Anda di halaman 1dari 3

Cycle of Violence :

Akar Kompleksitas Masalah


Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Anna Sakreti Nawangsari

Kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai fenomena gunung es akhir-akhir ini
mulai bermunculan ke permukaaan dan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Meningkatknya
jumlah klien KDRT ini dilatarbelakangi oleh berbagai hal antara lain (1) Krisis ekonomi yang berakibat
harga-harga kebutuhan pokok yang terus
melonjak sehingga pendapatan keluarga semakin tidak mencukupi. Juga PHK yang menyebabkan
depresi pada pasangan suami istri di tengah himpitan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pasangan
yang tidak siap dengan kondisi ini, ditambah dengan budaya kekerasan dan budaya patriarki yang
telah diinternalisasi baik dari keluarga maupun lingkungan sosialnya sejak lama, akan dengan mudah
melakukan kekerasan terhadap pasangannya (baca: istri). (2). Meningkatnya upaya sosialisasi tentang
KDRT di berbagai media baik dilakukan oleh GO maupun NGO sehingga menambah pengetahuan dan
kesadaran perempuan akan KDRT. (3) Kemudahan akses korban terhadap layanan
bantuan/pendampingan dengan semakin banyaknya lembaga pemberi layanan bagi perempuan korban
kekerasan baik yang berbasis rumah sakit (hospital based) maupun berbasis masyarakat (community
based).
Akses pelayanan yang mudah ini tidaklah cukup bagi penyelesaian kasus-kasus KDRT dan
kepastian tuntasnya masalah yang bertentangan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat ini
(conduct norms). Di samping berbagai dampak yang menyertainya mulai dari fisik, psikologis, sosial,
ekonomi, sampai spiritual, masalah KDRT ini cukup pelik dalam penanganannya terutama jika dilihat dari
karakteristik KDRT yaitu adanya cycle of violence atau siklus kekerasan.
Selama ini kebanyakan pasangan (baca:istri) bahkan masyarakat menganggap bahwa
kekerasan yang dilakukan oleh pasangan (baca:suami) merupakan sebuah kekhilafan sesaat. Apalagi
setelah melakukan kekerasan biasanya pelaku (baca:suami) meminta maaf pada pasangannya (istri) dan
berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari bahwa kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga tersebut membentuk suatu pola yang khas, terutama dalam kekerasan
fisik. Hal ini dinamakan oleh Walker dan Gelles (dalam Frederick dan Foreman, 1984) sebagai siklus atau
lingkaran kekerasan terhadap istri (cycle of violence). Menurut Walker, terdapat tiga fase dalam
lingkaran kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, yaitu: (1) fase pertama: the tension building
phase (fase tegang/ketegangan yang meningkat); (2) fase kedua: the acute battering incident phase (fase
akut/penganiayaan akut); (3) fase ketiga: the tranquil phase (keadaan tenang/fase bulan madu yaitu
adanya permintaan maaf dan kembali menjadi mesra). Pada fase pertama, yaitu tahap ketegangan yang
meningkat, pelaku kekerasan mulai membuat insiden kecil atau kekerasan lisan, seperti: memaki,
mengancam, dan kekerasan fisik kecil-kecilan. Karena sering munculnya ketegangan, istri mencoba
menenangkan atau menyabarkan pasangannya dengan cara apapun yang menurutnya akan membawa
hasil. Jika istri tidak berhasil, maka di dalam diri istri itu akan timbul perasaan bahwa tidak banyak yang
dapat ia lakukan karena sekuat apapun ia berusaha, kekerasan masih terus saja terjadi. Selanjutnya
suami atau pelaku cenderung melakukan penganiayaan kecil pada istrinya sewaktu tidak ada orang lain.
Hal tersebut tentunya membuat perasaan takut pada diri sang istri dan pada umumnya istri akan menarik
diri. Bertolak dari hal tersebut, sangat mungkin ketegangan antara pelaku dan korban mulai bertambah.
Pada tahap kedua, yaitu tahap penganiayaan di mana ketegangan yang telah meningkat dapat meledak
menjadi tindak penganiayaan. Suami/pelaku kehilangan kendali atas perbuatannya. Suami/pelaku
dalam konteks ini bermaksud memberi pelajaran kepada istrinya. Bentuk penganiayaan yang terjadi
bervariasi mulai dari tamparan, pukulan, tendangan, dorongan, cekikan, dan bahkan seringkali
penyerangan dengan menggunakan senjata tajam. Penganiayaan akan berhenti apabila istri memutuskan
pergi dari rumah, masuk rumah sakit, atau pelaku menyadari kesalahannya. Pada tahap ketiga, yaitu
tahap permintaan maaf dan kembali menjadi mesra, sering pula disebut sebagai tahap bulan madu yang
semu. Setelah terjadinya penganiayaan pada istri, kadang-kadang pelaku menyadari dan menyesali

1
tindakannya yang telah melewati batas. Pada umumnya pelaku akan minta maaf dan berjanji untuk tidak
mengulangi penganiayaan terhadap istrinya. Permintaan maaf suami tersebut sering membuat istri
memutuskan untuk memaafkan perbuatan suaminya dan menganggap bahwa hal tersebut tidak akan
terulang kembali. Setelah itu mereka mulai membentuk kehidupan baru kembali dan melupakan kejadian
sebelumnya. Jika tidak muncul kesadaran utuh dari pelaku, maka tahap ini tidak akan bertahan lama,
sampai pada akhirnya muncul kembali ketegangan yaitu yang akan berlanjut lagi dari tahap yang
pertama.
Cycle of violence ini dalam kenyataannya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan klien
(baca:istri) terhadap masalah KDRT yang dihadapinya dan akibatnya pada penanganan masalah
mereka. Frekuensi jarak ke tiga rangkaian tersebut secara signifikan berhubungan dengan tingkat
keparahan kekerasan. Mayoritas klien yang mengadu ke PKT RSCM adalah yang disertai kekerasan
(luka) fisik bahkan luka yang parah seperti memar, pendarahan, luka sayat, luka sundut, bahkan luka
yang menyebabkan gangguan pendengaran dan kebutaan. Dalam sepanjang ceritanya, mayoritas klien
mengaku ketegangan dengan suami sebenarnya sudah lama dan sering terjadi (bahkan ada yang terjadi
sejak mereka pacaran), baik dalam bentuk makian, hinaan, sumpah serapah, atau bahkan sudah dalam
bentuk pemukulan namun belum sampai menyebabkan luka yang parah. Walapaun ketegangan atau
dalam cycle of violence termasuk dalam fase pertama kekerasan ini sudah berlangsung sejak awal
perkawinan, namun mereka baru melapor setelah hitungan beberapa bulan, tahun, bahkan 25 tahun
setelah usia perkawinan, ketika luka fisik yang parah tidak bisa dimaklumi dan ambang batas kesabaran
klien sudah habis. Fase bulan madu di mana pasangan minta maaf, kembali mesra, memberi hadiah, dan
janji manis tidak akan mengulangi perbuatannya, menyebabkan klien yakin pasangannya suatu saat akan
berubah, menjadi alasan kuat bagi klien untuk tidak melapor. Sehingga pada saat melapor seringkali
klien sudah mengalami fase kekerasan untuk yang kesekian kalinya. Ketika klien merasa bahwa tindakan
suaminya sudah tidak bisa ditorerir, mereka kemudian mulai berpikir untuk melapor ke polisi dan ketika
mengadu ke PKT RSCM sudah membawa surat permintaan visum (SPV) dari kepolisian. Namun tujuan klien
pun acapkali untuk hanya “menggertak” pelaku bahwa klien tidak bisa diperlakukan semena-mena. Jika
klien mendapatkan kekerasan lagi di kemudian hari, baru ia akan “memperkarakan” suaminya ke
pengadilan. Ini dilandasi oleh berbagai alasan seperti tidak mau keluarganya tercerai berai, tidak mau
orang lain tahu bahwa keluarganya mempunyai masalah, masih cinta dengan pasangan, masih berharap
pasangannya akan berubah, kasihan dengan anak-anak, dan sebagainya. Terkadang pertanyaan polisi
akan kesungguhan klien membawa suaminya ke meja hijau kemudian mengggugurkan niat seorang klien
untuk melanjutkan perkaranya yang berujung pada pembatalan perkara dan terbengkelainya visum et
repertum (VER) di file PKT RSCM. Masa bulan madu yang semu pun memperkuat klien untuk menutup kasus
ini.
Namun jangan salah, dalam hitungan bulan, beberapa klien mengadu lagi ke PKT dengan luka
atas penganiayaan baru, ketika fase ketegangan dan fase kekerasan telah melanda. Ada yang
kemudian sadar untuk mengakhiri hubungan dengan pasangannya, namun tidak sedikit yang mengadu ke
PKT untuk mengobati luka hati yang menumpuk tanpa menuntaskan masalah dengan pasangannya. Upaya
membawa suami ke psikolog atau ke PKT untuk dilakukan rekonsiliasi konflik dalam prakteknya amat sulit.
Istri malah takut kalau-kalau sang suami melakukan kekerasan yang lebih jika tahu ia melapor. Upaya
penyadaran selalu dilakukan dalam tahap konseling terhadap istri, namun hal ini tentunya tidak maksimal
jika pelaku kekerasan dibiarkan saja (melakukan kekerasan). Lingkaran kekerasan ini akan berlanjut terus
menerus, bahkan fase-fase tersebut makin lama makin pendek jaraknya dan seringkali tidak melewati
fase bulan madu lagi karena kekerasan yang terjadi hanya karena ketegangan, kecuali pelaku dapat
bertanggung jawab atas tindakannya dan benar-benar dapat berubah atau istri/korban meninggalkan
situasi lingkaran kekerasan yang ia alami dan menempuh jalur hukum untuk menghentikannya.
Jika care giver dalam lembaga layanan mampu menggali masalah klien KDRT secara utuh, maka akan
banyak sekali masalah yang harus digarap mulai dari fisik, psikologis, sosial, ekonomi, sampai spiritual.
Dalam tinjauan ilmu kesejahteraan sosial, hal ini menyebabkan penentuan terminasi terhadap masalah
KDRT cukup pelik dan sulit serta akan berimplikasi pada manajemen kasus, penyediaan layanan
pendukung seperti rumah aman, pengembangan program pemberdayaan perempuan, pembiayaan, dan
tak ketinggalan kesabaran care giver. Pengetahuan tentang siklus kekerasan ini bagi para care giver atau
pendamping berguna untuk memahami dan berempati kepada klien yang dalam perjalanan kasusnya
seringkali sangat fluktuatif. Di samping itu juga karena kasus KDRT menyangkut berbagai dimensi dan

2
banyak hal yang unpredictable, yang kesemuanya menuntut penyelesaian jika ingin intervensi yang
dilakukan adalah berkualitas, tuntas, dan komprehensif. (dimuat di Kompas, Senin, 12 July 2004. Swara h.39)

PUSTAKA
Walker, L.E.A. (1994) Abuse Women and Survivor Therapy, American Psychological Association, Washington DC.

Anda mungkin juga menyukai