Anda di halaman 1dari 45

Paraparesis Inferior

LAPORAN STATUS PASIEN

SMF ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTAMADYA CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Nama Mahasiswa : Adhyanovic Hadi Pradipta, S.Ked

NIM : 030.07.001

Asal : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Pembimbing : dr. Mukhdiar Kasim, SpS

A. IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny. A
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : 26 tahun
 Status Perkawinan : Kawin
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Suku Bangsa : Jawa
 Agama : Islam
 Pendidikan terakhir : SMP
 Alamat : Cilegon

Pasien masuk Rumah Sakit pada tanggal 1 Oktober 2012.

B. ANAMNESIS

Diambil secara Autoanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2012.

I. Keluhan Utama : Kedua tungkai tidak dapat digerakkan sejak 1 hari


sebelum masuk rumah sakit.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 1


Paraparesis Inferior

II. Keluhan Tambahan : Sakit petut, BAB (-), kencing terus-terusan.


III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Cilegon dengan keluhan kedua
tungkai tidak dapat digerakkan dan terasa lemas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengakui bahwa keluhan tersebut datang
mendadak saat bangun tidur. Pasien juga mengakui bahwa kedua kakinya
tidak dapat merasakan apapun sejak saat itu. Sejak saat itu pula, pasien
mengaku BAK terus menerus dan tidak dapat pasien hentikan. Pasien juga
mengaku sudah beberapa hari tidak BAB dan saat masuk rumah sakit,
perutnya terasa sakit.
Pasien menyangkal keluhan demam, batuk pilek dan tidak ada
riwayat trauma pada kepala dan punggung.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Hipertensi :(-)
b. Diabetes Mellitus :(-)
c. Asthma :(-)
d. Alergi :(-)
e. Lain-lain :(-)

V. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Hipertensi :(-)
b. Diabetes Mellitus :(-)
c. Asthma :(-)
d. Alergi :(-)
e. Lain-lain :(-)

C. ANAMNESIS MENURUT SISTEM

I. Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( - ) Keringat
malam

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 2


Paraparesis Inferior

( - ) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis

( - ) Lain-lain

II. Kepala
( - ) Trauma ( - ) Sakit kepala

( - ) Sinkop ( - ) Nyeri pada sinus

III. Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang

( - ) Sekret ( - ) Gangguan penglihatan

( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Ketajaman penglihatan

IV. Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran

( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran

( - ) Tinitus

V. Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan

( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman

( - ) Sekret ( - ) Pilek

( - ) Epistaksis

VI. Mulut
( - ) Bibir ( - ) Lidah

( - ) Gusi ( - ) Gangguan pengecap

( - ) Selaput ( - ) Stomatitis

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 3


Paraparesis Inferior

VII. Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara

VIII. Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher

IX. Dada (Jantung / Paru)

( - ) Nyeri dada ( - ) Sesak napas

( - ) Berdebar ( - ) Batuk darah

( - ) Ortopnoe ( - ) Batuk

X. Abdomen (Lambung / Usus)

( - ) Rasa kembung ( - ) Wasir

( - ) Mual ( - ) Mencret

( - ) Muntah ( - ) Tinja darah

( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul

( - ) Sukar menelan ( - ) Tinja berwarna ter

( √ ) Nyeri perut

( - ) Perut membesar

XI. Saluran Kemih / Alat kelamin


( - ) Disuria ( - ) Kencing nanah

( - ) Stranguria ( - ) Kolik

( - ) Poliuria ( - ) Oliguria

( - ) Polakisuria ( - ) Anuria

( - ) Hematuria ( - ) Retensi urin

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 4


Paraparesis Inferior

( - ) Kencing batu ( - ) Kencing menetes

( √ ) Ngompol (tidak disadari)( - ) Penyakit Prostat

XII. Saraf dan Otot


( - ) Anestesi ( - ) Sukar mengingat

( √ ) Parestesi ( - ) Ataksia

( - ) Otot lemah ( - ) Hipo / hiper – esthesi

( - ) Kejang ( - ) Pingsan

( - ) Afasia ( - ) Kedutan (“Tick”)

( - ) Amnesia ( - ) Pusing (vertigo)

( - ) Lain-lain ( - ) Gangguan bicara (Disartri)

XIII. Ekstremitas
( - ) Bengkak ( - ) Deformitas

( - ) Nyeri sendi ( - ) Sianosis

D. PEMERIKSAAN FISIK

 Pemeriksaan Umum
- Tinggi badan : 155 cm
- Berat badan : 50 kg
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 80 x/ menit
- Suhu : 36 o C
- Pernapasan : 22 x/ menit
- IMT : 20,83
- Keadaan gizi : Baik (normal)
- Kesadaran : Compos mentis

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 5


Paraparesis Inferior

- Sianosis :-
- Udema umum :-
- Habitus :-
- Mobilitas : terbatas
- Umur menurut taksiran : sesuai dengan umur biologis
 Aspek Kejiwaan
- Tingkah laku : wajar
- Alam perasaan : biasa
- Proses pikir : wajar
 Kulit

Warna : sawo matang Effloresensi :-

Jaringan parut :- Pigmentasi :-

Pertumbuhan rambut : rata Pembuluh darah :


terlihat

Suhu raba : hangat Lembab / kering : dbn

Keringat : dbn Turgor : dbn

Ikterus :- Lapisan lemak :-

Edema :- Lain-lain :-

 Kelenjar Getah Bening

Submandibula : dbn Leher : dbn

Supraklavikula : dbn Ketiak : dbn

Lipat paha : dbn

 Kepala

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 6


Paraparesis Inferior

Ekspresi wajah : dbn Simetri muka : dbn

Rambut : dbn Pembuluh darah temporal :


dbn

 Mata

Exophthalmus :- Enopthalmus :-

Kelopak : dbn Lensa : dbn

Konjungtiva : dbn Visus : dbn

Sklera : dbn Gerakan mata : dbn

Lapangan penglihatan : dbn Tekanan bola mata : dbn

Deviatio konjungae : dbn Nystagmus :-

 Telinga

Tuli : dbn Selaput pendengaran : dbn

Lubang : lapang Penyumbatan :-

Serumen : + dbn Perdarahan :-

Cairan :-

 Mulut

Bibir : dbn Tonsil : dbn

Langit-langit : dbn Bau pernapasan : dbn

Gigi geligi : dbn Trismus : dbn

Faring : dbn Selaput lendir : dbn

Lidah : dbn

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 7


Paraparesis Inferior

 Leher

Tekanan vena Jugularis (JVP) :5±2

Kelenjar Tiroid : dbn, tidak teraba pembesaran

Kelenjar Limfe : dbn, tidak teraba pembesaran

Deviasi trachea : dbn, tidak teraba deviasi trachea

 Dada

Bentuk : simetris, datar, tidak cekung

Pembuluh darah : dbn

Buah dada : dbn

 Paru-paru
Depan Belakang
Inspeksi Kanan
Kiri Simetris dalam statis dan dinamis
Palpasi Kanan
Kiri Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi Kanan Hiper sonor Hiper sonor
Kiri Hiper sonor Hiper sonor
Auskultasi Kanan Suara napas vesikuler
Kiri Rh (-/-)
Wh(-/-)

 Jantung
- Inspeksi : pulsasi ictus cordis terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea midclaicula
sinistra.
- Perkusi :

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 8


Paraparesis Inferior

i. Batas jantung kanan di ICS V linea sternalis dextra


ii. Batas jantung atas di ICS III linea parasternalis sinistra
iii. Batas jantung kiri di ICS V 1 cm linea midclavicularis
sinistra
- Auskultasi :
i. Bunyi jantung I dan II regular
ii. Murmur ( - ), irama Gallop ( - )
 Abdomen
- Inspeksi : dinding abdomen tampak datar,
warna kecoklatan, tidak tampak efloresensi bermakna

- Palpasi
i. Dinding perut : supel, tidak ada tahanan,
ii. Hati : tidak teraba pembesaran
iii. Limpa : tidak teraba pembesaran
iv. Ginjal : ballottement -/-
v. Lain-lain :-
- Perkusi : tympani di keempat kuadran
abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+), normal

 Alat kelamin (atas indikasi)

Tidak dilakukan pemeriksaan karena tidak ada indikas

 Anggota gerak
Lengan

Kanan Kiri
Otot Tonus : dbn Tonus : dbn
Massa : dbn Massa : dbn
Sendi Dbn Dbn

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 9


Paraparesis Inferior

Gerakan Dbn Dbn


Kekuatan Dbn (5) Dbn (5)
Edema - -
Lain-lain - -

Tungkai dan kaki

Kanan Kiri
Luka - -
Varises - -
Otot (tonus dan massa) Lemah lemah
Sendi - -
Gerakan - -
Kekuatan 1 1
Edema - -

E. STATUS NEUROLOGIS

Pada pemeriksaan status neurologis pasien, ditemukan:

 Kesadaran kuantitatif : GCS(E4V5M6) = 15


 Orientasi : Baik
 Jalan pikiran : Baik/ Koheren
 Kemampuan bicara : Baik
 Cara berjalan : Tidak dapat dinilai
 Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinsky II (-), Laseq (-
), Kernig(-)
 Pemeriksaan N. Cranialis : N III, IV, VI
Kanan Kiri
Kedudukan bola mata Orthoporia Orthoporia
Kelopak mata Tenang Tenang

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 10


Paraparesis Inferior

Pergerakan bola mata Dbn Dbn


Exopthalmus - -
Nistagmus - -
 Pemeriksaan motorik:
o Kekuatan otot Tonus Otot
5 5 N N
1 1
o Refleks fisiologis
N N
N N

 Bicep
 Tricep

N N

 Knee
 Achilles
o Refleks patologis
 Schaffer : +/+
 Gordon : +/+
 Babinsky : +/+
o Sensibilitas : Kedua tungkai sudah dapat merasakan rangsang
tajam dan halus
o Sistem Saraf Otonom : BAB ( + ) BAK ( + )
o Fungsi luhur : tidak ada kelainan

F. Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah Rutin,

Jenis Pemeriksaan 2 Oktober 2012

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 11


Paraparesis Inferior

Hb 10,4
Ht 31,7
Leukosit 7.430
Trombosit 566.000

2. Kimia Darah, tanggal 2 Oktober 2012


Jenis Pemeriksaan Nilai
GDS 93
GDS 1-2 -
Ureum 18
Creatinin 1,2
Asam urat -
Cholesterol total -
HDL/LDL -
Triglycerid -
Bilirubin Total/ direct -/-
SGOT 15
SGPT 12
Gamma GT -
Alkali Phospatase -
Total Protein -
Albumin/Globulin -/ -
Natrium 142,9
Kalium 3,47
Calcium 108,0

3. Urin Rutin (tidak dilakukan)


Jenis Pemeriksaan Hasil
pH -

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 12


Paraparesis Inferior

Protein -
Reduksi -
Sedimen Eritrosit -
Leukosit -
Kristal -

4. Pemeriksaan Lain, 2 Oktober 2012


Jenis Pemeriksaan Hasil
HbsAg Reaktif

G. ELEKTROKARDIOGRAFI (tidak dilakukan)

H. PEMERIKSAAN RADIOLOGI (tidak dilakukan)

I. RINGKASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Cilegon dengan keluhan kedua tungkai
tidak dapat digerakkan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, timbul mendadak
tanpa disertai penyakit pendahulu. Kedua tungkai juga tidak dapat merasakan
apapun. BAK tidak dapat dikontrol pasien. Tidak ada riwayat trauma pada kepala
maupun punggung.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

 Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera icterik (-/-)


 Thorax :
- Cor : BJ I dan II regular, Bising (-) Gallop (-)
- Paru :
i. Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
ii. Auskultasi : Vesikuler, rhonci (-/-) wheezing (-/-),
iii. Palpasi : dbn

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 13


Paraparesis Inferior

iv. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru


 Abdomen :
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan ( - )
- Perkusi : Tympani di keempat kuadran abdomen
 Status neurologic:
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6)
- Pemeriksaan motorik
o Kekuatan otot Tonus Otot
5 5 N N
1 1
o Refleks fisiologis
N N
N N

 Bicep
 Tricep

N N

 Knee
 Achilles
o Refleks patologis
 Schaffer : +/+
 Gordon : +/+
 Babinsky : +/+
- Sensibilitas : terdapat perbaikan
 Laboratorium : HBsAg Reaktif

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 14


Paraparesis Inferior

I. DIAGNOSIS KERJA dan DASAR DIAGNOSIS

 Diagnosis fungsional : Paraparesis Inferior


 Diagnosis etiologi : Suspect Multiple Sclerosis
 Diagnosis anatomic : Lesi Medulla Spinalis
 Diagnosis Kerja : Paraparesis Inferior et causa susp. Multiple
Sclerosis
 Dasar Diagnosis :
o Timbul mendadak
o Usia dewasa muda
o Jenis kelamin (perempuan)
o Terdapat inkontinensia urin

J. DIAGNOSIS BANDING

Untuk pasien ini, diagnosis banding yang mungkin ada adalah:

 Paraparesis Inferior et causa Tumor Medulla Spinalis


 Paraparesis Inferior et causa Stroke Medulla Spinalis
K. ANJURAN PEMERIKSAAN
 MRI

L. RENCANA PENATALAKSANAAN

 Non-Farmakologis
o Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dialami oleh
pasien, penanganan serta kemungkinan komplikasi yang terjadi
o Edukasi pasien tentang pentingnya pengobatan dan kontrol
kesehatan yang teratur untuk mencegah kekambuhan penyakit.
o Edukasi pasien tentang cara hidup yang baik supaya kualitas
hidupnya tetap terjaga.

 Farmakologis

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 15


Paraparesis Inferior

o O2 2 liter/menit
o Infuse RL + Sohobion 1 amp 20 tpm
o Antibiotik
 Ceftriaxone 2x1 gr
o Anti Emetik
 Ranitidin
o Analgetik
 Asam Mefenamat 500mg
o Anti Inflamasi
 Metilprednisolon

N. PROGNOSIS

a) Ad Vitam : Dubia ad Bonam


b) Ad Functionam : Dubia ad Malam
c) Ad Sanationam : Dubia ad Malam

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 16


Paraparesis Inferior

TINJAUAN PUSTAKA

PARAPARESIS INFERIOR

1. Pendahuluan

Paresis memiliki arti kelemahan dan paraparesis digunakan untuk


mendeskripsikan kelemahan pada kedua tungkai. Pengertian ini kemudian meluas
dengan memasukkan kelainan pola jalan yang disebabkan oleh lesi UMN, bahkan
pada keadaan yang tidak disertai dengan kelemahan pada pemeriksaan otot secara
manual.

Gangguan ini kemudian dikaitkan dengan adanya spastisitas yang diinduksi oleh
adanya gangguan fungsi dari traktus kortikospinalis. Pada orang dewasa,
penyebab tersering dari sindroma ini adalah multiple sclerosis dengan diagnosis
banding berupa tumor pada daerah foramen magnum, Chiari malformation,
spondylosis cervical, arteriovenous malformation, dan lateral sclerosis primer.
Diagnosis untuk penyebab sindroma ini tidak bisa ditegakkan dengan melihat
gejala klinisnya saja, tetapi memerlukan pemeriksaan lanjutan seperti;
pemeriksaan cairan serebrospinalis, CT scan, MRI, dan myelography.

Apabila terdapat tanda-tanda cerebellar ataupun tanda-tanda lain selain dari tanda-
tanda gangguan pada kortikospinal bilateral, kemungkinan gangguan yang
mendasarinya adalah multiple sclerosis ataupun penyakit bawaan lain seperti
olivopontocerebellar degeneration. Kombinasi antara tanda-tanda LMN pada
lengan dan UMN pada tungkai menjadi suatu karakteristik dari amyotrophic
lateral sclerosis.

Petunjuk lain dari penyebab spastic paraparesis termasuk nyeri servikal dan
radikular pada neurofibroma atau massa ekstra aksial lainnya pada kanalis
servikalis. Juga kemungkinan muncul bersamaan dengan gejala-gejala cerebellar
atau tanda lain yang mengarah pada multiple sclerosis.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 17


Paraparesis Inferior

Dikatakan juga bahwa tumor pada otak di daerah parasagital akan menyebabkan
terjadinya isolated spastic paraparesis karena terjadi penekanan pada area tungkai
di korteks motorik pada kedua hemisfer.

Paraparesis kronik dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan pada LMN. Alih-
alih muncul tanda-tanda gangguan UMN, malah muncul flaccid paraparesis yang
disertai dengan hilangnya reflex tendon pada tungkai.

Paraparesis akut memunculkan permasalahan lain pada diagnosisnya. Jika ada


nyeri pada punggung dan reflex tendon masih muncul, atau jika ada tanda-tanda
UMN, maka kemungkinan muncul akibat adanya lesi kompresi dimana sebuah
studi menyebutkan bahwa metastase dari tumor menjadi penyebab utamanya.

Pada anak-anak dan orang dewasa muda, tanda dan gejala yang muncul bisa
menjadi lebih berat, ditambah dengan rasa nyeri karena gangguan ini sering
disebabkan oleh acute transverse myelitis. Hal ini mungkin terlihat pada anak-
anak dan orang dewasa. Selain dari gejala-gejala motorik yang timbul, gejala
sensoris juga bermakna untuk menunjukkan letak lesi penyebab gangguan
tersebut.

Jika reflex tendon menghilang dan tingkat gangguan sensoris pada pasien dengan
paraparesis akut tidak dapat ditentukan, kemungkinan terbesar penyebabnya
adalah Sindroma Guillain-Barre (GBS) baik pada anak-anak maupun pada
dewasa. Kehilangan fungsi sensoris dapat mengarahkan kita pada diagnosis
tersebut.

2. Penyakit-penyakit dengan Paraparesis

A. Multiple Sclerosis
a) Definisi

Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit kronis yang biasanya muncul pada
usia dewasa muda. Secara patologis, penyakit ini dikarakteristikkan sebagai suatu
inflamasi, demyelnisasi dan terdapatnya jaringan parut (sclerosis) pada beberapa
area (multiple) di substansia alba dari susunan saraf pusat.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 18


Paraparesis Inferior

Penyebab MS sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, namun factor-
faktor seperti mekanisme autoimmune, factor pemicu dari lingkungan dan genetic
oleh sebagian ahli dinilai memiliki peranan penting dalam kejadian MS.

b) Epidemiologi

MS menurut penelitian sering mengenai usia dewasa muda. Umur saat pertama
kali terserang MS berpuncak pada kisaran 25-30 tahun, sangat jarang kejadian
pada usia dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun.

MS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, dengan angka
kejadian sekitar 1,4 sampai 3,1 lebih sering dibandingkan pada pria.

Ras juga sangat mempengaruhi angka kejadian dari MS. Dilaporkan bahwa
populasi berkulit putih (kaukasoid) sangat beresiko tinggi mengalami MS
dibandingkan dengan yang berkulit kuning (mongoloid) maupun hitam (negroid)
yang lebih rendah resiko terkena penyakit MS ini.

c) Etiologi dan Patogenesis

Penyebab utama dari MS sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat dalil
yang menyebutkan bahwa pada individu yang secara genetic beresiko, dapat
memicu mekanisme autoimun yang menyebabkan terjadinya demyelinisasi pada
usia muda (yang mungkin disebabkan oleh virus).

o Kecenderungan Genetik
Seperti sudah sedikit disinggung di atas, disebutkan bahwa
populasi berkulit putih lebih rentan mengalami MS, hal ini semakin
diperkuat oleh data penelitian yang menyebutkan bahwa angka
kejadian tertinggi terletak pada daerah-daerah yang diinvasi oleh
bangsa Nordic dahulu kala. Tetapi hal ini tidak dapat menjadikan
kesimpulan karena prevalensi menurut ras sangat dipengaruhi oleh
migrasi.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 19


Paraparesis Inferior

Penelitian pada keluarga yang memiliki lebih dari satu anggota


yang terkena MS memberikan data bahwa terjadi predisposisi
genetic pada penderita MS. Major Histocompatibility Complex
(MHC) pada kromosom 6 telah diidentifikasikan sebagai gen yang
berperan pada kejadian MS. MHC berfungsi untuk mengkode gen
pada Histocompatibility antigens (HLA system) yang terlibat pada
presentasi antigen ke sel T. Gen yang paling berperan dari tiga
kelas gen-gen HLA adalah alel kelas II. Terutama pada region DR
dan DQ. Pada orang berkulit putih, haplotipe kelas II tersebut
(DR15, DQ6, Dw2) dihubungkan dengan peningkatan resiko
terjadinya MS. Namun, penggambaran haplotype seperti ini baik
pada pasien dengan MS maupun pada orang normal tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan.

o Immunology
Menurut bukti yang diambil dari hasil pemeriksaan terhadap darah,
cairan CSF pada hewan percobaan yang telah mengalami
demyelnisasi memberikan informasi bahwa mekanisme autoimun
terlibat dalam proses kejadian MS.
Pada pemeriksaan darah tepi, beberapa perubahan non-spesifik
terlihat. Terutama pada MS sekunder progresif. Perubahan ini sama
seperti yang terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun lain
seperti SLE. Perubahan yang terjadi tersebut adalah penekanan
pada aktivitas gen supresor CD8 + sel T dan juga pada autologous
mixed lymphocyte reaction (AMLR). Pada MS, seperti juga pada
SLE, ditemukan penurunan jumlah CD4+CD45RA+suppressor-
inducer sel T yang berada pada darah tepi.
Pleositosis LCS juga sangat umum terjadi, terutama pada fase MS
akut. Sel T yang berfungsi sebagai helper-inducer
(CD4+CDw29+sel-sel) menyusun sebagian besar sel dan
ditemukan dengan jumlah yang tinggi pada LCS dibandingkan

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 20


Paraparesis Inferior

dengan daerah lain.Reaktifitas sel T ditemukan saat melawan


beberapa epitop dari Myelin Basic Protein (MBP) dan protein
proteolipid.
Antibodi secreting B-cells juga diaktifkan pada MS, terjadi
peningkatan jumlah IgG pada LCS dan sintesis IgG juga
meningkat.
Infiltrasi limfosit dan makrofag perivaskuler menjadi suatu ciri dari
immunitas SSP. Limfosit yang predominan pada MS adalah sel-sel
helper-inducer (CD4+CDw29). Reseptor Interleukin-2 (IL-2) juga
dapat dibuktikan pada kebanyakan sel T, yang menjadi pertanda
bahwa sel-sel yang mensekresi sitokin telah diaktifkan secara
immunologis.
Sitokin yang diproduksi oleh sel T yang diaktifkan dan makrofag
memegang peranan penting pada kerusakan jaringan. Sitokin
tersebut akan memanggil tissue necrosis factor (TNF) yang bersifat
toksik terhadap sel-sel oligodendroglial dan myelin, dan dapat
ditemukan pada plak MS.

o Virus
Data epidemiologi yang telah dibahas sebelumnya sempat
menyinggung tentang pajanan lingkungan pada MS. Encephalitis
viral pada anak-anak dapat diikuti oleh demyelinisasi. Pada
binatang percobaan, yang paling sering dipelajari adalah
demyelinsasi yang diinduksi oleh virus Theiler, suatu murine
picornavirus.
Apabila terinfeksi oleh virus strain ini, maka dapat berujung pada
infeksi oligodendrosit dengan infiltrasi limfosit perivaskuler dan
demyelinisasi.
Faktor genetic member pengaruh pada kecenderungan pada
terjadinya demyelinisasi dan penyakit-penyakit klinis lain.
Kecenderungan ini dihubungkan dengan pembentukan respon

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 21


Paraparesis Inferior

imun pada hewan saat melawan virus. Oleh karena itu, pada MS,
demyelinisasi dapat ditimbulkan oleh infeksi virus, seperti;
Measles, rubella, mumps, coronavirus, parainfluenza, herpes
simplex, vaccinia, dan HTLV-1.
Dua virus yang sangat konsiten terlibat dalam pathogenesis MS
adalah Epstein-Barr virus (EBV) dan human herpes virus 6
(HHV6).

o Faktor lainnya
Factor-faktor lain yang sering disebut sebagai pemicu dari
terjadinya MS antara lain adalah trauma fisik. Vaksinasi yang tidak
lengkap juga disebutkan sebagai factor yang dapat menyebabkan
terjadinya MS.

d) Tanda dan Gejala

Karena persarafan di otak dan medulla spinalis mengalami kerusakan, pasien


dengan MS dapat memiliki gejala-gejala yang terlihat di seluruh tubuh.
Gejala-gejala tersebut antara lain:

 Gejala-gejala pada otot:


o Kehilangan keseimbangan
o Spasme otot
o Mati rasa pada beberapa anggota tubuh
o Kesulitan dalam menggerakkan lengan dan tungkai
o Kesulitan dalam berjalan
o Kesulitan dalam melakukan gerakan koordinasi dan membuat
pergerakan ringan
o Tremor
o Paraparesis (superior/inferior)
 Gejala-gejala pada usus dan kandung kemih:
o Konstipasi

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 22


Paraparesis Inferior

o Kesulitan memulai berkemih


o Inkontinensia
 Gejala-gejala pada pengelihatan:
o Pengelihatan ganda
o Rasa tidak nyaman pada mata
o Pergerakan mata yang tidak terkontrol
o Kehilangan pengelihatan
 Gejala-gejala seksual:
o Disfungsi ereksi

Kelemahan pada tungkai merupakan gejala yang paling umum terjadi, dapat
muncul sebagai monoparesis, hemiparesis, atau tetraparesis, dan yang paling
sering adalah paraparesis asimetrik.

Pada beberapa pasien, terutama yang mengalami gejala late-onset, mungkin akan
terjadi suatu paraparesis spastic atau monoparesis yang berjalan progresif lambat,
tanpa adanya abnormalitas lain kecuali tanda-tanda kortikospinal (spastisitas,
hyperreflexia dan reflex Babinski bilateral) dan kelumpuhan ringan pada sensasi
proprioseptif. Cerebellum dan penghubungnya dengan batang otak biasanya ikut
terlibat, sehingga menyebabkan dysartria, ataxia, tremor, dan inkoordinasi pada
lengan atau tungkai.

e) Pemeriksaan Diagnostic

Dalam menegakkan diagnosis multiple sklerosis dibutuhkan beberapa


pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

 Pemeriksaan elektroporesis susunan saraf pusat, antibody Ig dalam SSP


yang abnormal.
Pemeriksaan elektroforesis terhadap SSP biasanya mengungkap adanya
ikatan oligoklonal (beberapa pita imunoglobulin gamma [IgG]), yang
menunjukkan abnormalitas imunoglobulin. Dalam kenyataannya, hampir
95% antibodi IgG normal terlihat di SSP pada klien dengan multipel

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 23


Paraparesis Inferior

skierosis. Pemeriksaan potensial bangkitan dilakukan untuk membantu


memastikan luasnya proses penyakit den memantau perubahan.
 MRI
CT scan dapat menunjukkan atrofi serebri. MRI menjadi alat diagnostik
utama untuk memperlihatkan plak kecil dan untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit den efek pengobatan. Disfungsi kandung kemih yang
mendasari diagnosis dengan pemeriksaan urodinamik. Pengujian
neuropsikologis dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.
Riwayat seksual menbantu untuk mengindentifikasi hal-hal kekhawatiran
khusus. Pemeriksaan MRI menunukkan bahwa banyak plak tidak
menimbulkan gejala serius, dan pasien dengan plak ini tidak secara serius
mengalami gangguan tetapi mengalami periode remisi yang panjang di
antara episode remisi. Terdapat bukti bahwa remielinasi secara actual
terjadi pada beberapa pasien.

f) Penatalaksanaan Medis

Tujuan pengobatan adalah menghilangkan gejala dan membantu fungsi klien.


Penatalaksanaan meliputi penatalaksanaan pada serangan akut dan kronik.
Program pengobatan sesuai dengan individu, kelompok, dan rasional yang
menjadi indikasi untuk mengurangi gejala dan memberikan dukungan secara
terus¬menerus. Banyak klien multipel skierosis mengalami keadaan stabil dan
hanya memerlukan pengobatan yang lebih sering yang ditujukan pada
pengontrolan gejala sedangkan yang lain mengalami progresi penyakit yang
mantap.

 Penatalaksanaan Serangan Akut ( Farmakoterapi )


o Kortikosteroid dan ACTH digunakan sebagai agen anti-
inflamasi yang dapat meningkatkan konduksi saraf,
menurunkan inflamasi, kekambuhan dalam waktu singkat atau
eksaserbasi (exacerbation). Karena mekanisme imun
merupakan faktor patogenesis multipel sklerosis, make

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 24


Paraparesis Inferior

sejumlah agen farmakologik dicoba untuk modulasi respons


imun dan menurunkan kecepatan perkembangan penyakit den
serangan yang sering den menurunkan keadaan yang semakin
buruk. Obat-obat ini mencakup azatioprin, sikiofosfamid, dan
interferon.
o Beta interferon (Betaseron) telah disetujui untuk digunakan
dalam perjalanan relapsing-remitting. Beta interferon
(Betaseron ®) digunakan untuk mempercepat penurunan
gejala. Betaseron telah diketahui efektif dalam menurunkan
secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi akut dengan
pemindaian MRI yang menunjukkan area demielinisasi yang
lebih kecil pada jaringan otak. ini merupakan obat baru yang
dapat menjanjikan untuk pengobatan multipel skierosis
meskipun telah ratusan kali dicoba.
o Modalitas lain (misalnya radiasi, kopolimer 1, dan kladribin)
sekarang masih diteliti sebagai pengobatan yang mungkin
untuk bentuk multipel sklerosis progresif.
o Baklofen sebagai agen antispasmodik merupakan pengobatan
yang dipilih untuk spastisitas. Klien dengan spastisitas beret
dan kontraktur memerlukan blok saraf dan intervensi
pembedahan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
o Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan
kondisi penyakit

 Penatalaksanaan Gejala Kronik


o Pengobatan spastic dengan bacloferen (Lioresal®), dantrolene
(Dantrium®), diazepam (Valim®), terapi fisik, intervensi
pembedahan.
o Kontrol kelelahan dengan namatidin (Simmetrel®).
o Pengobatan depresi dengan antidepresan dan konseling.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 25


Paraparesis Inferior

o Penatalaksanaan kandung kemih dengan antikolinergik dan


pemasangan kateter tetap.
o Penatalaksanaan terhadap kontrol berkemih dan defekasi pada
kebanyakan masalah sulit klien. Umumnya, gejala disfungsi
kandung kemih dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu
ketidakmampuan untuk menyimpan urine (hiperefleksi; tidal
tertahan), ketidakmarnpuan mengosongkan kandung kemih
(hiporefleksi, hipotonik), dan campuran kedua tipe. Berbagai
variasi pengobatan digunakan untuk mengatasi masalah
masalah ini. Kateterisasi sendiri yang dilakukan secara sering
efektif digunakan untuk disfungsi kandung kemih.
Infeksi saluran kemih sering terjadi akibat disfungsi neurologis.
Asam askorbat dapat diberikan untuk mengasamkan urine,
sehingga menurunkan kemungkinan bakteri untuk bertumbuh.
Antibiotik diberikan bile dibutuhkan,
o Penatalaksanaan BAB dengan laksatif dan supositoria.
o Penatalaksanaan rehabilitasi dengan terapi fisik dan terapi
kerja.
o Kontrol distonia dengan karbamazim (Treganol®).
o Penatalaksanaan gejala nyeri dengan karbamazepin
(Tegratol®), feniton (Dilantin®), perfenazin dengan
amitriptilin (Triavili®)

B. Tumor Medulla Spinalis

Definisi

Tumor medula spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada
daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas;

 Tumor primer:
o Jinak yang berasal dari

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 26


Paraparesis Inferior


tulang; osteoma dan kondroma,

serabut saraf disebut neurinoma (Schwannoma),

berasal dari selaput otak disebut Meningioma;

jaringan otak; Glioma, Ependimoma.
o Ganas yang berasal dari

jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma,

sel muda seperti Kordoma.
 Tumor sekunder: merupakan anak sebar (metastase) dari tumor ganas di
daerah rongga dada, perut, pelvis dan tumor payudara.

Epidemiologi

Di Indonesia. jumlah penderita tumor medula spinalis belum diketahui secara


pasti. Jumah kasus tumor medula spinalis di Amerika Serikat mencapai 15% dari
total jumlah tumor yang terjadi pada susunan saraf pusat dengan perkiraan
insidensi sekitar 0,5-2,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Jumlah penderita
pria hampir sama dengan wanita dengan sebaran usia antara 30 hingga 50 tahun.
Diperkirakan 25% tumor terletak di segmen servikal, 55% di segmen thorakal dan
20% terletak di segmen lumbosakral.

Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma, astrositoma


dan hemangioblastoma. Ependimoma lebih sering didapatkan pada orang dewasa
pada usia pertengahan (30-39 tahun) dan jarang terjadi pada usia anak-anak.
Insidensi ependidoma kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari
ependydoma muncul pada daerah lumbosakral.

Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh


pada medula spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang
tersering pada tiga dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal
intramedular yang tersering pada usia anak-anak, tercatat sekitar 90% dari tumor
intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan sekitar 60% pada
remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di segmen servikal
dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal, lumbosakral

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 27


Paraparesis Inferior

atau pada conus medularis. Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang


tumbuh lambat dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedular
medula spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan
von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya muncul pada dekade awal dan
mempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan perempuan 1,8 : 1.

Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan


meningioma. Schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan
insidensi laki-laki lebih sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan
tersering pada daerah lumbal. Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada
kelompok intradural-ekstramedullar tumor. Meningioma menempati kira-kira
25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal meningioma terlokasi pada
segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2% pada
foramen magnum.

Klasifikasi

Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat dibagi
menjadi tumor primer dan tumor sekunder. Tumor primer dapat bersifat jinak
maupun ganas, sementara tumor sekunder selalu bersifat ganas karena merupakan
metastasis dari proses keganasan di tempat lain seperti kanker paru-paru,
payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau limfoma. Tumor primer
yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma, neuroblastoma, dan kordoma,
sedangkan yang bersifat jinak contohnya neurinoma, glioma, dan ependimoma.1

Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua


kelompok, yaitu tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural itu
sendiri dibagi lagi menjadi tumor intramedular dan ekstramedular. Macam-macam
tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 28


Paraparesis Inferior

Gambar 2.1 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-


ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural

Tabel 1. Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya

Ekstra dural Intradural ekstramedular Intradural intramedular

Chondroblastoma Ependymoma, tipe myxopapillary Astrocytoma

Chondroma Epidermoid Ependymoma

Hemangioma Lipoma Ganglioglioma

Lipoma Meningioma Hemangioblastoma

Lymphoma Neurofibroma Hemangioma

Meningioma Paraganglioma Lipoma

Metastasis Schwanoma Medulloblastoma

Neuroblastoma Neuroblastoma

Neurofibroma Neurofibroma

Osteoblastoma Oligodendroglioma

Osteochondroma Teratoma

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 29


Paraparesis Inferior

Osteosarcoma

Sarcoma

Vertebral hemangioma

Etiologi dan Patogenesis

Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam tahap
penelitian adalah virus, kelainan genetik, dan bahan-bahan kimia yang bersifat
karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh sel-sel kanker
yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang kemudian
menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medula spinalis yang
normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut.7

Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan


muncul dari pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut. Riwayat genetik
kemungkinan besar sangat berperan dalam peningkatan insiden pada anggota
keluarga (syndromic group) misal pada neurofibromatosis. Astrositoma dan
neuroependimoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2 (NF2), di mana pasien dengan NF2 memiliki kelainan
pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 30


Paraparesis Inferior

dengan Von Hippel-Lindou Syndrome sebelumnya, yang merupakan abnormalitas


dari kromosom 3.

Manifestasi Klinis

Menurut Cassiere, perjalanan penyakit tumor medula spinalis terbagi dalam tiga
tahapan, yaitu:

 Ditemukannya sindrom radikuler unilateral dalam jangka waktu yang


lama
 Sindroma Brown Sequard
 Kompresi total medula spinalis atau paralisis bilateral
Keluhan pertama dari tumor medula spinalis dapat berupa nyeri radikuler, nyeri
vertebrae, atau nyeri funikuler. Secara statistik adanya nyeri radikuler merupakan
indikasi pertama adanya space occupying lesion pada kanalis spinalis dan disebut
pseudo neuralgia pre phase. Dilaporkan 68% kasus tumor spinal sifat nyerinya
radikuler, laporan lain menyebutkan 60% berupa nyeri radikuler, 24% nyeri
funikuler dan 16% nyerinya tidak jelas3. Nyeri radikuler dicurigai disebabkan oleh
tumor medula spinalis bila:

 Nyeri radikuler hebat dan berkepanjangan, disertai gejala traktus


piramidalis
 Lokasi nyeri radikuler diluar daerah predileksi HNP
seperti C5-7, L3-4, L5 dan S1

Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler adalah tumor
yang terletak intradural-ekstramedular, sedang tumor intramedular jarang
menyebabkan nyeri radikuler. Pada tumor ekstradural sifat nyeri radikulernya
biasanya hebat dan mengenai beberapa radiks.

Tumor-tumor intrameduler dan intradural-ekstrameduler dapat juga diawali


dengan gejala TTIK seperti: hidrosefalus, nyeri kepala, mual dan muntah,
papiledema, gangguan penglihatan, dan gangguan gaya berjalan. Tumor-tumor
neurinoma dan ependimoma mensekresi sejumlah besar protein ke dalam likuor,

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 31


Paraparesis Inferior

yang dapat menghambat aliran likuor di dalam kompartemen subarakhnoid spinal,


dan kejadian ini dikemukakan sebagai suatu hipotesa yang menerangkan kejadian
hidrosefalus sebagai gejala klinis dari neoplasma intraspinal primer.

Bagian tubuh yang menimbulkan gejala bervariasi tergantung letak tumor di


sepanjang medula spinalis. Pada umumnya, gejala tampak pada bagian tubuh yang
selevel dengan lokasi tumor atau di bawah lokasi tumor. Contohnya, pada tumor
di tengah medula spinalis (pada segmen thorakal) dapat menyebabkan nyeri yang
menyebar ke dada depan (girdleshape pattern) dan bertambah nyeri saat batuk,
bersin, atau membungkuk. Tumor yang tumbuh pada segmen cervical dapat
menyebabkan nyeri yang dapat dirasakan hingga ke lengan, sedangkan tumor
yang tumbuh pada segmen lumbosacral dapat memicu terjadinya nyeri punggung
atau nyeri pada tungkai.

Berdasarkan lokasi tumor, gejala yang muncul adalah seperti yang terihat dalam
Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis

Lokasi Tanda dan Gejala

Foramen Gejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat


Magnum sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering adalah
nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia dalam
dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas yang
meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat barang, atau
bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan
sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan
kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor
menyebabkan kuadriplegia spastik dan hilangnya sensasi secara
bermakna. Gejala-gejala lainnya adalah pusing, disartria, disfagia,
nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu
timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 32


Paraparesis Inferior

berjalan spastik, palsi N.IX hingga N.XI, dan kelemahan ekstremitas.


Servikal Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang
melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang tangan.
Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal, diatas C4)
diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melalui
arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan atrofi
gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6, C7)
dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps,
brakioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang tepi
radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari
tengah dan jari telunjuk pada lesi C7, dan lesi C7 menyebabkan
hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.

Torakal Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada


ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien
dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan
abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat gangguan
intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian bawah, refleks
perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus menonjol apabila
penderita pada posisi telentang mengangkat kepala melawan suatu
tahanan) dapat menghilang.
Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen
lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari
tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis
lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan
fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan
refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral.
Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal
bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan
kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki, serta kehilangan
refleks pergelangan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 33


Paraparesis Inferior

yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan


tanda khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah.
Kauda Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tnda-tanda khas
Ekuina lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang kadang-
kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks
saraf yang terkena dan terkadang asimetris.

Tumor Ekstradural
Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan kompresi pada
medula spinalis dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri radikuler dapat
merupakan gejala awal pada 30% penderita tetapi kemudian setelah beberapa hari,
minggu/bulan diikuti dengan gejala mielopati. Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks,
yang mulanya hilang dengan istirahat, tetapi semakin lama semakin
menetap/persisten, sehingga dapat merupakan gejala utama, walaupun terdapat
gejala yang berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor metastase ini
dapat terjadi spontan, dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada vertebrae,
nyeri demikian lebih dikenal dengan nyeri vertebrae.

a. Tumor Metastasis Keganasan Ekstradural


Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 Sebagian besar tumor spinal (>80 %) merupakan metastasis
keganasan terutama dari paru-paru, payudara, ginjal, prostat, kolon,
tiroid, melanoma, limfoma, atau sarkoma.
 Yang pertama dilibatkan adalah korpus vertebra. Predileksi lokasi
metastasis tumor paru, payudara dan kolon adalah daerah toraks,
sedangkan tumor prostat, testis dan ovarium biasanya ke daerah
lumbosakral.
 Gejala kompresi medula spinalis kebanyakan terjadi pada level
torakal, karena diameter kanalisnya yang kecil (kira-kira hanya 1
cm).

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 34


Paraparesis Inferior

 Gejala akibat metastasis spinal diawali dengan nyeri lokal yang


tajam dan kadang menjalar (radikuler) serta menghebat pada
penekanan atau palpasi.

Tumor Intradural-Ekstramedular
Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler kronik progresif.
Kejadiannya ± 70% dari tumor intradural, dan jenis yang terbanyak adalah
neurinoma pada laki-laki dan meningioma pada wanita.
a. Neurinoma (Schwannoma)
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Berasal dari radiks dorsalis
 Kejadiannya ± 30% dari tumor ekstramedular
 2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya pada
satu sisi dan dialami dalam beberapa bulan sampai tahun, sedangkan
gejala lanjut terdapat tanda traktus piramidalis
 39% lokasinya disegmen thorakal
b. Meningioma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 ± 80% terletak di regio thorakalis dan ±60% pada wanita usia
pertengahan
 Pertumbuhan lambat
 Pada ± 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering dengan
gejala traktus piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikuler
biasanya bilateral dengan jarak waktu timbul gejala lain lebih pendek

Tumor Intradural-Intramedular

Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus seperti rasa terbakar
dan menusuk, kadang-kadang bertambah dengan rangsangan ringan seperti
electric shock like pain (Lhermitte sign).

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 35


Paraparesis Inferior

a. Ependimoma
Memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun


 Wanita lebih dominan
 Nyeri terlokalisir di tulang belakang
 Nyeri meningkat saat malam hari atau saat bangun
 Nyeri disestetik (nyeri terbakar)
 Menunjukkan gejala kronis
 Jenis miksopapilari rata-rata pada usia 21 tahun, pria lebih dominan

b. Astrositoma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 Prevalensi pria sama dengan wanita


 Nyeri terlokalisir pada tulang belakang
 Nyeri bertambah saat malam hari
 Parestesia (sensasi abnormal)

c. Hemangioblastoma
Memiliki karakter sebagai berikut:

 Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun


 Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak
pada 1/3 dari jumlah pasien keseluruhan.
 Penurunan sensasi kolumna posterior
 Nyeri punggung terlokalisir di sekitar lesi

Diagnosis

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 36


Paraparesis Inferior

Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis tumor medula spinalis
dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan penunjang seperti di bawah ini.
a. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan
xantokhrom, dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam
mengambil dan memperoleh cairan spinal dari pasien dengan tumor
medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian dapat berubah
menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang
komplit.
b. Foto Polos Vertebrae
Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan
ditemukan erosi pedikel (defek menyerupai “mata burung hantu” pada
tulang belakang lumbosakral AP) atau pelebaran, fraktur kompresi
patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis, perubahan osteoblastik
(mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya Ca payudara.
c. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan
terkadang dapat memberikan informasi mengenai tipe tumor. Pemeriksaan
ini juga dapat membantu dokter mendeteksi adanya edema, perdarahan
dan keadaan lain yang berhubungan. CT-scan juga dapat membantu dokter
mengevaluasi hasil terapi dan melihat progresifitas tumor.

d. MRI
Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang
mengalami kelainan secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan
gambar tumor yang letaknya berada di dekat tulang lebih jelas
dibandingkan dengan CT-scan.

Diagnosis Banding
 Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
 Lumbar (Intervertebral) Disk Disorders
 Mechanical Back Pain

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 37


Paraparesis Inferior

 Brown-Sequard Syndrome
 Infeksi Medula Spinalis
 Cauda Equina Syndrome

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun
ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis
secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi
secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada post
operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat dan agresif
secara histologis dan tidak secara total dihilangkan melalui operasi dapat diterapi
dengan terapi radiasi post operasi.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :

a. Deksamethason: 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin


juga menghasilkan perbaikan neurologis).
b. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik
 Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya
dengan sistemik kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi
bertulang; analgesik untuk nyeri.
 Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-
4000 cGy pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas
dan di bawah lesi); radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi
dengan komplikasi yang lebih sedikit.

c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan derajat


blok dan kecepatan deteriorasi
 bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat:
penatalaksanaan sesegera mungkin (bila merawat dengan radiasi,
teruskan deksamethason keesokan harinya dengan 24 mg IV

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 38


Paraparesis Inferior

setiap 6 jam selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering) selama


radiasi, selama 2 minggu.
 bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan
deksamethason 4 mg selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama
perawatan sesuai toleransi.
d. Radiasi

Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang tidak


dapat diangkat dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.

e. Pembedahan

Tumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya dengan


teknik myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop digunakan
pada pembedahan tumor medula spinalis.

Indikasi pembedahan:

 Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi


bila lesi dapat dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat tumor dan dapat disalahartikan
sebagai metastase.
 Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
 Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam,
kecuali signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya
terjadi dengan tumor yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal
atau melanoma.
 Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin pada tumor medula spinalis antara lain:

 Paraplegia
 Quadriplegia
 Infeksi saluran kemih

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 39


Paraparesis Inferior

 Kerusakan jaringan lunak


 Komplikasi pernapasan

Komplikasi yang muncul akibat pembedahan adalah:

 Deformitas pada tulang belakang post operasi lebih sering terjadi


pada anak-anak dibanding orang dewasa. Deformitas pada tulang
belakang tersebut dapat menyebabkan kompresi medula spinalis.
 Setelah pembedahan tumor medula spinalis pada servikal, dapat
terjadi obstruksi foramen Luschka sehingga menyebabkan
hidrosefalus.
Prognosis
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif mempunyai
prognosis yang buruk terhadap terapi. Pembedahan radikal mungkin dilakukan
pada kasus-kasus ini. Pengangkatan total dapat menyembuhkan atau setidaknya
pasien dapat terkontrol dalam waktu yang lama. Fungsi neurologis setelah
pembedahan sangat bergantung pada status pre operatif pasien. Prognosis semakin
buruk seiring meningkatnya umur (>60 tahun).

C. Gangguan Vaskularisasi Medulla Spinalis

 Anatomi

Pembuluh yang mengantar darah pada medulla spinalis berasal dari cabang arteri
vertebralis, arteria intercostalis dan arteria lumbalis. Tiga arteri yang membujur
memasok darah pada medulla spinalis yaitu; sebuah arteri spinalis anterior dan
dua arteri spinalis posterior. Pembuluh-pembuluh ini memperoleh bantuan
memasok darah oleh segmental yang dikenal sebagai arteria radicularis. Arteria
radicularis anterior dan posterior berjalan mengiringi radix anterior dan posterior
nervi spinalis. Beberapa arteri ini kecil dan hanya mengantar darah pada akar saraf
dan piamater spinalis, yang lain berukuran besar dan mengadakan hubungan
dengan arteria spinalis anterior dan posterior. Seluruhnya terdapat sekitar 14

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 40


Paraparesis Inferior

arteria radicularis yang besar dan 12 arteria radicularis yang beranastomosis


dengan arteria spinalis.

Arteria radicularis anterior magna (Adamkiewicz) mengantar darah pada medulla


spinalis daerah torakal sebelah kaudal dan daerah lumbal sebelah cranial,
termasuk intumescentia lumbosacralis. Arteri ini biasanya lebih besar daripada
arteria radicularis lainnya. Arteria radicularis magna ini lebih sering berasal di
sebelah kiri dari arteria intercostalis atau arteria lumbalis. Pembuluh ini sangat
penting secara klinis karena membantu memasok cukup banyak darah pada arteria
spinalis anterior yang merupakan sumber pemasok utama pada medulla
spinalisbagian dua pertiga kaudal.

Biasanya terdapat tiga vena spinalis anterior dan tiga vena spinais posterior.
Vena-vena ini melintas membujur, berhubungan bebas satu sama lain dan darah di
dalamnya disalurkan melalui banyak vena radicularis. Vena-vena penyalur darah
medulla spinalis dan vertebra membentuk plexus venosi vertebrales interni, terdiri
dari vena-vena yang berdinding tipis dan tidak berkatup sekeliling dura mater
spinalis. Vena-vena ini berhubungan melalui sinus longitudinal anterior dan sinus
longitudinal posterior dengan sinus venosus durae matris spinalis crania. Vena
spinalis anterior dan posterior dan plexus venosi vertebrales menyalurkan isinya
ke dalam vena intervertebralis dan lalu ke dalam vena vertebralis, vena lumbalis
ascendens dan sistem vena azygos.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 41


Paraparesis Inferior

 Infark Medulla Spinalis


 Etiologi

Infark medulla spinalis biasanya terjadi pada segmen T4-T9 dan biasanya
disebabkan oleh ateroma yang melibatkan aorta dan menjadi komplikasi yang
paling potensial dari pembedahan aneurisma torakoabdominal.

Penyebab lain dari infark medulla spinalis yang jarang terjadi diantaranya adalah;
gangguan kolagen pada pembuluh darah, syphilitic angiitis, dissecting aortic
aneurysm, embolic infarction, kehamilan, sickle cell disease dan penyakit lainnya.
Iskemia pada medulla spinalis dapat terjadi sebagai komplikasi awal dari
pembedahan spinal arteriovenosus malformation (AVM).

 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada stroke medulla spinalis biasanya muncul dalam hitungan
menit atau jam sejak iskemia berlangsung. Gejala pertama adalah nyeri punggung
radicular, nyeri yang menyebar, dalam pada kedua tungkai atau sensasi terbakar
pada kaki. Gejala-gejala sensorik ini kemudian diikuti oleh munculnya kelemahan
yang cepat pada tungkai. Oklusi pembuluh darah pada arteri spinalis anterior
region servikal dapat menimbulkan tetraplegia inkontinensia urin dan feses dan
penurunan fungsi sensorik pada daerah di bawah lesi. Pada lesi servikal dapat
terjadi depresi pernapasan. Kelemahan spastic yang terjadi dapat disebabkan
karena oleh lesi pada traktus kortikospinalis lateralis.

Seringnya, stroke medulla spinalsi terjadi pada region midthoracic, yang dapat
menyebabkan munculnya paraplegia, inkontinensia urin, hilangnya sensasi nyeri
dan suhu, dan terganggunya fungsi proprioseptif. Kelemahan yang terjadi diikuti
oleh munculnya reflex babinsky. Spastisitas dan hiperreflexia biasanya muncul
dalam beberapa minggu. Insufisiensi arteri pada region lumbar menyebabkan
terjadinya paraplegia.

 Diagnosis

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 42


Paraparesis Inferior

Diagnosis stroke medulla spinalis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan MRI,


selain dapat menentukan letak lesi, MRI juga dapat menentukan apakah terdapat
kelainan lain seperti neoplasma atau spondilosis servikal.

Pemeriksaan punksi lumbal juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah


terjadi infeksi atau perdarahan pada medulla spinalis.

 Penatalaksanaan

Prinsip umum penatalaksanaan pasien dengan quadriplegia atau paraplegia harus


dilakukan, dapat juga diberikan antiplatelet dan antikoagulan, namun belum ada
study yang menunjukkan keefektifitasan penggunaan kedua jenis obat ini sampai
sekarang.

 Prognosis

Prognosis pada pasien dengan stroke medulla spinalis menurut sebuah studi
dinyatakan bahwa tingkat mortalitas pasien dengan stroke medulla spinalis adalah
22%, 57% mengalami kelumpuhan sehingga harus menggunakan kursi roda dan
25% harus menggunakan dirawat menggunakan alat bantu, dan 18% pasien
dirawat jalan.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 43


Paraparesis Inferior

KESIMPULAN

Paraparesis adalah suatu keadaan berupa kelemahan pada ekstremitas. Paraparesis


bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu
gejala yang disebabkan oleh adanya kelainan patologis pada medulla spinalis.

Kelainan- kelainan pada medulla spinalis tersebut diantaranya adalah Multiple


Sclerosis, suatu penyakit inflamasi dan demyelinisasi yang disebabkan oleh
berbagai macam hal. Diantaranya adalah kelainan genetic, infeksi dari virus dan
factor lingkungan.

Selain itu, paraparesis juga dapat disebabkan oleh tumor yang menekan medulla
spinalis, baik primer maupun sekunder. Juga dapat disebabkan oleh kelainan
vascular pada pembuluh darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada stroke
medulla spinalis.

Semua keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya paraparesis inferior, yang


apabila tidak segera ditangani akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga,
diagnosis dan penanganan yang tepat pada kelainan-kelaianan di atas diharapkan
dapat membantu penderita paraparesis untuk mewujudkan kondisi yang optimal.

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 44


Paraparesis Inferior

DAFTAR PUSTAKA

1. Rowland LP. Syndrome Caused by Weak Muscles. In: Merrit’s


Neurology. 11th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
2. Sadiq SA. Multiple Sclerosis. In: Merrit’s Neurology. 11th ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
3. Weisberg LA. Vascular Disease of the Spinal Cord. In: Merrit’s
Neurology. 11th ed. New York: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2005.
4. Smith KJ, McDonald WI. The pathophysiology of multiple sclerosis: the
mechanisms underlying the production of symptoms and the natural
history of the disease. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 1999 October
29; 354(1390): 1649–1673.
5. Huff, J.S. 2010. Spinal Cord Neoplasma. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/779872-print. [1 April 2011].
6. American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults.
[serial online]. http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/
7. Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management
of Intradural Intramedullary Neoplasms. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/249306-print. [1 April 2011].
8. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2005. Brain and
Spinal Cord Tumors - Hope Through Research. [serial online].
http://www.ninds.nih.gov/disorders/brainandspinaltumors/detail_brainands
pinaltumors.htm. [1 April 2011].
9. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002.
Hal. 214-16

Adhyanovic Hadi Pradipta S.Ked 45

Anda mungkin juga menyukai