Obat

Gambar 12. Sistem distribusi Obat untuk Penderita rawat Tinggal


Persyaratan Sistem Distribusi Obat untuk penderita Rawat Tinggal
Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif sangat tergantung pada
desain sistem distribusi obat yang didisain dan dikelola baik harus didapat mencapai
berbagai hal sebagai berikut (Siregar, 2004) :
1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara.
2. Mutu dan kondisi obat/tetap stabil dalam seluruh proses distribusi.
3. Kesalahan obat minimal dan memberi keamanan maksimum pada penderita.
4. Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat minimal.
5. Efisiensi dalam penggunaan sumber, terutama personel.
6. Pencurian dan/atau hilang dapat minimal.
7. IFRS mempunyai akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian,
pemantaun dan penerapan pelayanan farmasi klinik.
8. Terjadinya interaksi profesional dokter-apoteker-perawat-penderita.
9. Pemborosan dan penyalahgunaan obat minimal.
10. Harga terkendali.

131
11. Peningkatan penggunaan obat rasional.
3.Sistem Distribusi Untuk Penderita Rawat Jalan
Lingkungan fisik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan bukan merupakan
faktor utama mengingat bahwa pelayanan kesehatan ini diberikan kepada pasien yang
rawat jalan, dan bukan yang dirawat di RS. Pasien rawat jalan berbeda dalam banyak
hal dengan pasien rawat inap, pasien yang dirawat di rumah sakit selalu dalam
lingkungan yang secara rutin diawasi dimana tanda-tanda penting yang terjadi juga
dicatat secara rutin, pengobatan dijadwal dan diberikan oleh tenaga medis tedidik
yang profesional, dan pasien ditempatkan pada suatu tempat yang khusus; sebaliknya
pasien rawat jalan biasanya berad dalam lingkungan yang tidak terkontrol sehingga
tanda-tanda penting yang terjadi diaantara waktu kunjungannya ke klinik tidak
dicatat, dan kadang-kadang mungkin obat yang digunakan pasien tidak teratur.
Dengan demikian jelas bahwa masalah yang berkaitan dengan pengobatan yang
dihadapi oleh pasien rawat inap di Rumah Sakit. Pasien rawat jalan seringkali harus
bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri. Di samping obat-obat yang ditulis
pada resep, pasien juga mungkin menggunakan obat lain yang dibeli dari Farmasi luar
atau dari para pengecer obat lain. Juga mungkin pasien menggunakan obat yang
diperoleh dari anggota keluarga atau teman. Tampaknya tidak seorang petugas
keshatanpun yang benar-benar mengetahui pengobatan pasien secara menyeluruh.
(Anonim, 1991)
Dihadapkan pada masalah demikian, disamping melayani9 resep dengan
benar, Farmasis harus menyediakan pelayanan farmasi yang diperluas yaitu
memberikan informasi kepada pasien agar lebih mengerti tentang obat-obat yang
mereka gunakan. (Anonim, 1991).
Lokasi Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Tidak ada aturan tertulis tetang area lokasi yang terbaik untuk Farmasi yang
melayani pasien rawat jalan. Namun ada 3 pembagian area lokasi yang sesuai yaitu
(Anonim, 1991):
Farmasi yang tersendiri untuk pasien rawat jalan.

132
Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang
pelayanannya dari loket yang sama.
Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang
pelayanannya dari loket terpisah.Pertimbangan paling penting adalah bahwa farmasi
untuk pasien rawat jalan hendaknya berdekatan dengan klinik untuk pasien rawat
jalan. Jika klinik untuk pasien rawat jalan harus dipisahkan juga dari Farmasi untuk
pasien rawat inap. Ini membutuhkan perencanaan untuk transportasi obat-obatan dan
pengiriman dari Farmasi pusat ke Farmasi untuk rawat jalan. Juga dibutuhkan staf
tambahan dan pengawasan manajemen yang semakin luas oleh direktur/ Kepala
Farmasi.
Prosedur Pelayanan
Meskipun pola pelayanan didalam melayani resep dan pelayanan pasien rawat jalan
tampak sama dengan pelayanan di Farmasi Umum, tetapi ada beberapa perbedaan,
khususnya jumlah yang besar pasien rawat jalan di Farmasi. Pada Rumah Sakit
maupun Farmasi umum, resep ditulis oleh dokter, dan pasien membawanya ke
farmasi/apotek dimana obat itu akan diberikan oleh farmasis. Jika harus menunggu
maka apotek/farmasi harus menggunakan kartu bernomor untuk mengenali pasien
dan mengerjakan resepnya. Setelah diterima oleh farmasi, resep dan label diberi
nomor dengan mesin. Petunjuk dan informasi lain yang berkaitan ditulis pada label.
Label tambahan, misalnya; kocok baik-baik, simpan dilemari es, dan sebagainya
ditambahkan, obat yang sesuai dimasukan dlam kontainer, diadakan pemeriksaan
untuk ketelitiannya dan akhirnya obat yang telah dibayar sebelumnya diberikan
kepada pasien.
Farmasi yang melayani banyak pasien rawat jalan harus menggunakan
prosedur ban berejalan (assembly line). Seorang menerima resep dari loket
penerimaan, orang lain mengetik label dan menyerahkan pada orang lain yang sedang
melayani obat untuk resep tersebut dan orang lain lagi yang menyerahkan obat yang
telah selesai kepad pasien melalui loket pengambilan. Meskipun prosedur ini
memepercepat dalam pelayanan, kesalahan bisa terjadi jika tidak dilaksanakan

133
pemeriksaan yang benar. Penggunaan tenaga nonprofesional dapat dimasukan dalam
prosedur ’ban berjalan’ ini, tetapi telah terjadi perdebatan mengenai apa tugas yang
dapat dilaksanakan oleh tenaga non farmasis tersebut. Di beberapa daerah, hal ini
diatur oleh badan pengatur lokal dan regional. Pada umumnya disetujui bahwa tenaga
non profesional dapat mengetik label pada obat, namun dari segi keamanan pasien
adalah suatu pelayanan yang baik jika Farmasis sendiri yang menerima resep dari
pasien dan mendiskusikan informasi yang penting mengenai obat tersebut sebelum
dimulainya prosedur ’ban berjalan’ tersebut. Demikian pula sebaiknya Farmasis yang
menyerahkan obat yang telah selesai kepada pasien dan menerangkan petunjuk serta
informasi peringatan lainnya (Anonim, 1991).
Disamping prosedur ’ban berjalan ’ ada dua sistem lagi yang sangat
mempercepat seluruh pelayanan obat untuk pasien rawat jalan dan juga mengurangi
kebutuhan staf. Sistem itu adalah: Sistem pelayanan farmasi yang dengan ketat
mengikuti Formularium Rumah Sakit dan sistem pelayanan farmasi program
pengemasan awal yang efisien.
Dengan menggunakan sistem Formularium Rumah Sakit, staf medis harus
disadarkan bahwa farmasi hanya akan melayani satu merek untuk setiap obat, dan
bahwa hanya akan disediakan obat-obat pokok dalam jumlah minimal untuk tiap
kategori pengobatan. Setelah standarisasi formularium tercapai, maka akan berjalan
bersama program pengemasan. Obat-obat tertentu dalam jumlah yang banyak akan
ditulis sebagai produk yang sama dalam jumlah yang relatif kecil, dan obat-obat ini
harus dikemas di farmasi. Disamping itu, jumlah obat standar yang spesifik harus
ditentukan oleh Komite Farmasi dan Terapi. Contoh, mungkin ditentukan bahwa 30
kapsul dari jenis multivitamin untuk satu bulan pengobatan atau 12 kapsul dari 1 jenis
antibiotika utuk satu masa pengobatan tang dibutuhkan untuk mengobati infeksi.
Setelah ditentukan, maka daftar obat yang biasa digunakan dengan jumlah kemasan
harus dipasang untuk setiap ruang klinik. Dokter harus menulis resep dengan jumlah
tersebut dan Farmasi harus mempunyai persediaan kontainer obat-obatan tersebut
yang sudah dikemas, sehingga dengan demikian meniadakan prosedur menghitung

134
dan menuang obat saat melayani resep, dan hanya perlu menempelkan label obat pada
kontainernya saja. (Anonim, 1991).

Pelayanan Farmasi yang Diperlukan


Selain pelayanan yang telah disebutkan sebelumnya, Farmasi yang melayani
pasien rawat jalan dapat memberikan pelayanan-pelayanan berikut sesuai dengan
waktu da staf yang ada (Anonim, 1991):
a Penyuluhan Pasien (counselling)
Ruang khusus untuk penyuluhan dapat digunakan dan disediakan bagi para
pasien yang mempunyai masalah berkaitan dengan obat-obat tertentu seperti
misalnya pasien yang menggunakan banyak macam obat atau menderita
penyakit tertentu dan obat-obat dengan penggunaan khusus, misalnya inhaler, insulin
dan lain-lain.
b Pendidikan Pasien (Education)
Karena farmasis sangat mengenal obat-obatan, maka sewajarnya jika
pengetahuan tentang obat-obatan dapat diberikan pada pasien yang sangat mungkin
sekali menerima pengobatan yang berbahaya karena adanya jadwal pengobatan yang
kacau atau cara pemberian obat yang lain dari biasanya. Misalnya program untuk
edukasi para penderita hemofili untuk menggunakan obat sendiri dirumah.
c Membuat lembaran riwayat pasien dan pengobatan/catatan farmasi
Seperti yang telah ditulis dalam bagian pengobatan untuk pasien, Farmasis
dapat membuat catatan mengenai riwayat pengobatan untuk pasien rawat jalan. Cara
ini memungkinkan farmasis mengevaluasi seluruh langkah pengobatan pasien yang
sangat penting sekali untuk pasien rawat jalan yang secara rutin membeli obat di
Farmasi tersebut.
d Menyediakan Informasi obat-obatan

135
Farmasis dapat menyediakan informasi tentang obat-obatan secara umum yang
akan membantu pasien untuk lebih mengerti tentang obat mereka dan bagaimana
penggunaannya.
e Peduli dan Merujuk/merekomendasikan
Farmasis yang melayani pasien rawat jalan selalu bertatap muka dengan
pasien pada waktu melayani resep, memberikan penyuluhan pada pasien atau
memberikan pelayanan perawatan. Selama tatap muka dengan pasien ini mungkin
diketahui bahwa pasien mengalami kondisi yang tidak terdeteksi/diketahui
sebelumnya, misalnya mempunyai penyakit akut yang membutuhkan perawatan atau
memerlukan bantuan dokter dengan segera. Gejala seperti diabetes, infeksi
streptokokal, atau infark miokardial mungkin dapat diketahui dari keluhan-keluhan
ringan yang dikemukakan pasien kepada farmasis. Farmasis yang mengetahui gejala-
gejala tersebut dapat segera menganjurkan pasien ke unit gawat darurat untuk
pemeriksaan.
Secara umum, pedoman pelayan farmasi untuk pasien rawat jalan di rumah
sakit mencakup:
a. Persyaratan Manajamen, meliputi:
1) Perencanaan; pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan harus dipimpin oleh
seorang apoteker yang berkompetensi, memiliki pengalamn dalam praktek dan
manajemen farmasi, yang bertanggung jawab menentukan sasaran juangka
panjang dan pendek, mengembangkan rencana, hingga laboran yang
berkaitan dengan pencapaian sasaran.
2) Pengelolaan staf; personil yang ditugaskan untuk pasien rawat jalan memiliki
pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi tugas mereka,
jumlah personel dan jadwal kerja staf diatur sedemikian rupa agar dapat
memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit.
3) Pengelolaan Unit Pelayanan Penderita Ambulatori (UPPA); UPPA sebagai
cabang dari IFRS harus selalu dipantau pengelolaanya oleh IFRS sentral

136
mengenai pelayanan, pengelolaan keuangan, serta kepatuhan pada standar
yang berlaku.
b. Persyaratan fasilitas dan peralatan
1) Apotek RS harus memiliki lokasi yang mudah dicapai oleh pasien. Ruangan
dan peralatan dalam jumlah dan jenis yang memadai untuk melaksanakan
fungsi profesional dan administrasi.
2) Tersedia ruangan bersifat pribadi untuk konsultasi, serta ruangan dan sumber
yang memadai untuk pelayanan informasi obat.
3) Sebaiknya memiliki sumber pengolahan data yang telah memadai atau
berkomputerisasi untuk memudahkan dalam mengakses.
4) Harus menyediakan ruang tunggu yang nyaman bagi penderita.
c. Persyaratan pengolahan resep
1) Dispencing dilakukan oleh apoteker atau dibawah pengawasan apoteker.
2) Apoteker harus mengkaji ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, serta jumlah obat.
3) Etiket ditulis secara benar, lengkap, dan jelas.
4) Obat harus disiapkan tepat waktu dengan cara akurat.
5) Pemberian informasi atau edukasi pada pasien baik secara lisan atau tertulis.
Apoteker harus memastikan pasien menerima dan mengerti semua informasi
yang diperlukan untuk penggunaan obat yang tepat.
d. Pedoman operasional lain
1) Penetapan jam kerja sesuai dengan kebutuhan pasien rawat jalan.
2) Ketaatan pada formularium rumah sakit.

3. Sistem Farmasi Satu Pintu


Pelayanan “Farmasi Satu Pintu” berarti tanggung jawab pelayanan
kefarmasian sepenuhnya dilakukan oleh farmasi rumah sakit (RS) atau Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Yang dimaksud dengan sistem satu pintu menurut UU
No. 44 tahun 2009 pasal 15 ayat 3 adalah bahwa rumah sakit hanya memiliki satu

137
kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan, dan
pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan
untuk mengutamakan kepentingan pasien.
IFRS memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab terhadap obat yang
beredar di RS, serta dalam pengelolaan perbekalan farmasi, berkewajiban mengelola
obat secara berdaya guna dan berhasil guna, berkewajiban melaksanakan
pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit.
Proses pelaksanaan sistem pelayanan kefarmasian satu pintu, meliputi :
1) Pemahaman tentang tanggungjawab kepada pihak internal IFRS bahwa
Instalasi Farmasi bertanggung jawab atas semua obat yang beredar di rumah
sakit.
2) Commitment Building : Memberikan yang terbaik untuk pelanggan, pelayanan
bebas kesalahan (Zero Defect), pelayanan bebas copy resep (terlayani semua
di rumah sakit).
3) Membangun kekuatan internal RS terhadap pesaing farmasi dari luar dan
mewujudkan keterikatan terhadap pelayanan farmasi RS dengan penyediaan
dana gotong royong seluruh jajaran RS.
4) Pemberdayaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).
5) Penerapan sistem formularium RS.
6) Penerapan satu SOP (Sistem Operasional Pelaksanaan) penulisan resep.
7) Resep wajib dikirim ke IFRS untuk dilakukan skrining dan validasi.
8) Penerapan SIM (Sistem Informasi Manajemen) farmasi.
Dalam pengorganisasian IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) sebagai salah

satu revenue centre RS harus mendapatkan dukungan dan diselaraskan dengan

strategi RS. Hasil penelitian yang dilakukan Satibi dkk. (2008a) di IFRS “SG” yang

tidak menerapkan pelayanan farmasi satu pintu berdampak pada penurunan

kinerjanya. Hasil kinerja IFRS “SG” yang tidak melaksanakan pelayanan farmasi satu

138
pintu seperti terlihat dalam Tabel 13. Kinerja IFRS “SG” yang rendah merupakan

salah satu dampak dari kebijakan rumah sakit dalam melaksanakan strategi aliansi.

Kebijakan ini menyebabkan banyak pihak ketiga (4 apotek diluar IFRS) masuk dalam

memberikan pelayanan obat kepada pasien di RS. Kondisi ini sangat merugikan RS

dan khususnya IFRS.

Tabel 13. Kinerja IFRS “SG” yang tidak Menerapkan Pelayanan Farmasi Satu Pintu
dalam Organisasinya.
No. Indikator Nilai (%)
1. Keterjaringan pasien 9,06
2. Ketersediaan obat 30
3. Kepuasan pasien 70,9
Sumber: Satibi dkk, (2008a)

Dana merupakan masalah strategis dalam pengembangan pelayanan farmasi


bermutu. Dana untuk pengadaan obat selalu menjadi alasan yang dikemukakan RS
Pemerintah untuk membenarkan beroperasinya berbagai apotek swasta murni dan
apotek swasta milik RS sendiri. Hampir semua apotek ini tidak dibawah kendali
instalasi farmasi sehingga mutu keamanan penderita dan harga obat diluar kendali
instalasi farmasi. Keadaan ini tidak kondusif untuk melakukan pelyanan farmasi yang
bermutu dan berspektrum luas. Oleh karena itu, pelayanan farmasi dengan satu pintu
mutlak dilaksanakan, yaitu instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal perbekalan
farmasi RS. Hal ini dikarenakan:
1. Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik
rawat jalan maupun rawat inap.
2. Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap
pakai bagi semua pihak di RS, baik petugas kesehatan maupun pasien.

139
3. Farmasi RS bertanggung jawab atas pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS
(mengacu pada akreditasi RS dan SK Dirjen Yanmed no.
0428/YAPI/LED/RSKS/K/1989), yaitu Bab II Pasal 9:
1) Sebagai penanggung jawab atas pengelolaan obat-obat di RS maka instalasi
farmasi RS berkewajiban dan harus mampu mengelola obat-obatan secara
berdaya guna dan berhasil guna.
2) Untuk tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) maka
pengadaan obat-obatan di RS didasarkan atas prosedur perencanaan yang
baik. Dalam nenyusun rencana pengadaan dan pengelolaan obat-obatan di RS,
instalasi farmasi menggunakan data pemakaian di lapangan yang berasal dari
semua unit instalasi RS.
3) Untuk dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelayanan
obat-obatan di RS, maka pelayanan obatan-obatan yang di RS harus melalui
sistem satu pintu.
4) Dengan sistem satu pintu sebagaimana di maksud pasal 9 ayat (3), maka unit
distribusi instalasi farmasi RS (apotek RS) secara bertahap harus difungsikan
sepenuhnya sabagai satu-satunya apotek RS yang berkewajiban
melaksanankan pelayanan obat-obatan di RS.
Istilah satu pintu itu sendiri berarti:
a. Satu kebijakan kebijakan, dimana kebijakan ini diambil oleh IFRS, maka
harus mengikuti kebijakan yang ada seperti formularium RS, tata laksana
obat, harga jual obat yang seragam, dan dalam penentuan distributor yang
tepat.
b. Satu SOP (Standart Operational Procedure), yang dibuat agar standar yang
diinginkan tercapai termasuk prosedur/instruksi kerja yang meliputi
pelayanan, pelaporan, monitoring, dan evaluasi.
c. Satu pengawasan operasional, dimana dalam pelayanan, pengadaan,
pengelolaan, dan seleksi obat dilakukan oleh suatu kontrol yaitu oleh IFRS.

140
d. Satu sistem informasi, dimana yang bertanggung jawab dalam masalah ini
adalah farmasi Rumah Sakit.

Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan


farmasi sistem satu pintu antar lain :
1. Jumlah unit pelayanan yang ada di Rumah Sakit. Hal ini berguna untuk
merencanakan jumlah dan letak outlet apotek.
2. Memperkirakan jumlah resep, baik jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam
kerja maupun reep diluar jam kerja.
3. Macam item obat yang diresepkan, untuk menentukan fast and slows moving
drug agar persediaan obat itu selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan
persediaan dana.
4. Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek, agar tercapai tepat
obat dan tepat waktu.
5. Tersedia tenaga farmasi klinik.

Tujuan Pelayanan Farmasi Satu Pintu


1) Menghindari resep keluar, dengan cara memiliki outlet apotek ditiap lantai,
menggunakan sistem “jemput resep”, fasilitas antar untuk jarak tertentu,
bekerja sama dengan poli rawat jalan.
2) Meningkatkan pendapatan IFRS dan Rumah Sakit, sehingga meningkatkan
kesejahteraan pegawai.
3) Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan
umum, rawat jalan Askes, rawat inap umum/Askes, obat operasi dan
pelayanan obat masyarakat miskin dan sistem Jaminan Kesehatan nasional
(JKN)
4) Meminimalisasi pemberian obat yang tidak tepat waktu, dan
meminimalisasi medication error untuk keamanan dan keselamatan pasien.

141
5) Peningkatan pelayanan farmasi sesuai dengan standar yang berlaku
sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang ditetapkan, dan memuaskan
harapan konsumen.
6) Obat tersedia pada harga yang kompetitif dan memberi manfaat bagi RS.
Disamping itu, dengan tujuan penerapan farmasi satu pintu lainnya adalah:
1) Memudahkan monitoring penggunaan obat.
2) Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan
perencaan obat.
3) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian
4) Dapat melaksanakan pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua
ruang rawat.
5) Dapat dilaksanakannya pelayanan informasi obat dan konseling obat baik
bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap.
6) Dapat dilaksanakan Monitoring Efek Samping obat oleh Panitia Farmasi dan
Terapi.
7) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di rumah sakit, baik obat
generik, obat formularium, obat DPHO askes, dan lain-lain, sesuai program
instalasi farmasi serta Panitia Farmasi dan Terapi.
Keuntungan Pelayanan Farmasi Satu Pintu
1) Obat dan Perbekkes (perbekalan kesehatan) dikelola oleh tenaga
terlatih (Apoteker dan Asisten Apoteker).
2) Obat dan Perbekkes disimpan dan dikelola Instalasi Farmasi.
3) Fasilitas penyimpanan obat dan Perbekkes dipusatkan di satu tempat.
4) Menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pengadaan obat dan
perbekalan kesehatan.
5) Dapat mengoptimalkan tim perencanaan obat terpadu.
6) Memudahkan perencanaan obat, karena mengetahui jumlah kebutuhan
obat secara menyeluruh.

142
7) Pemegang program lebih fokus pada surveilence sehingga terjadi
peningkatan cakupan program.
8) Pencatatan dan pelaporan dapat terlaksana dengan baik, sehingga
memudahkan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian terhadap pelayanan perbekalan farmasi di rumah sakit.
9) Meningkatkan peran instalasi farmasi sebagai salah satu revenue
center bagi rumah sakit.
10) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian.
11) Meningkatkan pelayanan kefarmasian yang bertanggung jawab
kepada pasien (perlindungan konsumen).
12) Menunjang pelayanan farmasi klinik dan asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) yang komprehensif secara langsung.
13) Membantu usaha pengontrolan peresepan dalam rangka perbaikan
formularium rumah sakit, pedoman diagnosis, terapi, monitoring efek
samping obat, dan pelayanan Informasi Obat dan Konseling Obat.
14) Memudahkan pelaksanaan visite/ konsultasi farmasi di bangsal secara
rutin dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan obat.
15) Rumah sakit dapat secara langsung mengelola seluruh pemasukan
rumah sakit yang berasal dari pelayanan kefarmasian untuk menutupi
biaya operasional rumah sakit dan peningkatan mutu SDM.
16) Dengan melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu, berarti suatu
rumah sakit telah melaksanakan persyaratan standar akreditasi rumah
sakit, UU Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
dan kebijakan pemerintah.
17) Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke
semua ruang rawat.
18) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat
generik, obat formularium, obat Askes dan lain-lain sesuai dengan
program IFRS serta PFT.

143
19) Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan perbekalan farmasi
(keselamatan pasien).
20) Kemudahan akses data perbekalan farmasi yang akurat.

Adapun metode lain yangt bisa diterapkan untuk mencegah resep keluar dari
IFRS selain dengan pemilihan sistem distribusi yang tepat dan sistem satu pintu
adalah:
a. E-pescribing (peresapan elektronik)
Yaitu penggunaan komputer dan/atau personal digital assistants (PDAs)
untuk menulis resep.Penerapan sistem ini di rumah sakit diyakini cukup
efektif dalam upaya mencegah resep keluar dari rumah sakit yang
bersangkutan. Dengan diterapkannya sistem ini maka pasien akan menebus
resep hanya di apotek rumah sakit tersebut. Agar tidak mengurangi hak-hak
pasien maka pasien tetap menerima resep dalam bentuk print out bersamaan
dengan dispencing obat. Metode e-prescribing, selain meningkatkan
keterjaringan pasien membeli obat di IFRS juga mampu menekan angka
kejadian medication error sampai 60%. Menekan kejadian medication error
dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) menjadi hal
yang paling utama dibanding pertimbangan lainnya.
b. Pembayaran terpadu
Yaitu biaya dokter, biaya laboratorium, radiologi dan obat serta biaya yang
lainnya dijadikan satu dengan mendirikan depo farmasi dan loket pembayaran
disekitar poloklinik di rumah sakit. Keuntungan dari strategi ini adalah lebih
praktis dan efektif dalam mencegah resep keluar, serta biaya operasional yang
dibutuhkan lebih kecil.
c. Jemput resep
Yaitu adanya tenaga kerja dari IFRS yang bertugas mengambil resep dari
dokter praktek di poliklinik untuk dibawa ke IFRS dan dilayani disana. Dapat
juga dilakukan oleh perawat masing-masing poliklinik yang mengantarkan

144
resep ke IFRS. Namun, sistem ini kurang etis karena melanggar hak pasien
dalam menebus resep, selain itu juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih
banyak. Upaya yang dilakukan agar tidak melanggar hak pasien adalah
dengan tetap menawarkan kepada pasien apakah resep yang diterima akan
dibeli di farmasi rumah sakit atau di apotek yang lain. Keputusan untuk
membeli obat dimanapun tetap menjadi hak sepenuhnya pasien.
d. Membangun outlet farmasi setiap lantai
Salah satu faktor dalam keputusan pasien membeli obat di RS adalah
kemudahan akses ke apotek/instalasi farmasi. Dalam upaya mendekatkan obat
dengan pasien dapat dilakukan dengan membangun outlet tiap lantai di RS.
Metode ini jelas membutuhkan fasilitas dan tenaga farmasi yang lebih banyak,
namun pasien lebih mudah dalam memperoleh obatnya.
e. Bekerjasama dengan poliklinik (pasien rawat jalan)
Instalasi Farmasi RS sebagai salah satu unit bisnis RS. Kerjasama antar unit
bisnis di RS menjadi salah satu faktor kunci keberhasilannya terutama adalah
dengan poliklinik dan ruangan atau bangsal. Resep yang masuk ke IFRS
adalah mayoritas dari poliklinik dan ruangan, sehingga alignment/keselarasan
antar unit bisnis ini sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan
keterjaringan resep/pasien RS.

145
BAB VII
PENGGUNAAN OBAT

Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara


umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional. WHO
memberikan definisi sebagai berikut : pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan
kliniknya, pada dosis yang tepat secara individual, waktu pemakaian terukur, dan
terjangkau harganya oleh pasien yang bersangkutan, atau masyarakat sekelilingnya
(Quick et al, 1997).
Secara biomedik, hal itu ditentukan oleh kriteria tepat obat, tepat indikasi,
obat sesuai mengenai khasiat, aman, cocok buat pasien yang bersangkutan, murah,
tepat dosis, tepat cara pakai, waktu pemakaian, tepat pasien, tepat dispensing
(termasuk pemberian informasi dan konseling), dan pasien patuh dan terikat pada
tindakan yang dilakukan untuk kepentingannya (Quick et al, 1997).
Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan bahwa
penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian baik/rasional
didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator tersebut
mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan obat generik,
dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/nasional (Zai, 2002).

Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter harus
memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang
farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko kimia obat yang diberikan.
Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses pelayanan
kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat

146
kepada pasien. Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu
penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 % disebabkan oleh penulisan resep yang
tidak esensial, dalam suatu survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit
dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat.
Yang dimaksud dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat
dengan senyawa kimia (obat lain atau makanan) di dalam tubuh maupun pada
permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja obat. Dapat terjadi peningkatan
kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak menimbullkan efek.
Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik dan
farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya
pengetahuan dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu
kurangnya pengetahuan dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan
farmakokinetik) suatu obat dapat mengakibatkan tidak rasionalnya penulisan resep
jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi. Mengingat bahwa masalah penulisan
resep yang tidak rasional ini dapat merugikan dan berbahaya bagi pasien
Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan dapat
menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu
pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan tersedianya
jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang baik. Terjadinya
penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan adanya pemberian
pengobatan yang belum didasarakan pada pedoman terapi yang telah ditetapkan,
kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan diagnosa yang tepat, info
yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepat dan tidajk
sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari pasien untuk meresepkan obat-
obat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah.
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di
banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan
telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.

147
Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat
umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing).

Dampak Negatif Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional


Obat adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan
untuk mempengaruhi atau menyedilidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Dengan demikian obat mencakup produk
biologi tidak termasuk mencakup obat.
Dalam hal ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan
pada obat esensial, sedangkan dari aspek jaminan mutu diberlakukan pada semua
jenis obat. Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan
kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi
secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut.
1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan
Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi
mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara
luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan
morbiditas penyakit-penyakit tertentu. Misalnya, kebiasaan untuk selalu
memberi antibiotik dan anti diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa
disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit) yang memadai, akan
berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas diare. Juga
pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus faringitis streptokokus (yang
disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak
negatif terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin
bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus.
2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisi-
kondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan,

148
baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang
memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar
atau bagi sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini
akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat
dengan nama dagang (branded) yang mahal, jika ada alternatif obat generik
dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam
pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat
Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh
pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada
masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian
obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis
(over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya
resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy,
1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang
nyata pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara
epidemiologik.
4. Dampak psikososial
Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan
memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu
tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan
pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena
terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi
lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh, karena
terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti aspirin secara terus-menerus akan
dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka profilaksi-profilaksi yang
lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok
lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya pada pemberian

149
profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan lalu
tidak diperhatikan secara ketat.
Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang
terperhatikan sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru
akan jelas kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampak-
dampak negatif lain yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa
kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah semata-
mata sesuatu yang teoritis saja.

Ciri Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional


Seperti diutarakan di muka, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak
rasional kalau manfaat yang didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko
yang disandang pasien atau biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas
pemakaian obat yang tidak rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang
diuraikan berikut,
1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik
tidak ada atau samar-samar.
2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak
sesuai.
4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih
besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan
potensi efek samping lebih kecil juga ada.
5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan
kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima
kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan
keamanannya masih diragukan.

150
8. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman
individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang
layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak
dapat dipastikan kebenarannya.
9. Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat
fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokter-
dokter yang mengklaim mempunyai cara-cara inkonvensional dalam
pengobatan.
Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak
kesemuanya dapat diuraikan disini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi
dan kriteria serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri
yang digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan
saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%)
dari pasien-pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan walau tidak jelas
indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut tingginya
pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik tidak
jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan
diatas.
Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan
seperti berikut (Quick et al, 1997),
1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih
mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan
yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang terlalu
berorientasi ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi obat-obat
yang lebih vital.
Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan
alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan mortalitas.

151
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama
pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga
peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat
dikategorikan dalam bentuk ketidak-rasionalan ini
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat
untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian
obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi
lain yang diderita bersamaan.
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih
kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja.
Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin
tanpa mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien
yang datang rata-rata akan menerima obat lebih dari 4 jenis per episode
kunjungan.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak
diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek.

Upaya intervensi dari sisi pengelolaan (managerial) mencakup,


a. Perbaikan sistim suplai, yakni dalam proses seleksi dan pengadaan obat,
misalnya dengan Daftar Obat Esensial, formularium rumah sakit, penelaahan
pemakaian obat (drug utilization review) sebagai umpan balik untuk para
penulis resep.
b. Sistim peresepan dan dispensing obat, meliputi penyediaan pedoman atau
protokol pengobatan di unit pelayanan, formulir resep khusus misalnya
dengan blangko R/ maksimal 2, audit terapi, dan lain-lain.
Upaya perbaikan dengan pendekatan peraturan atau regulasi (regulatory
strategies) kalau intervensi-intervensi tersebut diterapkan melalui aturan-aturan
formal. Kelebihan pendekatan ini oleh karena sedikit banyak bersifat mengikat,
sedangkan pendekatan pendidikan dan pengelolaan umumnya bersifat persuasif.

152
Sebagai contoh misalnya kebijaksanaan mengenai peresepan generik (generic
prescribing) yang diharuskan di unit-unit pelayanan pemerintah.
Upaya apapun yang diterapkan, untuk mengetahui apakah intervensi-
intervensi tersebut membawa hasil harus dilakukan evaluasi dengan parameter-
parameter yang sudah disepakati. Oleh karena sering terjadi, setiap intervensi begitu
saja diberikan tanpa ditelaah apakah efektif atau tidak.
Kriteria Kerasionalan
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing,
tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut:
a. ketepatan indikasi
b. ketepatan pemilihan obat
c. ketepatan cara pemakaian dan dosis obat
d. ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien/dan tindak lanjut
efek pengobatan.
e. Ketepatan harga
f. Waspada terhadap efek samping obat

Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik di mana


intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah diketahui
memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidakrasionalan pemakaian
obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak
jelas. Pertanyaan yang harus dijawab dalam kriteria indikasi ini adalah "Apakah obat
diperlukan?". Kalau ya, efek klinik apa yang paling berperan terhadap manfaat
terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi.
Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
a. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan
imbang dengan manfaat yang akan diperoleh.

153
b. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan
manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien
(affordable).
c. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
d. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
e. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan
manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mahal pada alternatif
yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. Cara pemakaian obat
memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian, besar dosis,
frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang
paling mudah diikuti oleh pasien dan
paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien benar-benar
memerlukan suntikan? Oleh karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi
umumnya tidak ada indikasi secara jelas, sering tidak memberikan kelebihan manfaat
dibandingkan alternatif pemberian lain, lebih besar dibanding per oral. Juga perlu
dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat
lebih dari satu. Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah
ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan
penyesuaian dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor
konsitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek
samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya.

Indikator Pemakaian Obat


Secara praktis untuk memantau pola penggunaan/peresepan obat secara umum,
telah dikembangkan indikator oleh International Network for the Rational Use of
Drugs (INRUD) dan WHO (WHO, 1993). Indikator ini dapat dipakai secara cepat
untuk menilai pola penggunaan obat di unit pelayanan, membandingkan antar unit,

154
atau dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan
obat lebih dari satu.
menilai perubahan sesudah suatu intervensi. Indikator ini sudah diujicobakan
di 12 negara berkembang dan terbukti dapat dipakai untuk tujuan pemantauan
tersebut (Hogerzeil et al., 1993). Isi dari indikator dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 14. Core drug use indicators (diambil dari How to Investigate Drug Use in
Health Facilities, WHO, 1993)
Prescribing indicators 1. Average number of drugs per
encounter
2. Percentage of encounters with an
antibiotic prescribed
3. Percentage of encounters with an
injection prescribed
5. Percentage of drugs prescribed from
essential drugs list of formulary.

Patient care indicators 6. Average consultation time


7. Average dispensing time
8. Percentage of drugs actually dispensed
9. Percentage of drugs adequately
labelled
10. Patients' knowledge of correct
dosage.

Facility indicators 11. Availability of copy of essential drugs


list or formulary
12. Availability of key drugs.

Indikator penggunaan dibagi menjadi 3 macam yaitu:


1) Indikator peresepan
a. Jumlah rata-rata obat tiap resep.

155
Tujuannya adalah untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasi
obat dihitung sebagai satu obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi
jumlah total produk obat yang diresepkan dengan jumlah obat yang
disurvei.
b. Persentase obat generik yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik. Peneliti
harus mengetahui kandungan obat yang sebenarnya digunakan dalam resep,
bukan hanya nama produk yang diresepkan (karena ada perbedaan antara
nama obat dengan jumlah zat aktif yang dikandungnya), dan harus ada daftar
obat apa saja yang termasuk generik.
c. Persentase antibiotik yang diresepkan
Indikator persentase resep dengan antibiotik digunakan untuk mengukur
penggunaan antibiotik secara berlebihan karena penggunaan antibiotik
secara berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan
peresepan.
d. Indikator Penggunaan obat yang bertujuan untuk mengukur aspek khusus
dari pasien dan penggunaan obat di rumah sakit atau unit pelayanan
kesehatan.
Indikator akan memberikan informasi kepada pimpinan unit pelayanan
kesehatan sehingga lebih mendalami tentang penggunaan obat, pola
peresepan, dan aspek penting lainnya yang dibutuhkan pasien. Hal
tersebut mencerminkan keadaan karakteristik penting dari pelayanan
kesehatan
e. Persentase injeksi yang diberikan
` Tujuannya untuk mengukur penggunaan injeksi yang berlebihan. Dalam hal
ini, imunisasi biasanya tidak dimasukan dalam perhitungan.
f. Persentase obat yang diresepkan dari daftar esensial atau formularium
Tujuannya untuk mengukur derajat kesesuaian praktek dengan kebijakan
obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan daftar obat esensial atau

156
formularium. Sebelumnya, tiap-tiap rumah sakit harus mempunyai kopi
daftar obat esensial atau formularium sehingga dapat dijadikan acuan dalam
penulisan resep serta dibutuhkan suatu prosedur untuk menentukan apakah
merek produk tertentu ekuivalen dengan bentuk generik yang ada pada
daftar obat atau formularium.

2) Indikator pelayanan farmasi


a. Rata-rata waktu konsultasi
b. Rata-rata dispensing time
c. Persentase obat yang diberikan
d. Persentase kelengkapan label obat
e. Pengetahuan pasien akan dosis yang tepat
3) Indikator fasilitas kesehatan
a. Ketersediaan copy daftar obat esensial atau formularium
b. Ketersediaan obat-obat kunci

Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien merupakan isu utama akhir – akhir ini baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Kepedulian praktisi klinis terhadap keselamatan pasien sangat
besar, hal ini ditunjukkan dengan pengambilan kebijakan dan melaksanakan berbagai
seminar, workshop dan pelatihan–pelatihan mengenai patient safety, risk
management, clinical audit, patient safety indicators.
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu
organisasi yang sangat kompleks karena padat modal, padat teknologi, padat karya,
padat profesi, padat sistem dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak
mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering
terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien.

157
Menurut laporan dari institute of medicine (IOM) (1999); To err is human,
building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi 44.000
sampai dengan 98.000 kematian setiap tahun akibat dari medical error yang
sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali lipat dari kematian akibat
kecelakaan lalu lintas.
Laporan dari IOM tersebut mengejutkan banyak kalangan dunia kesehatan,
bagamana bisa terjadi? padahal sejak masa sebelum masehi, Hippocrates (bapak
kedokteran modern) pernah mengungkapkan “ Primum non nocere” atau “First, do
no harm” (melayani tanpa harus membahayakan). Karena itu sejak ada laporan IOM
tersebut berbagai Negara mulai mengembangkan suatu gerakan yang disebut sebagai
Patient Safety (Keselamatan Pasien).
Lembaga kesehatan dunia (WHO) mendirikan lembaga World Alliance for
Patient Safety baru pada tahun 2004 dan Indonesia mulai gerakan keselamatan pasien
ini pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tanggal
1 Juni 2005 dan dicanangkannya gerakan Keselamatan Pasien secara nasional oleh
Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2005.
Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien
dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi
terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999),
medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed
as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim
(i.e., error of planning). Kesalahan yang terjadi dalam proses pelayanan medis ini
akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa
Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius
tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya : pasien terima suatu obat kontra

158
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis
lethal akan diberikan, tetapi staf farmasi mengetahui dan membatalkannya sebelum
obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan,
diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya).
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu
kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.

Gambar 13. Dampak medication error

Pengertian Patient Safety

Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat
pelayanan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Keselamatan pasien adalah
reduksi dan meminimalkan tindakan yang tidak aman dalam sistem pelayanan

159
kesehatan sebisa mungkin melalui pratik yang terbaik untuk mencapai luaran klinis
yang optimum.

Patient Safety menurut Quality Interagency Coordination Task Force adalah Upaya-
upaya yang dirancang untuk mencegah “adverse outcomes sebagai akibat “clinical
error”

Tiga kegiatan yang saling melengkapi dalam mewujudkan keselamatan pasien, yaitu:

a. Preventing errors (mencegah errors)


b. Making errors visible (membuat errors mudah dilihat)
c. Mitigating the effects of errors (meminimalkan akibat dari errors)

Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan


kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya
adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain
cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.

Gambar 14. Reason’s Adapted Organisational Accident Causation Model

160
Kesalahan dapat terjadi dalam tahap :

1. Diagnostik
a. Kesalahan atau keterlambatan diagnosa
b. Tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai
c. Menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai
d. Tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi
2. Pengobatan
a. Kesalahan pada prosedur pengobatan
b. Kesalahan pada pelaksanaan terapi
c. Kesalahan metode penggunaan obat
d. Keterlambatan merespon hasil pemeriksaan
e. Asuhan yang tidak layak
3. Preventive
a. Tidak memberikan terapi profilaksis
b. Monitor dan follow up yang tidak adekua
4. Lain-lain :
a. Kegagalan berkomunikasi
b. Kegagalan alat
c. Kegagalan sistem lain

161
Gambar 15. Faktor penyebab terjadinya medication error

Tujuan Patient Safety

Tujuan “Patient safety” adalah

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS

2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat

3. Menurunnya KTD di RS
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD

162
Gambar 16. Human Error Types : Review

Penyebab terjadinya KTD = Adverse event (Reason, 1997):

1. Tindakan yang tidak aman (unsafe act):

a. Human error

§ Slips : Error sebagai akibat kurang/ teralihnya perhatian atau salah


persepsi

§ Lapses : Error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/tidak ingat

§ Mistakes : Kesalahan yang terkait dengan proses mental dalam assessment


informasi yang terjadi, kesalahan dalam merencanakan asuhan,
kesalahan dalam menetapkan tujuan, kesalahan dalam
mengambil keputusan klinis.

b. Violation (pelanggaran) .e.g aborsi tanpa indikasi medis


c. Sabotase (Sabotase). E.g. : Mogok kerja.

163
2. Kondisi laten

a. Sistem yang kurang tertata yang menjadi predisposisi terjadinya error. e.g:
SOP tidak jelas, tata ruang yang tidak jelas.
b. Sumber daya yang tidak memenuhi persyaratan. (mal praktek) e.g.:
Termometer yang hanya punya satu untuk banyak pasien, dokter umum
melakukan Caesar/ appendektomi.

Dalam patient safety ditanamkan non blaming culture. Contoh bayi tertukar, Di
Negara kita masih bertanya, siapa yang jaga kemarin? Seharusnya yang menjadi
pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi?.

Dampak KTD terhadap pasien, ialah :


a. Aspek keuangan
b. Meningkatnya potensi terjadinya Medical error
c. Meningkatnya hazard exposure
d. Kehilangan kepercayaan

Structure and hazard. Contoh: naik pesawat itu hazard. Sehingga kita punya risiko
untuk jatuh.

Upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan risiko dapat dengan melakukan Risk
management yaitu upaya-upaya yang dilakukan organisasi yang dirancang untuk
mencegah cedera pada pasien untuk meminimalkan kehilangan financial sebagai
akibat adverse outcome. Risiko adalah kemungkinan bahaya, kehilangan atau cedera
dalam system pelayann kesehatan. Apa yang dilakuan, yaitu : correction (sesudah
terjadi) dengan menggunakan RCA (Analisis akar penyebab Root Cause Analysis),
corrective actions, preventive actions (sebelum terjadi) dengan menggunakan FMEA
(Failure mode and effect analysis). Risk Management safety merupakan identifkasi

164
dari kelemahan sautu system dan memperbaiki system tersebut untuk mencegah
harm, dengan tujuan safety.

Gambar 17. Risk Management Safety

Gambar 18. Tahapan Risk Management Process

165
Tahapan-tahapan risk managemen process/ adverse event management process
(hunter area health service clinical governance unit, August, 2003)

1. Risk identification –audits, complaints, claims and incidents

2. Risk analysis – saverty analysis (RCA dan FMEA)

3. Risk evaluation – risk registers action plan

4. Risk treatment – eliminate or minimize risk

5. Ongoing monitoring – Review the effectiveness of investigations and actors

6. Communication – communicate risks and the outcomeof investigations

Identifikaasi risiko

Analisis risiko

Evaluasi risiko

Perlakuan terhadap resiko

Monitoring berkesinambungan

Komunikasi
Gambar 19. Proses manajemen KTD

Terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi. Diperlukan saverty


assessment : untuk menentukan apakah hal tersebut;

166
(1) extreme risk,

(2) high risk,

(3) moderate risk,

(4) low risk.

Tergantung dari:

1. Saverity

a. ekstrim,
b. Major
c. moderate
d. minor
e. minimal

2. Probabilitas

a. Frequent (setiap minggu),


b. Propable, (beberapa kali dalam setahun)
c. Possible,
d. Uncommon
e. Rare

167
Gambar 20. Kajian kegawatan dalam Medication error
Tabel 15. Tingkat kegawatan dan frekuensi terjadinya medication error
Kegawatan
Tidak
Sangat Tidak
Kemungkinan Gawat Sedang Begitu
Gawat Gawat
Gawat

Sangat sering 1 1 2 2 3

Kemungkinan
1 1 2 3 3
besar
Mungkin 1 2 2 3 4
Sepertinya
1 2 3 4 4
tidak akan
Sangat kecil 2 3 3 4 4
1 = Extreme risk 3 = moderate risk
2 = high risk 4 = low ris

168
Analisis akar penyebab menggunakan Root Cause Analysis (RCA).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam RCA:

1. Investigasi kejadian
a. Menentukan masalah,
b. Mengumpulkan bukti-bukti yang nyata,
c. Melakukan wawancara,
d. Meneliti lingkungan kejadian,
e. Mengenali faktor-faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya kejadian,
f. Menggambarkan rantai terjadinya kejadian
2. Rekonstruksi kejadian
a. Mengenali kejadian-kejadian yang mengawali terjadinya adverse event
ataupun near miss,
b. Melakukan analisis dengan menggunakan pohon masalah untuk
mengetahui kegiatan atau kondisi yang menyebabkan timbul kejadian,
c. Lanjutkan sehingga dapat dikenali sistem yang melatarbelakangi
timbulnya kejadian atau sampai tidak beralasan lagi untuk melanjutkan
3. Analisis penyebab
a. Mengidentifikasi akar-akar penyebab,
b. merumuskan pernyataan akar masalah
4. melakukan penyusunan rencana tindakan
Menetapkan strategi yang tepat untuk mengatasi penyebab yang diidentifikasi,
dan dapat diterima oleh pihak yang terkait dengan kejadian.
5. Rencana tindakan disusun untuk tiap akar penyebab kejadian dan pengukuran
untuk menilai efektifitas tindakan terhadap akar penyebab
Dapatkan persetujuan dari kepemimpinan dalam Organisasi
6. Melakukan pencatatan dan pelaporan
a. mencatat proses dan alat yang digunakan

169
b. menghitung biaya yang dibutuhkan
c. membuat ringkasan kejadian
d. melakukan proses investigasi dan analisis
e. menghasilkan temuan/kesimpulan
Tabel 16. Dua puluh satu tahap dalam RCA

Failure mode and effect analysis (FMEA);


FMEA merupakan Suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur
secara rinci, dan mengenali model-model adanya kegagalan/kesalahan pada
suatu prosedur, melakukan penilaian terhadap tiap model
kesalahan/kegagalan, dengan mencari penyebab terjadinya, mengenali akibat
dari kegagalan/kesalahan, dan mencari solusi dengan melakukan perubahan
disain/prosedur.

170
Langkah-langkah FMEA, meliputi :
a. membentuk tim FMEA: orang-orang yang terlibat dalam suatu proses
b. menetapkan tujuan, keterbatasan, dan jadwal tim
c. menetapkan peran dari tiap anggota tim
d. menggambarkan alur proses yang ada sekarang
e. mengenali Failure modes pada proses tersebut
f. mengidentifikasi penyebab terjadinya failure untuk tiap model
kesalahan/kegagalan
g. menentukan apa akibat dari adanya failure untuk tiap model
kesalahan/kegagalan
h. melakukan penilaian untuk tiap model kesalahan/kegagalan:
1) Sering tidaknya terjadi (occurrence): (Occ)
0 : tidak pernah, 10 sangat sering
2) Kegawatannya (severity): (SV)
0 : tidak gawat, 10 sangat gawat
3) Kemudahan untuk terdeteksi: (DT)
0 : mudah dideteksi, 10 : sangat sulit dideteksi
i. menghitung Risk Priority Number (RPN) dengan mengkalikan: Occ x
SV x DT
j. menentukan batasan (cut-off point) RPN yang termasuk prioritas
k. menentukan kegiatan untuk mengatasi (design action/solution)
l. menentukan cara memvalidasi apakah solusi tersebut berhasil
m. menggambarkan alur yang baru dengan adanya solusi tersebut

Langkah-Langkah Pelaksanaan Patient Safety

Pelaksanaan “Patient safety” meliputi


1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for
Patient Safety, 2007), yaitu:

171
1) memperhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-
alike medication names)
2) memastikan identifikasi pasien
3) melakukan komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4) memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5) Kendalikan cairan elektrolit pekat
6) Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7) Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8) Gunakan alat injeksi sekali pakai
9) Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.

2. Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety


Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of
Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002) ,yaitu:

1. Hak pasien

Standarnya adalah Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk


mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk
kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
Kriterianya adalah:
1) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
2) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana
pelayanan
3) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan
yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana
dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien
termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2. Mendidik pasien dan keluarga

172
Standarnya adalah RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Kriterianya
adalah: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn
keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS
harus ada system dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Dengan
pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
1) Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
2) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3) Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
4) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
6) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah
RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriterianya adalah:
1) Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2) Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan
sumber daya
3) Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4) Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standarnya adalah
RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

173
menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta Keselamatan Pasien (KP).

Kriterianya adalah:

1) Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design)


yang baik, sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien Rumah Sakit”.
2) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi
hasil analisis
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah
1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program KP
melalui penerapan “7 Langkah Menuju KP RS ”.
2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi
risiko KP dan program mengurangi KTD.
3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan
koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang KP
4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja RS serta
meningkatkan KP.
5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja RS dan KP.
Kriterianya adalah
1) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien.

174
2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden,
3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen
dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk
asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada
orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk
keperluan analisis.
5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden,
6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
7) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar
unit dan antar pengelola pelayanan
8) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
9) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja
rumah sakit dan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya adalah
1) RS memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
2) RS menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriterianya adalah
1) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat
topik keselamatan pasien

175
2) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan
inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
3) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan


pasien.
Standarnya adalah
1) RS merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi KP
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.

2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriterianya adalah

1) Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses


manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien.

2) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi


untuk merevisi manajemen informasi yang ada

3. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS (berdasarkan KKP-RS


No.001-VIII-2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan


dan budaya yang terbuka dan adil”

Bagi Rumah sakit:

176
a. Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta,
dukungan kepada staf, pasien, keluarga
b. Kebijakan: peran dan akuntabilitas individual pada insiden
c. Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden
d. Lakukan asesmen dg menggunakan survei penilaian KP

Bagi Tim:

a. Anggota mampu berbicara, peduli dan berani lapor bila ada insiden
b. Laporan terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan
tindakan/solusi yg tepat
2. Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan
jelas tentang KP di RS anda”
Bagi Rumah Sakit:
a. Ada anggota Direksi yg bertanggung jawab atas KP
b. Di bagian-bagian ada orang yg dapat menjadi “Penggerak” (champion) KP
c. Prioritaskan KP dlm agenda rapat Direksi/Manajemen
d. Masukkan KP dlm semua program latihan staf
Bagi Tim:
a. Ada “penggerak” dlm tim utk memimpin Gerakan KP
b. Jelaskan relevansi dan pentingnya, serta manfaat gerakan KP
c. Tumbuhkan sikap ksatria yg menghargai pelaporan insiden
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem dan proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesment hal yg potensial
bermasalah”
Bagi Rumah Sakit:
a. Struktur dan proses manajemen risiko klinis dan non klinis, mencakup KP
b. Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko

177
c. Gunakan informasi dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko dan
tingkatkan kepedulian terhadap pasien
Bagi Tim:
a. Diskusi isu KP dalam forum-forum, untuk umpan balik kepada manajemen
terkait
b. Penilaian risiko pada individu pasien
c. Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, dan langkah
memperkecil risiko tersaebut.
4. Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada KKP-RS”
Bagi Rumah sakit:
Melengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dalam
maupun ke luar yg harus dilaporkan ke KKPRS – PERSI
Bagi Tim:
Dorong anggota utk melaporkan setiap insiden dan insiden yg telah dicegah
tetapi tetap terjadi juga, sbg bahan pelajaran yg penting
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara
komunikasi yg terbuka dengan pasien”
Bagi Rumah Sakit
a. Kebijakan : komunikasi terbuka tentang insiden dengan pasien dan keluarga
b. Pasien dan keluarga mendapat informasi bila terjadi insiden
c. Dukungan pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka
kepada pasien dan keluarga. (dlm seluruh proses asuhan pasien
Bagi Tim:
a. Menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarga bila telah
terjadi insiden
b. Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bila terjadi insiden
c. Segera setelah kejadian, menunjukkan empati kepada pasien dan keluarga

178
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda
utk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa
kejadian itu timbul”
Bagi Rumah Sakit:
a. Staf terlatih mengkaji insiden secara tepat, mengidentifikasi sebab
b. Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause
Analysis/RCA) atau Failure Modes dan Effects Analysis (FMEA) atau metoda
analisis lain, mencakup semua insiden dan minimum 1 x per tahun utk proses
risiko tinggi
Bagi Tim:
a. Diskusikan dalam tim pengalaman dari hasil analisis insiden
b. Identifikasi bagian lain yang mungkin terkena dampak dan bagi pengalaman
tersebut
7. Cegah cedera melalui implementasi system Keselamatan pasien, “Gunakan
informasi yg ada tentang kejadian / masalah utk melakukan perubahan pada
sistem pelayanan”
Bagi Rumah Sakit:
a. Menentukan solusi dengan informasi dari sistem pelaporan, asesmen risiko,
kajian insiden, audit serta analisis
b. Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf dan
kegiatan klinis, penggunaan instrumen yg menjamin KP
c. Asesmen risiko untuk setiap perubahan
d. Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
e. Umpan balik kpd staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden
Bagi Tim:
a. Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman
b. Telaah perubahan yang dibuat tim dan pastikan pelaksanaannya
c. Umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan

179
LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY
ADALAH
a. Di Rumah Sakit
1. Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit, dengan
susunan organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter, Anggota: dokter, dokter
gigi, perawat, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya.
2. Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan
internal tentang insiden
3. Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia
4. Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan
menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit.
5. Rumah sakit pendidikan mengembangkan standar pelayanan medis
berdasarkan hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan
standar-standar yang baru dikembangkan.
b. Di Provinsi/Kabupaten/Kota
1. Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-rumah sakit
di wilayahnya
2. Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya dukungan
anggaran terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
3. Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit

c. Di Pusat
1. Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2. Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3. Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke Dinas
Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan rumah sakit
pendidikan dengan jejaring pendidikan.

180
4. Mengembangkan laboratorium uji coba program keselamatanpasien.
Selain itu, menurut Hasting, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan
untuk mengembangkan budaya Patient safety ini

1. Put the focus back on safety


Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan
teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan
dan semua staf merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi
prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat
CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa
tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka
memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient
safety di dalam RS.

2. Think small and make the right thing easy to do


Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin
membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah
kompleksitas ini dan membuat langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan
memberikan peningkatan yang lebih nyata.

3. Encourage open reporting


Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah
pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus
membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang
membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan yang
menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa
menjadi pembelajaran bagi semua staf.

4. Make data capture a priority

181
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan
mengikuti perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data
mortalitas. Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan
manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.

5. Use systems-wide approaches


Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual.
Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf
juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan
dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak
diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan
yang terjadi hanya akan bersifat sementara.

6. Build implementation knowledge


Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan
metodologi, sistem berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah
jalannya program disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu
pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum
kedokteran dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah
menjadi bagian dalam budaya kerja.

7. Involve patients in safety efforts


Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat
memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi
akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam
komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari
masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab
ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang
tidak boleh kukerjakan?

182
8. Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan
data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan,
memotivasi staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu
hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim
yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan
pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan
konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan
komunikasi staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim
dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim
lainnya melalui kolaborasi yang erat.

Aspek Hukum Terhadap Patient Safety


Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut
UU Tentang Kesehatan dan UU Tentang Rumah Sakit
1. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a. Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
b. Pasal 32n UU No.44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
c. Pasal 58 UU No.36/2009
1) “Setiap orang berhak menuntut terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam Pelayanan kesehatan yang diterimanya.”

183
2) “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.”
2. Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a. Pasal 29b UU No.44/2009
”Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah
Sakit.”
b. Pasal 46 UU No.44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”
c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.”
3. Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
“Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian
pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “
4. Hak Pasien
a. Pasal 32d UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”
b. Pasal 32e UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c. Pasal 32j UU No.44/2009

184
“Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan”
d. Pasal 32q UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila
Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana”
5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009
1) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan.
3) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk
mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan
pasien. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi:
a. Assessment risiko
b. Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien
c. Pelaporan dan analisis insiden
d. Kemampuan belajar dari insiden
e. Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan resiko

Manajemen Patient Safety


Pelaksanaan Patient Safety ini dilakukan dengan system Pencacatan dan
Pelaporan serta Monitoring san Evaluasi.

185
Sistem Pencacatan Dan Pelaporan Pada Patient Safety
a. Di Rumah Sakit
1. Setiap unit kerja di rumah sakit mencatat semua kejadian terkait dengan
keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan
Kejadian Sentinel) pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
2. Setiap unit kerja di rumah sakit melaporkan semua kejadian terkait dengan
keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan
Kejadian Sentinel) kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada formulir
yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
3. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar penyebab masalah
semua kejadian yang dilaporkan oleh unit kerja
4. Berdasarkan hasil analisis akar masalah maka Tim Keselamatan Pasien Rumah
Sakit merekomendasikan solusi pemecahan dan mengirimkan hasil solusi
pemecahan masalah kepada Pimpinan rumah sakit.
5. Pimpinan rumah sakit melaporkan insiden dan hasil solusi masalah ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) setiap terjadinya insiden dan
setelah melakukan analisis akar masalah yang bersifat rahasia.
b. Di Propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah menerima produk-produk dari
Komite Keselamatan Rumah Sakit
c. Di Pusat
1. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) merekapitulasi laporan
dari rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya
2. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis yang
telah dilakukan oleh rumah sakit
3. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis
laporan insiden bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit
yang ditunjuk sebagai laboratorium uji coba keselamatan pasien rumah sakit

186
4. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan sosialisasi
hasil analisis dan solusi masalah ke Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI
Daerah, rumah sakit terkait dan rumah sakit lainnya.

Monitoring Dan Evaluasi


a. Di Rumah sakit
Pimpinan Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi pada unit-unit kerja di
rumah sakit, terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien di unit kerja
b. Di propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit di wilayah kerjanya
c. Di Pusat
1. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di rumah sakit-rumah sakit
2. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan minimal satu tahan satu kali.

187
BAB VIII
INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT

Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan


indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan
terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur dengan
indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya.
Indikator dibedakan menjadi :
1) Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk
mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan lingkungan.
2) Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk
mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang
diselenggarakan.

Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut :


1) Sesuai dengan tujuan
2) Informasinya mudah didapat
3) Singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi
4) Rasional
(DepKes, 2004)
Indikator pengelolaan obat menurut DepKes RI
Menurut Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI 2008
tentang Pedoman pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit, salah satu upaya
untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit
adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Kegiatan ini
juga bermanfaat sebagai masukan guna penyusunan perencanaan dan pengambilan
keputusan. Tujuan dari monev ini adalah meningkatkan produktivitas para pengelola
perbekalan farmasi di RS agar dapat ditingkatkan secara optimum. Indikator yang

188
dapat digunakan dalam melakukan monev pengelolaan perbekalan farmasi antara
lain:
1. Alokasi dana pengadaan
Dana pengadaan adalah besarnya dana pengadaan obat yang
disediakan/dialokasikan oleh pihak RS untuk memenuhi kebutuhan obat
pelayanan kesehatan di RS tersebut. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada
di RS berupa total dana pengadaan obat, dan kebutuhan dana pengadaan obat
yang sesuai dengan kebutuhan RS. Total dana pengadaan obat adalah seluruh
anggaran pengadaan obat uang berasal dari semua sumber anggaran. Idealnya,
dana pengadaan obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan sebenarnya.
Cara menghitung :

2. Biaya obat per kunjungan kasus penyakit


Adalah besaran dana yang tersedia untuk setiap kunjungann kasus. Data
dikumpulkan dari dokumen yang ada di RS berupa total dna pengadaan, serta
jumlah kunjungan kasus yang didapatkan dari kompilasi rekam medik. Dengan
diketahuinya standar biaya obat per kunjungan kasus dapat menjadi pedoman
dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat di tahun-tahun mendatang.
Idealnya, biaya obat yang dialokasikan per kunjungan kasus harus
memperhatikan parameter jumlah kunjungan kasus.
Cara menghitung :

3. Biaya obat per kunjungan resep


Merupakan besaran dana yang dibutuhkan untuk setiap resep (digunakan pada
waktu perencaaan obat) dan besaran dana yang tersedia untuk setiap resep
(digunakan setelah turunnya alokasi dana pengadaan obat). Dengan diketahuinya

189
biaya obat per resep dapat menjadikan pedoman dalam penetapan alokasi dana
pengadaan obat di tahun-tahun mendatang. Idealnya, besarnya dana yang
disediakan harus memasukkan parameter jumlah resep.
Cara menghitung :

4. Ketepatan perencanaan
Merupakan perencanaan kebutuhan nyata obat untuk RS dibagi dengan
pemakaian obat per tahun. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi
farmasi RS berupa : jumlah atau kuantum perencanaan kebutuhan obat dalam
satu tahun dan pemakaian rata-rata obat per bulan di RS yang didapatkan dari
laporan rekam medik. Tetapkan indikato untuk RS yang dibuat dengan
pertimbangan obat yang digunakan untuk penyakit terbanyak. Idealnya,
perencaaan kebutuhan adalah 100% dari kebutuhan baik jumlah dan jenis obat.

5. Persentase dan nilai obat rusak


Merupakan jumlah jenis obat yang rusak dibagi dengan total jenis obat. Data
dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi RS berupa : jumlah
jenis obat yang tersedia untuk pelayanan ksehatan selama satu tahun dan jumlah
jenis obat yang rusak dan harga masing-masing obat. Idealnya, persentase nilai
obat rusak dan kadaluarsa adalah 0 %.

6. Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA

190
Merupakan jumlah resep dengan antibiotik pada kasus ISPA non pneumonia
dibagi dengan jumlah seluruh kasus (lama dan baru) ISPA non pneumonia. Data
dikumpulkan dari self-monitoring peresepan.

Dari penelitian lainnya menetapkan beberapa indikator efisiensi untuk


pengelolaan obat di farmasi rumah sakit yang meliputi tahap perencanaan,
pengadaan, penyimpanan dan distribusi. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Perencanaan
Beberapa indikator yang digunakan dalam perencanaan adalah:
a. Persentase dana
Data diperoleh dengan cara penelusuran data, yaitu dana yang tersedia, dan
data kebutuhan dana secara keseluruhan berdasarkan metode konsumsi,
dikombinasi dengan efidemiologi, kemudian dihitung persentase dana yang
tersedia pada IFRS dibanding kebutuhan yang sesungguhnya. Nilai standar
persentase dana yang tersedia adalah ≥ 100%.
b. Penyimpangan perencanaan
Data yang digunakan adalah macam item obat, kemudian dihitung jumlah
item obat dalam perencanaan dan jumlah obat dalam kenyataan pakai. Nilai
standar batas penyimpangan perencanaan adalah20-30%.
2. Pengadaan Obat
Indikator-indikator dalam pengadaan obat di rumah sakit antara lain:
a. Frekuensi pengadaan tiap item obat
Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya dapat digolongkan
menjadi 3 kategori yaitu frekuensi rendah (<12), sedang (12-24), dan tinggi
(>24). Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi menunjukkan
kemampuan IFRS dalam mersepon perubahan kebutuhan obat dalam jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan obat saat itu. Pengadaan obat yang

191
berulang juga menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS merupakan obat
dengan perputaran cepat (fast moving). Banyaknya obat yang masuk
kedalam jenis slow moving dapat berarti kerugian bagi rumah sakit. Cara
analisanya yaitu dengan mengambil secara acak sejumlah kartu stok dalam
setahun, dicatat nama masing-masing obat, kemudian dilihat pada catatan
pengadaan selama tahun tersebut.
b. Frekwensi kesalahan faktur
Kriteria kesalahan faktur pembelian yang digunakan adalah adanya
ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam suatu item, atau jenis obat
dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian. Cara analisisnya adalah
dengan mengambil secara acak sejumlah faktur pembelian dalam setahun,
kemudian masing-masing faktur tersebut dicocokkan dengan surat pesanan.
Ketidaksesuaian faktur dengan surat pesanan dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan yaitu :
1) Tidak ada stok, atau barang habis di PBF, jadi barang yang dipesan pada
distributor atau PBF sedang mengalami kekosongan.
2) Stok barang yang tidak sesuai. Barang yang dipesan pada PBF isi dalam
kemasannya tidak baik atau rusak sehingga tidak digunakan.
3) Reorder atau frekuensi pe mesanan terl alu banyak, men
yebabkanpetugas bersangkutan tidak sempat untuk melakukan
pembukuandengan cermat
c. Frekwensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
telah disepakati.
Tingkat frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurangbaiknya
manajemen keuangan pihak rumah sakit. Hal ini dapat menunjukkan
kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit sehingga potensial
menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian hari. Besarnya
frekuensi tertundanya pembayaran IFRS terhadap waktu yang telah disepakati
dapat mengakibatkan :

192
1) Hubungan IFRS dengan pemasok terganggu
2) Penundaan pemesanan order oleh pemasok
3. Penyimpanan Obat
a. Persentase kecocokan antrara barang dengan kartu stok
Proses penco cokan harus dilakukan pada waktu yang samauntuk
menghindari kekeliruan karena adanya barang yang keluar a t a u m
asuk (adan ya transaksi). Apabila tidak dilakukan secara
bersamaan maka ketidakcocokan akan meningkat. Ketidakcocokanakan
menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan pelayanan
terhadap pasien
b. TOR (Turn Over Ratio)
TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1
tahun, selain itu dapat untuk meghitung efisiensi pengelolaan obat. Semakin
tinggi TOR, semakin efisien persediaan oba t . A p a b i l a T O R r e n d a h ,
bearti masih ban yak stok obat y a n g be lu m terjual
s e hi n g g a m e n g ak i b a t ka n o b a t m e nu m p u k d a n
berpengaruh terh adap keuntungan. TOR ada lah perbandingan
antara omzet dalam 1 tahun dengan hasil stok opname pada akhir
tahun. Standar umum TOR yang biasa digunakan yaitu 8-12 kali. Semakin
tinggi TOR semakin efisien pengelolaan obatnya.
c. Sistem penataan gudang
Sistem penataan gudang bertujuan untuk menilai sistem penataan obat di
gudang.
d. Persentase nilai obat yang kadaluarsa atau rusak
Persentase nilai obat yang kadaluarsa atau rusak masih dapat diterima jika
nilainya dibawah 1%. Besarnya persentase nilai obat yang kadaluarsa atau
rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan dan/atau kurang
baikn ya pengamatan mutu dalam penyimpanan, dan /atau perubahan
pola pen yakit atau pola peresepan dokter.

193
e. Persentase stok mati
Stok mati adalah stok obat yang tidak digunakan selama 3 bulan atau selama 3
bulan tidak terdapat transaksi. Kerugian yang disebabkan akibat stok mati
adalah perputaran uang yang tidak lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama
disimpan sehingga menyebabkan obat kadaluarsa.
f. Nilai stok akhir gudang
Untuk mengetahui stok akhir obat yaitu :
1) Stok berlebih
Adan ya stok berlebih akan meningkatkan pemborosan
dank e m u n g k i n a n o b a t m e n g a l a m i k a d al u a r s a a t a u r u s a k
da l a m pe n y i m p a na n . U n t u k m e n g a n t i s i p a s i a d a n y a o b a t m
e l a m p au i batas expire date, maka dilakukan distribusi berdasarkan
sistem FIFO atau FEFO. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
upayapengembalian obat kepada PBF atau menukar obat yang
hampir tiba waktu kadaluarsanya dengan obat baru.
2) S t o k k o s o n g
Stok kosong adalah jumlah stok akhir obat sama dengan nol.Stok obat
digudang mengalami kekosongan dalam persediaannyasehingga bila ada
permintaan tidak bisa terpenuhi. Faktor-faktor penyebab terjadinya stok
kosong antara lain:
a) Tidak terdeteksinya obat yang hampir habis, hal ini terkait dengan
ketelitian petugas dalam mencatat persediaan yang menipis.
b) Hanya ada persediaan yang kecil untuk obat-obat tertentu (slow
moving), maka ketika habis, tidak ada persediaan di gudang.
c) Barang yang dipesan belum datang, hal ini terkait d e n g a n w
a k t u t u n g g u ( l e a d t i m e ) d a r i P B F y a n g b e r b e d a - beda.

194
d) PBF mengalami kekosongan. Kadang-kadang hal ini terjadi karena PBF mengalami
kekosongan pengiriman dari industri farmasi, yang mengakibatkan pesanan tidak
dapat terpenuhi, akibatnya persediaan di IFRS juga kosong.
e) Pemesanan ditunda oleh PBF, hal ini terjadi jika
pembayaran/pelunasan utang ke PBF mengalami keterlambatan.
Biasanya PBF menunda pesanan IFRS sampai utang tersebut
dilunasi. Penundaan ini mengakibatkan IFRS mengalami stok
kosong.
4. Distribusi
Indikator-indikator distribusi obat :
a. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan
pasien, bertujuan untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan apotek
rumah sakit
b. Persentase obat yang diserahkan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan IFRS menyediakan obat yang diresepkan.
c. Persentase obat yang dibeli dengan benar, bertujuan untuk mengetahui
penguasaan peracik (dispenser) tentang informasi pokok yang harus ditulis
dalam etiket.
d. Persentase resep yang tidak bisa dilayani, bertujuan untuk mengetahui
cakupan pelayanan farmasi rumah sakit.
Sedangkan untuk pengelolaan obat pada tahap penggunaan sesuai dengan
indikator yang telah ditetapkan oleh WHO.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Beberapa macam indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat sebagai berikut :

Tabel 16. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap seleksi
Indikator Tujuan Cara menghitung Standar

Kesesuaian item Untuk mengetahui Hitung jumlah item obat (x) dan 76%
obat yang tersedia tingkat kepatuhan jumlah item obat yang tersedia (y).
terhadap pemakaian

195
dengan DOEN. (*) obat esensial. Persentase :

x
z = — x 100%
y

Tabel 17. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap pengadaan
Indikator Tujuan Cara menghitung Standar

a. Persentase a. Untuk mengetahui a. Hitung dana yang tersedia (x) 100%


modal/dana yang seberapa jauh kebutuhan dana yang
tersedia dengan persediaan dana sesungguhnya (y)
keseluruhan dana rumah sakit Persentase :
yang dibutuhkan. memberikan dana
(***) kepada farmasi. x
z = — x 100%
y

b. Untuk mengetahui b. Hitung total dana pengadaan obat


b. Persentase seberapa jauh dana (x) dan total anggaran rumah 30%-40%
alokasi dana yang diberikan sakit (y).
pengadaan obat. kepada farmasi Persentase :
(*) dibandingkan
dengan seluruh x
anggaran rumah z = — x 100%
sakit. y

100%
c. Untuk mengetahui c. Hitung jumlah item obat yang
c. Persentase seberapa besar ada dalam perencanaan (x) dan
kesesuaian ketepatan jumlah item obat yang ada dalam
pengadaan pemilihan obat kenyataan pakai (y). Persentase :
dengan kenyataan dalam pengadaan x
pakai untuk z = — x 100%
masing-masing y
item obat. (***)
Rendah
<12x/tahun
d. Untuk mengetahui d. Ambil kartu stock obat secara
d. Frekuensi Sedang 12-
berapa kali obat- acak kemudian diamati berapa
pengadaan tiap obat tersebut kali obat dipesan tiap tahunnya. 24x/tahun
item obat. (***) dipesan setiap Tinggi
tahunnya. >24x/tahun

0%
e. Untuk mengetahui e. Hitung jumlah faktur yang salah
e. Faktur kesalahan berapa kali (x) dan jumlah seluruh faktur
faktur. (***) terjadinya yang diterima (y).
kesalahan faktur.

196
Persentase :

x
z = — x 100%
y
f. Frekuensi f. Untuk mengetahui
tertundanya kualitas f. Amati daftar hutang dan 0%
pembayaran oleh pembayaran rumah cocokkan dengan daftar
rumah sakit sakit. pembayaran (x hari).
terhadap waktu
yang telah
ditetapkan. (***)

Keterangan : (*) Indikator Depkes RI (2008)


(***) indikator Pudjaningsih (1996)

Tabel 18. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap distribusi
Indikator Tujuan Cara menghitung Standar

a. Kecocokan a. Untuk mengetahui a Ambil 10% sampel kartu stock


antara obat ketelitian petugas obat, cocokkan dengan barang
dengan gudang. yang ada. Hitung jumlah item 100%
kartu stock. obat yang sesuai dengan kartu
(***) stock (x) dan jumlah kartu
stock yang diambil (y).

Persentase :
8-12 kali
x
z = — x 100%
y
b. Turn over
ratio. (***) b. Untuk mengetahui b Hitung omzet 1 tahun dalam
berapa kali HPP (x) rata-rata nilai 12-18 bulan
perputaran modal persediaan obat.
dalam 1 tahun.
Persentase :

x
c. Tingkat TOR = —
ketersediaan Y
obat. (**) c. Untuk mengetahui c Hitung jumlah stock obat (x)
kisaran kecukupan ditambahkan pemakaian obat
obat. selama 1 tahun (y) kemudian 0%
dibagi dengan rata-rata
pemakaian obat perbulan (z)
dikali 1 bulan.

197
Perhitungan :
x+y
q = —— x 1 bulan
d. Persentase z
nilai obat d. Untuk mengetahui d Dari catatan obat yang
yang besarnya kerugian kadaluwarsa dalam 1 tahun,
kadaluwarsa rumah sakit. hitung nilai (x) dan nilai stock
dan rusak. opname (y).
(***)
Persentase :

x
z = — x 100%
e. Persentase y
stock mati. e. Untuk mengetahui 0%
(*) item obat selama 3 e Hitung jumlah item obat
bulan yang tidak selama 3 bulan tidak terpakai
terpakai (x) dan jumlah item obat yang
ada stocknya (y).

Persentase :

x
z = — x 100%
y

Keterangan : (*) indikator Depkes RI (2008)


(**) indikator WHO (1993)
(***) indikator Pudjaningsih (1996)

Tabel 19. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap penggunaan

Indikator Tujuan Cara menghitung Standar

a. Jumlah item a. Untuk a. Ambil 10% sampel, Hitung jumlah total 1,8 - 2,2
obat tiap menggukur item obat yang ditulis pada resep (x) dan item obat
lembar resep. derajat jumlah lembar resep. Persentase /lembar
(**) polifarmasi. x resep
rata-rata : —
y

b. Persentase b. Untuk b. Dari laporan penulisan obat generik, 82-94%


resep dengan mengukur hitung jumlah item obat dengan nama
obat generik. kecenderunga generik (x) dan jumlah item obat yang
(**) n meresepkan diresepkan (y).
obat generik. Persentase :

198
z = — x 100%
y

c. Rata-rata
waktu yang c. Untuk c. Catat waktu resep masuk ke apotek (x) ≤ 60 menit
digunakan mengetahui dan catat waktu selesai diterima pasien untuk obat
untuk tingkat (y). Data dibedakan antara obat racikan racikan.
melayani kecepatan dan obat jadi.
resep sampai pelayanan z=∑ ≤ 30 menit
ke tangan farmasi rumah y–x untuk obat
pasien. (*) sakit.
jumlah resep yang masuk nonracikan
.
d. Persentase
d. Hitung jumlah item obat dengan etiket 100%
obat yang
yang berisi nama pasien dan aturan
diberi label d. Untuk pakai (x) dan jumlah item obat yang
dengan benar. mengetahui diberikan kepada pasien (y).
(**) penguasaan Persentase :
pengawasan
tentang
x
informasi
pokok yang
z = — x 100%
harus ditulis
pada etiket.
y

Keterangan : (*) indikator Depkes RI (2008)


(**) Indikator WHO (1993)

Indikator pengelolaan obat menurut who


Menurut WHO, untuk mengukur situasi pengelolaan pada tahap penggunaan
digunakan beberapa indikator, yaitu :
1. Jumlah rata-rata obat tiap resep
Tujuannya untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasiobat
dihitung sebagai 1 obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi
jumlah total produk obat yang dire sepkan dengan jumlah resep
yangdisurvei
2. Persentase obat generik yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik.

199
3. Persentase antibiotik yang diresepkan
Indikator peresepan resep dengan antibiotik digunakan untuk mengukur
penggunaan antibiotik secara berlebihan karena penggunaan antibiotik secara
berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan peresepan. Rata-rata
persentase penulisan resep dengan antibiotik di Indonesia adalah sebesar 43 %.
4. Persentase injeksi yang diresepkan
Tujuann ya untuk mengukur penggunaan inj eksi yang
berlebihan.Dalam hal ini, imunisasi biasanya tidak dimasukkan dalam
perhitungan.
5. Persentase obat yang diresepkan dari daftar obat esensial atau formularium
Tujuann ya untuk m e n gu k u r derajat kesesuaian praktek
d e n g a n kebijaksanaan obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan
daridaftar obat esensial atau formularium. Sebelumnya rumah sakit harus
mempunyai copy daftar obat esensial nasional atau formularium sehingga dapat
dijadikan acuan dalam penulisan resep.

Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 20 dibawah ini


Tabel 20. Indikator penggunaan obat
Indikator dan standar Cara menghitung
Jumlah rata-rata obat tiap resep (C) Kombinasi obat dihitung sebagai 1 obat.
Jumlah total produk obat yang diresepkan
Standar 1,8 – 2,2
(B), jumlah resep yang disurvey (A).

Indonesia 3,3
C = B/A
Persentase obat generik yang Total item obat generik yang diresepkan
diresepkan (E) (D), total item obat yang diresepkan (B).

Standar 82%-94% E = (D/B) x 100 %

200
Indonesia 59 %
Persentase antibiotik yang diresepkan Total pasien yang menerima satu atau lebih
(G) antibiotik (F), total jumlah obat (A)

Standar 27%-63 % G = (F/A)x100%

Indonesia 43 %
Persentase obat injeksi yang diresepkan Total pasien yang menerima satu atau lebih
(I) injeksi (H), total jumlah obat (A).

Standar 0,2%-48% I = (H/A) x 100%

Indonesia 17%
Persentase obat yang diresepkan Jumlah item obat yang diresepkan
berdasarkan daftar obat esensial atau berdasarkan daftar obat esensial atau
formularium (K) formularium (J), total item obat yang
diresepkan (B)
Standar 86%-88%
K = (J/B) x 100 %

201
BAB IX
MANAJEMEN SUPPORT DALAM MANAJEMEN OBAT

1. Human Capital
Saat sistem keuangan tidak dapat memberikan perangkat pengukuran yang
tepat, yang dibutuhkan profesional SDM, maka profesional SDM harus
mengembangkan cara mereka sendiri untuk menunjukkan peran mereka dalam
membentuk kinerja perusahaan. Langkah awalnya dengan mengesampingkan
anggapan bahwa SDM adalah pusat biaya utama. Para investor mengakui bahwa
kesempatan yang dimiliki oleh para manajer SDM adalah sebuah aset intangible, dan
mempunyai peran sebagai partner strategik (Becker dkk, 2001).
Disamping itu, persaingan global yang semakin intensif, deregulasi, dan
kemajuan teknik mencetuskan suatu ide-ide perubahan, yang telah membuat banyak
perusahaan tidak bisa bertahan hidup. Fenomena tersebut mengimplikasikan bahwa
praktik dan kebijakan manajemen SDM dapat memainkan suatu peranan penting
dalam mendorong kesetiaan karyawan tersebut dan membuat perusahaan mampu
menanggapi perubahan-perubahan secara lebih baik. Dessler (2000) menyatakan
bahwa dalam organisasi modern, SDM mempunyai peran baru, diantaranya: (1)
Pendorong produktivitas; (2) Membuat perusahaan menjadi lebih tanggap terhadap
inovasi produk dan perubahan teknologi; (3) Menghasilkan jasa pelanggan yang
unggul; (4) Membangun komitmen karyawan; dan (5) Semakin pentingnya SDM
dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi.
Penekanan tentang pentingnya SDM dalam organisasi merefleksikan
pandangan bahwa market value kurang tergantung pada aset wujud (tangible assets)
tetapi lebih tergantung pada aset nirwujud khususnya sumber daya manusia. Selain
merekrut dan mempertahankan karyawan yang baik, organisasi harus meningkatkan
skill dan kapabilitas karyawan dengan mendukung pembelajaran individual maupun
organisasional dan menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive
environment) dimana knowledge dapat diciptakan, dibagikan/ditukarkan (shared) dan

202
diaplikaskan (Sampurno, 2007a). Menurut Kaplan dan Norton, (2004) kerja tim,
pengetahuan dan kemampuan staf merupakan hal yang potensial dalam mendukung
strategi. Becker dkk, (2001) menambahkan bahwa SDM merupakan asset yang
strategis, dimana pondasi dari aturan strategik SDM meliputi 3 dimensi rantai nilai
yang disebut pola bangun SDM perusahaan yaitu fungsi, sistem dan perilaku
karyawan.
Dalam dunia global dan persaingan ketat dewasa ini, menciptakan keunggulan
bersaing dilakukan dengan kepemilikan SDM yang kompeten dan loyal. Keunggulan
bersaing dapat didefinisikan sebagai faktor apa saja yang dapat memungkinkan
organisasi untuk mendeferensiasikan produk atau jasanya dari produk atau jasa
pesaing guna meningkatkan market share. Ada pengakuan yang besar bahwa
kompetensi yang khas diperoleh melalui ketrampilan SDM yang benar-benar
dikembangkan, budaya organisasi yang khas, proses manajemen dan sistem (Dessler,
2000).
Kompetensi SDM merupakan kunci keberhasilan dalam organisasi.
Kompetensi SDM ini meliputi pengetahuan, kemampuan, ketrampilan dan
pengalaman dari karyawan dan manajer dalam melaksanakan tugasnya. Untuk
memperoleh SDM yang kompeten dapat dilakukan dengan identifikasi kebutuhan
SDM, proses seleksi yang tepat, memberikan pelatihan, motivasi, adanya komunikasi
yang baik, pembuatan kelompok kerja yang terkait dengan struktur organisasi, adanya
peran kepemimpinan dan perubahan organisasi yang relevan (Smith 1991).
Investasi SDM dalam bentuk pelatihan dan pengembangan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kinerja SDM (Esteves dan Caesano, 2010). Pelatihan
yang dilakukan kepada karyawan baru atau yang ada sekarang tentang ketrampilan
yang mereka butuhkan untuk melaksanaan pekerjaan mereka. Pelatihan dilakukan
terfokus pada ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan SDM
sekarang. Pengembangan SDM dan manajemen merupakan pelatihan yang bersifat
jangka panjang, arahnya adalah mengembangkan karyawan sekarang dan mendatang

203
untuk tugas-tugas masa depan dengan organisasi atau memecahkan masalah
organisasi (Dessler, 2000).
Peningkatan kapablitas human capital tidak hanya pada aspek explicit
knowledge tetapi yang lebih utama adalah tacid knowledge. Hal ini penting untuk
diperhatikan karena keunggulan kompetitif yang bersumber dari tacid knowledge
akan berkelanjutan (sustainable) dan sangat sulit untuk ditiru oleh pesaing (causal
ambiguity dan kompleksitas history (Sampurno, 2007)
Proses pengukuran kesiapan sumber daya manusia dimulai dengan
mengidentifikasi kompetensi yang dikehendaki dari setiap individu dalam melakukan
proses internal yang sangat berpengaruh dalam strategi map organisasi. Profil
kompetensi digambarkan dengan syarat kerja yang sangat terperinci. Perbedaan
diantara persyaratan dan kapabilitas yang ditunjukan sekarang adalah gap kompetensi
yang didefinisikan pada ketersediaan sumber daya manusia dalam organisasi.
Organisasi memasukan program pengembangan sumber daya manusia untuk
mengeliminasi gap (Kaplan dan Norton, 2004)

Sumber Daya Manusia IFRS

Mengacu pada standar pelayanan farmasi rumah sakit, KepMenKes no. 56 th

2014, Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan

tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan

Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan

klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas

tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan

peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (KepMenKes, 2014).

204
1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)

Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi

diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:

1) Apoteker

2) Tenaga Teknis Kefarmasian

b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:

1) Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian

2) Tenaga Administrasi

3) Pekarya/Pembantu pelaksana

Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan

kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan

jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya.

2. Persyaratan SDM

Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis

Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pelayanan Kefarmasian

harus di bawah supervisi Apoteker. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian

harus memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di

Instalasi Farmasi Rumah Sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

205
Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang

merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah

Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman

bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun.

3. Beban Kerja dan Kebutuhan

a. Beban Kerja

Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh

pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:

1) kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);

2) jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik dan

produksi);

3) jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor stock) per hari; dan

4) volume Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.

b. Penghitungan Beban Kerja

Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan

Kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan

pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat

penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian informasi

Obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan

rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan

beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan

farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep,

206
penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya

dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.

Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian rawat inap dan rawat jalan,

maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain

seperti di unit logistik medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit

pelayanan informasi Obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktivitas dan tingkat

cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Selain kebutuhan

Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan

juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk kegiatan Pelayanan Kefarmasian

di ruang tertentu, yaitu:

1. Unit Gawat Darurat;

2. Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus

Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU);

3. Pelayanan Informasi Obat;

Mengingat kekhususan Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit

gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis mengenai Pelayanan Kefarmasian

pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang akan diatur lebih lanjut oleh

Direktur Jenderal.

2. Information Capital
Sistem informasi adalah rangkaian orang, prosedur dan sumber daya yang
mengumpulkan, mengubah dan menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi dan
sebuah sistem yang menerima sumber daya sebagai input dan memprosesnya ke

207
dalam produk informasi sebagai output-nya (O’Brien, 2005). Sistem Informasi
Manajemen (SIM) adalah sistem informasi yang sudah terkomputerisasi yang bekerja
karena adanya interaksi antara manusia dan komputer (Kendall dan Kendall, 2006).
Definisi lain tentang SIM: Sistem informasi manajemen (SIM) dapat didefinisikan
sebagai sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi para pengguna
yang memiliki kebutuhan yang sama (Mc Leod dan Schell, 2004). SIM merupa
sistem manusia atau mesin yang menyediakan informasi untuk mendukung operasi,
manajemen dan fungsi pengambilan keputusan dari suatu organisasi. SIM merupakan
kumpulan sistem-sistem informasi, antara lain: sistem informasi akuntansi,
menyediakan informasi dari transaksi keuangan; sistem informasi pemasaran,
menyediakan informasi penjualan, promosi penjualan kegiatan-kegiatan pemasaran,
kegiatan-kegiatan penelitian pasar dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pemasaran; sistem manajemen persediaan; sistem informasi personalia; sistem
informasi distribusi; sistem informasi pembelian; sistem informasi kekayaan; sistem
informasi analisis kredit; sistem informasi penelitian dan pengembangan serta sistem
informasi teknik (Jogiyanto, 2005).
Sistem informasi berbasis komputer memiliki kelebihan dalam hal kecepatan
dan ketepatan. Ketepatan karena komputer dapat menyimpan serta mengelola data
dalam kapasitas yang besar, juga minimnya kesalahan yang dapat terjadi. Kecepatan
dapat dilihat dari otomatisasi yang mampu dilakukan oleh computer dengan
dukungan sistem yang tepat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Sistem
informasi berbasis komputer juga berguna bagi peningkatan kinerja user dalam hal
membantu mereka untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan mereka.
Karakteristik SIM menurut Kadir (2003) adalah:
a. Beroperasi pada tugas-tugas yang terstruktur, yakni pada lingkungan yang
mendefinisikan (prosedur operasi, aturan pengambilan keputusan dan
arus informasi) dengan tegas dan jelas.
b. Meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya

208
c. Menyediakan laporan dan kemudahan akses yang berguna untuk
pengambilan keputusan tetapi tidak secara langsung (manajer
menggunakan laporan dan informasi serta membuat kesimpulan-
kesimpulan tersendiri untuk melakukan pengambilan keputusan).
Menurut Alter, (1992), teknologi informasi mencakup perangkat keras dan
perangkat lunak untuk melaksanakan satu atau sejumlah tugas pemrosesan data
seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengambil, memanipulasi atau
menampilkan data. Menurut Indrajit (2000) teknologi informasi adalah suatu
teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses
penyaluran data/informasi dalam batas-batas ruang dan waktu. Penggunaan teknologi
informasi akan mempermudah kerja atau penyelesaian kerja yang dibebankan.
Dengan demikian, teknologi informasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
sistem informasi.
Portofolio modal informasi yang mendukung proses customer management
umumnya dimulai pada level transaksional dengan sistem customer relationship
management (CRM). Aplikasi level analitik menyediakan pengukuran kemampuan
menghasilkan profit dari pelanggan dan membantu dalam segmentasi pelanggan.
Aplikasi transformasi dapat berupa call center pendukung penjualan (Kaplan dan
Norton, 2006). Aplikasi modal informasi hanya dapat berfungsi jika didukung oleh
infrastruktur teknologi yang umumnya terbagi lewat multi aplikasi. Physical
infrastructure terdiri atas (Kaplan dan Norton, 2004) :
1) Aplikasi infrastruktur (seperti email, internet, mobile computing)
2) Manajemen komunikasi (jaringan broadband, intranet)
3) Manajemen data
4) Keamanan dan risiko
5) Manajemen channel (website, call center)
6) Manajemen fasilitas
Management infrastructure terdiri atas (Kaplan dan Norton, 2004):

209
1) Manajemen information technology (IT) (perencanaan information sistem
(IS), persetujuan level layanan, negosiasi supplier)
2) Architecture dan standar-standar (untuk data, komunikasi, teknologi)
3) Edukasi IT (training, manajemen edukasi)
4) IT Research and Development (emerging technology)
Menurut Oetomo (2002), dalam pengembangan sistem informasi perlu
diperhatikan:
a. efisiensi dan keefektifan, pola aliran data atau informasi harus skematis dan
sederhana, lengkap dan akurat. Sistem kontrol pada prosedur pemasukan data
harus diperketat agar tidak terjadi kesalahan dalam pemasukan data.
b. Prosedur pemasukan data sesingkat mungkin, hal ini perlu diperhatikan agar
sistem yang dihasilkan tidak menjemukan pada saat memasukkan data yang
diolah. Seorang perancang sistem harus memiliki wawasan luas agar dapat
menentukan solusi dalam bentuk prosedur pemrograman.
c. Sistem harus dapat mengoptimalkan Sumber Daya Manusia.
d. Sistem yang dibangun diharapkan dapat beradaptasi dengan perkembangan
ilmu teknologi dan dirancang secara dinamis sehingga bisa memberikan
fasilitas yang lengkap dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan dimasa depan.
e. Efisiensi pembiayaan, pembangunan sistem didasarkan pada perencanaan dan
perancangan yang matang akan menghemat biaya.
f. Integritas dan keamanan data, sistem baru harus memenuhi standar integritas
dan keamanan data. Penggunaan password bertingkat, pengacakan data,
pemampatan dan berbagai metode pengamanan data dalam sistem.
g. Interaktif, sistem yang baik harus dapat berinteraksi dengan user dan mudah
dipahami. Perancangan sistem perlu memikirkan aliran informasi,, pemodelan
interface yang interaktif. Kesulitan utama adalah mengidentifikasi,
menyeleksi dan menyusun komponen sistem yang sesuai dengan user. Para
analis harus dapat menentukan titik temu untuk menentukan simbol , formulir
dan sebagainya.

210
3. Organizational Capital
Pengorganisasian sumber daya, tipenya dibuat berdasarkan 4 komponen
(Kaplan dan Norton, 2004):
a. Budaya
Budaya merupakan kesadaran dan internalisasi visi, misi, dan nilai untuk
melaksanakan strategi. Budaya mencerminkan sikap dan perilaku pradominan yang
mengkarakterisasikan fungsi dari grup atau organisasi. Pembentukan budaya adalah
prioritas penting dalam pembelajaran dan pertumbuhan bagian dari data base BSC.
Pemimpin umumnya mempercayai bahwa (Kaplan dan Norton, 2004) :
1) Strategi membutuhkan perubahan dasar dalam cara melaksanakan bisnis.
2) Strategi harus dilaksanakan melalui individu pada semua level dari organisasi.
3) Sikap dan perilaku yang baru dibutuhkan melalui tenaga kerja sebagai
prasyarat perubahan ini.
Teknologi baru, proses baru dan kemampuan baru memang dibutuhkan tetapi juga
dipengaruhi perubahan budaya.
Pengertian lain dari budaya organisasi diartikan sebagai nilai-nilai, prinsip-
prinsip, tradisi dan cara-cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota
organisasi dan mempengaruhi cara mereka bertindak. Dalam kebanyakan organisasi,
nilai-nilai dan praktik-praktik yang dianut bersama ini telah berkembang pesat seiring
dengan perkembangan jaman dan benar-benar sangat mempengaruhi bagaimana
sebuah organisasi dilalankan (Robbins dan Coulter, 2010).
Definisi budaya ini menyiratkan 3 hal. Pertama, budaya adalah sebuah
persepsi, bukan sesuatu yang dapat disentuh atau dilihat secara fisik, namun SDM
menerima dan memahaminya melalui apa yang mereka alami dalam organisasi.
Kedua, budaya organisasi bersifat diskriptif, yaitu berkenaan dengan bagaimana para
anggota menerima dan mengartikan budaya tersebut, terlepas dari apakah mereka
menyukai atau tidak. Ketiga, meskipun para individu didalam organisasi memiliki
latar belakang yang berbeda dan bekerja dalam jenjang organisasi yang berbeda,
mereka cenderung mengartikan dan mengutarakan budaya organisasi dengan cara

211
yang sama. Ini merupakan aspek penerimaan bersama dalam budaya organisasi
(Robbins dan Coulter, 2010).
Robbins dan Coulter (2010) menambahkan bahwa ada tujuh dimensi yang
menjabarkan budaya organisasi. Masing-masing dari ketujuh dimensi tersebut
memiliki kisaran mulai dari yang rendah hingga tinggi. Ketujuh dimensi tersebut
adalah:
1) Orientasi manusia, seberapa jauh organisasi bersedia
mempertimbangkan faktor manusia (karyawan) didalam pengambilan
keputusan manajemen.
2) Orientasi tim. Seberapa besar organisasi menekankan pada kerja
kelompok (tim), daripada kerja individu, dalam menyelesaikan tugas-
tugas.
3) Agresivitas, seberapa besar organisasi mendorong para karyawannya
untuk saling bersaing, daripada saling bekerjasama.
4) Stabilitas, seberapa besar organisasi menekankan pada pemeliharaan
status quo didalam pengambilan berbagai keputusan dan tindakan.
5) Inovasi dan pengembangan risiko, seberapa besar organisasi
mendorong para karyawannya untuk bersikap inovatif dan berani
mengambil risiko.
6) Perhatian pada detail, seberapa dalam ketelitian, analisis, dan perhatian
pada detail yang dituntut oleh organisasi dari para karyawannya.
7) Orientasi hasil, seberapa besar organisasi menekankan pada
pencapaian sasaran (hasil), daripada cara mencapai sasaran (proses).
Fokus pada pelanggan adalah yang paling sering diidentifikasi perubahannya,
khususnya pada perusahaan jasa. Budaya pengurangan biaya yang berkesinambungan
akan lebih tepat untuk perusahaan yang berkompetensi pada biaya yang rendah
khususnya pada produk yang tidak terpisah-pisah. Perusahaan yang mengedepankan
produk kepemimpinan membutuhkan budaya kualitas dan inovasi produk (Kaplan
dan Norton, 2006).

212
Perusahaan perlu menggali nilai-nilai budaya kerja yang baik, dan
menggalakkannya menjadi suatu Corporate Culture, yang akan memberikan suatu: 1)
Performance culture, 2) Sales Culture dan 3) Risk Culture. Corporate Culture akan
membantu perusahaan agar para karyawannya mempunyai nilai-nilai dalam sikap dan
perilaku yang bertujuan meningkatkan kualitas kinerja, menyadari bahwa perusahaan
harus mempunyai nilai jual dalam arti produk atau jasa perusahaan tadi dapat dijual
serta mampu bersaing di pasar. Hal yang tak boleh dilupakan adalah risk culture,
dimana setiap karyawan didorong untuk menyadari dan dapat memitigasi risiko atas
setiap langkah yang dikerjakannya (Dessler, 2010).
Budaya inti manajemen meliputi penetapan dan pemeliharaan nilai-nilai yang
sesuai. Bagaimanapun tanggung jawab ini sering dipertimbangkan pada tingkat
organisasi secara keseluruhan, hal yang sama dapat dilakukan oleh setiap manajer
dalam unit kerjanya. Seperti organisasi secara menyeluruh, unit kerja mempunyai
suatu budaya. Seberapa baik budaya ini melayani tujuan unit kerja kunci akan
tergantung pada pengaruh dari pengarahan nilai-nilai. Pada nilai-nilai seperti ini,
paling tidak terdapat tiga kriteria dari dampak kinerja yang tinggi: 1) relevan, nilai
inti mendukung tujuan organisasi kunci; 2) peresapan (pervasiveness), nilai-nilai inti
yang diketahui semua anggota organisasi dan 3) kekuatan, nilai-nilai inti yang
diterima seluruh anggota organisasi (Schermerhorn, 1996).
Menurut Robbins dan Coulter (2010), fungsi budaya organisasi antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan

213
Budaya organisasi merupakan faktor yang sangat penting dan selalu
meningkat perannya dalam keberhasilan dan efektifitas bisnis di lingkungan global
dan bersaing pada abad 21 (Kyriakidou dan Gore, 2005). Montes dkk, (2004), Bliss
(1999), Juecher dkk (1998), Schein (2004), dan Denison (1990), semua
menyampaikan tentang pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan
organisasi. Pendapat yang sama juga disampaikan Ritchie (2000), bahwa budaya
organisasi berdampak pada hasil seperti: produktifitas, kinerja dan komitmen.
Holmes dan Masden (1996), juga menyampaikan bahwa budaya organisasi
berdampak secara signifikan pada organisasi, perilaku dan motivasi karyawan dan
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja keuangan organisasi.
Semua organisasi memiliki budaya, namun tidak semua budaya organisasi
sama kuatnya dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan para karyawan. Budaya
yang kuat, adalah budaya yang menanamkan nilai-nilai utama secara kokoh dan
diterima secara luas dikalangan karyawan, memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap perilaku karyawan dibandingkan budaya yang lemah. Semakin tinggi tingkat
penerimaan karyawan terhadap nilai-nilai pokok organisasi dan semakin besar
komitmen mereka pada nilai-nilai tersebut, semakin kuat budaya organisasi. Budaya
yang kuat berpengaruh pada kesetiaan karyawan yang lebih besar dibanding budaya
yang lemah. Banyak penelitan yang menyebutkan bahwa budaya organisasi yang kuat
cenderung memperlihatkan hubungan dengan kinerja organisasi yang baik (Robbins
dan Coulter, 2010).
Diketahui bahwa organizational capital juga merupakan tacit organizational
routines yang berkaitan dengan aspek informal organisasi yang dikenal dengan
dimensi kultural organisasi (Swart, 2005). Dimensi kultural ini mempunyai peran
penting dalam intelectual cultural, meski perlu ditegaskan bahwa hanya kapital
budaya tertentu yang kondusif untuk inovasi, pembelajran dan memiliki esensi yang
dapat mengonversikan human capital menjadi intelectual capital. Organisasi dengan
organisational capital yang kuat akan memiliki kultur pendukung yang
memperbolehkan karyawan secara individual untuk melakukan berbagai percobaan,

214
kegagalan, belajar dan mencoba lagi (Bontis, 1998). organisational capital yang kuat
akan mendukung eksplorasi pembelajaran yang memberikan advokasi kepada
eksperimentasi, riset, pengembangan dan inovasi (Swart, 2005).
b. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain
agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut
mengandung pengertian bahwa jika seseorang telah mulai berkeinginan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan kepemimpinan itu telah dimulai.
Pengaruh dan kekuasaan seorang pemimpin mulai nampak relevansinya (Thoha,
2004). Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan
perilaku orang lain agar melakukan kegiatan/pekerjaan untuk mencapai tujuan yang
dicapai seorang pemimpin. Kepemimpinan dapat diartikan sebagai
kemampuan/kecerdasan mendorong sejumlah orang (dua atau lebih) agar kerjasama
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Nawawi
dan Hadari, 2004).
Robbins (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan. Pendapat tersebut
memandang semua anggota kelompok/organisasi sebagai satu kesatuan, sehingga
kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan mempengaruhi semua anggota
kelompok /organisasi agar bersedia melakukan kegiatan/bekerja untuk mencapai
tujuan kelompok.
Tersedianya pemimpin yang berkualitas pada tingkatan untuk menggerakkan
organisasi pada strateginya. Kepemimpinan terutama untuk mengatur perubahan dan
transformasional adalah sebuah inti yang dibutuhkan untuk menjadi organisasi yang
fokus pada strategi. Ada 2 pendekatan untuk mendefinisikan peran kepemimpinan:
proses untuk mengembangkan pemimpin dan model kompetensi kepemimpinan, yang
mendefinisikan karakteristik pemimpin. Pendekatan kedua model kompetensi
kepemimpinan fokus pada hasrat spesifik kompetensi dari pemimpin. Hal ini
mengidentifikasi ciri bahwa pemimpin harus menunjukkan untuk menyumbangkan

215
penampilan yang lebih tinggi. Kita dapat mengklasifikasikan hasrat kompetensi
dalam 3 kategori umum: (Kaplan dan Norton, 2004)
1) Menciptakan nilai: pemimpin menyampaikan garis besar hasil
2) Melaksanakan strategi: pemimpin memobilisasi dan memandu proses
perubahan.
3) Mengembangkan SDM: pemimpin membangun kompetensi dan meletakkan
standar tinggi untuk organisasi.

Dalam kenyataannya, pemimpin yang lebih berorientasi pada karyawan dalam


beberapa hal akan memberikan hasil-hasil yang lebih efektif. Ini tidak berarti
pemimpin tersebut mengabaikan kebutuhan-kebutuhan produksi atau tugas dalam
departemennya. Kepemimpinan yang berhasil menghendaki suatu pengertian yang
mendalam terhadap bawahan. Oleh karena itu, menurut Robbins (2003), pemimpin
sangat perlu mengembangkan beberapa kecakapan:

1. Obyektivitas terhadap hubungan-hubungan serta perilaku manusia.


Maksudnya pemimpin harus memandang bawahan serta perilaku mereka
secara obyektif, tanpa berprasangka dan tanpa emosi.
2. Cakap berkomunikasi di dalam perusahaan maupun masyarakat. Maksudnya
pemimpin harus mampu berbicara dan menulis secara terus terang serta
menyimpulkan dengan teliti pernyataan-pernyataan dari orang lain. Pemimpin
harus mudah didekati, mengenal kelompok-kelompok dan pemimpin
informalnya, menyeluruh memberitahukan tujuan dan berusaha untuk bekerja
sama dengan orang lain.
3. Ketegasan. Maksudnya kemampuan untuk memproyeksikan diri secara
mental dan emosional ke dalam posisi seorang pengikut. Kemampuan ini
menolong pemimpin untuk memahami pandangan, keyakinan dan tindakan
bawahannya.

216
4. Sadar akan diri sendiri. Maksudnya pemimpin perlu mengetahui kesan apa
yang dibuatnya pada orang lain. Pemimpin harus berusaha untuk memenuhi
peran yang diharapkan oleh para pengikut.
5. Mengajarkan. Maksudnya pemimpin harus mampu untuk menggunakan
kecakapan untuk pedoman, dan pembetulan dalam pemberian petunjuk
dengan contoh-contoh.

Selanjutnya pemimpin diharapkan mampu mengidentifikasi anggota tim dengan


melihat :

1. Competency : Memiliki kualifikasi, tepat dan cepat dalam menyelesaikan


tugas, the right man in the right pleace. Soft atau generic competencies
menurut Dessler (2000) terdiri dari enam kelompok kompetensi, yaitu sebagai
berikut :

1) Kemampuan merencanakan dan mengimplementasikan (motivasi


untuk berprestasi, perhatian terhadap kejelasan tugas, ketelitian, dan
kualitas kerja, proaktif, dan kemampuan mencari dan menggunakan
informasi).
2) Kemampuan melayani (empati, berorientasi pada pelanggan).
3) Kemampuan memimpin (kemampuan mempengaruhi, kesadaran
berorganisasi, kemampuan membangun hubungan).
4) Kemampuan mengelola (kemampuan mengembangkan orang lain,
kemampuan mengarahkan, kemampuan bekerja sama dengan
kelompok).
5) Kemampuan berpikir (berpikir analitis, berpikir konseptual, keahlian
teknis atau profesional atau manajerial).
6) Kemampuan bersikap dewasa (kemampuan mengendalikan diri,
fleksibilitas, komitmen terhadap organisasi).

217
2. Commitment : bekerja keras, motivasi tinggi, tepat waktu dan loyal.
3. Teamwork : Saling menghormati dan saling mengakui kompetensi,
komunikasi antar anggota, dapat berbagi sumberdaya, sifat saling memiliki,
transparan, dan kemampuan untuk meredam konflik.

c. Penyelarasan
Individu, tim, dan tujuan-tujuan setiap departemen merangsang hubungan
untuk mendapatkan sasaran yang strategis. komunikasi terbuka serta dapat bekerja
sebagai team. Penyelarasan adalah kondisi yang diperlukan sebelum memberi kuasa,
individu akan menguatkan seluruh tim. Penyelarasan pada organisasi mendorong
peningkatan kemampuan pekerja, inovasi dan pengambilan resiko karena tindakan
individual diarahkan pada pencapaian sasaran yang lebih tinggi. Penyelarasan
umumnya membutuhkan 2 langkah yang berurutan yaitu menciptakan kesadaran dan
membuat insentif. Oleh karena itu, pemimpin harus mengkomunikasikan sasaran
strategis yang tinggi yang dapat dipahami semua pekerja kemudian pemimpin harus
menyakinkan bahwa individu dan tim mempunyai sasaran lokal dan menghargai
pencapaian target sasaran yang lebih tinggi.
Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu melakukan kerjasama team
dan membagi pengetahuan. Semua ide merupakan aset yang mempunyai potensi lebih
untuk suatu organisasi. Saat ini perusahaan menggunakan sistem manajemen
pengetahuan formal untuk membangkitkan, mengorganisir, mengembangkan dan
mendistribusikan pengetahuan pada seluruh organisasi (Kaplan dan Norton, 2004).
1) Membangkitkan pengetahuan, meliputi identifikasi isi yang relevan pada
orang lain di organisasi dan mendapatkan orang untuk mengumpulkan
material yang relevan untuk data elektronik. Kebanyakan organisasi
melalui perubahan budaya untuk berubah dari penimbunan pengetahuan
pada pembagian ide.
2) Mengorganisir pengetahuan.
3) Mengembangkan pengetahuan

218
4) Menyalurkan pengetahuan. Sistem manajemen pengetahuan harus mudah
diakses oleh pengguna untuk pengetahuan dasar. Sistem manajemen
pengetahuan secara umum terdiri dari :
a) data base dan sistem manajemen data base
b) komunikasi dan sistem pesan yang menarik dan menyalurkan materi
pengetahuan, independen dimana pengetahuan berasal.
c) Penelusuaran yang aman dimana pekerja bisa mencari data base yang
jauh meskipun dari akses fasilitas umum.
Pelaksanaan managemen masing-masing kelompok kemudian diklasifikasikan
berdasarkan 5 kunci proses manajemen yang penting dalam implementasi strategi,
yaitu :
1. Mobilization : bagaimana mengarahkan perubahan melalui kepemimpinan
eksekutif
2. Translation strategy : menetapkan peta strategi, unit bisnis, unit pendukung,
partner eksternal, dan arena dengan strategi
3. Organization alignment: menyelaraskan korporat, unit bisnis, unit pendukung
dan arena dengan strategi
4. Employee motivation : menyediakan pendidikan, komunikasi, penentuan
sasaran, kompensasi insentif, dan training staff
5. Governance : integrasi strategi ke perencanaan, pendanaan, pelaporan, dan
review manajemen.
Hasilnya menunjukkan bahwa organisasi yang mempraktekkan ke 5 hal
tersebut lebih baik akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar pula. Gap yang
paling signifikan antara organisasi Hall of Fame dengan 2 kelompok lainnya adalah
penyelarasan yaitu bagaimana mensinkronkan tingkatan korporat, unit bisnis dan unit
pendukung. Hasil dari penyelarasan ini adalah keuntungan yang sangat signifikan
(Kaplan dan Norton, 2006)
d. Kerja tim

219
Kerja tim, pengetahuan dan kemampuan staf merupakan hal yang potensial
dalam mendukung strategi. Suatu organisasi seharusnya tidak tertumpu pada masing-
masing operasional individual dalam pengembangan biaya dalam proses, kualitas,
waktu dan servis. Tahapan kritis dalam pembelajaran dan pertumbuhan adalah untuk
mengidentifikasi inovasi dan praktek terbaik yang terjadi dalam organisasi dan untuk
mensosialisasikan praktik terbaik pada setiap unit organisasi. Sistem manejemen
pengetahuan seharusnya menjadi kunci yang merupakan praktik terbaik dalam
organisasi (Kaplan dan Norton, 2004)
Kemampuan membangun tim kerja yang efektif diperlukan dengan
memanfaatkan kombinasi ketrampilan dan kepribadian perorangan di kalangan
karyawan untuk dilibatkan dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Hal ini
karena manajer memahami kondisi yang dibutuhkan untuk membangun tim kerja
yang efektif (Robins dan Coulter, 2010)
Karyawan atau siapapun manajer akan mencapai sesuatu yang bermanfaat jika
manajer bekerja bersama dalam satu tim daripada bekerja sendiri-sendiri. Para
karyawan akan merasa lebih peduli dan komit bekerja dalam satu tim karena dengan
cara itu terjadi interaksi antarkaryawan yang positif. Juga terjadi saling mengisi dan
saling memperkuat karena terjadi fenomena berbagi informasi, pengalaman, dan
berbagi bakat dan keahlian sekaligus memperkecil kelemahan yang dimiliki masing-
masing karyawan.
Apakah model kerja dalam satu tim selalu dicirikan oleh hal-hal tadi? Tidak
juga karena bisa saja terjadi ada tim kerja tetapi karyawan bekerja sendiri-sendiri dan
tidak terkendali akibat tidak adanya kepemimpinan efektif. Sehubungan dengan itu
agar suatu tim berhasil dengan efektif dibutuhkan beberapa hal yaitu: (1) Walau ada
keragaman keanggotaan tim namun dengan suatu tujuan bersama, (2) Tujuan yang
berorientasi pada tantangan, (3) Keterlibatan aktif para anggota tim, (4) Uraian peran
dan koordinasi anggota tim yang jelas, (5) Komunikasi yang baik, dan (6)
Kepemimpinan tim yang handal (Dessler, 2000)

220
D. Manajemen Keuangan
Manajemen : suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dengan memadukan penggunaan
ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi. Agar tujuan organisasi dapat tercapai
diperlukan unsur atau sarana (The Tool of Management), yang meliputi unsur 5 M,
yaitu:

1. Men: Sumber Daya Manusia


2. Money : Uang yang dibutuhkan
3. Methods: Metode yang digunakan
4. Materials: Bahan yang digunakan
5. Machines: Mesin yang digunakan
Keuangan terdiri dari 3 bidang yang saling terkait, yaitu:

a. Pasar uang dan Pasar Modal


b. Investasi
c. Manajemen keuangan
Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi RS,

penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada peningkatan yang

mendasar (Sofian, 2004).Tujuan finansial berperan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan

strategis dan ukuran-ukuran semua perspektif dalam balanced scorecard. Setiap

ukuran yang dipilih seyogianya menjadi bagian dari suatu keterkaitan hubungan

sebab-akibat yang memuncak pada peningkatan kinerja finansial.

Di dalam manajemen perusahaan sangat membantu untuk mengetahui biaya

sesungguhnya dan biaya seharusnya, sehingga diperlukan suatu sistem biaya yang

tepat dan erat hubungannya dengan cost accounting (Anief, 2001).

Beberapa indikator kinerja dari perspektif keuangan antara lain :

221
a. Tingkat kembalian investasi (Return on Investment- ROI)
ROI merupakan pembagian antara keuntungan bersih dan asset (aktiva/harta) total,

dinyatakan dalam persentase. Salah satu indikator ini mengukur efektivitas

perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber dayanya. ROI disebut juga

sebagai tingkat kembalian asset (Return on Asset/ROA). Nilai persentase ROI yang

semakin tinggi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin baik (Gaspersz,

2003).

Laba bersih
ROI = Total aktiva100 %
ROE (Return on Equity) dan ROI biasanya dianggap sebagai pengukuran

terbaik atas penampilan menyeluruh dari apotek, karena ROE dan ROI tidak hanya

mempertimbangkan laba apotek tetapi juga jumlah investasi yang diperlukan untuk

menghasilkan laba tersebut (Seto, 2001).

b. Growth Ratio on Sales

Indikator ini menghitung seberapa jauh perusahaan menempakan diri dalam sistem

ekonomi secara keseluruhan untuk industri yang sama (Machfoedz, 1996).

 
nilai penjualan terakhir 1/jumlah tahun 
growth ratio =  nilai penjualan dasar  

c. Net profit margin

Indikator ini merupakan keuntungan bersih dibagi pejualan bersih (net

sales), dan dinyatakan dalam persentase. Rasio laba bersih terhadap penjualan

adalah yang paling penting, karena mampu menggambarkan kesuksesan dari suatu

222
operasi perusahaan, dan rasio ini biasa digunakan untuk memperkirakan atau

memproyeksikan profitabilitas dalam suatu rencana bisnis. Semakin tingginya nilai

persentase keuntungan bersih dibandingkan penjualan bersih, menunjukkan bahwa

kinerja perusahaan semakin baik (Gaspersz, 2003).

Laba bersih
Net profit margin = 100 %
Penjualan

d. Rasio aktivitas (Activity ratio)


Indikator ini mengukur efektivitas manajemen perusahaan dari semua

sumber daya yang ada di perusahaan. Salah satu indikatornya yaitu tingkat

perputaran inventori (inventory turn over ratio atau TOR). Indikator ini dihitung

dengan membagi harga pokok penjualan (cost of goods sold) dengan persediaan

rata-rata. Perputaran persediaan (inventory turnover) menunjukkan berapa kali

persediaan barang dijual dan diadakan kembali selama satu periode akutansi

(Jumingan, 2006). Semakin tinggi nilai tingkat perputaran inventori, kinerja

perusahaan semakin baik, karena akan memenuhi kebutuhan aliran kas dan modal

kerja (Gaspersz, 2003).

harga pokok penjualan


TOR = rata- rata persediaan (x)

223
Contoh aplikasi keuangan dalam mengetahui kineja IFRS, penelitian dilakukan oleh
Satibi dkk, 2008:

Evaluasi kinerja dari perspektif keuangan dilakukan dengan menganalisis

rasio-rasio keuangan. Rasio keuangan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit X dihitung

berdasarkan dokumentasi laporan keuangan dan neraca IFRS dari tahun 2004-2006.

Untuk pencatatan keuangan Instalasi Farmasi X hanya melakukan pencatatan yang

lengkap untuk laporan rugi-laba, sehingga semua indikator keuangan yang diukur

merupakan gambaran dari profitabilitas IFRS. Analisis rasio keuangan merupakan

alat utama dalam analisis keuangan, karena analisis ini dapat digunakan untuk

menjawab berbagai pertanyaan tentang berbagai kejadian perusahaan. Tujuan dari

analisis ini adalah untuk mengidentifikasi setiap kelemahan dari keadaan keuangan

yang dapat menimbulkan masalah di masa depan, dan menentukan setiap kekuatan

yang dapat dipergunakan (Muslich, 1997). Penggunaan rasio ekonomi bertujuan

untuk mengetahui apakah rasio keuangan apotek pada tingkat tertentu sudah

beroperasi dengan baik serta apakah pengelolaan sumber daya keuangan sudah

berjalan secara efektif (Liza, 2001).

Rasio keuangan yang dihitung dalam penelitian ini yaitu, Growth ratio on

sales, Persentase Laba Kotor (PLK), TOR (Turn Over Ratio), average age of

inventory (waktu rata-rata persediaan obat dan bahan farmasi), dan persentase

kontribusi Instalasi Farmasi terhadap Rumah Sakit. Hasil perhitungan rasio keuangan

Instalasi Farmasi Rumah sakit X, disajikan dalam tabel IX.

Tabel 21. Rasio Keuangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit X tahun 2004-2006

224
Tahun
Rasio

2004 2005 2006

Growth ratio on sales 0,25 0,35 0,56

PLK (%) 36,03 37,54 42,88

TOR (kali) 10,15 5,21 6,86

Average age of inventory (hari) 36 70 53,2

Kontribusi IFRS terhadap RS (%) 41,85 43,11 47,03

Sumber : data sekunder yang diolah

Secara lebih rinci pembahasan untuk masing-masing rasio keuangan yang

dihitung dari data penelitian adalah sebagai berikut :

1. Growth Ratio on Sales

Growth ratio on sales menunjukkan seberapa besar tingkat pertumbuhan

penjualan selama periode waktu tertentu. Dari data keuangan nilai growth ratio on

sales Instalasi Farmasi Rumah sakit X disajikan dalam gambar 21.

225
Gambar 21. Grafik Growth Ratio on Sales IFRS Tahun 2004-2006

Dari gambar 21 diatas, terlihat bahwa nilai tingkat pertumbuhan penjualan

(Growth Ratio on Sales) Instalasi Farmasi Rumah sakit X terus mengalami

peningkatan dari tahun 2004 sampai 2006 yaitu sebesar 0,25 pada tahun 2004, tahun

2005 sebesar 0,35, dan tahun 2006 sebesar 0,56. Peningkatan ini menunjukkan bahwa

dari segi penjualan, IFRS X mengalami pertumbuhan yang baik.

Naiknya tingkat pertumbuhan penjualan Instalasi Farmasi Rumah sakit X ini

disebabkan oleh tingginya nilai penjualan obat, baik dari penjualan obat rawat jalan

umum dan penjualan obat ASKES/ASKESKIN/JAMSOSTEK.

2. Persentase Laba Kotor (PLK)

Persentase laba kotor (PLK) adalah pengukuran daya laba apotek sebelum

beban usaha diperhitungkan. PLK menunjukkan persentase penjualan yang terjadi

untuk menutup ongkos dan labanya (Seto, 2001). Hasil perolehan laba kotor Instalasi

Farmasi Rumah sakit X selama tahun 2004 sampai 2006 adalah sebagai berikut :

226

Gambar 22. Grafik perolehan PLK IFRS X Tahun 2004-2006

Dari gambar 22 diatas terlihat bahwa nilai PLK Instalasi Farmasi Rumah sakit

X terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 sampai 2006 yaitu pada tahun 2004

sebesar 36,03%, tahun 2005 meningkat menjadi 37,54%, sedangkan tahun 2006

sebesar 42,88%. Peningkatan hasil perolehan PLK ini menunjukkan bahwa IFRS X

mengelola keuangan dengan baik. Peningkatan hasil perolehan PLK ini disebabkan

oleh adanya peningkatan jumlah penjualan pada setiap tahunnya selama periode

tahun 2004-2006. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PLK adalah rendahnya

harga pokok penjualan dibandingkan jumlah penjualan pada setiap tahunnya.

3. Turn Over Ratio (TOR)

Turn Over Ratio (perputaran persediaan) mengukur/menunjukkan seberapa

cepat persediaan obat dibeli, dijual dan digantikan. Persediaan pada RS minimal 8 –

12 kali perputaran. Walaupun rata-rata induetri nilai TOR 7-9 kali. Namun semakin

227
tinggi nilai TOR pengelolaan obat semakin efisien. Hasil pengukuran TOR Instalasi

Farmasi Rumah sakit X disajikan dalam gambar 23 di bawah ini.

Gambar 23. Grafik Turn Over Ratio IFRS Tahun 2004-2006

Dari gambar 23 di atas, kinerja keuangan IFRS X dari indikator nisbah

perpuataran persediaan (TOR) menunjukkan bahwa tingkat perputaran persediaan

IFRS X tahun 2004 sebesar 10,15 kali, dimana melebihi angka rata-rata apotek

sebesar minimal 4 kali, artinya perputaran persediaan Instalasi Farmasi sudah berjalan

dengan baik. Penurunan terjadi pada tahun 2005 yaitu menjadi 5,21 kali dan

meningkat kembali mencapai angka 6,86 kali pada tahun 2006.

Turn Over Ratio sebesar 10,15 kali artinya bahwa kemampuan dana yang

tertanam dalam persediaan untuk berputar dalam tahun 2004 itu adalah 10,15 kali.

Perputaran persediaan 10,15 kali adalah baik, hal ini menunjukkan bahwa Instalasi

Farmasi memiliki persediaan yang cukup dan tidak terlalu besar jumlah

persediaannya untuk tingkat penjualan atau sejumlah kecil persediaan terdiri dari

228
produk yang tidak dapat dijual. Tahun 2005 telah terjadi penurunan nilai TOR dari

tahun sebelumnya yaitu menjadi 5,21 kali. Kondisi ini menunjukkan bahwa Instalasi

Farmasi Rumah sakit X masih memiliki persediaan yang besar untuk tingkat

penjualannya. Masalah penurunan nilai TOR ini dikarenakan adanya peningkatan

persediaan yang signifikan di tiap tahunnya. Tahun 2006 telah mengalami

peningkatan kembali terhadap nilai TOR sebesar 6,86 kali. Kondisi ini menunjukkan

bahwa selama periode waktu 2005-2006 perputaran persediaan di IFRS adalah baik

meskipun tidak ada peningkatan perputaran yang menonjol.

Semakin tinggi perputaran obat semakin disukai sebab hal itu menunjukkan

IFRS dijalankan dengan investasi atas persediaan yang minimal, sehingga hal ini

sangat penting untuk dipertimbangkan karena persediaan obat merupakan harta IFRS

yang paling besar. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak manajemen IFRS

untuk meningkatkan nilai perputaran persediaan, yaitu dengan menaikkan penjualan

tanpa menaikkan persediaan, atau dengan menurunkan persediaan dan

mempertahankan tingkat penjualan yang sama.

Dari nilai perputaran persediaan dapat dihitung waktu rata-rata dari persediaan

tertahan di gudang dihitung dengan menggunakan average age of inventory untuk

tahun 2004-2006. Rata-rata obat disimpan sebelum dijual pada tahun 2004 adalah

selama 36 hari, pada tahun 2005 adalah selama 70 hari, dan pada tahun 2006 adalah

selama 53 hari. Semakin kecil angka tersebut, maka semakin baik karena resiko

persediaan perbekalan farmasi akan semakin kecil pula.

229
Waktu rata-rata dari persediaan tertahan di gudang pada tahun 2005 adalah

waktu rata-rata tertinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Hasil ini

diikuti pula dengan rendahnya nilai TOR pada tahun 2005 yaitu 5,21 kali yang

merupakan nilai TOR terendah, sehingga apabila semakin kecil angka perputaran

persediaan di IFRS maka semakin lama juga waktu rata-rata persediaan yang tertahan

di gudang.

4. Kontribusi Instalasi Farmasi terhadap Rumah sakit X

Kontribusi IFRS terhadap rumah sakit ini menunjukkan seberapa besar peran

Instalasi Farmasi dalam meningkatkan profitabilitas Rumah Sakit secara keseluruhan

dari berbagai aspek pelayanan farmasi. Nilai persentase ini diperoleh dengan

membagi data keuangan berupa data pendapatan IFRS dengan pendapatan Rumah

Sakit dari tahun 2004-2006. Dari data keuangan nilai persentase kontribusi Instalasi

Farmasi terhadap RS disajikan dalam gambar 24.

Gambar 24. Grafik Persentase Kontribusi Instalasi Farmasi terhadap RS


periode Tahun 2004-2006

230
Dari gambar 24 di atas, terlihat bahwa persentase kontribusi Instalasi Farmasi

terhadap rumah sakit begitu besar. Tahun 2004, nilai kontribusi IFRS adalah sebesar

41,85%. Diikuti peningkatan pada tahun berikutnya 2005, yaitu sebesar 43,11%. Pada

satu tahun periode ini (tahun 2004-2005) besarnya peningkatan adalah 1,26%.

Kenaikan ini telah memberikan keuntungan yang berarti bagi rumah sakit. Untuk

tahun 2006 telah terjadi peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan

peningkatan pada periode sebelumnya yaitu peningkatan sebesar 3,92%. Dimana

besarnya kontribusi IFRS pada tahun 2006 adalah 47,03%. Semakin besar nilai

persentase laba kotor (PLK) IFRS, maka semakin besar pula nilai persentase

kontribusi yang diberikan Instalasi Farmasi Rumah sakit X terhadap rumah sakit.

Dalam penelitian ini, pengukuran kinerja keuangan Instalasi Farmasi Rumah

sakit X agak sulit dilakukan sehingga tidak semua rasio keuangan yang menjadi

indikator keuangan dapat dihitung, khususnya ROI (Return on Investment) dan net

profit margin, dikarenakan pencatatan keuangan yang selama ini masih dilakukan

secara manual, tidak adanya pencatatan keuangan secara khusus dan sistematik dari

pihak IFRS terutama laporan neraca. Kebanyakan data diperoleh dalam bentuk data

keuangan rumah sakit secara keseluruhan sehingga kesulitan dalam

menspesifikasikannya, selain itu juga karena tidak tercatatnya semua komponen

keuangan aktiva dan pasiva secara berimbang. Perhitungan terhadap aktiva IFRS

yang berupa aktiva tetap dimana komponen di dalamnya adalah berupa data

inventaris dan bangunan tidak pernah dilakukan pencatatan.

231
Rasio-rasio yang mengukur penampilan menyeluruh, solvabilitas, atau

likuiditas tidak dapat diterapkan pada farmasi rumah sakit. Faktor penyebabnya

adalah karena rumah sakit tidak secara khusus bertanggung jawab atas jumlah hutang

atau laba yang dihasilkan oleh farmasi rumah sakit, namun rumah sakit bertanggung

jawab atas harta yang digunakan oleh farmasi rumah sakit dan tingkat kegiatan

farmasi (misalnya pelayanan permintaan obat-obatan). Untuk itu tes efisiensi dapat

digunakan untuk memperkirakan hasil kerja farmasi rumah sakit (Seto, 2001).

Dari berbagai permasalahan yang ada di Instalasi Farmasi dapat dijadikan

bahan evaluasi secara internal bagi pihak manajemen IFRS. Salah satu usaha yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan penjualan adalah mempersembahkan pelayanan

terbaik sehingga customer merasa sangat puas dengan demikian akan tercipta

loyalitas dan terjadi kenaikan penjualan. Apabila dilihat dari hasil penjualan tiap

tahunnya yang mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa untuk usaha

meningkatkan penjualan sudah dilakukan dengan baik oleh IFRS, meskipun tanpa

mengesampingkan langkah-langkah program kerja yang telah, sedang dan akan

dilakukan.

Harga pokok penjualan (HPP) dari tahun 2004 sampai 2006 berturut-turut

adalah sebesar 63,97%, 62,46%, dan 57,11% dari nilai penjualan. Menurunnya nilai

HPP menunjukkan bahwa manajemen persediaan Instalasi Farmasi RS X cukup baik

dimana masih berada diatas rata-rata standar perputaran persediaan yang berkisar

antara 5%-7%. Penurunan rasio HPP pada tahun 2005 memberikan keuntungan,

karena dengan penurunan HPP terhadap penjualan, menunjukkan adanya peningkatan

232
terhadap persentase laba kotor. Kondisi tersebut juga tercermin dalam persentase laba

kotor pada periode yang sama, yaitu 36,03%, 37,54%, 42,88% dari nilai penjualan.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penjualan yang signifikan disertai

dengan penurunan nilai persentase HPP memberikan banyak keuntungan.

Hubungan yang diperoleh dari hasil evaluasi kinerja Instalasi Farmasi Rumah

sakit X yaitu bahwa kinerja keuangan yang relatif baik sangat erat kaitannya dengan

kepuasan customer yang merasa puas. Peningkatan kinerja keuangan akan tercapai

bila manajemen IFRS membuat customer merasa sangat puas dengan memenuhi

harapannya. Kinerja keuangan yang berkesinambungan tidak dapat dihasilkan melalui

usaha-usaha yang semu (artificial) (Mulyadi, 2005).

233
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY., 2010, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Edisi Kedua, Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anief. M., 2001, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada Press, Yogyakarta

Anonim, 1994, Practice Standards of ASHP 1994-1995, American Society of


Hospital Pharmacists, hal 31, USA

Anonim, 1999, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar


Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit dan Apotek, Jakarta

Anonim, 2003, Farmasi Klinik, PT Elek Media Komputindo, Kelompok Garmedia,


Jakarta

Anonim, 2005, Kebijakan Obat Nasional, 10-12, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Becker, B.E., Huselid, M.A., dan Ulrich, D., 2001, The HR Scorecard: Linking
People Strategy, and Performance, Harvard Business School Press, Boston,
Massachusetts

Budiono, S., Suryawati, S., Sulanto, S.D.,1999, Manajemen Obat Rumah Sakit,
Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

Dep Kes RI, 2002, Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Farmasi, DepKes RI, Jakarta

Dep Kes RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit dan Apotek, Jakarta.

Dep Kes RI., 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor :
129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Dep Kes RI, 2009, Undang Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

234
Dessler, G., 2000., Human Resource Management, ed 9., Prentice Hall, Inc., New
Jersey.

Frankel, A., Gandhi, T.K., Bates, D.W., 2003, Improving patient safety across a large
integrated health care delivery system. International Journal for Quality in
Health care.; 15 suppl. I : i31 – i40

Hasan, W.E., 1986, Hospital Pharmacy, Fifth ed, Lea and Febiger, Philadelphia

Hogerzeil, H.V., Bimo, D., Ross-Degnan, R.O., Laing, D. Ofori -Adjei, B., Santoso,
A.K., Azad, C. A.M., Das, K.K., Kafle, A.F.B., Mabadeje, Massele, A.Y.,
1993, Field test for rationaldrug use in twelve developing countries. The
Lancet, pp:1408-1410.

Indrajit, R.E., 2000, Pengantar Konsep Dasar: Manajemen Sistem Informasi dan
Teknology Informasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Jogiyanto, 2005., Analisis dan Desain Sistem Informasi. Pendekatan Terstruktur


Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis, penerbit Andi, Yogyakarta

Jumingan, 2006, Analisa Laporan Keuangan, PT Bumi Aksara, Jakarta.

Kaplan, R.S., Norton D.V., 2004, Strategy Maps: Converting Intangible Assets Inti
Tangible Outcome. Kaplan, R.S., Norton D.V.,

Kaplan, R.S., Norton D.V., 2006, Alignment : Using the Balanced Scorecard to
Create Corporate Synergies. Harvard Business School Press Boston.

Kendall dan Kendall, 2002, Analisis dan Perencanaan system, 5th edition, Pearson
Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Diterjemahkan oleh
Yulianto, H, 2006, PT Indeks, Jakarta.

Levy, B.S., 1982, Microbial resistance to antibiotics. An evolving and persistent


problem. In: Anonymous (ed). Good Antimicrobial Prescribing. A Lancet
review, pp 4-19. Lancet Ltd., London

Liliek, S., 1998, Evaluasi Manajemen Obat di Rumah Sakit Umum daerah
Wangaya Kotamadya Dati II Denpasar, Tesis, Magister Manajemen Rumah
Sakit, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Makridakis, S., Wheelwright, S., Megee, V., 2000, Metode dan Aplikasi Peramalan,
edisi kedua, jilid dua, Interaksara.

235
Maxwell, R., 1994, A Review of Determinant of Hospital Performance, A Report of
WHO Hospital Advisory Group Meeting, WHO.

McDonnel, 2006, Overview of Medication Error in Pharmacy Practice, pharmacy


Time, hal 1

McLeod, R., Schell, G., Stonehill, A.I., Moffet, M.H., 2001, Management Information
System 8th edition, diterjemahkan oleh Hendra Teguh, Prentice-Hall, New
Jersey, hal 187

Mulyadi, 2005, Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard, 1, 3, 10,


11, 24, 100, 103, 319, 369, 378, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

O’Brien, J.A., 2005, Introduction to Information System, 11th ed., New York,
McGraw-Hill Compony

PerMenKes, 2014, Standar pelayanan Farmasi Rumah Sakit, KepMenKes no 58 th


2014, Jakarta.

Pudjaningsih, D., 1996, Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di


Farmasi Rumah Sakit, Tesis, : Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W., 1997, Managing Drug
Supply, the selection, procurement, distribution and use of pharmaceutical,
second edition, Kumarin Press, Conecticus, USA

Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W., 2012, Managing Drug
Supply, the selection, procurement, distribution and use of pharmaceutical,
third edition, Kumarin Press, Conecticus, USA

Reason, J., 2000, Human error : models and management, BMJ. 2000; 320 : 768 –
770.
Robbins, S.P. dan Coulter, M., 2010, Management, 10th edition, Pearson Education,
Inc, Publishing as Prentice Hall

Sampurno, 2007, Peran Aset Nirwujud Pada Kinerja Perusahaan: Studi Industri

236
Farmasi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Satibi, Noviatun, E., dan Kusnanto, H., 2008, Pemetaan Strategi Dan evaluasi Kinerja
Farmasi Rumah Sakit SG dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Proseding
Kongres Ilmiah ISFI, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Satibi., Rosita, F., Kharisma, Ayu, D., dan Santika, M., 2008, Evaluasi Kinerja dan
Perencanaan Strategic Map Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Di Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Hasil
penelitian hibah UGM, LPPM, UGM, Yogyakarta

Schein, E.H.Ed, 2004, The role of founder in the creation of the orgaisational cultur.
Organisational Culture, Beverly Hills, CA:Sage

Schermerhorn, J.R., 1996, Management, 5th, John Willey and Sons,New York

Siregar, Ch.J.P., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Terapan, Penerbit buku
kedokteran ECG, Jakarta.

Siregar Ch.J.P., Amalia, L., 2004 “Teori & Penerapan Farmasi Rumah Sakit”,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC

Seto, 2001, Manajemen Apoteker, Universitas Airlangga, Surabaya

Strand, L.M., Cipolle, R.J., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, The
Mc Graw-Hill Companies Inc.

Subagyo, P., 2002, Forecasting Konsep dan Aplikasi, edisi ketiga, Cetakan
keduabelas, Badan Pengembangan Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta

Suciati, S. Adisasmito, W.B.B., 2006, Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan


ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi, Jurnal Manajemen
PelayananKesehatan. 2006; 09 : 19-26. diambil dari
http://www.jmpkonline.net/files/03-suci.pdf. tanggal 25 November 2012.

Swart, J., 2005, Identifying the sub-components of intelectual capital: a literarur


review and development of measure: University of Bath.

237
DAFTAR SINGKATAN

BSC : Balanced Scorecard


BOR : Bed Occupancy Rate
CR : Construct Reliability
DRP : Drug Related Problem
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
HC : Human Capital
IC : Information Capital
ICT : Information, Communication and Technology
IT : Information Technology
IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit
OC : Organizational Capital
PBI : Proses Bisnis Internal
RI : Republik Indonesia
ROI : Return Of Investment
RS : Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SDM : Sumber Daya Manusia
SI : Sistem Informasi
SOP : Standard Operating Prosedur
SIM : Sistem Informasi Manajemen
TOR : Turn Over Ratio
UU : Undang-Undang

238

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai