Anda di halaman 1dari 11

4 kewajiban muslim kepada jenazah

170 Votes

Memandikan jenazah

a. Hukum

Jumhur ulama’ atau golongan terbesar dari ulama’ berpendapat bahwa memandikan mayat muslim,
hukumnya fardlu kifayah, artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban
seluruh mukallaf.

b. Jenazah yang wajib dan yang tidak wajib dimandikan

Jenazah yang wajib dimandikan adalah semua mayat kecuali:

– Mayat yang telah mati syahid sebab perang membela agama Allah di medan peperangan, meski
dalam keadaan junub dan dimakamkan dengan darahnya tanpa dibasuh sedikitpun.

– Bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara (belum menjerit)[1]

Di sebutkan dalam sebuah hadits:

“Anak gugur jika belum sampai 4 bulan, tidak dimandikan dan tidak di shalat. Jika lahir setelah 4 bulan
dimandikan, tetapi tidak di shalati, kalau belum nyata tanda-tanda hidup”

Mengenai bayi yang mati sebelum 4 bulan disepakati tidak dimandikan dan tidak dishalati, jika lahir
setelah 4 bulan, maka menurut Abu Hanifah dimandikan dan dishalati jika didapati ada tanda-tanda
hidup seperti bersin dan gerak. Menurut Imam Malik diperlukan gerak yang nyata yang sungguh-
sungguh memberikan keyakinan bahwa anak itu hidup, namun kata Imam Ahmad dimandikan dan
dishalati.[2]

c. Para syuhada’ yang dimandikan dan di shalati

Dalam hadits Dibawah ini kita sebutkan macam-macam syuhada’ yang dimandikan:

Diterima dari Jabir Bin ‘Atik bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:

“Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati karena penyakit
sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya
adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid, orang
yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)

d. Cara memandikan
Yang wajib dalam memandikan mayat itu adalah mengalirkan air satu kali ke seluruh tubuh jenazah,
walaupun dalam keadaan junub atau haidl sekalipun. Lebih utamanya jenazah diletakkan di tempat yang
tinggi, ditanggalkan pakaiannya dan ditaruh di atasnya sesuatu yang dapat menutupi auradnya.ini jika
mayat itu bukan anak kecil.

Hendaknya yang akan memandikannya itu adalah orang yang jujur, saleh dan dapat dipercaya.

Diriwayatkan oleh ibnu majjah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Hendaknya yang akan memandikan jenazah-jenazahmu itu orang-orang yang dipercaya.

”Setelah itu hendaklah dimulai dengan memijat perut mayat dengan lunak, untuk mengeluarkan isinya
kalau ada, serta hendaknya dibersihkan najis-najis yang terdapat dibadannya. Dan ketika membersihkan
auradnya hendaklah tangannya di lapisi dengan kain, karena menyentuh aurad hukumnya haram,
kemudian hendak di wudlukan mayit itu seperti halnya wudlu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:

“Mulailah dengan bagian yang kanan dan anggota wudlu.”

Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air dan sabun dengan memulainya dari anggota yang
kanan. Dan seandainya tiga kali itu tidak cukup maka hendaklah dilebihinya menjadi lima atau tujuh kali.
Dalam buku shahih tertera bahwa Nabi SAW bersabda:
“Mandikanlah jenazah-jenazah itu secara ganjil, tiga, lima, atau tujuh kali, atau boleh juga lebih jika
kamu pandan perlu.”

Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya dikeringkan dengan handuk atau kain yang
bersih, agar kain kafannya tidak basah, lalu ditaruh di atasnya minyak wangi.

Sabda Rasulullah SAW:

“Jika kamu mengasapi mayat dengan wangi-wangian, maka hendaklah dengan jumlah yang ganjil”

(Diriwayatkan oleh Baihaqi, juga oleh Hakim dan Ibn Hibban yang mengatakan sahnya)

Hikmah mencampur air dengan kapur barus sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama’ ialah
karena baunya yang harum, justru pada hadirnya malaikat, juga mengandung khasiat yang baik untuk
mengawetkan dan mengeraskan tubuh mayat hingga tidak cepat busuk, begitupun untuk mengusir
binatang-binatang buas. Dan seandainya kapur barus tidak ada, bias digantikan dengan bahan-bahan
lain yang mengandung semua atau sebagian dari khasiat-khasiatnya.

e. Tayammum bagi jenazah diwaktu tidak air

Pada buku Al-Musawwa diceritakan dari imam Malik bahwa ia mendengar para ulama’ mengatakan bila
seorang wanita meninggal dan tak ada wanita yang memandikannya, begitupun tak ada muhrim atau
suami yang akan menyelenggaraka itu, hendaklah ia di tayamumkan yaitu dengan menyapu muka dan
kedua telapak tangannya dengan tanah. Katanya lagi: “Sebaliknya bila laki-laki meninggal dan tak ada
orang disana kecuali wanita, maka hendaklah mereka mentayamumkan pula.”

2. Mengkafani jenazah

a. Hukumnya

Mengkafani mayat dengan apa saja yang dapat menutupi tubunya walau hanya sehelai kain, hukumnya
adalah fardlu kifayah.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab r. a. :

“Kami hijrah bersama Rasulullah SAW, dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tentulah akan kami
terima pahalanya dari allah. Karena diantara kami ada yang meninggal sebelum memperoleh hasil
(duniawi) sedikitpun. Misalnya Mash’ab bin Umeir, ia tewas terbunuh di perang uhud, dan tak ada kain
kafan kecuali selembar kain burdah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya, dan jika kakinya
ditutup, maka tersembul kepalanya. Maka Nabi SAW menyuruh kami buat menutupi kepalanya, dan
menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya.”[3]

b. Cara mengkafani jenazah

Tentang mengkafani orang lelaki dengan tiga kerat kain disetujui Imam Malik dan Imam Ahmad. Kata
Abu Hanifah: “mengkafani wanita dengan tiga kerat juga, yaitu kain sarung, selendang (baju luar), dan
baju kurung. Dan jika dicukupi buat wanita sekadar 3 lapis, hendaklah krudung diletakkan diatas baju
kurung dibawah kain selimut badan.

Menurut Imam Malik, tak ada batas bagi kain kafan itu yang diwajibkan ialah menutupi badan jenazah.

“Sekurang-kurang kafan sekerat kain yang menutupi badan,dan disukai dikafani orang lelaki dalam tiga
kerat kain putih, sebagaimana disukai kita mengkafani orang perempuan dalam lima kerat kain (baju
kurung, kain pinggang, kain selimut, krudung, dan lapis yang kelima dipergunakan untuk mengikat dua
pahanya.”[4]

3. Shalat Jenazah

a. Hukumnya

Telah disepakati oleh imam-imam ahli fiqh bahwa menyalatkan jenazah itu hukumnya fardlu kifayah.
Berdasarkan perintah Rasulullah SAW, dan perhatian kaum muslimin dalam menepatinya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:

“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya kepada Nabi
SAW, maka nabi akan menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat pembayar hutangnya.
Jika dikatakan orang bahwa ia ada meninggalkan harta untuk pembayarannya, maka beliau akan
menyalatkan mayat itu, jika tidak beliau akan memesankan kepada kaum muslimin: “shalatkanlah
teman sejawatmu.”
b. Keutamaanya

Diriwayatkan oleh Jamaah dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Bersabda:

“Barang siapa mengiringkan jenazah dan turut menyalatkannya, ia akan memperoleh pahala sebesar
satu qirath,[5] dan barang siapa yang mengiringkannya sampai selesai penyelenggaraannya, ia akan
memperoleh dua qirath, yang terkecil, atau salah satu diantaranya, beratnya seperti gunung uhud.”

c. Menyalati bayi yang gugur[6]

Bayi yang gugur yang belum berumur 4 bulan dalam kandungan, tidaklah dimandikan dan dishalatkan,
namun hanya dibalut dengan secarik kain dan lalu ditanam. Demikianlah pendapat fuqoha’ tanpa
pertikaian.

Jika setelah berusia 4 bulan atau lebih dan menunjukkan cirri-ciri hidup, maka menurut kesepakatan
fuqoha’ pula, hendaklah dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits yang diriwaytkan oleh
Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi SAW. Bersabda:

“Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah dishalatkan dan ia berhak menerima
warisan.”

d. Menyalati orang yang mati syahid

Syahid ialah orang yang terbunuh dalam peperangan menghadapi orang-orang kafir. Mengenai orang
yang mati syahid ini, telah diterima beberapa hadits yang menegaskan bahwa ia tidaklah dishalati.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir:

“Bahwa Nabi SAW, menyuruh memakamkan para syuhada’ uhud dengan darah mereka, tanpa
dimandikan dan dishalatkan.”[7]

Dalam hadits lan juga disebutkan:

“Bahwa Rasulullah SAW. Mengurus jenazah orang-orang yang gugur dalam perang uhud, lalu beliau
bersabda: “aku menyaksikan mereka, maka selimutilah mereka berikut darah dan luka-luka mereka.”[8]

e. Cara shalat jenazah

1) Posisi imam

Imam hendaklah berdiri tepat dihadapan kepala jika yang meninggal itu laki-laki, dan dihadapan
perutnya jika yang meninggal itu wanita, dan jika jenazahnya lebih dari satu, maka kepala jenazah laki-
laki hendaklah diletakkan di dekat imam, dan jenazah wanita diletakkan dibelakang jenazah laki-laki,
dengan kepala jenazah laki-laki diarahkan ke selatan, sedangkan kepala jenazah wanita diarahkan ke
utara.
Berdasarkan hadits dari Anas r.a:

“Bahwa ia,yakni Anas, menyalatkan jenazah laki-laki, maka ia berdiri dekat kepalanya. Setelah jenazah
itu diangkat, lalu di bawa jenazah wanita, maka dishalatkannya pula dengan berdiri dekat pinggangnya.
Lalu ditanyakan orang kepadanya: “beginikah cara Rasulullah SAW, menyalatkan jenazah, yaitu bila laki-
laki berdiri di tempat seperti anda berdiri itu? Dan wanita juga seperti yang anda lakukan?” “benar” ujar
Anas.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah juga oleh Turmudzi yang menyatakannya sebagai
hadits hasan)

2) Langsung takbir

Hendaklah imam tidak menyeru “ashalaatul jaami’ah”, melainkan langsung takbir dengan mengangkat
kedua tangan.

3) Tanpa membaca iftitah

Sesudah mengawali dengan takbir pertama kedua tangan diletakkan diatas dada (pergelangan tangan
kanan menggenggam punggung pergelangan tangan kiri) agar langsung membaca ta’awwudz tanpa doa
iftitah. Kemudian membaca surat al-fatihah, kemudian takbir lagi (ke-2), kemudian shalawat, sesudah itu
takbir lagi (ke-3), kemudian doa, kemudian takbir lagi (ke-4), sesudah itu salam.

f. Doa dalam shalat jenazah

Jika laki-laki adalah:

َّ‫ِر اَللَّ ُه َّم‬


َّْ ‫ار َح ْم َّهُ لَ َّهُ ا ْغف‬
ْ ‫عافِ َِّه َو‬ َُّ ‫ع ْن َّهُ َواع‬
َ ‫ْف َو‬ َ

“Ya Allah berikan ampunan, rahmat, kesejahteraan, dan kemaafan kepadanya.”


Sedangkan doa yang lazim digunakan sesudah takbir ke-4 yaitu:

َّ‫ل اَللَّ ُه َّم‬


ََّ ‫ِر بَ ْع َدَّهُ َو َلت َ ْفتِنَّا اَجْ َرَّهُ تَحْ ِر ْمنَا‬
َّْ ‫َولَ َّه ُ لَنَا َوا ْغف‬

“Ya Allah, jangan kau haramkan kami memperoleh pahalanya, jangan kau biarkan fitnah menimpa kami
sesudahnya, ampunilah kami dan ampunilah dia.”[9]

4. Memakamkan Jenazah

a. Hukum memakamkan jenazah

Hukum memakamkan jenazah adalah wajib, sekalipun jenazah seorang kafir, berdasarkan sabda Nabi
Saw. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. ketika Abu Thalib meninggal dunia, “(Wahai Ali), pergilah lalu
kuburlah ia!”[1]

Adalah sunnah Nabi SAW, mengubur jenazah di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah mengubur
jenazah kecuali di pekuburan Baqi’, seperti yang telah diriwayatkan secara mutawatir. Tidak pernah
diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah mengubur jenazah di selain pemakaman
umum, kecuali Nabi SAW sendiri yang dikebumikan di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian
baginya, seperti yang ditegaskan oleh hadits Aisyah r.a. ia berkata, “Tatkala Rasulullah SAW wafat, para
sahabat berbeda pendapat perihal penguburannya, lalu berkatalah Abu Bakar r.a. “Aku pernah
mendengar dan Rasululah saw. wejangan yang tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, “Setiap
Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya.”Maka
kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya.[2]

Dikecualikan juga dari hal tersebut adalah para syuhada yang gugur di medan perang, mereka
dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini didasarkan pada
hadits dari Jabir r.a. berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para prajurit yang gugur agar
dikebumikan di Baqi’, maka berserulah seorang penyeru dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya Rasulullah
SAW. pernah memerintah kalian agar mengubur para syuhada’ di tempat gugurnya.”[3]
b. Waktu yang dilarang mengubur jenazah

1) Pada tiga waktu terlarang

Dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata “Ada tiga waktu Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat,
atau mengubur jenazah yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di waktu matahari tegak berdiri
hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.”[4]

2) Di kegelapan Malam

Dari Jabir r.a. ia berkata, “Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang sahabatnya yang meninggal
dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak cukup dan dikebumikan di malam hari, maka Nabi SAW
mengecam upaya penguburan jenazah di malam hari hingga ia dishalati, kecuali orang yang karena
terpaksa melakukannya.[5]

Manakala diharuskan melakukan pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu boleh.
Sekalipun harus menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk mempermudah
pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Bahwa Rasulullah saw.
pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada malam hari dengan menggunakan lentera ketika
menurunkannya ke dalam kubur.”[6]

c. Liang kubur
Dari Hisyam bin Amri r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum muslimin dan
banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, “Ya Rasulullah, untuk menggali lubang
bagi setiap korban tentu berat bagi kami, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Maka,
Rasulullah bersabda “Galilah lubang, lebarkanlah, perdalamkanlah, baguskanlah, dan kebumikanlah dua
atau tiga mayat dalam satu kubur, dan dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-
Qur’an! Maka adalah ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai al-Qur’an.
Maka ia pun didahulukan.”[7]

Liang lahad lebih utama dari pada syaq, Lahad artinya liang di sisi kubur arah qiblat, di atasnya
ditegakkan batu-batu bata atau papan-papan kayu, hingga seakan-akan rumah yang beratap. Sedangkan
syaq artinya liang ditengah-tengah kubur untuk tempat mayat, kelilingnya dipagari dengan batu-batu
bata dan diatasnya ditutupi dengan sesuatu sebagai atap. Keduanya boleh digunakan, akan tetapi yang
lahad yang lebih utama.

Dari Anas bin Malik saw. Berkata:

“Tatkala Nabi SAW. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki yang dikenal pandai membuat lubang kubur
berbentuk lahad dan ada seorang lagi yang dikenal ahli membuat lubang kubur berbentuk (makam).
Para sahabat berunding, lalu mengatakan, “Sebaiknya kita shalat istikharah, lalu kita datangkan
keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita tinggalkan yang lain.” Kemudian para sahabat
sepakat memanggil keduanya, ternyata penggali lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang
lebih dahulu. Maka kemudian mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi SAW..”[8]

d. Memasukkan jenazah ke liang kubur

Hendaklah yang mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-laki, bukan
kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab itulah yang berlaku sejak
masa Nabi SAW. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga hari ini.

Sanak kerabat sang mayat lebih berhak menguburnya, berdasar firman Allah:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah.”
(QS. Al-Ahzab:6)

Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan Rasulullah SAW. lalu aku perhatikan dengan seksama apa
yang sering ada pada mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun pada tubuhnya.
Rasulullah saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:” Dan, di samping para
sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur dan menguburnya, ada empat
orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat
untuk Rasulullah dan ditegakkan bata di atasnya.[9]

Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak berhubungan badan dengan isterinya
pada malam harinya. Manakala telah menjima’ isterinya, maka tidak dibolehkan baginya mengubur
jenazah isterinya. Bahkan lebih diutamakan orang lain yang menguburnya, walaupun bukan mahramnya
dengan persyaratan tersebut. Hal ini berdasar hadits dari Anas r.a ia berkata:

“Kami pernah menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah duduk di atas
kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Adakah
di antara kalian yang tadi malam tidak berjima’ dengan isterinya?” Maka Abu Thalhah berkata : “Saya
wahai Rasulullah.” sabda Beliau (lagi), “Kalau begitu turunlah” kemudian Abu Thalhah turun ke dalam
liang kuburnya.[10]

Menurut sunnah Nabi SAW. memasukkan jenazah dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu Ishaq r.a. ia
berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati oleh Abdullah bin Zaid.
Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan jenazah al-Harist ke liang lahad dari arah kaki
kubur. Ia berkata, “Ini termasuk sunnah Nabi SAW..”[11]

Dan hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang kuburnya membaca, “BISMILLAHI WA ‘ALAA
SUNNATI RASUULILLAAH.” atau “BISMILLAHI WA’ALAA MILLATI RASUULILLAH.” Sesuai dengan hadits :

“Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau
mengucapkan, “BISMILLAHI WA’ALAA SUNNATI RASUULILLAAH” (Dengan menyebut nama Allah dan
mengikuti sunnah Rasulullah).”[12]
e. Posisi jenazah

Di dalam liang lahat jenazah diletakkan dalam posisi miring dengan sisi kanan jasad jenazah di bawah
dan menghadap kiblat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang Ka’bah:

“Ka’bah adalah kiblat kalian (baik ketika masih) hidup maupun (ketika telah) mati.” (Hadist riwayat Abu
Dawud dan perawi-perawi yang lain).

Jadi hendaknya membaringkan sang mayat di dalam liang lahat dengan posisi lambung kanan di bawah
dan menghadap ke arah kiblat, sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke arah kanan dan kiri
kiblat. Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah SAW. hingga masa kita sekarang ini.

f. Beberapa hal yang disunnahkan usai pemakaman mayat

1) Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari permukaan tanah, dan tidak diratakan
dengan tanah agar diketahui dan bisa dibedakan dari yang lain sehingga tetap terpelihara dan tidak
dihinakan. Berdasar hadits dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. telah dibuatkan liang lahad untuk beliau, lalu
ditegakkan disamping lahad dengan bata dan ditinggikan kuburnya sejengkal dari permukaan tanah.[13]

2) Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti gunung, berdasar hadits, dari Sufyan
at-Tammar r.a. ia berkata, “Saya melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti punuk.”[14]

3) Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau sejenisnya agar diketahui dan
dijadikan tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasar hadits dari al-Muthalib bin Abi Wada’ah r.a. ia
bercerita:

“Tatkala Utsman bin Mazh’un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah (ke makam), lalu dikebumikan.
Setelah dikubur, Nabi SAW menyuruh seorang sahabat mencari batu, namun ternyata ia tidak mampu
membawanya. Maka kemudian Rasulullah SAW sendiri yang datang mengambilnya sambil
menyingsingkan lengan bajunya.”
Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : “Berkatalah orang yang memberitakan kepadaku dari Rasulullah
SAW, Seolah-olah aku melihat putih kedua lengan Rasulullah SAW. ketika Beliau menyingsingkan kedua
lengan bajunya. kemudian Beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di bagian kepalanya lalu
bersabda: “Dengan batu ini aku mengenal kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di tempat ini
(pula) ada dari kalangan keluarganya yang wafat.”[15]

Anda mungkin juga menyukai