Anda di halaman 1dari 11

Tugas

IBADAH AKHLAK

Dosen Pengampu M. Arif, S. Ag

Oleh Dini Hadianti 1001135014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR HAMKA 2013

A. MEMANDIKAN JENAZAH
Seperti orang yang hidup, Jenazah pun harus dimandikan sebelum dishalatkan dan dikuburkan. Memandikan jenazah merupakan bahagian dari fardhu kifayah dalam mengurus jenazah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa fardhu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, apabila tidak seorangpun yang melakukan hal tersebut maka seluruh bahagian kampung dan penduduk di sekitar kediaman jenazah tersebut akan berdosa, Oleh karena itu, memandikan jenazah merupakan keharusan yang mesti dikerjakan. Dan apabila hal tersebut telah dilaksanakan, maka putuslah kewajiban penduduk muslim setempat. Dalil mengenai kewajiban seorang muslim untuk memandikan jenazah terdapat dalam hadis yang disabdakan Rasulullah Saw yaitu: Dari Abu Hurairah r.a berkata, aku mendengar Rasulllulah saw bersabda, hak seorang Muslim yang lain ada lima hal: menjawab salam, membesuk orang sakit, mengantar jenazah, mendatangi undangan, dan menjawab orang bersin. (HR Bukhari) Walaupun kata memandikan dalam hadis diatas tidak ada, namun sebagaimana yang diketahui bahwa memandikan jenazah merupakan bahagian fardhu kifayah dalam pengurusan jenazah. Itulah sebabnya memandikan jenazah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan segera. Nabi Muhammad SAW selalu memberikan tuntunan kepada umatnya dalam setiap tindakan. Tuntunan tersebut berupa contoh perkataan dan sikap atau perilaku yang terpuji, salah satunya ialah tata cara dalam memandikan jenazah.

1. Syarat Memandikan Jenazah Adapun syarat wajib memandikan jenazah yaitu : a. b. c. mayat itu islam Lengkap tubuhnya atau ada bahagian tubuhnya walaupun sedikit Jenazah tersebut bukan mati syahid (mati dalam peperangan membela agama Allah).

2. Hukum Memandikan Jenazah Jumhur Ulama atau golongan terbesar dari ulama berpendapat bahwa memandikan mayat muslim, hukumnya adalah fardhu kifayah artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf.

3.

Klasifikasi dalam Memandikan Jenazah Klasifikasi ini bertujuan untuk memberikan perbedaan dalam memandikan

jenazah. Hal ini disebabkan bahwa tidak semua jenazah yang ada dapat atau harus dimandikan. Berikut 2 hal yang perlu untuk diperhatikan dalam memandikan jenazah. a. Jenazah yang boleh dimandikan Jenazah yang wajib dimandikan adalah orang Islam dan orang yang meninggal bukan karena mati syahid di Medan pertempuran. b. Jenazah yang tidak perlu dimandikan. Jenazah yang tidak boleh dimandikan adalah jenazah yang mati syahid di medan pertempuran karena setiap luka atau setetes darah akan semerbak dengan bau wangi pada hari Kiamat. Jenazah orang kafir tidak wajib dimandikan. Ini pernah dilakkan Nabi saw terhadap paman beliau yang kafir. Juga berdasarkan firman Allah SWT: Dan

janganlah sekali-kali kamu menyalatkan jenazah salah seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Janin yang dibawah usia empat bulan tidak perlu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. Cukup digali lubang dan dikebumikan.

c. Orang Yang Berhak Memandikan Tidak semua orang berhak dalam memandikan jenazah, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasian aib atau cacat penyakit yang masih ada di dalam tubuh jenazah tersebut. Tujuan menjaga dan membatasi bagi orang yang ingin memandikan jenazah adalah agar tidak terjadi fitnah yang dapat memalukan keluarga jenazah tersebut. Adapun Orang yang berhak memandikan Jenazah Adalah: Apabila mayat itu laki-laki, hendaklah memandikannya laki-laki pula, perempuan tidak boleh memandikan mayat laki-laki, kecuali istri dan muhrimnya. Jika mayat perempuan, hendaklah dimandikan permpuan pula, laki-laki tidak boleh memandikan mayat perempuan kecuali suami atau muhrimnya. Orang Yang berhak memandikan Jenazah adalah orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya) Kemudian bapaknya, sebab ia tentu lebih tahu mengenali si mayit daripada anak si mayit tersebut. Kemudian keluarga terdekat si mayit.

Jenazah wanita dimandikan oleh pemegang wasiatnya, kemudian ibunya lalu anak perempuannya setelah itu keluarga terdekat. Seorang suami boleh memandikan jenazah istrinya berdasarkan sabda Nabi saw kepadaAisyah Radhiallahu Anha: Tentu tidak ada yang membuatmu gundah, sebab jika kamu wafat sebelumku, akulah yang memandikan jenazahmu.

4. Tata cara Dalam memandikan jenazah a. Persiapan Sebelum Memandikan Jenazah b. Sebelum Memandikan jenazah, Maka harus dilakukan beberapa Persiapan, adapun Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum proses pemandian adalah: Masker dan kaos tangan untuk memandikan jenazah agar terhindar dari kuman jika si jenazah memiliki penyakit. Sabun atau bahan lainnya untuk membersihkan tubuh si jenazah Sampo untuk mengeramasi rambut si jenazah agar bersih dari kuman dan kotoran Air secukupnya untuk proses memandikan. Boleh memakai air yang dialiri oleh selang, boleh juga menyiapkan air sebanyak tiga ember besar. Meja besar atau dipan yang cukup dan kuat serta tahan air untuk tempat meletakkan jenazah ketika dimandikan Handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambut si jenazah. Kapas, kapur barus, daun bidara, atau wewangian yang lain serta bedak. Dipersiapkan kain kafan tergantung jenis kelamin.

Proses dan Tata Cara Memandikan Jenazah Meletakkan jenazah diatas dipan atau meja, usahakan kepala lebih tinggi dari kaki Tempat jenazah harus tertutup, baik dinding maupun atapnya agar aurat dan cela jenazah tidak terlihat. Menutup aurat jenazah dengan handuk besar dan kain. Untuk jenazah putra dari pusar sampai lutut, sedangkan untuk jenazah perempuan dari dada sampai mata kaki. Bersihkan kotoran dengan cara mengangkat pundak dan kepala sambil menekan perut dan dada Memiringkan ke kanan dan ke kiri sambil ditekan dengan mempergunakan sarung tangan atau kain perca dan disiram berkali-kali agar kotoran hilang. Basuhlah jenazah sebagaimana cara berwudhu.

Siram dari mulai yang kanan anggota wudhu dengan bilangan gasal menggunakan air dan daun bidara, kemudian seluruh tubuh jenazah diberi sabun termasuk pada lipatan-lipatan yang ada.

Bersihkan tubuhnya dengan air dan miringkan ke kanan serta ke kiri. Selama memandikan, aurat jenzah harus senantiasa agar tidak terlihat Kemudian, rambut jenazah dikeramas dan disiram agar bersih. Dan jika jenazahnya wanita, setelah rambutnya dikeringkan kemudian dipintal menjadi tiga.

Siramkan pada siraman yang terakhir dengan kapur barus dan miringkan ke kanan dan ke kiri agar air keluar dari mulutnya dan dari lubang yang lain. Setelah selesai, badannya dikeringkan dengan handuk, kewmudian ditutup dengan kain yang kering agar auratnya tetap tertutup. Bersihkan segala najis yang ada di badannya, utamanya bagian kemaluan, kemudian meratakan air ke seluruh tubuh atau sebaiknya tiga kali yaitu dengan air yang bersih, air sabun dan air yang bercampur dengan kapur barus. Apabila sudah selesai kesemuanya yang terakhir adalah di wudhukan.

Setiap mayat muslim itu wajib di mandiakn dengan tiga kali ; pertama dengan air yang dicampur sedikit kapur dan bidara ; kedua dengan air yang dicapur sedikit kapur kecuali yang mati dalam keadaan ihram, maka tidak boleh dicampur dengan kapur ; ketiga dengan aiir murnbi tanpa dicampur apapun. Daun bidara dan kapur yang dicampur dengan air itu jangan terlalu banyak, karena dikhawatirkan air tersebut menjadi air mudhaf, sehingga tidak dapat menyucikan. Antara tiga kali mandi tersebut, diwajibkan pula tertib antara anggota tubuh yang tiga, yakni dimulai dengan kepala berikut leher, lalu anggota tubuh yang kanan, dan ketiga anggota tubuh yang kiri.

Pekerjaan yang pertama-tama dilakukan dalam menyelenggarakan urusan mayit adalah memandikannya, yang mempunyai dua macam cara. 1. yaitu cara, asal memenuhi arti mandi yang dengan demikian maka terlepaslah kita dari dosa, inilah asal najis yang barangkali ada pada tubuh si mayat hilang, kemudian siramlah seluruh tubuhnya dengan air secara merata. 2. yaitu cara yang sempurna sehingga memenuhi as-sunnah yakni agar orang memandikan mayit melakukan hal-hal berikut : a. letakkanlah mayit di tempat kosong, diatas tempat yang tinggi, papan umpamanya, dan tutuplah auratnya dengan kain atau semisalnya.

b. Mayat didudukkan di temapt mandi, condong ke belakang, sedang kepalanya di sandarkan pada tangan kirinya, menekan keras-keras perut si mayat, supaya isinya yang mungkin masih tersisa keluar. Sesudah itu balutlah tangan kiri itu dengan kain atau sarung tangan dan dibasuh kemaluannya dan dubur si mayat, kemudian dibersihkan pula mulut dan lubang hidungnya lantas diwudhukan seperti wudhu orang yang hidup. c. Kepala dan wajah si mayat di basuh dengan sabun atau bisa juga digunakan dengan pembersih lainnya. Dilepas rambutnya kalau dia mempunyai rambut yang panjang, dan kalau ada yang tercabut, maka rambut itu harus dikembalikan dan ditanam bersamanya. d. Sisi kanan mayat sebelah depan terlebih dahului, barulah kemudian sisi depan sebelah kiri, sesudah itu basuh pula sisi kanannya sebelah kiri, sesudah itu basuh pula sisi kanannya sebelah belakang, kemudian sisi belakang sebelah kiri, dengan demikian seluruh tubuhnya bisa diratai air. B. MENGKAFANI JENAZAH Tata cara mengkafani jenazah yang perlu diperhatikan adalah sebelum mayit dikafani, sebaiknya mayit dipakaikan celana dalam terlebih dahulu, baru kemudian dikafani. Berikut tata cara mengkafani jenazah. a. Siapkan kain kafan. b. Potong sesuai ukuran kain jafan, yaitu kurang lebih 15,5 meter dengan aturan potongan kain: 1. Kafan 2 lapis dengan panjang 2,5 meter lebar kain + 0,5 lebar potong kain. Total 7,5 meter. 2. Baju dengan panjang 2,5 meter, diambil 2/3 bagian dari lebar. Sisanya 1/3 untuk sorban. Total 2,5 meter. 3. 1,5 meter untuk lengan baju, 2/3 dari lebar untuk baju. Sisanya 1/3 untuk anak baju. Tota 1,5 meter. 4. 1 meter untk syal atau selendang. Total 1 meter. 5. 1,5 meter untuk ikat pinggang (1/3 dari lebar). Total 1,5 meter. Cara melakukan pengkafanan: a) Mula-mula siapkan segala sesuatnya yang diperlukan untuk mengkafani mayat. Kemudian sobek bagian tepi kain tersebut (sesuaikan dengan ukuran pemotongan kain kafan sebagaimanaaturan pemotongan kain kafan).

b) Buatlah bajunya, kain sarungnya,cawatnya, serta sorbannya (untuk jenazah laki-laki) atau kerudung (untuk jenazah perempuan).

Cara meletakkan kain kafa tersebut adalah dibujurkan ke arah kiblat (letak kaki jenazah ke arah kiblat) dengan susunan sebagai berikut. a. Letakkan tali sebanyak 5 helai. b. Kain kafan pertama dibentangkan. c. Ikat pinggang jenazah dibentangkan. d. Kain kafan kedua dibentangkan. e. Senendang / syal dipasangkan. f. Sorban dibentangkan di atas syal.

g. Baju dibentangkan. h. Anak baju dibetangkan di atas baju. i. j. Kain sarung dibentangkan di atas baju. Kapas ditebarkan di atas baju dan sarung.

k. Selasih serbuk cendana dan wewangian di tabur di atas kapas. l. Hendaknya mendahulukan kain yang kanan..

C. PANDANGAN MUHAMMADIYAH TENTANG TASAWUF Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq,

membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: 1. Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme. 2. Karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bidah dan Churafat) serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Quran dan as-Sunnah secara langsung. 3. Tidak satupun organisasi kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris memayungi kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, mengapa

Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau tarikat? Mungkin karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu, juga pemurni,

maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf Modern. Kata modern perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang modern. Selain itu, sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf pada makna-nya yang asli: membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-forum Muhammadiyah adalah ihsan (dalam Kepribadian Muhammadiyah), spiritual (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta spiritualitas (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-tabudullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks bertasawuf ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program spiritualisasi syariah (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih

dan Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan irfani sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah lazim: Bayani (deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan irfani adalah pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi. Dalam tradisi Syiah, rfani itu jalan Sufi. Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti hati suci, Islam Sejati, akal suci dan Quran Suci dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapanungkapan yang bernuansa bathinaih di atas dalam penilain Munir Mulkha n (2003) merupakan gagasan sufistik pendiri Muhammadiyah itu.

Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan tarikat. Tasawuf adalah isi-nya sedangkan tarikat itu wadahnya; tasawuf itu kualitas yang ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Sebagian kalangan berpendapat keduanya menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu kering dan anti atau bahkan memusuhi Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman warganya berlangsung secara imbang.

DAFTAR PUSTAKA

http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/11/cara-memandikanjenazah.html http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/11/cara-memandikanjenazah.html http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme


http://www.ahmadmuttaqin.com/2009/08/06/muhammadiyah-dan-sufisme/

http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010_04_01_archive.html

Anda mungkin juga menyukai