SAP 13
KELOMPOK 11
NAMA KELOMPOK :
Universitas Udayana
2018
Perdagangan Luar Negri dan Kesejahteraan
Perdagangan bebas (free trade) internasional sering kali dikaitkan sebagai mesin pertumbuhan
(engine of growth) yang telah mampu membangun ekonomi dan memberikan kesejahteraan
kepada negara-negara yang sekarang maju seperti Eropa Barat (jerman, Belanda, Prancis,
Belanda, Spanyol, Italia, Portugal), Inggris dan Amrika. Sebagai contoh, negara-negara eropa
barat berlomba – lomba mencari dan menemukan daerah baru (jajahan) untuk mendapatkan
bahan dasar yang diperulkan oleh pabrik – pabriknya. Di samping perdagangan bebas
internasional menyumbangkan ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja kasar yang murah
untuk pengembangan industry, perdagangan bebas internasional juga mengakibatkan meluasnya
pasar-pasar ekspor bagi negara-negara yang sekarang ini telah maju.
Pembicaraan mengenai kebijaksaan dan masalah perdagagan luar negri yang dihadapi Indonesia
pada umumnya dapat dibedakan menjadi kebijakan yang berorientasi keluar dan kebijaksaan
yang berorientasi ke dalam. Jelasnya adalah sebagai berikut :
Hambatan Promosi Ekspor Hasil Pertanian. Setidaknya ada lima faktor yang menghambat
kecepatan pengembangan produksi hasil pertanian di Indonesoia untuk diekspor kepasar Eropa
Yang pertama adalah elastisitas permintaan terhadap tingkat pendapatan (dampak perubahan
pendapatan terhadap pemerintahan) untuk bahan – bahan pangan hasil pertanian dan bahan
mentah yang relative rendah. Sebagai contoh, elastisitas pemermintaan terhadap pendapatan
untuk komoditas gula, teh, cokelat, dan kopi diperkirakan kurang dari satu (artinya, kenaikan
pendapatan sebesar saru unit akan menaikan permintaan terhadap komoditas tersebut kurang dari
satu unit)
Faktor penyebab yang kedua adalah rendahnya (bahan mendekati nol)tingkat penduduk di
negara-negara maju sehingga sedikit kenaikan permintaan bahan pertanian yang bisa diharapkan
oleh negara-negara berkembang dari faktor ini.
Faktor penyebab yang ketiga adalah elastisitas permintaan sebagian bear komoditi primer
terhadap perubahan harga juga relatif amat rendah. Harga – harga relative atas produk pertanian
cenderung merosot. Dengan elastisitas yang begitu rendah, maka penurunan harga tersebut
langsung dapat diartikan sebagai kemerosotan pendapatan yang sangat tajam bagi Indonesia dan
negara berkembang lainnya.
Di sisi penawaran, di Indonesia sendiri, juga terdapat sejumlah faktor yang menghambat
pengembangan ekspor komoditi primer. Salah satu dianytaranya yang terpenting adalah
kekakuan structural di banyak sistem produksi di pedesaan –seperti terbatasnya sumber daya,
iklim yang tidak menguntungkan, tanah yang sangat gersang, struktur kelembagaan, social –
ekonomi yang kolot, dan pola penguasaan tanah yang tidak produktif dan tidak seimbang.bahkan
setinggi apapun tingkat permintaan internasional terhadap komiditi primer tertentu (jelas akan
berbeda untuk masing-masing komoditi), pengembangan ekspor tetap sangat terbartas apabila
struktur – struktur ekonomi dan social di daerah pedesaan yang selama ini terbukti menghambat
peningkatan penawaran tidak diperbaiki secepatnya.
Hambatan Promosi Ekspor Hasil Industri. Selain promosi ekspor hasil pertanian, Pemerintah
Indonesia, dengan telah berkembangnya produk manufaktur pada masa Orde Baru dan
sesudahnya, juga melaksanakan kebijaksanaan promosi ekspor untuk produk manufaktur seperti
industri tekstil, sepatu, alat-alat olahraga, tas tangan, elektronik dan sebagainya. Persoalan yang
palin fundamental bagi prospek ekspor produk-produk manufaktur ini adalah adanya hambatan-
hambatan perdagangan yang sengaja dibuat oleh pemerintah negara-negara maju untuk
membatasi masuknya barang-barang tersebut ke dalam pasar domestik mereka. Tarif, kuota, dan
bentuk-bentuk hambatan perdagangan lainnya di pasar negara-negara kaya itulah yang
merupakan batu sandungan utama bagi perkembangan ekspor industri Indonesia pada umumnya.
Hambatan-hambatan perdagangan yang dipasang oleh kalangan negara industri maju itu benar-
benar ketat dan menyesakkan. Dengan kata lain, sedikit hasil dengan setumpuk hambatan.
Pada masa penjajahan Belanda dan pemerintahan Orde Lama ekspor Indonesia berupa hasil-hasil
pertanian, terutama hasil-hasil perkebunan perusahaan perkebunan swasta milik Belanda
kemudian dinasionalisasi pada akhir pemerintahan Orde Lama, dan hasil peternakan berupa sapi
dan babi. Impor pada waktu yang terutama beras, sarana produksi untuk perkebunan swasta
Belanda, konsumsi tahan lama seperti mobil, dan bahan modal untuk pembangunan ekonomi.
Karena sulitnya menaikkan ekspor hasil pertanian dan perkebunan yang dihadapkan pada
kebutuhan impor yang selalu meningkat maka pada masa stabilisasi ekonomi dan politik (tahun
1966-68) dan beberapa tahun setelah itu impor selalu lebih besar daripada ekspor (neraca
perdagangan yang defisit) sampai pada tahun 1971 (lihat Tabel 11.1).
Setelah Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) pada tahun 1967 dan Undang
Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) pada tahun 1968 diundangkan, terjadi aliran
modal asing yang sangat besar masuk Indonesia, terutama pada sektor minyak (minyak tanah dan
gas alam) dan sektor ekstraktif lain. Kredit perbankan tumbuh dengan pesat sehingga mampu
menunjang sektor swasta untuk bangkit kembali. Pertamina memulai program raksasanya
dengan sumber biaya dari penerimaan minyak dan (beberapa tahun kemudian) dari pinjaman luar
negeri dalam jumlah yang besar. Mulai tahun 1972 dan terutama tahun 1973 dan 1974 produksi
minyak bumi dalam negeri sudah memberikan buah yang besar ditambah lagi dengan kenaikan
harga minyak bumi di pasar internasional, ekspor Indonesia melonjak dengan angka yang
dramatis. Melonjaknya aliran modal asing (bantuan) dan naiknya harga minyak bumi di pasaran
internasional tidak diimbangi dengan proporsi yang sama dengan kenaikan impor yang
mengakibatkan neraca perdagangan menjadi surplus (1972-1977), Sejak saat itu, harga minyak
bumi di pasar internasional menyebabkan ekspor Indonesia dari minyak bumi mendominasi
jumlah ekspor seluruhnya.
Table 11.1 Nilai Ekspor dan Impor Indonesia, 1966 – 1977 ($juta)
1. Kita semua mengetahui dan juga diutarakan di seksi terdahulu (mengenai kebijaksanaan
promosi ekspor dan substitusi impor) bahwa setiap Negara telah dan masih menerapkan
berbagai hambatan perdagangan internasional, baik yang berupa tariff maupun nontariff
seperti kuota dan hambatan nontariff lainnya.
2. Perkembangan yang telah terjadi adalah bahwa hambatan tariff terus menerus mengalami
penurunan, yakni ketika diadakan negosiasi bilateral antar Negara maupun negosiasi
multilateral (banyak Negara – dunia) namun jenis dan jumlah hambatan nontariff, yang
sesungguhnya jauh lebih sulit untuk dilanggar makin banyak.
3. Pada negosiasi multilateral seperti yang terjadi di World Trade Organization di bawah
General Agreement on Tarif and Trade (GATT) biasanya pada agenda penurunan tariff
impor mengenai hasil industry dan perdagangan bebas mengenai modal dan jasa,
biasanya negosiasi lancer, terutama Negara maju lebih mudah menyutujuinya.
Dengan adanya kenyataan ini rupanya masih jauh sekali untuk dapat terjadinya perdagangan
bebas dunia. Yang lebih mudaj dan barangkali sudah terjadi adalah pasar bebas Eropa, NAFTA
(North America Free Trade Agreement) dan beberapa kelompok Negara atas perjanjian dan
persetujuan mereka.
Pada proses pelaksanaan pembangunan ekonomi negara- negara berkembang, akumulasi utang
luar negeri merupakan satu gejala umum yang wajar, di mana tabungan dalam negeri rendah,
defisit neraca pembayaran sangat tinggi, dan impor modal juga sangat dibutuhkan untuk
menambah sumber daya domestik. Sebelum tahun 1970an, total utang negara-negara
berkembang relatif kecil, dan pada umumnya utang-utang tersebut merupakan utang resmi yang
bersumber dari pemerintahan negara-negara asing serta lembaga-lembaga keuangan
internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional. Sebagian besar
pinjaman merupakan kredit bersyarat lunak (suku bunga yang rendah) dan sengaja diarahkan
untuk menopang pelaksanaan berbagai proyek pembangunan yang tidak saja bermanfaat secara
ekonomi tetapi juga secara sosial, serta untuk mengimpor barang-barang modal. Namun
demikian, pada akhir dekade 1970an sampai pada awal dekade 1980an, bank-bank komersial
internasional, dengan memutar surplus dana OPEC berupa "petrol dolar" serta menyalurkan
berbagai pinjaman serbaguna kepada negara-negara berkembang untuk menunjang penyelesaian
defisit neraca pembayaran dan pengembangan sektor ekspor.
Dalamkasus Indonesia, perkembangan utang luar negrinya menunjukkan seakan- aka nada
kolerasi positif antara peningkatan atau laju pertumbuhan PDB rill dan peningkatan jumlah
bantuan danutang luar negri atau antara peningkatan pendapatan rata-rata per kapita dan
peningkatan jumlah bantuan dan utang luar negri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata per
tahun sejak akhir 1970 selalu positif dan tingkat pendapatan per kapita meningkat terus, tetapi
jumlah utang luar negri indoneisa juga bertambah terus tiap tahun. Banyak negara sedang
berkembang lainnya, yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama dekade
1970an hingga 1980 juga menunjukkan fenomena yang sama. Posisi Utang Luar Negeri
Indonesia dan beberapa negara Asia untuk tahun 1980 dan 1998 ditunjukkan pada tabel
Gambar :
Pada tabel 11.8 dapat dilihat bahwa Indonesia termasuk negara pengutang besar di Asia bersama-
sama dengan cina korea selatan yang pada tahun 1988 utang luar negrinya mencapai di atas 100
miliar dolar AS. Selama periode 1980 – 1998 jumlah utang luar negri Indonesia naik terus
dengan laju pertumbuhan rata-rata sekitar 11 persen per tahun. Di antara negara-negara Asia
yang terkena krisis keuangan pada tahun 1997/98, korea selatan yang paling parah, dengan laju
pertymbuhan utang luar negri rata-rata 14,6 persen selama periode 1988-1998. Sedangkan utang
luar negri Malaysia dan fillipina mengalami peningkatan dengan laju yang lebih rendah, yakni
masing-masing 9,2 % dan 5,2 % per tahun.
Utang luar negri Indonesia terdiri dari utang jangka panjang pemerintah dan utang jangka
panjang swasta yang dijamin maupun tidak oleh pemerintah, utang jangka pendek, dan kredit
dari IMF. Proporsi pinjaman dari IMF di dalam total utang luar negri Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup besar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Akhir tahun 1998
pinjaman indinesia dari badan keuangan dunia tersebut mencapi 9 miliar dolar AS. Dapat
dikaitkan bahwa selama krisis, selain komponen – komponen utang luar negri lainnya, pinjaman
IMF menjadi sangat penting yang membuat Indonesia tidak sampai mengalami status
“kebangkrutan” secara finansial. Berbeda dengan komponen komponen utama luar negri lainnya,
pada prinsipnya fasilitas kredit dari IMF hanya digunakan untuk membiayai defisit neraca
pembayaran negara anggota yang masalahnya bersifat jangka pendek. Namun, untuk pertama
kalinya dalam sejarah lembaga keuangan dunia tersebut, yakni dalam kasus Indonesia sejak
krisis, IMF terlibat dalam pembiayaan satu negara yang mengalami defisit keuangan yang
sifatnya bukan lagi jangka pendek.
Pada tahun 1970, pada saat Indonesia baru memulai pembangunan ekonominya, pinjaman IMF
yang diterima berjumlah hampir 64 juta SDR (special drawing right = asset berupa cadangan
internasional yang diciptakan IMF tahun 1969 sebagai tambahan atau pelengkap atas
ketersediaan cadangan devisa yang sudah ada). Sejak tahun fiscal 1997/98 hingga September
2000, tahapan pengucuran pinjaman IMF menunjukkan penurunan dari sekitar 5.000 juta dolar
AS pada awal periode menjadi 300 juta dolar AS lebih pada akhir periode tersebut.
Laporan bank Indonesia tahun 2000 menunjukkan bahwa utang luar negri Indonesia sampai
dengan oktober 2000 tercatat sebesar US$ 140 miliar atau menurun 5,5 persen dari posisi utang
akhir tahun 1999 sebesar US$148,1 miliar. Penurunan tersebut bersumber dari penurunan posisi
utang swasta maupun pemerintah. Penurunan posisi utang swasta terjadi karena adanya
pelunasan utang, terutama dari swasta nonbank. sementara itu, penurunan posisi utang
pemerintah adalah akibat dari pelunasan utang serta dampak dari melemahnya yen terhadap dolar
AS. Hal ini karena selain dalam valuta dolar AS, utang luar negri pemerintah dalam bentuk mata
uang yen juga cukup banyak.
Sebuah neraca pembayaran dirancang untuk merangkum transaksi finansial penduduk (pelaku
ekonomi secara keseluruhan, termasuk pemerintah) dari satu Negara dengan penduduk atau
perilaku ekonomi dari Negara-negara lain. Pada dasarnya neraca pembayaran dibagi menjadi tiga
komponen dasar.
Komponen pertama dari neraca pembayaran adalah neraca transaksi berjalan (current account),
yaitu satu neraca yang berfokus pada transaksi ekspor dan impor (barang maupun jasa),
pendapatan investasi, pembayaran cicilan dan pokok hutang luar negeri, serta saldo kiriman dan
transfer uang dari dan ke luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan
swasta (individual).
Secara spesifik, neraca ini menonjolkan saldo yang merupakan selisih antara nilai impor dan
ekspor, yakni saldo perdagangan barang, dan menambahkannya dengan saldo pendapatam
investasi dari luar negeri neto, yakni selisih antara bunga dan dividen yang diterima oleh
penduduk Negara yang bersangkutan dari investasinya (dalam bentuk saham, obligasi, dan
deposito di bank) diluar negeri, dikurangi dengan jumlah bunga dan dividen yang diterima oleh
penduduk Negara lain atas investasinya yang berada di Negara itu, serta selisih antara
pendapatan perusahaan milik asing berada di Negara tersebut.
Komponen neraca pembayaran yang ke dua adalah neraca modal (capital account), yang
mencatat antara lain nilai investasi pihak swasta asing secara langsung (foreign direct
investment), terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, pinjaman luar
negeri yang diberikan oleh perbankan swasta internasional, serta pinjaman dan hibah dari
pemerintah Negara-negara lain (dalam bentuk bantuan luar negeri), serta dari lembaga-lembaga
donor multilateral seperti IMF dan Bank Dunia.
Komponen ketiga dan yang terakhir dari Neraca Pembayaran adalah neraca tunai (cash account)
atau lebih sering disebut sebagai neraca cadangan internasional (international reserve account),
yakni transaksi L dalam tabel. Pada dasarnya komponen itu hanya merupakan transaksi
penyeimbang (sama halnya dengan transaksi M, yakni satu transaksi yang mencatat kesalahan
dan penghapusan, guna mengakomodasikan selisih-selisih statistik; bedanya transaksi L
melibatkan perubahan kekayaan, sedangkan transaksi M sekedar perubahan angka-angka di atas
kertas) yang angkanya menjadi lebih kecil atau diturunkan (menunjukkan terjadinya arus keluar
neto atas cadangan internasional dari Negara yang bersangkutan) apabila total pengeluaran pada
neraca transaksi berjalan dan neraca modal melebihi total penerimaannya.
Tabel dibawah menyajikan sebuah skema mengenai apa yang termasuk transaksi positif (kredit)
dan transaksi negative (debet) dalam tabel neraca pembayaran.
Konsep keseimbangan neraca pembayaran bagi satu Negara mempunyai arti yang berbeda-beda,
tergantung pada tujuan yang dipilih para perumus kebijaksanaan. Meskipun Pemerintah
Indonesia tidak selalu mengumumkan secara jelas tujuan kebijaksanaan neraca pembayarannya,
namun kita dapat menduga tujuan tersebut dengan mengamati tindakan-tindakan yang diambil di
bidang ini terutama tindakan-tindakan yang berkaitan dengan masalah likuiditas dan solvabilitas.
Likuiditas. Dalam jangka pendek Pemerintah Indonesia menunjukkan kepekaan yang tinggi
terhadap satu indicator mengenai posisi keseimbangan neraca pembayaran internasionalnya,
yaitu laju perubahan cadangan devisa. Menurunnya cadangan devisa dianggap sebagai pertanda
kegagalan dalam kebijaksanaan, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan pelarian modal ke
luar negeri.
Pada dasarnya, alasan ke dua yang menjadikan pemerintah Indonesia mengganggap penting
cadangan devisa adalah kegunaannya sebagai penyerap fluktuasi jangka pendek dalam berbagai
pos neraca pembayaran dan pemberi tenggang waktu bagi Pemerintah dalam upaya melakukan
kebijaksanaan dan penyesuaian yang diperlukan.
Pada neraca perdagangan dalam tabel tersebut kita jumpai bahwa selama enam tahun (2002-
2007) ekspor Indonesia selalu lebih besar dari jumlah impor. Ini berarti Neraca Perdagangan
Indonesia selalu positif. Nilai ekspor barang-barang di Indonesia bergerak dari sekitar 60 miliar
dolar Amerika Serikat pada tahun 2007. Dari jumlah ekspor tersebut sebagai besar merupakan
ekspor barang-barang nonmigas; hasil-hasil pertanian hanya sekitar 5 persen dari total ekspor
dan ekspor migas meliputi sekitar 10 persen. Jumlah surplus neraca barang ini ternyata selalu
lebih besar dari pada deficit yang terjadi pada neraca jasa, sehingga transaksi berjalan selalu
positif, sebesar hampir 8 miliar dolar Amerika Serikat pada tahun 2002 menjadi lebih dari 11
miliar dolar Amerika Serikat pada tahun 2007. Namun transaksi berjalan ini merupakan bagian
yang kecil dari PDB, yakni sekitar 2,5 persen untuk tahun 2007.
Transaksi modal pada awalnya (tahun 2002 dan 2003) menunjukkan sisa negatif masing-masing
sekitar 1 miliar dolar Amerika Serikat. Transaksi ini sebagian disebabkan oleh sumber dari sector
public, namun bagian yang lebih besar berasal dari sector swasta. Jumlah ini berarti ada aliran
modal keluar dari sector public, namun bagian yang lebih besar berasal dari sektor swasta.
Jumlah ini berarti ada aliran modal keluar dari sektor public yang barangkali merupakan
pelunasan hutang beserta bunganya, sedangkan yang dari sektor swasta mungkin berupa
investasi langsung (positif) untuk tahun 2002 sebesar 145 juta dolar Amerika Serikat pada tahun
2003. Untuk tahun-tahun selanjutnya (2004-2007), baik dari sektor publik maupun dari sektor
swasta, keduanya menunjukkan transaksi positif yang makin meningkat, yang berarti makin
banyak investor asing yang membeli saham atau obligasi perusahaan-perusahaan domestik.
Angkanya mulai sekitar 1 miliar dolar pada tahun 2002 menjadi lebih dari 6 miliar dolar pada
tahun 2007. Gabungan dari kedua neraca (neraca lancer dan neraca modal) menunjukkan nilai
positif dan oleh karena itu terjadi pembiayaan yang selalu negatif .
Akhirnya aktiva luar negeri Indonesia yang sejak tahun 2000 dinyatakan pada mutasi cadangan
devisa atas dasar konsep Internasional Reserve and Foreign currency Liquidity (IRFCL) dan
tidak lagi pada konsep Gross Foreign Assets (GFA) menunjukkan sekitar lima sampai enam
bulan kebutuhan impor nonmigas dan kewajiban membayar hutang beserta bunganya ke luar
negeri.