Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH PERENCANAAN MESIN

PENGUJIAN BAHAN
DESTRUKTIF DAN NON-DESTRUKTIF

DISUSUN OLEH :
DIKI SUDARMAN
061430201061
PROGRAM STUDI D3 TEKNIK MESIN KONSENTRASI
ALAT BERAT
JURUSAN TEKNIK MESIN
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Logam merupakan salah satu bahan yang sangat penting dan paling
banyak digunakan dalam memenuhi berbagai kebutuhan bahan teknik. Hal ini
dikarenakan berbagai keunggulan dari sifat logam yang hampir semua sifat bahan
produk dapat dipenuhi oleh sifat logam.
Pada bidang rekayasa mekanik salah satu aspek penting nya yaitu
menekankan pada material. Penggunaan material yang tidak tepat akan berujung
pada rendahnya efisiensi, gangguan pemakaian, rendahnya usia pakai dan
kegagalan.
Banyaknya tabung gas yang meledak contohnya, hal seperti itu wajar
terjadi dikarenakan prinsip seorang perancang atau desainer sedikit demi sedikit
terkikis akibat biaya material serta pembuatan yang serba mahal pada saat ini,
sehingga para perancang, pembuat, maupun penjual mau tidak mau menerapkan
prinsip ekonomi dalam prinsip kerjanya saat ini.
Oleh karena itu setiap material sebelum digunakan perlu dilakukan
pengujian material/logam dengan maksud dan tujuan yang pada umumnya
adalah untuk mengetahui sifat-sifat utama dari material/logam tersebut, baik
dari segi kekuatannya, ketahanan maupun sifat-sifat yang lain terhadap suatu
beban yang akan diberikan sebelum diputuskan layak atau tidaknya material
tersebut untuk digunakan untuk kebutuhan.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan pengujian destruktif dan non-destruktif ?
b. Apa saja metode dari pengujian destruktif ?
c. Apa saja metode dari pengujian non-destruktif ?

d. Bagaimana cara mengetahui nilai mekanik suatu material ?


1.3. Tujuan
a. Mengetahui perbedaan antara pengujian destruktif dan non-destruktif
b. Mengetahui jenis-jenis metode dari pengujian destruktif dan nondestruktif
c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap metode pengujian
d. Mampu menghitung besaran sifat mekanik suatu material
e. Mengetahui prosedur dan standar pengujian bahan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Pengujian Destruktif
Sesuai dengan namanya pengujian ini bersifat merusak bahan yang diuji

sehingga bahan yang diuji akan rusak atau cacat. Bahan yang diuji adalah bahan

yang telah memenuhi bentuk dan jenis secara internasional umumnya ada
beberapa pengujian destruktif yaitu:

2.1.1

Pengujian Kekerasan (Hardness)


Kekerasan suatu bahan sampai saat ini masih merupakan peristilahan

yang kabur, yang mempunyai banyak arti tergantung pada pengalaman pihakpihak yang terlibat. Pada umumnya, kekerasan menyatakan ketahanan terhadap
deformasi, dan untuk logam dengan sifat tersebut merupakan ukuran
ketahanannya terhadap deformasi plastik atau deformasi permanen. Untuk orangorang yang berkecimpung dalam mekanika pengujian bahan, banyak yang
mengartikan kekerasan sebagai ukuran ketahanan terhadap lekukan. Untuk para
insinyur perancang, kekerasan sering di artikan sebagai ukuran kemudahan dan
kuantitas khusus yang menunjukkan sesuatu mengenai kekuatan dan perlakuan
panas dari suatu logam. Adapun definisi kekerasan sangat tergantung pada cara
pengujian tesebut dilakukan. Beberapa dari definisi tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Ketahanan terhadap indentasi permanen akibat beban dinamis atau
statis kekerasan indentasi.
b. Energi yang diserap pada beban impact (Kekerasan Pantul).
c. Kekerasan terhadap goresan (Kekerasan Goresan).
d. Ketahanan terhadap abrasi (Kekerasan Abrasi).
e. Ketahanan terhadap pemotongan atau pengeboran (Mampu Mesin).
f. Untuk logam, hanya kekerasan lekukan yang banyak menarik
perhatian dalam kaitannya di bidang rekayasa.
Dari uraian singkat di atas maka kekerasan suatu material

dapat

didefinisikan sebagai Ketahanan material terhadap gaya penekanan dari material


lain yang lebih keras.
penggoresan
terhadap

Penekanan

(scratching), pantulan

suatu

permukaan

benda

tersebut
ataupun

dapat

berupa mekanisme

indentasi dari material keras

uji. Berdasarkan mekanisme penekanan

tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:

A.

Metode Gores
Metode goresan (scratch hardness) merupakan perhatian utama para

ahli mineral. Pengukuran kekerasan berbagai mineral dan bahan-bahan yang


lain, disusun berdasarkan kemampuan goresan satu sama yang lain. Ada
beberapa metode dalam pengujian kekerasan antara lain:
a) Metode skala Mohs
Metode Mohs disebut juga metode abrasi atau uji kekerasan. Skala
ini

terdiri

atas

10

standar mineral

disusun

berdasarkan

kemampuannya untuk digores, seperti tampak pada Tabel 2.1. Mineral


yang paling lunak pada skala ini adalah talk (kekerasan gores 1),
sedangkan intan mempunyai kekerasan 10. Skala Mohs tidak cocok
untuk logam, karena interval skala pada nilai kekerasan tinggi tidak
benar. Logam yang paling keras mempunyai harga kekerasan pada skala
Mohs, antara 4 sampai 8.
Pengujian ini digunakan untuk mengukur kekerasan batuan.
Prinsip kerjanya adalah mineral atau batuan digores dengan mineral
lain yang memiliki kekerasan tinggi.
Material uji dari yang paling lunak sampai dengan yang paling
keras :
1 = Talk / gips
2 = Gypsum
3 = Calcite
4 = Fluorite
5 = Apatite
Kelemahan dari skala Mohs

6 = Orthoclase ( feldspar )
7 = Quartz
8 = Topaz
9 = Corundum
10 = Intan
adalah intervalnya kurang spesifik

(nilai kekerasan benda kurang akurat)

Tabel 2.1 Skala Mohs (Vander Voort,George. Metallography)


b) Metode Jarum Penggores dari Intan
Metode ini dilakukan dengan cara mengukur kedalaman atau lebar
goresan pada permukaan benda uji yang dibuat oleh jarum

penggores yang terbuat dari intan. Beban sebesar 3 kgf digunakan dan
lebar goresan diukur melalui mikroskop dengan rumus:

H=

Dimana :

104
2
d

H = nilai kekerasan goresan


d = lebar goresan dalam mikrometer.

B. Metode Elastic/Pantul (rebound)


Pengujian dengan cara elastik atau pantul ialah pengujian kekerasan
dengan cara mengukur tinggi pantulan dari bola baja atau intan (hammer) yang
dijatuhkan dari ketinggian

tertentu. Tinggi pantulan menunjukkan kekerasan

bahan tersebut, semakin tinggi pantulan artinya bahan ini memiliki kekerasan
yang tinggi pengukuran kekerasan dengan cara ini disebut sistem Shore
Scleroscope. Konstruksi sistem Shore Scleroscope seperti gambar berikut.
Gambar 2.1 Mesin Uji Kekerasan Shore Scleroscope Tipe SH-D
(Anonym, 2012)

C. Metode Identasi/lekukan
Tipe pengetasan kekerasan material/logam ini adalah dengan mengukur
tahanan plastis

dari

permukaan

suatu

material konstruksi mesin dengan

spesimen standar terhadap penetrator. Adapun beberapa bentuk penetrator atau


cara pengetasan ketahanan permukaan yang dikenal adalah:
a)

Metode Brinnel
Uji kekerasan indentasi Brinell merupakan pengujian metode
indentasi yang pertama kali diterima dan distandardisasi secara

umum. Uji kekerasan Brinell dilakukan dengan melakukan indentasi


pada permukaan spesimen dengan bola baja yang memiliki beban
3000 kg dengan diameter 10 mm. Untuk material lunak, beban
dikurangi menjadi 500 kg agar indentasi tidak terlalu dalam,
sedangkan untuk material yang sangat keras, digunakan bola karbida
untuk memperkecil distorsi indentor. Beban ditekan selama waktu
baku (30 detik), lalu luas permukaan hasil indentasi diukur
dengan menggunakan mikroskop optik. Diameter indentasi harus
dihitung dua kali pada sudut tegak lurus yang berbeda kemudian
dirata-ratakan. Permukaan yang dikenakan indentasi harus relatif
halus, bersih, dan tidak karat. Dengan rumus berikut, dapat diketahui
nilai kekerasan Brinell (BHN):
(D2d 2 )
D

D
2P
BHN =

dimana :

P = beban yang diberikan/identor (KP atau Kgf)


D = diameter indentor yang digunakan (mm)
d = diameter bekas lekukan (mm)

Gambar 2.2 Mesin Uji Kekerasan Brinell (Anonym, 2012)

BHN bukan sebuah besaran yang baik secara fisika karena tidak
meliputi

tekanan

rata-rata

pada

seluruh

permukaan

indentasi.

Kelemahan lain dari uji keras Brinell adalah besarnya ukuran


indentasi Brinell yang dapat menghalangi kegunaan untuk benda uji yang
kecil, atau pada bagian yang kritis terhadap tegangan di mana hasil
indentasi yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan. Kelebihan uji Brinell
adalah ukuran

indentor Brinell yang besar dapat merata-ratakan

heterogenitas lokal yang terdapat pada permukaan spesimen, dan uji


Brinell tidak terlalu terpengaruh oleh kekekasaran permukaan.
b)

Metode Meyer
9

Uji yang dilakukan oleh Meyer merupakan perbaikan terhadap


uji Brinell.

Meyer

menyarankan

bahwa

tekanan

rata-rata

pada

permukaan seluruh indentasi (yang tidak terdapat pada uji Brinell)


harus diperhitungkan dalam nilai kekerasan. Nilai rata-rata tersebut
diperoleh dengan rumus:
P
P= 2
r
Cara menghitung kekerasan dengan metode Meyer atau MHN :
MHN =

dimana

4P
2
d

MHN = nilai kekerasan Meyer


P = Beban yang diberikan
d = diameter penekanan

Kekerasan Meyer

kurang

sensitif

terhadap

beban

indentor

daripada Brinell. Untuk material yang diproses secara cold working,


nilai kekerasan Meyer bersifat konstan dan independen terhadap besar
beban,

sedangkan

kekerasan

Brinell

berkurang

dengan

semakin

besarnya beban. Kekerasan Meyer merupakan pengukuran yang lebih


fundamental terhadap kekerasan indentasi tetapi jarang digunakan
c)

untuk pengukuran kekerasan.


Metode Vickers
Metode Vickers ini berdasarkan pada penekanan oleh suatu gaya tekan
tertentu oleh sebuah indentor berupa pyramid diamond terbalik dengan
sudut puncak 136 ke permukaan logam yang akan diuji kekerasannya,
dimana permukaan logam yang diuji ini harus rata dan bersih.
Setelah gaya tekan secara statis ini kemudian ditiadakan dan pyramid
diamond dikeluarkan dari bekas yang terjadi, maka diagonal segi empat
bekas teratas diukur secara teliti, yang digunakan sebagai kekerasan logam
yang akan diuji. Bekas permukaan merupakan segi empat karena pyramid
merupakan piramida sama sisi. Nilai kekerasan yang diperoleh disebut
sebagai kekerasan Vickers, yang biasa disingkat dengan Hv atau HVN

10

(Vickers Hardness Number). Untuk memperoleh nilai kekerasan Vickers.


Bila diagonal cekungan adalah d maka hasil penekanan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam rumus berikut ini :

Hv=

2 Fsin2
d

1.8554 F
2
d

dengan, F = besar beban indentor (kg)


d = panjang rata-rata diagonal (mm)

Gambar 2.3 Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers (Anonym,


2009)

11

Uji Vickers diterima secara luas karena skala kekerasannya yang


kontinu untuk rentang nilai yang luas, mulai dari besi sangat lunak
dengan nilai 5, hingga material sangat keras dengan nilai 1500.
Kelebihan lain adalah bahwa pada uji Vickers, beban tidak perlu
diubah, dan berada pada skala yang sama, sehingga dapat dilakukan
perbandingan secara mudah antara kekerasan antar material.
Kekurangan dari uji Vickers adalah lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk pengukuran, perhitungan, dan persiapan spesimen.
d) Uji kekerasan Mikro
Banyak masalah metalurgi yang membutuhkan penentuan kekerasan
pada permukaan yang sangat kecil, misal penentuan kekerasan pada
permukaan terkarburasi, atau penentuan kekerasan pada part jam
tangan. Untuk pengujian spesimen-spesimen sangat kecil ini, metode
yang paling sering digunakan adalah indentor Knoop. Metode ini
merupakan pengembangan dari Uji Vickers.
Indentor Knoop adalah piramida intan, yang membentuk indentasi
berbentuk layang-layang dengan perbandingan diagonal panjangpendek sebesar 7:1, yang menyebabkan kondisi regangan pada
daerah terdeformasi. Nilai kekerasan Knoop (KHN) adalah besarnya
beban dibagi dengan luas daerah proyeksi dari indentasi tersebut,
sesuai rumus:
P
P
KHN=
= 2
Ap L C
dengan,

P = besar beban (kg)


Ap = luas daerah proyeksi dari indentansi (mm2)
L = panjang diagonal panjang (mm)
C

= konstanta indentor

12

Karena hasil indentasi Knoop berbentuk layang-layang, maka


Uji Microhardness dapat digunakan untuk menempatkan indentasi
dengan posisi lebih dekat daripada indentasi bujur sangkar Vickers.
Kelebihan lain dari bentuk panjangnya indentor Knoop adalah
kedalaman dan luas daerah indentasi Knoop hanya sekitar 15% dari luas
daerah indentasi Vickers untuk panjang diagonal yang sama. Hal ini
membuat Knoop lebih baik karena dapat mengukur spesimen yang
tipis,

atau

ketika

menguji

material

getas,

yang

memiliki

kecenderungan untuk patah. Beban kecil yang digunakan oleh


metode Knoop, mensyaratkan bahwa persiapan spesimen harus betulbetul baik.
e) Metode Pengujian Rockwell
Pengujian kekerasan dengan

metode

Rockwell ini diatur

berdasarkan standar DIN 50103. Berbeda dengan metode Brinell dan


Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter/diagonal
jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan
dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai
dalam industri karena pertimbangan praktis dan tidak membutuhkan
keahlian

khusus. Variasi dalam beban dan identor yang digunakan

membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling


umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja
berdiameter

1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan

indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode


Rockwell lainnya juga biasa dipakai.
Skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan
dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur
dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg.
Dengan metode ini, angka kekerasan dapat ditentukan melalui
perbedaan kedalaman dari hasil penekanan dari penerapan beban
awal minor dan diikuti oleh beban mayor, penggunaan beban minor
dapat mempertinggi akurasi dari pengujian. Berdasarkan besar beban dari

13

minor maupun mayor, ada dua tipe pengujian yaitu Rockwell dan
Superficial Rockwell. Untuk Rockwell, beban minor adalah 10kgf,
dimana beban mayor adalah 60, 100, dan 150 kgf. Masing masing
skala diwakili oleh huruf huruf alphabet yang ada di tabel. Untuk
Superficial Rockwell, beban minornya 3 kgf dan beban mayornya 15,
30, dan 45 kgf. Skala ini diidentifikasi dengan 15, 30, atau 45
(berdasarkan beban) diikuti dengan N, T, W, X, atau Y, tergantung
pada

penekan.

Pengujian

Superficial biasanya digunakan untuk

spesimen tipis. Berikut ini diberikan Tabel 2.2 yang memperlihatkan


perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell.
Tabel 2.2 Skala Kekerasan Rockwell (Callister, William. D. Materials
Science and Engineering)

14

15

Ketika menentukan kekerasan Rockwell dan Superficial, angka


kekerasan dan skalanya harus ditunjukan dengan simbol HR diikuti
dengan

penunjukan

skala

yang

tepat.

Contohnya

80

HRB

menunjukan kekerasan Rockwell 80 pada skala B dan 60HR30W


menunjukan kekerasan Superficial 60 pada skala 30W.
Tingkatan skala kekerasan menurut metode Rockwell dapat pula
dikelompokkan menurut jenis indentor yang digunakan pada masingmasing skala. Dalam metode Rockwell ini terdapat dua macam indentor
yang ukurannya bervariasi, yaitu:
a. Kerucut intan dengan besar sudut 120 dan disebut
sebagai Rockwell Cone.
b. Bola baja dengan berbagai ukuran dan disebut sebagai
Rockwell Ball.
Untuk cara pemakaian skala ini, kita terlebih dahulu menentukan dan
memilih ketentuan angka kekerasan maksimum yang boleh digunakan
oleh skala tertentu. Jika pada skala tertentu tidak tercapai angka
kekerasan yang akurat, maka kita dapat menentukan skala lain yang
dapat menunjukkan angka.
Tabel 2.3 Skala Kekerasan Superfisial Rockwell (Callister,
William. D. Materials Science and Engineering)

16

Pengujian kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell


mempunyai kelebihan

dan

kekurangan.

Kelebihan

dari

metode

Rockwell seperti dapat digunakan untuk bahan yang sangat keras, dapat
dipakai untuk batu gerinda sampai plastik, dan cocok untuk semua
material yang keras dan lunak. Sedangkan untuk kekurangan metode
Rockwell seperti tingkat ketelitian rendah, tidak stabil apabila terkena
goncangan, dan penekanan bebannya tidak praktis (Kurniawan, 2013).
Nilai

kekerasan

dengan

metode

Rockwell

suatu

material

dirumuskan sebagai berikut:


HRB = 130 (h/0,002)
HRC = 100 (h/0,002)
Keterangan :

HRB = Nilai kekerasan Rockwell B


HRC = Nilai kekerasan Rockwell C
h

= kedalaman (mm) (Anonym, 2012)

Gambar 2.4 Konstruksi Pesawat Uji Kekerasan Rockwell (Anonym,


2012)

17

2.1.2
Pengujian Tarik (Tensile)
Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan
suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah
dalam satu garis lurus.. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting
untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahasilkan data kekuatan
material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material
terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat. Pemberian beban pada kedua
arah sumbunya diberi beban yang sama besarnya. Beban yang diberikan pada
bahan yang di uji ditransmisikan pada pegangan bahan yang di uji. Dimensi dan
ukuran pada benda uji disesuaikan dengan standar baku pengujian.
Pengujian dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis
suatu material, khususnya logam diantara sifat-sifat mekanis
yang dapat diketahui dari hasil pengujian tarik adalah sebagai
berikut:

A. Batas proporsionalitas (proportionality limit)


Merupakan
daerah
batas
dimana
tegangan
mempunyai

hubungan proporsionalitas

satu

dengan

dan
lainnya.

regangan
Setiap

penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara


proporsional dalam hubungan linier = E (bandingkan dengan hubungan y =

18

mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili slope


kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 1.1 di bawah ini
menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.
Gambar 2.5

Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat

dari
baja ulet
B. Batas elastis (elastic limit)

Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada


panjang

semula

bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas

merupakan bagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan
tegangan (deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada
akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan
kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana
tegangan yang diberikan

akan menyebabkan

terjadinya

deformasi

permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki


batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.
C. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)
Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan
mengalami deformasi
(stress)

tanpa adanya

yang mengakibatkan

penambahan

terus

beban. Tegangan

bahan menunjukkan mekanisme luluh ini

19

disebut tegangan luluh (yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada
Gambar 1.1 di atas. Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logamlogam ulet dengan struktur Kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial
solid solution dari atom- atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi
antara dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja ulet eperti mild
steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh
atas(upper yield point). Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang
getas

umumnya

tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk

menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka


metode

yang

dikenal

digunakan

sebagai Metode Offset. Dengan metode

suatu
ini

kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai tegangan dimana bahan


memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas
tegangan

dan

regangan

. Pada Gambar 2.6 di bawah ini garis offset OX

ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva teganganregangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis offset
OX diambil 0.1 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O.
Gambar 2.6
Kurva tegangan-regangan dari sebuah
benda uji terbuat dari bahan getas

20

Kekuatan

luluh

atau

titik

luluh merupakan

suatu

gambaran

kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam


penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik,
tekan bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun
dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk-produk
logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:
Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)
Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

D. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)


Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung

oleh

material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik

21

maksimum uts ditentukan

dari

beban maksimum Fmaks dibagi luas

penampang awal Ao.


UTS=

Fmaks
A

Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M


(Gambar 2.5) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga
titik

B.

Bahan

yang

bersifat

getas memberikan

perilaku

yang

berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan perpatahan


(titik B pada Gambar

2.6). Dalam kaitannya

dengan

penggunaan

structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum


adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.
E. Kekuatan Putus (breaking strength)
Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji
putus (F breaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang
bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus
terdeformasi

hingga

titik putus B maka

terjadi

mekanisme penciutan

(necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada


bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum
sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan
maksimumnya.
F. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan
logam

menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam

beberapa tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming)
melalui proses rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan
sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan
bahan yaitu:
Persentase perpanjangan (elongation)
Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap
panjang awalnya.

22

Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%


dimana :

Lf = panjang akhir
Lo = panjang awal dari benda uji.
Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)
Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah
perpatahan terhadapluas penampang awalnya.
Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%
dimana :

Af

= luas penampang akhir

Ao = luas penampang awal.


G. Modulus elastisitas (E)
Modulus elastisitas atau modulus
kekakuan

Young merupakan

suatu material. Semakin besar harga modulus

semakin kecil
pembebanan

ukuran
ini maka

regangan elastis yang terjadi pada suatu


tertentu,

atau

dapat

dikatakan material

tingkat
tersebut

semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 2.5 dan


2.6), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan
garis elastis yang linier, diberikan oleh:
E = / atau E = tan
dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva teganganregangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat
antar atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus

ini

tidak dapat

dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur bahan. Sebagai contoh
diberikan oleh Gambar 2.7 di bawah ini yang menunjukkan grafik
tegangan-regangan beberapa jenis baja:
Gambar

2.7

Grafik

tegangan-regangan

beberapa

baja

memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan

23

yang

H. Modulus kelentingan (modulus of resilience)


Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa
terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang
dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 2.5
I.

Modulus ketangguhan (modulus of toughness)


Merupakan kemampuan material dalam menyerap

terjadinya
area

perpatahan. Secara

keseluruhan

di

bawah

kuantitatif

dapat

energi

ditentukan

kurva teganganregangan

hasil

dari

hingga
luas

pengujian

tarik seperti Gambar 2.5 Pertimbangan disain yang mengikut sertakan


modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen
yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja.
Material

dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi

24

yang besar karena pembebanan berlebih,

tetapi hal

ini

tetap disukai

dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana perpatahan akan


terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.
J.

Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya


Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas

area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva
tegangan-regangan sesungguhnya diperlukan luas

area dan panjang aktual

pada saat pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah
terlampau besar pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada
rentang
setelah

terjadinya
titik

pengerasan

regangan

(strain

hardening),

yaitu

luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian

besar di dalam daerah necking. Pada kurva

tegangan-regangan rekayasa,

dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya
beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat penghitungan
tegangan = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya
luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya
K. Mode Perpatahan Material
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan
perpatahan seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.8 ini:
Gambar 2.8 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahn benda uji
tarik sesuai dengan tingkat keuletan/kegetasan

Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap


(dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang
berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai
25

karena

bahan

peringatan

lebih

ulet

umumnya

dahulu

lebih

tangguh

sebelum terjadinya

dan memberikan

kerusakan

Pengamatan

kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang
maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan

lebih

detil

dimungkinkan dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).


a. Perpatahan Ulet
Gambar 2.9 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya
perpatahan ulet pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan
tarik:
Gambar 2.9

Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji


tarik:

(a)

Penyempitan awal

(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)


(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan
(d) Perambatan retak
(e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45.
b. Perpatahan Getas
Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada
material

26

2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin


membelah atom-atom material (transgranular).
3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka
dapat dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like
pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan.
4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak
memiliki pola-pola yang mudah dibedakan.
5

Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan


patahan yang bercahaya dan mulus..

2.1.3 Uji Puntir (Shear Strength)


Uji puntir dilakukan untuk mengetahui sifat geseran pada material.
Uji puntir biasanya diperlukan untuk komponen yang beban utamanya adalah
beban puntir. Bentuk spesimen uji puntir ini tidak jauh berbeda dengan bentuk
spesimen uji tarik. Gambar 2.10 menunjukkan contoh hasil akhir uji puntir.
Gambar 2.10 Spesimen uji puntir setelah gagal, (a) baja ulet, (b) besi
cor getas

Sifat-sifat mekanik dapat ditentukan dengan uji tarik adalah sebagai berikut:
A. Modulus kekakuan geser (Modulus of Rigidity)
Persamaan tegangan-regangan untuk puntiran murni didefinisikan sebagai
berikut:
27

Gr
Io

Dimana adalah tegangan geser, r adalah radius spesimen, Io adalah


panjang ukur, adalah puntiran sudut dalam radian, dan G adalah modulus
kekakuan geser. Hubungan G dengan modulus Young dan rasio Poissons
dinyatakan sebagai berikut :
G=

E
2(1+v )

Rasio Poissons ()

adalah perbandingan antara regangan arah lateral

dengan regangan longitudinal.


Tabel 2.4 Rasio Poisson, untuk beberapa material logam

Material

0,34

Aluminium

0,35

Tembaga

0,28

Besi

0,28

Baja
Magnesium

0,33

28

0,34

Titanium

B. Kekuatan Geser Ultimat (Ultimate shear strength)


Tegangan ketika spesimen uji putus disebut kekuatan geser ultimat atau
modulus of rupture (Sus).
Tr
J

Sus=

Dimana T adalah torsi yang diperlukan untuk memutuskan spesimen, r


adalah radius spesimen, dan J adalah inersia polar penampang spesimen. Bila
data kekuatan geser ultimat tidak ada, dapat digunakan pendekatan sebagai
berikut
Baja

Sus

0,80sut

Logam ulet lainnya

Sus

0,75sut

2.1.4 Uji Impak (Impact)


Uji impact charpy digunakan untuk mengetahui kegetasan atau
keuletan suatu bahan (specimen) yang akan diuji dengan cara pembebanan secara
tiba-tiba terhadap benda yang akan diuji secara statik. Benda uji dibuat takikan
terlebih dahulu sesuai dengan standar JIS Z2202 dan hasil pengujian benda
tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk seperti bengkokan atau
patahan esuai dengan keuletan atau kegetasan terhadap benda uji tersebut.
Mesin uji impact adalah mesin uji untuk mengetahui harga impak
suatu beban yang diakibatkan oleh gaya kejut pada bahan uji tersebut. tipe dan
bentuk konstruksi mesin uji bentur beraneka ragam, yaitu mulai dari jenis
konvensional sampai dengan sistem digital yang lebih maju. Dalam pembebanan
29

statis dapat juga terjadi laju deformasi yang tinggi kalau bahan diberi takikan.
Semakin

tajam

takikan,

maka

akan

semakin

besar

deformasi

yang

terkonsentrasikan pada takikan, yang memungkinkan peningkatan laju regangan


beberapa kali lipat. Patah getas menjadi permasalahan penting pada baja dan besi.
Pengujian impact charpy banyak dipergunakan untuk menentukan kualitas bahan.
Benda uji takikan berbentuk V yang mempunyai keadaan takikan 2 mm banyak
dipakai. Mesin uji impact charpy dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.11 Mesin Uji Impact Charpy

Gambar 2.12 Benda Uji Impact Charpy Bentuk V

Pada pengujian ini adalah suatu bahan uji yang ditakik, dipukul oleh
pendulum (godam) yang mengayun. Dengan pengujian ini dapat diketahui sifat
kegetasan suatu bahan. Cara ini dapat dilakukan dengan charpy atau cara izod.
Pada pengujian kegetasan bahan dengan cara impact charpy, pendulum diarahkan
pada bagian belakang takik dari batang uji. Sedangkan pada pengujian impact cara
izod adalah pukulan pendulum diarahkan pada jarak 22 mm dari penjepit dan
takikannya menghadap pada pendulum. Pengerjaan benda uji pada impact charpy
dan izod dikerjakan habis pada semua permukaan. Takikan dibuat dengan mesin
30

fris atau alat notch khusus takik. Semua dikerjakan menurut standar yang
ditetapkan yaitu JIS Z .
Gambar 2.13 Sistem Uji Impact Charpy dan Izod

Apabila pendulum dengan berat G dan pada kedudukan h1 dilepaskan,


maka akan mengayun sampai kedudukan posisi akhir 4 pada ketinggian h2 yang
juga hampir sama dengan tinggi semula (h1), dimana pendulum mengayun bebas.
Pada mesin uji yang baik, skala akan menunjukkan usaha lebih dari 0,05 kilogram
meter (kg m) pada saat pendulum mencapai kedudukan 4. Apabila batang uji
dipasang pada kedudukannya dan pendulum dilepaskan, maka pendulum akan
memukul batang uji dan selanjutnya pendulum akan mengayun sampai kedudukan
3 pada ketinggian h2. Usaha yang dilakukan pendulum waktu memukul benda uji
atau usaha yang diserap benda uji sampai patah dapat diketahui melalui rumus
sebagai berikut :
W1 = G x h1 (kgm)
Atau dapat juga diselesaikan dengan menggunakan rumus berikut ini:
W1 = G x (1 cos) (kgm)
dimana :
W1
= usaha yang dilakukan (kg m)
G
= berat pendulum (kg)
h1

= jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m)

= jarak lengan pengayun (m)


cos = sudut posisi awal pendulum
Sedangkan sisa usaha setelah mematahkan benda uji dapat diketahui melalui
rumus sebagai berikut :
W2 = G x h2 (kgm)
31

Sehingga dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:


W2 = G x (1-cos) (kgmm)
dimana:
W2
= sisa usaha setelah mematahkan benda uji (kg m)
G

= berat pendulum (kg)

h2

cos

= jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m)


= jarak lengan pengayun (m)
= sudut posisi akhir pendulum

Besarnya usaha yang diperlukan untuk memukul patah benda uji dapat diketahui
melalui rumus sebagai berikut :
W = W1 W2 (kgm)
Sehingga persamaan yang diperoleh dari rumus di atas adalah sebagai berikut:
W = G x (cos cos ) (kg m)
dimana:
W
W1
W2
G

cos
cos

= usaha yang diperlukan untuk mematahkan benda uji (kg m)


= usaha yang dilakukan (kg m)
= sisa usaha setelah mematahkan benda uji (kg m)
= berat pendulum (kg)
= jarak lengan pengayun (m)
= sudut posisi awal pendulum
= sudut posisi akhir pendulum

Dan besarnya harga impact dapat diketahui dari rumus berikut ini :
K = W/Ao\
dimana :
K
= nilai impact (kg m/mm2)
W
= usaha yang diperlukan untuk mematahkan benda uji (kg m)
Ao
= luas penampang di bawah takikan (mm2)

2.1.5 Uji Bengkok/Lengkung


Uji bengkok merupakan salah satu pengujian sifat mekanik bahan
yang dilakukan terhadap spesimen dari bahan baik bahan yang akan digunakan
sebagai konstruksi atau komponen yang akan menerima pembebanan lengkung
maupun proses pelengkungan dalam pembentukan. Pelengkuan (bending)
merupakan

proses

pembebanan

terhadap
32

suatu

bahan

pada suatu titik

ditengah-tengah

dari

bahan

yang

ditahan diatas

dua

tumpuan. Dengan

pembebanan ini bahan akan mengalami deformasi dengan dua buah gaya yang
berlawanan

bekerja

pada

saat

yang

bersmaan.

Gambar

dibawah

ini

memperlihatkan prilaku bahan uji selama pembebanan lengkung.

Gambar 2.14 Pembebanan dan Pengaruhnya dalam Uji Bending

Pada pengujian ini secara bersamaan mulai terbentuk tegangan tarik,


tekan, dan geser. Beban tersebut akan maksimum pada permukaan spesimen, serta
bernilai nol pada neutral axis-nya. Secara umum pengujian dilakukan dengan
menggunakan dua tipe pembebanan, yakni: 3 point bending dan 4 point bending.
Berikut ini merupakan skema pengujian keduanya beserta diagram gaya geser
serta momen lenturnya.
Uji Bending bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek kemampuan
bahan uji dalam menerima pembebanan lengung, yakni :
1. Kekuatan atau tegangan lengkung
2. Lenturan atau defleksi (f) Sudut yang terbentuk oleh lenturan
atau sudut defleksi dan
3. Elastisitas (E)
Saat material diberi beban pada daerah elastis, maka akan timbul
tegangan pada penampang melintang sebagai akibat dari momen lentur.

33

Mc
I

dimana :

= flexural strength

= momen lentur di penampang melintang yang ditinjau

= jarak dari neutral axis ke elemen yang ditinjau

= momen inersia penampang

2.1.6 Pengujian Keausan


Keausan umumnya didefinisikan
secara progresif atau
sebagai

suatu

hasil

sebagai

kehilangan

material

pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan


pergera kan relatif

antara permukaan tersebut dan

permukaan lainnya. Keausan telah menjadi perhatian praktis sejak lama,


tetapi hingga beberapa saat lamanya masih belum mendapatkan penjelasan ilmiah
yang besar sebagaimana halnya pada mekanisme kerusakan akibat pembebanan
tarik, impak, puntir atau fatigue. Hal ini disebabkan masih lebih mudah untuk
mengganti komponen/part suatu sistem dibandingkan melakukan disain
komponen dengan ketahanan/umur pakai (life) yang lama. Saat ini, prinsip
penggantian dengan mudah seperti itu tidak dapat diberlakukan lebih lanjut karena
pertimbangan biaya (cost). Pembahasan mekanisme keausan pada material
berhubungan erat dengan gesekan (friction) dan pelumasan (lubrication). Telaah
mengenai ketiga subyek ini yang dikenal dengan nama ilmu Tribologi. Keausan
bukan merupakan sifat dasar material, melainkan response material terhadap
sistem luar (kontak permukaan). Material apapun dapat mengalami keausan
disebabkan mekanisme yang beragam.

Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan


teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual.
Salah satunya adalah

dengan metode Ogoshi dimana benda uji memperoleh

beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disc). Pembebanan gesek ini

34

akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada


akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya
jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan
tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka
semakin tinggi volume material yang terlepas dari benda uji. Ilustrasi skematis
dari kontak permukaan antara revolving disc dan benda uji diberikan oleh Gambar

Gambar 2.15 Pengujian keausan dengan metode Ogoshi

= kecepatan putar, B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b
lebar celah material yang terabrasi (mm) maka dapat diturunkan besarnya volume
material yang terabrasi (W):
W = B.b3/12r
Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi (W)
dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji):
V = W/x = B.b3/12r.x

2.1.7 Uji Struktur


Uji struktur mempelajari struktur material logam untuk keperluan
pengujian material logam dipotong-potong kemudian potongan diletakkan

35

dibawah dan dikikisdengan material alat penggores yang sesuai. Untuk


pemeriaksaannya dilakuakan dengan alat pembesar ataupun mikroskop elektronik.
2.1.8 Pengujian Dengan Larutan ETSA
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk memeperjelas batas butir yang
ada pada suatu material karena larutan etsa akan memeberi warna tambahan pada
batas butir. Namun larutan ini dapat merusak batas butir tersebut.

2.2.

Pengujian Non-Destruktif (NDT)


Non destrtructive testing (NDT) adalah aktivitas tes atau inspeksi

terhadap suatu benda untuk mengetahui adanya cacat, retak, atau discontinuity
lain tanpa merusak benda yang kita tes atau inspeksi. Pada dasarnya, tes ini
dilakukan untuk menjamin bahwa material yang kita gunakan masih aman dan
belum melewati damage tolerance. Material pesawat diusahakan semaksimal
mungkin tidak mengalami kegagalan (failure) selama masa penggunaannya.NDT
dilakukan paling tidak sebanyak dua kali. Pertama, selama dan diakhir proses
fabrikasi, untuk menentukan suatu komponen dapat diterima setelah melalui
tahap-tahap fabrikasi. NDT ini dijadikan sebagai bagian dari kendali mutu
komponen. Kedua, NDT dilakukan setelah komponen digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tujuannya adalah menemukan kegagalan parsial sebelum
melampaui damage tolerance-nya.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang jenis-jenis metode NDT yang
umum digunakan :

2.2.1

Visual inspection
Pengujian ini merupakan pemeriksaan hanya dengan menggunakan

mata. Cara ini memang sangat sederhana dan bernilai ekonomis. Karena itu cara
ini selalu dilakukan disamping juga menggunakan cara lain. Sering kali metode
ini merupakan langkah yang pertama kali diambil dalam NDT.
Prinsip dalam metode visual inspection sangat sederhana hanya dengan
menggunakan mata telanjang tanpa alat bantu kecuali kaca pembesar.

36

Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan dan


korosi. Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh mata
telanjang atau dengan bantuan lensa pembesar.
2.2.2

untuk

Magnetic Particle Inspection


Magnetic particle inspection (MPI) yaitu pengujian yang dilakukan
mengetahui

cacat

permukaan (surface) dan

permukaan

bawah (subsurface) suatu komponen dari bahan ferromagnetik.


Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan bawah
permukaan (subsurface) suatu

komponen

dari

bahan

ferromagnetik

dapat

diketahui. Prinsipnya adalah dengan memagnetisasi bahan yang akan diuji.


Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan menyebabkan kebocoran
medan magnet. Kebocoran medan magnet ini mengindikasikan adanya cacat pada
material. Cara yang digunakan untuk memdeteksi adanya kebocoran medan
magnet adalah dengan menaburkan partikel magnetik dipermukaan. Partikelpartikel tersebuat akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet.
Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk material
ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak lurus atau
memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir inspeksi.
2.2.3 Eddy Current Test
Eddy current test merupakan metode yang dilakukan dengan cara
menghubungkan arus medan magnet dengan kumparan medan magnet sehingga
menimbulkan perubahan impedansi pada suatu bahan yang terjadi cacat.
Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnet. Prinsipnya, arus listrik
dialirkan pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet didalamnya. Jika
medan magnet ini dikenakan pada benda logam yang akan diinspeksi, maka akan
terbangkit arus Eddy. Arus Eddy kemudian menginduksi adanya medan magnet.
Medan magnet pada benda akan berinteraksi dengan medan magnet pada
kumparan dan mengubah impedansi bila ada cacat.
Kegunaan metode ini hanya pada bahan logam saja, yang hanya dapat
dijangkau pada permukaan bahan logam saja.
2.2.4

Ultrasonic Inspection

37

Ultrasonic inspection merupakan metode yang menggunakan gelombang


suaru untuk menetukan suatu adanya titik pada suatu bahan material. Sehingga
dengan adanya energy listrik dapat diketahui adanya suatu retak pada suatu bahan.
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang
suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisi atau
dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang ultrasonic yang digunakan
memiliki frekuensi 0.5 20 MHz. Gelombang suara akan terpengaruh jika ada
void, retak, atau delaminasi pada material. Gelombang ultrasinic ini dibangkitkan
oleh tranducer dari bahan piezoelektri yang dapat menubah energi listrik menjadi
energi getaran mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi.
Metode ultrasonic ini di gunakan untuk mendeteksi adanya cacat pada
peralatan

seperti: rolle,

shaft,

turbin,

pipa

bertekanan

las-

lasan, gear, frame, die,block, tool steel, produk coran, dll.

2.2.5

atau

Radiographic Inspection
Radiographic inspection merupakan metode yang menggunakan laser
alatradiographic dalam

pengujiannya,

dengan

laser

atau

alat radiographic sehingga dapat diketahui bahan yang terkena retak atau terdapat
cacat.
Metode NDT ini dapat untuk menemukan cacat pada material dengan
menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar X dipancarkan
menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek, sebagian sinar akan
diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir kemudaian direkam
pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka intensitas yang terekam
pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman pada film ini lah yang akan
memeprlihatkan bagian material yang mengalami cacat.
Dengan adanya sinar dari pancaran sinar maka metode ini dapat lebih
mudah untuk menentukan suatu cacat dengan adanya bayangan putih yang
menunjukkan cacat dan hitam yang menunujukkan tidak adanya cacat.
2.2.6

Liquid Penetrant Test


Liquid penetrant Inspection adalah suatu cara pemeriksaan untuk

mendeteksi cacat permukaan pada benda padat yang tidak berpori-pori. Cacat

38

yang

terdeteksi

boleh

jadi

timbul

karena

proses

pembuatannya

atau

karena fatique (kelelahan) pada benda-benda yang sudah lama di gunakan.


Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang paling
sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka
dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti keramik dan plastik
fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih jelas. Caranya
adalah dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan yang
diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya penetrasi yang baik dan viskousitas
yang rendah agar dapat masuk pada cacat dipermukaan material. Selanjutnya,
penetrant yang tersisa di permukaan material disingkirkan. Cacat akan nampak
jelas jika perbedaan warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai
inspeksi, penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer.
Pendetelisian keretakan dengan cara ini tidak bergantung pada ukuran,
bentuk, arah keretakan, struktur bahan maupun komposisinya karena liquid
penetrant dapat meresap kedalam cacat di permukaan benda yang di uji. kedalam
keretakan terjadi karena daya kapiler (tegangan permukaan yang rendah). Proses
ini banyak di gunakan untuk menyelidiki keretakan permukaan (surface cracks)
dan kekeroposan (purisita). Lapisan-lapisan bahan dan lain-lain penggunaannya
tidak terbatas pada logam ferraus dan non ferraus teapi juga dapat di gunakan
pada kramik, plastik, jelas dan benda-benda lain hasil proses powder metalurai.

Tabel 2.5 konversi nilai kekerasan ASTM E 140

39

40

41

42

Anda mungkin juga menyukai