Anda di halaman 1dari 74

Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011

BAB II

BAB 1
PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makna nilai kekerasan suatu material berbeda untuk kelompok bidang
ilmu yang berbeda. Bagi insinyur metalurgi nilai kekerasan adalah ketahanan
material terhadap penetrasi sementara untuk para insinyur disain nilai tersebut
adalah ukuran dari tegangan alir, untuk insinyur. Lubrikasi kekerasan berarti
ketahanan terhadap mekanisme keausan, untuk para insinyur mineralogi nilai
itu adalah ketahanan terhadap goresan, dan untuk para mekanik work-shop
lebih bermakna. Kepada ketahanan material terhadap pemotongan dari alat
potong. Begitu banyak konsep kekerasan mater ial yang dipahami oleh
kelompok ilmu, walaupun demikian konsep-konsep tersebut dapat
dihubungkan pada satu mekanisme yaitu tegangan alir plastis dari material
yang diuji.
Uji keras merupakan pengujian yang paling efektif karena dengan
pengujian ini, kita dapat dengan mudah mengetahui gambaran sifat mekanis
suatu material. Meskipun pengukuran hanya dilakukan pada suatu titik, atau
daerah tertentu saja, nilai kekerasan cukup valid untuk menyatakan kekuatan
suatu material. Dengan dengan melakukan uji keras, material dapat dengan
mudah di golongkan sebagai material ulet atau getas.
Uji keras juga dapat digunakan sebaagai salah satu metode untuk
mengetahui pengaruh perlakuan panas atau dingin terhadap material.
Material yang teah mengalami cold working, hot working, dan heat
treatment, dapat diketahui gambaran perubahan kekuatannya, dengan
mengukur kekerasan permuakaan suatu material. Oleh sebab itu, dengan uji
keras kita dapat dengan mudah melakukan quality control terhadap material.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 69


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

1.2 TujuanPraktikum

Mahasiswa dapat melakukan pengujian kekerasan material:


1. Praktikan dapat melakukan percobaan pengujian kekerasan material.
2. Praktikan dapat memperoleh angka kekerasan material dengan
menggunakan metode Rockwell.
3. Praktikan dapat menentukan pergerakan dislokasi dengan melakukan
percobaan uji kekerasan.

1.3 Manfaat Praktikum


A. Manfaat pengujian bagi praktikan:
1. Mengetahui hasil pengerasan logam yang telah mengalami pengujian
kekerasan
2. Mengetahui perbedaan antara pengujian kekerasan Brinell dengan
Vickers
3. Dapat melakukan perhitungan pada suatu bahan yang telah
melakukan pengujian kekerasan

B. Manfaat pengujian bagi dunia industri:


1. Dapat menentukan tingkat kekerasan suatu produk yang digunakan
dalamindustri
2. Dapat menentukan unsur dari logam untuk digunakan
dalampembuatan produk
3. Memudahkan dalam pemliharaan bahan yang akan digunakan
padaproses pemeliharaan

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 70


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

BAB II

2. DASAR TEORI
2.1 Pengertian Kekerasan
Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical
properties) dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui
khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami
pergesekan (frictional force), dalam hal ini bidang keilmuan yang berperan
penting mempelajarinya adalah Ilmu Bahan Teknik (Metallurgy
Engineering). Kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu material
untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan). Didunia teknik,
umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian
kekerasan, yakni :
1. Brinnel (HB / BHN)
2. Rockwell (HR / RHN)
3. Vikers (HV / VHN)
4. Micro Hardness (Namun jarang sekali dipakai-red)
Pemilihan masing-masing skala (metode pengujian) tergantung pada :
a. Permukaan material
b. Jenis dan dimensi material
c. Jenis data yang diinginkan
d. Ketersedian alat uji

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 71


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.2 Pengujian Kekerasan


Terdapat tiga jenis umum mengenai ukuran kekerasan yang tergantung
cara melakukan pengujian yaitu:
A. Metode goresan (scratch hardness)
Metode goresan merupakan perhatian utama para ahli mineral.
Pengukuran kekerasan berbagai mineral dan bahan-bahan yang lain,
disusun berdasarkan kemampuan goresan satu sama yang lain. Ada
beberapa metode dalam pengujian kekerasan antara lain:
a. Metode skala Mohs
Metode Mohs disebut juga metode abrasi atau uji kekerasan.
Skala ini terdiri atas 10 standar mineral disusun berdasarkan
kemampuannya untuk digores, seperti tampak pada Tabel 2.1. Mineral
yang paling lunak pada skala ini adalah talk (kekerasan gores 1),
sedangkan intan mempunyai kekerasan 10. Skala Mohs tidak cocok
untuk logam, karena interval skala pada nilai kekerasan tinggi tidak
benar. Logam yang paling keras mempunyai harga kekerasan pada
skala Mohs, antara 4 sampai 8. Pengujian ini digunakan untuk
mengukur kekerasan batuan. Prinsip kerjanya adalah mineral atau
batuan digores dengan mineral lain yang memiliki kekerasan tinggi.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 72


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.1 Skala Mohs


Material standar Mohs Material lain Angka Kekerasan
Skala Mohs Knoop
Talc 1 2
Pb 1 s/d 2 5
Gypsum 2 32
Cu 2 s/d 3 40
Calcite 3 120
Mild Steel 3 s/d 4 100
Fluorite 4 150
Apatite 5 400
Feldspar 6 560
W 7
Quartz 7 700
Martensitic steel 7 s/d 8 700
Topaz 8 1300
Hard Cr Plating 8 1800
Corundum 9 1800
WC 9 s/d 10 1800
Diamond 10 6000
[1]

b. Metode Jarum Penggores dari Intan


Metode ini dilakukan dengan cara mengukur kedalaman atau lebar
goresan pada permukaan benda uji yang dibuat oleh jarum penggores
yang terbuat dari intan. Beban sebesar 3 kgf digunakan dan lebar goresan
diukur melalui mikroskop dengan rumus:
104
𝐻=
𝑑2
Dimana: H = nilai kekerasan goresan
d = lebar goresan dalam mikrometer.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 73


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

B. Metode lekukan ( indentation hardness )


Dari ketiga cara pengujian kekerasan, indentation hardness adalah yang
banyak digunakan. Pengetesan ini dapat dilakukan terhadap logam hasil
perlakuan panas (Heat treatment). Identation hardness terdiri dari:
1. Metode Brinell
Metode ini pertama kali dilakukan oleh Brinell pada tahun 1900.
Metode ini berupa pengidentasian sejumlah beban terhadap permukaan
material dengan penetrator yang digunakan berupa bola baja yang
dikeraskan dengan diameter 10 mm dan standar bebanya antara 0.97 s.d
3000 kgf. Pembebanan dilakukan dengan standar waktu, biasanya 30 detik.
Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan
dengan luas permukaan lekukan bekas penekan dari bola baja. Dapat
dirumuskan dengan :
𝑃
𝐵𝐻𝑁 = 𝜋𝐷
( 2 ) (𝐷 − √𝐷2 − 𝑑 2 )

dimana : BHN = nilai kekerasan brinell


P = beban yang diterapkan (kg)
D = diameter bola (mm)
d = diameter lekukan (mm)
[2]

Gambar 2.1 Brinell Tester[5]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 74


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.2 Standar Uji Brinell (ASTM 10)


Diameter Bola Beban (kgf) Angka Kekerasan yang
(mm) Disarankan (HB)

10 3000 96-600

10 1500 48-300

10 500 16-100

[1]

2. Metode Rockwell
Metode pengujian kekerasan Rockwell merupakan metode yang
paling sering digunakan unutk mengukur kekerasan karena metode ini
mudah dipraktekkan dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Beberapa
skala yang berbeda dapat digunakan unutk kombinasi yang mungkin dari
bermacam – macam indenter dan beban yang berbeda-beda. Indenter (
penekan) terdiri dari bola baja yang dikeraskan mempunyai diameter
antara 1/16, 1/8, ¼, dan ½ in (1.588, 3.175, 6.350, dan 12.70 mm), dan
penekan intan yang berbentuk kerucut yang digunakan untuk material
yang sangat keras.
Dengan metode ini, angka kekerasan dapat ditentukan melalui
perbedaan kedalaman dari hasil penekanan dari penerapan beban awal
minor dan diikuti oleh beban mayor, penggunaan beban minor dapat
mempertinggi akurasi dari pengujian. Berdasarkan besar beban dari minor
maupun mayor, ada dua tipe pengujian yaitu Rockwell dan Superficial
Rockwell. Untuk Rockwell, beban minor adalah 10kgf, dimana beban
mayor adalah 60, 100, dan 150 kgf. Masing – masing skala diwakili oleh
huruf –huruf alphabet yang ada di tabel. Untuk Superficial Rockwell,
beban minornya 3 kgf dan beban mayornya 15, 30, dan 45 kgf. Skala ini
diidentifikasi dengan 15, 30, atau 45 (berdasarkan beban) diikuti dengan
N, T, W, X, atau Y, tergantung pada penekan. Pengujian Superficial
biasanya digunakan untuk spesimen tipis.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 75


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Ketika menentukan kekerasan Rockwell dan Superficial, angka


kekerasan dan skalanya harus ditunjukan. Skala ditunjukan dengan simbol
HR diikuti dengan penunjukan skala yang tepat. Contohnya 80 HRB
menunjukan kekerasan Rockwell 80 pada skala B dan 60HR30W
menunjukan kekerasan Superficial 60pada skala 30W.
Untuk masing – masing skala kekerasannya dapat mencapai 130,
namun nilai kekerasan meningkat diatas 100 atau menurun dibawah 20
pada skala berapapun, mereka menjadi tidak akurat. Ketidakakuratan juga
dapat dialami jika spesimen terlalu tipis. Ketebalan spesimen seharusnya
paling tidak 10 kali dari kedalaman penekanan.

Gambar 2.2 Alat Uji Kekerasan Rockwell dan Proses Pengujian


Rockwell [5]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 76


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.3 Skala Kekerasan Rockwell


Beban Mayor
Skala Tipe Indentor Tipe Material Uji
(Kgf)
1/16” bola intan Sangat keras, tungsten,
A 60
kerucut karbida
Kekerasan sedang, baja
B 100 1/16” bola karbon rendah dan sedang,
kuningan, perunggu
Baja keras, paduan yang
C 150 Intan kerucut dikeraskan, baja hasil
tempering
Besi cor, paduan
D 100 1/8” bola alumunium, magnesium
yg dianealing
E 100 Intan Kerucut Baja kawakan
Kuningan yang dianealing
F 60 1/16” bola
dan tembaga
Tembaga, berilium, fosfor,
G 150 1/8” bola
perunggu
H 60 1/8” bola Pelat alumunium, timah
Besi cor, paduan
K 150 ¼” bola
alumunium, timah
L 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
M 100 ¼” bola Plastik, logam lunak
R 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
S 100 ½” bola Plastik, logam lunak
V 150 ½” bola Plastik, logam lunak
[3]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 77


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.4 Skala Kekerasan Superficial Rockwell


Skala Indenter Beban Mayor ( kgf )
15N Diamond 15
30N Diamond 30
45N Diamond 45
15T 1/16 in. Ball 15
30T 1/16 in. Ball 30
45T 1/16 in. Ball 45
15W 1/8 in. Ball 15
30W 1/8 in. Ball 30
45W 1/8 in. Ball 45
[3]

3. Metode Vickers
Metode ini mirip dengan metode Brinell tetapi penetrator yang
dipakai berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan
sudut puncak 1360. Beban yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg [6].

Gambar 2.3 Cara Pengukuran Diameter pada Identor Vickers[6]

d1  d 2
d
2
P
HV  1,854
L2
dimana: P = Beban yang ditetapkan
L = Panjang diagonal rata-rata

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 78


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.4 Alat Uji Kekerasan Vickers [5]

Gambar 2.5 The Vickers Diamonds-piramids Identor[6]

Gambar 2.6 Macam –Macam Lekukan yang Dihasilkan Penumbuk


Intan[7]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 79


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Lekukan yang benar yang dibuat oleh penumbuk piramida intan


harus berbentuk bujur sangkar (a). Akan tetapi, sering juga ditemukan
penyimpangan pada pengujian Vickers. Lekukan bantal jarum pada
gambar (b) adalah akibat pengukuran terjadinya penurunan logam disekitar
permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terdapat pada logam-
logam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang diagonal
berlebih. Lekukan berbentuk tong pada (c) terdapat pada logam-logam
yang mengalami proses pengerjaan dingin. Bentuk demikian diakibatkan
oleh penimbunan ke atas logam-logam disekitar permukaan penumbuk. [2]

4. Uji Kekerasan Mikro ( Microhardness Tester)


Metode ini menggunakan prinsip indentasi yang digunakan untuk
mengukur kekerasan benda-benda mikro. Penetratornya adalah intan
dengan perbandingan diagonal panjang dan pendek sekitar 7:1. Intan
tersebut berupa intan kasar yang dibentuk sedemikian menjadi bentuk
piramida.. Angka kekerasan knoop (KHN) adalah beban dibagi luas
proyeksi lekukan yang tidak akan kembali ke bentuk semula
[2]

Gambar 2.7 The Knoop diamond-pyramid indenter[8]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 80


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Angka kekerasan Knoop (KHN) dirumuskan sebagai berikut: [2]


P P
KHN   2
A P LC

dimana P = beban yang diterapkan (kg)


Ap = luas proyeksi lekukan yang tidak pulih ke bentuk semula
L = panjang diagonal yang lebih panjang
C = konstanta untuk setiap penumbuk

5. Metode Meyer
Metode Meyer hampir sama dengan Metode Brinell, yang
membedakan adalah pada Meyer yang diperhatikan adalah projected area
pada bekas indentasi sedangkan pada Brinell adalah pada luas area
permukaan. Rata – rata tekanan antara permukaan indentor dan
indentasinya sama dengan beban dibagi projected area dari bekas
indentasi.
P
P
r 2
Cara menghitung kekerasan dengan metode Meyer atau MHN V: [3]
4P
MHN 
d 2
dimana MHN = nilai kekerasan Meyer
P = Beban yang diberikan
d = diameter penekanan

Seperti uji kekerasan Brinell, uji kekerasan Meyer memiliki satuan


kg/mm2. Uji Meyer kurang sensitif dibandingkan dengan uji kekerasan
Brinell. Untuk pengerjaan pendinginan pengujian kekerasan Meyer lebih
konstan dan valid dibandingkan dengan uji kekerasan Brinell yang
hasilnya berfluktuasi. Uji kekerasan Meyer lebih fundamental dalam
perhitungan kekerasan indentasi namun secara prakteknya jarang
digunakan untuk pengujian kekerasan. [2]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 81


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.8 Alat Penguji Kekerasan Meyer [2]

6. Metode Kerucut (HRC)


Metode ini termasuk metode Rockwell yang dalam penerapannya
menggunakan indentor berupa sebuah batu intan berbentuk piramida
dengan sudut puncak 120
Pada metode ini beban awal dipasang sebesar 10 kgf dan ujung
kerucut masuk sedikit ke dalam bahan. Hal ini pertama kali dilakukan agar
terhindar dari ketidakrataan permukaan. Selanjutnya penunjuk jam diset
pada kedudukan 100. Lalu beban utama sebesar 140 kgf dipasang,
sehingga beban seluruhnya sebesar 150 kgf yang menyebabkan kerucut
masuk lebih dalam lagi dan penunjuk jam kembali. Setelah beberapa saat
beban utama diambil kembali, maka kerucut tersebut merapat kembali
karena bentuk elastis dari bahan yang diukur. Penunjuk jam ukur akan
berputar sedikit naik, kedudukan penunjuk saat itulah dinyatakan dalam
HRC (dengan skala 0 s/d 100).

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 82


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.9 Perbandingan Penetrator dari metode Brinell dan


Rockwell [1]

Berdasarkan gambar perbandingan diatas sudah dapat kita simpulkan


bahwa metode ini hanya sesuai untuk specimen yang strukturnya homogen
saja. Hal ini dikarenakan ujung penetrator memiliki luas permukaan yang
sempit sehingga tidak dapat mewakili struktur permukaan specimen yang
strukturnya heterogen . [1]

7. Metode Knoop Diamond Microhardness Test


Metode yang dikembangkan di Amerika Serikat ini menggunakan
indenter intan piramida yang didesain untuk memberikan penekanan tipis
dan panjang, panjangnya adalah tujuh kali lebih besar dari lebarnya, dan
sekitar 30 kali lebih besar dari kedalamannya . Bentuk ini memberikan
keuntungan lebih daripada metode Vickers, karena dapat memberikan
keakuratan yang lebih tinggi dalam perhitungan nilai kekerasan. [1]
Nilai kekerasan Knoop, HK adalah sebagai berikut
14,229𝐿
𝐻𝐾 =
𝑑2
dimana HK = nilai kekerasan Knoop
L = beban yang diberikan
D = panjang dari diagonal pada micrometer.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 83


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.10 Schematic of diamond-point indenter and plan view of


theindentation area.

8. Metode Peluru
Pada dasarnya metode ini sama dengan metode kerucut, hanya
pada metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru baja yang
dikeraskan dengan diameter 1/16 inci menggunakan beban tertentu
dalam bahannya. Skala yang dipakai adalah 30 s/d 130, dengan skala 30
dianggap beban yang lunak dan 130 adalah beban yang paling keras.
Prinsip kerjanya mula-mula peluru ditekan pada bahan dengan
beban awal sebesar 10 kgf, kemudian ditambahkan beban utama sebesar
90 kgf. Setelah beberapa lama beban utama diambil dan pengukur
menunjukkan beberapa mm peluru ke dalam bahan.
Pada metode ini kelebihan dan kekurangannya sama dengan
metode kerucut, karena ketelitiannya tidak akurat, maka metode ini
hampir tidak dipakai.

a. b. c.
Gambar 2.11 Penetrator a.) steel ball 1/8” b.) steel ball 1/16” c.) intan
[1]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 84


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan spesimen-spesimen


dengan syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Syarat spesimen untuk uji
kekerasan, yaitu:
1. Permukaan spesimen harus rata (sejajar).
2. Permukaan spesimen harus halus.
3. Permukaan spesimen harus bersih.
4. Jarak indentasi satu dengan yang lain minimal 3d (d = diameter
bekas indentasi).
5. Ketebalan spesimen minimal 10 d (d = diameter bekas indentasi).

Tabel 2.5 Macam-Macam Metode Kekerasan Lekukan [3]

C. Metode pantulan ( rebound / dynamic hardness )


Pada pengukuran kekerasan dinamik, biasanya penumbuk dijatuhkan ke
permukaan logam dan kekerasan dinyatakan oleh energi tumbuknya.
Skeleroskop Shore (shore scleroscope), yang merupakan contoh paling umum
dari suatu alat penguji kekerasan dinamik mengukur kekerasan yang dinyatakan
dengan tinggi lekukan atau tinggi pantulan. Standar yang digunakan pada
metode scleroscope shore adalah ASTM C-886. ). ASTM C-866 merupakan

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 85


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

American society for testing and materials dengan spesifikasi C-866 yang
merupakan material untuk mesin mesin penguji yang merupakan paduan atau
campuran dari carbon, chromium, vanadium, tungsten atau kombinasi cobalt
atau standar konversi kekerasan dari logam. Metode Kekerasan Sklereskop
ditunjukan dengan angka yang diberikan oleh tingginya ujung palu kecil setelah
dijatuhkan dalam tabung gelas dalam ketinggian 10 inch (250 mm) terhadap
permukaan benda uji.

2.2.2 Nilai Konversi Kekerasan


Fasilitas untuk mengonversi pengukuran kekerasan pada satu skala
menjadi skala yang lain sangat diinginkan. Namun, karena kekerasan
merupakan sifat material yang tidak ditetapkan dengan baik dan karena
perbedaan eksperimen antara bermacam-macam teknik, sebuah skema
konversi yang luas tidak ditemukan. Data konversi kekerasan telah
ditentukan secara eksperimen dan ditemukan bergantung pada tipe dan
karakteristik material. Data konversi yang paling dapat dipercaya ada
pada gambar di bawah ini.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 86


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.12 Perbandingan dari beberapa skala kekerasan[1]

Tabel konversi yang detail untuk bermacam-macam logam dan campuran dimuat
dalam ASTM Standard E 140, “Standard Hardness Conversion Tables for
Metals.” ASTM Standard E 140 merupakan standard yang digunakan untuk
mengonversi nilai kekerasan dari satu nilai kekerasan ke nilai kekerasan lainnya.
ASTM E 140 berisi tabel konversi seperti berikut:

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 87


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.6 konversi nilai kekerasan ASTM E 140

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 88


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 89


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

[9]

2.2.3 Korelasi Nilai Kekerasan Dengan Struktur Mikro


Pengaruh besarnya butiran terhadap kekerasan tergantung pada ukuran
dari butiran tersebut. Semakin kecil besar butiran maka semakin kuat
kekerasan dari logam tersebut dan sebaliknya. Proses pemanasan (Heat
Treatment) dapat membesarkan ukuran dari butiran tersebut sehingga
kekuatan untuk saling mengikat menurun, pada fase ini terjadi perubahan
struktur butiran menjadi lebih terstruktur. Proses pendinginan setelahnya
membuat ukuran dari butiran kembari mengecil tetapi struktur logam setelah
pendinginan menjadi lebih terstruktur (strukturnya menjadi lebih rapi)
sehingga kekerasan dari logamnya meningkat.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 90


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.13 Perbandingan struktur mikro terhadap kekerasan


material [10]

Korelasi Nilai Kekerasan terhadap Perilaku Panas

Baja karbon rendah dipanaskan diatas titik kritis atas (tertinggi).


Seluruh unsur karbon masuk ke dalam larutan padat dan selanjutnya
didinginkan. Baja karbon tinggi biasanya dipanaskan hanya sedikit diatas
titik kritis terendah (bawah). Dalam hal ini, terjadi perubahan perlit menjadi
austenit. Pendinginan yang dilakukan pada suhu itu akan membentuk
martensit. Juga sewaktu kandungan karbon diatas 0,83% tidak terjadi
perubahan sementit bebas menjadi austenit, karena larutannya telah menjadi
keras. Sehingga perlu dilakukan pemanasan pada suhu tinggi untuk
mengubahnya dalam bentuk austenit. Lamanya pemanasan bergantung atas
ketebalan bahan tetapi bahan harus tidak berukuran panjang karena akan
menghasilkan struktur yang kasar.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 91


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Gambar 2.14 Transformasi yang Melibatkan Dekomposisi Austenit [3]


A B C

G
C

Gambar 2.15 Diagram fasa Fe-Fe3C [11]

Beberapa istilah dalam diagram kesetimbangan Fe-Fe3C dan fasa-fasa


yang terdapat didalamnya akan dijelaskan dibawah ini. Berikut adalah batas-
batas temperatur kritis pada diagram Fe-Fe3C:

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 92


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Ao : Titik pada temperatur 210oC dimana terjadi perubahan sifat magnetik


sementit.
A1 : Temperatur reaksi eutektoid (pada temperatur 723oC) yaitu perubahan
fasa γ menjadi α+ γ, lalu kemudian berubah menjadi α+Fe3C (perlit)
dan ferit untuk baja hypo eutektoid (< 0,83%). Perubahan fasa γ
menjadi γ +Fe3C, lalu kemudian berubah menjadi α+Fe3C (perlit) dan
cementite untuk baja hypo eutektoid (kurang dari 0,83%)
A2 : Titik Currie (pada temperatur 769oC), dimana sifat magnetik besi
berubah dari feromagnetik menjadi paramagnetik.
A3 : Temperatur transformasi dari fasa γ menjadi α+ γ yang ditandai pula
dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya
temperatur.
A : Titik cair besi
B : Larutan padat yang ada hubungannya dengan reaksi peritektik.
Kelarutan karbon maksimum adalah 0,10%
C : Titik pada cairan yang ada hubungannya dengan reaksi peritektik
D : Titik eutektik dimana L menjadi solid. Untuk daerah < 4,3% akan
menjadi austenite ledeburite dan cementite, sedangkan daerah >4,3%
akan menjadi cementite dan ledeburite
E : Garis dimana L mulai bertransformasi menjadi fasa L+Fe3C
F : Titik yang menyatakan fasa γ. Ada hubungannya dengan reaksi eutektik
G : Titik eutektoid yang menjadi batas perubahan γ menjadi α+Fe3C
Acm : Temperatur transformasi dari fasa γ menjadi Fe3C (sementit) yang
ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan karbon seiring dengan
turunnya temperatur.
Proses pemanasan (Heat Treatment) dapat membesarkan ukuran dari
butiran tersebut sehingga kekuatan untuk saling mengikat menurun, pada fase
ini terjadi perubahan struktur butiran menjadi lebih terstruktur. Proses
pendinginan setelahnya membuat ukuran dari butiran kembari mengecil tetapi
struktur logam setelah pendinginan menjadi lebih terstruktur (strukturnya
menjadi lebih rapi) sehingga kekerasan dari logamnya meningkat.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 93


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.2.4 Aplikasi Dalam Dunia Industri


A. Pengaruh Proses Temper Terhadap Kekerasan Material Katup JIS SUH
11
Material JIS SUH11 merupakan kelompok heat resistant alloy.
Material ini memiliki kadar Cr dan Si yang tinggi untuk meningkatkan
ketahanan korosi dan kekuatan pada temperatur yang cukup tinggi.
Material JIS SUH11 biasa digunakan sebagai material untuk katup motor
bakar. Katup motor bakar harus memiliki kekerasan dan keuletan yang
tinggi. Di industri, kekerasan katup motor bakar setelah proses temper,
sering kali berada di luar standar. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari hubungan antara proses temper dengan
kekerasan material katup, serta mengamati aspek metalurgi yang terjadi
pada proses temper.

Gambar 2.16 Katup JIS [12]

Pada penelitian ini, data-data diperoleh dari hasil pengukuran


kekerasan dan struktur mikro spesimen awal, spesimen yang telah di-
anneal, di-quench dan ditemper. Proses temper dilakukan dengan mem-
variasikan temperatur dan waktu proses. Untuk temperatur, dilakukan 4
variasi, yaitu 650oC, 680oC, 720oC, dan 750oC, sedangkan untuk waktu,
dilakukan 3 variasi, yaitu 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Pengukuran
kekerasan dilakukan dengan menggunakan metoda microvickers dan
diuji secara acak pada sampel. Hasil percobaan ini adalah kurva temper.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 94


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Kurva ini dapat dijadikan acuan proses temper agar diperoleh kekerasan
yang memenuhi standard kekerasan katup di industri.
Proses temper untuk memperoleh harga kekerasan yang sesuai
dengan standar untuk material katup JIS SUH11 adalah pada temperatur
720-750oC selama 30 menit, 60 menit, atau 90 menit. Agar proses
temper lebih efisien maka disarankan memilih waktu temper 30 menit.

B. Pengaruh Holding Time Terhadap Kekerasan dan Struktur Mikro pada


Bahan Dayang Super X (Sebuah Studi untuk Memperbaiki Kekerasan
Piston Dayang Super X mendekati Piston Honda Supra X)

Gambar 2.17 Piston super X [12]

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Menyelidiki komposisi unsur


logam paduan piston Honda Supra X serta piston Dayang Super X. (2)
Menyelidiki karakter sifat fisis dan mekanis piston Dayang Super X yang belum
diberi perlakuan panas (heat treatment), serta yang telah mengalami heat
treatment, dan piston Honda Supra X yang tidak mengalami heat treatment
(original). (3) Menyelidiki adanya pengaruh waktu penahanan (Holding Time)
terhadap nilai kekerasan dan struktur mikro bahan piston Dayang Super X pada
proses heat treatment. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif, dan eksperimen. Adapun jenis penelitian ini merupakan penelitian

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 95


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

kuantitatif, oleh karena data yang dihasilkan berupa angka-angka. Data yang
diperoleh kemudian dianalisa dan dideskripsikan dalam grafik maupun
histogram. Selain itu, untuk menentukan jenis perlakuan agar diperoleh hasil
yang optimal, maka peneliti juga menggunakan metode Study Literature. Data
dari penelitian ini diperoleh dari hasil pengujian komposisi bahan, foto stuktur
mikro, pengujian kekerasan makro dan kekerasan mikro dari sebelum heat
treatment dan sesudah heat treatment. Sampel dari penelitian ini adalah sebuah
piston Honda Supra X dan piston Dayang Super X yang keduanya identik
bentuk dan ukurannya. Hasil uji komposisi kimia menunjukkan bahwa spesimen
piston Dayang Super X dan Honda Supra X merupakan paduan Aluminium dan
silikon Hypoeutectoid dengan persentase 10,5 %Si pada spesimen piston
Dayang Super X dan 10,4 %Si pada spesimen piston Honda Supra X.
Berdasarkan standar The Aluminium Association, komposisi paduan Al-Si pada
piston Dayang Super X dan piston Honda Supra X tersebut mendekati golongan
332 dan 333. Hasil pengamatan foto struktur mikro piston Honda Supra X,
memperlihatkan presipitasi yang terjadi lebih optimal dan menunjukkan struktur
butiran yang lebih halus dan padat dari piston Dayang Super X. Piston Honda
Supra X memiliki nilai rata-rata kekerasan makro 71,16 HRB dan piston Dayang
Super X memiliki nilai rata-rata kekerasan makro 67,67 HRB. Pada pengujian
kekerasan mikro dihasilkan nilai rata-rata kekerasan piston Dayang Super X
118,73 HVN, sedangkan nilai rata-rata kekerasan mikro pada piston Honda
Supra X yaitu 118,33 HVN. Perlakuan panas yang dilakukan untuk memperbaiki
sifat fisis dan mekanis piston Dayang Super X adalah Age Hardening yang
meliputi tahap Solution Treatment, Quenching, dan Artificial Aging, dengan
variasi Holding Time pada tahap Artificial Aging selama 2,5 jam, 3,5 jam dan
4,5 jam dan Holding Time pada tahap Solution Treatment selama 7 jam.
Ketentuan tersebut mengacu pada golongan Aluminium paduan 333 pada
standar The Aluminium Association Nilai kekerasan meningkat dan mendekati
piston Honda Supra X terjadi setelah spesimen mengalami perlakuan panas
dengan Holding Time pada tahap Artificial Aging selama 3,5 jam, yaitu 118,7
HVN pada pengujian mikro dan 73,34 HRB pada pengujian makro. Hasil foto

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 96


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

struktur mikro spesimen piston dengan variasi holding time selama 3,5 jam
menunjukkan struktur yang lebih padat dan teratur daripada spesimen piston
dengan holding time 2,5 jam dan raw material. Peningkatan nilai kekerasan
piston Dayang Super X setelah mengalami Heat Treatment dengan Artificial
Aging 4,5 jam mencapai 13%.

2.3 METODOLOGI
2.3.1 Bahan percobaan
Bahan pengujian yang digunakan antara lain:
a. Lempeng Logam non perlakuan
b. Lempeng Logam 2 kali penumbukan
c. Lempeng Logam 4 kali penumbukan
d. Lempeng Logam 6 kali penumbukan
2.3.2 Peraalatan Pengujian
Peralatan yang digunakan antara lain :
a. Rockwell Hardness Tester
Merupakan alat yang dipakai untuk mengukur kekasaranpermukaan
dengan menggunakan Metode Rockwell

Gambar 2.20 Rockwell Hardness Tester – Model HR-150A [5]

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 97


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

b. Amplas
Memiliki fungsi untuk meratakan dan menghaluskan, meratakan dan
mensejajarkan permukaan spesimen sebelum dilakukan pengujian
kekerasan ( dimana ukuranya 200, 400, 600, 800, 1000, 1200, 1500, 2000)

Gambar 2.21 Amplas [5]

2.3.3 Langkah Pengujian


1. Membersihkan permukaan benda uji dan mengamplasnya sehingga
kedua permukaan tersebut benar-benar rata dan sejajar.
2. Memasang penetrator diamond sesuai dengan jenis material yang akan
diuji.
3. Memasang benda uji pada kedudukannya (anvil) lalu kencangkan
dengan memutar hand well searah jarum jam hingga spesimen
menyentuh penetrator dan jarum kecil pada dial indicator menuju titik
merah.
4. Mengatur dial indicator sehingga jarum besar tepat pada garis indicator
C.
5. Setelah 30 detik dan jarum panjang berhenti tekan handle pelepas beban
untu menghilangkan pengetesan pembebanan utama.
6. Melakukan pembacaan pada indicator. Untuk pengujian dengan
diamond penetrator baca pada garis bagian luar indicator (garis warna
hitam).
7. Memutar hand whell berlawanan jarum jam untuk menurunkan
spesimen.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 98


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

8. Melakukan pengujian di 3 titik (3 kali pengukuran) dengan jarak


minimal antara pengujian 3 kali diameter lubang hasil pengujian.
9. Mengkonversi harga kekerasan Rockwell ke harga kekerasan Brinell
dan Vickers dengan menginterpolasi dari tabel atau dengan rumus
10. Membersihkan dan rapikan alat uji bila tidak digunakan lagi.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 99


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.3.4 Diagram Alir Pengujian

Mulai

Mengamplas spesimen

Memasang penetrator HRA

Memasang spesimen pada anvil

Mengecangkan spesimen menyentuh


penetrator hingga jarum kecil tepat
dititik merah

Mengatur jarum besar dial indikator


pada B

Setelah 1 menit tekan handle pelepas beban

Mencatat hasil pada dial indikator


HRA (angka hitam)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 100


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Melepas spesimen dengan cara memutar


hand well berlawanan jarum jam

Membersihkan dan merapikan alat

Selesai

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 101


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN


2.4.1 DATA PERCOBAAN
Tabel 2.7 Material non perlakuan
HRA (Diamond 60)
NO
Lempeng Logam (non-perlakuan)

1 57.5

2 51.8

3 62.5

Rata-
57.26
rata

Tabel 2.8 Material 2 kali penumbukan


HRA (Diamond 60)
NO
Lempeng Logam (non-perlakuan)

1 66.5

2 59.3

3 61.6

Rata-
62.47
rata

Tabel 2.9 Material 4 kali penumbukan


HRA (Diamond 60)
NO
Lempeng Logam (non-perlakuan)

1 64

2 68.2

3 66.7

Rata-
66.3
rata

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 102


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.10 Material 6 kali penumbukan

HRA (Diamond 60)


NO
Lempeng Logam (non-perlakuan)

1 63.5

2 62.5

3 71.2

Rata-
65.73
rata

2.4.2 Pengolahan Data

A. Rumus Perhitungan Konversi

a. Pengujian dengan Skala HRA


1
(6.85  10 5 ) 2
6.85  10 5
HRA  112.3  → HV 
HV (112.3  HRA ) 2
HB  0.95  HV

b. Untuk pengujian dengan skala HRF (dilihat dari tabel konversi), Jika
nilainya tidak ada maka dilakukan interpolasi.

c. Interpolasi dari tabel kekerasan pada lampiran :

HRnbatasatas  HRnbatasbawah HVbatasatas  HVbatasbawah



HRnbatasatas  HRnbatasbawah HVbatasatas  HV

Contoh : Nilai kekerasan kuningan diberikan pada data sebagai berikut :

B. Mengkonversi dari skala HRA dam HRF ke skala HV dan HB

a. Tabel 2.11 Material non perlakuan

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 103


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Lempeng Logam
No. HRA HV HB
1. 57.5 228.10 216.695

2. 51.8 187.146 177.789

3. 61.8 265.318 252.02

HV = 6,85 x 105 HV = 6,85 x 105

112,3 - 57.52 112,3 - 51.8


2 2

= 228.10 = 187.146
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 228.10 HB = 0,95 x 187.146
= 216.695 = 177.789

HV = 6,85 x 105

112,3 - 62.5)
2

= 265.318
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 265.318
= 252.05

b. Tabel 2.12 Material 2 kali penumbukan


Baja ST 60
No. HRA HV HB
1. 66.5 326.56 310.232

2. 59.3 243.86 231.67

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 104


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

3. 61.6 266.486 253.16

HV = 6,85 x 105 HV = 6,85 x 105


112,3 - 66.52 112,3 - 59.3
2

= 326.56 = 243.86
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 326.56 HB = 0,95 x 243.86
= 310.232 = 231.67

HV = 6,85 x 105

112,3 - 61.6
2

= 266.486
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 266.486
= 253.16

c. Tabel 2.13 Material 4 kali penumbukan


Besi cor
No. HRA HV HB
1. 64 293.63 278.95

2. 68.2 352.22 334.61

3. 66.7 329.43 313.34

HV = 6,85 x 105
2
112,3 - 642
= 293.63
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 293.63

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 105


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

= 278.95

HV = 6,85 x 105

112,3 - 68.2
2

= 352.22
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 352.22
= 334.61

HV = 6,85 x 105

112,3 - 66.7
2

= 329.43
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 329.43
= 313.34

d. Tabel 2.14 Material 6 kali penumbukan


Kuningan
No. HRB HV HB
1. 63.5 287.64 273.26
2. 62.5 276.21 253.16
3. 71.2 405.51 385.24

HV = 6,85 x 105 HV = 6,85 x 105


112,3 - 63.52 112,3 - 71.2
2

= 287.64 = 405.51
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 287.64 HB = 0,95 x 405.51

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 106


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

= 273.26 = 385.24

HV = 6,85 x 105

112,3 - 62.5
2

= 276.21
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 276.21
= 253.16

2.4.2.2 Keseksamaan Nilai Kekerasan


A. Rumus Perhitungan
1. Metode Rockwell

 HR 

 HR  HR 2

nn  1
HR = ( HR   HR )
 HR 
Ralat Nisbi =   100%
 HR 
 HR 
Keseksamaan = 1    100%
 HR 

2. Metode Vickers

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 107


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

 HV =

 HV  HV 
2

nn  1

HV = ( HV   HV )
 HV 
Ralat Nisbi =    100%
 HV 
 HV 
Keseksamaan = 1    100%
 HV 
3. Metode Brinell

 HB 

 HB  HB 2

nn  1
HB = ( HB   HB )
 HB 
Ralat Nisbi =   100%
 HB 
 HB 
Keseksamaan = 1    100%
 HB 

A. Material Non Perlakuan


1. Tabel 2.26 Baja ST 40

NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 53.00 0.25 194.80 11.24 185.06 10.15

2. 54.00 0.25 201.54 11.47 191.46 10.33

3. 53.50 0.00 198.12 0.00 188.22 0.00

Rata- HR = 53.50   0.50 HV = 198.15   22.72 HB   20.48


rata =188.25

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 108


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

0.50

6
= 0.28

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (53.500.28)

 0.28 
Ralat Nisbi =   100%
 53.5 
 0..52%
 0.28 
Keseksamaan = 1    100%
 53.5 
 99.48%

HV 

 HV  HV  2

nn  1

22.72
=
6
= 1.9

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (198.151.9)

 1.9 
Ralat Nisbi =   100%
 198.15 
 0.95%
 1.9 
Keseksamaan = 1    100%
 198.15 
 99.04%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 109


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

20.48
=
6
= 1.74

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (188.251.74)

 1.74 
Ralat Nisbi =  100%
 188.25 

 0.22%

 1.74 
Keseksamaan = 1    100%
 188.25 
 99.07%

2. Tabel 2.27 Baja ST 60

NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1 57.5 0.25 228.1 18.15 216.7 16.38

2 58 0.00 232.32 0.00 220.71 0.00

3 58.5 0.25 236.66 18.49 224.83 16.67

Rata
HR =58.00   0.50 HV = 232.36   36.64 HB =220.75   33.05
-rata

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

0.50

6
= 0.083

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 110


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (58.000.083)

 0.083 
Ralat Nisbi =   100%
 58.00 
 0.143%
 0.083 
Keseksamaan = 1    100%
 58.00 
 99.85%

HV 

 HV  HV  2

nn  1

36.64
=
6
= 2.47

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

=(201.20.23)

 0.23 
Ralat Nisbi =   100%
 201.2 
 0.11%
 0.23 
Keseksamaan = 1    100%
 201.2 
 99.88%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

33.05
=
6
= 2.23

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 111


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

=(220.752.23)

 2.23 
Ralat Nisbi =   100%
 220.75 
 1.06%

 2.23 
Keseksamaan = 1    100%
 220.75 
 98.93%

3. Tabel 2.28 Besi Cor

NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 63 0.00 281.84 0.00 267.74 0.00

2. 62.5 0.25 276.21 32.34 262.39 29.23

3. 63.5 0.25 287.64 32.99 273.26 29.85

Rata-
rata
HR = 63.00   0,50 HV = 281.90   65.33 HB = 267.80   59.08

HRA 

 HRA  HR A 2

nn  1

0,50

6
=0.08

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (63.000.08)

 0.08 
Ralat Nisbi =   100%
 63.00 
 2.22%
 0.08 
Keseksamaan = 1   100%
 63.00 

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 112


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

 99.97%

HV 

 HV  HV  2

nn  1

65.33
=
6
= 3.2

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (281.903.2)

 3.2 
Ralat Nisbi =  100%
 281.90 
 1.13%
 3.2 
Keseksamaan = 1    100%
 281,90 
 98.86%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

59.08
=
6
= 3.13
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (267.803.13)

 3.13 
Ralat Nisbi =   100%
 267.80 
 1.16%
 3.13 
Keseksamaan = 1    100%
 267.80 
 98.83%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 113


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

4. Tabel 2.29 Kuningan

NO. HRB (HRB- HRB )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 70 0.0289 470 2.79 442 0.0069

2. 69.5 0.1089 465 11.09 441.75 0.0289

3. 70 0.0289 470 2.79 442 0.0069

Rata- HRF  0.17 HV =


  16.67
HB = 
=69.83 0.0427
rata 468.33 441.92

HRB 

 HRA  HRA 2

nn  1

3.5

6
= 0,76

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HRA  HRA )

= (72.50,76)

= 
0,76 
Ralat Nisbi   100%
 72.5 
 1.04%

= 1 
0,76 
Keseksamaan   100%
 72.5 
 98,96%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 114


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

HV 

 HV  HV  2

nn  1

14
=
6
= 1.53
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (1241.53)

= 
1.53 
Ralat Nisbi   100%
 124 
 1,23%

= 1 
1.53 
Keseksamaan   100%
 124 
 98,77%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

13.68
=
6
= 2.28

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (117.32.28)

= 
2.28 
Ralat Nisbi   100%
 117.3 
 1,94%

= 1 
2.28 
Keseksamaan   100%
 117.3 
 98,05%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 115


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

5. Tabel 2.30 Tembaga

NO. HRB (HRB- HRB )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 39.5 0.4489 274 3.0625 260.3 2.77

2. 38.5 2.7889 272 14.0625 258.4 7.78

3. 42.5 5.4289 281.25 30.25 267.19 27.35

Rata HRF = 40.17  8.67 HV =


  47.375
HB =   37.90
-rata 275.8 261.96

HRB 

 HRA  HRA 2

nn  1

11.18

6
= 1.86

Nilai HRB yang sesungguhnya = ( HRA  HRA )

= (40.11.86)

= 
1.86 
Ralat Nisbi   100%
 40.1 
 4.63%

= 1 
1.86 
Keseksamaan   100%
 40.1 

 95.36%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 116


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

HV 

 HV  HV  2

nn  1

9.5
=
6
= 1.26
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (82.51.26)

= 
1.26 
Ralat Nisbi   100%
 82.5 
 1,53%

= 1 
1.26 
Keseksamaan   100%
 82.5 
 98,47%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

8.51
=
6
= 1.41

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (78.361.41)

 1.41 
Ralat Nisbi =   100%
 78.36 
 1.79%
 1.41 
Keseksamaan = 1    100%
 78.36 
 98.2%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 117


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

6. Tabel 2.31 Aluminium


NO. HRB (HRB- HRB )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2
1.
72 1.7689 490 277.77 461 235.11

2.
71 5.4289 480 711.29 451 641.61

3.
77 13.4689 550 1874.89 517 1654.05

Rata-
rata
HRF =   20.67   954.65
HB =   2530.7
HV = 506.7
73.33 476.33

HRB 

 HRA  HRA 
2

nn  1

16.67

6
= 1.67

Nilai HRB yang sesungguhnya = ( HRA  HRA )

= (78.31.67)

 1.67 
Ralat Nisbi =   100%
 78.3 
 2.13%
 1.67 
Keseksamaan = 1    100%
 78.3 
 97.86%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 118


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

HV 

 HV  HV  2

nn  1

8.67
=
6
= 1.20

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (118.31.20)

 1.20 
Ralat Nisbi =   100%
 118.3 
 1,01%

 1.20 
Keseksamaan = 1   100%
 118.3 
 98,99%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

7.89
=
6
= 1.15

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (112.41.15)

 1.15 
Ralat Nisbi =  100%
 112.4 
 1,02%

 1.15 
Keseksamaan = 1    100%
 112.4 
 98,98%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 119


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

B. Material Perlakuan Panas


1. Perlakuan panas dengan pendinginan udara
a. Tabel 2.32 Baja ST 40
NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 67.00 1.36 333.81 354.82 317.12 320.17

2. 67.50 0.44 341.30 128.75 324.23 116.28

3. 70.00 3.36 382.83 911.03 363.69 822.35

Rata-
rata
HR = 54   4.5 HV = 194.88   63.08 HB = 185.14   57.00

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

4.5

6
= 0.89

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (540.89)

 0.89 
Ralat Nisbi =   100%
 54 
 1.6%

 0.89 
Keseksamaan = 1    100%
 54 
 98.34%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 120


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

HV 

 HV  HV  2

nn  1

63.08
=
6
= 3.2

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (194.883.2)

 3.2 
Ralat Nisbi =   100%
 194.88 
 16.4%

 3.2 
Keseksamaan = 1   100%
 194.88 
 83.57%

HB 

 HB  HB 2

nn  1

57.00
=
6
= 3.08

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (185.143.08)

 3.08 
Ralat Nisbi =   100%
 185.14 
 3.6%
 3.08 
Keseksamaan = 1    100%
 185.14 
 99.38%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 121


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2. Tabel 2.33 Baja ST 60

NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 52.50 0.03 191.55 1.29 181.98 1.16

2. 53.50 0.69 198.12 29.52 188.22 26.66

3. 52.00 0.44 188.39 18.46 178.97 16.70

Rata
HR = 52.67   1.17 HV = 192.69   49.27 HB = 183.06   44.52
-rata

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

1.17

6
= 0.44

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (52.670.44)

 0.44 
Ralat Nisbi =   100%
 52.67 
 0.83%
 0.44 
Keseksamaan = 1    100%
 52.67 
 99.16%

HV 

 HV  HV 
2

nn  1

49.27
=
6
= 2.86

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 122


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (192.692.86)

 2.86 
Ralat Nisbi =   100%
 192.69 
 0.14%
 2.86 
Keseksamaan = 1    100%
 192.68 
 99.85%

HB 

 HB  HB 
2

nn  1

44.52
=
6
= 2.72

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (183.062.72)

 2.72 
Ralat Nisbi =   100%
 183.06 
 1.48%
 2.72 
Keseksamaan = 1    100%
 183.06 
 98.51%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 123


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

3. Tabel 2.34 Besi Cor

NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 55.00 0.25 208.63 14.36 198.20 12.96

2. 55.00 0.25 208.63 14.36 198.20 12.96

3. 56.50 1.00 220.00 57.46 209.00 51.84

Rata- HR = 55.50   1.50 HV =


  86.18
HB = 201.80   77.76
rata 212.42

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

1.5

6
= 0.5

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (55.500.5)

 0.5 
Ralat Nisbi =   100%
 55.5 
 0.9%
 0.5 
Keseksamaan = 1    100%
 55.5 
 99.09%

HV 

 HV  HV 
2

nn  1

86.18
=
6
= 3.78

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 124


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (212.423.78)

 3.78 
Ralat Nisbi =   100%
 212.42 
 1.78%
 3.78 
Keseksamaan = 1    100%
 212.42 
 98.2%

HB 

 HB  HB 
2

nn  1

77.76
=
6
= 3.6

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (201.83.6)

= 
3.6 
Ralat Nisbi   100%
 201.8 
 1.78%

= 1 
3.6 
Keseksamaan   100%
 201.8 

 98.21%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 125


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2. Perlakuan panas dengan pendinginan air


1. Tabel 2.35 Baja ST 40
NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2

1. 51 0.69 208.63 14.36 198.20 12.96

2. 50.5 1.78 208.63 14.36 198.20 12.96

3. 54 4.69 220.00 57.46 209.00 51.84

Rata HR =   7.17   86.18


HB =   77.76
HV = 212.42
-rata 51.83 201.80

HRA 

 HRA  HR A 2

nn  1

7.17

6
= 1.09

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (51.831.09)

 1.09 
Ralat Nisbi =   100%
 51.83 
 2.1%

 1.09 
Keseksamaan = 1    100%
 51.83 
 97.89%

HV 

 HV  HV 
2

nn  1

86.18
=
6
= 3.78

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 126


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (212.423.78)

 3.78 
Ralat Nisbi =   100%
 212.42 
 0.17%

 3.78 
Keseksamaan = 1    100%
 212.42 
 99.8%

HB 

 HB  HB 
2

nn  1

77.76
=
6
= 3.6

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (201.803.6)

 0.1 
Ralat Nisbi =   100%
 123.5 
 0.17%

 0.1 
Keseksamaan = 1    100%
 123.5 
 99.8%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 127


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2. Tabel 2.36 Baja ST 60


NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2
1. 55.50 4.00 208.63 14.36 198.20 12.96

2. 53.00 0.25 208.63 14.36 198.20 12.96

3. 52.00 2.25 220.00 57.46 209.00 51.84

Rata
-rata
HR = 53.50   6.5   86.18
HB =   77.76
HV = 212.42
201.80

HRA 

 HRA  HR A 
2

nn  1

6.5

6
= 1.04

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (53.51.04)

 1.04 
Ralat Nisbi =   100%
 53.5 
 1.9%
 1.04 
Keseksamaan = 1    100%
 53.5 
 98.05%

HV 

 HV  HV  2

nn  1

86.18
=
6
= 3.78

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 128


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (212.423.78)

 3.78 
Ralat Nisbi =   100%
 212.42 
 3.12%
 3.78 
Keseksamaan = 1    100%
 212.42 
 96.8%

HB 

 HB  HB 
2

nn  1

77.76
=
6
= 3.6

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (201.803.6)

 1.36 
Ralat Nisbi =   100%
 199.2 
 0.68%
 1.36 
Keseksamaan = 1    100%
 199.2 
 99.31%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 129


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Tabel 2.37 Besi Cor


NO. HRA (HRA- HRA )2 HV (HV- HV )2 HB (HB- HB )2
1. 55.00 0.25 208.63 14.36 198.20 12.96

2. 55.00 0.25 208.63 14.36 198.20 12.96

3. 56.50 1.00 220.00 57.46 209.00 51.84

Rata-
rata
HR =55.5   1.50 HV = 212.42   86.18 HB = 201.80   77.76

HRA 

 HRA  HR A 2

nn  1

1.5

6
= 0.5

Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A  HRA )

= (55.50.5)

 0.5 
Ralat Nisbi =   100%
 55.5 
 0.90%
 0.5 
Keseksamaan = 1    100%
 55.5 
 99.09%

HV 

 HV  HV 
2

nn  1

86.18
=
6
= 3.78

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 130


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV  HV )

= (212.423.78)

 3.78 
Ralat Nisbi =   100%
 212.42 
 1.78%
 3.78 
Keseksamaan = 1    100%
 212.42 
 98.21%

HB 

 HB  HB 
2

nn  1

77.76
=
6
= 3.6

Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB  HB )

= (201.803.6)

 3.6 
Ralat Nisbi =   100%
 201.80 
 1.78%
 3.6 
Keseksamaan = 1    100%
 201.80 
 98.2%

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 131


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.4.3 Analisa data

Tabel 2.38 Nilai Kekerasan

Nama Bahan Brinell Hardness

(kg/mm2)

Besi cor 180-250

ST 60 nonperlakuan 170-195

ST 40 nonperlakuan 95-120

Kuningan 85

Tembaga 75

Alumunium 25-40

ST 60 normalizing 229

ST 60 quenching 311

ST 40 normalizing 170

ST 40 quenching 262

Untuk lebih mengetahui nilai kekerasan lebih jelas, dapat melihat tabel.
Kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST 60 dan baja ST 40 , ini
disebabkan karena besi cor mempunyai kandungan karbon paling besar
dibanding baja ST 60 dan baja ST 40. Sedangkan baja ST 60 (Kandungan
karbonnya 0,3 – 0,7 % C ) lebih kaya karbon sehingga termasuk baja karbon
tinggi, daripada baja ST 40 (< 0,3 % C) dan termasuk baja karbon rendah.
Semakin banyak karbon maka nilai kekerasan makin besar dan keuletan
makin kecil. Untuk kandungan karbon kurang dari 2,14% disebut besi baja

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 132


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

karbon rendah,antara 2,14%-6,7% disebut besi cor,dan lebih dari 6,7% tidak
dapat disebut baja tetapi disebut cementit / besi karbida (Fe 3 C)

Sedangkan untuk kuningan mengandung 2 % Al juga merupakan


tembaga paduan sehingga memiliki kekerasan yang lebih besar dibandingkan
aluminium dan tembaga. Ini disebabkan kuningan mempunyai kekuatan tarik
yang lebih tinggi daripada tembaga dan aluminium. Tembaga memiliki
kekerasan yang lebih tinggi daripada aluminium, ini disebabkan tembaga
mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada aluminium yaitu sekitar
200 N/mm2 pada suhu rendah kekuatan tarik jauh lebih besar. Tembaga itu
sendiri apabila direaksikan dengan oksigen dapat menjadi lebih ulet (0,04 %
O) hal ini menjadikan berkurangnya kandungan karbon pada tembaga
tersebut. Aluminium mempunyai kekerasan paling rendah, hal ini disebabkan
kekuatan tarik aluminium paling kecil yaitu sekitar 10 kg/mm3 dan
aluminium juga mempunyai sifat lunak lebih berat dari Sn dan lebih lunak
dari Zn. Mempunyai berat jenis 2,7.10 3 Kg/m3, regangan 18 – 25 %.

Tabel 2.39 Hasil yang didapat dari pengujian material non perlakuan
NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (188.251.74) (53.500.28) (1981.9)

Baja ST 60 (220.752.23) (58.000.083) (201.20.23)

Besi Cor (287.803.13) (63.00 0.08) (281.903.2)

Kuningan (117.32.28) (72.50,76) (1241.53)

Tembaga (78.31.67) (40.11.86) (82.51.26)

Aluminium (112.41.15) (78.31.67) (118.31.20)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 133


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

350

300

250

200
KEKERASAN BRINELL (HB)
150
KEKERASAN ROCKWELL (HR)
100
KEKERASAN VICKER (HV)
50

Gambar 2.23 Grafik Nilai Kekerasan Material Non Perlakuan


Analisa:
Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar
dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian
kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST-
60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja
ST 60 dan baja ST 40. Sedangkan untuk nilai kekerasan kuningan, tembaga
dan aluminium terjadi penyimpangan karena hasil kekerasan aluminium lebih
besar dibandingkan tembaga. Seharusnya tembaga memiliki nilai kekerasan
yang lebih tinggi daripada aluminium, karena tembaga mempunyai kekuatan
tarik yang lebih tinggi daripada aluminium
Penyimpangan dapat saja terjadi disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
a. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas)
terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda.
b. Jarak penetrasi terlalu dekat
c. Waktu penetrasi kurang lama
d. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji
kekerasan
e. Spesimen tertukar dengan specimen yang lain

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 134


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.4.3.1 Material Perlakuan Panas


Urutan nilai kekerasan antara bahan yang mengalami
perlakuan panas dengan pendinginan udara dan pendinginan air
yaitu:
pendinginan air > pendinginan udara.
Perlakuan panas dengan pendinginan air merupakan proses
hardening yaitu proses quenching. Quenching adalah suatu proses
perlakuan panas terhadap suatu material dengan cara dipanaskan
terlebih dahulu sampai suhu austenit (900oC). Kemudian dilakukan
proses pendinginan cepat yaitu dalam hal ini dengan media air.
Proses pendinginan ini berlangsung cepat mengakibatkan
terbentuknya martensit yang keras. Martensit mempunyai struktur
kristal yang bersifat tidak stabil,berbentuk seperti jarum, dan bersifat
sangat keras dan rapuh.
Sedangkan untuk perlakuan panas dengan pendinginan udara
merupakan proses softening yaitu proses normalizing. Normalizing
adalah proses di mana material dipanaskan dahulu sampai suhu
austenit kemudian dilakukan pendinginan dengan medium udara
secara perlahan. Proses ini terjadi pada suhu 55-650C diatas daerah
austenit murni. Pendinginan ini mencegah timbulnya segregasi
praeutektoid sehingga struktur mikro yang terbentuk adalah perlit
halus dan tidak ada ferit praeutektoid dalam jumlah banyak. Dengan
demikian akan dihasilkan material yang kekerasannya lebih kecil
dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa kekerasan material
dengan perlakuan panas dengan pendinginan air lebih besar daripada
perlakuan panas dengan pendinginan udara. Hasil yang didapat dari
pengujian adalah:

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 135


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

1. Material Perlakuan Panas dengan Pendinginan Air


Tabel 2.40 Hasil yang didapat dari pengujian material pendinginan air
NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (201.803.6) (540.89) (212.423.78)

Baja ST 60 (1999.21.36) (52.670.44) (212.423.78)

Besi Cor (201.83.6) (55.500.5) (212.423.78)

250

200

150
KEKERASAN BRINELL (HB)
KEKERASAN ROCKWELL (HR)
100 KEKERASAN VICKER (HV)

50

0
Baja ST 40 Baja ST 60 Besi Cor

Gambar 2.24 Grafik Nilai Kekerasan Material Perlakuan Panas dengan


Pendinginan Air
Analisa:
Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar
dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian
kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST-
60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja
ST 60 dan baja ST 40. Penyimpangan dari material perlakuan panas dengan

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 136


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

pendinginan air pada besi cor dan baja ST 60 dapat saja terjadi disebabkan
oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas)
terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda.
2. Jarak penetrasi terlalu dekat
3. Waktu penetrasi kurang lama
4. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji
kekerasan
5. Spesimen tertukar dengan spesimen yang lain

2. Material Perlakuan Panas dengan Pendinginan Udara


Tabel 2.41 Hasil yang didapat dari pengujian material pendinginan udara
NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (51.830.1) (51.831.09) (1300.13)

Baja ST 60 (199.22.72) (53.51.04) (209.81.09)

Besi Cor (201.803.6) (55.50.5) (212.423.78)

250

200
KEKERASAN BRINELL (HB)
150
KEKERASAN ROCKWELL
100 (HR)
KEKERASAN VICKER (HV)
50

0
Baja ST 40 Baja ST 60 Besi Cor

Gambar 2.25 Grafik Nilai Kekerasan Material Perlakuan Panas


denganPendinginan Udara

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 137


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Analisa:
Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar
dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian
kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST-
60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja
ST 60 dan baja ST 40. Penyimpangan dari material perlakuan panas dengan
pendinginan udara pada besi cor dan baja ST 60 dapat saja terjadi disebabkan
oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas)
terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda.
b. Jarak penetrasi terlalu dekat
c. Waktu penetrasi kurang lama
d. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji
kekerasan
e. Spesimen tertukar dengan specimen yang lain
Analisa perbandingan antara dua perlakuan tersebut adalah:
1. Berdasarkan data hasil pengujian kekerasan material tampak bahwa nilai
kekerasan untuk baja ST 60 perlakuan panas dengan pendinginan udara dan
dengan pendinginan air, hal ini tidak sesuai dengan referensi. Kemungkinan
dalam pengujian spesimen dari perlakuan air tertukar dengan spesimen dari
perlakuan udara.
2. Selain hasil dari pengujian pada baja ST 60 tidak sesuai dengan referensi, hasil
pengujian dari baja ST 40 dan besi cor hasilnya sesuai dengan referensi.
Berdasarkan percobaan :
- Baja ST 40 : Pendinginan air > Pendinginan udara
- Baja ST 60 : Pendinginan udara > Pendinginan air
- Besi Cor : Pendinginan air > Pendinginan udara

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 138


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

2.5 PENUTUP
2.5.1 Kesimpulan
1. Kekerasan suatu material didefinisikan sebagai ketahanan suatu material
untuk menerima penetrasi/tekanan dari material lain atau deformasi.
2. Uji kekerasan merupakan pengujian untuk memperoleh nilai kekerasan
dari suatu material.
3. Dari hasil pengujian diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2.42 Hasil yang didapat dari pengujian material


Non Perlakuan
NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (188.251.74) (53.500.28) (1981.9)

Baja ST 60 (220.752.23) (58.000.083) (201.20.23)

Besi Cor (287.803.13) (63.00 0.08) (281.903.2)

Kuningan (117.32.28) (72.50,76) (1241.53)

Tembaga (78.31.67) (40.11.86) (82.51.26)

Aluminium (112.41.15) (78.31.67) (118.31.20)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 139


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

Perlakuan Panas dengan Pendinginan Udara


NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (51.830.1) (51.831.09) (1300.13)

Baja ST 60 (199.22.72) (53.51.04) (209.81.09)

Besi Cor (201.803.6) (55.50.5) (212.423.78)

Perlakuan Panas dengan Pendinginan Air


NAMA BAHAN KEKERASAN KEKERASAN KEKERASAN
BRINELL (HB) ROCKWELL (HR) VICKER (HV)
Baja ST 40 (185.143.08) (540.89) (194.883.2)

Baja ST 60 (183.062.72) (52.670.44) (192.692.86)

Besi Cor (201.83.6) (55.500.5) (212.423.78)

4. Kekerasan suatu material tergantung dari kadar karbon dan bila


mengalami perlakuan panas tergantung juga dari laju pendinginanya.
5. Material mengalami perlakuan panas dengan pendinginan air lebih keras
daripada pendinginan udara karena laju pendinginanya lebih cepat
sehingga terbentuk martensit.

2.5.2 Saran

Untuk mendapatkan data hasil pengujian yang akurat maka sebaiknya :


1. Pengamplasan dilakukan sebaik mungkin sampai permukaan benda uji
benar-benar rata, halus, dan bersih serta sejajar antara permukaan atas
dan bawah.
2. Pengidentasi dan landasannya harus bersih dan dudukannya baik.
3. Teliti dalam mengatur dial indicator, posisi jarum kecil dan jarum besar
harus tepat.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 140


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

4. Dalam menggerakan tuas harus tepat di posisi masing-masing tidak


boleh lebih dan tidak boleh kurang.
5. Jarak titik penetrasi jangan terlalu dekat.
6. Teliti dalam membaca skala.
7. Spesimen pengujian jangan sampai tertukar.

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 141


Laporan Kelompok Praktikum Struktur dan Sifat Material 2011
BAB II

DAFTAR PUSTAKA

[1] Vander Voort,George. Metallography

[2] Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy

[3] William D. Callister, Jr .2007. Fundamentals of Material Science and


Engineering 7th edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

[4] Job Sheet Praktikum Struktur dan Sifat Material, 2011

[5] Laboratorium Metalurgi Fisik Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro

[6] Ilmu Pengetahuan Bahan, BJM Bemer

[7] www.shu.ac.uk/research/meri.instr./hard.htm

[8] http://dataujiIndonesia.itrademarket.com

[9] http://www.leco.com/products/metallography/gudes/HARDSCALESBOOKLET

200-971.pdf

[10] http://forum.supermotoindonesia.com/showthread.php?t=2793

[11] Armani Hari dan Daryanto. Ilmu Bahan.

[12] http://indusri15rizqi.blog.mercubuana.ac.id/

[13] http://www.saarstahl.de/grundlagen_der_waermebehandlung.html?&L=1

[14] http://www.batan.go.id/ptlr/08id/files/u1/sntpl8/proceeding/17%20Aisyah%20_

159-174_.pdf

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro 142

Anda mungkin juga menyukai