Anda di halaman 1dari 11

1.

Memandikan jenazah
2. a. Hukum

Jumhur ulama’ atau golongan terbesar dari ulama’ berpendapat bahwa memandikan mayat
muslim, hukumnya fardlu kifayah, artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka
gugurlah kewajiban seluruh mukallaf.

b. Jenazah yang wajib dan yang tidak wajib dimandikan

Jenazah yang wajib dimandikan adalah semua mayat kecuali:

– Mayat yang telah mati syahid sebab perang membela agama Allah di medan
peperangan, meski dalam keadaan junub dan dimakamkan dengan darahnya tanpa dibasuh
sedikitpun.

– Bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara (belum menjerit)[1]

Di sebutkan dalam sebuah hadits:

“Anak gugur jika belum sampai 4 bulan, tidak dimandikan dan tidak di shalat. Jika lahir
setelah 4 bulan dimandikan, tetapi tidak di shalati, kalau belum nyata tanda-tanda hidup”

Mengenai bayi yang mati sebelum 4 bulan disepakati tidak dimandikan dan tidak dishalati,
jika lahir setelah 4 bulan, maka menurut Abu Hanifah dimandikan dan dishalati jika didapati
ada tanda-tanda hidup seperti bersin dan gerak. Menurut Imam Malik diperlukan gerak yang
nyata yang sungguh-sungguh memberikan keyakinan bahwa anak itu hidup, namun kata
Imam Ahmad dimandikan dan dishalati.[2]

c. Para syuhada’ yang dimandikan dan di shalati

Dalam hadits Dibawah ini kita sebutkan macam-macam syuhada’ yang dimandikan:

Diterima dari Jabir Bin ‘Atik bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:

“Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati
karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang
kena kanker pada lambungnya adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang
yang mati terbakar adalah syahid, orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita
yang mati karena melahirkan adalah syahid.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)

d. Cara memandikan

Yang wajib dalam memandikan mayat itu adalah mengalirkan air satu kali ke seluruh tubuh
jenazah, walaupun dalam keadaan junub atau haidl sekalipun. Lebih utamanya jenazah
diletakkan di tempat yang tinggi, ditanggalkan pakaiannya dan ditaruh di atasnya sesuatu
yang dapat menutupi auradnya.ini jika mayat itu bukan anak kecil.
Hendaknya yang akan memandikannya itu adalah orang yang jujur, saleh dan dapat
dipercaya.

Diriwayatkan oleh ibnu majjah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Hendaknya yang akan memandikan jenazah-jenazahmu itu orang-orang yang dipercaya.”

Setelah itu hendaklah dimulai dengan memijat perut mayat dengan lunak, untuk
mengeluarkan isinya kalau ada, serta hendaknya dibersihkan najis-najis yang terdapat
dibadannya. Dan ketika membersihkan auradnya hendaklah tangannya di lapisi dengan kain,
karena menyentuh aurad hukumnya haram, kemudian hendak di wudlukan mayit itu seperti
halnya wudlu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

“Mulailah dengan bagian yang kanan dan anggota wudlu.”

Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air dan sabun dengan memulainya dari
anggota yang kanan. Dan seandainya tiga kali itu tidak cukup maka hendaklah dilebihinya
menjadi lima atau tujuh kali. Dalam buku shahih tertera bahwa Nabi SAW bersabda:

“Mandikanlah jenazah-jenazah itu secara ganjil, tiga, lima, atau tujuh kali, atau boleh juga
lebih jika kamu pandan perlu.”

Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya dikeringkan dengan handuk atau
kain yang bersih, agar kain kafannya tidak basah, lalu ditaruh di atasnya minyak wangi.

Sabda Rasulullah SAW:

“Jika kamu mengasapi mayat dengan wangi-wangian, maka hendaklah dengan jumlah yang
ganjil”

(Diriwayatkan oleh Baihaqi, juga oleh Hakim dan Ibn Hibban yang mengatakan sahnya)

Hikmah mencampur air dengan kapur barus sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama’
ialah karena baunya yang harum, justru pada hadirnya malaikat, juga mengandung khasiat
yang baik untuk mengawetkan dan mengeraskan tubuh mayat hingga tidak cepat busuk,
begitupun untuk mengusir binatang-binatang buas. Dan seandainya kapur barus tidak ada,
bias digantikan dengan bahan-bahan lain yang mengandung semua atau sebagian dari
khasiat-khasiatnya.

e. Tayammum bagi jenazah diwaktu tidak air


Pada buku Al-Musawwa diceritakan dari imam Malik bahwa ia mendengar para ulama’
mengatakan bila seorang wanita meninggal dan tak ada wanita yang memandikannya,
begitupun tak ada muhrim atau suami yang akan menyelenggaraka itu, hendaklah ia di
tayamumkan yaitu dengan menyapu muka dan kedua telapak tangannya dengan tanah.
Katanya lagi: “Sebaliknya bila laki-laki meninggal dan tak ada orang disana kecuali wanita,
maka hendaklah mereka mentayamumkan pula.”

2. Mengkafani jenazah

a. Hukumnya

Mengkafani mayat dengan apa saja yang dapat menutupi tubunya walau hanya sehelai kain,
hukumnya adalah fardlu kifayah.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab r. a. :

“Kami hijrah bersama Rasulullah SAW, dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka
tentulah akan kami terima pahalanya dari allah. Karena diantara kami ada yang meninggal
sebelum memperoleh hasil (duniawi) sedikitpun. Misalnya Mash’ab bin Umeir, ia tewas
terbunuh di perang uhud, dan tak ada kain kafan kecuali selembar kain burdah. Jika
kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya, dan jika kakinya ditutup, maka tersembul
kepalanya. Maka Nabi SAW menyuruh kami buat menutupi kepalanya, dan menaruh rumput
idzkhir pada kedua kakinya.”[3]

b. Cara mengkafani jenazah

Tentang mengkafani orang lelaki dengan tiga kerat kain disetujui Imam Malik dan Imam
Ahmad. Kata Abu Hanifah: “mengkafani wanita dengan tiga kerat juga, yaitu kain sarung,
selendang (baju luar), dan baju kurung. Dan jika dicukupi buat wanita sekadar 3 lapis,
hendaklah krudung diletakkan diatas baju kurung dibawah kain selimut badan.

Menurut Imam Malik, tak ada batas bagi kain kafan itu yang diwajibkan ialah menutupi
badan jenazah.

“Sekurang-kurang kafan sekerat kain yang menutupi badan,dan disukai dikafani orang lelaki
dalam tiga kerat kain putih, sebagaimana disukai kita mengkafani orang perempuan dalam
lima kerat kain (baju kurung, kain pinggang, kain selimut, krudung, dan lapis yang kelima
dipergunakan untuk mengikat dua pahanya.”[4]

3. Shalat Jenazah

a. Hukumnya

Telah disepakati oleh imam-imam ahli fiqh bahwa menyalatkan jenazah itu hukumnya fardlu
kifayah. Berdasarkan perintah Rasulullah SAW, dan perhatian kaum muslimin dalam
menepatinya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:


“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya
kepada Nabi SAW, maka nabi akan menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat
pembayar hutangnya. Jika dikatakan orang bahwa ia ada meninggalkan harta untuk
pembayarannya, maka beliau akan menyalatkan mayat itu, jika tidak beliau akan
memesankan kepada kaum muslimin: “shalatkanlah teman sejawatmu.”

b. Keutamaanya

Diriwayatkan oleh Jamaah dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Bersabda:

“Barang siapa mengiringkan jenazah dan turut menyalatkannya, ia akan memperoleh


pahala sebesar satu qirath,[5] dan barang siapa yang mengiringkannya sampai selesai
penyelenggaraannya, ia akan memperoleh dua qirath, yang terkecil, atau salah satu
diantaranya, beratnya seperti gunung uhud.”

c. Menyalati bayi yang gugur[6]

Bayi yang gugur yang belum berumur 4 bulan dalam kandungan, tidaklah dimandikan dan
dishalatkan, namun hanya dibalut dengan secarik kain dan lalu ditanam. Demikianlah
pendapat fuqoha’ tanpa pertikaian.

Jika setelah berusia 4 bulan atau lebih dan menunjukkan cirri-ciri hidup, maka menurut
kesepakatan fuqoha’ pula, hendaklah dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits yang
diriwaytkan oleh Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi SAW.
Bersabda:

“Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah dishalatkan dan ia berhak
menerima warisan.”

d. Menyalati orang yang mati syahid

Syahid ialah orang yang terbunuh dalam peperangan menghadapi orang-orang kafir.
Mengenai orang yang mati syahid ini, telah diterima beberapa hadits yang menegaskan
bahwa ia tidaklah dishalati.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir:

“Bahwa Nabi SAW, menyuruh memakamkan para syuhada’ uhud dengan darah mereka,
tanpa dimandikan dan dishalatkan.”[7]

Dalam hadits lan juga disebutkan:

“Bahwa Rasulullah SAW. Mengurus jenazah orang-orang yang gugur dalam perang uhud,
lalu beliau bersabda: “aku menyaksikan mereka, maka selimutilah mereka berikut darah dan
luka-luka mereka.”[8]

e. Cara shalat jenazah


1) Posisi imam

Imam hendaklah berdiri tepat dihadapan kepala jika yang meninggal itu laki-laki, dan
dihadapan perutnya jika yang meninggal itu wanita, dan jika jenazahnya lebih dari satu, maka
kepala jenazah laki-laki hendaklah diletakkan di dekat imam, dan jenazah wanita diletakkan
dibelakang jenazah laki-laki, dengan kepala jenazah laki-laki diarahkan ke selatan, sedangkan
kepala jenazah wanita diarahkan ke utara.

Berdasarkan hadits dari Anas r.a:

“Bahwa ia,yakni Anas, menyalatkan jenazah laki-laki, maka ia berdiri dekat kepalanya.
Setelah jenazah itu diangkat, lalu di bawa jenazah wanita, maka dishalatkannya pula dengan
berdiri dekat pinggangnya. Lalu ditanyakan orang kepadanya: “beginikah cara Rasulullah
SAW, menyalatkan jenazah, yaitu bila laki-laki berdiri di tempat seperti anda berdiri itu?
Dan wanita juga seperti yang anda lakukan?” “benar” ujar Anas.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah juga oleh Turmudzi yang
menyatakannya sebagai hadits hasan)

2) Langsung takbir

Hendaklah imam tidak menyeru “ashalaatul jaami’ah”, melainkan langsung takbir dengan
mengangkat kedua tangan.

3) Tanpa membaca iftitah

Sesudah mengawali dengan takbir pertama kedua tangan diletakkan diatas dada (pergelangan
tangan kanan menggenggam punggung pergelangan tangan kiri) agar langsung membaca
ta’awwudz tanpa doa iftitah. Kemudian membaca surat al-fatihah, kemudian takbir lagi (ke-
2), kemudian shalawat, sesudah itu takbir lagi (ke-3), kemudian doa, kemudian takbir lagi
(ke-4), sesudah itu salam.

f. Doa dalam shalat jenazah

Jika laki-laki adalah:

ُ ‫ْف َع ْنه‬ ْ ‫اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَهُ َو‬


ُ ‫ار َح ْمهُ َو َعافِ ِه َواع‬

“Ya Allah berikan ampunan, rahmat, kesejahteraan, dan kemaafan kepadanya.”

Sedangkan doa yang lazim digunakan sesudah takbir ke-4 yaitu:

ُ ‫اَللَّ ُه َّم ََل تَحْ ِر ْمنَا اَجْ َرهُ َو ََلت َ ْف ِتنَّا بَ ْعدَهُ َوا ْغ ِف ْر لَنَا َولَه‬

“Ya Allah, jangan kau haramkan kami memperoleh pahalanya, jangan kau biarkan fitnah
menimpa kami sesudahnya, ampunilah kami dan ampunilah dia.”[9]

4. Memakamkan Jenazah
a. Hukum memakamkan jenazah

Hukum memakamkan jenazah adalah wajib, sekalipun jenazah seorang kafir, berdasarkan
sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. ketika Abu Thalib meninggal dunia, “(Wahai
Ali), pergilah lalu kuburlah ia!”[1]

Adalah sunnah Nabi SAW, mengubur jenazah di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah
mengubur jenazah kecuali di pekuburan Baqi’, seperti yang telah diriwayatkan secara
mutawatir. Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah
mengubur jenazah di selain pemakaman umum, kecuali Nabi SAW sendiri yang dikebumikan
di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian baginya, seperti yang ditegaskan oleh
hadits Aisyah r.a. ia berkata, “Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat berbeda pendapat
perihal penguburannya, lalu berkatalah Abu Bakar r.a. “Aku pernah mendengar dan
Rasululah saw. wejangan yang tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, “Setiap Nabi
yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur
padanya.”Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya.[2]

Dikecualikan juga dari hal tersebut adalah para syuhada yang gugur di medan perang, mereka
dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini
didasarkan pada hadits dari Jabir r.a. berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para
prajurit yang gugur agar dikebumikan di Baqi’, maka berserulah seorang penyeru dari
Rasulullah saw., “Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah memerintah kalian agar mengubur
para syuhada’ di tempat gugurnya.”[3]

b. Waktu yang dilarang mengubur jenazah

1) Pada tiga waktu terlarang

Dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata “Ada tiga waktu Rasulullah saw. melarang kami
mengerjakan shalat, atau mengubur jenazah yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di
waktu matahari tegak berdiri hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang
terbenam hingga tenggelam.”[4]

2) Di kegelapan Malam

Dari Jabir r.a. ia berkata, “Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang sahabatnya yang
meninggal dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak cukup dan dikebumikan di
malam hari, maka Nabi SAW mengecam upaya penguburan jenazah di malam hari hingga ia
dishalati, kecuali orang yang karena terpaksa melakukannya.[5]

Manakala diharuskan melakukan pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu
boleh. Sekalipun harus menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk
mempermudah pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata,
“Bahwa Rasulullah saw. pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada malam hari
dengan menggunakan lentera ketika menurunkannya ke dalam kubur.”[6]
c. Liang kubur

Dari Hisyam bin Amri r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum
muslimin dan banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, “Ya Rasulullah,
untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu berat bagi kami, lalu apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Maka, Rasulullah bersabda “Galilah lubang, lebarkanlah,
perdalamkanlah, baguskanlah, dan kebumikanlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur, dan
dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-Qur’an! Maka adalah
ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai al-Qur’an. Maka ia
pun didahulukan.”[7]

Liang lahad lebih utama dari pada syaq, Lahad artinya liang di sisi kubur arah qiblat, di
atasnya ditegakkan batu-batu bata atau papan-papan kayu, hingga seakan-akan rumah yang
beratap. Sedangkan syaq artinya liang ditengah-tengah kubur untuk tempat mayat,
kelilingnya dipagari dengan batu-batu bata dan diatasnya ditutupi dengan sesuatu sebagai
atap. Keduanya boleh digunakan, akan tetapi yang lahad yang lebih utama.

Dari Anas bin Malik saw. Berkata:

“Tatkala Nabi SAW. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki yang dikenal pandai membuat
lubang kubur berbentuk lahad dan ada seorang lagi yang dikenal ahli membuat lubang
kubur berbentuk (makam). Para sahabat berunding, lalu mengatakan, “Sebaiknya kita shalat
istikharah, lalu kita datangkan keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita
tinggalkan yang lain.” Kemudian para sahabat sepakat memanggil keduanya, ternyata
penggali lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang lebih dahulu. Maka kemudian
mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi SAW..”[8]

d. Memasukkan jenazah ke liang kubur

Hendaklah yang mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-
laki, bukan kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab
itulah yang berlaku sejak masa Nabi SAW. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga
hari ini.

Sanak kerabat sang mayat lebih berhak menguburnya, berdasar firman Allah:

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam
kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab:6)

Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan Rasulullah SAW. lalu aku perhatikan dengan
seksama apa yang sering ada pada mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun
pada tubuhnya. Rasulullah saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:”
Dan, di samping para sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur
dan menguburnya, ada empat orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak
Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat untuk Rasulullah dan ditegakkan bata di
atasnya.[9]

Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak berhubungan badan dengan
isterinya pada malam harinya. Manakala telah menjima’ isterinya, maka tidak dibolehkan
baginya mengubur jenazah isterinya. Bahkan lebih diutamakan orang lain yang
menguburnya, walaupun bukan mahramnya dengan persyaratan tersebut. Hal ini berdasar
hadits dari Anas r.a ia berkata:

“Kami pernah menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah


duduk di atas kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah
saw. bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berjima’ dengan isterinya?”
Maka Abu Thalhah berkata : “Saya wahai Rasulullah.” sabda Beliau (lagi), “Kalau begitu
turunlah” kemudian Abu Thalhah turun ke dalam liang kuburnya.[10]

Menurut sunnah Nabi SAW. memasukkan jenazah dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu
Ishaq r.a. ia berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati
oleh Abdullah bin Zaid. Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan jenazah
al-Harist ke liang lahad dari arah kaki kubur. Ia berkata, “Ini termasuk sunnah Nabi
SAW..”[11]

Dan hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang kuburnya membaca,


“BISMILLAHI WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH.” atau “BISMILLAHI WA’ALAA
MILLATI RASUULILLAH.” Sesuai dengan hadits :

“Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau
mengucapkan, “BISMILLAHI WA’ALAA SUNNATI RASUULILLAAH” (Dengan menyebut
nama Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah).”[12]

e. Posisi jenazah

Di dalam liang lahat jenazah diletakkan dalam posisi miring dengan sisi kanan jasad jenazah
di bawah dan menghadap kiblat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang Ka’bah:
“Ka’bah adalah kiblat kalian (baik ketika masih) hidup maupun (ketika telah) mati.” (Hadist
riwayat Abu Dawud dan perawi-perawi yang lain).

Jadi hendaknya membaringkan sang mayat di dalam liang lahat dengan posisi lambung kanan
di bawah dan menghadap ke arah kiblat, sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke
arah kanan dan kiri kiblat. Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah
SAW. hingga masa kita sekarang ini.

f. Beberapa hal yang disunnahkan usai pemakaman mayat

1) Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari permukaan tanah, dan tidak
diratakan dengan tanah agar diketahui dan bisa dibedakan dari yang lain sehingga tetap
terpelihara dan tidak dihinakan. Berdasar hadits dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. telah
dibuatkan liang lahad untuk beliau, lalu ditegakkan disamping lahad dengan bata dan
ditinggikan kuburnya sejengkal dari permukaan tanah.[13]

2) Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti gunung, berdasar hadits,
dari Sufyan at-Tammar r.a. ia berkata, “Saya melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti
punuk.”[14]

3) Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau sejenisnya agar
diketahui dan dijadikan tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasar hadits dari al-
Muthalib bin Abi Wada’ah r.a. ia bercerita:
“Tatkala Utsman bin Mazh’un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah (ke makam), lalu
dikebumikan. Setelah dikubur, Nabi SAW menyuruh seorang sahabat mencari batu, namun
ternyata ia tidak mampu membawanya. Maka kemudian Rasulullah SAW sendiri yang datang
mengambilnya sambil menyingsingkan lengan bajunya.”

Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : “Berkatalah orang yang memberitakan kepadaku dari


Rasulullah SAW, Seolah-olah aku melihat putih kedua lengan Rasulullah SAW. ketika
Beliau menyingsingkan kedua lengan bajunya. kemudian Beliau mengambil batu itu dan
meletakkannya di bagian kepalanya lalu bersabda: “Dengan batu ini aku mengenal kuburan
saudaraku dan aku akan mengubur di tempat ini (pula) ada dari kalangan keluarganya yang
wafat.”[15]

[1] Shahih: Shahih Nasa’i no:1895, dan Nasa’i IV:79.

[2] Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II : 242 no:1023.

[3] Shahih: Shahih Nasa’i no:1893, ‘Aunul Ma’bud VIII: 446 no:3149, Nasa’i IV:79 dan
Tirmidzi III: 130 no:1771.

[4] Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1233, Muslim I:568 no:831, ‘Aunul Ma’bud VII: 481
no:3176, Tirmidzi II:247 no:1035, Nasa’i I:275 dan Ibnu Majah I: 486 no:1519.

[5] Shahih: Shahih Nasa’i no:1787, Muslim II:651 no:943, ‘Aunul Ma’bud VIII : 423
no:3132.

[6] Hasan : Ahlamul Janaiz hal.141 dan Tirmidzi II: 260 no:1063.

[7] Shahih: Ahlamul Janaiz hal.146, Nasa’i IV:80, ‘Aunul Ma’bud IX: 34 no:3199, Tirmidzi
III:128 no : 1766.

[8] Sanadnya hasan: Ibnu Majah I: 496 no: 1557.

[9] Sanad Shahih: Mustadrak Hakim I:362 dan Baihaqi IV: 53

[10] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 149 dan Fathul Bari III : 208 no: 1342.

[11] Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 150 dan ‘Aunul Ma’bud XI : 29 no: 3195.

[12] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 152, Tirmidzi II: 255 no: 1051, Ibnu Majah I: 494 no:
1550.

[13] Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 153, Shahih Ibnu Hibban no: 2150 dan Baihaqi
III: 410.
[14] Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 154, Fathul Bari III: 255 no:1390.

[15] Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 155 dan ‘Aunul Ma’bud IX:22 no: 3190.

[1] Abi Suja’, “Fathul Qarib Al-Mujib”

[2] Ash Shiddieqy, Hasbi. 1991. “Hukum-Hukum Fiqh Islam”. PT bulan Bintang. Jakarta.

[3] Sabiq, Sayid. “Fikih Sunnah Juz 4”. PT Al-Ma’arif. Bandung.

[4] Abu Bakar, Bahrun. 1996. “Musnad Syafi’i Juz 1 Terjamah.” Sinar Baru Algensindo.
Bandung.

[5] Nama ukuran besar, kira-kira 1/16 dirham.

[6] Yakni yang lahir dari perut ibunya sebelum cukup waktu kandungan dan setelah nyata
rupa bentuknya.

[7] Sabiq, Sayid. “Fikih Sunnah Juz 4”. PT Al-Ma’arif. Bandung.

[8] Abu bakar, Bahrun. 1996. “Musnad Syafi’i Juz 1 Terjamah.” Sinar Baru Algensindo.
Bandung.

[9] Saleh, Hassan. 2008. “Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer”. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai